Anda di halaman 1dari 17

PERSEPSI LEGISLATIF TENTANG

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


DI DAERAH

Oleh : Sutaat

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di tujuh propinsi, yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta,
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua.
Responden penelitian adalah anggota DPRD kota dan kabupaten periode 1999-2004,
terutama anggota Komisi E. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa setelah
responden diperkenalkan dengan konsep, kebijakan, dan beberapa program bidang
kesejahteraan sosial, secara umum mereka setuju dengan apa yang digariskan oleh
Departemen Sosial. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
program, adalah kesesuaiannya dengan kondisi lokal. Kendala yang dihadapi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah, adalah belum memadainya kualitas
SDM di daerah, diperlukan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas SDM secara
terus menerus. Berdasarkan beberapa temuan hasil penelitian ini, kekemukakan pula
beberapa saran, antara lain perlunya sosialisasi dan dialog sesering mungkin antara
Departemen Sosial dengan lembaga legislatif dan ekskutif di daerah. Upaya
dimaksud akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi berbagai produk
kebijakan, program, maupun panduan-panduan yang dapat dijadikan acuan oleh
daerah dalam melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial di wilayahnya.

A. PENDAHULUAN

Menurut informasi dari beberapa instansi sosial di daerah, dampak


diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
(kemudian diperbaharui dengan UU N0. 32 tahun 2004), menimbulkan hal-hal yang
dirasakan menjadi kendala dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial di daerah. Kendala dimaksud antara lain adanya beberapa daerah
yang tidak mempunyai instansi sosial yang berdiri sendiri; ada perbedaan
nomenklatur yang menangani masalah sosial baik di daerah propinsi maupun
kota/kabupaten; beban daerah ditambah dengan minimnya anggaran yang
bersumber dari APBD, sementara itu pengelolaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat
yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Kondisi tersebut menunjukkan belum
memadainya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan kesejahteraan
sosial.

1
Keengganan Pemerintah Daerah untuk membentuk instansi sosial berakibat
pada pengabaian pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Menurut
Menteri Sosial RI (2003) kondisi tersebut antara lain disebabkan terjadinya 3 (tiga) bias
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu: 1) anggapan Otonomi Daerah dikaitkan
dengan mata uang sehingga daerah cenderung menetapkan prinsip ekonomi; 2)
anggapan daerah belum siap dan mampu, padahal daerah memiliki kemampuan
untuk mengoptimalkan potensi dan sumber sosial yang ada di daerahnya; dan 3)
anggapan Otonomi Daerah menyebabkan daerah terlalu berwenang melakukan apa
saja dan menjadikannya raja kecil. Ketiga hal tersebut sebenarnya dapat dicegah
dengan optimalisasi mekanisme kontrol antara lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif yang ada di daerah secara harmonis.
Kosekuensi logis hilangnya instansi vertikal di daerah, adalah terjadinya
perubahan dalam system pembangunan kesejahteraan sosial daerah. Satu sisi,
pemerintah pusat (Departemen Sosial) harus mampu membangun jaringan kerja yang
mantap dengan instansi sosial milik daerah, sehingga visi dan misi pembangunan
kesejahteraan sosial pusat akan mudah ditransfer oleh daerah. Pada sisi lain,
pemerintah daerah harus dapat memahami secara benar visi dan misi pemerintah
pusat; kemudian menerjemahkan dalam bentuk kebijakan daerah maupun program
yang sesuai dengan kondisi wilayahnya. Apabila kondisi ini tidak terwujud, maka
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah tidak berjalan sesuai dengan visi dan
misi yang akan dicapai.
Menurut Syaukani, hubungan legislatif dan ekskutif mengandung implikasi
positif dan negatif. Implikasi positif hubungan legislatif dan eksekutif, terutama peran
Legislatif yang diharapkan dapat lebih aktif dalam menangkap aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk
kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan Ekskutif. Implikasi negatif,
kemungkinan terjadinya konflik berkepanjangan antara Ekskutif (Kepala Daerah)
dengan Legislatif (DPRD). Hal tersebut dapat terjdi karena 1) gaya kepemimpinan
Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD; 2) latar belakang kepentingan; 3) latar
belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan
(Syaukani, dkk; 2003 : 199 – 201)

