Anda di halaman 1dari 147

KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI

(Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)


di Kabupaten Banjar)

OLEH
M. SYA’DUDDIN UBAYDIE

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) DARUSSALAM


MARTAPURA
2023 M/1445 H
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI
(Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
di Kabupaten Banjar)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah


untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum Islam

Oleh
M. SYA’DUDDIN UBAYDIE
NPM. 19.11.0971

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) DARUSSALAM


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
MARTAPURA
2023 M/1445 H

ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Sya’duddin Ubaydie


NPM : 19.11.0971
Fakultas : Syariah
Jurusan : Ahwal al-Syakhshiyyah.

menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Jika kemudian hari terbukti ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat atau dibuat oleh
orang lain secara keseluruhan atau sebagian besar, maka skripsi dan gelar yang
diperoleh karenanya batal demi hukum.

Martapura, Safar 1445 H.


September 2023 M.

Yang membuat pernyataan,

Meterai 10.000

M. SYA’DUDDIN UBAYDIE

iii
TANDA PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul : Perspektif Adil Dalam Poligami (Pandangan Kepala


Kantor Urusan Agama( KUA) di Kabupaten Banjar)

Ditulis oleh : M. Sya’duddin Ubaydie


NPM : 15.11.00971
Mahasiswa : Institut Agama Islam Darussalam Martapura
Program : Strata Satu (S1)
Fakultas / Jurusan : Syariah / Ahwal al-Syakhshiyyah
Tahun Akademik : 2022/2023

Setelah diteliti dan diadakan perbaikan seperlunya, kami dapat


menyetujuinya untuk dipertahankan di depan sidang Tim Penguji Skripsi Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Darussalam Martapura.

Martapura, 1443 H.
2021 M.

Pembimbing I, Pembimbing II,

DR. H. A. Fauzan Saleh, M.Ag DR. Arief Rahman M. SH.,SH


NIK. 11 0062 88002 NIK. 11 0062 15068

Mengetahui,
Ketua Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah
Institut Agama Islam Darussalam
Martapura

H. Muhammad Syarif Dibaj, Lc, M.Sy


NIK. 11 0062 04037

iv
PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul: Perspektif Adil Dalam Poligami (Pandangan


Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banjar), ditulis oleh M.
Sya’duddin Ubaydie, diujikan dalam Sidang Tim Penguji Skripsi Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Darussalam Martapura pada:

Hari :
Tanggal :
dan dinyatakan LULUS dengan predikat: ..........(A/B/C)

Mengetahui,
Dekan Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Darussalam Martapura

Hj. LUSIANA, S.H.,M.Pd


NIK. 11 0062 90009

TIM PENGUJI:
Nama Tanda Tangan
1. ..............................................
(Ketua)
1. ……………………..
2. ..............................................
(Anggota)
2. ………………….....
3. ..............................................
(Anggota)
3. …………………….
4. ..............................................
(Sekretaris)
4. ………………….....

v
RIWAYAT HIDUP PENULIS

1. Nama lengkap :
2. Tempat, Tanggal Lahir :
3. Agama : Islam
4. Kebangsaan : Indonesia
5. Status Perkawinan : Belum Kawin
6. Alamat :
7. Pendidikan : a.
b.
c.
d.
8. Orang Tua
Ayah:
a. Nama :
b. Pekerjaan : Swasta
c. Alamat :
I b u:
a. Nama :
b. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
c. Alamat :

Martapura, 1445 H.
2023 M.

Penulis,

vi
ABSTRAK

M. Sya’duddin Ubaydie, 2023. Perspektif Adil Dalam Polugami (Pandangan


Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banjar), Skripsi,
Fakultas Syariah, Program Ahwal Asy Syakhsiyyah, Institut Agama Islam
Darussalam Martapura. Pembimbing: I) DR. H.A Fauzan Saleh, M.Ag 2)
DR. Areif Rahman M. SH., MH.
Kata Kunci: Adil, Poligami dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Asas perkawinan di Indonesia adalah monogami yaitu perkawinan dengan
hanya satu isteri dan satu suami, namun hukum di Indonesia juga mengatur pada
keadaan tertentu seorang dapat melakukan perkawinan poligami, dimana seorang
suami dapat menikahi lebih dari satu orang isteri atau lebih dalam satu waktu yang
sama. Pada dasarnya poligami juga tidak dilarang dalam agama Islam, namun
syariat Islam menekankan bahwa landasan utama seorang yang ingin berpoligami
adalah mampu bersikap adil kepada isteri-isteri dan anak-anaknya. Sikap adil
dalam poligami adalah syarat mutlak yang diatur dalam syariat. Banyak para ahli
dari ulama hingga akademisi komptemporer menyatakan definitif konkrit
bagaimana bentuk adil tersebut, menarik untuk diteliti untuk mengetahui
bagaimana konsep adil dalam poligami jika dilihat dalam pandangan seorang
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banjar. Masalah yang diteliti
dirumuskan: Bagaimana pendapat Kepala KUA Kecamatan Astambul dan Kepala
KUA Martapura memaknai adil dalam poligami? Bagaimana tinjauan hukum
Islam tentang adil dalam Poligami?
Penelitian ini adalah penelitian menggunakan jenis penelitian lapangan
(field research). Adapun pendekatannya menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui metode observasi, wawancara,
dan dokumentasi, yang mana satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling
melengkapi.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa: 1) pendapat Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Astambul tentang makna adil dalam poligami adalah
mendefinisikan konsep adil dalam poligami merupakan hal yang sulit, karena
konsep adil memiliki pengertian dan pemahaman yang sangat luas. Sehingga
manusia awam tidak akan mampu berlaku adil. Hal ini juga berdasarkan
pemahaman terhadap Surat an-Nisa ayat 129 yang merupakan ayat pengunci
sebagai peringatan kepada manusia bahwa adil itu sangat sulit. 2) Dalam tinjauan
hukum Islam konsep adil dalam poligami adalah harus didasari pada keadilan
terhadap pasangan, keadilan tersebut tidak hanya pada pemberian nafkah namun
meliputi segala aspek dasar dalam berumah tangga.

vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:
‫َو َلن َتۡس َتِط يُع ٓو ْا َأن َتۡع ِد ُلوْا َبۡي َن ٱلِّنَس ٓاِء َو َل ۡو َح َر ۡص ُتۖۡم َفاَل َتِم يُل وْا ُك َّل ٱۡل َم ۡي ِل‬
١٢٩ ‫َفَتَذ ُروَها َك ٱۡل ُمَع َّلَقِۚة َو ِإن ُتۡص ِلُحوْا َو َتَّتُقوْا َفِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َغ ُفوٗر ا َّر ِح يٗم ا‬

Persembahan:

Karya ini didedikasikan kepada


1. Ayah, Ibu serta keluarga yang jika lautan menjadi tinta dan seluruh ranting
pohon menjadi penanya tak akan mampu menuliskan seberapa banyak
kasih sayang yang telah diberikan.
2. Seluruh dewan guru yang senantiasa memberikan dan mengajarkan
kebaikan dan keilmuan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.
3. Seluruh teman dan sahabat seperjuangan atas support, motivasi dan
waktunya.
4. Orang yang selalu membantuku baik berupa doa, moril maupun materiil
yang tidak dapat disebutkan satupersatu.
Semoga Allah Swt., senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada kalian
semua.

viii
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫رف األنبياء‬EE‫الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على أش‬
)‫والمرسلين سيدنا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين (أما بعد‬
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan

taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah,

Muhammad saw, seluruh keluarga, kerabat dan pengikut beliau hingga akhir

zaman.

Untuk memenuhi sebagian dari tugas dan syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Hukum Islam pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Darussalam Martapura,

maka disusunlah sebuah skripsi yang berjudul: “Perspektif Adil Dalam Poligami

(Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banjar)

Penyusunan skripsi yang bertujuan untuk menyelesaikan studi pada

Fakultas Syariah Institut Agama Islam Darussalam ini, dalam proses penulisannya

tidak terlepas dari segala bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan berupa ilmu

pengetahuan, bimbingan, dorongan dan lain-lain. Karena itu, penulis merasa

berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama

kepada yang terhormat:

1. Bapak Rektor Institut Agama Islam Darussalam Martapura yang telah

berkenan memberikan surat perintah riset guna mengumpulkan data dalam

penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Hj. Lusiana, SH., M.Pd., Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam

Darussalam, yang telah memberikan persetujuan terhadap skripsi ini untuk

ix
dimunaqasyahkan.

3. Bapak DR. H. A. Fauzan Saleh,M.Ag selaku pembimbing I, dan Bapak DR.

Arief Rahman M. SH.,MH, selaku pembimbing II, yang telah banyak

memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi

ini.

4. Semua dosen dan karyawan Institut Agama Islam Darussalam Martapura, yang

telah banyak memberikan berbagai bekal ilmu pengetahuan dan pelayanan

kepada penulis selama kuliah.

5. Ketua Perpustakaan Institut Agama Islam Darussalam Martapura, beserta

stafnya yang telah banyak membantu peminjaman buku-buku yang diperlukan

untuk penulisan dan penyusunan skripsi ini.

6. Semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penulisan skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu, dan penulis berdoa semoga semua yang

telah dilakukan mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah swt.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak terlepas dari

berbagai kelemahan, oleh karena itu kepada semua pihak diharap memberikan

saran dan kritik yang membangun demi perbaikan, dan semoga dapat

memakluminya.

Martapura, Safar 1445 H.


September 2023 M.

Penulis,

x
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB LATIN
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA DAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 158 Tahun 1987
Nomor: 0543b//U/1987

Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu

ke abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf

Arab dengan huruf-huruf Latin beserta perangkatnya.

A. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan huruf. Dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan

sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan

huruf dan tanda sekaligus.

Berikut ini daftar huruf Arab yang dimaksud dan transliterasinya dengan huruf

latin:

Tabel 0.1: Tabel Transliterasi Konsonan


Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫أ‬ Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T Te

‫ث‬ Ṡa ṡ es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim J Je

‫ح‬ Ḥa ḥ ha (dengan titik di


bawah)
‫خ‬ Kha Kh ka dan ha

xi
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫د‬ Dal d De

‫ذ‬ Żal ż Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ Ra r er

‫ز‬ Zai z zet

‫س‬ Sin s es

‫ش‬ Syin sy es dan ye

‫ص‬ Ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Ḍad ḍ de (dengan titik di


bawah)
‫ط‬ Ṭa ṭ te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Ẓa ẓ zet (dengan titik di


bawah)
‫ع‬ `ain ` koma terbalik (di atas)

‫غ‬ Gain g ge

‫ف‬ Fa f ef

‫ق‬ Qaf q ki

‫ك‬ Kaf k ka

‫ل‬ Lam l el

‫م‬ Mim m em

‫ن‬ Nun n en

‫و‬ Wau w we

‫ﮬ‬ Ha h ha

‫ء‬ Hamzah ‘ apostrof

‫ي‬ Ya y ye

xii
B. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

1. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau

harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tabel 0.2: Tabel Transliterasi Vokal Tunggal


Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ﹷ‬ Fathah a a

‫ﹻ‬ Kasrah i i

‫ﹹ‬ Dammah u u

2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf

sebagai berikut:

Tabel 0.3: Tabel Transliterasi Vokal Rangkap


Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ْي‬.َ..
Fathah dan ya ai a dan u

‫ْو‬.َ..
Fathah dan wau au a dan u

Contoh:

- ‫َك َتَب‬ kataba


- ‫َفَعَل‬ fa`ala
- ‫ِئ‬ suila
‫ُس َل‬
- ‫َك ْيَف‬ kaifa
- ‫َحْو َل‬ haula

xiii
C. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda sebagai berikut:

Tabel 0.4: Tabel Transliterasi Maddah


Huruf Arab Nama Huruf Nama
Latin
‫ى‬...َ‫ا‬.َ.. Fathah dan alif atau ā a dan garis di atas
ya
‫ى‬.ِ.. Kasrah dan ya ī i dan garis di atas

‫و‬.ُ.. Dammah dan wau ū u dan garis di atas

Contoh:

- ‫َقاَل‬ qāla
- ‫َرَم ى‬ ramā
‫ِق‬
-
‫ْيَل‬ qīla
- ‫َيُقْو ُل‬ yaqūlu

D. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbutah ada dua, yaitu:
1. Ta’ marbutah hidup

Ta’ marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah, dan

dammah, transliterasinya adalah “t”.

2. Ta’ marbutah mati

Ta’ marbutah mati atau yang mendapat harakat sukun, transliterasinya

adalah “h”.

3. Kalau pada kata terakhir dengan ta’ marbutah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah,

maka ta’ marbutah itu ditransliterasikan dengan “h”.

xiv
Contoh:

- ‫ْؤ َض ُة اَألْطَف اِل‬ raudah al-atfāl/raudahtul atfāl


‫َر‬
- ‫اْلَم ِد ْيَنُة اْلُم َنَّو َر ُة‬ al-madīnah al-munawwarah/al-madīnatul munawwarah

- ‫َطْلَح ْة‬ talhah

E. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid, ditransliterasikan dengan huruf,

yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

- ‫َنَّزَل‬ nazzala
- ‫الُّرِب‬ al-birr
F. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

‫ال‬, namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas:

1. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan

sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf “l” diganti dengan huruf yang

langsung mengikuti kata sandang itu.

2. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditransliterasikan

dengan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai

dengan bunyinya.

xv
Baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun qamariyah, kata sandang ditulis

terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanpa sempang.

Contoh:

-
‫ الَّر ُج ُل‬ar-rajulu
-
‫ اْلَق َلُم‬al-qalamu
-
‫ الَّش ْم ُس‬asy-syamsu
- ‫ اَجْلَالُل‬al-jalālu
G. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan sebagai apostrof. Namun hal itu hanya berlaku

bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Sementara hamzah yang

terletak di awal kata dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.

Contoh:

- ‫َتْأُخ ُذ‬ ta’khużu


- ‫َش يٌئ‬ syai’un
-
‫الَّنْو ُء‬ an-nau’u
- ‫ِإَّن‬ inna
H. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fail, isim maupun huruf ditulis terpisah.

Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim

dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harkat yang dihilangkan,

maka penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang

mengikutinya.

Contoh:
‫ِق‬
- ‫َو ِإَّن اَهلل َفُه َو َخ ْيُر الَّر اِز َنْي‬ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn/
Wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn
- ‫ِبْس ِم اِهلل ْجَمَر اَه ا َو ُمْر َس اَه ا‬ Bismillāhi majrehā wa mursāhā

xvi
I. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti

apa yang berlaku dalam EYD, di antaranya: huruf kapital digunakan untuk

menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamana nama diri itu

didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf

awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh:
‫ِم‬ ‫ِهلل‬
- ‫اَحْلْم ُد َر ِّب اْلَعاَل َنْي‬ Alhamdu lillāhi rabbi al-`ālamīn/
Alhamdu lillāhi rabbil `ālamīn
- ‫الَّرمْح ِن الَّر ِح ْيِم‬ Ar-rahmānir rahīm/Ar-rahmān ar-rahīm

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan

Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan

kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak

dipergunakan.

Contoh:
‫ِح‬
- ‫اُهلل َغُفْو ٌر َر ْيٌم‬ Allaāhu gafūrun rahīm
- ‫ِلّلِه اُألُمْو ُر ِمَج ْيًعا‬ Lillāhi al-amru jamī`an/Lillāhil-amru jamī`an

J. Tajwid

Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi

ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Ilmu Tajwid. Karena itu

peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.

xvii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ……………………...……..….......……..……………..


HALAMAN JUDUL ……………………...……...........………………………..
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……....……….….…………………...
TANDA PERSETUJUAN ……………....…..............…..………………………
TANDA PENGESAHAN ……………..……...……...….………………………
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………...
ABSTRAK ………………………...…..........……..……..……………………..
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………………………………
viii
KATA PENGANTAR ………….....…........…....……………………………….
PEDOMAN LITERASI……….....…........…....……………………………….
DAFTAR ISI ……………………....…....………………………………………
xviii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................………………..……………………..
B. Definisi Operasional …………………………………………….
C. Rumusan Masalah ……………………………………………..
D. Alasan Memilih Judul ………………………………………….
E. Tujuan Penelitian …………………….……………………….. 10
F. Kajian Pustaka ……………….……………………………. 10
G. Signifikasi Penelitian…………….……………………………. 12
H. Sistematika Penulisan……………….…………………………. 13

BAB II : LANDASAN TEORI


A. Tinjauan Tentang Poligami.......................................................... 15
B. Konsep Adil Dalam Poligami.......................................................
33
BAB III : METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian .......................................................
B. Subjek dan Objek Penelitian ......................................................
C. Data dan Sumber Penelitian ................................................
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................
F. Analisis Data .......................................................................
BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………………. 61
B. Penyajian Data ………………………………………………. 93
C. Analisis Data ....................................................................
107
BAB V : PENUTUP

xviii
A.Simpulan ..................................................................................
116
B. Saran ...........................................................................................
116

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Beakang Masalah


Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT

sebagai jalan bagi manusia untuk melangsungkan keturunan,

berkembang biak dan menjaga kelestarian hidup. Perkawinan baru

dapat dilaksanakan setelah masing-masing pasangan suami dan istri

siap melakukan perannya secara positif dalam rangka mewujudkan

tujuan perkawinan.78 Adapun tujuan perkawinan sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah sebagai upaya untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa, baik itu pernikahan monogami ataupun pernikahan poligami.79

Salah satu asas dalam hukum perkawinan di Indonesia adalah

asas monogami, yaitu perkawinan dengan hanya isteri tunggal yaitu

seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja. Sedangkan

kata poligami yaitu perkawinan seorang suami dengan dua orang

perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Menurut para ahli

sejarah poligami pada awalnya dilakukan oleh raja-raja penguasa suatu

negara dan para bangsawan saja. Mereka mengambil beberapa orang

wanita, ada yang menjadi isteri namun ada pula yang berkahir menjadi

seorang budak untuk melampiaskan nafsunya akibat peperangan, dan

78
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 9.
79
Departemen Agama R.I., Pedoman Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
(Jakarta: Departemen Agama R.I., 2004), h. 219-220.

