Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENELITIAN

ANALISIS KEBIJAKAN PRINSIP GOVERNANCE DAN AKTOR MELALUI


ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PERENCANAAN KOTA

Oleh :

Yolanda Tira Malona Ginting

2001124623

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2020/2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................3
C. TUJUAN............................................................................................................. 3
BAB II LITERATURE REVIEW......................................................................................4
A. Goverance.......................................................................................................... 4
B. Konsep Collaborative Governance.....................................................................6
C. Konsep Analytical Hierarchy Process (AHP)......................................................6
D. Aplikasi AHP.......................................................................................................7
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................8
BAB IV PENUTUP.......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Wilayah perkotaan dewasa ini telah menunjukan perkembangan yang sangat
pesat sejalan dengan pembangunan di Indonesia pada umumnya. Hal ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa perkotaan adalah lokasi yang paling effisien dan
effektif untuk kegiatan-kegitan produktif sehubungan dengan ketersediaan
sarana dan prasarana, tersedianya tenaga trampil, tersedianya dana sebagai
modal dan sebagainya (Anwar, 1994). Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
perkotaan memiliki nilai strategis.
Perkotaan tidak sekedar sebagai pemusatan penduduk serta berbagai fungsi
sosialekonomi-politik dan administrasi, tetapi juga potensial sebagai instrumen
untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat lokal, regional
maupun nasional.
Sebagai kawasan yang relatif lebih lengkap prasarana dan sarananya, kota
telah menimbulkan daya tarik yang sangat besar bagi terjadinya arus
perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Peningkatan jumlah
penduduk tersebut, juga disertai dampak ikutan yang sulit dikesampingkan
terutama dalam hal keterbatasan ketersediaan dan kemampuan pelayanan
infrastruktur penunjang aktivitas masyarakat kota. Dengan demikian
manajemen pembangunan kawasan perkotaan perlu disesuaikan sejalan
dengan dinamisasi serta perubahan pada tataran empiris maupun
perkembangan pemikiran dalam administrasi publik.
Tata kelola perencanaan kota dan wilayah (atau perencanaan tata ruang) telah
dianalisis dan dibandingkan dalam sejumlah publikasi baru-baru ini, yang
masing-masing telah menyoroti keragaman praktik dan pendekatan
perencanaan tergantung pada konteks sosial, ekonomi, lingkungan, dan sosial
tertentu (mis. , Knaap, Nedovic´-Budic´, dan Carbonell 2015; Reimer, Getimis,
dan Blotevogel 2014; Schmitt dan Van Well 2016; Nadin et al. 2018).
perencanaan tata ruang melibatkan perangkat kebijakan yang jauh lebih luas
daripada peraturan saja, sebagai pendukung komunikasi dan kolaboratif. teori
perencanaan telah diakui selama beberapa waktu (misalnya, Forester 1993;
Healey 1997; Innes dan Booher 2010). Artikel asli Tata kelola perencanaan
kota dan wilayah (atau perencanaan tata ruang) telah dianalisis dan
dibandingkan dalam sejumlah publikasi baru-baru ini, yang masing-masing

