com
Norbertus Jegalus1*
1Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang, Indonesia
*
nobertus2306@gmail.com
Dikirim : 15/02/2023
Diterima : 03/04/2023
Terbit : 25/04/2023
Abstrak
Pemerintahan daerah diselenggarakan untuk menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat di daerah. Oleh
karena itu urusan pemerintahan daerah merupakan urusan seluruh masyarakat, bukan hanya urusan
politisi dan birokrat. Jadi penyusunan “Perda” tidak hanya melibatkan politisi, dan birokrat tetapi juga
masyarakat, sehingga peraturan daerah tersebut bertujuan untuk menciptakan bonum komune. Tulisan ini
merupakan kontribusi dari Filsafat Politik (Ilmu Politik Normatif) mengenai pengambilan kebijakan publik
yang tentunya sangat berbeda dengan pendekatan ilmu politik empiris. Oleh karena itu metode kajian ini
merupakan metode ilmu politik normatif yang mencakup unsur-unsur utama seperti interpretasi, koherensi
internal, holistik, idealisasi, heuristik, dan deskripsi. Dampaknya, pemerintah daerah pasca amandemen
mengubah paradigma administrasi publik menjadi “pelayanan publik baru” yang memandang masyarakat
sebagai warga negara. Maka dua paradigma sebelumnya ditinggalkan, yaitu “administrasi publik lama”
yang memandang masyarakat sebagai klien, dan “manajemen publik baru” yang memandang masyarakat
sebagai konsumen. Berangkat dari hasil tersebut yaitu dengan adanya paradigma baru maka pembahasan
mengenai pelayanan publik pun mengalami perubahan yaitu semua urusan pemerintahan daerah adalah
urusan seluruh warga negara di daerah tersebut. Dengan demikian, pembuatan peraturan daerah tidak
lagi hanya menjadi urusan para politisi, dan birokrasi pemerintahan yang murni bersifat prosedural,
melainkan menjadi urusan seluruh rakyat sehingga benar-benar menjadi peraturan daerah yang bersifat
substantif, yaitu peraturan daerah untuk menciptakan peraturan daerah. kesejahteraan seluruh rakyat.
Kata kunci:Kebijakan publik; Aspirasi Masyarakat; Perda; Demokrasi; Pemerintahan yang bagus
PERKENALAN
Menurut Gibson, ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi efektivitas suatu organisasi,
yaitu pendekatan tujuan dan pendekatan sistem (Siswadi, 2012:82). Pendekatan tujuan
menekankan pada pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebagai ukuran efektivitas
organisasi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap
tuntutan eksternal sebagai kriteria evaluasi efektivitas (Turner et al, 2022:333-334).
Birokrasi pemerintahan daerah merupakan suatu organisasi yang mempunyai tujuan dan
juga mempunyai tujuan untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, pertanyaan yang patut kita
ajukan di sini adalah: Apakah birokrasi pemerintah daerah sudah berjalan efektif atau belum? Pertanyaan
ini baru bisa kita jawab jika kita mengetahui apa tujuan dari birokrasi pemerintah daerah. Dan kita tahu
bahwa tujuan pemerintah daerah adalah menjalankan fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengaturan,
Kemudian mengenai efisiensi birokrasi pemerintahan daerah, kita tahu bersama bahwa APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kita sampai saat ini belum mampu
mensejahterakan aparatur pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah inefisiensi birokrasi dan
biaya overhead birokrasi, terutama untuk membiayai kebutuhan operasional departemen dan
lembaga. PP (Peraturan Pemerintah) No. 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Susunan Organisasi
pemerintahan yang efisien dan sederhana, sehingga menghemat biaya operasional. Apabila
penghematan dapat dilakukan maka anggaran tersebut dapat dioptimalkan untuk kepentingan
Beberapa penelitian terbaru mengenai tema ini dapat kami sebutkan sebagai berikut. Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti (Rasyid dkk, 2022) dengan judul “Kinerja Pelayanan
Sekretaris Legislatif: Perspektif Pelayanan Publik Baru”. Mereka mengkaji tiga fungsi DPRD sesuai PP
no. 18 tahun. 201 tentang Aparatur Daerah dengan fokus pada mutu pelayanan dalam perspektif
baru pelayanan publik Aparatur Sipil Negara. Kajian ini didasarkan pada konsep “pelayanan publik
baru” namun tidak membicarakan pembuatan peraturan daerah berdasarkan konsep baru tersebut.