2
Fungsi utama Legislatif mencakup fungsi representasi, legislasi, dan fungsi
control. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan publik yang
menguntungkan masyarakat akan bisa terwujud bila legislatif mampu menjalankan
fungsinya dengan baik. Permasalahan yang mungkin muncul adalah, bahwa
kebijakan publik tidak akan muncul bila anggota legislatif kurang mempunyai
kemauan dan kemampuan yang memadai sebagai wakil rakyat. Diperkirakan tidak
semua wakil rakyat mampu menangkap aspirasi arus bawah dan memahami secara
utuh kondisi masyarakatnya, keinginan, harapan dan kebutuhannya. Bila ini terjadi
maka kemungkinan akan muncul kebijakan daerah yang justru tidak memihak
kepada rakyat.
Permasalahan lain yang mungkin dihadapi daerah otonom adalah kenyataan
adanya perbedaan kemampuan tiap daerah, baik dari segi keterbatasan anggaran
maupun keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa otonomi daerah satu sisi telah memberikan peluang kepada
daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri; tapi pada sisi lain daerah
menghadapi keterbatasan-keterbatasan sumber yang dimiliki. Pada kondisi yang
demikian peran dan dukungan pemerintah pusat masih tetap diperlukan, baik dalam
bentuk dana maupun berbagai kebijakan dan program kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat. Upaya ini akan menghadapi kendala, terutama bila legislatif maupun
ekskutif di daerah tidak mampu menangkap kebijakan dan program pusat atau tidak
mempunyai pemahaman, persepsi atau pandangan yang sama terhadap kebijakan
maupun program dimaksud.
Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, tampaknya
diperlukan upaya untuk membangun komitmen pemerintah dengan legislatif, serta
persepsi atau pandangan lembaga tinggi di daerah (ekskutif dan legislatif) dalam
kerangka realisasi pembangunan kesejahteraan sosial. Upaya-upaya dimaksud akan
lebih tepat sasaran, bila didukung dengan data dan informasi yang lengkap dan
akurat. Data dan informasi dapat dihimpun melalui berbagai cara, antara lain melalui
suatu studi, kajian atau penelitian. Sebagai langkah awal dalam membangun
komitmen pemerintah dan legislatif maka diperlukan penelitian yang berkaitan

3
dengan persepsi atau pandangan legislatif terhadap pembangunan kesejahteraan
sosial di daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi anggota Legislatif
terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan
penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial baik bagi Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah.
Penelitian ini secara deskriptif memaparkan persepsi atau pandangan anggota
lembaga legislatif terhadap pembangunan kesejahteraan sosial. Pandangan
pembangunan kesejahteraan sosial dimaksud terutama pada konsep dan programnya.
Sampel lokasi ditentukan secara random/acak, kemudian dari propinsi terpilih
ditentukan pula secara random dua lokasi daerah tingkat II (satu kota dan satu
kabupaten). Adapun lokasi terpilih adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Responden
penelitian adalah anggota DPRD kota dan kabupaten periode 1999-2004, terutama
anggota Komisi E. Untuk setiap kota/kabupaten diambil semua anggota legislatif
Komisi E, dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah responden anggota legislatif dalam
penelitian ini seluruhnya 62 orang.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan
daftar pertanyaan. Guna mendapatkan data penunjang yang berkaitan dengan
pembangunan kesejahteraan sosial di masing-masing lokasi penelitian, dilakukan
pula studi domukentasi.

B. KERANGKA KONSEP

1. Pengertian persepsi

Persepsi dalam Psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis


yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan sesuatu
objek yang ada di lingkungannya. Menurut Scheerer persepsi adalah representasi
phenomenal tentang objek distal sebagai hasil dari pengorganisasian dari objek distal
itu sendiri, medium dan rangsangan proksinal (Salam; 1994). Dalam persepsi
dibutuhkan adanya objek atau stimulus yang mengenai alat indera dengan