1
telah menyoroti keragaman praktik dan pendekatan perencanaan tergantung
pada konteks sosial, ekonomi, lingkungan, dan sosial tertentu (mis. , Knaap,
Nedovic´-Budic´, dan Carbonell 2015; Reimer, Getimis, dan Blotevogel 2014;
Schmitt dan Van Well 2016; Nadin et al. 2018). Fitur yang relatif terbelakang
dari literatur ini adalah jenis perangkat kebijakan yang digunakan (atau
berpotensi dapat digunakan) untuk perencanaan tata ruang. Secara umum,
pemikiran konseptual tentang perangkat kebijakan yang digunakan dalam
perencanaan tata ruang relatif terbatas namun tidak selalu konsisten. Artikel
tinjauan ini menggambarkan keragaman konseptualisasi akademik perangkat
kebijakan penataan ruang dan mengidentifikasi kerangka kerja baru untuk
mengkategorikan, menganalisis, dan membandingkan perangkat kebijakan
penataan ruang. Menurut Rydin (1998), regulasi adalah “alat kebijakan
mendasar yang tersedia untuk sistem perencanaan ... [beroperasi] pada tingkat
yang berbeda dan pada aspek yang berbeda dari lingkungan binaan” (hal. 754),
tetapi mencapai tujuan perencanaan seperti karena keberlanjutan dan kohesi
sosial membutuhkan lebih dari sekadar regulasi: tujuan ini menuntut perangkat
kebijakan tambahan di luar regulasi.
Dalam kaitannya dengan manajemen perkotaan, ketersediaan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota (RTRWK) yang merupakan output dari perencanaan tata
ruang adalah prasyarat utama bagi penyelenggaraan pembangunan kota,
mengingat RTRWK menjadi acuan dasar didalam penyelenggaraan
pembangunan setiap sektor pengisi ruang kota tersebut (Dardak, 2006).
Rencana tata ruang kota yang baik perlu disusun dengan melibatkan semua
stakeholders, baik pemerintah, masyarakat, dan swasta, melalui mekanisme
tertentu yang memungkinkan semuanya dapat terlibat secara aktif (Syarif,
2005).
Teori atau perspektif governance sebagai perspektif utama dalam khasanah
administrasi dan manajemen publik sesungguhnya merupakan mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh
sector negara/ pemerintah dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha
kolektif (Pratikno, 2005). Pemahaman tersebut mengasumsikan banyak aktor
yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak
aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah
pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance
mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan

2
keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda. Dengan demikian, terjadi
perubahan dari peran pemerintah dari government ke governance, ketika
seluruh pihak terkait dianggap sebagai bagian dari penyelenggaraan
pengelolaan kota (Prijadi, 2001).
Seiring dengan perkembangan paradigma dalam administrasi publik yang
dibarengi dengan menguatnya tuntutan terhadap demokratisasi dan
desentralisasi, penelitian ini berusaha mengkaji penerapan governance,
khususnya dalam implementasi nilai dan prinsip-prinsipnya dalam aktivitas
perencanaan tata ruang kota. Proses pengambilan keputusan publik secara
demokratis melalui pendekatan governance dalam kerangka desentralisasi
merupakan suatu proses yang sangat kondusif terhadap konsep perencanaan
(tata ruang) sebagai sebuah proses pembelajaran sosial, dimana peran
masyarakat (termasuk di dalamnya civil society dan privat sektor) sebagai
stakeholder menjadi sangat diperhatikan dibandingkan dengan proses
pengambilan keputusan yang dilakukan pada pola rasional semata.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam latar belakang yang sudah dijabarkan diatas, maka rumusan masalah
pada makalah ini yaitu “Bagaimana kebijakan prinsip governance dan aktor
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process dalam perencanaan kota?”
C. TUJUAN
Mengetahui kebijakan prinsip governance dan aktor dengan menggunakan
Analytical Hierarchy Process dalam perencanaan kota

3
BAB II
LITERATURE REVIEW
A. Goverance
Konsep governance berangkat dari istilah government. Government
atau pemerintah merupakan istilah yang digunakan pada organisasi atau
lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintah pada suatu negara.
Konsep government ini dapat dikatakan sebagai konsep lama dalam
penyelenggaraan pemerintahan karaena hanya menekankan pada pemerintah
(lembaga/institusi pemerintah) sebagai pengatur dan pelaksana tunggal
penyelenggaraan pemerintah. Oleh karena itu muncullah konsep governance
yang menggantikan konsep government dalam aspek maupun kajian
pemerintahan. Selanjutnya governance berasal dari kat “govern” dengan
definisi yakni mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua
proses, aturan dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan
pengendalian masalahmasalah kolektif masyarakat. Dengan demikian secara
luas, governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan unsur
masyarakat, baik pemerintah maupun nonpemerintah.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami pergeseran makna antara government
dan governance, Leach dan Percy Smith dalam Hetifah mengungkapkan
perbedaan terkait dua konsep tersebut sebagai berikut:

“bahwa goverment mengandung pengertian politisi dan pemerintah


yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan dan sementara
sisa dari elemen sebuah negara itu bersifat pasif. Sementara governance
meleburkan makna tersebut, dengan merenggangkan kekakuan antara
pemerintah dan yang diperintah (bagian negara yang pasif), sehingga bagian
yang pasif tersebut memiliki peranan dan andil dari bagian government.”