Kedua, kajian khusus mengenai Pembentukan Peraturan Daerah dari sudut pandang hukum
dilakukan oleh Eka NAM Sihombing (2016), dengan judul “Permasalahan Pemrograman
pembuatan peraturan daerah, yaitu belum adanya pengkajian mendalam mengenai apa yang
hendak diatur dalam peraturan daerah tersebut. Kesannya pemerintah daerah bersama DPRD
hanya sekedar membuat peraturan daerah. Kelemahan berikutnya adalah peraturan daerah
dibuat tanpa penjelasan ilmiah yang memadai. Dengan demikian, kajian ini memang berkaitan
dengan peraturan daerah, namun tidak berbicara dari sudut pandang ilmu politik normatif
mengenai hubungan antara demokrasi prosedural dan substansial dengan peraturan daerah
Ketiga, kajian sosiologi yang dilakukan oleh Syulhennisari Siregar dan Mhd. Iqbal Tanjung
(2018), dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Peraturan Daerah
Berdasarkan Hak Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang Lawas Utara
Kabupaten". Penelitian ini menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan peraturan
daerah, seperti a. Kemampuan, b. Pengalaman, c. Ketersediaan waktu, d. Disiplin. Keempat faktor tersebut
mempengaruhi kualitas dan non kualitas peraturan daerah. Jadi, kajian ini juga tidak membicarakan
Keempat, kajian dari perspektif ilmu hukum yang dilakukan oleh dua orang peneliti (Eriko Fahri
Ginting, Dian Agung Wicaksono, (2020) dengan judul “Dualisme Kewenangan Pengawasan
Rancangan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Buruknya kualitas peraturan daerah disebabkan karena kedua lembaga pengawas tersebut
langsung dengan pemerintah daerah adalah Pemerintah Pusat, sedangkan DPD hanya terkait
kedudukannya sebagai senator yang mewakili daerah pada tingkat nasional, sehingga
penelitian ini juga tidak membicarakan permasalahan peraturan daerah secara prosedural dan
substantif.
Kelima, kajian terbaru yang sangat menarik karena berbicara tentang penguatan pemerintah daerah
tentang peran lembaga swadaya masyarakat. Penelitian ini dilakukan oleh Rinawati Rinawati dan
Nusyirwan Effendi (2022) dengan judul “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Penguatan
Pemerintahan Daerah”. Studi ini menemukan bahwa LSM sebagai perwujudan masyarakat sipil
berperan besar dalam penguatan tata kelola daerah. LSM dapat berperan dalam percepatan
penelitian ini juga tidak membahas permasalahan peraturan daerah secara prosedural dan
substantif.
Berdasarkan kelima jenis penelitian yang dapat dikatakan mutakhir, belum ada kajian mengenai masalah
partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan daerah seperti yang diuraikan dalam penelitian ini.
Kebaruan penelitian ini terletak di sini, yaitu kelima penelitian tersebut tidak mendalami persoalan
peraturan daerah secara prosedural dan substantif. Tujuan dari penelitian ini berdasarkan perspektif
filsafat politik adalah untuk memperluas wawasan para politisi, birokrat, dan masyarakat bahwa
Agar pemerintahan daerah dapat berjalan efektif dan efisien, tidak cukup jika pemerintah
daerah berniat melakukan restrukturisasi atau reformasi birokrasi pemerintahan daerah.
Sebab rencana tersebut hanya menyangkut rencana internal pemerintah daerah, padahal
pemerintahan daerah pasca amandemen UUD 1945 bukanlah urusan pemerintah daerah
itu sendiri, melainkan urusan seluruh masyarakat di daerah tersebut (Jegalus, 2000). Oleh
karena itu, jika dikatakan penyusunan peraturan daerah harus demokratis, berarti
penyusunan peraturan daerah harus melibatkan ketiga komponen tersebut.
