Anda di halaman 1dari 3

TAAT DALAM MENANGGAPI PANGGILAN TUHAN

1 Samuel 3:1-20; Mazmur 139:1-6,13-18; 1 Korintus 6:12-20; Yohanes 1:43-51

Sebagai orang Kristen, bisa jadi kita sering mendengar kata “panggilan Tuhan”.
Atau lebih lengkapnya, “kita dipanggil Tuhan untuk melayani, untuk menjadi rekan kerja-
Nya, atau untuk terlibat dalam karya-Nya.” Kata panggilan Tuhan ini seringkali kita pahami
bahwa Tuhan sengaja memanggil kita untuk memakai kita atau melibatkan kita dalam
karya-Nya.
Kata “panggilan Tuhan” ini tidak bisa diartikan hanya supaya kita pindah ‘dari
pekerjaan sekuler atau non-agama’ lalu menjadi seorang ‘penginjil, pendeta atau
rohaniawan’. Ini dikarenakan dalam pekerjaan apapun Tuhan memanggil kita dan bersedia
memakai kita dalam bidang apapun. Panggilan Tuhan ini terkait erat dengan tugas kita
yang telah menerima firman, maka kita harus menyampaikannya kepada siapapun. Dengan
panggilan ini, Tuhan akan melibatkan manusia dalam karya-Nya.
Panggilan Tuhan merupakan kesempatan yang ditawarkan Tuhan dengan penuh
keterbukaan kepada manusia untuk terlibat dalam karya Tuhan. Saat Tuhan memanggil
manusia, berarti manusia itu juga dipandang sebagai partner atau rekan kerja, bukan
bawahan. Sehingga melalui panggilan ini, Tuhan juga mengangkat derajat manusia. Hal ini
nampak dari bacaan kita. Disaksikan dalam bacaan yang ke-3, dimana Tuhan Yesus yang
memanggil Filipus dengan mengatakan, “Ikutlah Aku!”.
Ungkapan ini sekali lagi menegaskan bahwa inisiatif pemanggilan berasal dari
Yesus sendiri. Kata-kata yang penuh wibawa dan kuasa tersebut disambut Filipus dengan
sukacita dan ia pun mengabarkan kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena Filipus
telah menemukan Mesias dalam diri Yesus.
Karena itu, saat dia bertemu dengan Natanael, Filipus menyampaikan kabar
sukacita tersebut dengan berkata, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa
dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” Dari sinilah
kita melihat bahwa inisiatif panggilan berasal dari Allah, dan umat pun meneruskan
panggilan tersebut kepada sesamanya.
Memang haruslah demikian seterusnya. Natanael, yang sebelumnya sudah tahu
mengenai kota Nazaret dengan nada pesimis berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik
datang dari Nazaret?”. Pada masa itu, Nazaret terkenal dengan perilaku penduduknya yang
tidak baik. Sepertinya Natanael di sini adalah orang yang selalu melihat ‘jika ada
keluarga/kota yang jahat, maka semuanya dianggap jahat, dan dari kawasan yang jahat
tidak mungkin muncul kebaikan’. Benarkah demikian?Tetapi nampaknya, Filipus tidak mau
masuk ke dalam perdebatan. Adakalanya kita memang harus demikian ketika sedang
melaksanakan pelayanan.
Dalam pengalaman sehari-hari perdebatan lebih sering memunculkan emosi
dan panas hati. Masalah tidak terselesaikan, tetapi malah muncul masalah baru. Langkah
positif yang dilakukan oleh Filipus adalah segera meyakinkan Natanael untuk menemui
Yesus, sehingga ia mengalami perjumpaan pribadi, dan mengenal secara pribadi dengan
Yesus. Ini jelas lebih baik daripada perdebatan.
Filipus berkata, “Mari dan lihatlah!” Melalui kehadiran dan pernyataan Yesus
kita dapat menemukan dua berita penting, yaitu:
Pertama, Yesus berhasil mematahkan gambaran atau cap negatif mengenai
Nazaret. Pada kenyataannya sesuatu yang baik bisa muncul atau keluar dari sana.
Semestinya hal ini menjadi peringatan bagi kita untuk tidak dengan mudahnya gebyah-
uyah suatu hal atau memukul rata setiap masalah.

