Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia

Sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia menunjukkan bahwa para pendiri bangsa, atau
founding fathers, memberikan prioritas pada kepentingan bersama di atas kepentingan
kelompok atau golongan. Sejak awal pergerakan nasional, kesepakatan-kesepakatan tentang
kebangsaan terus berkembang hingga menghasilkan empat konsensus dasar, yaitu Pancasila,
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Proses panjang pembentukan kebangsaan Indonesia didasarkan pada kesepakatan dan
pengakuan terhadap keberagaman, bukan keseragaman. Puncaknya terjadi pada tanggal 17
Agustus 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Peristiwa penting dalam sejarah kebangkitan nasional termasuk pembentukan organisasi
Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang
menghasilkan Sumpah Pemuda, dan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Hari-hari penting dalam peringatan nasional, seperti Hari Kebangkitan Nasional, Hari
Sumpah Pemuda, dan Hari Proklamasi Kemerdekaan, menandai perjalanan panjang menuju
kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia.
Pentingnya konsensus dan komitmen terhadap nilai-nilai dasar seperti Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika terus ditekankan oleh para pemimpin bangsa dari masa ke
masa, memastikan kesatuan dan keberlanjutan ideologi negara.
Wawasan Kebangsaan merupakan sudut pandang yang mendasari cara bangsa Indonesia
mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan ini bersumber dari jati diri bangsa
(nation character) dan kesadaran terhadap sistem nasional yang melibatkan nilai-nilai
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tujuannya adalah mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara, dengan harapan mencapai masyarakat
yang aman, adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai bagian dari pembekalan Latsar CPNS,
pemahaman mengenai Wawasan Kebangsaan dianggap penting agar peserta dapat memiliki
pandangan sebagai warga Negara yang berwawasan kebangsaan.
Empat Konsensus Dasar Berbangsa dan Bernegara, yang melibatkan Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, membentuk fondasi kuat untuk
identitas dan persatuan Indonesia. Pancasila, sebagai ideologi nasional, tidak hanya
menyediakan landasan bagi negara dan bangsa tetapi juga berfungsi sebagai pemandu dan
pemersatu, mencakup nilai-nilai positif yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Undang-
Undang Dasar 1945, melalui perjalanan perumusannya, menegaskan komitmen pada
konstitusionalisme dan paham negara hukum. Bhinneka Tunggal Ika, yang terinspirasi dari
sejarah Majapahit dan diadopsi sebagai semboyan nasional, mencerminkan semangat
persatuan dalam keragaman. Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang lahir dari
Proklamasi Kemerdekaan, memiliki tujuan melindungi bangsa, memajukan kesejahteraan,
mencerdaskan kehidupan, dan berkontribusi pada ketertiban dunia. Bendera, bahasa, lambang
negara, dan lagu kebangsaan adalah simbol-simbol yang merepresentasikan identitas dan
kedaulatan negara.
Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila,
dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya bukan sekadar simbol, melainkan juga mencerminkan
jati diri dan identitas kuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masing-masing simbol,
seperti bendera yang melibatkan sejarah Proklamasi Kemerdekaan, bahasa Indonesia sebagai
alat pemersatu, lambang negara yang mengekspresikan keberagaman, dan lagu kebangsaan
yang menggambarkan semangat kebangsaan, menciptakan identitas yang mencerminkan
kemandirian dan eksistensi Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Simbol-
simbol ini juga memiliki peran penting dalam tata pergaulan internasional, menjadi cerminan
kedaulatan dan kehormatan Indonesia di mata dunia. Pengakuan dan penghormatan terhadap
simbol-simbol tersebut menjadi bukti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia diakui dan
dihormati oleh komunitas internasional. Bahasa Indonesia, dengan perkembangannya sebagai
bahasa perhubungan luas, mencerminkan daya tarik dan kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Evaluasi
Urgensi ASN Berwawasan Kebangsaan: ASN (Aparatur Sipil Negara) yang memiliki
wawasan kebangsaan merupakan hal yang sangat penting dalam konteks tugas dan tanggung
jawab mereka sebagai pelayan masyarakat. Wawasan kebangsaan memungkinkan ASN
memahami nilai-nilai dasar, ideologi, dan tujuan negara, termasuk prinsip-prinsip Pancasila.