4
perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran
(proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu
itu dapat mengalami persepsi (proses psikologis).
Psikologi kontemporer menyebutkan persepsi secara umum diperlukan
sebagai satu variabel campur tangan (intervening variabel), bergantung pada faktor-
faktor motivasional. Artinya suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik
oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor-faktor organisme. Dengan alasan
sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan
berbeda, karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek
situasi tadi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya (Chaplin, J.P; 1999).
Proses pemaknaan yang bersifat psikologis sangat dipengaruhi oleh
pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Sarwono
mengemukakan bahwa persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan
cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap orang sehingga persepsi
seringkali dipandang bersifat subjektif. Karena itu tidak mengherankan jika seringkali
terjadi perbedaan paham yang disebabkan oleh perbedaan persepsi antara 2 orang
terhadap 1 objek. Persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga
evaluasi bahkan persepsi juga bersifat inferensional (menarik kesimpulan)
(Sarwono,1983).
Persepsi sosial menurut David O Sears adalah bagaimana kita membuat kesan
pertama, prasangka apa yang mempengaruhi mereka, jenis informasi apa yang kita
pakai untuk sampai pada kesan tersebut, dan bagaimana akuratnya kesan itu (David
O Sears, et. al, 1994). Menurut Istiqomah dkk, Persepsi sosial mengandung unsur
subyektif. Persepsi seseorang bisa keliru atau berbeda dari persepsi orang lain.
Kekeliruan atau perbedaan persepsi ini dapat membawa macam-macam akibat dalam
hubungan antar manusia. Persepsi sosial menyangkut atau berhubungan dengan
adanya rangsangan-rangsangan sosial. Rangsangan-rangsangan sosial ini dapat
mencakup banyak hal, dapat terdiri dari (a) orang atau orang-orang berikut ciri-ciri,
kualitas, sikap dan perilakunya, (b) persitiwa-peristiwa sosial dalam pengertian
peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang, secara langsung maupun tidak
langsung, norma-norma, dan lain-lain (Istiqomah, dkk, 1988).

5
Penelitian lain menunjukkan bahwa proses persepsi juga dipengaruhi oleh
pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi (Bartol & Bartol, 1994).
Terkait dengan persepsi sosial, Istiqomah menyebutkan ada 3 hal yang
mempengaruhi, yakni 1) variabel obyek-stimulus, 2) variabel latar atau suasana
pengiring keberadaan obyek-stimulus, dan 3) variabel diri preseptor (pengalaman,
intelegensia, kemampuan menghayati stimuli, ingatan, disposisi kepribadian, sikap,
kecemasan, dan pengharapan) (Istiqomah, dkk, 1988).
Ada tiga dimensi yang terkait dengan persepsi, menurut Osgood tentang
konsep diferensial semantik menjelaskan tiga dimensi dasar yang terkait dengan
persepsi, yakni evaluasi (baik-buruk), potensi (kuat-lemah), dan aktivitas (aktif-pasif).
Menurutnya evaluasi merupakan dimensi utama yang mendasari persepsi, disamping
potensi dan aktivitas (David O Sears, et. al, 1994).
Hubungannya dengan persepsi lembaga legislatif dalam tulisan ini, adalah
persepsinya terhadap pembangunan kesejahteraan sosial. Persepsi diartikan sebagai
pandangan anggota legiaslatif terhadap 5 (lima) konsep pembangunan kesejahteraan
sosial yaitu: 1) Kesejahteraan sosial; 2) Kebijakan/program kesejahteraan sosial; 3)
Keberadaan instansi sosial; 4) Penyelenggara program kesejahteraan sosial; dan 5)
Keberadaan Pekerja Sosial Fungsional.
Persepsi atau pandangan positif anggota legislatif terhadap konsep
pembangunan kesejahteraan sosial, diharapkan akan mendukung kebijakan dan
program pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Hal ini mengingat otonomi
daerah memberikan peluang Lembaga Legislatif untuk melaksanakan fungsi dan
peran lebih besar dalam merumuskan dan menentukan kebijakan pembangunan di
daerah, termasuk didalamnya pembangunan di bidang kesejahteraan sosial.
Ada tiga fungsi utama legislatif di daerah (DPRD) yakni fungsi representasi,
mewakili rakyat untuk membawakan aspirasinya terhadap penyelenggara pemerintah
di daerah; fungsi legislasi adalah dalam perumusan kebijakan publik bersama dengan
ekskutif; dan fungsi kontrol berkaitan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Menurut Sadu Wasistiono, DPRD
sebenarnya menyandang dua fungsi yakni : fungsi badan legislatif (DPR) dan fungsi
badan representatif (MPR) di tingkat pusat karena tidak ada MPR di daerah. Dalam