METODE
Filsafat merupakan ilmu tingkat kedua (second-level sciences), dan metodenya jauh
berbeda dengan ilmu tingkat pertama (first-level sciences). Karena mengenal enam
unsur utama metodologi yaitu interpretasi, koherensi internal, holistik, idealisasi,
heuristik, dan deskripsi.
Interpretasi artinya peneliti membaca konsepsi filosofis, yaitu konsepsi paling dasar tentang manusia
sebagai individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, ia termasuk anggota
masyarakat. Dan sebagai anggota masyarakat, ia adalah warga negara. Peneliti di sini mencoba
Koherensi internal artinya peneliti mencoba melihat seluruh sudut pandang dasar kebijakan publik
dengan segala kaitannya dengan gagasan demokrasi di suatu negara. Disini peneliti ingin
menemukan ketergantungan yang nyata dan logis antara gagasan demokrasi dengan kebijakan
Holistik artinya peneliti melihat seluruh unsur pemikiran dan konsepsi filosofis dalam
kerangka visi pemerintahan daerah secara keseluruhan, dimana pemerintahan daerah
menurut visi baru pasca amandemen konstitusi meliputi birokrat, politisi, dan
masyarakat. Kami hanya dapat menilai pemerintah daerah jika ketiga elemen ini
dipertimbangkan.
Idealisasi berarti melalui segala ketidakkonsistenan dan bercampur dengan inspirasi dari luar
demokrasi, kemudian berusaha membentuk konsepsi semurni mungkin tentang hubungan antara
Heuristik artinya dengan refleksi metodis di atas, peneliti akan mencoba melihat pandangan-pandangan baru terhadap
pembuatan peraturan daerah, seperti pandangan terhadap peraturan daerah yang bersifat prosedural dan substantif.
Deskripsi merupakan tahap akhir dari metode filsafat, yaitu tahap merumuskan
hasil kajian filsafat dalam bentuk uraian yang logis-rasional.
HASIL
Filsafat merupakan ilmu tingkat kedua (second-level sciences), dan metodenya jauh
berbeda dengan ilmu tingkat pertama (first-level sciences). Karena mengenal enam
unsur utama metodologi yaitu interpretasi, koherensi internal, holistik, idealisasi,
heuristik, dan deskripsi.
Interpretasi artinya peneliti membaca konsepsi filosofis, yaitu konsepsi paling dasar tentang manusia
sebagai individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, ia termasuk anggota
masyarakat. Dan sebagai anggota masyarakat, ia adalah warga negara. Peneliti di sini mencoba
Koherensi internal artinya peneliti mencoba melihat seluruh sudut pandang dasar kebijakan publik
dengan segala kaitannya dengan gagasan demokrasi di suatu negara. Disini peneliti ingin
menemukan ketergantungan yang nyata dan logis antara gagasan demokrasi dengan kebijakan
Holistik artinya peneliti melihat seluruh unsur pemikiran dan konsepsi filosofis dalam
kerangka visi pemerintahan daerah secara keseluruhan, dimana pemerintahan daerah
menurut visi baru pasca amandemen konstitusi meliputi birokrat, politisi, dan
masyarakat. Kami hanya dapat menilai pemerintah daerah jika ketiga elemen ini
dipertimbangkan.
Idealisasi berarti melalui segala ketidakkonsistenan dan bercampur dengan inspirasi dari luar
demokrasi, kemudian berusaha membentuk konsepsi semurni mungkin tentang hubungan antara
Heuristik artinya dengan refleksi metodis di atas, peneliti akan mencoba melihat pandangan-pandangan baru terhadap
pembuatan peraturan daerah, seperti pandangan terhadap peraturan daerah yang bersifat prosedural dan substantif.
Deskripsi merupakan tahap akhir dari metode filsafat, yaitu tahap merumuskan
hasil kajian filsafat dalam bentuk uraian yang logis-rasional.
DISKUSI
Kebijakan Publik dan Tata Kelola yang Baik
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah ada perbedaan antara “pemerintahan dan pemerintahan”. Definisi
“pemerintahan yang baik” lebih luas dari pemerintahan yang baik. Dengan kata lain governance berarti
pengelolaan atau pengaturan, sedangkan “goverment” berarti pemerintahan seperti yang kita lakukan sekarang
memahaminya dalam konteks birokrasi pemerintahan. Jadi, “pemerintahan yang baik” berarti pemerintahan
yang baik dan pemerintahan yang baik berarti pemerintahan yang baik. Dari perbedaan makna harafiah ini, kita
dapat memahami lebih jauh bahwa “pemerintahan yang baik” juga dapat mencakup “pemerintahan yang baik”.