Berdasarkan pembedaan antara konsep government dan governance


diatas, dapat dinyatakan bahwa konsep government secara makna atau
pengertian lebih mengacu atau mengarah kepada politisi atau lembaga
pemerintah. Government mengarah kepada lembaga pemerintah atau birokrasi
itu sendiri yang bertugas memberikan pelayan kepada masyarakat. Selain itu,
pada government masyarakat hanya bersikap pasif atau hanya semata-mata
sebagai pihak yang menerima pelayanan begitu saja. Berbeda dengan
government, governance disebutkan lebih lunak, dalam artian tidak hanya

4
lembaga pemerintahan/birokrasi yang mememiliki peran dalam
penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi juga memberikan ruang dan andil
dari masyarakat dan pihak lain non-pemerintah.
governance merupakan model kepemerintahan yang sangat dinamis. Dengan
kata lain, governance membuka ruang untuk keterlibatan atau partisipasi sektor
lain dalam kepemerintahan. Pemerintah bukanlah aktor yang tunggal atau
dominan dalam kepemerintahan. Selain itu, pendapat tersebut menjelaskan
bahwa terjadi pengurangan terhadap otoritas pemerintah terkait dengan urusan
publik. Pemaknaan tesebut dapat ditinjau dari suaru kondisi yang terjadi ketika
pemerintah dalam penyelenggaraan urusan-urusan publik mengalami
permasalahan di luar kemampuannya, sehingga dalam penangan permasalahn
tersebut perlu melibatkan pihak lain yang memiliki kapasitas atau kemampuan
lebih dan tentunya dapat membantu pemerintah. kondisi tersebut terjadi karena
dipengaruhi oleh keterbatasan kapabilitas pemerintah dalam hal sumberdaya
dan finansial.
Bagan Aktor Governance

Pemerintah

Pemerintah Pemerintah

Rosidi dan Fajriani memetakan bahwa terdapat 3 aktor yang


berpengaruh dalam proses governance. Tiga aktor tersebut yakni pemerintah,
swasta, dan masyarakat. ketiga aktor tersebut saling berkolaborasi dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah tidak lagi menjadi aktor
tunggal yang memonopoli penyelenggaraan pemerintah. melainkan
memerlukan aktor lain karena karena keterbatasan kemampuan pemerintah.
Swasta dengan dukungan finansialnya harus mampu membantu pemerintah
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Swasta dalam hal ini tidak
diperbolehkan untuk mengurusi kepentingannya sendiri yakni hanya semata-
mata mencari keuntungan pribadi. Selain itu, masyarakat juga harus berperan
aktif. Masyarakat dan diberikan ruang. Akan percuma apabila sebenarnya
masyarakat memiliki niatan yang kuat untuk terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, akan tetapi tidak diberikan ruang. Keterlibatan masyarakat ini

5
mampu membuat masyarakat yang mandiri dan meningkatkan kualitas
masyarakat ke depannya.

