5&6
MANAJEMEN PELAYANAN
PUBLIK
Hal. 1 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Chapter 5
KUALITAS PELAYANAN
Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran dari modul kedua ini diharapkan mahasiswa mampu memahami konsep
kualitas pelayanan.
Hal. 2 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
a. GAP 1 adalah gap antara Harapan Pelanggan – Persepsi Manajemen. Sehubungan GAP 1
ini, ketiganya mengajukan Proposisi 1: “Gap antara harapan pelanggan dan persepsi
(kinerja) manajemen atas harapan tersebut akan punya dampak pada penilaian pelanggan
atas kualitas pelayanan.”
e. GAP 5 adalah gap antara Pelayanan Diharapkan (Expected Service) – Pelayanan Diterima
(Perceived Service). Sehubungan dengan GAP 5 ini, ketiganya mengajukan Proposisi 5:
“Kualitas yang pelanggan teriman dalam pelayanan adalah fungsi magnitude dan arah gap
antara pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang diterima.”
Parasuraman, Zeithaml, and Berry kemudian mengajukan 10 kategori Kualitas Pelayanan. Ke-10
kategori ini mereka sebut “Service Quality Determinants.” Ke-10 kategori tersebut bisa saja
bersifat overlapping karena mereka dibangun melalui studi eksploratoris yang notabene
menggunakan pendekatan kualitatif. Berikut adalah ringkasan ke-10 determinan tersebut:
Hal. 3 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Hal. 4 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Dalam menghubungkan ke-10 determinan dengan Harapan (expected service) dan Kinerja
pelayanan (perceived service), maka berikut adalah model analisisnya:
Dalam model analisis di atas, tampak bahwa Expected Service (Pelayanan yang Diharapkan)
bergantung pada WOM (Word of Mouth), Personal Needs dan Past Experience. Berita dari mulut
ke mulut, kebutuhan pribadi, serta pengalaman masa lampau merupakan tiga variabel bebas yang
memicu muncul Pelayanan yang Diharapkan (expected service). Di sisi lain, Perceived Service
(Pelayanan yang Diterima) bergantung pada variabel Penentu Kualitas Pelayanan (determinants
of service quality). Variabel ini diukur lewat 10 indikator. Perbandingan antara Pelayanan yand
Diharapkan dengan Pelayanan yang Diterima memunculkan Kualitas Pelayanan yang Diterima
(Perceived Service Quality). Kualitas Pelayanan yang Diteririma inilah yang kerap disebut sebagai
alat ukur Kualitas Pelayanan serta Kepuasan Pelanggan.
Hal. 5 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Tapi apa sebenarnya layanan yang baik tersebut dan bagaimana mendapatkannya adalah
sebuah pertanyaan yang mendasar. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut le
Grand dalam Irawan (2016) mangarah kepada tujuan (end) yang hendak dicapai dengan
pelayanan publik dan apa sarana atau cara (means) untuk mencapai tujuan tersebut. Konsep ini
kemudian dijadikan salah satu alasan mengapa perdebatan tentang berbagai cara atau model
untuk memberikan pelayanan publik bukan karena perselisihan mengenai efektivitas atau hal
lainnya dalam mancapai tujuan, namun keberartian cara-cara tersebut dalam mencapai tujuan
publik itu sendiri.
le Grand dalam Irawan (2016) menjelaskan secara mendasar, ada empat cara atau model
pengiriman palayanan publik dalam mencapai tujuannya (ends). Pertama ialah trust atau
kepercayaan, dimana para professional dan pekerja pada pelayanan publik dapat dipercaya dalam
mendistribusikan pelayanan. Konsep kedua ialah command and control (yang dikenal juga dengan
hirarki), dimana pemerintah atau institusinya bersama-sama mendistribusikan pelayanan secara
struktur manajeman yang kondusif. Cara atau model ketiga ialah voice, dimana pengguna layanan
berusaha mendapatkan pelayanan yang baik dengan berkomunikasi dengan penyedia layanan
dengan berbagai cara. Model keempat adalah choice, dimana pengguna layanan dapat memilih
jenis penyedia layanan yang berbeda-beda.
