I. Berorientasi Pelayanan
A. Konsep Pelayanan Publik
1. Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan Publik adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum
lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Dalam batasan pengertian tersebut, jelas bahwa Aparatur Sipil
Negara (ASN) adalah salah satu dari penyelenggara pelayanan
publik, yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang
menyatakan bahwa salah satu fungsi ASN adalah sebagai pelayan
publik.
Terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik khususnya
dalam konteks ASN, yaitu 1) penyelenggara pelayanan publik yaitu
ASN/Birokrasi, 2) penerima layanan yaitu masyarakat,
stakeholders, atau sektor privat, dan 3) kepuasan yang diberikan
dan/atau diterima oleh penerima layanan.
2. Membangun Budaya Pelayanan Prima
Keberhasilan pelayanan publik akan bermuara pada
kepercayaan masyarakat sebagai subjek pelayanan publik.
Peningkatan kualitas pelayanan publik adalah suatu proses yang
secara terus-menerus guna mewujudkan konsep good governance
yang menjadi dambaan masyarakat sebagai pemegang hak utama
atas pelayanan publik.
Meningkatkan kualitas pelayanan publik tentunya tidak lepas
dari strategi pelaksanaan kebijakan pelayanan publik. Berkaitan
dengan hal tersebut, Kementerian PANRB telah melahirkan
beberapa produk kebijakan pelayanan publik sebagai wujud
pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, diantaranya adalah:
a) penerapan Standar Pelayanan dan Maklumat Pelayanan;
b) tindak lanjut dan upaya perbaikan melalui kegiatan Survei
Kepuasan Masyarakat;
c) profesionalisme SDM;
d) pengembangan Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP)
untuk memberikan akses yang seluas-luasnya kepada
masyarakat;
e) mendorong integrasi layanan publik dalam satu gedung melalui
Mal Pelayanan Publik;
f) merealisasikan kebijakan “no wrong door policy” melalui Sistem
Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N-
LAPOR!);
g) penilaian kinerja unit penyelenggara pelayanan publik melalui
Evaluasi Pelayanan Publik sehingga diperoleh gambaran
tentang kondisi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik
untuk kemudian dilakukan perbaikan; h. kegiatan dialog, diskusi
pertukaran opini secara partisipatif antara penyelenggara
layanan publik dengan masyarakat untuk membahas
rancangan kebijakan, penerapan kebijakan, dampak kebijakan,
ataupun permasalahan terkait pelayanan publik melalui
kegiatan Forum Konsultasi Publik; dan
h) terobosan perbaikan pelayanan publik melalui Inovasi
Pelayanan Publik.
3. ASN sebagai Pelayanan Publik
Pasal 34 UU Pelayanan Publik juga secara jelas mengatur
mengenai bagaimana perilaku pelaksana pelayanan publik,
termasuk ASN, dalam menyelenggarakan pelayanan publik, yaitu:
a) adil dan tidak diskriminatif;
b) cermat;
c) santun dan ramah;
d) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
e) profesional;
f) tidak mempersulit;
g) patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h) menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara;
i) tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib
dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari
benturan kepentingan;
k) tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas
pelayanan publik;
l) tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan
dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam
memenuhi kepentingan masyarakat;
m) tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau
kewenangan yang dimiliki;
n) sesuai dengan kepantasan; dan
o) tidak menyimpang dari prosedur.
4. Nilai Berorientasi Pelayanan dalam Core values ASN
Presiden Joko Widodo meluncurkan Core Values dan Employer
Branding ASN tersebut, yang bertepatan dengan Hari Jadi
Kementerian PANRB ke-62. Core Values ASN yang diluncurkan
yaitu ASN BerAKHLAK yang merupakan akronim dari Berorientasi
Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif,
Kolaboratif. Core Values tersebut seharusnya dapat dipahami dan
dimaknai sepenuhnya oleh seluruh ASN serta dapat
diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas dan kehidupan
sehari-hari. Oleh karena tugas pelayanan publik yang sangat erat
kaitannya dengan pegawai ASN, sangatlah penting untuk
memastikan bahwa ASN mengedepankan nilai Berorientasi
Pelayanan dalam pelaksanaan tugasnya, dimaknai bahwa setiap
ASN harus berkomitmen memberikan pelayanan prima demi
kepuasan masyarakat.