6
menjalankan fungsi legislatif sehari-hari, DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan
sejajar dan merupakan mitra kerja. Sedangkan setahun sekali dan atau apabila ada
masalah-masalah sangat penting, DPR menjalankan fungsinya sebagai badan
representatif yang memiliki kewenangan meminta pertanggung jawaban Kepala
Daerah. (Sadu Wasistiono; 2003 : 19 – 20). Fungsi representasi menurut Wasistiono
tersebut lebih banyak mengandung arti fungsi kontrol atau fungsi pengawasan.
Lingkup pengawasan legislatif daerah (DPRD) dalam Undang Undang N0 32
tahun 2004 menurut Indra Piliang dalam pasal ini tidak ada pengaturan secara jelas,
berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup pengawasan yang dapat dilakukan
oleh DPRD. Pengertian dan ruang lingkup tugas pengawasan DPRD hanya terbatas
dalam dimensi pengawasan politik saja, sedangkan administrasi merupakan
wewenang pengawasan oleh perangkat pengawasan fungsional (Indra J. Piliang (ed);
2003 : 26).
Pemisahan Lembaga Legislatif dari Pemerintah Daerah mempunyai maksud
untuk lebih memberdayakan legislatif, dan meningkatkan pertanggung jawaban
Pemerintah Daerah kepada rakyat. Merupakan kewajiban lembaga legislatif (DPRD)
untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah dan
melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah (Iskadir Chotob
dan Imam Suhardjo; 2000 : 136)
Dalam pembuatan kebijakan daerah, lembaga legislatif dituntut bekerjasama
dengan Pemerintah Daerah. Dasar dan cara-cara kerja antara Legislatif dan Kepala
Daerah dilaksanakan berdasarkan perundang-undangan dan norma-norma yang
diatur atas kesepakatan bersama.

2. Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (kemudian diperbaharui


dengan UU N0. 32 tahun 2004) tentang otonomi daerah, memberikan peluang dan
peran yang besar pada daerah untuk melakukan sendiri upaya-upaya
mensejahterakan masyarakatnya, termasuk penanggulangan masalah kesejahteraan
sosial. Dengan demikian daerah dapat melakukan upaya-upaya penanggulangan

7
masalah kesejahteraan sosial dengan cara-cara atau model penanganan dan
pendekatan yang spesifik untuk masing-masing daerah.
Departemen Sosial sebagai salah satu unsur Pemerintah pusat di bidang
kesejahteraan sosial, mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun Daerah mempunyai wewenang
untuk mengupayakan kesejahteraan sosial masyarakatnya, peran Pemerintah pusat
tidaklah hilang begitu saja. Departemen Sosial tetap mempunyai peran dengan
memberikan acuan kebijakan dan program yang bersifat nasional. Konsekuensinya
adalah bahwa daerah harus mempunyai persepsi atau pandangan yang sama
terhadap kebijakan dan program pemerintah pusat. Implikasi positif dari hal tersebut,
adalah bahwa pemerintah pusat (Departemen Sosial) perlu mengadakan langkah-
langkah untuk menyamakan persepsi atau pandangan dimaksud.
Pembangunan bidang kesejahteraan sosial sebagai salah satu sub sistem
pembangunan nasional yang pada hakekatnya perwujudan taraf kesejahteraan sosial
yang sebaik-baiknya bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut,
pembangunan kesejahteraan sosial melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan
bidangnya, yaitu: 1) mewujudkan keadilan sosial melalui upaya memperkecil
kesenjangan sosial dengan memberi perhatian kepada masyarakat rentan dan kurang
beruntung; 2) mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan sosial; 3)
memelihara dan memperkuat stabilitas sosial dan integrasi sosial; dan 4)
mengembangkan prakarsa dan peran masyarakat mampu dan dunia usaha dalam
pembangunan kesejahteraan sosial sebagai investasi modal sosial.
Mencermati misi yang diemban pembangunan kesejahteraan sosial terdapat
beberapa hal yang perlu digaris-bawahi, yaitu Pertama, mewujudkan keadilan melalui
upaya memperkecil kesenjangan sosial. Kedua, sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah masyarakat rentan dan kurang beruntung yang biasanya disebut dengan
istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ketiga, dalam pelaksanaan
pembangunan kesejahteraan sosial melibatkan masyarakat mampu dan dunia usaha
sebagai investasi modal sosial. Keempat, hasil yang hendak dicapai adalah
mewujudkan atau meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat sehingga
terpeliharanya stabilitas sosial dan integrasi sosial.

8
Visi Departemen Sosial dalam Kabinet Gotong Royong adalah: “Kesejahteraan
Sosial Oleh dan Untuk Semua”, mengandung arti, bahwa pembangunan
kesejahteraan sosial merupakan upaya dan gerakan nasional untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial oleh perorangan, keluarga, kelompok masyarakat, organisasi dan
dunia usaha seluruh rakyat Indonesia. Misi yang dirumuskan Departemen Sosial RI
mencakup beberapa hal, yakni:
• Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup manusia.
• Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan
kesejahteraan sosial sebagai investasi modal sosial.
• Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan sosial, dampak yang
tidak diharapkan dari proses industrialisasi, krisis sosial ekonomi, globalisasi dan
arus informasi.
• Mengembangkan system jaminan sosial dan perlindungan sosial.
• Memperkuat ketahanan sosial melalui upaya memperkecil kesenjangan sosial,
dengan memberikan perhatian kepada warga masyarakat rentan dan tidak
beruntung serta membina semangat kesetiakawanan sosial dan kemitraan
(Chamsyah, 2000: 32).