Kemampuan bertahan sebuah organisasi tidak terlepas dari trust kepada organisasi
penyelenggara layanan. Ada dua bentuk trust yakni public trust dan social trust. Dwiyanto (2011)
menjelaskan bahwa kepercayaan publik dilakukan terhadap organisasi pemerintah yang pada
umumnya selalu terkait dengan isu-isu publik tertentu. Respon warga terhadap kebijakan yang
berujung pada pelayanan pemerintah yang sesuai dengan harapan dan aspirasinya cenderung
akan meningkatkan kepercayaan. Dalam konteks kepercayaan social, Dwiyanto (2011, h. 360)
menjelaskan bahwa kepercayaan social merujuk kepada kepercayaan warga terhadap warga
lainnya dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Secara khusus, Command and Control (komando dan pengendalian) adalah fokus upaya dari
sejumlah entitas (individu dan organisasi) dan sumber daya, termasuk informasi, menuju
pencapaian tugas, sasaran, atau tujuan (Albert dan Hayes, 2006). Command and Control
bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan sarana untuk menciptakan nilai seperti pencapaian
misi organisasi. Albert dan Hayes (2006) lebih jauh menjelaskan jika Command and Control
diterapkan pada suatu organisasi, akan menciptakan atau mengubah suatu entitas atau asosiasi
entitas dan membuatnya cocok dengan tantangan yang dihadapi, dan mencapai misi orgaisasi.
Hal. 6 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Konteks Command and Control dalam administrasi dapat dilihat sebagai bagian fungsi
manajemen.
Konsep voice dan choice menurut Hirschman (1970) adalah setiap orang memiliki pilihan yang
berbeda untuk mempengaruhi organisasi atau pemerintah. Pertama, ketika orang tidak puas
dengan produk atau jasa tertentu mereka dapat meninggalkan (dalam literatur dikenal dengan
istilah exit atau choice) dan pergi ke penyedia layanan lain. Ini akan memungkinkan mereka untuk
menerima layanan yang lebih baik di tempat lain dan akan menjadi sinyal kepada penyedia bahwa
mereka perlu untuk meningkatkan layanan mereka. Choice atau exit mengharapkan orang untuk
berperilaku sebagai konsumen yang kritis.
Selain mekanisme choice ini, orang juga dapat menggunakan mekanisme yang lebih politis yakni
Voice atau bersuara. Mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan mereka, misalnya dengan
mengajukan keluhan, menulis surat, dan konsultasi dengan pengambil keputusan. Oleh karena itu
voice adalah cara lain untuk menunjukkan ketidakpuasan kepada penyedia. Sementara choice
adalah konsep yang relatif mudah, voice adalah salah mekanismen yang lebih kompleks. Hal ini
disebabkan ia mencakup semua upaya untuk “mengubah” daripada “melarikan diri” dari situasi
tertentu (de Bovenkamp, 2013). Dibandingkan dengan exit atau choice, voice memiliki keuntungan
dari menawarkan informasi tentang mengapa terjadi ketidak puasan.
Setidaknya ada lima atribut dasar yang mencirikan pelayanan publik yang berkualitas. Lima atribut
dasar yang menjadi acuan tujuan pelayanan publik tersebut meliputi: pelayanan harus memiliki
kualitas pada level tinggi, pelayanan harus dioperasikan dan dikelola secara efisien, pelayanan
publik harus responsif terhadap kebutuhan dan keinginan pengguna layanan, memiliki
akuntabilitas yang baik kepada warga negara, dan pelayanan tersebut harus disampaikan secara
adil (Irawan, 2016).
Produk pelayanan adalah pengelola pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan atau
badan hukum lain yang sifatnya langsung atau tidak langsung. Produk pelayanan menurut sifatnya
dibedakan sebagai berikut:
Hal. 7 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Karakteristik penyediaan pelayanan oleh pemerintah penyelenggaraan antara lain, (a) memiliki
dasar hukum yang jelas dengan penyelenggaraanya, (b) memiliki kelompok kepentingan yang
luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani, (c) memiliki tunjuan sosial, (d) dituntut
untuk akuntabel kepada publik, (e) memiliki konfigurasi indikator kerja yang perlu kelugasan
(complex and debated performance indicators), serta (f) sering kali menjadi sasaran isu politik.
Sedangkan penyediaan pelayanan oleh sektor swasta memiliki karakteristik sebagai berikut,
(a) didasarkan kepada kebijakan Dewan Direksi, (b) terfokus pada pemegang saham dan
manajemen, (c) memiliki tujuan mencari keuntungan, (d) harus akuntabel pada hal hal tertentu,
(e) kinerjanya ditentukan oleh atas dasar kinerja manajemen, termasuk di dalamnya kinerja
financial serta tidak terlalu terikat dengan isu politik.
Referensi
Mike Wallace, Michael Fertig, dan Eugene Schneller. 2007. Managing Change in the Public
Services. UK: Blackwell Publishing Ltd.
Parasuraman, Valarie A. Zeithaml, and Leonard L. Berry. Spring 1988. SERVQUAL: A Multiple-
Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality dalam Journal of Retailing
Volume 64 Number 1, pp.12-40.