Hal ini esensial untuk menjalankan tugasnya dengan baik, konsisten dengan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat, serta mendukung pembangunan nasional. ASN yang memiliki
wawasan kebangsaan juga mampu berkontribusi dalam menciptakan iklim kerja yang
harmonis dan bersatu, yang pada gilirannya dapat memperkuat kesatuan dan integritas
bangsa.
Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia
dimulai dari periode kolonial di mana rakyat Indonesia mengalami penjajahan oleh bangsa
asing, terutama Belanda. Pergerakan ini mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945,
ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Perjuangan untuk meraih kemerdekaan melibatkan berbagai organisasi, tokoh, dan massa
rakyat yang gigih melawan penjajah. Setelah proklamasi, Indonesia terus berupaya
membangun dan mengokohkan kemerdekaannya melalui berbagai tantangan politik dan
sosial. Sejarah pergerakan kebangsaan ini menandai semangat persatuan, kemandirian, dan
perjuangan untuk mencapai cita-cita sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Relevansi 4 Konsensus Dasar dan Profesionalitas ASN: Keempat konsensus dasar
berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika) memiliki
relevansi yang besar dalam mewujudkan profesionalitas ASN. Pancasila sebagai ideologi
negara memberikan landasan nilai dan moral bagi ASN dalam menjalankan tugasnya. UUD
1945 sebagai dasar hukum negara mengatur kewenangan dan tanggung jawab ASN secara
spesifik. NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika menegaskan kesatuan dan keragaman Indonesia,
yang perlu dihayati oleh ASN dalam melayani masyarakat yang beragam. Memahami dan
menginternalisasi konsensus dasar ini akan membentuk ASN yang tidak hanya profesional
dalam tugas administratif, tetapi juga yang mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dalam
pelayanan kepada masyarakat.

Sejarah Bela Negara


Pada 18 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II yang berhasil menguasai
Ibukota Yogyakarta dan menawan Soekarno-Hatta. Namun, hal ini tidak meruntuhkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan
dilaksanakan melalui hard power (perang gerilya) dan soft power (pemerintahan darurat) di
Kota Bukittinggi.
Agresi Militer Belanda II dimulai dengan Operasi Kraai, penyerbuan terhadap wilayah
Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk Ibukota RI, Yogyakarta. Meskipun Belanda
menyebutnya sebagai "Aksi Polisional," Indonesia melawan dengan perang gerilya dan
pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera.
Pada 19 Desember 1948, Wakil Presiden mengajurkan perang gerilya melalui siaran radio,
dan Panglima Besar Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat No.1. Setelah Yogyakarta jatuh,
PDRI dibentuk, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Namun, pada akhirnya, Belanda
terjepit dan terpaksa berunding.
Perjanjian Roem-Royen dihasilkan, tetapi tokoh PDRI seperti Jenderal Soedirman meragukan
kelayakan tahanan berunding. Meskipun demikian, Prawiranegara mendukung perjanjian
tersebut. Setelah perjanjian, PDRI dan Kabinet Hatta berunding, dan pada 13 Juli 1949,
Syafruddin Prawiranegara secara resmi mengembalikan mandatnya.
Tanggal 19 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Bela Negara oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 18 Desember 2006, untuk memperingati pembentukan PDRI dan
mendorong semangat bela negara
Ancaman dalam era reformasi diartikan sebagai kondisi, tindakan, atau potensi, baik alamiah
maupun hasil rekayasa, yang dapat membahayakan tatanan dan kelangsungan hidup bangsa
dan negara. Ancaman bisa bersifat fisik atau non-fisik, berasal dari dalam atau luar negeri,
serta dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Ancaman mencakup segala usaha dan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan
dapat mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Peran
kementerian/lembaga negara menjadi dominan dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman,
dan sinergitas antar mereka dengan pola kerja lintas sektoral diperlukan.