Kebijakan pokok yang dirumuskan Departemen Sosial mencakup tiga hal, yakni:
• Meningkatkan peran aktif sosial masyarakat dan memeratakan pelayanan sosial
yang lebih adil.
• Meningkatkan profesionalisme dan manajemen pelayanan sosial.
• Mendukung terlaksananya otonomi daerah.
Sedangkan strategi yang digunakan mencakup empat besaran yaitu:
1) Pemberdayaan sosial, yang mengandung makna pembinaan bagi aparatur pelaku
pembangunan kesejahteraan sosial untuk meningkatkan profesionalisme dan
kinerjanya, serta pemberian kepercayaan dan peluang kepada masyarakat,
dunia usaha dan penyandang masalah kesejahteraan sosial untuk mencegah dan
mengatasi masalah yang ada di lingkungannya.
2) Kemitraan sosial, yang mengandung makna adanya kerjasama, kepedulian,
kesetaraan, kolaborasi dan jaringan kerja sistem informasi masalah-masalah

9
sosial yang menumbuh-kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-
pihak yang bermitra.
3) Partisipasi sosial, yang mengandung makna adanya prakarsa dan peranan dari
penerima pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan
serta melakukan pilihan terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
4) Advokasi sosial, yang mengandung makna adanya upaya-upaya untuk
mendukung, membela dan melindungi masyarakat, sehingga dapat melakukan
tindakan social dan perubahan sosial yang menolong mereka memenuhi
kesejahteraan sosial dan meningkatkan sumber daya manusia.
Sementara itu dari berbagai jenis permasalahan kesejahteraan sosial yang menjadi
sasaran, terdapat 5 (lima) sasaran signifikan yang dapat dikategorikan sebagai sasaran
strategis, tanpa mengabaikan permasalahan sosial lainnya, yaitu: masalah kemiskinan,
kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial, korban bencana dan pengungsi.

C. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh gambaran mengenai


persepsi anggota legislatif di daerah terhadap pembangunan kesejahteraan sosial
adalah sbb:

1. Persepsi Legislatif Tentang Konsep Kesejahteraan Sosial


Sebagian besar responden anggota legislatif (sekitar 85,5%) belum mengetahui
secara mendalam tentang makna/isi dari UU No.6 Tahun 1974. Mereka mengetahui
sekilas tentang konseps kesejahteraan sosial setelah mendapatkan informasi yang
bersifat umum pada awal menjadi anggota legislatif. Selain itu,
pengetahuan/pengalaman mereka tentang kesejahteraan sosial diperoleh setelah
mengikuti hearing DPRD dengan institusi sosial dan melakukan
kunjungan/observasi lapangan; sebagian lainnya sudah memahami kesejahteraan
sosial karena sebelum menjadi anggota legislatif pernah mengajar pada perguruan
tinggi kesejahteraan sosial, dan telah banyak bergerak di bidang usaha kesejahteraan
sosial.
Setelah menjalankan fungsinya di legislatif (terutama di komisi yang
membidangi kesejahteraan sosial) dan diperkenalkan mengenai UU No. 6 Tahun