20
21

banyak pula anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan

kemudian dijadikan gundik dan sebaginya. Semakin kaya seseorang,

makin tinggi pula keududukannya maka makin tinggi pula angka

mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami adalah peninggalan

tradisi atau budaya zaman jahiliyah yang hal ini sudah ada sebelum

masehi.80

Keinginan manusia untuk membentuk dan membina keluarga

adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. tidak menutup

kemungkinan termasuk seorang laki-laki yang memiliki keinginan

untuk beristri lebih dari satu. Selain dari dorongan kebutuhan biologis

manusia tetapi juga untuk beribadah, hal itu tidak dilarang oleh agama

Islam, dimana Islam membolehkan seorang laki-laki berpoligami atau

beristri lebih dari satu. Akan tetapi Islam tidak semudah membalikkan

telapak tangan memperbolehkan seorang laki-laki berpoligami yakni

dengan syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah sikap adil. Hukum

Islam tidak menutup rapat-rapat pintu untuk berpoligami atau beristri

lebih dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara

istri dapat dipenuhi dengan baik.81

Poligami adalah sebuah istilah dan sebuah realitas. Banyak

manusia yang terjebak dalam dialog dan perdebatan yang panjang

mengenai poligami. Hal ini terjadi bukan karena pengaruh


80
Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta: Jamunu, 1969), h.
69
81
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h. 170.

21
22

ketidakjelasan dalil-dalilnya, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh

kepentingan para pihak yang terlibat dan buruknya dampak poligami

yang dilakukan oleh kebanyakan manusia. Lantas munculnya ungkapan

adil adalah persoalan yang sangat mencuat dalam perlakuan poligami,

padahal dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3:

‫ِء ۡث‬ ‫ِك‬ ‫ۡل‬ ‫ۡق ِس‬ ‫ِخ ۡف‬


‫َو ِإۡن ُتۡم َأاَّل ُت ُطوْا يِف ٱ َيَٰت َم ٰى َف ٱن ُح وْا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن ٱلِّنَس ٓا َم ٰىَن‬
‫َو ُثَٰل َث َو ُر َٰبَۖع َف ِإۡن ِخ ۡف ُتۡم َأاَّل َتۡع ِدُلوْا َفَٰو ِح َد ًة َأۡو َم ا َم َلَك ۡت َأۡي َٰم ُنُك ۚۡم َٰذ ِل َك َأۡد َن‬
‫َأاَّل َتُعوُلوْا‬
Di samping itu juga ada kesan yang melekat pada kebanyakan

manusia bahwa poligami adalah pengaruh syahwat, sehingga mereka

menolak poligami terutama kaum perempuan.82

Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa poligami bisa

dilakukan jika istri tidak dapat menjalankan, mendapat penyakit yang

tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan.

Peraturan tersebut tentu saja bertujuan untuk menghindari akibat dan

dampak yang ditimbulkan poligami itu. Terdapat dua kubu yang saling

bertentangan dalam masalah poligami, ada kelompok yang pro dan juga

ada kelompok yang kontra. Muhammad Muthahhari, ulama asal Iran,

beliau pro dan berpendapat bahwa dengan melihat praktik poligami saat

ini, melarang poligami berarti sebuah penghianatan kepada manusia dan

menginjak-injak hak kaum wanita yang ingin menikah. Melarang

82
Hasan Aedy, Poligami Syari’ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung:
Al-Fabeta, 2007), h. 61.

22
23

poligami secara hukum hanya akan membuka jalan bagi promiskuitas

dan sensualitas.83

Sependapat dengan Muhammad Muthahhari, Sayyid Sabiq dalam

kitab Fiqh Sunnahnya mengatakan, “Jalan mengatasi hal negatif

poligami tidaklah dengan melarang apa yang dihalalkan Allah, tetapi

seharusnya dengan jalan memberikan pengajaran, pendidikan, dan

pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang ajaran Islam”.

Sehingga kerugian yang timbul karena dibolehkannya berpoligami itu

jauh lebihkecil daripada kerugian akibat dilarangnya.84

Berbeda dengan pendapat di atas, M. Quraish Shihab berpendapat

bahwa tidak membukanya lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan

syarat, dalam saat yang sama ia tidak juga dapat dikatakan menutup

pintu rapat-rapat sebagaimana dikehendaki oleh sebagian orang.

Selanjutnya ia menambahkanbahwa poligami bukan anjuran, melainkan

salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat

membutuhkan dan memenuhi syarat-syarat.85

Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad Abduh, seorang

mufasir dari Mesir berpendapat bahwa diperbolehkannya poligami

83
Murtadha Muthahhari, Hak-Hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2001),
h. 243.
84
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Darul Fath, 2004), h.8.
85
M. Quraish Shihab, Perempuan, Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mud’ah
Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2007),
h. 165.

23
24

dalam Islam merupakan tindakan yang dibatasi dengan persyaratan

yang sangat ketat khususnya keadilan. Allah sendiri mengatakan

manusia tidak akan bisa berbuat adil. Berdasarkan firman Allah

tersebut, beliau menilai sangat kecil kemungkinan untuk memenuhi

berbagai syarat yang ditentukan. Apalagi, tindakan poligami seringkali

diikuti oleh akibat-akibat negatif seperti terjadinya permusuhan antar

dua keluarga danjuga terjadinya kekerasan yang berlapis-lapis ekonomi,

maupun psikis.

Sebagian besar Ulama klasik memperbolehkan adanya praktek

poligami, namun poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat-syarat

berpoligami, syarat-syarat tersebut antara lain, laki-laki hanya

diperblehkan menikahi empat perempuan dan harus bisa berlaku adil.

Dari kalangan Hanafi mengatakan bahwa seseorang yang berpoligami

harus berlaku adil diantara istri-istrinya. Keharusan tersebut

berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 3 dan Hadis dari Aisyah yang

menceritakan tentang perlakuan yang adil dari Nabi kepada istri-

istrinya. Kemudian ketika berbicara tentang hak dan kewajiban suami

istri dari kalangan hanafi juga mengatakan suami yang berpoligami

wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya.86

Begitupun Imam Syafi’i memperbolehkan praktek poligami

dengan catatan harus memenuhi persyaratanya, yaitu mampu berbuat


86
Rini Masykuroh, Yufi Wiyos, “Poligami dan Keadilan”, Asas, Vol 3, No 2 Juli
2011, h. 14.

24
25

adil kepada para istrinyadan batasanya empat perempuan. Jika lebih

dari empat maka dianggap haram. Menurut Imam Syafi’i yang

dimaksud dengan bersikap adil yaitu adil secara materi (seperti

pembagian malam, nafkah dan mewarisi) atau fisik. Sedangkan

keadilan dalam hal hati (cinta) sulit dilakukan karena hanya Allah yang

mengetahuinya. Sehingga seorang yang melakukan poligami sulit

dalam membagi hatinya kepada istri-istrinya. Jika yang melakukan

poligami adalah seorang budak maka batasan dalam berpoligami hanya

dua saja.87

Dalam kitab Al-Muwatta’ Imam Malik mengatakan bahwa orang

yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri

dan ini berlaku bagi suami yang merdeka. Ahmad bin Hambal

menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki berpolgami hanyalah

empat istri dan harus diikiti dengan sikap adil, seperti pembagian giliran

terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah

satu istri. Dengan mengutip pada QS An-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin

Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat

tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah

menyatakan kemustahilanya kepada manusia untuk membagi hatinya

secara adil.88

87
Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami Study Pemahaman Hadis
Berprespektif Jender (Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga, 2013) h. 70
88
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki, dan Hambali (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h. 89.

25
26

Adanya perbedaan dalam melihat konsep adil dalam poligami

menjadi menarik jika dilihat dari prespektif Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) yang ada di Kabupaten Banjar. Hal berdasarkan bahwa

Kepala KUA yang juga sekaligus menjadi penghulu yang berhak

mengawinkan pasangan yang ingin menikah memilki pendapat dan

pandangan berbeda tentang konsep adil dalam poligami.

Dari uraian latar belakang diatas penulis bermaksud melakukan

penelitian dengan judul “Perspektif Adil Dalam Poligami (Pandangan

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banjar)”.

B. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap judul di atas, maka

penulis perlu mengemukakan penegasan judul sehingga akan

memperjelas pokok permasalahan yang menjadi bahan kajian

selanjutnya. Adapun judul skripsi ini adalah: Perspektif Adil Dalam

Poligami (Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di

Kabupaten Banjar) penegasan judul yang dimaksud dalam skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Perspektif, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sudut

pandang dalam melihat sesuatu sebagai objek.89

2. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, menrurt

porsinya masing-masing.90 Sama berat dan tidak timpang, tidak


89
Trirama K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2013), h.
276
90
Ibid, h. 14

26
27

memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada

kebenaran, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Dalam hukum Islam

adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya.91 Sedangkan

ulama fikih menafsirkan adil atau yang dimaksud adalah pembagian

yang seadil-adilnya ialah dalam hal pembagian giliran dan

pemberian nafkah.

3. Poligami Istilah poligami merupakan dua penggalan kata dari

bahasa Yunani, yaitu poli atau polus yang berarti banyak, dan

gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi

gabungan kata tersebut poligamein berarti perkawinan yang

memiliki banyak pasangan.92 Dalam bahasa Arab, istilah poligami

diistilahkan dengan ta’addad al-zaujat artinya seorang pria yang

menikahi lebih dari satu perempuan dengan batasan yang

dibolehkan hanya sampai empat orang isteri saja. Jadi, istilah dari

poligami dalam penelitian ini adalah seorang laki-laki yang

menikahi wanita lebih dari satu orang, dengan batasan yang

dibolehkan yaitu hanya empat isteri saja.

4. Kantor Urusan Agama (KUA) yang dimaksud dalam Penelitian ini

adalah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Martapura Kota

dan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul.

C. Rumusan Masalah
91
https://kamushukum.web.id/arti-kata/adil/ (2-07-2023 ; 02.48 Wita)
92
habri Shaleh Anwar, dkk., Pendidikan Gender dalam Pandangan Islam,
(Tangerang: Zahen Publisher, 2017), h. 140.

27
28

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka

dapatlah kiranya penulis rumuskan permasalahan yang diajukan dalam

penelitian ini, yang diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Astambul tentang makna adil dalam poligami?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang konsep adil dalam

poligami?

D. Alasan Memilih Judul

Adapun yang menjadi alasan penulis memilih judul ini adalah

sebagai berikut:

1. Poligami adalah suatu fenomena yang banyak mengandung

kontroversi baik masalah hukumnya dan menyangkut masalah

syaratnya yaitu bersikap adil terhadap pasangannya.

2. Konsep adil dalam poligami yang dibahas pada skripsi ini adalah

berkaitan dengan hasil wawancara dengan Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) yang ada di Kabupaten Banjar yaitu Kepala Kantor

Urusan Agama (KUA) Kecamatan Martapura Kota dan Kepala

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul yang akan

diselaraskan dengan kaidah hukum Islam.

3. Pokok bahasan yang disajikan dalam skripsi ini selaras dengan

disiplin ilmu yang dipelajari dalam Fakultas Syariah Program Studi

Ahwal Asy-Syakhsiyyah

28
29

E. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) Kecamatan Martapura Kota dan Kepala Kantor

Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul tentang konsep adil

dalam poligami

2. Untuk mengetahui bagaimana konsep adil dalam poligami menurut

hukum Islam.

F. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka digunakan sebagai perbandingan terhadap

penelitian yang sudah ada. Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis

menggunakan beberapa kajian pustaka sebagai rumusan berfikir.

Beberapa kajian pustaka tersebut diantaranya adalah:

1. Karya Ali Yasmanto dengan judul “Konsep Adil dalam Poligami

(Studi Komparasi antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Quraish

Shihab)” Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Malang tahun 2015. Tesisi ini membahas mengguakan metode

penelitian deskriftif kualitatif dan analisis data menggunakan

content analysis dan analisis komparasi. Tesis ini mengaalisis dan

mengkomparasikan pemikiran Fazlur Rahman dan M. Quraish

Shihab meliputi konsep adil dalam poligami dan istimbat

hukumnya. Perbedaan dengan penelitian skripsi yang disajikan

29
30

penulis terletak pada pandangan Kepala Kantor Urusan Agama

(KUA) di Kabupaten Banjar tentang Konsep Adil Dalam Poligami.

2. Karya Apriana Asdin dengan judul “Implementasi Keadilan

Menurut Pandangan Suami Istri Dalam Perkawinan Poligami di

Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah” Program

Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri (UIN) Mataram tahun 2018. Dalam penelitian ini

digambarkan secara sosiologis bagaimana penerapan keadilan oleh

suami yang berpoligami terhadap istri-istrinya dilihat dari sudut

pandang keluarga dan anak-anak tentang implementasi keadilan

oleh suaminya. Temuan dalam penelitian ini adalah bahwa suami

istri menyatakan dalam mengimplimentasikan keadilan terjadinya

kesamaan pandangan, akan tetapi dari pihak keluarga yang lain dari

anak dan tetangga terjadi perbedaan pandnagan. Banyak dari

mereka para suami tidak bisa menjalankan keadilan sebagaimana

mestinya. Letak perbedaan dengan penelitian penulis adalah pada

konsep adil dengan prespektif gender, penulis menguaraikan

bagaimana pandangan gender dalam penerapan keadilan terhadap

praktek poligami oleh pasangan suami istri di Kecamatan Martapura

Kabupaten Banjar. Adapun persamaan penelitian ini terletak pada

kajian tentang konspe adil dalam poligami.

3. Karya yang ditulis oleh Harun Fadli, 2017, dengan judul “Konsep

Adil Dalam Poligami: studi terhadap pemikiran dosen Fakultas

30
31

Syariah UIN Raden Intan Lampung”, UIN Raden Intan, Lampung.

Skripsi ini membahas bagaimana konsep adil dalam poligami

menurut pandangan dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan

Lampung dan makna keadilan itu sendiri terhadap kehidupan

poligami dalam hukum Islam. Metode penelitian ini menggunakan

penelitian lapangan (field research). Perbedaan dalam skripsi ini

mengenai konsep adil dalam poligami sedangkan penelitian ini ialah

pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten

Banjar tentang Konsep Adil dalam Poligami.

G. Signifikan Penelitian

Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan

manfaat dan kontribusi positifbbagi perkembangan ilmu pengetahuan

baik secara teoritis maupun secara praktis:

1. Manfaat Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan dalam

khasanah pemikiran hukum Islam, seiring berkembangnya

permasalahan-permasalahan terhadap praktik poligami agar terus

menerus dikaji untuk mendapatkan konsep adil yang ideal dalam

poligami menurut para fuqaha dan hukum Islam.

2. ManfaattSecara Praktis

Secara praktis diharapkan penelitian ini bermanfaat pada tiga

aspek yaitu:

(1) Untuk menambah ilmu dan wawasan intelektualitas bagi


mahasiswa ataupun masyarakat yang membaca hasil penelitian

31
32

khususnya bagi penulis sendiri.


(2) Bagi penelitian selanjutnya bisa dijadikan sebagai bahan
pertimbangan mengenai konsep adil dalam poligami menurut
hukum Islam.
(3) Diharapkan menjadi masukan dan sumbangan pemikiran
kepada orang-orang yang hendak melakukan praktik poligami.
H. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini ini diklasifikasikan dan menjadi

V BAB pembahasan, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,

penegasan judul, rumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan

penelitian, Kajian pustaka, metode penelitian, signifikasi penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II merupakan landasan teori berisi tentang Pengertian

Poligami, Dasar Hukum Poligami, Poligami dalam tinjauan Hukum

Islam dan Hukum Positif.

BAB III Metode Penelitian berisi Jenis Dan Lokasi Penelitian,

Subjek Dan Objek Penelitian, Data Dan Sumber Data, Teknik

Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan Data, dan Teknik Analisa Data.

BAB IV Laporan Hasil Penelitian berisi tentang penyajian data

dan analisi data hasil wawancara dengan narasumber penelitian.

BAB V penutup, berisi simpulan dan saran.

32
BAB II

ADIL DALAM POLIGAMI PRESPEKTIF HUKUM POSITIF DAN


HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Tentang Poligami


1. Pengertian Poligami

Poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Poly”

atau “Polus” yang berarti banyak dan “Gamien” yang artinya kawin atau

perkawinan. Secara etimologi poligami adalah perkawinan yang banyak

atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang istri.93

Poligami merupakan sistem perkawinan dimana seorang laki-laki

yang mempunyai lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan,

pada dasarnya disebut sebagai poligami. Sedangkan menurut bahasa

Indonesia poligami adalah perkawinan yang salah satu pihak

memilki/mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.

Para ahli memberikan definisi yang berbeda bagi seorang laki-laki

yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang

berasal dari kata polus yang bermakna banyak dan gune yang berarti

perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari

seorang suami disebut poliandri yang berasalah dari kata polus yang

mengandung arti banyak dan kata andros yang bermakna laki-laki. Jadi,

kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri

dalam waktu perkawinan yang bersamaan adalah poligini bukan poligami.


93
Humaidi Tatapangarsa, Hakikat Poligami dalam Islam, (Usaha Nasional, Surabaya, tt.,)
h. 2

15
16

Meskipun demikian dalam perkataan sehari-hari, yang dimaksud dengan

poligami itu sendiri adalah perkawinann seorang laki-laki dengan lebih

dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan, namun lebih familiar

ditelinga masyarakat umum bukan poligini melainkan adalah poligami.

Pengertian secara terminologi, poligami diartikan sebagai “ikatan

antara seorang suami dengan mengawini beberapa orang istri.” 94 Atau juga

“seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, akan tetapi dibatasi paling

banyak empat orang.”95 Menurut Siti Musdah Mulia merumuskan poligami

ialah merupakan ikatan perkawinan dalam hal dimana suami mengawini

lebih dari satu orang istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang

melakukan bentuk perkawinan seperti ini dikatan bersifat poligam. Dengan

singkat Moch Anwar menegaskan poligami adalah beristri lebih dari satu.

Walaupun dalam pengertian bahasa Indonesia yang menyebutkan

pengertian poligami dalam bentuk umum ‘salah satu pihak ‘ akan tetapi

karena istilah perempuan yang mempunyai banyak suami dikenal dengan

istilah poliandri, maka yang dimaksud dengan poligami disini adalah

ikatan perkawinan dengan seorang suami yang mempunyai beberapa orang

istri (poligini) sebagai pasnagan hidup dalam waktu yang bersamaan.

Dalam pengertian itu tidak disebut jumlah istri dalam melakukan praktik

poligami, akan tetapi Islam membatasinya sampai empat ornag saja.

94
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta; The Asia Pondaction,
1994), h. 2
95
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat,(Jakarta; Kencana, 2003), h. 129

16
17

Kalaupun ada keinginan seorang suami menambhan istri lagi, maka salah

satu dari empat orang harus diceraikan, sehingga jumlah istri tetap berapa

diangka empat saja.