B. Konsep Collaborative Governance


Salah satu tipe dari konsep penyelenggaraan pemerintahan atau governance
yakni disebut konsep collaborative governance atau penyelenggaraan
pemerintahan yang kolaboratif. Menurut pendapat Ansell dan Grash
“Collaborative governance is therefore a type of governance in which public and
private actor work collectively in distinctive way, using particular processes, to
establish laws and rules for the provision of public goods”. Collaborative
Governance dapat dikatakan sebagai salah satu dari tipe governance. Konsep
ini menyatakan akan pentingnya suatu kondisi dimana aktor publik dan aktor
privat (bisnis) bekerja sama dengan cara dan proses terentu yang nantinya
akan menghasilkan produk hukum, aturan, dan kebijakan yang tepat untuk
publik atau,masyarakat. Konsep ini menunujukkan bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Aktor publik yaitu pemerintah dan aktor privat
yaitu organisasi bisnis atau perusahaan bukanlah suatau yang terpisah dan
bekerja secara sendiri-sendiri melainkan bekerja bersama demi kepentingan
masyarakat.
Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar aktor, antar organisasi atau antar
institusi dalam rangka pencapain tujuan yang tidak bisa dicapai atau dilakukan
secara independent. Dalam bahasa Indonesia, istilah kerjasama dan kolaborasi
masih digunakan secara bergantian dan belum ada upaya untuk menunjukkan
perbedaan dan kedalaman makna dari istilah tersebut.Secara definisi, para ahli
mendefinisikan collaborative governance dalam beberpa makna yang ide
utamanya sama, yakni adanya kolaborasi antara sektor publik dan non publik
atau privat dalam penyelenggaraan pemerintahan atau governance.
C. Konsep Analytical Hierarchy Process (AHP)
AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh
Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah
multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki, menurut
Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan
seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya

6
yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan
akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. (Syaifullah:2010).
Penggunaan AHP bukan hanya untuk institusi pemerintahan atau swasta
namun juga dapat diaplikasikan untuk keperluan individu terutama untuk
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebijakan atau perumusan strategi
prioritas. AHP dapat diandalkan karena dalam AHP suatu prioritas disusun dari
berbagai pilihan yang dapat berupa kriteria yang sebelumnya telah
didekomposisi (struktur) terlebih dahulu, sehingga penetapan prioritas
didasarkan pada suatu proses yang terstruktur (hirarki) dan masuk akal. Jadi
pada intinya AHP membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan
menyusun suatu hirarki kriteria, dinilai secara subjektif oleh pihak yang
berkepentingan lalu menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan
bobot atau prioritas (kesimpulan). Peralatan utama AHP adalah sebuah hierarki
fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Keberadaan hierarki
memungkinkan dipecahnya masalah kompleks atau tidak terstruktur dalam sub
– sub masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu bentuk hierarki (Kusrini,
2007).
D. Aplikasi AHP
Beberapa contoh aplikasi AHP adalah sebagai berikut:
1. Membuat suatu set alternatif
2. Perencanaan
3. Menentukan prioritas
4. Memilih kebijakan terbaik setelah menemukan satu set alternatif
5. Alokasi sumber daya
6. Menentukan kebutuhan/persyaratan
7. Memprediksi outcome
8. Merancang sistem
9. Mengukur performa
10. Memastikan stabilitas sistem
11. Optimasi
12. Penyelesaian konflik

7
BAB III
PEMBAHASAN
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai produk dari
perencanaan tata ruang, pada hakekatnya merupakan suatu paket kebijakan umum
pengembangan daerah. Rencana tata ruang merupakan hasil perencanaan wujud
struktural dan pola pemanfaatan ruang. Bagi wilayah Kota Metro, kebijakan yang
dirumuskan pada dokumen ini merupakan dasar strategi pembangunan spasial, baik
yang berkenaan dengan perencanaan tata ruang yang lebih terperinci (RDTRK,
RTBL), maupun rencana kegiatan sektoral seperti kawasan perdagangan, industri,
permukiman, serta fasilitas umum dan sosial. Arti penting RTRWK dalam konteks
penyelenggaraan pembangunan perkotaan, menjadikan dalam penyusunannya harus
mempertimbangkan beberapa faktor yang ikut mempengaruhi terhadap kualitas isi
RTRWK itu sendiri. Diterapkannya prinsip governance dalam penyusunan tata ruang
wilayah kota diharapkan akan menghasilkan produk rencana tata ruang yang tidak saja
bersifat akomodatif dan legitimate. Akan tetapi juga diharapkan tidak menimbulkan
persoalan dalam implementasinya dikemudian hari, karena keputusan yang dihasilkan
tersebut merupakan kesepakatan bersama diantara para aktor dalam memanfaatkan
ruang kota dalam kurun waktu 20 tahun mendatang.