Konflik kepentingan, baik di tingkat personal hingga nasional, dapat melahirkan berbagai
bentuk ancaman. Kesadaran bela negara diperlukan untuk mencegah potensi ancaman
menjadi nyata.
Kewaspadaan dini dalam konteks kesehatan masyarakat diterapkan melalui Sistem
Kewaspadaan Dini KLB. Dalam pertahanan negara, kewaspadaan dini dikembangkan untuk
mendukung sinergisme antara pertahanan militer dan nirmiliter guna menciptakan kepekaan,
kesiagaan, dan antisipasi warga negara terhadap potensi ancaman.
Dalam otonomi daerah, kewaspadaan dini dilakukan untuk meningkatkan pendeteksian dan
pencegahan dini terhadap berbagai potensi ancaman, termasuk konflik sosial. Kesadaran dan
laporcepat (Tepat Lapat) menjadi penting dalam implementasi kewaspadaan dini, dengan
melibatkan unsur 5W+1H (When, What, Why, Who, Where, dan How).
Kesimpulannya, kewaspadaan dini adalah tanggung jawab setiap warga negara untuk
mengantisipasi dan melawan potensi ancaman, termasuk melalui kepedulian terhadap
lingkungan, kepekaan terhadap gejala mencurigakan, dan kesiagaan terhadap berbagai
potensi ancaman
Bela Negara adalah tekad, sikap, perilaku, dan tindakan warga negara, baik secara individu
maupun kolektif, dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan
bangsa. Hal ini didasari oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bela Negara menjadi upaya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan
negara dari berbagai ancaman.
Secara ontologis, bela Negara merupakan tekad, sikap, perilaku, dan tindakan warga negara.
Secara epistemologis, fakta sejarah membuktikan bahwa bela Negara mampu menjaga
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Sementara secara aksiologis,
bela Negara diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dari berbagai
ancaman.
Konsep bela Negara merupakan implementasi dari teori kontrak sosial atau perjanjian sosial
tentang terbentuknya negara. Negara hadir untuk melindungi hak dan kewajiban warga
negara, mencegah konflik kepentingan, dan menciptakan hubungan harmonis dalam
masyarakat. Bela Negara menciptakan saling ketergantungan antara negara dan warga negara.
Nilai dasar bela Negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019, melibatkan
cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, setia pada Pancasila, rela berkorban
untuk bangsa dan negara, serta kemampuan awal bela Negara. Nilai-nilai ini tidak hanya
bersifat historis, tetapi juga relevan dalam menghadapi ancaman zaman modern.
Kesadaran bela Negara tumbuh dari cinta pada Tanah Air Indonesia, yang kaya akan sumber
daya alam dan indah. Kesadaran ini mendorong tekad untuk menjamin kelangsungan hidup
bangsa Indonesia dari berbagai ancaman. Sadar menjadi bagian dari bangsa dan Negara
mendorong pada sikap dan perilaku yang patuh pada hukum dan norma yang berlaku.
Kesetiaan pada Pancasila sebagai ideologi Negara dianggap penting untuk mempersatukan
bangsa yang majemuk. Pancasila menjadi landasan idiil dalam penyelenggaraan Negara dan
menjadikan dasar berpikir, bersikap, dan bertindak bagi seluruh warga Negara.
Kerelaan berkorban untuk bangsa dan Negara menjadi nilai dasar berikutnya. Tanpa
keinginan untuk berkorban, negeri ini akan mengalami stagnasi. Kesadaran ini perlu
diaktualisasikan melalui aksi dan tindakan nyata, yang juga mencakup kemampuan awal bela
Negara. Kemampuan ini tidak hanya bersifat sempit namun juga melibatkan kompetensi
masing-masing warga negara dalam menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah.
