1. Bendera
Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Bendera Negara adalah Sang Merah Putih. Bendera Negara Sang Merah Putih
berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari
panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih
yang kedua bagiannya berukuran sama. Bendera Negara yang dikibarkan pada
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan
Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah
Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di
Monumen Nasional Jakarta.
2. Bahasa
Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakandi seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia yang dinyatakan
sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang
dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
3. Lambang Negara
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika. Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila
yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang
digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Garuda dengan perisai
sebagaimana dimaksud dalam memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang
mewujudkan lambang tenaga pembangunan. Garuda memiliki sayap yang
masing- masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher
berbulu 45.
4. Lagu Kebangsaan
Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya. Lagu Kebangsaan adalah
Indonesia Raya yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman.
AGENDA II
I. Berorientasi Pelayanan
Pelayanan publik yang berkualitas harus berorientasi kepada pemenuhan
kepuasan pengguna layanan. Apabila dikaitkan dengan tugas ASN dalam melayani
masyarakat, pelayanan yang berorientasi pada customer satisfaction adalah wujud
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat atau dikenal dengan sebutan pelayanan
prima.
Budaya pelayanan oleh ASN akan sangat menentukan kualitas pemberian
layanan kepada masyarakat. Menurut Djamaluddin Ancok dkk. (2014), budaya
pelayanan yang baik juga tentu akan berdampak positif terhadap kinerja organisasi
dengan mekanisme.
Keberhasilan pelayanan publik akan bermuara pada kepercayaan masyarakat
sebagai subjek pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan publik adalah suatu
proses yang secara terus-menerus guna mewujudkan konsep good governance yang
menjadi dambaan masyarakat sebagai pemegang hak utama atas pelayanan publik.
Untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945, pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas
pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas
pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam
rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan
kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan
Dalam mengimplementasikan budaya berorientasi pelayanan, ASN perlu
memahami mengenai beberapa hal fundamental mengenai pelayanan publik, antara lain:
a) Pelayanan publik merupakan hak warga negara sebagai amanat konstitusi.
b) Pelayanan publik diselenggarakan dengan pajak yang dibayar oleh warga negara.
c) Pelayanan publik diselenggarakan dengan tujuan untuk mencapai hal-hal yang
strategis bagi kemajuan bangsa di masa yang akan dating.
d) Fungsi pelayanan publik tidak hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warga
negara sebagai manusia, akan tetapi juga berfungsi untuk memberikan
perlindungan bagi warga negara (proteksi).
a. Nilai Dasar ASN yang dapat diwujudkan dengan panduan perilaku Berorientasi
Pelayanan yang pertama ini diantaranya:
1) mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia;
2) menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak;
3) membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; dan
4) menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama.
Untuk dapat memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat (customer
needs) sebagai salah satu unsur penting dalam terciptanya suatu pelayanan publik,
terlebih dahulu kita melihat pengertian Masyarakat atau publik sebagai penerima
layanan.
b. Ramah, cekatan, solutif, dan dapat diandalkan;
Adapun beberapa Nilai Dasar ASN yang dapat diwujudkan dengan panduan
perilaku Berorientasi Pelayanan yang kedua ini diantaranya:
1) memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang
luhur;
2) memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan
program pemerintah; dan
3) memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap,
cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun.
Djamaludin Ancok dkk (2014) memberi ilustrasi bahwa perilaku yang
semestinya ditampilkan untuk memberikan layanan prima adalah:
1) Menyapa dan memberi salam;
2) Ramah dan senyum manis;
3) Cepat dan tepat waktu;
4) Mendengar dengan sabar dan aktif;
5) Penampilan yang rapi dan bangga akan penampilan;
6) Terangkan apa yang Saudara lakukan;
7) Jangan lupa mengucapkan terima kasih;
8) Perlakukan teman sekerja seperti pelanggan; dan
9) Mengingat nama pelanggan
c. Melakukan perbaikan tiada henti;
Karakteristik dalam memberikan pelayanan prima ditunjukkan dengan
upaya perbaikan secara berkelanjutan melalui berbagai cara, antara lain:
pendidikan, pelatihan, pengembangan ide kreatif, kolaborasi, dan benchmark. Hal
tersebut mencerminkan bahwa pemberian layanan bermutu tidak boleh berhenti
ketika kebutuhan masyarakat sudah dapat terpenuhi, melainkan harus terus
ditingkatkan dan diperbaiki agar mutu layanan yang diberikan dapat melebihi
harapan pengguna layanan. Layanan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan
layanan hari esok akan menjadi lebih baik dari hari ini.