Menurut ajaran Islam, istilah poligami diambil dari bahasa Arab

“ta’addud az-zawjat” yang artinya beristri banyak lebih dari satu. Para

sarjana hukum Islam telah sepakat mengatakan bahwa poligami itu adalah

perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita. 96 Namun

batasan umumnya yang dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun

ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari

empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan

perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat al-Nisa ayat 3, sebagai

dasar penetapan hukum poligami.

Dalam Fiqih Munakahat, poligami adalah seorang laki-laki beristri

lebih dari seorang. Tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang,

karena melebihi dari empat berarti mengingkari syari’at Allah SWT bagi

kemaslahatan hidup suami istri.97

Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa poligami adalah suatu

ikatan perkawinan antara seorang suami dengan beberapa orang istri,

96
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia, (Pekanbaru:
Suska Press, 2015), h. 40.
97
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 131.

17
18

sednagkan kebalikan dari poligami adalah monogami yakni perkawinan

tunggal.

2. Dasar Hukum Poligami

Poligami sampai saat ini masih diperdebatkan antara yang

mendukung dan menentang, pendapat hukum poligami secara garis besar

dapat dibagi dalam tiga (3) kelompok, yaitu: pertama, mereka yang

membolehkan poligami secaramutlak (didukung oleh mayoritas ulama

klasik). Kedua, mereka yang melarang poligami secara mutlak. Ketiga,

mereka yang membolehkan poligami secara ketat dengan syarat-syarat dan

dalam kondisi tertentu.

Dalam âl-Qur’ân ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami

dan perintah untuk melakukan poligami oleh umat Islam adalah surat an-

Nisâ’ ayat 3 dan 129:

‫ِء ۡث‬ ‫ِك‬ ‫ۡل‬ ‫َو ِإۡن ِخ ۡف ُتۡم َأاَّل ُتۡق ِس ُطوْا يِف‬
‫ٱلِّنَس ٓا َم ٰىَن‬ ‫ٱ َيَٰت َم ٰى َف ٱن ُح وْا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن‬
‫َٰذ ِل َك َأۡد َن َأاَّل‬ ‫َتۡع ِدُلوْا َٰو ِح َد ًة َأۡو ا َلَك ۡت َأۡي َٰم ُنُك ۚۡم‬
‫َم َم‬ ‫َف‬ ‫َو ُثَٰل َث َو ُر َٰبَۖع َف ِإۡن ِخ ۡف ُتۡم َأاَّل‬
٣ ‫َتُعوُلوْا‬

‫َو َلن َتۡس َتِط يُعٓو ْا َأن َتۡع ِدُلوْا َبۡي َن ٱلِّنَس ٓاِء َو َلۡو َح َر ۡص ُتۖۡم َفاَل ِمَتيُل وْا ُك َّل ٱۡل َم ۡي ِل‬
١٢٩ ‫َفَتَذ ُر وَه ا َك ٱۡل ُم َعَّلَق ِۚة َو ِإن ُتۡص ِلُح وْا َو َتَّتُقوْا َفِإَّن ٱلَّلَه َك اَن َغُفْو ًر ا َّر ِح يًم ا‬

Memaknai ayat di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum

poligami. Menurut Imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah (W.

18
19

767M/150 H), Imam Malik (W. 795 M/179 H), Imam Syafi’i (W. 820

M/204 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (W. 855 M/241 H), sepakat

bahwa poligami itu mubah (boleh). Menurut mereka seorang suami

memiliki istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang

istri. Akan tetapi diperbolehkannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku

adil diantara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.98

Para imam di atas juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku

adil, hendaknya beristri satu saja, karena itu jauh lebih baik. Demikian

pula pendapat Imam Abu Hanifah, yang dikutip oleh al-Sarakhsi (W. 1090

M) dalam kitab al-Mabasut, bahwa poligami dibolehkan dan seorang

suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap para istrinya.

Keharusan berlaku adil ini berdasarkan surat An-Nisâ ayat 3 dan hadist

dari Aisyah ra yang menceritakan perlakuan adil dari Nabi kepada istrinya,

ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak

berlaku adil kepada paraistrinya.99 Ketika berbicara tentang hak dan

kewajiban suami dan istri, alKasani, ulama madzhab Hanafi, menulis

tentang kewajiban suami yang berpoligami, yakni berlaku adil terhadap

istri-istrinya, dan mendapat perlakuan ini menjadi hak istri.100

98
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi’I,
Hanafi,Maliki dan Hambali (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h. 89.
99
Al-Sarakhsi, Al-Mabasut dikutip dari: Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di
Indonesia dan Malaysia (Pekanbaru: Suska Press, 2015), h. 44-45.
100
Al-Imam ‘Ala ad-Din Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Kitab Bada’i as-Sana’i fi Tartib
asy-Syara’i , cet. Ke-I dikutip dari: Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
dan Malaysia, (Pekanbaru: Suska Press, 2015), h. 45.

19
20

Para ulama fiqh klasik juga berpendapat, bahwa Allah mengizinkan

menikahi empat orang perempuan. Menurut mereka, walaupun

diperbolehkan disini ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin

ditunaikan, yaitu keadilan dalam kasih sayang, perasaan dan cinta, namun

selama kemampuan berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa

ditunaikan izin untuk berpoligami menajdi sesuatu yang bisa diperoleh.

Alasan yang mereka kemukakan untuk mendukung ide ini adalah bahwa

nabi sendiri pernah berkata hubungannya dengan ketidakmampuan berbuat

adil dalam hal batin.101

Demikian juga pendapat para ulama tafsir, baik al-Thabari yang

berpendapat bahwa poligami adalah diperbolehkan selama bisa berlaku

adil. Sedangkan ulama yang lain yaitu Abu Bakar Ahmad Ibnu Ali Al-Razi

(AlJashshash) yang juga intensif mengupas poligami, berpendapat bahwa

poligami bersifat mubah (boleh). Diperbolehkannya ini juga disertai

dengan syarat kemampuan berbuat adil di antara para istri.102

Begitu juga Zamakhsyari (W. 1144 M) berpendapat bahwa poligami

adalah dibolehkan, bahkan pandangan jumlah perempuan yang boleh

dinikahi bagi laki-laki yang berbuat adil, bukan empat, sebagaimana

pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan

dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan. Hal ini ditolak oleh

Al-Qurtubi (W. 1273 M) di dalam kutipan Khoiruddin Nasution, dimana


101
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas pemikiran Muhammad
Abduh (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 99.
102
Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, t.t), h. 50.

20
21

Harist Ibnu Qois yang mempunyai delapan orang istri, ketika masuk Islam

Nabi menyuruh memilih empat orang di antara mereka dan menceraikan

sisanya. Adapun menurut Syaukani (W. 1834 M) bahwa dengan turunya

surat ân-Nisâ ayat 3, yakni menghapus kebiasaan orang Arab pra Islam

yang menikahi perempuan tanpa batas.103

Berbeda dengan ulama klasik, secara umum dapat dikatakan bahwa

ulama pada era modern memperketat diperbolehkannya poligami, bahkan

di antara mereka ada yang mengharamkannya, meskipun dibalik

keharaman tersebut masih disertai dengan kondisi yang memberikan

kemungkinan untuk melakukannya. Alasan pemikiran modern melarang

menikahi perempuan lebih dari satu, atau kalaupun membolehkannya

diikuti dengan berbagai syarat yang hampir tidak mungkin terpenuhi oleh

suami, yaitu keadilan.

Sayyid Qutub (W. 1966 M) mengatakan bahwa poligami merupakan

suatu perbuatan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan

darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan

bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya. Keadilan yang dituntut disini

dalam bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, serta pembagian malam.

Sedangkan bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan

cukup satu saja.104

103
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas pemikiran Muhammad
Abduh (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 87-89.
104
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan Al-Qur’an Juz IV, alih
bahasaoleh: As’ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insan Press, 2002), h. 274-282

21
22

Yusuf al-Qardawi membagi hukum poligami menjadi 3 macam,

dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Boleh Berpoligami
Menurut Yusuf Qardhawi, ada 2 keadaan dimana poligami

diperbolehkan yaitu: pertama, manusia yang kuat keinginannya untuk

memiliki keturunan, akan tetapi istrinya tidak beranak (mandul)

karena sakit atau sebab lainnya. Kedua, laki-laki yang kuat

syahwatnya, akan tetapi istrinya tidak kuat karena sakit atau karena

haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya, sementara lak-laki itu

tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita.

b. Makruh Berpoligami
Muslim menikah dengan satu istri yang menjadi penentram dan

penghibur hatinya, pendidik dalam rumah tangganya dan tempat untuk

menumpukkan isi hatinya. Dengan demikian tepatlah suasana sakinah,

mawaddah wa rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami-

istri menurut pandangan Al-Qur’an. Oleh karena itu, ulama

mengatakan “orang yang mempunyai satu istri yang mampu

memelihara dan mencukupi kebutuhannya, dimakruhkan baginya

untuk menikah lagi. Karena hal itu membuka peluang bagi dirinya

untuk melakukan sesuatu yang haram.

c. Haram Berpoligami
Yaitu bagi orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari

nafkah untuk istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa

berlaku adil di antara kedua istrinya.

22
23

Namun demikian Amer Ali memberi catatan bahwa teori

poligami digunakan jika suatu masyarakat yang menuntut adanya

situasi yang menghendaki demikian, misalnya jumlah perempuan

yang melebihi laki-laki. Dengan ungkapan yang bebeda Fazlur

Rahman menyatakan kebolehan berpoligami merupakan suatu

pengecualian karena keadaan tertentu, sebab kenyataannya kebolehan

tersebut muncul ketika terjadi perang, dimana banyak anak yatim dan

janda yang ditinggal suaminya. Untuk itu ada dua solusi yang

ditawarkan oleh Al-Qur’an sehubungan dengan poligami. Pertama,

bahwa poligami yang terbatas hukumnya boleh. Kedua, kebolehan

berpoligami diatur dengan sebuah moral berupa keadilan. Dengan ini,

al-Qur’an berharap agar suatu masyarakat berjalan sesuai dengan

tuntutan zamannya, demikian Fazlur Rahman.105

Mu’ammal Humaidy juga menyatakan kesimpulan bahwa Islam

bukan menciptakan Undang-undang poligami, tetapi hanya mebatasi

poligami dengan jumlah tertentu. Al-Qur’ân tidak menyuruh poligami,

tetapi hanya membolekannya dengan persyaratan adil. Poligami

merupakan solusi dan jaga-jaga (antisipasi), bukan sebaliknya

membuat masalah. Jadi sesuaikan dengan kondisi dan keadaan dimana

dan kapan poligami ini dibutuhkan. Dan betapapun jeleknya poligami

barangkali masih lebih baik bagi masyarakat, perorangan, mapaun

105
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas pemikiran Muhammad
Abduh (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 101-104

23
24

keluarga daripada penggunaan hak secara membabi buta yang tidak

diatur dengan ini.106

Sedangkan menurut tokoh kontemporer, Muhamad Syahrur

membolehkan poligami dengan menetapkan adanya syarat kuantitas

dan kualitasnya. Dari segi kuantitas, batas minimal poligami adalah

satu perempuan. Adapun syarat kualitasnya yaitu istri kedua, ketiga

dan keempat yang boleh dinikahi harus janda yang memiliki anak-

anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.107

Di lain sisi, Muhammad Abduh berpendapat sebaiknya poligami

dijauhi dan dihindari, sesuai dengan kaidah usul fikih yang

mengatakan:

‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬

Karena menurut realita yang ada bahwa poligami lebih

menunjukkan dampak negatif daripada dampak positif dan yang

banyak menanggung akibatnya adalah kaum wanita dan anak-anak.

Meskipun tidak menafikan ayat yang membolehkan poligami, namun

ia sangat menentang praktik poligami dalam masyarakat, di samping

karena sulit merealisasikan keadilan bagi istri, sangat sulit juga

membina masyarakat yang di dalamnya marak praktik poligami, dari

106
Ibid, h. 105.
107
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’ân: Qira’ah Mu’ashirah (Damaskus: Dar
Ahali, 1990), h. 598-599.

24
25

sisi lain poligami tidak diyakini dapat menciptakan suasana harmonis,

malah sering kali menciptakan permusuhan di antara para istri dan

anak-anak dari masing-masing keluarga.108 Walaupun Abduh

menentang praktik poligami, tapi ia tetap membolehkan poligami pada

keadaan yang memaksa seperti tidak dapat mengandung.

Pendapat senada disampaikan juga oleh Masjfuk Zuhdi,

menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak

resiko/mudharat daripada manfaat, karena manusia fitrahnya (human

nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh.

Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika

hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian

poligami itu membawa sumber konflik dalam kehidupan keluarga,

baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-

istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya

masingmasing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut

Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah

menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh

dalam kehidupan keluarga yang harmonis. Berbeda dengan kehidupan

yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya

perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar

tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula

108
J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern world, alih bahasa oleh: Machun Husein
(Surabaya: CV Amar Press, 1991), h. 53.

25
26

membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya

diperbolehkan, bila dalam keaadaan darurat, misalnya istri sedang

mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga

human investement yang sangat berguna bagi manusia setelah ia

meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya

keturunan yang shaleh yang selalu berdo’a untuknya. Maka dalam

keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan

medis hasil laboratorium, suami diizinkan berpoligami dengan syarat

ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan

harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu

tinggalnya.109

Dari sisi lain Muhammad Abdul-Rauf berpendapat, poligami

Nabi Muhammad harus dilihat dan dipertimbangkan kondisi kapan

beliau melakukannya. Ternyata selama 28 tahun dari umur

perkawaninannya, atau umur 53 tahun, beliau monogami dengan

Khadijah. Beliau melakukan poligami sepeninggal Khadijah, dan

adanya tuntutan politik dan sosial, yang diikuti juga dengan tuntutan

untuk membantu sejumlah penduduk Madinah (ketika itu disebut

Yasrib) untuk mencapai ketentraman masyarakat (civil order).110

109
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, dikutip dari: Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat
(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h. 130-131.
110
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia (Pekanbaru:
Suska Press, 2015), h. 62-63.

26
27

Al-Qasimi (W. 1916 M) berpendapat bahwa hanya pria yang

istimewa saja yang bisa melakukan poligami secara adil. Sedangkan

Al-Maraghi (W. 1952 M) dalam tafsirnya menyebutkan bahwa

poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, misalnya

karena istri mandul, suami memiliki kemampuan seks yang tinggi

sementara istri tidak mampu melayaninya, suami mempunyai harta

yang banyak untuk membiayai kepentingan keluarga dan jumlah

perempuan melebihi dari jumlah laki-laki.111

Amina Wadud berpendapat bahwa ayat poligami, an-Nisa ayat

3; pertama, ayat ini berkaitan dengan perlakuan terhadap anak yatim,

yakni wali pria yang bertanggungjawab untuk mengelola kekayaan

anak perempuan yatim harus berlaku adil dalam pengelolaan tersebut.

Salah satu pemecahan yang dianjurkan untuk mencegah terjadinya

kesalahan dalam pengelolaan tersebut adalah dengan menikahi anak

yatim.112 Kedua, menekankan keadilan, yakni mengadakan perjanjian

dengan adil, mengelola harta dengan adil, adil terhadapanak yatim,

dan adil terhadap para istri.

Kaitan dengan surat an-Nisa ayat 129 banyak mufassir

modern berkesimpulan bahwa monogami sebagai perkawinan yang

disukai Qur'an. Mestinya ihwal saling melengkapi antara suami dan

111
Ibid, h. 90
112
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Qur’an, alih bahasa oleh: Yaziar Radianti
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 111-112.

27
28

istri, membentuk keluaga yang penuh cinta kasih dan ketentraman,

tidak mungkin tercapai jika seorang suami sekaligus ayah membagi

cinta kepada lebih anak satu keluarga, demikian Amina.113

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa status

hukum poligami menurut beberapa ulama klasik dan ulama

kontemporer terdapat perbedaan yang cukup signifikan, dimana para

ulama klasik berpendapat bahwa poligami hukumnya boleh dengan

syarat mampu berlaku adil terhadap para istri. Sedangakan mayoritas

ulama kontemporer cenderung membatasi kebolehan poligami, dimana

suami hanya boleh berpoligami jika dalam keadaan tertentu saja atau

disebut juga dalam keadaan darurat, adapun dalam keadaan normal

Islam menghendaki monogami. Di samping itu, sebagian ulama

kontemporer justru cenderung mengharamkan poligami.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa hukum poligami

secara garis besar terbagi tiga yaitu: membolehkan poligami, haram

poligami dan membolehkan poligami dengan syarat yang ketat.

3. Poligami Menurut Hukum Positif


a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4

dan pasal 5 telah mengatur bahwa pada hakikatnya asas perkawinan

adalah monogami akan tetapi poligami diperbolehkan jika memenuhi

113
Ibid, h. 114

28
29

syaratsyarat yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang laik-laki

yang beristri untuk dapat melakukan poligami harus mengajukan

permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dengan

membawa kutipan akta nikah yang terdahulu dan surat-surat izin yang

diperlukan.

Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami

adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai

berikut:114

Pasal 3
1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.

Pasal 4
1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin
kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Permohonan ini bisa diajukan jika syarat-syarat yang dibawah ini

terpenuhi:115

1) Adanya persetujuan istri


Permohonan ini akan dikabulkan oleh pengadilan jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

114
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1991), h. 289.
115
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Bandung
:Citra Umbara), h. 76-77.

29
30

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.


b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.

Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar

hukumpemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang Nomor

1 Tahun1974 tentang perkawinan,junctoPeraturan Pemerintah nomor

9 tahun 1975, junto Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal

3 ayat (2) junto Pasal 43 Peraturan Pemerintah No.9

tahun1975,menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin

kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila

dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”. Selain itu dalam Pasal 4

ayat (1) dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri lebih

dariseorang,sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-

undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada

Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.116

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur ketentuan

pelaksanaan pemberian izin poligami dalam pasal 43 disebutkan

bahwa ”apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi

pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan

116
Reza Fitra Ardhian dkk, “Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia
Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama”, Jurnal Privat Law, Vol. III No. 2,
(JuliDesember 2015), h. 103.

30
31

memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari

seorang.117

Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1

Undang-Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan

diterapkannya asas monogami dalam setiap perkawinan. Namun,

dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya

poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat.

Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian

masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus

mampu berlaku adil.Ketentuan adanya asas monogami ini bukan

hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU

Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin

pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Untuk mendapatkan

izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu

disertai dengan alasan yang dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut

diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus

mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian

bagi Pegawai Negeri Sipil.118

117
Ibid, h. 103
118
Edi Darmawijaya,“Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif: Tinjauan Hukum
Keluarga Turki, Tunisia dan Indonesia”, Jurnal Ar-Raniry, Vol.1 No. 1, (Maret, 2015), h. 35.