James N. Rosenau dan Ernst-Otto Czempiel (1992: xii) menjelaskan perbedaan makna kedua kata tersebut
dalam karyanya yang berjudul, “Governance Without Government: Order and Change in World Politics”.
Rosenau dan Czempiel memahami governance sebagai pengelolaan pemerintahan. Jadi, ada perbedaan
antara governance dan pemerintahan. Persamaannya terletak pada keduanya yang merujuk pada perilaku
yang bertujuan, kegiatan yang berorientasi pada pencapaian tujuan tertentu (goals-based), dan adanya
seperangkat aturan (system of rule). Bedanya, “pemerintah” menjalankan aktivitasnya dengan dukungan
otoritas formal, dalam arti mempunyai wewenang dan kekuasaan, serta kekuatan untuk menjamin
didasarkan pada tujuan atau kepentingan bersama, yang mungkin – namun tidak selalu – berasal dari
tanggung jawab hukum formal, dan tidak bergantung pada perlunya kekuasaan atau wewenang, baik
untuk memastikan pemenuhannya atau untuk menyelesaikan konflik yang timbul. dalam implementasinya
Dengan demikian, “governance” merupakan fenomena yang lebih luas dan kompleks dibandingkan
karena itu, konsep “good governance” berlaku baik pada pemerintahan nasional, daerah, dan swasta atau
bentuk interaksi lainnya dalam masyarakat. Pembedaan ini ditegaskan oleh T. Bergman yang mengatakan
bahwa istilah “pemerintah” tidak sama dengan “pemerintahan”. “Government” dipahami sebagai
serangkaian lembaga pembuat kebijakan publik, sedangkan “governance” adalah proses kebijakan publik
yang melibatkan pemerintah itu sendiri dan masyarakat (Winarno, 2011:262-263). Artinya kebijakan
pemerintah dalam proses pembuatan dan juga pelaksanaannya terlebih dahulu melibatkan pemerintah itu
Sementara itu, UNDP (United Nations Development Program) mendefinisikan “governance” sebagai
“implementasi otoritas politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola urusan suatu negara di
semua tingkatan”. Definisi ini mengandung tiga hal: pertama, “economic governance”, yaitu proses
rakyat dan bukan hanya kemakmuran kaum kapitalis; kedua, “pemerintahan politik”, yaitu proses
pemahaman UNDP, penggunaan istilah governance dalam politik mencakup tiga aspek, yaitu
atau sekarang lebih sering disebut pasar), dan “masyarakat”. (warga negara). Di sini “negara” berfungsi
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, “swasta” menciptakan lapangan kerja dan
pendapatan, sedangkan “masyarakat” berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik,
termasuk mengundang masyarakat. untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, kegiatan sosial, dan
kegiatan politik.
Berdasarkan definisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan ciri-ciri “good governance” dari suatu
“pemerintahan”: (1) “partisipasi”, yaitu keterlibatan seluruh warga negara tidak hanya dalam
melaksanakan kebijakan pemerintah tetapi juga dalam perencanaannya; (2) "rule of law", yaitu
pemerintahan yang diselenggarakan dalam kerangka hukum yang adil dan tidak memihak; (3)
“transparansi”, yaitu penyelenggaraan pemerintahan harus terbuka untuk dapat diakses oleh seluruh
masyarakat; (4) “responsif”, yaitu pemerintah harus tanggap terhadap apa yang diinginkan dan
dibutuhkan masyarakat; (5) “orientasi konsensus”, yaitu pemerintah harus mampu mempertemukan
kepentingan masyarakat yang berbeda bahkan bertentangan; (6) “akuntabilitas”, yaitu pemerintah,
swasta, dan lembaga “masyarakat sipil” harus akuntabel terhadap masyarakat; dan terakhir (7) “visi
strategis”, yaitu pemimpin pemerintahan harus mempunyai visi strategis terhadap pembangunan.