II. Akuntabel
Dalam banyak hal, kata akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas
atau tanggung jawab. Namun pada dasarnya, kedua konsep tersebut memiliki arti yang
berbeda. Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab, sedangkan
akuntabilitas adalah kewajiban pertanggungjawaban yang harus dicapai. Aspek - Aspek
akuntabilitas mencakup beberapa hal berikut yaitu akuntabilitas adalah sebuah hubungan,
akuntabilitas berorientasi pada hasil, akuntabilitas membutuhkan adanya laporan,
akuntabilitas memerlukan konsekuensi, serta akuntabilitas memperbaiki kinerja.
Akuntabilitas merujuk pada kewajiban setiap individu, kelompok atau institusi
untuk memenuhi tanggung jawab dari amanah yang dipercayakan kepadanya. Amanah
seorang ASN menurut SE Meneteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 adalah menjamin terwujudnya perilaku yang sesuai
dengan Core Values ASN BerAKHLAK. Dalam konteks Akuntabilitas, perilaku tersebut
adalah:
• Kemampuan melaksanaan tugas dengan jujur, bertanggung jawab,
cermat, disiplin dan berintegritas tinggi
• Kemampuan menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara
bertanggung jawab, efektif, dan efisien.
• Kemampuan menggunakan Kewenangan jabatannya dengan berintegritas
tinggi
III. Kompeten
Berkinerja yang berakhlak sesuai prinsip Undang Undang ASN Nomor 5 Tahun
2014 ditegaskan bahwa :
a. Setiap ASN sebagai professional sesuai dengan kualifikasi, kompetensi dan
kinerja
b. Selain ciri tersebut ASN terikat dengan etika profesi sebagai pelayan publik
c. Perilaku etika professional secara operasional tunduk pada perilaku berakhlak
Sebagai ASN biasakan belajarlah hal-hal yang benar-benar baru, dan dilakukan
secara terus menerus kemudian lupakan atau tinggalkan apa yang telah diketahui berupa
pengetahuan dan atau keahlian. Proses ini harus terjadi karena apa yang ASN ketahui
ternyata tidak lagi sesuai atau tak relevan. Selanjutnya dalam tahap terakhir, proses
relearn, kita benar benar menerima fakta baru. Ingat proses membuka perspektif terjadi
dalam dalam unlearn.
Meningkatkan kompetensi diri untuk menjawab tantangan yang selalu berubah
adalah keniscayaan. Pendekatan pengembangan mandiri ini disebut dengan Heutagogi
atau disebut juga sebagai teori “net-centric”, merupakan pengembangan berbasis pada
sumber pembelajaran utama dari internet. Perilaku lain ASN pembelajar yaitu melakukan
konektivitas dalam basis online network. Sumber pembelajaran lain bagi ASN dapat
memanfaatkan sumber keahlian para pakar/konsultan, yang mungkin dimiliki unit kerja
atau instansi tempat ASN bekerja atau tempat lain. Pengetahuan juga dihasilkan oleh
jejaring informal (networks), yang mengatur diri sendiri dalam interaksi dengan pegawai
dalam organisasi dan atau luar organisasi
Membantu orang lain belajar, sosialisasi dan percakapan di ruang istirahat atau di
kafetaria kantor termasuk morning tea/coffe sering kali menjadi ajang transfer
pengetahuan. Perilaku berbagi pengetahuan bagi ASN pembelajar yaitu aktif dalam
“pasar pengetahuan” atau forum terbuka (Knowledge Fairs and Open Forums).