31
32

b. Kompilasi Hukum Islam


Sedangkan prosedur poligami diatur dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) bab IX yaitu pasal 56-59. Sebagaimana berikut:119

1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas


hanya sampai empat istri.
2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
4) Istri mendapatkan cacat badan dan tidak dapat disembuhkan.
5) Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.
6) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama.
7) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.

Ketentuan yang termuat dalam Kompilasi hukum Islam tersebut

pada hakekatnya adalah hukum Islam, yang dalam arti sempit sebagai

fikihlokalyangbercirike-Indonesia-an.Dikatakan demikian karena

Kompilasi Hukum Islam digali dari sumber-sumber dan dalil-dalil

hukum Islam melalui suatu ijtihad dan pemikiran hukum

kotemporer.120

Tujuan Kompilasi Hukum Islam adalah unifikasi hukum Islam

yang diberlakukan bagi umat Islam menurut kondisi dan kebutuhan

hukum masyarakat Islam Indonesia.Unifikasi hukum Islam tersebut

dilakukan berlandaskan atas pemikiran hukum para ahli hukum Islam

tentang perlunya transformasi hukum Islam kedalamhukum positif,

119
Tim Redaksi Nuansa Aulia, “Kompilasi Hukum Islam”, Cet. 3 (Bandung:CV. Nuansa
Aulia, 2012), h. 16-17
120
Reza Fitra Ardhian dkk, “Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia
Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama”, Jurnal Privat Law, Vol. III No. 2,
(JuliDesember 2015), h. 103

32
33

sehingga tercipta keseragaman pelaksanaan hukum Islam dalam

mengatasi masalah-masalah kehidupan ummat Islam dalam bidang

mua’amalah.

Dengan demikian perkawinan poligamidianggap sah apabila

memenuhi ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan sesuai dan

dengan memenuhi syarat-syarat dan rukunnya menurut hukum Islam,

dan telah memenuhi hukum formal, yaitu dilakukan setelah mendapat

izin dari Pengadilan yang membolehkan untuk melangsungkan

perkawian poligami tersebut.121

B. Konsep Adil Dalam Poligami


1. Konsep Adil

Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang

lain baik dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah

dan tidak berbeda sama lain.

Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil, menurut

Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya

persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap

sesama istri dalam batas yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya

Mustafa al-Sibai mengatakan bahwa keadilan material seperti yang

diperlukan dalam poligami adalah keadilan material seperti yang

berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan

dan lain-lain.
121
Ibid, h. 105.

33
34

Secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama, adil dalam arti

“sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi tersebut

adalahpersamaan dalam hak. Setiap suami wajib melaksanakan keadilan

terhadap istri-istrinya. Dan prinsip keadilan itu ialah persamaan diantara

dua yang sama. Dan persamaan di antara istri-istri itu menjadi hak dari

setiap istri, sebagai haknya dalam statusnya sebagai istri, dan

memperhatikan sebab apapun yang berhubungan dengan dirinya. Karena

hubungan suami dengan masing-masing istrinya itu adalah hubungan

suami istri.122

Konsep adil yang kedua adalah adil yang ditunjukkan untuk

pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok

yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan

tertentu, selama syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan

syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi

kehadirannya. Keadilan ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan),

bukan lawan kata kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan

persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang.

Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap

hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya.

Pengertian ini pulalah yang mengandung suatu pemahaman bahwa

122
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan
Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), h. 206.

34
35

pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada

pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman.

Yang keempat adalah adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep

adil ini berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak

mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat

banyak kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas

Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya

mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk

diperoleh sejauh mahluk itu dapat meraihnya.123

Dilihat dari definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa para ulama

di atas mendefinisikan adil yang hanya sebatas dapat dihitung dengan

angka-angka yang menjadi bagian setiap masing-masing istri atau yang

bersifat kuantitatif. Padahal menurut fatwa Abduh, bahwa adil dalam

poligami itu bersifat kaulitatif, seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang

semuanya tidak dapat diukur dengan angka-angka. Maka di sini

dibutuhkan sifat adil yang kualitatif bagi setiap istri-istri. Sifat adil yang

kualitatif memang sangatlah susah.

2. Keadilan Dalam Poligami

Dalam perkawinan adil ditekankan pada praktek perkawinan

poligami. al-Qur'ân memberikan persyaratan ketat perihal suami yang

123
Zakiyuddin Baidhawy, Rekonstruksi Keadilan, (Jakarta: Bintang Pustaka, t.th), h. 06.

35
36

berpoligami. Sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat an-Nisa ayat

129:

‫َو َلْن َتْس َتِط ْيُعْٓو ا َاْن َتْع ِدُلْو ا َبَنْي الِّنَس ۤاِء َو َلْو َح َر ْص ُتْم َفاَل ِمَتْيُلْو ا ُك َّل اْلَم ْيِل َفَت َذ ُر ْو َه ا‬
‫َك اْلُم َعَّلَق ِةۗ َو ِاْن ُتْص ِلُحْو ا َو َتَّتُقْو ا َفِاَّن الّٰل َه َك اَن َغُفْو ًر ا َّر ِح ْيًم ا‬

Dalam surat an-Nisâ ayat 129 disampaikan oleh mayoritas ulama

tafsir, bahwa apabila tidak ada kemampuan dalam pembagian sama rata

cinta kepada istri-istri kalian dan perkara ini memang diluar batas

kemampuan kalian, wahai kaum laki-laki, maka janganlah kalian

menumpahkan kecintaan kepada sebagian dari istri-istri kalian secara

berlebihan, sebab ini dapat mendorong kepada tindakan pelarangan hukum

seperti tidak memenuhi kewajiban memberi nafkah, menggauli istri yang

kurang kalian suakai bagaikan orang-orang yang terkatung-katung seakan-

akan ia tidak mempunyai suami tetapi tidak pula berstatus janda padahal ia

masih bisa menikah dengan orang lain. Dalam surat an-Nisâ ayat 129 ini

ath-Thâbâri mengatakan, “jika kalian dapat berbuat adil, memberi nafkah,

menggauli mereka maka janganlah kamu melanggar ketentuan ini dan

berlindunglah kepada Allah Swt., dari sikap cinta yang dilarang seperti

mencintai salah satu dan menganiaya yang lainnya dengan mengabaikan

hak-haknya. Akan tetapi Allah Swt., Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.124

124
Muhammad Baltaji, Poligami, (Solo: Media Insani Publishing, 2007), h. 48

36
37

Menurut Imam Syafi’i, As-Sarakhasi dan al-Kasani mensyaratkan

keadilan di antara para istri, menurut mereka keadilan ini hanya

menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau di siang

hari.125 Menurut fiqih Mazhab Syafi’i yang dimaksud dengan pembagian

yang seadil- adilnya, ialah dalam hal nafkah (biaya hidup), pakain, tempat

tinggal dan waktu bergilir. Sedangkan dalam perkara kecintaan dan kasih

sayang, tidak seorang pun dibebanisebab soal cinta dan kasih sayang

didalam hati, bukanlah urusan manusia tetapi urusan Allah Swt.,126

Muhammad Husein Al-Dzahabi mendefenisikan keadilan poligami

sebagai adanya persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari

terhadap sesama istri dalam batas mampu yang dilakukan oleh manusia.

Sedangkan Mustafa al-Siba’i mengatakan bahwa keadilan yang

diperlakukan dalam poligami adalah keadilan materiel seperti yang

berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman,

perumahan dan hal-hal yang bersifat kebutuhan materiel istri.

Menurut Wahbah az-Zuhaily bahwa syariat menetapkan dua syarat

inti bagi bolehnya poligami, diantaranya kesanggupan untuk berlaku adil

terhadap para istri. Keadilan yang dimaksud az-Zuhaily adalah keadilan

yang dapat dilakukan dan diwujudkan oleh manusia. Yaitu berlaku adil

terhadap istri dari segi materi, yang berupa nafkah, perlakuan baik dan

125
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas pemikiran Muhammad
Abduh (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 107.
126
Ibnu Mas’ud, Fiqh Madzhab Syafi’i (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 328.

37
38

masa menginap. Namun jika khawatir akan berlaku zalim atau tidak

mampu berlaku adil di antara para istri maka cukup memiliki satu istri

saja.127 Sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad Saw.,:

‫ َك اَن َل َز َت اِن‬: ‫ع َأيِب ه ي َة رِض اهلل عْن َأَّن الَّن ﷺ َق ل‬


‫ُه ْو َج‬ ‫َمْن‬ ‫َّيب‬ ‫ُه‬ ‫َي‬ ‫َر َر‬ ‫ْن‬
‫ِق‬ ‫ِق‬ ‫ِق‬ ‫ِد‬
‫ (رواه أبو داود‬.‫َفَم اَل ِإىل َأَح َمِها يف ال سِم َج اء َيْو َم ال َياَم ِة َو َأَح ُد َش ا ْيِه َم ائًال‬
128
)‫و النساىئ و ابن ماجة و أمحد‬

Keadilan yang dimaksud sebagai syarat poligami bukanlah sama rata

dalam perasaan, cinta dan kecenderungan hati. Karena itu adalah perkara

yang tidak mungkin dan tidak mampu dilakukan oleh manusia. Maka tidak

ada pembebanan perkara yang sifatnya fitrah yang tidak tunduk terhadap

kehendak, misalnya rasa cinta dan rasa benci. Akan tetapi, rasa takut

penguasaan cinta terhadap hati adalah perkara yang sudah diprediksi. Oleh

karena itu, syariat mengingatkannya di dalam surat an-Nisâ ayat 129. Ayat

tersebut menegaskan syarat adil, serta tidak terjatuh ke dalam penzaliman

terhadap istri dengan meninggalkan seorang dari mereka dalam keadaan

terkatung-katung. Dia tidak berstatus sebagai seorang istri yang memiliki

hak-hak sebagai istri, juga tidak berstatus sebagai perempuan yang

diceraikan, demikian az-Zuhaily.129

127
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, alih bahsa oleh: Abdul
Hayyie dkk, Fiqih Islam 9 ( Jakarta: Gema Insan, 2011), Cet. Ke-1, h. 162.
128
Manshur Zuhri, Membaca kembali Sunnah Poligami (Modul Perkuliahan Hadits Ahkam
PMH-V), h. 15
129
Ibid, h. 164

38
39

Menurut Yusuf Qardhawi, adil dalam tataran praktis merupakan

kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berbuat adil di antara

istriistrinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal,

bermalam dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk

menunaikan hakhak tersebut secara adil dan imbang, maka haram baginya

menikahi lebih dari seorang.130

Sejalan dengan pendapat Yusuf Qardhawi di atas, Sayyid Sabiq pun

memaknai adil yang dituntut dalam poligami ialah dalam urusan makan,

tempat tinggal, pakaian dan kediaman, atau segala yang bersifat kebendaan

tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan yang fakir, yang berasal

dari keturunan yang tinggi dengan yang bawah. Bila suami khawatir suami

berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak para istri, maka

diharamkan poligami.131 Dan Sayyid termasuk ulama yang tidak setuju jika

syarat keadilan dalam poligami harus dimaknai adil dalam hal cinta dan

kasih sayang karena itu di luar kemampuan seseorang.

Matoritas ulama memandang adil adalah dengan pemahaman

kuantitatif, berbeda halnya dengan Muhammad Abduh yang memiliki

pandangan bahwa adil dalam poligami yang disyaratkan al-Qur’ân adalah

keadilan dengan sifat kualitatif, seperti kasih sayang, cinta dan perhatian

130
Yusuf Qordhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih bahasa oleh: Muammal Hamidy
(Singapura: PT Bina Ilmu, 1993), h. 260-261.
131
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 3 (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), h. 171

39
40

yang kesemuanya tidak bisa ditimbang dengan timbangan materiil,

melainkan bersifat immateriil. Dalam surat an-Nisâ ayat 3, difirmankan:

‫ِء‬ ‫ِا‬
‫َو ْن ِخ ْف ُتْم َااَّل ُتْق ِس ُطْو ا ىِف اْلَيٰت ٰم ى َفاْنِكُحْو ا َم ا َط اَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس ۤا َم ْثىٰن َو ُثٰل َث‬
‫َو ُر ٰب َع ۚ َف ِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل َتْع ِدُلْو ا َف اِح َد ًة َاْو َم ا َم َلَك ْت َاَمْياُنُك ْم ۗ ٰذ ِل َك َاْد ٰٓنى َااَّل‬
‫َو‬
‫ُل ۗا‬
‫َتُعْو ْو‬

Muhammad Abduh menjelaskan, apabila seorang laki-laki tidak

mampu memberikan hak-hak istrinya, maka rusaklah struktur rumah

tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut.

Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah

saling menyayangi antara anggota keluarganya.132

Mayoritas ulama fiqh menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah

sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-Jaziri

menuliskan bahwa mepersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih

sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang

yang berpoligami, karena sebagai manusia tidak akan mampu berbuat adil

dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat

naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami lebih tertarik pada salah

132
Ali Ahmad Jurjani, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu (Beirut: Dar al-fikri, t.t), h. 10-
12.

40
41

seorang istrinya melebihi yang lain dan hal semacam ini merupakan

sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.133

Muhammad Musthafa Al-Maraghi berpendapat bahwa yang

terpenting ialah adanya usaha maksimal untuk berbuat adil. Adapun

perkara di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu keharusan untuk

dilaksanakan. Yaitu kemampuan hati untuk membagi kasih sayang yang

sama rata kepada setiap istri.

Pendapat Muhammad Musthafa Al-Maraghi di atas tidak jauh

berbeda dengan ulama tafsir asal Indonesia yaitu M. Quraish Shihab yang

memaknai adil dalam poligami dalam hal materiel saja. Sedangkan

keadilan immateriel sebagaimana yang dimaksudkan surat an-Nisâ ayat

129 tidak mungkin tercapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu,

suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan

berkelebihan cenderung kepeda yang dicintai.134

Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa makna keadilan dalam

poligami hanya menyangkut aspek materi biasanya bersandar pada ayat

129 surat an-Nisâ yang menegaskan kamu sekali-kali tidak akan dapat

berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat mengendaki

133
Abdul al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Arba’ah (Mesir: Al-Maktabah
alTijariyyah, 1969), h. 239.
134
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân,Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1998), h. 201.

41
42

demikian”. Namun dengan ayat ini pula kelompok yang lain memaknai

keadilan dalam poligami menyangkut aspek immateri (seperti kasih

sayang) menyandarkan pendapatnya. Menurut kelompok ini, karena

keadilan poligami sangat sulit diwujudkan maka hal tersebut menjelaskan

bahwa sebenarnya poligami tidak dianjurkan dalam Islam. Pendapat yang

demikian dinyatakan oleh Muhammad Thaha dan Fazlurrahman.

Menurut Muhammad Thaha, keadilan dalam poligami adalah sesuatu

yang sangat sulit diwujudkan karena tidak hanya mencakup kebutuhan

materi, namun juga keadilan dalam mendapat kecenderungan hati.

Sedangkan Fazlurrahman berkomentar berkaitan dengan firman Allah

surat an-Nisâ ayat 3 yang menganjurkan poligami dengan disertai syarat

bahwa suami harus mampu berlaku adil. Ayat ini juga diikuti penegasan

“jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, cukuplah hanya dengan

seorang istri”, selanjutnya pada surat an-Nisâ ayat 129 ditegaskan bahwa

kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil di antara istri-istrimu,

walaupun kamu sangat menghendaki demikian. Dengan demikian,

menurut Rahman bahwa Al-Qur’ân sebenarnya adalah menegakkan

monogami, atau menyelamatkan ayat 3 an-Nisâ dan 129 dari pengertian

yang kontradiktif.135

135
Fazlur Rahman, Islam, ter. Sinoaji Saleh (Jakarta: Bina Askara, 1987), h. 315.

42
43

Dari berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam

perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa sebagian besar ulama

memaknai keadilan sebagai syarat dalam perkawinan poligami adalah pada

hal-hal yang bersifat material dan terukur seperti pembagian tempat

tinggal, pakaian, makanan, minuman,waktu bergilir, belanja bulanan dan

hal lainnya yang bersifat material. Sebagaimana yang dikemukan oleh

Imam Syafi’i, as-Sarakhasi, al-Kasani, Muhammad Husein al-Dzâhabi,

Mustafa al-Siab’i, Wahbah az-Zuhaily, Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq,

Abdurrahman al-Jaziri, dan M. Quraish Sihab. Hal ini menjadikan

poligami lebih mudah dilakukan atau poligami menjadi sistem perkawinan

yang bisa terealisasikan di dalam kehidupan. Sebaliknya, jika keadilan

hanya ditekankan pada hal-hal kualitatif atau dalam bahasa M. Quraish

Shihab keadilan Immaterial seperti perhatian, cinta dan kasih sayang,

sebagaimana halnya yang dikemukakan Muhammad Abduh, Muhammad

Thaha dan Fazlur Rahman di atas, maka poligami menjadi suatu yang

tidak mungkin dilaksanakan. Padahal Allah SWT menjanjikan dalam surat

Al-Barqārah ayat 286. Yang berbunyi:

ࣖ‫ُو ْسَعَه ا‬ ‫اَل ُيَك ِّلُف الّٰل ُه َنْف ا ِااَّل‬


‫ًس‬
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap ketetapan hukum yang telah

diwahyukan Allah kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril as

sebagai pedoman hidup manusia merupakan suatu ketetapan yang bisa

43
44

untuk dijalankan, terlepas ada sebagian manusia yang menganggap berat

atas ketetapan hukum tersebut.

Jadi, dari banyaknya pendapat para ulama yang meberikan konsep

adil dalam poligami, maka penulis hanya terfokus membahas tentang

pendapat para ulama yang mayoritas yaitu adil dalam hal materil saja.

Mengenai pendapat ulama yang memaknai adil dalam hal immateriel

penulis hanya melakukan perbandingan saja. Jadi konsep adil yang

dikemukakan oleh mayoritas ulama dalam hal meteril dapat di

kelompokkan kedalam 3 pembagian yaitu:

a. Adil dalam Nafkah


Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban

memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri

secąra berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang

ditanggung masing-masing istrinya baik dalam urusan pangan,

pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan

lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan antara istri yang

kaya dengan istri yang miskin, dari keturunan bangsawan dengan yang

berasal dari golongan bawahan. Jika masing-masing istri memiliki

anak yang jumlahnya berbeda, atau jumlahnya sama tapi biaya

pendidikannya berbeda, maka hal ini harus menjadi pertimbangan

44
45

dalam memberikan keadilan. Apabila suami khawatir tidak mampu

memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami.136

Setiap suami wajib memenuhi nafkah bagi keluarganya, sesuai

dengan kesanggupannya. Memberi nafkah kepada keluarganya

merupakan tugas suci bagi seorang suami Dan juga memberi nafkah

bagi keluarga merupakan prioritas pertama bagi seorang suami. Yang

dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang

berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian,

rumah dan lain- lain.137

Nafkah yang dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang

baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung

jawabnya. Suami berkewajiban memberikan nafkah lahir dan batin

terhadap para istri dan anak-anaknya, terutama dalam hal primer

seperti tempat tinggąl, pakaian, makanan dan pendidikan.