B. Berorientasi Pelayanan
1. Panduan Perilaku Berorientasi Pelayanan
Berikut ini akan mengulas mengenai panduan perilaku/kode etik
dari nilai Berorientasi Pelayanan sebagai pedoman bagi para ASN
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, yaitu:
a. Memahami dan Memenuhi Kebutuhan Masyarakat
Nilai Dasar ASN yang dapat diwujudkan dengan panduan
perilaku Berorientasi Pelayanan yang pertama ini diantaranya:
1) mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia;
2) menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak;
3) membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; dan
4) menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama.
b. Ramah, Cekatan, Solutif, dan Dapat Diandalkan
Nilai Dasar ASN yang dapat diwujudkan dengan panduan
perilaku Berorientasi Pelayanan yang kedua ini diantaranya:
1) memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur;
2) memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan
program pemerintah; dan
3) memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap,
cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun
c. Melakukan Perbaikan Tiada Henti
Nilai Dasar ASN yang dapat diwujudkan dengan panduan
perilaku Berorientasi Pelayanan yang ketiga ini diantaranya:
1) mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada
publik; dan
2) mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja
pegawai.
II. Akuntabel
Akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas atau
tanggung jawab. Namun pada dasarnya, kedua konsep tersebut memiliki
arti yang berbeda. Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung
jawab, sedangkan akuntabilitas adalah kewajiban pertanggungjawaban
yang harus dicapai.
Aspek - Aspek akuntabilitas mencakup beberapa hal berikut yaitu
akuntabilitas adalah sebuah hubungan, akuntabilitas berorientasi pada
hasil, akuntabilitas membutuhkan adanya laporan, akuntabilitas
memerlukan konsekuensi, serta akuntabilitas memperbaiki kinerja.
Akuntabilitas publik memiliki tiga fungsi utama (Bovens, 2007),
yaitu pertama, untuk menyediakan kontrol demokratis (peran demokrasi);
kedua, untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (peran
konstitusional); ketiga, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
(peran belajar). Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu:
akuntabilitas vertical (vertical accountability), dan akuntabilitas horizontal
(horizontal accountability). Akuntabilitas memiliki 5 tingkatan yang
berbeda yaitu akuntabilitas personal, akuntabilitas individu, akuntabilitas
kelompok, akuntabilitas organisasi, dan akuntabilitas stakeholder.
Akuntabilitas dan Integritas banyak dinyatakan oleh banyak ahli
administrasi negara sebagai dua aspek yang sangat mendasar harus
dimiliki dari seorang pelayan publik. Namun, integritas memiliki
keutamaan sebagai dasar seorang pelayan publik untuk dapat berpikir
secara akuntabel. Kejujuran adalah nilai paling dasar dalam membangun
kepercayaan publik terhadap amanah yang diembankan kepada setiap
pegawai atau pejabat negara.
Setiap organisasi memiliki mekanisme akuntabilitas tersendiri.
Mekanisme ini dapat diartikan secara berbeda-beda dari setiap anggota
organisasi
hingga membentuk perilaku yang berbeda-beda pula. Contoh
mekanisme akuntabilitas organisasi, antara lain sistem penilaian kinerja,
sistem akuntansi, sistem akreditasi, dan sistem pengawasan (CCTV,
finger prints, ataupun software untuk memonitor pegawai menggunakan
komputer atau website yang dikunjungi).
Hal-hal yang penting diperhatikan dalam membangun lingkungan
kerja yang akuntabel adalah: 1) kepemimpinan, 2) transparansi, 3)
integritas, 4)
tanggung jawab (responsibilitas), 5) keadilan, 6) kepercayaan, 7)
keseimbangan,
8) kejelasan, dan 9) konsistensi. Untuk memenuhi terwujudnya
organisasi sektor publik yang akuntabel, maka mekanisme akuntabilitas
harus mengandung 3 dimensi yaitu Akuntabilitas kejujuran dan hukum,
Akuntabilitas proses, Akuntabilitas program, dan Akuntabilitas kebijakan.
Pengelolaan konflik kepentingan dan kebijakan gratifikasi dapat
membantu pembangunan budaya akuntabel dan integritas di lingkungan
kerja. Akuntabilias dan integritas dapat menjadi faktor yang kuat dalam
membangun pola pikir dan budaya antikorupsi.
III. Kompeten
Prinsip pengelolaan ASN yaitu berbasis merit, yakni seluruh
aspek pengelolaan ASN harus memenuhi kesesuaian kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja, termasuk tidak boleh ada perlakuan yang
diskriminatif, seperti hubungan agama, kesukuan atau aspek-aspek
primodial lainnya yang bersifat subyektif.
Pembangunan Apartur sesuai Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, diharapkan menghasilkan
karakter birokrasi yang berkelas dunia (world class bureaucracy), yang
dicirikan dengan beberapa hal, yaitu pelayanan publik yang semakin
berkualitas dan tata kelola yang semakin efektif dan efisien.
Terdapat 8 (delapan) karakateristik yang dianggap relevan bagi
ASN dalam menghadapi tuntutan pekerjaan saat ini dan kedepan.
Kedelapan karakterisktik tersebut meliputi: integritas, nasionalisme,
profesionalisme,
wawasan global, IT dan Bahasa asing, hospitality, networking, dan
entrepreneurship.