Mengambil dan mengembangkan pengetahuan yang terkandung dalam dokumen kerja
seperti laporan presentasi, artikel, dan sebagainya dan memasukannya ke dalam
repository di mana ia dapat dengan mudah disimpaan dan diambil (Knowledge
Repositories). Aktif untuk akses dan transfer pengetahuan (Knowledge Access and
Transfer), dalam bentuk pengembangan jejaring ahli (Expert Network),
pendokumentasian pengalamannya/pengetahuannya, dan mencatat pengetahuan
bersumber dari refleksi pengalaman (Lessons Learned).
Pengetahuan menjadi karya sejalan dengan kecendrungan setiap organisasi, baik
instansi pemerintah maupun swasta, bersifat dinamis, hidup dan berkembang melalui
berbagai perubahan lingkungan dan karya manusia. Pentingnya berkarya terbaik dalam
pekerjaan selayaknya tidak dilepaskan dengan apa yang menjadi terpenting dalam hidup
seseorang.
IV. Harmonis
Berdasarkan pandangan dan pengetahuan mengenai kenekaragaman bangsa dan
budaya, sejarah pergerakan bangsa dan negara, konsep dan teori nasionalisme berbangsa,
serta potensi dan tantangannya maka sebagai ASN harus memiliki sikap dalam
menjalankan peran dan fungsi pelayanan masyarakat. ASN bekerja dalam lingkungan
yang berbeda dari sisi suku, budaya, agama dan lain-lain.
Kemajemukan dan keanekaragaman budaya, suku, etnis, agama yang mewarnai
kebangsaan Indonesia, tidak boleh dipandang sebagai hal negative dan menjadi ancaman
yang bisa saling menegasikan. Sebaliknya, hal itu perlu disikapi secara positif sebagai
limpahan karunia yang bisa saling memperkaya khazanah budaya dan pengetahuan
melalui proses penyerbukan budaya. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang
memuliakan kemanuiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian,
dan keadilan antar umat manusia.
Sebagai pelayan publik, setiap pegawai ASN senantiasa bersikap adil dan tidak
diskriminasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka harus bersikap
profesional dan berintegritas dalam memberikan pelayanan. Tidak boleh mengejar
keuntungan pribadi atau instansinya belaka, tetapi pelayanan harus diberikan dengan
maksud memperdayakan masyarakat, menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih
baik.
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Pasal 11 tentang ASN, tugas
pegawai ASN adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
b. Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas
c. Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Beberapa peran ASN dalam kehidupan berbangsa dan menciptakan budaya
harmoni dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya adalah sebagai berikut:
a. Posisi PNS sebagai aparatur Negara, dia harus bersikap netral dan adil.
b. PNS juga harus bisa mengayomi kepentingan kelompok-kelompok minoritas,
dengan tidak membuat kebijakan, peraturan yang mendiskriminasi keberadaan
kelompok tersebut.
c. PNS juga harus memiliki sikap toleran atas perbedaan untuk menunjang sikap
netral dan adil karena tidak berpihak dalam memberikan layanan.
d. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban PNS juga harus memiliki suka
menolong baik kepada pengguna layanan, juga membantu kolega PNS lainnya
yang membutuhkan pertolongan.
e. PNS menjadi figur dan teladan di lingkungan masyarakatnya.
V. Loyal
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 tanggal 26 Agustus 2021 tentang
Implementasi Core Values dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara, disebutkan
bahwa dalam rangka penguatan budaya kerja sebagai salah satu strategi transformasi
pengelolaan ASN menuju pemerintahan berkelas dunia (World Class Government),
pemerintah telah meluncurkan Core Values (Nilai-Nilai dasar) ASN BerAKHLAK dan
Employer Branding (Bangga Melayani Bangsa).
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)
menyelenggarakan Peluncuran Core Values dan Employer Branding Aparatur Sipil
Negara (ASN), di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta pada hari Selasa tanggal 27 Juli
Tahun 2021. Pada kesempatan tersebut Presiden Joko Widodo meluncurkan Core Values
dan Employer Branding ASN. Peluncuran ini bertepatan dengan Hari Jadi Kementerian
PANRB ke-62. Core Values ASN yang diluncurkan yaitu ASN BerAKHLAK yang
merupakan akronim dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis,
Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Core Values tersebut harus diimplementasikan oleh seluruh
ASN di Instansi Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 tentang
Implementasi Core Values dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara.