Adapun soal besaran nafkah, ulama berbeda pendapat. Imam

Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat, besaran nafkah tidak

ditetapkan secara syariat. Ia dikembalikan kepada tempat, waktu,

kemampuan suami, dan kebutuhan istri. Sementara Imam Syafii

menyatakan sebaliknya. Besaran nafkah ditetapkan oleh syariat, yaitu

dua mūd (1 mūd ialah 543 gram) bagi suami yang berkecukupan, satu

136
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 90
137
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 383.

45
46

setengah mud bagi suami kalangan menengah, dan satu mud bagi

suami yang miskin. Namun rupanya besaran yang ditetapkan oleh

Imam Syafii hanya berupa makanan. Sedangkan yang lain tidak

ditentukan.138

Ada pula yang berpendapat, besaran nafkah tidak ada dibatasi

kecuali batas kecukupan. Sedangkan kecukupan dikembalikan kepada

adat kebiasaan. Suami tidak perlu memaksakan diri di luar

kemąmpuannya. Yang penting sudah berusaha maksimal memenuhi

kewajiban nafkah.139 Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S âth-

Thalāq ayat 7:

‫َس َعِته ۗ َو َمْن ُق ِدَر َعَلْي ِه ِر ْز ُق هٗ َفْلُيْنِف ْق َّمِمٓا ٰاٰتى) )ُه الّٰل ُهۗ اَل‬ ‫ٍة‬
‫ُيْن ْق ُذْو َس َع ِّم ْن‬
‫ِل ِف‬

ࣖ ‫َم ٓا ٰاٰتىَه ۗا َسَيْجَعُل الّٰل ُه َبْع َد ُعْس ٍر ُّيْسًر ا‬ ‫ُيَك ِّلُف الّٰل ُه َنْف ا ِااَّل‬
‫ًس‬

Kemudian, di antara beberapa pihak yang wajib dinafkahi

seorang laki-laki, istri mendudukkan posisi pertama setelah dirinya

dan nafkahnya yang terlewatkan tidak gugur begitu saja. Sebagaimana

di sebutkan Syekh Musthâfâ Al-Khīn dalam kitabnya:

‫ خبالف‬,‫ فإهنا ال تسقط مبض))ي الزمان‬,‫ ألن تفقتها آكد‬:‫يقدم بعد نفسه‬
140
.‫ فإهنا تسقط الوقت‬,‫تفقة األصول و الفروع‬

138
Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imamis Syafi‘i, jilid IV, h. 173.
139
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz 11 (Semarang: As-syifa’, 1990), h. 462.
140
Mustofa` al-Khin dan Mustofa al-Bukho`, al-Fiqhu Al-Manhaji alal Mazhab al-Imam
asy-Syafi`i, Juz 4, (Damasukus: Dar al-Qolam, 1992), cet ke-4, h. 178

46
47

Jadi, Setelah diri dan istrinya, posisi orang yang harus dinafkahi

seorang laki-laki adalah anaknya, kemudian ibunya yang tidak

mampu, kemudian ayahnya yang tidak mampu, kemudian anak

dewasanya yang tidak mampu, kemudian kakeknya yang tidak

mampu.

Saking besarnya hak nafkah, sampai-sampai seorang istri

diperbolehkan mengambil hak tersebut secukupnya. Hal itu

didasasarkan pada hadits riwayat Hindun binti ‘Utbah. Ia pernah

mengadukan suaminya kepada Rasulullah Saw,:

‫ َدَخ لْت هنُد بنُت ُعْتب)َة ـ ِاْم رأُة َأيب سْف ياَن‬:‫عن َعائشَة َر ضي اهلل عنها قالت‬
‫ ياَر سول اهلل! إن أبا سفياَن رُج ٌل‬: ‫ فقالْت‬. ‫ـ علي َر سْو ل اهلل ﷺ‬
‫ إاّل ما أخذ ِم مالِه‬, ‫شحي اليعطيين م الّنفقِة مايكفيين ويْكفي ب‬
‫ُت ْن‬ ‫َّين‬ ‫َن‬ ‫ٌح‬
‫ ذي م ماله باملعروِف‬: ‫ ل يف ذل ِم َن اٍح ؟ َق اَل‬.‫بَغ ِري ِعْلمِه‬
‫ْن‬ ‫ُخ‬ ‫َف‬ ‫َك ْن ُج‬ ‫َفَه‬
141
)‫ (متفق عليه‬. ‫َم ايْك ِف يِك و يْكفي بنيِك‬

Yusuf Qardawi berpendapat bahwa syara’ tidak membatasi

(tidak menentukan) batas nafkah terhadap istri ini dengan kadar

tertentu berapa dirham atau berapa rupiah besarnya. Tetapi yang wajib

ialah memenuhi kebutuhan secara patut, karena kebutuhan istri

berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan situasi

dan kondisi.

141
Ibnu hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Hadist yang ke 1171.

47
48

Persamaan bagi para istri dalam kaitannya dengan biaya hidup

dan pakaian bukan merupakan suatu kewajiban apabila suami telah

menyediakan kebutuhan- kebutuhan pokok bagi setiap orang istrinya.

Begitu pula dengan tunjangan- tunjangan yang bersifat pribadi bukan

merupakan persyaratan menurut hukum islam, namun bila suami

memutuskan untuk memberikan tunjangan tersebut kepada salah

seorang istrinya, maka dia harus memberikan tunjangan serupa kepada

kepada istri-istrinya yang lain. Demikian juga halnya, hadiah-hadiah

harus diseimbangkan. Namun pengeluaran uang untuk keperluan

anakanak tidak termasuk dalam pembagian harta diantara para istri,

karena itu ia wajib diberikan tanpa memperdulikan apakah salah

seorang istri mempunyai tujuh orang anak dan istri lainnya

mempunyai dua orang anak.142

Dari pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

suami mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah yang meliputi

makanan, minuman, pakaian dan segala kebutuhan lainnya kepada

istri-istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan.

b. Adil dalam Pembagian Waktu Gilir


Suami yang mempunyai istri lebih wajiblah mengatur giliran

dengan adil kepada istri-istrinya itu. Kalau suami tidak dapat

mengatur giliran dengan adil, hendaklah ia beristri tidak lebih dari

142
Jamilah Jones, Monogami Dan Poligini Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), h. 86.

48
49

seorang, kecuali kalau dengan suka dan rela hati dari istri yang

bersangkutan. Dengan persetujuan istri-istrinya dapatlah suami

mengatur giliran tersebut sebagaimana mestinya, misalnya sama-sama

satu, dua atau tiga malam untuk masing-masing istri.143

Salah satu pembagian yang penting dilakukan oleh suami

terhadap para istrinya ialah pembagian giliran. Menurut Hukum Islam

pembagian waktu bergilir dilakukan berdasarkan malam, karena

waktu malam adalah waktu istirahat, dimana seorang suami yang

menikah lebih dari seorang istri harus membagi malamnya diantara

para istrinya, sedangkan siang dipergunakan suami untuk mencari

nafkah. Dalam hal mencari nafkah Pembagian malam dan siang ini

ditetapkan dan diatata oleh Allah Swt, sebagaiman dinyatakan dalam

al-Qur’ân dalam surat Yunus ayat 67:

‫َلُك اَّل ِلَت ُك ا ِف ِه الَّن ا ِص اۗ ِاَّن ٰذ ِل َك ٰاَلٰيٍت‬ ‫َّل ِذ‬


‫ُه َو ا ْي َجَع َل ُم ْي َل ْس ُنْو ْي َو َه َر ُمْب ًر ْيِف‬
‫ِّلَق ْو ٍم َّيْسَم ُعْو َن‬

Dalam pengaturan waktu bergilir, bila suami meninggalkan

rumah istrinya di siang hari gilirannya tidak untuk keperluan bekerja

dan suami segera pulang maka dia tidak perlu mengatur kembali

waktu giliran. Namun apabila suami berpergian ke suatu tempat dalam

jangka waktu lama atau tidak kembali pada waktu itu (waktu giliran)

143
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi,
Maliki, Hanbali (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 99.

49
50

maka waktu bergilirannya harus diatur kembali sebab berpergian akan

menghilangkan hak istri itu (istri yang mendapat waktu giliran).

Jika suatu waktu suami bepergian dan dia memerlukan ditemani

salah seorang dari istri-istrinya, dia berhak untuk memilih satu

diantara mereka. Apabila hal itu ditolak oleh istri-istri yang lain dan

timbul sengketa, hendaklah suami mengundi diantara mereka untuk

menentukan siapa yang akan menemaninya. Hal seperti itu juga

dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu dengan cara undian untuk

menemaninya dalam perjalanan.

‫ فَأَّيُتُه َّن َخ َر َج‬, ‫كاَن َر سول اهللﷺ إَذا أراَد َس َف ًر ا َأْقَر َع بَنْي َس ائ‬
‫ِن ِه‬
144
)‫ (رواه الُبَخ اري و مْس لم‬.‫سْه ُم َه ا َخ َر َج َهِبا‬
Namun sebalikanya apabila suami berbuat aniaya terhadap salah

seorang dari mereka dengan mengabaikan malam bagiannya, wajiblah

ia menggantikannya dengan malam lainnya, karena itu suami harus

mengerti aturan-aturan agama yang berkaitan dengan pembagian hari

bagi para istri.

Namun apabila diantara kedua belah pihak telah terjadi

perdamaian, dimana istri yang satu telah merelakan haknya untuk

dimiliki istri yang lain maka dengan sendirinya keadilan itu tidak

144
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwainy, Sunan Ibnu Majah Jilid I (Bairut:
Daral-Fikr, 1995), h. 618.

50
51

wajib lagi, dan suami tidaklah berdosa lagi kalau keadilan itu tidak

diisinya. Hadits Râsulullâh Saw, menyatakan:

,‫َعْن َعائشَة ـ َر ِض َي اهلل َعْنَه ا ـ َأَّن َس ْو َدَة ِبْنَت َز ْمَع َة َو َه َبْت َيْو َمَه ا ِلَعائَش َة‬
145
)‫ (متفق عليه‬.‫َو كَاَن الّنُّيِب ﷺ َيْق ِس ُم ِلَعائَش َة َيْو َمَه ا و َيْو َم سْو دَة‬

Mengenai hal pembagian waktu bergilir ini, Jumhur Ulama

berpendapat bahwa jika suami yang sudah beristri dan menikah lagi

dengan seorang gadis perawan, maka ia boleh tinggal dirumah istri

muda selama tujuh hari, dan kemudian tinggal sesuai giliran masing-

masing istri. Sedangkan apabila istri muda berstatus janda, maka ia

boleh menginap di tempatnya selam tiga hari, dan setelah itu ia harus

tinggal sesuai giliran masing-masing.146 Hadits dari baginda Nabi

Saw., yang menyatakan:

‫ ِم ن ال َّنِة ِإَذا َتَز َّو الَّر ُج الِبْك َعلى الثَّيِب‬: ‫َعْن َاَنٍس ض اهلل َعْن ُه َقاَل‬
‫َج ُل َر‬ ‫ُس‬ ‫َر َي‬
. ‫ َّمُث َقَس َم‬,‫ وإَذا َتَز َّو َج الّثَّيَب ّاّق اَم ِعْن َد ها َثَالًث ا‬, ‫ َّمُث َقَس َم‬,‫اقاَم ِعْن َد ها سْبًعا‬
.)‫ واللفظ للبخاري‬,‫(متفق عليه‬

Adapun hikmah tujuh malam untuk gadis dan tiga malam untuk

janda ialah karena yang perempuan masih gadis itu masih banyak

malunya untuk dipergauli. Oleh sebab itu, ia diberi hak agar suaminya

145
Ibnu Hajar Al- Asqalani, Bulughul Maram, Hadist yang ke 1066/1597.
146
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Al-Kautsar, 1998), h. 48.

51
52

bermalam selama tujuh malam hingga hilang perasaan malunya

terhadap suminya. Adapun perempuan janda tidaklah semalu

perempuan yang masih gadis dan dengan cepat dapat dibawa bergaul

dalam rumah tangga.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang masih

gadis merdeka atau budak muslimah maupun ahlul kitab dan ia masih

mempunyai istri lain yang merdeka maupun budak, maka ia harus

memberikan pengkhususan kepada istri yang masih gadis itu dengan

menginap ditempatnya selama tujuh hari. Kemudian ia memberikan

giliran kepada yang lainnya, tanpa menghitung ketujuh hari

tersebut.147

Ada beberapa pendapat tentang tinggalnya suami ditempat gadis

dan janda, apakah ia harus menghitung tinggalnya atau tidak, jika dia

memiliki istri lagi: Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dan

para pengikut mereka berdua, berpendapat bahwa tinggal ditempat

istri yang masih gadis selama tujuh hari dan ditempat istri yang sudah

janda selama tiga hari dan tidak menghitungnya dengan hari-hari yang

dahulu dia menikah, jika dia memiliki istri lagi. Abu Hanifah

berpendapat tinggal ditempat istri-istri tersebut secara sama, baik

gadis atau janda dan menghitungnya dengan hari ketika dia tinggal

ditempat istrinya, jika ia memiliki istri lagi. Sedangkan para pengikut

147
Ibid, h. 49.

52
53

Malik berbeda pendapat tentang apakah tinggalnya suami ditempat

gadis selama tujuh hari dan ditempat janda selama tiga hari hukumnya

wajib atau sunnah, Menurut Ibnu Al Qasim mengatakan hukumnya

adalah wajib sedangkan menurut Ibnu Abdil Hakam mengatakan

sunnah.148

c. Adil dalam Pembagian Tempat Tinggal


Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri.
Sebagaimana firman Allah Swt., berfirman dalam Q.S al-Ahdżâb ayat
33:
‫ِت‬ ‫ِق‬ ‫ِهِل ِة‬ ‫ِت‬
‫َو َقْر َن ْيِف ُبُيْو ُك َّن َو اَل َتَبَّر ْج َن َتَبُّر َج اَجْلا َّي اُاْلْو ىٰل َو َا ْم َن الَّص ٰل وَة َو ٰا َنْي‬
‫َا اْل ِت‬ ‫ّٰل ِل ِه‬ ‫ِا‬ ‫ِط ّٰل‬
‫الَّزٰك وَة َو َا ْع َن ال َه َو َرُسْو َلهۗ َمَّنا ُيِر ْيُد ال ُه ُيْذ َب َعْنُك ُم الِّر ْج َس ْه َل َبْي‬
‫َطِّه ُك َتْطِه ۚا‬
‫َو ُي َر ْم ْيًر‬
Dalam ayat ini Allah Swt., menyebutkan rumah Nabi Saw.,

dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau

tidak hanya satu. Sedangkan maksud dari “kamu” disini adalah isteri-

isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan

yang dibenarkan oleh syârâ. Perintah Ini juga meliputi segenap

mukminat.

Ibnu Qudamah Rahimahullah menjelaskan dalam kitab al-

Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua

orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini

148
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 111- 112.

53
54

dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan

permusuhan di antara keduanya.

Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam

satu rumah, maka tidaklah mengapa. Bahkan jika keduanya ridha jika

suami mereka tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak

mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli istri yang

satu di hadapan istri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara

keduanya.

Kemudian dijelaskan juga oleh Mahmud Yunus dalam hukum

perkawinan menurut Mazhab Syâfi’i, Hânâfi, Mâliki, Hanbali dalam

pasal 75 tersebut dijelaskan bahwa suami wajib menyadiakan tempat

kediaman untuk istrinya serta perkakas rumah, seperti tempat tidur,

kain selimut, bantal dan sebagainya.

Disebutkan juga oleh Jamilah Jones yang berpendapat dalam

islam lebih disukai bila setiap orang istri mendapatkan tempat tinggal

tersendiri dimana suami dapat mengunjunginya, karena begitulah cara

Rasulullah membagi waktu bergilirnya. Disini tidak ada perbedaan

apakah rumah itu besar atau kecil, dengan satu dapur, satu kamar

mandi dan fasilitas lainnya, karena tinggal bersama bisa menimbulkan

keberatan bagi mereka dan kecemburuan alami mungkin sekali timbul

diantara mereka.

54
55

Dalam KHI bab X11 tentang hak dan kewajiban suami istri

pasal 82 ayat (1) bahwa “suami yang mempunyai istri lebih dari

seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada

masingmasing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah

keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada

perjanjian perkawinan. Disebutkan juga dalam undang-undang

perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 32 ayat (1) bahwa “suami istri

harus mempunyai tempat kediaman yang tetap” dan ayat (2) “ rumah

tempat kediaman yan dimaksud ayat (1) pasal ini ditentukan oleh

suami istri bersama”.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasannya seseorang yang

beristri lebih dari seorang wajib memberikan tempat tinggal bagi

setiap istrinya. Kalau tidak dikhawatirkan akan terjadi kecemburuan

sehingga menimbulkan ketidak adilan, karena seperti yang dijelaskan

diatas tinggal bersama dengan beberapa orang istri bisa menimbulkan

keberatan bagi mereka dan kecemburuan alami yang mungkin sesekali

timbul diantara mereka. Kecuali pihak (istri-istri) memiliki

pemahaman sendiri untuk tetap hidup rukun.

55
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini dapat digolongkan kepada bentuk penelitian

emperis atau field research yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan di

lingkungan tertentu baik di lembaga-lembaga organisasi masyarakat (sosial)

maupun lembaga pemerintah.149 Dalam penelitian lapangan ini dilakukan

pada Kantor Urusan Agama yang ada di Kabupaten Banjar dengan cara

melakukan wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA),

penulis juga melakukan observasi lapangan guna mendapatkan data yang

diinginkan. Disamping data lapangan penulis juga penunjangan terhadap

kepustakaan dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan

pembahasan dalam skripsi ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-

kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-

orang yang diteliti.150

Penelitian kualitatif selain menggambarkan suatu variabel juga

berusaha mengungkap hubungan antara satu variabel dengan variabel lain.