Elit politik penguasa cenderung memahami demokrasi hanya sebagai “prosedur” atau mekanisme
untuk memperoleh legitimasi politik dari rakyat. Oleh karena itu, bagi para politisi, demokrasi sudah
ada dan terlaksana, apabila sudah mengikuti prosedur atau mekanisme politik, seperti mengadakan
“pemilu”. Jadi, mereka pun merasa mendapat legitimasi politik dari rakyat. Bahwa mereka diberi
legitimasi oleh rakyat bukanlah masalah utama mereka. Bahwa mereka diangkat oleh rakyat dan
karena itu harus bekerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, bukanlah pemikiran utama. Yang
terpenting bagi mereka adalah mereka telah menduduki posisi politik sesuai dengan proses
rekrutmen politik yang sah (Apter, 1998). Sedangkan masyarakat memahami demokrasi sebagai
jawaban atas pertanyaan bagaimana permasalahan kesejahteraan dan keadilan diselesaikan oleh
pemimpin dan wakil yang mereka pilih melalui pemilihan umum. Masyarakat ini menganut ideologi
“demokrasi substansial”, yaitu menuntut tujuan pemerintahan yaitu “bonum komune” (kesejahteraan
rakyat. Padahal seluruh rakyat negeri ini bergantung pada kepercayaan dan harapan akan adanya
perubahan ke arah yang lebih baik pada para pemimpin dan juga pada wakil-wakilnya yang telah
"pemilihan". Pada akhirnya masyarakat juga tidak percaya pada demokrasi (bdk. Mouffe, 1995).
Kedua bentuk demokrasi ini, “demokrasi substansial” dan “demokrasi prosedural”, ada di Indonesia.
2009: 258-259). Soeharto mengabaikan demokrasi (hak-hak rakyat) untuk menyukseskan program
ekonomi merupakan ukuran terpenting untuk mengukur pencapaian dan juga legitimasi rezim ini di
hadapan rakyat. Lihat saja misalnya pidato kenegaraan Presiden Soeharto setiap tahun di hadapan
DPR, yang hampir semuanya menyebutkan angka-angka yang mencerminkan prestasi di bidang
perekonomian. Demokrasi tidak pernah menjadi bagian penting dalam manajemen politik Orde
Baru. Sedangkan bentuk kedua yaitu “demokrasi prosedural” sebenarnya masih kita alami di Era
Reformasi ini (Jegalus, 2020). Demokrasi sebagai hak yang diwujudkan menurut prosedur tertentu,
kesejahteraan umum. Kita mengedepankan dan mengeluarkan banyak tenaga dan pikiran untuk
membahas mekanisme dan tata cara demokrasi, namun mengabaikan kepentingan yang ingin kita
upayakan, yaitu kesejahteraan rakyat secara umum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
penekanan pada demokrasi sebagai suatu mekanisme lebih menguntungkan elit politik
mengabaikan prosedur demokrasi atau sebaliknya, kita lebih mengutamakan mekanisme demokrasi
dibandingkan substansi demokrasi yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat? Jawaban kami jelas,
berdasarkan amandemen UUD 1945, kami tidak memilih salah satu, tapi keduanya. Artinya dalam rangka
pembuatan “Perda” kita tidak hanya memperhatikan secara seksama proses dan mekanisme hukum
pembuatan “Perda” tetapi juga memperhatikan isi peraturan daerah tersebut. Jadi, “Perda” itu harus
bersifat prosedural dan sekaligus substansial. Yang dimaksud dengan “peraturan acara” adalah peraturan
daerah yang dihasilkan menurut tata cara penyusunan peraturan daerah yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan “peraturan daerah substantif”
adalah peraturan daerah itu memuat muatan kepentingan seluruh lapisan masyarakat setempat, tidak
hanya kepentingan pihak-pihak yang berkuasa, baik secara ekonomi (kapitalis) maupun politik (penguasa
daerah).