10
1974, maka responden mempunyai pandangan terhadap konsep kesejahteraan sosial
sbb:
a. Definisi Kesejahteraan Sosial yang tertuang pada UU No.6 Tahun 1974
menurut pandangan responden (83,9%) masih relevan dengan kondisi sosial
saat ini, mengingat hal tersebut merupakan segala sesuatu yang memang harus
dicapai oleh setiap individu masyarakat Indonesia.
b. Kondisi kesejahteraan sosial sebagaimana yang diharapkan UU No.6 Tahun
1974, 59,6% responden berpandangan mudah untuk dicapai, selama
pemerintah dan seluruh elemen masyarakat merencanakan dan melakukan
pembangunan kesejahteran sosial dengan benar dan tepat. Sebagian
responden (40,4%) berpandangan sulit untuk mencapai kondisi tersebut,
mengingat masih banyak unsur-unsur pemerintah terutama Institusi Sosial
baik pusat maupun daerah yang kurang mampu mengimplementasikan
program-program pembangunan kesejahteraan sosial yang sesuai dengan
kondisi permasalahan dan kebutuhan masyarakat setempat atau penyandang
masalah serta banyaknya penyimpangan anggaran.
c. Pelaksanaan program-program pembangunan untuk mencapai kondisi
kesejahteraan sosial yang diharapkan, 88,8% responden berpandangan bahwa
hal tersebut menjadi tanggungjawab bersama pemerintah dan seluruh
masyarakat Indonesia, mengingat kesejahteraan sosial adalah oleh dan untuk
kita semua.
d. Rumusan kesejahteraan sosial yang tertulis dalam UU No.6 Tahun 1974,
menurut 54,9% responden tidak perlu dilakukan revisi/perbaikan terhadap
substansinya. Sementara itu 45,1% menganggap perlu, dengan alasan bahwa
kondisi permasalahan sosial saat ini telah berkembang, dan usia undang-
undang dimaksud sudah cukup lama (sudah 30 tahun).
2. Persepsi Legislatif Tentang Kebijakan, Program dan Strategi Pelaksanaan
Kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial yang digariskan oleh
pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial RI yang meliputi: 1) meningkatkan peran
aktif sosial masyarakat dan pemerataan pelayanan sosial yang lebih adil; 2)
meningkatkan profesionalisme dan menajamkan pelayanan social; 3) mendukung

11
terlaksananya Otonomi Daerah; pada dasarnya masih banyak anggota legislatif yang
belum mengetahui adanya kebijakan tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan secara umum dari peneliti mengenai hal
tersebut di atas, sekitar 91,9% responden menganggap ketiga hal itu merupakan
kebijakan yang sudah tepat, karena kebijakan tersebut telah melibatkan berbagai
unsur dan menyentuh harkat dalam pelayanan sosial. Selama ini walaupun telah
diberlakukan otonomi daerah, menurut pengetahuan dan pengalaman responden
pelaksanaan pembangunan kesejahteran sosial di daerah masih tetap mengacu pada
kebijakan yang digariskan pemerintah pusat (dalam hal ini Departemen Sosial) dan
disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
Program-program Departemen Sosial, terutama yang terkait dengan
penanggulangan masalah kemiskinan, masalah kecacatan, masalah keterlantaran,
ketunaan sosial, dan korban bencana, menurut responden program tersebut sudah
tepat untuk dilaksanakan. Dengan rincian 75,8% responden menyebutkan sudah tepat
untuk program kemiskian, kecacatan (83,9%), program keterlantaran (67,8%),
ketunaan sosial (77,0%), dan korban bencana (92,0%). Permasalahannya menurut
responden adalah bahwa tiap daerah umumnya mempunyai karakteristik
permasalahan tersendiri, dan yang sering terjadi implementasinya terkadang tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Hal lain yang juga mempengaruhi
pelaksanaan program menurut pandangan (45,2%) responden adalah koordinasi antar
instansi terkait yang belum berjalan dengan baik, karena masing-masing instansi
berpegang pada target program yang telah direncanakan.
Secara umum (82,6% responden) memandang, bahwa strategi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial mencakup strategi pemberdayaan sosial,
kemitraan, partisipasi sosial, dan advokasi sudah tepat. Mereka mengatakan bahwa
tanpa menempuh strategi tersebut, pelaksanaan program pembangunan kesejahteran
sosial tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Kendalanya adalah dalam
pelaksanaan program akan sangat tergantung dengan pemahaman dari para
pelaksana terhadap strategi tersebut dan implementasinya. Menurut mereka saat ini
masih banyak SDM pelaksana di daerah yang kurang memahami dan kurang

12
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan strategi dimaksud secara benar, karena
keterbatasan kualitas maupun kuantitas tenaga pelayanan sosial.