149
Surnadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Cet. VII, (Jakarta: PT Raja Garfindo, 2007)
h. 36
150
Baging Suryanto danSutinah, Metodologi Penelitian Sosial, cet. VII, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013) h. 166

56
57

Melalui pendekatan kualitatif diperoleh data berupa keadaan, fakta-fakta,

kata-kata atau lisan dari para informan pelaku yang dapat diamati.151

Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan perbandingan

(Comparative Approach), pendekatan komparatif adalah sebuah pendekatan

dengan membandingkan peraturan perundang-undnagan yang ada, misalnya

di Indonesia dengan satu atau beberapa peraturan perundang-undangan di

negara lain. Dapat pula dibandingkan keputusan lembaga peradilan yang

berwenang pada suatu negara dengan negara lainnya. Atau dengan

membandingkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang

mengatur suatu materi hukum yang sama pada suatu negara atau beberapa

negara lain.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah di lingkungan Kantor Urusan Agama

(KUA) yang ada di Kabupaten Banjar yaitu Kepala Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Astambul.

C. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Adapaun subjek penelitian ini adalah Kepala Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Astambul. Untuk mengatahui bagaimana pendapat

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) tentang konsep adil dalam poligami.

151
Menurut Maman Kh. Et al, Metode Penelitian Keagamaan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), 76.

57
58

2. Objek Penelitian

Dalam hal ini penulis membahas objek penelitian dengan

menggunakan pendekatan normatif dalam memahami situasi apa adanya,

normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya. Karena jenis

penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif yang menuntut peneliti

memahami secara langsung dan mendalam terhadap fenomena yang ada,

dalam hal ini adalah memahami konsepsi adil dalam poligami. Tentang

bagaimana pandangan kepala KUA dalam memandang adil sebagai syarat

poligami dan apakah poligami sudah sesuai dengan syariat Islam hingga

mampu dikatakan adil.

D. Data dan Sumber Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua

kategori, yaitu data primer dan data sekunder:

a. Data primer, merupakan data utama yag dapat dijadikan jawaban terhadap

masalah penelitian. Data primer adalah dalam penelitian skripsi ini adalah

konsep adil dalam poligami menurut pandangan Kepala KUA Kecamatan

Martapura dan Kepala KUA Kecamatan Astambul. Data primer ini

diperoleh dari observasi atau pengamatan langsung dan melalui wawancara

langsung kepada narasumber.

b. Data sekunder, yaitu data yang berkaitan dengan profil KUA Kecamatan

Martapura dan KUA Kecamatan Astambul dan data kepustakaan yang

diperoleh dari bacaan, literatur hukum, buku, atau kitab-kitab hukum,

58
59

berikut dengan jurnal hukum yang relevan dengan penelitian ini. Dalam

penelitian ini berkaitan dengan pembahasan konsep adil dalam poligami.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. 152 Dalam

penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Wawancara, merupakan proses tanya jawab untuk menemukan informasi

yang akurat kepada beberapa narasumber yang dianggap relevan dan juga

mengetahui secara langsung terhadap permasalahan yang dipertanyakan. Di

antara responden yang diwawancarai adalah:

1) Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Martapura Kota, dan

2) Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul.

b. Observasi adalah pengamatan langsung oleh peneliti atas pendapat-

pendapat Kepala KUA. Data dari observasi adalah sebagai upaya

mendukung data hasil wawancara.

c. Dokumentasi, penulis dapatkan dengan cara pra riset sebagai upaya untuk

mengumpulkan data-data awal di KUA Kecamatan Martapura Kota dan

KUA Kecamatan Astambul. Dan berupa poto-poto yang menulis dapatkan

ketika melakukan wawancara sebagai bukti dalam penelitian skripsi ini.

F. Teknik Pengolahan Data

152
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 137.

59
60

Setelah data diperoleh dan dikumpulkan maka data tersebut diolah

melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Editing. Penulis meneliti kembali atau melakukan pengecekkan ulang

data-data yang sudah terhimpun untuk mengetahui apakah semua data

sudah lengkap dan dapat dipahami.

2. Deskripsi. Tahap ini merupakan tahap pemaparan data yang diperoleh

pada saat penulis melakukan observasi dan wawancara.

3. Interprestasi. Yaitu tahap memberi penjelasan pada data agar mudah

dipahami

G. Analisis Data

Analisa data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,

sistemisasi, penafsiran dan verivikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai

sosial, akademis dan ilmiah.153 Dikarenakan data dalam penelitian ini termasuk

jenis data kualitatif, maka analisa terhadap data tersebut tidak harus menunggu

sampai selesainya pengumpulan data. Analisa data kualitatif bersifat iteratif

(berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang program.154

Dalam proses analisa ini, penulis menganalisa tiga alur kegiatan yang

terjadi secara bersama-sama yaitu, reduksi data, penyajian data dan penarikan

kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan data atau membuat

ringkasan yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Sedangkan

penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi

153
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), h. 191.
154
Ibid, h. 192

60
61

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau untuk verifikasi (pembuktian

kebenaran). Yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.155

155
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999), h. 190

61
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


1. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul

a. Sejarah Berdiri KUA Astambul

Secara umum, Kementerian Agama didirikan pada 03 Januari

1946 dengan sebutan Departemen Agama sebagaimana yang

tertuang dalam Penetapan Pemerintah Nomor 1/SD Tahun 1946

tentang dibentuknya Departemen Agama yang ditetapkan di

Yogjakarta. Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI

Nomor 1 Tahun 2010, Departemen Agama berubah nama menjadi

Kementerian Agama.156

Sedangkan terbentuknya Instansi Kementerian Agama di

Kalimantan Selatan, diawali dengan terbentuknya Kantor Urusan

Agama Provinsi Kalimantan Selatan yang berstatus persiapan.

Pembentukan Kantor Persiapan ini adalah atas usaha K.H. Hanafi

Gobit dan kawan-kawan berdasarkan permintaan Menteri Agama

kepada beliau di Yogyakarta pada tahun 1949 M. Kantor Persiapan

ini pertama kali bertempat di rumah H. Abdurrahim Gobit, yakni

orang tua K.H. Hanafi Gobit, di Jalan Kalimantan (sekarang Jl.

Mayjen S.Parman, Banjarmasin).

156
https://kalsel.kemenag.go.id/artikel/16535/sejarah-singkat-kantor-wilayah-
Kementerianagama-provinsi-kalimantan-selatan diakses pada tanggal 17 Agustus 2023

61
62

Dalam masa persiapan ini oleh Kementerian Agama Pusat

ditugaskan Bapak K.H. R. Asnawi Hadisiswono sebagai Kepala

Kantor dan K.H. Hanafi Gobit sebagai wakilnya. Pada 01 Agustus

1950, Kantor Urusan Agama Provinsi Kalimantan Selatan

diresmikan oleh Menteri Agama RI dengan K.H. Hanafi Gobit

sebagai Kepala. Pada Tahun 1951, Kantor Urusan Agama ini

dipecah menjadi 3 instansi (jawatan), yaitu:

a) Kantor Urusan Agama Provinsi Kalimantan Selatan, dipimpin

oleh K.H. Hanafi Gobit.

b) Kantor Pendidikan Agama Provinsi Kalimantan Selatan, di

pimpin oleh (pjs) Dahlan.

c) Kantor Penerangan Agama Provinsi Kalimantan Selatan, di

pimpin oleh (pjs) H. Abdullah Yazidi.

Ketiga Kantor Jawatan tersebut berjalan sendiri-sendiri, belum

ada koordinasi secara instansional. Baru pada tahun 1968, yakni

setelah adanya Keputusan Menteri Agama RI Nomor 56 dan 91

Tahun 1967, instruksi Menteri Agama RI Nomor 15 Tahun 1967,

dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 113 Tahun 1968,

terbentuklah perwakilan Departemen Agama Provinsi Kalimantan

Selatan yang berfungsi untuk mengkoordinir jawatanjawatan agama

yang ada. Perwakilan semacam ini hanya ada di tingkat Provinsi,

sedangkan perwakilan Kabupaten/Kota belum ada.


63

Kemudian dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur, Kalimantan Barat yang efektif berlaku mulai 10

Januari 1957 maka Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi

Kalimantan Selatan mengikuti perubahan itu. Sejalan dengan

perkembangan Departemen Agama dalam menghadapi volume kerja

yang semakin besar, di mana jawatan-jawatan di daerah bukan saja

dikoordinir, tetapi perlu dibimbing, dibina dan dikembangkan secara

langsung, intensif dan terarah, maka dikeluarkanlah Keputusan

Mandagri Nomor 36 Tahun 1972 yang menyempurnakan struktur

organisasi, tugas dan wewenang instansi Departemen Agama di

daerahdaerah.

Atas dasar keputusan tersebut, maka di Kalimantan Selatan

yang selama ini hanya ada perwakilan Departemen Agama Provinsi,

didirikanlah kantor perwakilan Kabupaten/Kota. Kemudian dengan

diterbitkannya Kepres Nomor 44, 45 Tahun 1974 yang diikuti lagi

dengan keluarnya KMA Nomor 18 Tahun 1975, maka terjadi lagi

perubahan nama perwakilan itu menjadi Kantor Wilayah untuk

tingkat Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota

untuk tingkat Kabupaten/Kota serta Kantor Urusan Agama

Kecamatan untuk tingkat Kecamatan.

Adapun KUA Kecamatan Astambul berdasarkan bahwa KUA

Kecamatan Astambul ini sudah berdiri sejak tahun 1980/1981 M.

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul terletak di Jalan


64

Syekh Muhammad Arsyad, Desa Sungai Alat, Kecamatan Astambul,

dengan kode pos 70671. Gedung Kantor Urusan Agama Kecamatan

Astambul dibangun pada tahun 1980/1981 M dengan luas bangunan

80 m2 di atas tanah hibah H. Muhammad Sidiq dengan luas tanah

446 m2 , yang mana dari berdirinya hingga sekarang, Kepala KUA

Kecamatan Astambul yang menjabat sebagai berikut:

a) H. Sirajudin
b) H. Hasan
c) H. Abdul Azis
d) H. Muhammad Syukran
e) H. M. Aini
f) H. Usup Ganal tahun 1879 s/d 1982 M
g) H. Sidiq Darmas tahun 1982 s/d 1985 M
h) H. M. Aini HM 1985 s/d 1990 M
i) H. M. Zuhdi, BA 1990 s/d 1996 M
j) H. M. Syarwani Simuh, Januari 1996 s/d Juni 1996 M
k) Dr. H. Miftahuddin 1996 s/d 2000 M
l) Dr. H. AH. Syarwani 2000 s/d 2003 M
m) Dr. Saman Hudi 2003 s/d 2009 M
n) Hj. Mahali S.Ag 2009 s/d 2013 M
o) Dr. H. Abdul Basit 2013 s/d 2018 M
p) H. Hasan Yamani, S.Ag 2018 s/d sekarang
b. Visi dan Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul

Upaya mewujudkan pelayanan prima pada visi dan misi

Kantor Urusan Agama, maka perlu ditetapkan visi dan misi kantor

Urusan Agama. Rumusan visi dan misi yang dimaksud harus

memperhatikan visi dan misi Kantor Kementrian Agama

Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Visi Kantor Urusan Agama

Kecamatan Astambul ialah: Terwujudnya kehidupan beragama yang

penuh keimanan, ketaqwaan dan kerukunan di Kecamatan Astambul.


65

Adapun misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul sebagai

berikut:

a) Mendorong dan mengembangkan kualitas umat beragama untuk

meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

b) Meningkatkan terciptanya insan yang berkualitas, bernorma,

berakhlakul karimah, beriman, dan bertaqwa.

c) Meningkatkan pembinaan keluarga guna terwujudnya keluarga

sakinah.

c. Program Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul

a) Bidang Kepenghuluan

1) Melaksanakan Pelayanan Pendaftaran, Pengawasan dan

Pencatatan Nikah dan Rujuk.

2) Melaksanakan Pelayanan Penerbitan Rekomendasi Nikah

3) Melaksanakan Pelayanan Legalisasi Foto Copy Kutipan Akta

Nikah

4) Melaksanakan Pelayanan Penerbitan Duplikat Kutipan Akta

Nikah

5) Melaksanakan Pengadaan dan Pemeliharaan Sarana Pelayanan

Nikah Rujuk

6) Melaksanakan Penyuluhan dan Bimbingan Nikah Rujuk

7) Membuat Pengumuman Kehendak Nikah


66

8) Menghadiri Peristiwa Nikah dalam wilayah Kec. Astambul,

Mencatat dalam Akta Nikah dan Membuat Kutipan Akta Nikah

untk disampaikan kepada masing-masing suami isteri.

9) Menyeleksi Calon Pembantu Penghulu dan Perpanjangan

Pembantu Penghulu Desa dalam wilayah Kec. Astambul.

10) Membantu melaksanakan tugas penyelenggaraan bimbingan

Menasik Haji.

11) Melaksanakan tugas yang diberikan kepala.

12) Membuat Buku Catatan Poligami.

b) Rincian Kegiatan Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul

1) Struktur Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah merupakan unit

kerja terdepan Depertemen Agama yang melaksanakan sebagian

tugas– tugas Pemerintahan di bidang Agama, khususnya Agama

Islam yang wilayah operasionalnya adalah di tingkat

Kecamatan. Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena

Kantor Urusan Agama secara langsung berhadapan dengan

Masyarakat.

Keberadaan Kantor Urusan Agama atau yang lebih

dikenal dengan sebutan KUA adalah sejalan dan seiring dengan

keberadaan Depertemen Agama RI, yakni pada tanggal 03

Januari 1946, sepuluh bulan kemudian tepatnya pada tanggal 21

Nopember 1946 keluarlah Undang-Undang No 22 Tahun 1946


67

tentang Pencatatan Nikah. Kantor Urusan Agama mempunyai

peran yang sangat penting dan strategis, sebab keberadaannya

langsung berhadapan dengan masyarakat terutama masyarakat

yang memerlukan pelayanan dalam bidang urusan agama.

c) Tupoksi Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul

1) Tugas pokok Kepala KUA Kecamatan Astambul

1. Memimpin jalannya roda pelayanan KUA Kecamatan

Astambul.

2. Menetapkan kebijakan teknis tata usaha, kepegawaian,

keuangan, perlengkapan rumah tangga kantor, nikah dan

rujuk, bina ibadah sosial, pangan halal, kemiteraan ummat

dan pembinaan keluarga sakinah.

3. Mengkoordinasikan, membimbing, mengarahkan, dan

mengawasi tugas Pelaksana, Penghulu, dan Pembantu

Penghulu

4. Melaksanakan tugas sebagai berikut:

a. Melaksanakan pembinaan, pengawasan, terhadap

Penghulu

b. Melaksanakan pemeriksaan dan menghadiri akad

nikah

c. Melaksanakan kegiatan penasehatan bagi catin

5. Melaksanakan tugas lintas sektoral da extra structural

6. Memberikan bimbingan dan konsultasi perkawinan


68

7. Melaksanakan dan mengkordinir penyuluhan keluarga

sakinah

8. Melaksakan bimbingan manasik jama’ah haji

9. Melaksanakan tugas yang diberikan oleh kepala

KANKEMENAG Kabupaten Banjar

2) Penghulu

1. Menerima dan mendaftarkan catin serta meneliti,

memeriksa berkas catin dan walinya serta

menyerahkannya dalam Daftar Pemeriksaan Nikah

2. Membuat pengumuman kehendak nikah

3. Memberikan penasehatan bagi calon pengantin

4. Menghadiri peristiwa nikah dalam wilayah Kecamatan

Astambul, mencatat dalam Akta, Nikah dan membuat

Kutipan Akta Nikah untuk disampaikan kepada masing-

masing suami isteri

5. Menyeleksi calon Pembantu Penghulu dan perpanjangan

Pembantu Penghulu desa dalam wilayah Kecamatan

Astambul

6. Melayani serta meneliti catin yang meminta

Rekomendasi/Pelimpahan Nikah, Surat belum Pernah

Menikah, dan pembuatan Duplikan Kutipan Akta Nikah

7. Membantu melaksanakan tugas penyeleggaraan

bimbingan Manasik Haji


69

8. Melaksanakan tugas yang diberikan Kepala KUA

9. Membuat Buku Catatan Poligami.

3) Pelayanan Nikah Rujuk (NR)

1. Menulis akta nikah, kutipan akta nikah

2. Pemeriksaan administrasi NR

3. Membantu membuat surat keterangan belum pernah nikah,

rekomendasi nikah, pelimpahan nikah, duplikat, kutipan akta

nikah dan legalisasi surat keterangan akta nikah

4. Membantu penyelenggaraan bimbingan manasik haji

4) Pelaksana keuangan dan rumah tangga KUA Kecamatan

Astambul

1. Melaksanakan pengawasan keuangan meliputi:

a. Menerima menyetorkan biaya NR

b. Membukukan keuangan NR

c. Membukukan keuangan dana operasional KUA

d. Menertibkan kearsipan keuangan

2. Menata ruangan ruang kantor dan mengawas keperluan rumah

tangga KUA

3. Membantu tugas kepenghuluan menerima dan mendaftarkan

4. Membantu penyelenggaran bimbingan manasik haji

5. Membantu tugas yang diberikan kepala dalam job description

5) Pelaksana Tata Usaha (TU)

1. Menghimpun mengelola melaporkan data KUA


70

2. Membuat laporan rutin bulanan, triwulan, semester dan evaluasi

tahun taqwim

3. Membuat usul pengangkatan dan perpanjangan pembantu

penghulu

4. Membuat inventaris kantor

5. Melaksanakan tugas maszawaib

6. Membantu melaksanakan tugas LPTQ

7. Membantu melaksanakan tugas penyelenggaran bimbingan

manasik Haji

8. Membantu menghadiri dan mencatat pernikahan

9. Melaksanakan tugas yang diberikan kepala dalam job

description

10. Membuat absensi daftar hadir karyawan/karyawati

6) Keluarga Sakinah

1. Membuat jadwal penasehatan perkawinan

2. Mengidentifikasi kondisi keluarga pra sakinah

3. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah

4. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah

5. Membuat laporan tentang perkawinan

6. Membuat laporan bulanan, triwulan, semester dan tahuan

tentang BP4

7. Memasyarakatkan baca tulis al-Qur’an pada calon pengantin


71

8. Membantu tugas kepenghuluan dalam penulisan buku nikah dan

pendistribusian buku nikah

9. Membuat proposal kegiatan keluarga sakinah

10. Memberikan pertimbangan kepada kepala dalam urusan

keluarga sakinah

11. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala KUA

d) Jenis Kegiatan Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul

Jenis kegiatan yang dilakukan Kantor Urusan Agama

Kecamatan Astambul adalah sebagai berikut:

1) Melakukan kegiatan kantor yang meliputi: menerima surat,

mengarahkan surat, menyelesaikan surat, pendistribusian surat,

penyimpanan dan pemeliharaan surat, dan menata kearsipan

2) Melakukan pengurusan dan tata usaha keuangan

3) Melakukan urusan rumah tangga Kantor

4) Membuat dokumentasi dan statistik kegiatan-kegiatan di bidang

Nikah/Rujuk

5) Menyajikan data hasil kegiatan di bidang Nikah/Rujuk

d. Tata Cara Pelaksanaan Pernikahan di Kantor Urusan Agama

Kecamatan Astambul

1) Waktu Pelaksanaan Pernikahan

Pelaksanaan pernikahan dilangsungkan setelah lewat 10

(sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman dan di

laksanakan pada jam kerja. Apabila akad nikah akan dilangsungkan


72

kurang dari 10 (sepuluh) hari tersebut karena suatu alasan yang

penting, harus ada dispensasi dari Camat atas nama Bupati Kepala

Daerah. Maksud pemberian tempo 10 hari tersebut adalah untuk

pemeriksaan data dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa

catin ingin melaksanakan pernikahan sehingga seandainya

ditemukan kekurangan syarat ataupun penyimpangan lainnya dalam

pernikahan tersebut maka dapat dilakukan pembatalan.