Silalahi, Ulber dan Syafri, Wirman. 2015. Desentralisasi dan Demokrasi Pelayanan Publik.
Bandung: IPDN Press Jatinangor.
Irawan, Bambang. 2016. Kapasitas Organisasi dan Pelayanan Publik, Jakarta:Publika Press
Hal. 8 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Tugas :
Hal. 9 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Chapter 6
MANAJEMEN PERUBAHAN
PADA PELAYANAN PUBLIK
Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran dari modul kedua ini diharapkan mahasiswa mampu memahami
manajemen perubahan dalam pelayanan publik.
Kemudian, sektor publik tidak sefleksibel sektor swasta khususnya untuk permasalahan anggaran,
pembelian hingga perekrutan tenaga kerja. Karena sejatinya sektor publik menggunakan uang
negara tentunya prosesnya menjadi lebih rumit dan memakan waktu yang cukup lama karena
harus ada persetujuan parlemen hingga ragam proses politik lainnya. Dan yang alasan terakhir
mengapa begitu sulit untuk menginisiasi perubahan di sektor publik dikarenakan banyak
kepentingan di dalamnya. Ada perubahan yang bisa diterima semua pihak sehingga prosesnya
akan lebih mudah diimplementasikan sebaliknya ada perubahan yang sifatnya esensial untuk
segera dilaksanakan namun impelementasi kebijakan tersebut akan merugikan banyak
kepentingan (meskipun sering lebih cenderung kepentingan kelompok/golongan tertentu). Hal ini
akan membuat perubahan yang diinginkan akan sulit terealisasi. Atas dasar ini ada beberapa
prinsip dasar yang coba dikemukakan oleh Ostroff (2006) dalam tulisannya yang berjudul ‘Change
Management in Government”.
Hal. 10 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Setidaknya dengan penerapan prinsip dasar tersebut akan membuat perubahan khususnya
perubahan dari sisi pengelolaan yang harus dilakukan di sektor publik akan lebih mudah dan bisa
dikelola dengan baik. Berikut adalah lima Prinsip Dasar dalam “Change Management in
Government“:
Hal. 11 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
a. Pertama, “setting the stage“, Sebagai pemimpin sebelum kita mengimplementasikan suatu
kebijakan seharusnya kita terlebih dahulu harus paham bagaimana kondisi eksisting
institusi yang kita pimpin. Hal ini menjadi penting terutama bagi para pemimpin yang baru
terpilih. Secara sederhana setting the stage dapat diartikan sebagai usaha mengkondisikan
agar institusi yang kita pimpin mau mendukung kebijakan yang diambil. Setting the
stage dilakukan dengan mengkomunikasikan tentang seberapa penting dilakukannya
perubahan, rasionalisasi atas kebijakan yang diambil maupun gaya dari kepemimpinan kita
dalam institusi. Keterbukaan menjadi elemen penting yang menentukan kesuksesan
perubahan. Ketika pada tahapan ini pemimpin gagal meraih simpati bawahannya maka
resistensi akan muncul dan menghambat terwujudnya tujuan institusi.
Hal. 12 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
b. Kedua, perlu adanya kesamaan pola pikir antara pemimpin dengan bawahannya. Untuk
membenahi institusi terkadang seorang pemimpin memiliki rencana strategis. Namun tidak
semua pihak memahami apa sebenarnya makna dari rencana strategis tersebut. Ketika
banyak elemen dalam isntitusi yang gagal mengejawantahkan rencana tersebut maka
pekerjaan tidak akan berjalan dengan sinergis.
c. Ketiga, pemimpin juga harus menjaga kondisi psikologis bawahannya. Berbagai kebijakan
yang diambil oleh atasan dalam masa-masa perubahan seringkali membuat banyak pihak
dalam institusi terguncang. Sehingga, pemimpin harus benar-benar memperhatikan kondisi
ini karena secara tidak langsung kondisi psikis bawahan akan mengganggu produktivitas
maupun semangat kerja.
Dan yang terakhir adalah Reinforcing Good Habits. Seringkali hal-hal yang kurang relevan untuk
meningkatkan kinerja institusi menjadi kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Sebagai seorang
pemimpin, dengan pendekatan persuasif kita bukan sekedar mendekonstruksi kebiasaan buruk
yang telah melembaga tersebut namun juga harus mampu melembagakan kebiasaan yang baik di
institusi yang kita pimpin. Sebagai contoh, menggeser paradigma ingin dilayani di kalangan
birokrasi Indonesia menjadi paradigma melayani tentu bukanlah hal yang mudah. Banyak orang
yang sudah merasa nyaman dengan prilaku birokrasi yang selalu ingin dilayani. Meskipun hal
tersebut salah , ketika didekonstruksi untuk kembali ke filosofi birokrat yang sebenarnya, maka
akan banyak resistensi. Sehingga dalam konteks ini peranan pemimpin dalam
mengkomunikasikan kebiasaan atau paradigma yang baik tersebut untuk melembaga dalam jiwa
para birokratnya sangat penting.