prioritas utama prinsip governance yang harus diterapkan dalam penyusunan


rencana tata ruang kota adalah partisipasi masyarakat dalam mewujudkan rencana
tata ruang kota yang baik dan berkualitas. Sehingga, dalam penyusunan rencana tata
ruang wilayah, tuntutan penerapan prinsipprinsip good governance terus diupayakan
melalui peningkatan kepedulian dan peran masyarakat khususnya dalam penetapan
fungsi, peran, serta pendekatan kebijakan dan strategi penataan ruang. Pada level
terendah, penerapan prinsip-prinsip good governance ini dilakukan melalui pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Di lokasi
penelitian, masyarakat ikut berpartisipasi dalam bentuk pemberian informasi dan
masukan dalam forum yang difasilitasi pemerintah kota terhadap arah pengembangan
dan alokasi pemanfaatan ruang kota. Meskipun terkesan adanya “jarak” pengetahuan
dan pemahaman antara konsultan perencana dengan warga masyarakat, paling tidak
melalui forum tersebut dapat menampung berbagai aspirasi dan ekspektasi
masyarakat tentang arah pengembangan kotanya untuk 20 tahun yang akan datang.
Arti penting partisipasi sebagai prioritas utama dalam penerapan prinsip governance
dalam persepsi para aktor, mengandung makna bahwa disamping memperbaiki
kualitas rencana tata ruang, peran serta masyarakat dimaksudkan sebagai proses

8
pembelajaran masyarakat dan pemerintah yang secara langsung dapat memperbaiki
kapasitas mereka dalam mencapai kesepakatan. Tidak dipungkiri bahwa rencana tata
ruang pada dasarnya merupakan kesepakatan berbagai stakeholders yang dilahirkan
melalui serangkain dialog yang konstruktif dan berkelanjutan. Melalui proses dialog
yang terus menerus sepanjang keseluruhan proses penataan ruang, maka akan terjadi
proses pembelajaran bersama dan pemahaman bersama (mutual understanding)
berbagai pihak tentang penataan ruang. Dalam lingkup pemanfaatan ruang perkotaan,
masyarakat dapat berada pada posisi yang berbeda-beda, antara lain sebagai pelaku
utama pemanfaatan ruang, sebagai pihak yang terkena dampak kegiatan pemanfaatan
ruang, sebagai pihak yang mempengaruhi kebijakan pemanfaatan ruang perkotaan,
sebagai pihak yang mengawasi dan mengkontrol kebijakan pemanfaatan ruang
perkotaan. Oleh sebab itu, masyarakat merupakan pelaku pembangunan yang
memiliki peran terbesar dalam pemanfaatan ruang perkotaan. Masyarakat dapat
bertindak secara individu atau kelompok. Pada kondisi yang lebih berkembang,
masyarakat membentuk suatu forum yang menghimpun anggota masyarakat yang
memiliki kepentingan yang sama, dimana mereka dapat mengambil keputusan,
membahas permasalahan, dan berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, untuk mencapai pelaksanaan pemanfaatan ruang perkotaan yang
sesuai dengan RTRW, keterlibatan masyarakat harus dihidupkan dan pemahaman
masyarakat akan manfaat jangka pendek, menengah dan panjang penataan ruang
perkotan perlu ditingkatkan.