Loyal, merupakan salah satu nilai yang terdapat dalam Core Values ASN yang
dimaknai bahwa setiap ASN harus berdedikasi dan mengutamakan kepentingan bangsa
dan negara, dengan panduan perilaku:
a. Memegang teguh ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, setia kepada NKRI serta pemerintahan yang sah;
b. Menjaga nama baik sesama ASN, pimpinan instansi dan negara; serta
c. Menjaga rahasia jabatan dan negara.
Adapun kata-kata kunci yang dapat digunakan untuk mengaktualisasikan panduan
perilaku loyal tersebut di atas diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Komitmen
b. Dedikasi
c. Kontribusi
d. Nasionalisme
e. Pengabdian
Di dalam pasal 66 UU ASN disebutkan bahwa Setiap calon PNS pada saat
diangkat menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah/janji. Dimana dalam bunyi
sumpah/janji tersebut mencerminkan bagaimana Core Value Loyal semestinya dipahami
dan diimplementasikan oleh setiap PNS yang merupakan bagian atau komponen sebuah
organisasi pemerintah. Berikut adalah petikan bunyi Sumpah/Janji PNS : "Demi
Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah/berjanji:
a. bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah;
b. bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundangundangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan
penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
c. bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
dan martabat pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau
golongan;
d. bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau
menurut perintah harus saya rahasiakan;
e. bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".
Berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, seorang ASN memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu sebagai pelaksana kebijakan publik,
pelayan publik serta perekat dan pemersatu bangsa. Kemampuan ASN dalam
melaksanakan ketiga fungsi tersebut merupakan perwujudan dari implementai nilai-nilai
loyal dalam konteks individu maupun sebagai bagian dari Organisasi Pemerintah.
a. ASN sebagai Pelaksana Kebijakan Publik
Dengan kata lain, ASN adalah aparat pelaksana (eksekutor) yang melaksanakan
segala peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan kebijakan publik di
berbagai bidang dan sektor pemerintahan.
Selain itu, setiap pegawai ASN harus senantiasa bersikap adil dan tidak
diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. ASN harus
bersikap profesional dan berintegritas dalam memberikan pelayanan. Untuk itu,
integritas menjadi penting bagi setiap pegawai ASN dengan senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, tidak korupsi, transparan,
akuntabel, dan memuaskan publik, dengan senantiasa memperhatikan prinsip-
prinsip penting dalam pelaksanaan kebijakan publik sebagai berikut:
1. ASN harus mengutamakan kepentingan publik dan masyarakat luas dalam
mengimplementasikan kebijakan publik.
2. ASN harus mengutamakan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan
publik. Setiap pegawai ASN harus menyadari sebagai aparatur profesional
yang kompeten, berorientasi pelayanan publik, dan loyal kepada negara dan
aturan perundangundangan. Pegawai ASN harus menyadari dirinya sebagai
bagian dari birokrasi yang melayani kepentingan publik yang berorientasi
pada kepuasan pelanggan (costumer-driven government).
3. ASN harus berintegritas tinggi dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu,
ASN juga harus berpegang pada 12 (dua belas) Kode Etik dan Kode Perilaku
yang telah diatur dalam UU ASN pasal 5.
b. ASN sebagai Pelayan Publik
Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Dengan demikian seorang ASN harus profesional, kompeten, berorientasi
pelayanan publik dan berintegritas sebagai perwujudan loyalitasnya kepada
bangsa dan negara
c. ASN sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa
VI. Adaptif
Standar mutu pelayanan, ASN yang responsif dan cerdas dalam
menyelenggarakan pelayanan, serta literasi publik atas kualitas layanan yang terus
meningkat menjadi faktor-faktor yang mendorong komitmen mutu yang lebih baik.
Penekanan pada mutu kerja juga secara makna juga tertuang dalam peran Pegawai ASN
sebagaimana ditetapkan pada Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, yaitu
“sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan
publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme.”