Konsepsi kompetensi adalah meliputi tiga aspek penting berkaitan
dengan perilaku kompetensi meliputi aspek pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Sesuai Peraturan Menteri PANRB Nomor 38 Tahun 2017 tentang
Standar Kompetensi ASN, kompetensi meliputi: 1) Kompetensi Teknis
adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan
bidang teknis jabatan; 2) Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur,
dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi; dan
3) Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan, dan
sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait
dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam
hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika,
nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap
pemegang Jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran,
fungsi dan Jabatan.
Pendekatan pengembangan dapat dilakukan dengan klasikal dan
non- klasikal, baik untuk kompetensi teknis, manajerial, dan sosial
kultural. Dalam menentukan pendekatan pengembangan talenta ASN
ditentukan dengan peta nine box pengembangan, dimana kebutuhan
pengembangan pegawai, sesuai dengan hasil pemetaan pegawai dalam
nine box tersebut.
IV. Harmonis
Pola Harmoni merupakan sebuah usaha untuk mempertemukan
berbagai pertentangan dalam masyarakat. Hal ini diterapkan pada
hubungan-hubungan sosial ekonomi untuk menunjukkan bahwa
kebijaksanaan sosial ekonomi yang paling sempurna hanya dapat
tercapai dengan meningkatkan permusyawaratan antara anggota
masyarakat. Pola ini juga disebut sebagai pola integrasi. Kode etik ASN
dalam mewujudkan suasana harmonis berdasarkan pasal 5 UU Nomor 5
Tahun 2014 antara lain meliputi:
a) Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan
berintegritas tinggi;
b) Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin;
c) Melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan;
d) Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan;
e) Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat
yang Berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan dan etika pemerintahan;
f) Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara;
g) Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara
bertanggung jawab, efektif, dan efisien;
h) Menjaga agar tidak terjadi disharmonis kepentingan dalam
melaksanakan tugasnya
i) Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada
pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan.
V. Loyal
Secara etimologis, istilah “loyal” diadaptasi dari bahasa Prancis
yaitu
“Loial” yang artinya mutu dari sikap setia. Bagi seorang Pegawai Negeri
Sipil, kata loyal dapat dimaknai sebagai kesetiaan, paling tidak terhadap
cita-cita organisasi, dan lebih-lebih kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Terdapat beberapa ciri/karakteristik yang dapat
digunakan oleh organisasi untuk mengukur loyalitas pegawainya, antara
lain:
1) Taat pada Peraturan.
2) Bekerja dengan Integritas
3) Tanggung Jawab pada Organisasi
4) Kemauan untuk Bekerja Sama.
5) Rasa Memiliki yang Tinggi
6) Hubungan Antar Pribadi
7) Kesukaan Terhadap Pekerjaan
8) Keberanian Mengutarakan Ketidaksetujuan
9) Menjadi teladan bagi Pegawai lain.
Loyal, merupakan salah satu nilai yang terdapat dalam Core
Values ASN yang dimaknai bahwa setiap ASN harus berdedikasi dan
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dengan panduan
perilaku:
1) Memegang teguh ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, setia kepada NKRI serta
pemerintahan yang sah
2) Menjaga nama baik sesama ASN, pimpinan instansi dan negara; serta
3) Menjaga rahasia jabatan dan negara.
VI. Adaftif
Adaptasi merupakan kemampuan alamiah dari makhluk hidup.
Organisasi
dan individu di dalamnya memiliki kebutuhan beradaptasi selayaknya
makhluk hidup, untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Kemampuan beradaptasi juga memerlukan adanya inovasi dan
kreativitas yang ditumbuhkembangkan dalam diri individu maupun
organisasi. Di dalamnya dibedakan mengenai bagaimana individu dalam
organisasi dapat berpikir kritis versus berpikir kreatif.
Pada level organisasi, karakter adaptif diperlukan untuk
memastikan keberlangsungan organisasi dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Penerapan budaya adaptif dalam organisasi memerlukan
beberapa hal, seperti di antaranya tujuan organisasi, tingkat
kepercayaan, perilaku tanggung jawab, unsur
kepemimpinan dan lainnya. Dan budaya adaptif sebagai budaya ASN
merupakan kampanye untuk membangun karakter adaptif pada diri ASN
sebagai individu yang menggerakkan organisasi untuk mencapai
tujuannya.
Perilaku adaptif merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam
mencapai tujuan – baik individu maupun organisasi – dalam situasi apa
pun. Salah satu tantangan membangun atau mewujudkan individua dan
organisasi adaptif tersebut adalah situasi VUCA (Volatility, Uncertainty,
Complexity, dan Ambiguity). Hadapi Volatility dengan Vision, hadapi
uncertainty dengan understanding, hadapi complexity dengan clarity,
dan hadapi ambiguity dengan agility.