Pembinaan Kesadaran Bela Negara di lingkup pekerjaan, khususnya bagi Aparatur Sipil
Negara (ASN), melibatkan serangkaian usaha, tindakan, dan kegiatan. Pembinaan ini
bertujuan untuk menumbuhkan sikap, perilaku, dan nilai dasar Bela Negara. Lingkup
pekerjaan yang dicakup melibatkan berbagai sektor, termasuk lembaga negara,
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah, Tentara Nasional
Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan badan lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Indikator nilai dasar Bela Negara untuk ASN dapat diukur melalui beberapa aspek:
1. Cinta Tanah Air:
2. Sadar Berbangsa dan Bernegara:
3. Setia pada Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa:
4. Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara:
5. Kemampuan Awal Bela Negara:
Evaluasi
Menurut anda, Apakah nilai- nilai dasar bela negara masih relevan saat ini ?
Ya, nilai-nilai dasar Bela Negara seperti cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara,
setia pada Pancasila, rela berkorban untuk bangsa dan negara, serta kemampuan awal Bela
Negara tetap relevan saat ini. Meskipun konteks dan dinamika masyarakat berubah seiring
waktu, nilai-nilai tersebut memberikan landasan yang kuat bagi kesatuan dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan
bernegara, serta setia pada Pancasila tetap menjadi pilar integrasi sosial dan identitas
nasional. Sementara rela berkorban dan kemampuan awal Bela Negara mencerminkan
kesiapan warga negara dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Jelaskan menurut pendapat anda, ancaman yang paling mungkin terjadi saat ini dan
mengancam eksistensi NKRI ?
Ancaman terhadap eksistensi NKRI dapat berasal dari berbagai sumber. Namun, beberapa
ancaman yang mungkin terjadi saat ini antara lain:
Ancaman Keamanan dan Pertahanan:
Terorisme: Keberadaan kelompok teroris yang ingin merusak stabilitas dan menyebabkan
ketakutan.
Konflik Separatis: Potensi konflik di daerah-daerah yang menginginkan otonomi atau
pemisahan dari NKRI.
Ancaman Keamanan Siber:
Serangan Siber: Potensi serangan siber terhadap infrastruktur kritis dan keamanan informasi
negara.
Ancaman Lingkungan dan Bencana Alam:
Perubahan Iklim: Dampak perubahan iklim dapat menimbulkan bencana alam yang
merugikan.
Bencana Alam: Gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, dll., dapat mengancam
keberlanjutan NKRI.
Ancaman Sosial dan Politik:
Konflik Sosial: Ketegangan antar etnis, agama, atau kelompok sosial yang dapat
mengakibatkan konflik.
Krisis Politik: Instabilitas politik yang dapat mengganggu tatanan pemerintahan.
Penting untuk dicatat bahwa penilaian terhadap ancaman ini bersifat dinamis dan dapat
berubah seiring waktu. Langkah-langkah preventif, perbaikan kapasitas pertahanan, dan
penguatan dalam berbagai sektor menjadi kunci untuk mengatasi potensi ancaman terhadap
eksistensi NKRI. Kesadaran Bela Negara dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga
keutuhan negara juga menjadi faktor penting dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut.