Oleh karena itu, efektivitas, efisiensi, inovasi dan mutu menjadi kata kunci bagi
ASN agar berkomitmen dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Konsekuensi
penting dari komitmen mutu ini adalah bahwa ASN harus memastikan pelayanan publik
terselenggara sebaik mungkin dengan cara apapun, sekalipun harus melakukan
perubahan, penyesuaian atau “adaptasi” tentunya.
Budaya adaptif dalam pemerintahan merupakan budaya organisasi di mana ASN
memiliki kemampuan menerima perubahan, termasuk penyelarasan organisasi yang
berkelanjutan dengan lingkungannya, juga perbaikan proses internal yang
berkesinambungan. Untuk memastikan agar organisasi terus mampu memiliki
pengetahuan yang mutakhir, maka organisasi dituntut untuk melakukan lima disiplin,
yaitu:
1. Pegawainya harus terus mengasah pengetahuannya hingga ke tingkat mahir
(personal mastery)
2. Pegawainya harus terus berkomunikasi hingga memiliki persepsi yang sama atau
gelombang yang sama terhadap suatu visi atau cita-cita yang akan dicapai bersama
(shared vision)
3. Pegawainya memiliki mental model yang mencerminkan realitas yang organisasi
ingin wujudkan (mental model)
4. Pegawainya perlu selalu sinergis dalam melaksanakan kegiatankegiatan untuk
mewujudkan visinya (team learning)
5. Pegawainya harus selalu berpikir sistemik, tidak kaca mata kuda, atau bermental silo
(systems thinking).
Di sektor publik, budaya adaptif dalam pemerintahan ini dapat diaplikasikan
dengan tujuan untuk memastikan serta meningkatkan kinerja pelayanan publik. Adapun
ciri-ciri penerapan budaya adaptif dalam lembaga pemerintahan antara lain sebagai
berikut:
1. Dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan Bentuk
antisipasi dan kemampuan adaptasi ini diwujudkan dalam praktek kebijakan yang
merespon isu atau permasalahan publik sesuai dengan tuntutan dan kebutuhannya.
2. Mendorong jiwa kewirausahaan Jiwa kewirausahaan merupakan salah satu gagasan
penting dari konsep reinventing government yang dipraktekkan di Amerika Serikat.
Dengan jiwa kewirausahaan ini maka pemerintah dan birokrasi secara khusus
melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien dan efektif layaknya
organisasi bisnis memaksimalkan tata kelola aset dan modalnya untuk meraih
keuntungan sebesar-besarnya. (lebih lanjut pelajari Boks Kasus 2) 3.
3. Memanfaatkan peluang-peluang yang berubah-ubah Pemerintah dalam
memaksimalkan kinerja pelayanan publik maupun fungsi-fungsi lainnya seyogyanya
mampu memahami dan memaksimalkan peluang yang ada. Memperhatikan
kepentingan-kepentingan yang diperlukan antara instansi mitra, masyarakat dan
sebagainya. Beradaptasi juga berarti kemampuan untuk memasukan pertimbangan
kepentingan dari mitra kerja maupun masyarakat. Dalam hal ini tujuan organisasi
pemerintah harus dikembalikan pada fungsi melayani, yang berarti mengedepankan
kepentingan mitra dan masyarakat.
4. Terkait dengan kinerja instansi. Budaya adaptif seyogyanya diinternalisasi dan
diwujudkan ke dalam organisasi sebagai upaya meningkatkan kinerja instansi.
Budaya adaptif tidak dilakukan untuk menyerah pada tuntutan lingkungan, tetapi
justru untuk merespon dan bereaksi dengan baik kepada perubahan lingkungan,
dengan tujuan untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerja
instansinya.
VII. Kolaboratif
Berkaitan dengan definisi, akan dijelaskan mengenai beberapa definisi
kolaborasi dan collaborative governance. Dyer and Singh (1998, dalam Celik et al,
2019) mengungkapkan bahwa kolaborasi adalah “value generated from an alliance
between two or more firms aiming to become more competitive by developing shared
routines”. Sedangkan Gray (1989) mengungkapkan bahwa :
Collaboration is a process though which parties with different expertise, who see
different aspects of a problem, can constructively explore differences and find
novel solutions to problems that would have been more difficult to solve
without the other’s perspective (Gray, 1989). Lindeke and Sieckert (2005)
mengungkapkan bahwa kolaborasi adalah: Collaboration is a complex process,
which demands planned, intentional knowledge sharing that becomes the
responsibility of all parties (Lindeke and Sieckert, 2005).