Kedua, Yesus berhasil meyakinkan Natanael akan siapa jati diri-Nya. Sebenarnya,
tidak terlalu sulit bagi Yesus menghilangkan keragu-raguan setiap orang yang hendak
dipanggil-Nya. Sesungguhnya, keraguan karena ketidaktahuan adalah suatu hal yang wajar.
Tetapi marilah kita belajar untuk tidak menjadikan keraguan itu hambatan atau halangan
di dalam menjawab panggilan Tuhan. Membuka diri bagi panggilan-Nya sama dengan
memberikan kesempatan bagi Dia untuk berkarya dan membuktikan siapa diri-Nya.

Natanael segera menyadari siapa yang sedang berbicara dengan dirinya.


Kesadaran ini menghantarkannya pada sebuah pangakuan iman dengan menyebut Yesus
sebagai Rabi, Anak Allah, Raja orang Israel. Hal ini berarti Natanael telah menerima Yesus
dan mengakui-Nya sebagai Anak Allah. Pengalaman iman secara pribadi di hadapan Tuhan
jauh lebih berarti daripada pemahaman yang berasal dari buku atau orang lain.
Dari bacaan pertama kita melihat bagaimana Allah berinisiatif memanggil
Samuel yang akan dilibatkan untuk melakukan karya-Nya. Panggilan itu diawali dengan
sapaan yang Tuhan sampaikan kepada Samuel di suatu malam. Sapaan penuh wibawa yang
dinyatakan dengan menyebut nama Samuel. Sebanyak 3 kali Tuhan menyapa Samuel (1
Sam. 3:4,6,8), tetapi ia justru lari kepada imam Eli, karena mengira Eli-lah yang
memanggilnya.

Sedikit ironis memang, walaupun Samuel telah cukup waktu berada di Bait Suci,
tetapi ia belum juga mengenal Allah. Hal ini mau membuktikan bahwa banyaknya aktifitas
di Bait Allah tidak bisa menjadi indikator kedekatan seseorang dengan Tuhan. Ketidak-
pekaan Samuel ini juga bisa disebabkan karena minimnya pengajaran atau pemberian
pemahaman dari orang yang ada di sekitarnya (dalam hal ini imam Eli).

Memang tidak mudah memahami panggilan Tuhan, dibutuhkan kepekaan dan


juga pengetahuan tentang memahami Tuhan. Namun, upaya menjawab panggilan Tuhan
dapat didasari semangat mempersembahkan tubuh kepada Allah atau memuliakan Allah
dengan tubuh kita (1 Kor. 6:12-20). Ini dikarenakan kita telah “dibeli” dengan harga yang
lunas lewat darah Kristus. Itulah sebabnya kita menjadi anggota tubuh Kristus. Karena kita
adalah tubuh Kristus, maka Roh Kudus pun berdiam dalam tubuh kita.

Hal ini menegaskan bahwa tubuh kita bukan milik diri kita sendiri lagi, tetapi
milik Tuhan. Karena itu kita diingatkan agar memuliakan Tuhan dengan tubuh kita,
misalnya dengan menjaga tubuh kita agar tidak tercemari dengan hal-hal duniawi seperti
percabulan, kecemaran, hawa nafsu, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, serakah,
mengutamakan kepentingan diri sendiri, percideraaan, kedengkian, dan kemabukan.

Tuhan memanggil kita supaya kita bisa terlibat dalam karya-Nya. Untuk dapat
memahami panggilan Tuhan, dibutuhkan kepekaan dan pemahaman akan karya Tuhan.
Kita bisa menjawab panggilan Tuhan itu dengan mempersembahkan tubuh kita. Kita pakai
kehidupan kita untuk memuliakan nama-Nya…………..

Anda mungkin juga menyukai