3. Persepsi Legislatif Tentang Keberadaan Instansi Sosial Dan Pembangunan


Kesos di Era Otonomi

Untuk melaksanakan pembangunan bidang kesejahteran sosial secara


profesional, yang menurut 77,4% responden menyatakan bahwa program tersebut
merupakan prioritas dalam pembangunan, maka keberadaan Instansi Sosial di era
otonomi ini harus berdiri sendiri, dalam arti tidak digabungkan dengan instansi lain.
Hal ini mengingat karena pembangunan bidang kesejahteran sosial menurut 88,6%
responden bukanlah merupakan program yang bersifat karikatif (belas kasihan), dan
kompleksnya permasalahan kesejahteraan sosial yang harus ditangani oleh
pemerintah.
Untuk ini perlu ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara
pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Dalam hal kewenangan penanganan
masalah, sebagian besar responden (80%) berpandangan bahwa pemerintah
kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap penanganan masalah kesejahteraan
sosial yang bersifat lokal. Sedangkan masalah yang lingkupnya propinsi menjadi
tanggungjawab pemerintah propinsi, namun dalam hal anggaran pelayanan,
pemerintah kabupaten/kota tetap perlu diberikan subsidi yang seimbang dari APBN.
Penyerahan lembaga pelayanan seperti Panti Sosial di daerah yang dulu
dikelola pusat (Departemen Sosial) kepada pemerintah daerah setempat, menurut
62% responden merupakan langkah yang tidak tepat. Hal ini mengingat
kemampuan daerah dalam segala aspek baik anggaran maupun SDM sangat terbatas.
Disamping itu jangkauan wilayah pelayanan dari panti-panti tersebut menjadi sangat
terbatas, seiring anggapan dari penerapan oronomi daerah.

4. Persepsi Legislatif Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesejahteraan Sosial

Dalam kerangka penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial, sebagian


besar responden (sekitar 68%) menyebutkan, bahwa pemerintah daerah belum
mampu menjalin hubungan yang sinergis dengan elemen masyarakat yang ada

13
didaerahnya. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya program pelayanan sosial yang
tidak diketahui oleh sebagian besar lapisan masyarakat.
Partisipasi masyarakat lokal dalam penanganan masalah sosial secara umum
masih belum optimal. Pada umumnya partisipasi masyarakat yang menonjol adalah
dalam penanganan masalah yang sifatnya insidentil seperti penanganan/pelayanan
korban bencana: banjir, tanah longsor, gunung berapi dan sebagainya. Partisipan
elemen masyarakat seperti ORSOS/LSM, dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan
sosial menurut sebagian responden (56,5%), masih banyak berorientasi pada proyek
dan belum pada hasil/manfaat bagi masyarakat.

5. Persepsi Legislatif Tentang Keberadaan Pekerja Sosial

Keberadaan pekerja sosial fungsional di daerah, menurut responden (53%)


sangat diperlukan untuk membantu menangani permasalahan sosial yang ada.
Mereka memandang, bahwa pekerja sosial merupakan aparat pelaksana langsung
yang harus mempunyai posisi yang jelas. Sementara itu sebagian responden lainnya
(47%) menyebutkan keberadaan Pekerja Sosial tidak diperlukan. Menurut mereka
banyak relawan sosial yang bisa dimanfaatkan dalam pelaksanaan usaha
kesejahteraan sosial di daerah. Hal penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah
upaya pembinaan dan peningkatan kualitas relawan sosial agar mereka mampu
melaksanakan fungsinya dengan baik.
Terkait dengan keberadaan Pekerja Sosial, secara umum ( 91,9% responden)
mengemukakan bahwa, pemerintah daerah seharusnya memberikan perhatian
terhadap keberadaan Pekerja sosial. Upaya pemerintah yang perlu dilakukan adalah
bagaimana membina dan meningkatkan pengetahuan mereka di bidang usaha
kesejahteraan sosial, termasuk kesejahteraan mereka dalam kebutuhan ekonomi.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Pada saat pertama menjadi anggota legislatif, pada umumnya belum banyak
mempunyai pengetahun dan pengalaman di bidang usaha kesejahteraan sosial.
Pengetahuan dan pengalaman dalam bidang usaha kesejahteraan sosial diperoleh

14
setelah menjalankan fungsinya melalui: informasi umum, dengar pendapat dengan
institusi sosial, kunjungan lapangan dan sebagainya.
Kebijakan, Program dan Strategi pelaksanaan pembangunan yang dirancang
pemerintah (Departemen Sosial RI) merupakan hal yang sudah tepat untuk
dilakukan. Pelaksanaan pembangunan di daerah pada prinsipnya tetap mengacu
pada kebijakan, program dan strategi pemerintah pusat yang disesuaikan dengan
kondisi daerah. Namun pada tataran implementasi program, pemerintah daerah
masih dihadapkan pada berbagai kendala baik kualitas/kuantitas SDM, anggaran
termasuk keterbukaan pihak eksekutif terhadap keberadaan maupun pemanfaatan
dana APBN untuk pembangunan kesos di daerah.
Untuk melaksanakan pembangunan yang profesional dan terarah, anggota
legislatif sependapat bahwa keberadaan instansi sosial tidak digabungkan dengan
instansi lain, hal ini mengingat kompleksnya permasalahan sosial yang harus
ditangani. Pengelolaan Panti-Panti Sosial yang diserahkan ke daerah seiring dengan
penerapan otonomi daerah merupakan langkah yang tidak tepat, mengingat berbagai
keterbatasan daerah antara lain dalam hal dana maupun SDM yang tersedia.
Sehubungan dengan hal tersebut, legislatif juga masih berharap bahwa pekerja sosial
fungsional yang pernah dibangun oleh Departemen Sosial agar dijaga eksistensinya.