2) Pelaksanaan Akad Nikah

Rangkaian kegiatan pelaksanaan akad nikah diatur sebagai

berikut:

1. PPN atau Wakil PPN terlebih dahulu memeriksa ulang

persyaratan nikah dan segala administrasinya calon pengantin

dan wali kemudian menetapkan dua orang saksi yang

memenuhi syarat.

2. PPN atau wakil PPN menanyakan kepada calon suami berapa

maharnya kemudian menanyakan kepada calon istri di hadapan

dua orang saksi, apakah dia bersedia dinikahkan dengan calon

suaminya atau tidak.

3. Jika calon isteri bersedia, dipersilahkan meminta kepada

walinya untuk di nikahkan dengan calon suaminya (Berwali)

maka PPN atau wakil PPN menanyakan kepada walinya,

apakah dia sendiri yang akan menikahkan anaknya atau

mewakilkannya.
73

4. Jika tidak ada wali Nasab maka calon isteri meminta kepada

wali hakim untuk bersedia menjadi wali, namun sebelumnya

telah memenuhi persyaratan perpindahan wali kepada wali

hakim diantaranya catin wanita telah diambil sumpah bahwa

wali nasabnya tidak dapat dihadirkan atau diwakilkan sesuai

ketentua syariat Islam.

5. Nasehat Pernikahan. Setiap mempelai perlu diberikan nasihat

pernikahan untuk bekal mereka dalam membina rumah tangga

bahagia sejahtera. Nasihat pernikahan yang diberikan sebelum

akad nikah, atau yang disebut penyuluhan nikah, bisa

dilakukan secara perorangan atau kolektif oleh BP4 melalui

suscatin.

3) Penandatanganan Akta Nikah

Penanda tanganan akta nikah dilakukan setelah selesai akad

nikah di langsungkan sedangkan penulisan Kutipan akta nikah harus

segera dilakukan setelah pelaksanaan akad nikah sudah dituangkan

dalam buku Akta Nikah (Model N), untuk segera disampaikan

kepada pasangan Pengantin.

e. Prosedur Pelaksanaan Pernikahan Di Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Astambul

Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan

nikah hanyalah syarat administratif saja. Artinya, pernikahan tetap sah,

karena standar sah atau tidaknya pernikahan ditentukan oleh norma-


74

norma agama dari pihak- pihak yang melangsungkan pernikahan.

Pencatatan pernikahan diatur karena tanpa pencatatan, suatu pernikahan

tidak mempunyai kekuatan hukum.157

Selain itu, pencatatan pernikahan juga memiliki cakupan manfaat

yang sangat besar, yaitu menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan

atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat pernikahan, baik menurut

hukum agama dan kepercayaannya, maupun menurut perundang-

undangan. Peraturan Pelaksanaan, yang meliputi tahap-tahap

pemberitahuan, pemeriksaan, dan pengumuman.158

1. Pemberitahuan Kehendak Nikah

Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka

orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada

PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah

sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.

Pemberitahuan Kehendak Nikah berisi data tentang nama kedua calon

mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data

mahar/maskawin, dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di

Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid, gedung,

dan lainlain). Berikut contoh tabel untuk melakukan pendaftaran nikah

di KUA Kecamatan:

157
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.110
158
K. Wantjik Saleh, Hukum Pernikahan Indonesia, h. 18
75

Calon Pengantin Kantor KUA Kecamatan


Desa – BP4
Puskesmas

Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon

mempelai, wali (orang tua) atau wakilnya dengan membawa surat-

surat yang diperlukan sebagai berikut:

a. Calon Suami

1) Datang ke Kantor Kelurahan/Desa

2) Apabila berdomisili di luar Kecamatan calon istri, maka calon

suami terlebih dulu datang ke KUA Kecamatan sesuai

domisilinya, untuk mendapatkan surat pengantar

pemberitahuan kehendak nikah atau surat rekomendasi nikah.

3) Surat-surat sebagaimana poin 1 dan 2 di bawa ke pihak

calon istri

b. Calon Isteri

1) Calon mempelai datang ke kantor desa

c. Calon suami dan istri datang ke Puskesmas untuk periksa test

kesehatan dan imunisasi TT-1 bagi perempuan.

d. Calon suami dan istri datang ke KUA untuk memberitahukan

kehendak nikahnya dengan membawa:

1) Surat-surat dari desa sebagaimana poin no. 2 dari (a) s/d (i).

2) Surat keterangan hasil periksa kesehatan di puskesmas.

3) Foto copy KTP, KK, ijazah calon mempelai, wali dan saksi
76

4) Fotocopy surat surat nikah orang tua bagi calon mempelai

wanita anak pertama.

5) Foto copy akta kelahiran/kenal lahir.

6) Akta cerai bagi duda/janda.

7) Izin atasan bagi calon mempelai anggota TNI/POLRI.

8) Surat dispensasi dari camat bagi yang mendaftar belum

mencapai 10 hari kerja.

9) Surat dispensasi dari PA bagi catin laki-laki yang belum

berumur 19 tahun dan catin perempuan yang belum berumur

19 tahun.

10) Izin PA bagi calon suami yang berpoligami.

11) Foto berwarna ukuran 2x3 = 4 lembar 3x4 = 2 lembar dan

4x6 = 2 lembar dengan background biru.

e. Diadakan pendaftaran dan pemeriksaan di muat dalam berkas

pemeriksaan (model NB) dan di muat dalam buku agenda serta

diterbitkan pengumuman kehendak nikah (model NC) oleh KUA,

setelah itu calon mempelai;

1) Membayar biaya nikah Rp. 600.000 bagi yang melaksanakan

akad nikah di luar kantor KUA atau di luar jam kerja.

2) Mengikuti penasehatan pra nikah (klasikal/ individual) oleh

petugas BP4.

2. Pemeriksaan Nikah
77

PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti

dan memeriksa berkas–berkas yang ada apakah sudah memenuhi

syarat atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka

diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu, dilakukan

pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri, dan wali nikahnya yang

dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).

Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum

munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan

cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah

pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon

istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah.

Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi

pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Pengumuman Kehendak Nikah

Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak

nikah (model NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan

tempat pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat

tinggal masing-masing calon mempelai.

Seperti yang penyusun uraikan di atas bahwa prosedur

pelaksanaan pernikahan wanita hamil adalah sama dengan prosedur

pelaksanaan pernikahan pada umumnya.


78

f. Sarana Prasarana Kantor Urusan Agama Kecamatan Astambul


KUA Kecamatan Astambul memiliki sebuah gedung yang

memiliki beberapa ruangan sebagai berikut:

1. Ruang Kepala KUA yang dilengkapi dengan:

a. 1 buah meja kerja


b. 1 buah kursi kerja
c. 1 buah meja tamu
d. 1 buah kursi panjang tamu
e. 3 buah kursi tamu
f. 1 set computer
g. 1 buah Berangkas
h. 1 buah bendera merah putih
i. 1 buah bendera kementerian agama
j. 2 buah kipas angin
k. Gambar presiden dan wakil
l. Gambar mantan kepala KUA Kecamatan Astambul
m. Plakat dan piagam penghargaan
n. Jam dinding
o. Kalender
p. 1 buah Lemari buku-buku
q. 1 buah Lemari file kabinet/arsip
2. Ruang depan yang berfungsi sebagai ruang tunggu yang dilengkapi

dengan:

a. Papan-papan data dan pemberitahuan

b. 1 buah meja

c. 2 buah sofa

d. 1 buah kursi

e. 1 buah kursi panjang


79

3. Ruang B4 dan Balai Nikah yang digunakan untuk prosesi akad

nikah yang dilengkapi dengan:

a. 1 set pelaminan

b. 1 buah kipas angin

c. 2 buah meja

d. 1 buah meja besar

e. Beberapa sajadah untuk shalat berjamaah

f. 1 karpet

4. Ruang Staf yang digunakan sebagai ruang kerja bagi staf pelaksana

KUA yang melayani masyarakat untuk pendaftaran pernikahan dan

sebagainya yang dilengkapi dengan:

a. 4 buah meja kerja


b. 8 buah kursi kerja
c. 1 buah lemari berkas-berkas dan surat menyurat
d. 1 buah lemari berkas-berkas dan akta nikah
e. 2 buah computer
f. 3 buah printer
g. 1 buah kipas angin
h. 1 buah televisi
i. Jam dinding
j. Kalender
5. Ruang computer:

a. 1 buah kursi
b. 1 buah meja
c. 1 buah kipas angin
d. 1 buah computer
e. 1 buah alat printer
80

6. Ruang WC untuk keperluan pribadi dari pegawai KUA dan tamu.

a. 1 buah kamar mandi


b. 1 buah WC
2. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Martapura
a. Sejarah Berdiri KUA Kecamatan Martapura Kota
Pada zaman Kesultanan Mataram pada abad 17 ( Tahun 1588-

1681), Indonesia telah memiliki lembaga Kepenghuluan, di mana

pada saat itu Kesultanan mengangkat seseorang yang diberi

wewenang dan tugas khusus dalam menjalankan tugas di bidang

kepenghuluan.

Kemudian pada masa penjajahan Belanda, lembaga

Kepenghuluan diatur dalam suatui ordonansi yaitu:

1. Huwelijk Ordonatie Stbl. 1929 NO. 348 jo Stbl. 1931 NO. 467
2. Vorstenladsche Huwelijk Ordonatie Stbl. 1933 NO. 98
3. Huwelijs Ordoatie Buetengewesten Stbl. 1932NO. 482
Lembaga dibawah pengawasan residen, di mana pegawainya

memilki penghasilan dari biaya nikah, talak dan rujukyang dihimpun

dalam kas masjid.

Masa penjajahan Jepang (1943), didirikan sejenis Kantor

Urusan Agama yanng bernama ”Shumubu” di jakarta. KH. Hasyim

Asy’ari pendiri Pondok Pesantren Tebuirerng Jombang dan pendiri

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ditunjuk sebagai Kepala Shumubu

untuk wilayah Jawa dan Madura. Kemudian beliau menyerahkan


81

pelaksanaan tugas kepada Puteranya KH. Wahid Hasyim sampai

akhir pendudukan Jepang (Agustus 1945).

Sesudah merdeka Menteri Agama yang pertama yaitu H.M.

Rasjidi mengeluarkan maklumat NO. 2 tanggal 23 April 1946 yang

isinya mendukung semua lembaga dan ditempatkan kedalam

Kementerian Agama. Dalam perkembangan selanjutnya dengan

terbitnya KMA NO. 517 Tahun 2001 tentang penataan organisasi

KUA Kecamatan. Maka KUA berkedudukan di wilayah Kecamatan

dan bertanggung jawab kepada Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota.

Tugas pokoknya melaksanakan sebagian tugas Kantor

Departemen Agama Kabupaten/ Kota di bidang URAIS dan wilayah

Kecamatan. Pada perkembangan selanjutnya keberadaan KUA diatur

dalam PMA No. 36 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kantor Urusan Agama Kecamatan. Maka KUA berkedudukan di

wilayah kecamatan dan di pimpin oleh Kepala serta bertanggung

jawab kepada DIRJEN BIMAS ISLAM dan secara operasional

dibina oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota.

Eksistensi KUA Kecamatan sebagai institusi pemerintah dapat

diakui keberadaannya dengan adanya landasan hukum yang kuat dan

merupakan bagian dari struktur Pemerintahan di tingkat Kecamatan.


82

KUA Kecamatan Martapura Kota berdiri sejak Tahun 1975

berada di jalan A. Yani. Namun sekarang sudah berpindah tempat di

Desa Bincau Jalan Sekumpul Ujung No 1 Kecamatan Martapura

Kota yang masih berada dalam satu komplek perkantoran wilayah

Kecamatan Martapura Kota. Sampai sekarang sudah dipimpin 11

orang pejabat sebagaimana yang tertera dalam table dibawah ini:

No. NAMA MASA JABATAN

1 K.H. ABDURRAHMAN ISMAIL 1975-1978

2 K.H. M. MUKERI 1979-1980

3 H. RASYIDI RAHMAN 1981-1988

4 H. ABDUL HAMID. B 1989-1996

5 H. M. ZUHDI S, BA 1997-1999

6 H. MAHALLI, S.Ag 2000-2009

7 Drs. SAMAN HUDI 2009-2010

8 Drs. H. ABDUL BASIT 2010-2011

9 Drs. MUSLIM 2011-2017

10 H. ABDUL JABAR, S.Ag 2017-2019

11 Drs. H. ABDUL BASIT, MM 2020 - Sekarang


83

Luas Wilayah Kecamatan Martapura adalah ± 42,03 Km 2 yang

terbagi menjadi 7 (tujuh) Kelurahan dan 19 (sembilanbelas) Desa

yaitu:

NO KELURAHAN NO
1 Kelurahan Keraton 1 Desa Tunggul Irang
2 Kelurahan Jawa 2 Desa Tunggul Irang Ulu
3 Kelurahan Pasayangan 3 Desa Tunggul Irang Ilir
4 Kelurahan Murung Keraton 4 Desa Pasayangan Utara
5 Kelurahan Sekumpul 5 Desa Pasayangan Barat
6 Kelurahan Sungai Paring 6 Desa Pasayangn Selatan
7 Kelurahan Tanjung Rema Darat 7 Desa Bincau
8 Desa Labuan Tabu
9 Desa Bincau Muara
10 Desa Indrasari
11 Desa Tungkaran
12 Desa Sungai Sipai
13 Desa Cindai Alus
14 Desa Murung Kenanga
15 Desa Tambak Baru
16 Desa Tambak Baru Ulu
17 Desa Tambak Baru Ilir
18 Desa Jawa Laut
19 Desa Tanjung Rema
Secara geografis letak Kecamatan Martapura berbatasan

dengan Kecamatan lain sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Kecamatan Martapura Timur

 Sebelah Selatan : Kecamatan Astambul dan Kecamatan Karang


Intan
 Sebelah Timur : Kecamatan Martapura Timur

 Sebelah Barat : Kota Banjarbaru, Ibukota Provinsi Kalimantan


Selatan, Indonesia.

Martapura adalah sebuah Kecamatan sekaligus Ibu kota

Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Indonesia. Martapura


84

terletak ditepi sungai Martapura dan berjarak 40 Km di sebelah timur

Kota Banjarmasin. Sebagaimana daerah tropis lainnya Kecamatan

Martapura hanya mengenal dua musim, yaitu musim hujan dan

musim kemarau.

b. Visi dan Misi KUA Kecamatan Martapura

Upaya mewujudkan pelayanan prima pada Kantor Urusan

Agama perlu di tetapkan Visi dan Misi.

Visi Kantor Urusan Agama Kecamatan Martapura Kota ialah:

“ Terwujudnya masyarakat islam kecamatan Martapura Kota yang

Taat beragama , berakhlak mulia, maju, sejahtera, cerdas

berwawasan dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

dalam wadah NKRI.”.

Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Martapura Kota ialah:

1. Meningkatkan pelayanan pernikahan secara online, ketahanan


keluarga sakinah, pemberdayaan masjid, pembinaan syariah
dan ibadah sosial dan lain-lain.
2. Mengoptimalkan pelayanan administrasi dan manajemen.
3. Meningkatkan hubungan kerjasama dan lintas sektoral.
4. Meningkatkan penyuluhan agama pada masyarakat,
pemberdayaan lembaga keagamaan dan dakwah islamiah.
5. Mengefktifkan penyuluhan agama pada masyarakat,
pemberdayaan lembaga zakat dan ibadah sosial.
6. Meningkatkan pengamalan, penyuluhan, pengelolaan dan
pemberdayaan wakaf.
85

7. Meningkatkan pelayanan manasik haji dan konsultasi haji dan


umrah.
Visi dan Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Martapura

Kota menjadi acuan dalam pelaksanaan pelayanan prima

berdasarkan standar sehingga pelayanan terhadap masyarakat

khususnya umat islam di wilayah kerja KUA Kecamatan Martapura

kota dapat terwujud dengan memuaskan.

c. Program Kerja KUA Kecamatan Martapura


Secara umum pelaksanaan program kerja KUA Kecamatan

Martapura Kota dapat dilaksanakan dengan baik, meskipun masih

terdapat kekurangan dan hambatan yang belum bisa dilaksanakan

sepenuhnya sesuai dengan apa yang diharapkan terutama khususnya

KUA Kecamatan Martapura Kota.