Organisasi adaptif yaitu organisasi yang memiliki kemampuan
untuk merespon perubahan lingkungan dan mengikuti harapan
stakeholder dengan cepat dan fleksibel. Budaya organisasi merupakan
faktor yang sangat penting di dalam organisasi sehingga efektivitas
organisasi dapat ditingkatkan dengan menciptakan budaya yang tepat
dan dapat mendukung tercapainya tujuan organisasi. Bila budaya
organisasi telah disepakati sebagai sebuah strategi perusahaan maka
budaya organisasi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kinerja.
Dengan adanya pemberdayaan budaya organisasi selain akan
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Grindle menggabungkan dua konsep untuk mengukur bagaimana
pengembangan kapasitas pemerintah adaptif dengan indicator-indikator
sebagai berikut: (a) Pengembangan sumber daya manusia adaptif; (b)
Penguatan organisasi adaptif dan (c) Pembaharuan institusional adaptif.
Terkait membangun organisasi pemerintah yang adaptif, Neo & Chan
telah berbagi pengalaman bagaimana Pemerintah Singapura
menghadapi perubahan yang terjadi di berbagai sektornya, mereka
menyebutnya dengan istilah dynamic governance. Menurut Neo & Chen,
terdapat tiga kemampuan kognitif proses pembelajaran fundamental
untuk pemerintahan dinamis yaitu berpikir ke depan (think ahead),
berpikir lagi (think again) dan berpikir lintas (think across).
Selanjutnya, Liisa Välikangas (2010) memperkenalkan istilah
yang berbeda untuk pemerintah yang adaptif yakni dengan sebutan
pemerintah yang tangguh (resilient organization). Pembangunan
organisasi yang tangguh
menyangkut lima dimensi yang membuat organisasi kuat dan imajinatif:
kecerdasan organisasi, sumber daya, desain, adaptasi, dan budaya
(atau sisu, kata Finlandia yang menunjukkan keuletan.
VII. Kolaboratif
Collaborative governance dalam artian sempit merupakan kelompok
aktor dan fungsi. Ansell dan Gash A (2007:559), menyatakan
Collaborative governance mencakup kemitraan institusi pemerintah
untuk pelayanan publik. Sebuah pendekatan pengambilan keputusan,
tata kelola kolaboratif, serangkaian aktivitas bersama di mana mitra
saling menghasilkan tujuan dan strategi dan berbagi tanggung jawab dan
sumber daya (Davies Althea L Rehema M. White, 2012). Kolaborasi juga
sering dikatakan meliputi segala aspek pengambilan keputusan,
implementasi sampai evaluasi. Berbeda dengan bentuk kolaborasi
lainnya atau interaksi stakeholders bahwa organisasi lain dan individu
berperan sebagai bagian strategi kebijakan, collaborative governance
menekankan semua aspek yang memiliki kepentingan dalam kebijakan
membuat persetujuan bersama dengan “berbagi kekuatan”. (Taylo Brent
and Rob C. de Loe, 2012).
Keberhasilan dalam kolaborasi antar lembaga pemerintah adalah
kepercayaan, pembagian kekuasaan, gaya kepemimpinan, strategi
manajemen dan formalisasi pada pencapaian kolaborasi yang efisien
dan efektif antara entitas public. keberhasilan dalam kolaborasi antar
lembaga pemerintah adalah kepercayaan, pembagian kekuasaan, gaya
kepemimpinan, strategi manajemen dan formalisasi pada pencapaian
kolaborasi yang efisien dan efektif antara entitas public.
AGENDA III
I. SMART ASN
A. Literasi Digital
Literasi digital berperan penting untuk meningkatkan kemampuan
kognitif sumber daya manusia di Indonesia agar keterampilannya
tidak sebatas mengoperasikan gawai. Kerangka kerja literasi digital
terdiri dari kurikulum digital skill, digital safety, digital culture, dan
digital ethics. Kerangka kurikulum literasi digital ini digunakan sebagai
metode pengukuran tingkat kompetensi kognitif dan afektif
masyarakat dalam menguasai teknologi digital. Guna mendukung
percepatan transformasi digital, ada 5 langkah yang harus dijalankan,
yaitu:
1) Perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital.
2) Persiapkan betul roadmap transportasi digital di sektorsektor
strategis, baik di pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial,
sektor pendidikan, sektor kesehatan, perdagangan, sektor
industri, sektor penyiaran.
3) Percepat integrasi Pusat Data Nasional sebagaimana sudah
dibicarakan.
4) Persiapkan kebutuhan SDM talenta digital.
5) Persiapan terkait dengan regulasi, skema-skema pendanaan dan
pembiayaan transformasi digital dilakukan secepat-cepatnya.