Selain diskursus tentang definisi kolaborasi, terdapat istilah lainnya yang juga
perlu dijelaskan yaitu collaborative governance. Irawan (2017 P 6) mengungkapkan
bahwa “Collaborative governance“ sebagai sebuah proses yang melibatkan norma
bersama dan interaksi saling menguntungkan antar actor governance.
Collaborative governance dalam artian sempit merupakan kelompok aktor dan
fungsi. Ansell dan Gash A (2007:559), menyatakan Collaborative governance
mencakup kemitraan institusi pemerintah untuk pelayanan publik.
Kolaborasi juga sering dikatakan meliputi segala aspek pengambilan keputusan,
implementasi sampai evaluasi. Berbeda dengan bentuk kolaborasi lainnya atau interaksi
stakeholders bahwa organisasi lain dan individu berperan sebagai bagian strategi
kebijakan, collaborative governance menekankan semua aspek yang memiliki
kepentingan dalam kebijakan membuat persetujuan bersama dengan “berbagi
kekuatan”. (Taylo Brent and Rob C. de Loe, 2012)
Ansel dan Gash (2007:544) membangun enam kriteria penting untuk kolaborasi yaitu:
AGENDA III
I. Smart ASN
Kecakapan penggunaan media digital dalam melakukan proses mediasi media
digital yang dilakukan secara produktif. Seorang pengguna yang memiliki kecakapan
literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga
mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab.
Kompetensi literasi digital tidak hanya dilihat dari kecakapan menggunakan
media digital (digital skills) saja, namun juga budaya menggunakan digital (digital
culture), etis menggunakan media digital (digital ethics), dan aman menggunakan media
digital (digital safety). Selain itu Kompetensi literasi digital diperlukan agar seluruh
masyarakat dapat menggunakan media digital secara bertanggung jawab
Terdapat 4 pilar dalam literasi digital diantaranya yaitu :
1) Etika bermedia digital adalah panduan etis dan kontrol diri dalam
menggunakan media digital.
2) Cakap Bermedia digital yaitu kemampuan individu dalam memahami dan
menggunakan perangkat keras dan lunak serta system operasi digital
dalam kehidupan sehari - hari.
3) Aman bermedia digital yaitu kecakapan untuk melakukan perlindungan
identitas digital dan data diri.
4) Budaya bermedia digital yaitu tiap individu memiliki tanggung jawab
untuk melakukan seluruh aktivitas bermedia digitalnya berlandaskan pada
nilai – nilai kebangsaan.
Digital Skills (Cakap Bermedia Digital) merupakan dasar dari kompetensi
literasi digital, berada di domain ‘single, informal’. Digital Culture (Budaya Bermedia
Digital) sebagai wujud kewarganegaraan digital dalam konteks keindonesiaan berada
pada domain ‘kolektif, formal’ di mana kompetensi digital individu difungsikan agar
mampu berperan sebagai warganegara dalam batas-batas formal yang berkaitan dengan
hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam ruang ‘negara’. Digital Ethics (Etis
Bermedia Digital) sebagai panduan berperilaku terbaik di ruang digital membawa
individu untuk bisa menjadi bagian masyarakat digital, berada di domain ‘kolektif,
informal’. Digital Safety (Aman Bermedia Digital) sebagai panduan bagi individu
agar dapat menjaga keselamatan dirinya berada pada domain ‘single, formal’ karena
sudah menyentuh instrumen-instrumen hukumpositif.
Dunia digital saat ini telah menjadi bagian dari keseharian kita. Berbagai
fasilitas dan aplikasi yang tersedia pada gawai sering kita gunakan untuk mencari
informasi bahkan solusi dari permasalahan kita sehari-hari. Pola kebiasaan baru untuk
belajar dan bekerja dari rumah secara daring ikut membentuk perilaku kita berinternet.
Literasi Digital menjadi kemampuan wajib yang harus dimiliki oleh masyarakat untuk
saling melindungi hak digital setiap warga negara.