Strategi Perubahan
Banyak istilah yang biasa dipakai dalam strategi perubahan, antara lain change management,
turnaround management, crisis management, reformasi, transformasi, adaptive strategy, dan
sebagainya. Selain itu strategi perubahan juga dikenal lewat program-programnya seperti
restrukturisasi, downsizing, rightsizing, reengineering, dan sebagainya.
a. Downsizing
Merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan atau dirancang untuk meningkatkan kembali
efisiensi organisasi, produktivitas, dan daya saing suatu organisasi dengan strategi
mengurangi jumlah ukuran tenaga kerja dalam suatu perusaaan. Adanya pelaksanaan
dari downsizing ini dapat membuat perusahaan untuk mengurangi biaya dari aktivitas bisnis,
adanya peningkatan dalam kinerja perusahaan, kembali mampu untuk menjawab tantangan
eksternal perusahaan, serta mendapatkan efisiensi kerja secara menyeluruh.
Hal. 13 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Beberapa penyebab yang menjadikan sebuah organisasi melakukan downsizing antara lain: a)
Krisis ekonomi; b) Pendapatan yang lebih kecil ketimbang pengeluaran; c) Jumlah tenaga
kerja yang terlampau banyak; d) Kebutuhan akan tenaga kerja yang lebih professional dan
personalia yang baru; e) Rencana pembukaan cabang baru.
b. Rightsizing
Merupakan upaya untuk melakukan penataan unit organisasi dengan jumlah pegawai yang
tepat untuk mencapai tujuan organisasi. Rightsizing dilakukan dengan menentukan kebijakan
strategis (Visi, Misi, Tujuan, Domain) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan
menentukan jenis dan jumlah satuan organisasinya.
Menurut Daft (2004), perubahan strategis adalah perubahan yang cenderung “radikal”,
dan perubahan operasional adalah sebagai perubahan “incremental”. Perubahan
Incremental adalah perubahan secara kontinyu dilakukan suatu organisasiuntuk memelihara
keseimbangan umum organisasi. Biasanya dilakukan terbatas dalam satu bagian organisasi dan
dampaknya dirasakan sendiri oleh bagian itu. Sedangkan Perubahan Radikal cenderung
mengubah referensi, arah, dan kebijakan organisasi. Biasanya perubahan ini mentrasnformasikan
seluruh bagian institusi. Perubahan ini melibatkan lahirnya suatu terobosan berupa struktur yang
benar-benar baru dengan proses bisnis yang berbeda.
Mengatasi Resistensi
Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlangsung sesuai dengan rencana, maka
resistensi yang muncul harus dapat diatasi. Mengatasi atau mengurangi resistensi pada
perubahan bergantung pada sumber-sumber resistensi. Terdapat tiga sumber
penolakan/resistensi terhadap perubahan yaitu ketidakpastian tentang akibat dan pengaruh
perubahan, ketidakpastian untuk melepaskan keuntungan-keuntungan yang ada, dan
Hal. 14 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Dalam mengatasi penolakan atas perubahan, Coch dan French Jr. (L, et al., 1948) mengusulkan
ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang,
tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam
berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk
lainnya.
2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya
bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil
keputusan.
3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan
konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun
akan mengurangi tingkat penolakan.
4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-
pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang
Hal. 15 dari 16
5&6 MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan
alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka.
5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya.
Misalnya memelintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal
yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara
memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil
keputusan.
6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi
siapapun yang menentang dilakukannya perubahan.
Referensi
Mike Wallace, Michael Fertig, dan Eugene Schneller. 2007. Managing Change in the Public
Services. UK: Blackwell Publishing Ltd.
Parasuraman, Valarie A. Zeithaml, and Leonard L. Berry. Spring 1988. SERVQUAL: A Multiple-
Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality dalam Journal of Retailing
Volume 64 Number 1, pp.12-40.
Silalahi, Ulber dan Syafri, Wirman. 2015. Desentralisasi dan Demokrasi Pelayanan Publik.
Bandung: IPDN Press Jatinangor.
Irawan, Bambang. 2016. Kapasitas Organisasi dan Pelayanan Publik, Jakarta:Publika Press
Tugas :
1. Berikan contoh perbahan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan kinerja dan
kualitas pelayanan publik
Hal. 16 dari 16