Jika kita hanya memperhatikan aspek prosedural dalam penyusunan “perda” maka sah-sah saja kita
memiliki “Perda” yang benar dan baik secara hukum, namun isinya ternyata sangat jauh dari
pengungkapan aspirasi dan kepentingan rakyat. komunitas lokal. Prosedur hukum dan
Mekanisme memang penting untuk menjamin legalitas, namun nasib masyarakat tidak boleh
diabaikan. Jangan sampai “Perda” berhasil disusun dan disahkan oleh DPRD dan pemerintah daerah,
melainkan “Perda” yang merupakan hasil kolusi antara pemerintah dan DPRD (lih. Rashyid dkk, 2022)
dan bukan merupakan wujud aspirasi dan kepentingan. dari masyarakat luas. Jika kita menelaah
secara serius “Perda” di masing-masing daerah dari aspek substansinya, maka barangkali harus kita
akui bahwa hanya sedikit “Perda” yang menciptakan demokrasi, yaitu mewujudkan kepentingan
Dalam konteks ini, kita bisa berkaca pada proses pembuatan undang-undang di tingkat negara,
dimana suatu rancangan undang-undang disusun oleh pemerintah dan kemudian diusulkan untuk
dibahas dan disahkan di DPR, tidak pernah lepas dari value pemangku kepentingan (Susanto, 2018).
Jadi di sini bisa saja “Perda” itu memang memenuhi tuntutan prosedural dan substansial, namun
merupakan prosedur yang “diatur”, atau substansinya “diisi”, oleh pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan bisnis dan politik. Maka tidak heran, jika di tingkat nasional ada undang-undang yang
didalangi bukan oleh politisi melainkan kapitalis (Jamesson, 1991), mungkin juga terjadi di tingkat
Perlu kita sadari bahwa “Perda” merupakan produk politik, oleh karena itu
“Raperda” dibahas, diperdebatkan, dan akhirnya disahkan menjadi “Perda” dalam
ruang politik, yaitu dalam parlemen daerah. Sebagai produk politik, “Perda”
merupakan sebuah teks yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai seseorang. Ia
tidak dan tidak pernah netral terhadap nilai atau nilai tertentu. Prosedurnya bisa
disepakati seluruh partai/fraksi di DPRD, namun substansinya belum tentu sepakat
(Santoso, 201; Susanti, 2015). Namun peraturan daerah harus disahkan, dan terjadi
permainan kepentingan dan juga politik “dagang sapi” di kalangan anggota DPR.
Namun akhirnya undang-undang tersebut disahkan juga. Konsekuensinya jelas,
Perda berhasil disahkan namun jauh dari mewujudkan aspirasi masyarakat (lih.
Wiryanti dkk, 2022: 58-59).
Jika ya, bagaimana kita mengatasi kelemahan ini? Jawabannya hanya satu, yaitu kita harus
menata pemerintahan daerah secara demokratis. Karena hanya dalam kerangka demokrasi
rakyat dapat mengontrol tindakan dan kebijakan pemerintah bersama DPRD (cf. Laclau,
2006; Aminudin, 2015). Dengan kata lain, eksekutif dikendalikan oleh legislatif, sedangkan
eksekutif dan legislatif dikendalikan langsung oleh rakyat. Apabila tidak demikian maka
Perda dapat memenuhi tuntutan prosedural dan substansial, namun tetap tidak menjamin
kesejahteraan rakyat secara umum, melainkan hanya menjamin kepentingan segelintir
orang yang terlibat dalam mempengaruhi pembuatan peraturan daerah tersebut.
peraturan melalui kekuatan ekonomi (money pressure) (Jameson, 1991) atau kekuatan politik
(politis pressure).
REFERENSI
Aminudin, (2015), “Fungsi Pengawasan DPRD dalam Mewujudkan Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik”, dalam e-Jurnal Katalogis, Vol. 3 Nomor 12 : 132-141.
Apter, David E., (1998), “Politik Komparatif. Lama dan Baru,” dalam Robert E. Goodin & Hans-
Dieter Klingemann (ed.), Buku Pegangan Baru Ilmu Politik, Oxford: Oxford
University Press, hlm. 374-375.
Denhart, RB, & Denhart, JV, (2003), “Pelayanan Publik Baru: Suatu Pendekatan Reformasi”,
dalam Tinjauan Internasional Administrasi Publik, 8 (1): 3-10.
Ginting, Eriko Fahri & Dian Agung Wicaksono, (2020) “Dualisme kewenangan pengawasan
Rancangan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah”, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14 Nomor 3 November 2020 :
403-418.