2. Saran
Memperhatikan berbagai temuan tersebut di atas, implikasinya terhadap upaya
Departemen Sosial dalam optimalisasi program bidang kesejahteraan sosial, diajukan
berbagai saran seperti berikut:
a. Departemen Sosial Pusat perlu lebih memantapkan dan meningkatkan kegiatan
sosialisasi dan pembinaan terhadap aparat di daerah. Hal ini mengingat bahwa
banyak aparat instansi sosial daerah (terutama yang berasal dari instansi lain)
belum memahami secara baik konsep, maupun program pembangunan bidang
kesejahteraan sosial.
b. Khusus dengan anggota legislatif, diharapkan Departemen Sosial lebih
memantapkan sosialisasi tentang kebijakan dan program, melalui kunjungan dan
berdialog atau mengundang legislatif daerah dalam suatu pertemuan khusus.

15
Sosialisasi ini diarahkan untuk membangun komitmen yang lebih “intens” antara
pemerintah (Departemen Sosial) dengan legislatif. Melalui kegiatan dimaksud,
diharapkan pula akan tercapai kesamaan persepsi dan pandangannya terhadap
pembangunan kesejahteraan sosial, dan diharapkan pula akan terjalin hubungan
yang harmonis antara legislatif dengan ekskutif di daerah.
c. Kegiatan sosialisasi akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi (buku-buku)
hasil-hasil penelitian, produk-produk kebijakan, program, dan produk panduan
dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial.
d. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama tentang peranan legislatif dalam
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk
lebih mengetahui secara mendalam tentang peranan legislatif dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Peranan tersebut antara lain
menyangkut upaya atau komitmen anggota legislatif dalam memperjuangkan
kesejahteraan sosial masyarakat, kegiatan-kegiatannya dalam usaha kesejahteraan
sosial, dan seberapa kuat anggota legislatif melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.
e. Perlu tinjauan tentang panti-panti milik pusat yang telah diserahkan kepada
daerah, apakah panti yang bersangkutan benar dibutuhkan oleh masyarakat
daerah setempat; apakah daerah setempat mempunyai kemampuan anggaran
yang memadai untuk operasional panti. Hal ini merupakan langkah awal untuk
mencegah panti tidak dapat beroperasi karena kurangnya anggaran atau karena
tidak dibutuhkan daerah setempat.
f. Terkait dengan keberadaan pekerja sosial fungsional, mengingat bahwa secara
hukum telah ditetapkan sebagai pejabat fungsional dengan menerima tunjangan
sesuai aturan yang ada, maka perlu diadakan klarifikasi dengan pemerintah
daerah tentang keberadaan fungsional pekerja sosial di daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Faried, 1997. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

16
Adi, Isbandi Rukminto, 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Chamsyah, Bachtiar, 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesejahteaan Sosial. Jakarta:
Balatbangsos Depsos RI.
________, 2003. Dimensi Religi dalam Kesejahteraan Sosial, Mukman Nuryana ed. Jakarta:
Balatbangsos Depsos RI.
David O., Sears, et. al., 1994. Psikologi Sosial, Jilid 1, Alih bahasa oleh Micahael Adriayanto
dan Savitri Soekrisno. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dhakidae, Daniel, 2003. Profil Daerah Kabupaten dan Kota, Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Istiqomah, dkk, 1988. Modul 1-9: Materi Pokok Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Karunika
Universitas Terbuka.
Kaloh, J., 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Koswara E., 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat. Jakarta:
Sembrani Aksara Nusantara.
Piliang, Indra, dkk (editor). 2003. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Yayasan
Harkat Bangsa.
Sujamto, 1993. Perspektif Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta
Supriyady, B. Deddy, Dadang Solihin, 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Syaukani, dkk, 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wasistiono, Sadu dan Ondo Riyani (editor), 2003. Etika Hubungan Legislatif Eksekutif.
Bandung: Fokus Media.

17

Anda mungkin juga menyukai