menempatkan masyarakat (civil society) sebagai prioritas aktor dalam


perencanaan tata ruang kota membawa kita pada implikasi desentralisasi dan
demokratisasi, yaitu keikutsertaan masyarakat dalam penentuan keputusan-keputusan
publik. Apa yang dimaksudkan disini adalah, bahwa hal tersebut semakin memberikan
penekanan yang kuat pada aspek ini, karena hal ini merupakan inti dari reformasi yang
kita cita-citakan yaitu timbulnya masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang
egaliter berdasarkan kesetaraan. Dengan demikian, masyarakat harus diberikan
peranan yang cukup besar dalam penentuan “nasib”nya. Pada saat yang bersamaan,
paradigma dalam sistem perencanaan juga mengalami perubahan dari orientasi hanya
sebagai bagian dari proses administratif untuk mencapai tujuan internal organisasi
publik, menjadi berorientasi sebagai bagian penting dari proses pembuatan kebijakan
dan alternatif tindakan untuk mencapai tujuan kolektif. Proses perencanaan
dilaksanakan dengan memasukkan prinsip pemberdayaan; pemerataan; demokratik;
desentralistik; transparan; akuntabel; responsif dan partisipatif. Dalam pelaksanaannya

9
diperlukan keterlibatan seluruh unsur lembaga negara; lembaga pemerintah; dunia
usaha dan masyarakat luas.

Output rencana tata ruang yang dihasilkan melalui proses partisipasi


diharapkan dapat memperkecil derajat konflik antar berbagai stakeholders terutama
pada tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Disamping itu, peran
serta masyarakat dapat memberikan kontribusi agar menghasilkan rencana tata ruang
yang lebih sensitif dan lebih mampu mengartikulasikan kebutuhan berbagai kelompok
masyarakat yang beragam dengan tidak mengenyampingkan kearifan lokal. Disamping
memperbaiki kualitas rencana tata ruang, peran serta masyarakat dimaksudkan
sebagai proses pembelajaran masyarakat dan pemerintah yang secara langsung dapat
memperbaiki kapasitas mereka dalam mencapai kesepakatan. Tidak dipungkiri bahwa
rencana tata ruang pada dasarnya merupakan kesepakatan berbagai stakeholders
yang dilahirkan melalui serangkaian dialog yang konstruktif dan berkelanjutan. Melalui
proses dialog yang terus menerus sepanjang keseluruhan proses penataan ruang,
maka akan terjadi proses pembelajaran bersama dan pemahaman bersama (mutual
understanding) berbagai pihak tentang penataan ruang. Sehingga proses ini secara
langsung akan berkontribusi terhadap proses pembinaan penataan ruang.

10
BAB IV
PENUTUP
Masyarakat merupakan prioritas atau aktor kunci dalam perencanaan tata
ruang kota yang terkait dengan penerapan prinsip governance. Peran masyarakat
dilakukan terhadap keseluruhan tahapan perencanaan tata ruang kota dalam bentuk
pemberian data dan informasi, opini dan aspirasi, serta keberatan dan sanggahan
terhadap konsep pengembangan wilayah kota. Sehingga keterlibatan masyarakat
dalam proses kebijakan penataan ruang membawa dampak terhadap kualitas
kebijakan yang dihasilkan agar memperoleh legitimasi yang didasarkan pada
rasionalitas yang memadai.

11
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Affendi, 1994. Proses Pembentukan Sistem Kota-Kota Dan Analisis Ekonomi
Kawasan Perkotaan. Pengantar Mata Kuliah Analisis Sistem Urban dan Regional. PS-
PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor

Bovaird, T. & Loffler, E., 2003, “Evaluating the quality of public governance: indicators,
models and methodologies”, Jurnal International Review of Administrative Science,
Vol.69 (2003), 313-328

Dwiyanto, Agus. 2015. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif.
Yogyakarta: UGM Press. Hal 1.

Hans Klijn, Erick and Koppenjan, Joop, “Governance Network Theory: Past, Present
and Future”, dalam Jurnal Policy and Politic Vol. 40 No. 4, 587-606 Tahun 2012

Friedman, J., 1987, Planning in The Public Domain, From Knowledge to Action,
Princeton University Press, New Jersey

Kurniawan, Teguh. 2007. Pergeseran, Paradigma Administrasi Publik; Dari Perilaku


Model Klasik Dan NPM Ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. No.
23A/Dikti/KEP/2004. ISSN. 141-948X, Vol. 7. Hal. 16-17

12

Anda mungkin juga menyukai