Jegalus, Norbertus, (2000), Das Integralistische Staatsverstandnis nach Adam Muller (1779-
1829) und seine Rezeption di Indonesia. Zur Debatte um die Gestalt des
Indonesischen Saates dan di Interpretation der Pancasila-Doktrin, Munchen:
Hoschule für Philosophie.
Jegalus, Norbertus, (2009), Das Verhaltnis von Politik, Agama und Zivilregion untersucht
am Beispiel der Pancasila, Munchen: Herbert Utz Verlag.
Jegalus, Norbertus, (2020), “Modernisasi Agama dan Budaya: Karya Sutan Takdir Alisjahbana
Perspektif Nilai Filsafat”, dalam Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Indonesia,
Vol. 3 No.2: 1-20.
Laclau, Ernest, (2006), “Mengapa Peduli Rakyat Menjadi Tugas Utama Politik Radikal,”
dalam Jurnal Penyelidikan Kritis, Vol. 32, No.4.
Malik, Dedy Djamaludin, (2012) “Membuka Tabir Paradigma Administrasi Publik”, di Edi
Siswadi, Birokrasi Masa Depan, Bandung: Mutiara Press.
Mandey, M., (2016), “Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”, dalam Lex Administratum, Vol. IV Nomor 2 : 178-188.
Mouffe, Chantal, (1995), “Politik Demokratis Saat Ini”, dalam Chantal Mouffe (ed), Dimensi
Demokrasi Radikal: Pluralisme, Kewarganegaraan, Komunitas, London: Verso.
Rasyid, A., Albabassy, M., Satispi, E., & Samudra, A., (2022), “Kinerja
Pelayanan Sekretariat Legislatif: Perspektif Pelayanan Publik Baru”, dalam
Jurnal AdministrasiDanKebijakanPublik, 7(2),145-159. https://doi.org/
10.25077/jakp.7.2.145-159.2022
Rigney, Daniel, (2001), “Masyarakat sebagai Pasar”, dalam The Metaphorical Society, Sebuah Undangan untuk
Teori Sosial. Oxford: Penerbit Rowman & Littlefield.
Rinawati, Rinawati & Nusyirwan Effendi, (2022), “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat
Dalam Penguatan Pemerintahan Lokal”, dalam JAKP (Jurnal Administrasi dan Kebijakan
Publik), Vol. 7 Nomor 1 April 2022 : 72-86.
Rondinelli, D., (1999), “Apa itu Desentralisasi?”, dalam Bank Dunia, Desentralisasi
Catatan Singkat, Makalah Kerja WBI.
Rosenau, James N. & Ernst-Otto Czempiel (ed), (1992), Pemerintahan tanpa Pemerintahan:
Ketertiban dan Perubahan dalam Politik Dunia, New York: Cambridge University Press.
Santoso, MA, (2011), “Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Garis Fungsi
Pengawasan”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 4 Nomor 18 : 604-620.
Siregar, Syulhennisari & Mhd. Iqbal Tanjung, (2018) “Faktor-faktor yang mempengaruhi
Pembuatan Peraturan Daerah Berdasarkan Hak Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah di Kabupaten Padang Lawas Utara”, dalam Jurnal Universitas Muhammadiyah
Tapanuli Selatan, Vol. 2 No.2, Agustus 2018: 76-87.
Siswadi, E, Birokrasi Masa Depan, Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan
Prima, Bandung: Mutiara Pers.
Susanti, (2015), “Organ DPRD dalam Melaksanakan Otonomi Daerah Menurut UU. Nomor 23
Tahun 2014”, dalam Jurnal Manajemen Pemerintahan: Transformasi Pemerintahan, Vol. 7 Nomor
2: 133-141.
Turner, M., Prasojo, E., & Sumarwono, R, (2022), “Tantangan Reformasi Besar
Birokrasi di Indonesia”, dalam Kajian Kebijakan, Vol. 43 (2): 333-351.
Wiryani, M. & Senastri, NMJ, (2022), “Fungsi Teori Hukum dalam Pendirian
Peraturan Daerah Tata Ruang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal”, dalam Jurnal Keadilan
Hukum dan Pemerintahan, Vol. 2 Nomor 1: 58-68.