Perspektif Sejarah Negara Indonesia


Pancasila sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945, merupakan dasar negara Republik Indonesia, baik dalam arti sebagai dasar
ideologi maupun filosofi bangsa. Kedudukan Pancasila ini dipertegas dalam UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara. Artinya, setiap materi muatan kebijakan negara, termasuk UUD 1945,
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dari sudut
hukum, UUD 1945, merupakan tataran pertama dan utama dari penjabaran lima norma dasar
negara (ground norms) Pancasila beserta normanorma dasar lainnya yang termuat dalam
Pembukaan UUD 1945, menjadi norma hukum yang memberi kerangka dasar hukum sistem
penyelengagaran negara pada umumnya, atau khususnya sistem penyelenggaraan negara
yang mencakup aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan, dan aspek sumber daya
manusianya. Konstitusi atau UUD, yang bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia disebut
UUD 1945 hasil Amandemen I, II, III dan IV terakhir pada tahun 2002 (UUD 1945)
merupakan hukum dasar tertulis dan sumber hukum tertinggi dalam hierarkhi peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia. Atas dasar itu, penyelenggaraan negara harus
dilakukan untuk disesuaikan dengan arah dan kebijakan penyelenggaraan negara yang
berlandaskan Pancasila dan konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
sebagai dokumen yang ditempatkan di bagian depan UUD 1945, merupakan tempat
dicanangkannya berbagai norma dasar yang melatar belakangi, kandungan cita-cita luhur dari
Pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak akan
berubah atau dirubah, merupakan dasar dan sumber hukum bagi Batang-tubuh UUD 1945
maupun bagi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia apapun yang akan atau
mungkin dibuat. Normanorma dasar yang merupakan cita-cita luhur bagi Republik Indonesia
dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara tersebut dapat ditelusur pada Pembukaan
UUD 1945 tersebut yang terdiri dari empat (4) alinea. Dari sudut hukum, batang tubuh UUD
1945 merupakan tataran pertama dan utama dari penjabaran 5 (lima) norma dasar negara
(ground norms) Pancasila beserta norma-norma dasar lainnya yang termuat dalam
Pembukaan UUD 1945, menjadi norma hukum yang memberi kerangka dasar hukum sistem
administrasi negara Republik Indonesia pada umumnya, atau khususnya sistem
penyelenggaraan 58 pemerintahan negara yang mencakup aspek kelembagaan, aspek
ketatalaksanaan, dan aspek sumber daya manusianya.
EVALUASI
1. Kedudukan Pancasila dalam Konteks Penyelenggaraan Negara Indonesia:
Pancasila memiliki kedudukan sebagai dasar negara dalam penyelenggaraan negara
Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila menjadi
ideologi negara yang mengakar pada nilai-nilai gotong royong, keadilan sosial,
demokrasi, ketuhanan yang maha esa, dan supremasi hukum. Pancasila bukan hanya
sebagai ideologi, tetapi juga sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Pemerintah,
lembaga negara, dan warga negara diharapkan menerapkan dan memegang teguh
nilai-nilai Pancasila dalam segala aspek kehidupan.
2. Kedudukan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: UUD 1945 memiliki
kedudukan sebagai konstitusi tertinggi dan dasar hukum negara Indonesia. UUD 1945
menetapkan prinsip-prinsip dasar negara, susunan dan fungsi lembaga-lembaga
negara, serta hak dan kewajiban warga negara. Sebagai konstitusi tertulis, UUD 1945
bersifat ketat dan hanya dapat diubah melalui mekanisme perubahan konstitusi yang
diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
3. Nilai-nilai dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Pembukaan UUD 1945 mencantumkan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan negara
Indonesia. Beberapa nilai tersebut antara lain:
 Ketuhanan Yang Maha Esa: Pengakuan akan adanya Tuhan sebagai dasar
segala kehidupan.
 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, dan peradaban.
 Persatuan Indonesia: Menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia.
 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan: Menegaskan prinsip demokrasi dengan
musyawarah dan perwakilan sebagai dasar penyelenggaraan negara.
4. Kedudukan Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Batang tubuh UUD 1945 merupakan inti dari konstitusi tersebut. Batang tubuh ini
memuat berbagai pasal yang mengatur tentang struktur, fungsi, dan kewenangan
lembaga-lembaga negara, hak dan kewajiban warga negara, serta asas-asas hukum
yang mengatur kehidupan bernegara di Indonesia.
5. Kedudukan dan Peran ASN dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan
Bangsa Indonesia: Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran penting dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. ASN diharapkan menjadi
agen pembangunan yang profesional, netral, dan berkomitmen pada prinsip-prinsip
Pancasila. Tugas ASN meliputi pelayanan kepada masyarakat, pelaksanaan kebijakan
pemerintah, serta menjaga integritas dan netralitas dalam menjalankan tugasnya.
Dengan demikian, ASN dapat menjadi tulang punggung dalam menciptakan stabilitas
dan persatuan dalam keberagaman Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai