Gambaran Umum
Asesmen dalam Psikologi Klinis ialah pengumpulan informasi untuk digunakan sebagai dasar
bagi keputusan-keputusan yang akan disampaikan oleh penilai (Bernstein & Nietzel, 1980,
hal.99).Personality Assesment ialah seperangkat proses yang digunakan oleh seseorang untuk
membentuk citra, membuat keputusan, mengecek hipotesis tentang pola karakteristik orang
lain, yang menentukan perilakunya dalam interaksi dengan lingkungan (Sundberg. dalam Phares,
1992).
Menurut Bernstein dan Nietzel (1980) ada empat komponen dalam proses asesmen psikologi
klinis yakni:
4) Mengomunikasikan data asesmen baik dalam bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan.
Pengumpulan Data
Sebelum dilakukan prosedur asesmen, terlebih dulu pemeriksa harus bertanya pada diri sendiri
apa yang ia ingin ketahui dan bagaimana caranya. Untuk masalah seperti 'Apakah seseorang
dapat menjabat sebagai kepala perusahaan?' atau 'Apakah seorang yang baru sembuh dari
kecelakaan tabrakan mobil dapat bekerja kembali?' diperlukan suatu perencanaan. Perencanaan
ini meliputi apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara memperoleh jawabannya.
Prosedur pemeriksaan dalam psikologi klinis umumnya terdiri dari observasi, wawancara dan
tes yang dipilih sesuai dengan pertanyaan yang harus dijawab tadi. Untuk efisiensi dalam
proses pemeriksaan biasanya digunakan cara-cara yang dapat memberi informasi dengan
keluasan(breadth, bandwidth) dan kedalaman(intensity, fidelity) yang cukup. Validitas dan
reliabilitas tes, orientasi teoretik pemeriksa, variabel-variabel yang penting berkaitan dengan
pertanyaan yang harus dijawab, menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan itu.
Selanjutnya perlu dipertimbangkan apakah tujuan asesmen itu untuk melakukanklasifikasi
(diagnosis medis),deskripsi variabel, atau untukprediksi .
Sesuai dengan pertanyaan pada tahap perencanaan maka ditentukan bagaimana wawancara
dilakukan dan informasi apa yang diutamakan. Demikian juga untuk observasi, perlu ditentukan
metode dan fokus observasi.
Wawancara adalah metode asesmen yang relatif murah dan mudah. Wawancara dapat
dilakukan di manasaja dan fleksibel dalam pelaksanaannya. Namun wawancara mempunyai
kelemahan yakni dapat terdistorsi oleh sifat pewawancara dan pertanyaan apa yang diajukan;
dipengaruhi oleh keadaan klien yang diwawancara (misalnya, daya ingatnya atau kesediaannya
untuk memberi informasi) dan oleh situasi/keadaan tempat wawancara dilaksanakan (lihat
subbab wawancara).
Hasil observasi juga merupakan sumber informasi yang penting untuk asesmen. Keuntungan
observasi adalah dapat melihat langsung apa yang dilakukan subjek yang merupakan sasaran
asesmen. Ini lebih baik daripada hasil wawancara yang dapat direkayasa oleh subjek yang
diwawancara. Situasi untuk observasi dapat dipilih yang paling tepat, misalnya untuk
mengobservasi agresivitas anak lebih baik dilakukan di lingkungan sekolah. Selanjutnya
observasi dapat diarahkan secara lebih spesifik untuk tujuan kuantifikasi. Kelemahan observasi
adalah adanya pengaruh bias dari observer (lihat subbab observasi).
Tes, seperti wawancara, juga memberikansample dari tingkah laku. Keuntungan dari tes adalah
mudah, ekonomis, dapat dilakukan oleh banyak orang (asal profesional) dan terstandardisasi
(lihat subbab pemberian tes). Selain data dari sumber tersebut, catatan lain(life records) ,
misalnya yang ditulis oleh orangtua atau teman subjek, tentang subjek yang sedang diperiksa,
dapat merupakan data yang juga penting.
Wawancara untuk menjajagi latar belakang masalah dan gangguan seseorang dinamakan
wawancara klinis, yang kadang-kadang dianggap sama dengan wawancara mendalam(depth
interview) . Dinamakandepth interview karena ada asumsi bahwa latar belakang gangguan
seseorang belum tentu sama dengan apa yang dikemukakan olehnya secara sadar, sehingga
pewawancara kadang-kadang harus menggalinya lebih dalam. Wawancara klinis biasanya
merupakan suatu bentuk cerita(narrative) yang diarahkan pada pengalaman klien Wawancara
klinis sukar dibedakan dengan "wawancara psikoanalitis". Wawancara ini mementingkan
realitas psikologis , yakni bagaimana sifat dan cara pengalaman subjektif seseorang terhadap
suatu peristiwa, dan bukan mementingkan aktualitas historis, yakni kenyataan sebagaimana
terjadinya secara fakta objektif dalam riwayat hidup klien. Akan tetapi pemeriksa sebaiknya juga
mengetahui sejauh mana ada kemungkinan kebenaran dari cerita klien.
Umumnya buku-buku mengenai psikologi klinis dan psikoterapi terlalu menitikberatkan pada
wawancara/percakapan klinis yang teknis, terencana, untuk tujuan-tujuan diagnostik atau tujuan
terapeutik. Padahal ada jenis percakapan yang tak termasuk dalam rencana, yang juga penting
untuk dipelajari karena ternyata mempunyai efek tertentu pada klien. Schraml (1969)
membedakan antara 'percakapan yang dirundingkan'(uberlegte gesprach) dengan 'percakapan
yang tak dirundingkan' selain daripada percakapan terencana untuk tujuan mengadakan
diagnosis melalui anamnesis.
Wawancara dalam setting klinis, lebih daripada setting yang lain, sangat dipengaruhi oleh sikap
pemeriksa terhadap kliennya. Seorang pemeriksa dapat memperlakukan pasiennya sebagai
"benda", dapat pula bersikap terhadapnya sebagai seorang ibu/bapak; atau pemeriksa bersikap
sebagai pendengar bagi kliennya. Dari sudut klien, percakapan dengan pemeriksa dapat ia
rasakan secara berbeda-beda, misalnya sebagai suatu keadaan yang dapat membebaskannya
dari suatu penderitaan. Ini disebabkan klien memandang pemeriksa sebagai seorang yang
mempunyai keahlian. Atau klien juga dapat merasakan suatu pemeriksaan klinis sebagai suatu
bahaya, suatu kewajiban, di mana ia terancam untuk membeberkan kelemahannya yang selama
ini selalu ia tutupi.
Klien dapat bersikap positif terhadap pemeriksa atau bersikap negatif, tergantung dari
pengalaman sebelumnya mengenai wawancara yang pernah dijalaninya. Sehubungan dengan
ini, lembaga tempat pemeriksa bekerja dapat mempengaruhi sikap klien terhadap jalannya
pemeriksaan selanjutnya.
Pihak terapis/pemeriksa, harus pula menyadari sikapnya terhadap klien/pasien agar tidak
terjadi proyeksi dalam menafsirkan/menginterpretasi suatu hasil wawancara/pengamatan
terhadap klien. Wawancara klinis mempunyai suatu "perjalanan" yang dipengaruhi oleh baik
sikap pasien terhadap wawancara, maupun oleh pewawancaranya, tidak saja oleh apa yang
secara verbal diucapkan oleh pewawancara tapi juga oleh ekspresi nonverbal pewawancara
seperti gaya bicara, sikap tubuh, tindak-tanduk, dan sebagainya. Pewawancara harus sadar
sepenuhnya atas tindakannya sendiri dan dampak tindakannya terhadap pasien/kliennya.
Setelah pertanyaan-pertanyaan mengenai data objektif seperti nama, umur, alamat, pekerjaan,
pendidikan, dan lain-lain (sesuai dengan daftar pertanyaan mengenai data identifikasi) didapat,
maka percakapan pertama yang dilakukan dalam pemeriksaan klinis adalah mengenai
masalah/keluhan.
Dalam hal ini pemeriksa mengajukan pertanyaan pembuka yang dapat memberi kemungkinan
kepada klien untuk memberi jawaban secara luas, seperti: 'Apa latar belakang kedatangan anda
ke sini?' atau 'Apa masalah anda?'
Biasanya pertemuan pertama berlangsung antara 10-15 menit sebelum dapat tercapairapport
yang baik. Setelah itu pembicaraan diarahkan pada keluhan klien. Jika pemeriksa memutuskan
untuk membicarakan hal-hal yang lebih mendalam pada pertemuan pertama, sebaiknya ia
mempunyai waktu minimal 1 jam. Beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan
pembicaraan yang mendalam, yaitu: klien cukup stabil, tak begitu terganggu dan pemeriksa siap
serta ada waktu yang cukup untuk membicarakan hal tersebut.
Pada akhir pertemuan pertama sebaiknya pemeriksa mempersiapkan akhir wawancara dengan
memberikan pengarahan wawancara pada satu topik tertentu, dan mempersiapkannya untuk
pertemuan konsultasi selanjutnya. Klien yang normal diharapkan akan dapat mengemukakan
hal-hal yang memang penting dan tidak merasa diusir jika sudah dipersiapkan untuk pertemuan
selanjutnya yang disusun dalam jadwal tertentu (tes, wawancara dan lain sebagainya).
Jika klien yang datang pada kita adalah seorang dewasa yang normal (yakni tidak psikotis,
masih mempunyaijudgement yang baik tentang keadaan diri dan lingkungan realistis), maka
untuk dapat mengadakan wawancara dengan orang lain (suami/istri, anak, atau temannya)
sebaiknya klien diminta persetujuannya. Hal ini terutama harus kita perhatikan bila klien datang
atas kemauan sendiri, menginginkanprivacy , seperti misalnya pada masalah perkawinan.
Kerugian yang mungkin disebabkan oleh tidak adanya keterangan dari sumber lain (jika klien
menolak untuk mengajak orang lain) juga harus dikemukakan kepadanya sekiranya klien tidak
setuju diadakan wawancara dengan pihak lain.
Jika klien tidak datang atas kemauan sendiri, perlu diketahui apa latar belakang pengiriman
seorang klien kepada psikolog dan apa tujuan pemeriksaan. Kadang-kadang ada keinginan yang
tak realistis dari pengirim klien, misalnya ia meminta kepastian apakah seseorang itu jujur/tidak.
Padahal klien dibujuk untuk datang pada psikolog dan ia tidak merasa perlu. Maka kadang-
kadang kita harus memberi penjelasan tertentu atau membangkitkan motivasi klien untuk
menjalani pemeriksaan psikologis.
Setelah pada tahap awal pemeriksaan dibahas mengenai keluhan/masalah klien dan latar
belakangnya maka selanjutnya diadakan eksplorasi mengenai riwayat keluhan dan riwayat
hidup klien. Schraml (1969) memberi pedoman untuk melakukan wawancara klinis sesuai
dengan topiknya (Tabel 6.1) dan bagaimana percakapan tersebut dilaksanakan (Tabel 6.2)
Ada beberapa teknik bertanya yang dikemukakan oleh Wallen (1956) sehubungan dengan
pengambilan anamnesis, di mana teknik ini dapat digunakan sesuai dengan keperluan, sesuai
dengan situasi pemeriksaan.
1.Narrowing questions , yaitu mulai dengan mengaju kan pertanyaan luas, kemudian disusul
dengan pertanyaan yang lebih mendetail. Cara ini umumnya cukup aman untuk digunakan
dalam banyak situasi. Fungsinarrowing questions ialah mengetahui sikap klien yang spontan
atau yang sejujur-jujurnya. Misalnya: "Coba anda ceritakan tentang lingkungan kerja anda" (luas)
"Apa pendapat anda tentang pimpinan?" (sempit).
2.Progressing questions , yakni mulai dengan memberikan pertanyaan tentang suatu yang dekat
dengan apa yang sesungguhnya ingin diketahui, kemudian menyusul pertanyaan yang secara
progresif mengarah pada hal yang sesungguhnya ingin diketahui. Misalnya yang ingin diketahui
ialah tentang sikap terhadap hubungan seks, dimulai dengan pertanyaan tentang bepergian di
malam hari, pergi dengan teman, pergi dengan pacar. Jadi ada kemajuan dari hal yang kurang
intim sampai ke hal yang lebih intim.
tanyaan tentang fakta-fakta rutin misalnya tentang lingkungan sekolah (mata pelajaran, guru,
nilai) diselipkan pertanyaan yang sensitif untuk subjek (misalnya tentang pacar), "ngomong-
ngomong tadi ke sini dengan siapa?".
4.Leading questions , yakni memberikan pertanyaan yang terarah pada sesuatu yang ingin
diketahui, dengan cara yang hati-hati. Biasanya hal ini hanya dilakukan jika pewawancara
mempunyai alasan yang kuat untuk mencurigai suatu kecenderungan besar klien, untuk
menghindari suatu jenis jawaban khusus. Misalnya ingin mengetahui perilaku agresif/impulsif
terhadap istri dengan bertanya tentang kebiasaan-kebiasaan sejak kecil.
5.Holdover questions, yaitu menunda suatu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran
pemeriksa, sewaktu klien sedang menceritakan suatu peristiwa; penundaan ini dilakukan untuk
mencari saat yang lebih baik untuk menanyakan hal tersebut. Ini hampir 3 tapi topiknya tak
perlu sensitif, dilakukan karena alasan-alasan praktis.
6.Projective questions , yakni menanyakan pendapat klien tentang hal-hal tertentu atau orang
lain, untuk mengetahui sistem nilai klien yang diterapkan terhadap diri sendiri atau terhadap
orang lain. Hal ini dapat diketahui melalui ekspresi pendapat klien tentang keadaan, orang, atau
hal-hal di luar dirinya. Misalnya menanyakan apa pendapat teman-temannya tentang film
tertentu yang diasumsikan merupakan proyeksi dari pendapat klien sendiri.