Adapun program kerja KUA Keecamatan Martapura Kota

adalah sebagai berikut:

1. Kepenghuluan
Pada kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan baik :
a. Pengusulan Pembantu Penghulu
b. Usul Pembaharuan SK Pembantu Penghulu
c. Rapat koordinasi rutin setiap 1 bulan sekali
d. Pembinaan keadministrasian NR untuk Pembantu Penghulu
dan program lainnya
e. Pengelolaan dana NR dan Bedolan telah dilaksanakan sesuai
dengan petunjuk dan peraturan yang berlaku

2. Pembinaan Perkawinan
Pembinaan Perkawinan dapat dilaksanakan sbb :
86

a. Memfungsikan BP.4 sebagai sarana penasehatan bagi keluarga


yang bermasalah dan penasehatan bagi catin
b. Mengadakan pembinaan penasehatan perkawinan kepada ibu –
ibu PKK secara berkala.
3. Bidang Keluarga Sakinah
Bidang Perkawinan dapat dilaksanakan dengan kegiatan sbb :
a. Penyuluhan KS pada Desa Binaan
b. Penyuluhan KS pada Pembantu Penghulu, Kepengurusan
Masjid.
c. Penyuluhan KS pada semua Pambakal/Lurah se Kecamatan
Martapura Kota.
d. Penyuluhan KS ke Desa – desa dalam acara Lomba Desa
Tingkat Kabupaten.
4. Bidang Kemasjidan
Bidang kemasjidan yang dapat terlaksana adalah :
a. Pembinaan masjid yang akan di ikut sertakan dalam lomba
Masjid percontohan..
b. Membantu pengusulan permohonan rehab bangunan masjid
melalui dana APBD maupun dana lainnya
c. Mengupayakan penyelesaian status tanah masjid yang belum
bersertifikat agar mendapatkan sertifikatnya.
5. Bidang Wakaf, Pangan Halal dan Kemitraan
a. Mengusulkan semua tanah wakaf untuk didaftarkan ke BPN
melalui Penyelenggara Zakat dan Wakaf agar dapat sertifikat.
b. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat Pangan Halal
terutama kepada Keluarga Sakinah di Desa Binaan.
c. Mengedarkan panplet tentang Pangan Halal kepada masyarakat
pedesaan dalam kesempatan kunjungan bersama Muspika
seperti safari Ramadhan Jum’at bersih dalam pertemuan
dengan semua Pambakal dalam rapat koordinasi.
6. Zakat dan Ibadah Sosial
87

Pada bidang ini dapat dilaksanakan antara lain :


a. Sosialisasi Undang – undang tentang Perda Zakat kepada
Pembantu Penghulu, Pengurus Masjid / Langgar serta semua
masyarakat, mengedarkan Perda dimaksud agar diketahui oleh
semua masyarakat.
b. Melakukan pembinaan ibadah sosial dengan mengadakan
Bimbingan kepada khatib dan bilal.
7. Bidang Keagamaan / LPTQ
Pada bidang ini KUA dapat melaksanakan beberapa hal yaitu :
a. Mengupayakan terlaksananya kegiatan MTQ Tingkat
Kecamatan untuk mencari qari dan qariah aslu putra daerah.
b. Mengupayakan pembinaan qari dan qariah dengan
mendatangkan pembina dari luar daerah.
c. Membentuk kepengurusan LPTQ Kecamatan dengan
pembinaan terhadap asli putra daerah.
8. Lintas Sektoral
Bidang lintas sektoral telah dilaksanakan koordinasi dengan

semua pihak, terutama Polsek Martapura Kota dalam menangani

kasus – kasus kekerasan dalam rumah tangga, surat keterangan

kehilangan buku nikah untuk mendapatkan duplikat, menghadiri

semua kegiatan dan data tentang keagamaan, memimpin do’a dan

kegiatan lainnya yang diperlukan.

9. Hambatan dan Kendala


Pada umumnya hambatan dan kendala yang sering dihadapi

adalah minimnya dana.

10. Alternatif Pemecahan masalah


Memanfaatkan koordinasi dengan pihak Kecamatan Rapat

Koordinasi dengan Lurah dan Pambakal Se - Kecamatan dan


88

menyampaikan informasi pada waktu apel gabungan di

Kecamatan setiap hari Senin yang dihadiri oleh Muspika

Kecamatan.

d. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Martapura


Struktur organisasi KUA Kecamatan Martapura Kota terdiri atas:
1. Kepala KUA Kecamatan
2. Petugas Tata Usaha
3. Kelompok Jabatan Fungsional
Kepala KUA Kecamatan Martapura Kota dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya untuk memimpin KUA Kecamatan Martapura

Kota dan juga bisa dijabat oleh penghulu dengan tugas tambahan.

Petugas Tata Usaha KUA Kecamatan Martapura Kota

mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, rumah tangga dan

pelaporan.

Kelompok jabatan fungsional KUA Kecamatan Martapura

Kota terdiri dari Penghulu dan Penyuluh Agama Islam yang

mempunyai tugas merlakukan kegiatan sesuai dengan tugasnya

masing-masing.

Kantor Urusan Agama adalah merupakan suatu bagian dari

Kementerian Agama yang mengemban misi dan tugas pokok serta

fungsi Kementerian Agama . Dalam mengembangkan misi

Kementerian Agama Kantor Urusan Agama Kecamatan Martapura

Kota selalu memperhatikan program yang digariskan menteri Agama


89

atau Dirjen Bimas Islam dan Syari’ah dan Kanwil Kementerian

Agama Propinsi Kalimantan Selatan serta Kantor Kementerian

Agama Kabupaten Banjar.

Kaitannya dengan ini Kantor Urusan Agama Kecamatan

Martapura Kota mempunyai tugas operasional sebagai berikut :

1. Bidang Nikah dan Rujuk

2. Bidang Perkawinan

3. Bidang Keluarga Sakinah

4. Bidang Wakaf dan Zakat serta ibadah sosial

5. Bidang kemasjidan dan kehidupan beragama

6. Bidang Pangan Halal dan Kemitraan

Untuk melaksanakan bidang sektoral tersebut Kantor Urusan

Agama Kecamatan Martapura Kota didukung oleh 5 Pelaksana dan 2

Penghulu Fungsional serta 2 Penyuluh Agama Islam.

e. Rincian Kegiatan KUA Martapura Kota


1. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Martapura Kota
KUA mempunyai tugas melaksanakan layanan dan

bimbingan masyarakat islam di wilayah KUA Kecamatan

Martapura Kota seperti Kepenghuluan, Keluarga Sakinah,

Kemasjidan dan Ibadah Sosial.

Dalam tugas pokok di atas KUA Kecamatan Martapura

Kota melaksanakan fungsinya sebagai berikut:


90

1) Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan


pelaporan nikah dan rujuk.
2) Penyusunan statistik layanan dan bimbingan masyarakat
islam.
3) Pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi
manajemen KUA Kecamatan Martapura Kota.
4) Pelayanan bimbingan keluarga Sakinah.
5) Pelayanan bimbingan kemasjidan.
6) Pelayanan bimbingan hisab rukyat dan pembinaan
syari’ah.
7) Pelayanan bimbingan dan penerangan agama Islam.
8) Pelayanan bimbingan zakat dan wakaf.
9) Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA
Kecamatan Martapura Kota.
10) Pelayanan bimbingan manasik haji bagi Jemaah Haji
Reguler.
2. Jenis Kegiatan Martapura Kota
Jenis kegiatan yang dilakukan Kantor Urusan Agama

Kecamatan Martapura Kota adalah sebagai berikut:

a) Melakukan kegiatan kantor yang meliputi menerima surat,


mengarahkan surat, menyelesaikan surat, pendistribusian
surat, penyimpanan dan pemeliharaan surat serta
kearsipan.
b) Melakukan pengurusan dan tata usaha keuangan.
c) Melakukan urusan rumah tangga kantor
d) Membuat dokumentasi dan statistik kegiatan-kegiatan di
bidang nikah/ rujuk.
f. Sarana dan Prasarana KUA Kecamatan Kota
91

Kantor Urusan Agama Kecamatan Martapura Kota terletak di

Kecamatan Martapura Kota di Jalan Sekumpul Ujung No.1 Desa

Bincau Kec.Martapura Kalimantan Selatan.

Gedung Kantor Urusan Agama Kecamatan Martapura Kota

dibangun pada tahun 2010, terdapat beberapa ruangan, yaitu Ruang

Kepala, Ruang TU dan Staf, Ruang pelaminan, Ruang BP4, Ruang tunggu

yang berada ditengah, dan Kamar wc. yang didalamnya terdapat beberapa

ruangan sebagai berikut:

1. Ruang Kepala KUA yang dilengkapi dengan:


a) buah meja kerja
b) 1 buah kursi kerja
c) 1 meja tamu
d) 1 kursi Panjang tamu
e) 2 kursi tamu
f) 1 bendera hijau kemenag
g) 1 bendera merah putih
h) 1 buah kipas angin
i) 1 buah ac
j) 2 buah lemari berkas
k) 1 buah Karpet
2. Ruang Staf Administrasi TU
a) 1 unit computer
b) 2 unit printer
c) 1 unit printer PLQ (pencetak buku nikah)
d) 4 buah meja kayu
e) 4 buah kursi kayu
f) 5 buah lemari kayu
3. Ruangan Penyuluhan
a) 3 Meja Kayu
92

b) 2 Kursi Kayu
c) 1 Sofa tamu panjang
d) 1 Meja tamu Panjang
e) 1 kipas angin lantai
f) 1 lemari berkas
g) 2 Bangku
4. Ruang Tunggu
a) 2 dua meja
b) 3 Bangku Panjang
c) 2 lemari kayu
d) Tv
e) 3 kipas angin
f) 8 bangku plastic
g) 2 bangku kayu
h) 1 jam
i) 2 kalender
5. Ruang Pelaminan
a) Pelaminan Adat Banjar
b) Meja Panjang
c) 2 Karpet
d) 1 kipas lantai
e) 1 kipas tempel
f) Buku literatur perkawinan

B. Penyajian Data

1. Pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Astambul Tentang Makna Adil Dalam Poligami


93

Pada bab ini penelitimemaparkan hasil wawancara yang dilakukan

terhadap informan mengenai Makna Adil Dalam Poligami kepala kantor

urusan agama di kecamatan Kecamatan Astambul dan Martapura Kota

Sebagai berikut :

a. Pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Martapura Kota Tentang Makna Adil Dalam Poligami

Poligami sendiri adalah perkawinan yang dilakukan seorang

laki-laki dengan perempuan lebih dari satu dalam waktu yang sama.

Adapun adil merupakan syarat wajib bagi pelaku poligami, walaupun

poligami memiliki beberapa syarat lain yang telah ditetapkan oleh

islam dan Hukum yang ada di Indonesia.

Terkait perkawinan, menurut Bapak Hasan Yamani, S. Ag

selaku kepala KUA kecamatan Astambul mengungkapkan ketika

ditanya tentang makna perkawinan menurut Kepala KUA Kecamatan

Astambul. Beliau mengatakan:

“Makna perkawinan, nikah itu adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan perempuan dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera
yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Jadi, makna perkawinan
itu adalah bergabungnya antara dua jenis makhluk perempuan dan laki-
laki. Dan itu merupakan fitrah manusia berpasang-pasangan.
Maknanya menjadi meneruskan keturunan, menjalankan sunah Rasul,
perintah agama dan sudah menjadi qudrot manusia. Sehingga dapat
menambah keimanan seseorang.”159

Menurut Kepala KUA kecamatan Astambul terkait makna

perkawinan memiliki makna yang luas dan memiliki tujuan tergantung

159
Hasil Wawancara dengan Bapak Hasan Yamani Selaku Kepala KUA Kecamatan
Astambul pada tanggal 9 Agustus 2023
94

kepada niat yang melakukan perkawinan. Tetapi perkawinan sudah

merupakan fitrah manusia ingin hidup berpasang-pasangan. Selain

perkawinan untuk menjalankan sunah Rasul, perkawinan juga

bertujuan untuk meneruskan keturunan dan mendapatkan kesejahteraan

dalam hidup. Selain terkait makna poligami, ada beberapa pertanyaan

yang mengarah kepada poligami. Antara lain, mengenai tanggapan

tentang poligami.

Menurut Bapak Hasan Yamani, S. Ag ketika ditanya tentang

pandangan Kepala KUA Kecamatan Astambul melihat poligami yang

ada pada masyarakat. Beliau mengatakan:

“poligami boleh saja, asalkan memenuhi syarat diantaranya ada izin


istri pertama sesuai ketentuan pemerintah dengan persetujuan istri
bertanda tangan diatas matrai, kemudian suami mengajukan
kepengadilan dan akan diproses terkait alasan mengizinkan suami
berpoligami.”160

Menurut Bapak Hasan Yamani, S.Ag bahwa dasar hukum

poligami adalah boleh dengan beberapa syarat sesuai ketentukan

pemerintah. Adapun syarat yang utama adalah izin dari istri pertama.

Selain itu juga harus melalui prosedur di pengadilan untuk mengetahui

kebenaran dan alasan izin istri pertama. Terkait hukum dasar poligami

memang sudah terpapar di dalam Alquran yaitu surah An-Nisa ayat 3

dan 129.

160
Hasil Wawancara dengan Bapak Hasan Yamani Selaku Kepala KUA Kecamatan
Astambul pada tanggal 9 Agustus 2023
95

Menurut Bapak Hasan Yamani, S.Ag terkait ketika ditanya

tentang pandangan Kepala KUA Kecamatan Astambul tentang ayat

poligami pada surat an nissa ayat 3 dan 129. Beliau mengatakan:

“itu merupakan dasar hukum dalam islam yang bersumber Alquran


dan hadis. Hanya saja, dalam hukum pemerintah telah di atur.
Walaupun secara agama izin berpoligami tidak mengharuskan secara
tertulis. Tetapi negara kita bukan negara islam dan pemerintah sudah
mengatur hukum berpoligami.”161

Pada dasarnya hukum berpoligami sudah diatur di dalam

Alquran yang memberikan syarat kepada pelaku poligami yaitu

mampu. jika memiliki kemampuan adil berpoligami maka hukumnya

boleh, tetapi jika tidak mampu maka satu istri saja cukup. Hanya saja,

negara Indonesia bukan negara Islam. Oleh sebab itu, pemerintah juga

telah mengatur hukum berpoligami dan dengan syarat tertentu.

Adapun syarat yang paling utama dalam berpoligami adalah izin dari

istri pertama dan harus melalui proses pengadilan.

Terkait syarat adil yang telah ditetapkan di dalam Alquran, menurut

Bapak Hasan Yamani, S.Ag beliau mengatakan:

“konsep adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan tidak


menimbulkan masalah. Jadi, pada intinya konsep adil itu terbukti
ketika pada perhitungan akhir di akhirat nanti. Karena konsep adil ini
sangat berat, sehingga Nabi menyarankan jika tidak dapat adil maka
satu istri saja. Ayat yang menyarankan untuk beristri satu saja
menunjukkan bahwa ayat tersebut sudah dikunci dan membuktikan
bahwa adil itu berat. Selain itu, adil juga dapat diketegorikan dari
beberapa pandangan seperti adil berdasarkan materi, adil dari kasih
sayang, perhatian dll.”162

161
Hasil Wawancara dengan Bapak Hasan Yamani Selaku Kepala KUA Kecamatan
Astambul pada tanggal 9 Agustus 2023
162
Hasil Wawancara dengan Bapak Hasan Yamani Selaku Kepala KUA Kecamatan
Astambul pada tanggal 9 Agustus 2023
96

Adil merupakan syarat wajib dan utama yang telah dituliskan

di dalam Alquran. Sehingga adil menjadi teori yang dapat di

definisikan, tetapi sulit untuk dipraktekkan. Karena yang mengetahui

seseorang dapat adil hanya keputusan di hari akhir.

Menurut Bapak Hasan Yamani, S.Ag memaknai adil adalah

menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Tetapi jika dimasukkan adil

dalam poligami akan berbeda pandangannya. Karena adil dalam

berpoligami dapat dipandang dari beberapa aspek. Diantaranya, adil

dalam nafkah atau materi, adil kasih sayang, adil dalam perhatian.

Oleh sebab itu, syarat adil yang telah dituliskan di dalam Alquran

memiliki makna yang berat dan sulit. Karena akan ada dari salah satu

pihak yang tidak dapat merasakan keadilan tersebut.

b. Pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Astambul Tentang Makna Adil Dalam Poligami

Perkawinan adalah menggabungnya antara satu orang laki-laki

dan seorang perempuan. Istilah poligami dikenal masyarakat ketika

terjadinya perkawinan antara satu laki-laki dengan perempuan lebih

dari satu. Alquran telah menetapkan syarat wajib bagi pelaku poligami

yaitu adil. Perspektif tentang konsep adil memang berbeda-beda, hal

ini dikarenakan adil tidak dapat dilakukan oleh manusia awam.

Memperbolehkan poligami yang telah Allah tetapkan bukan berarti

Allag tidak memberikan rambu-rambu atas itu. Allah telah


97

memberikan rambu-rambu pada paparan ayat selanjutnya yang

mengatakan jika tidak mampu adil, maka satu istri saja.

Sebagaimana yang telah dilakukan peneliti dengan kepala

KUA kecamatan Astambul. Selanjutnya peneliti melakukan

wawancara dengan kepala KUA kecamatan Martapura kota. Terkait

pertanyaan tentang makna perkawinan, Bapak Drs. H. Abdul Basit,

MM mengatakan:

“makna perkawinan adalah ikatan suami istri untuk membentuk


keluarga yang bahagia dan sesuai dengan yang telah di atur di dalam
Undang-undang perkawinan.”163

Perkawinan menurut Bapak Drs. Abdul Basit, MM merupaka

sebuah ikatan yang bertujuan sebagaimana yang telah ditetapkan

Undang-undang. Terkait perkawinan, akan ada dimana saat persoalan

poligami menjadi sebuah masalah dalam perkawinan. Berbicara

tentang poligami, Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM ketika ditanyai

tentang pandangan Kepala KUA Kecamatan Martapura tentang

Poligami. Beliau mengatakan:

“poligami itu legal, sah, halal asal sesuai syarat dan ketentuan yang
berlaku. Hanya saja, sebagian masyarakat pelaksana poligami ada
yang sesuai aturan yaitu adil antara istri-istrinya. Sebagian juga ada
yang tidak adil. Jika tidak adil, maka akan berdampak ke hal lain.
Seperti waris, tidak bisa dilaksanakan.”164

Perihal poligami, menurut keterangan Bapak Drs. H. Abdul

Basit, MM memang ada beberapa kasus yang masuk ke KUA tentang

163
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM Selaku Kepala KUA
Kecamatan Martapura kota pada tanggal 14 Agustus 2023
164
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM Selaku Kepala KUA
Kecamatan Martapura kota pada tanggal 14 Agustus 2023
98

poligami. Hanya saja, dampak dari poligami itu akan berkasus ke

aspek-aspek lain. Seperti penuntutan waris yang dituntut oleh istri ke

2 dan ke 3 yang menuntut waris dari suami dan sudah dikuasai oleh

istri pertama. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang menjamin

mampu adil dalam berpoligami.

Terkait poligami yang berdasar hukum surat An-Nisa ayat 3

dan 129. Terkait ini, Bapak Drs. Abdul Basit, MM mengutarakan

ketika ditanya pandangan Kepala KUA Kecamatan Martapura tentang

ayat poligami surat an nissa ayat 3 dan 129 sebagai berikut:

“itu dalam artian ayat ini bukan wajib, tetapi lebih kepada
diperbolehkan. Atau bisa dikatakan sebuah izin oleh agama untuk
ruang berpoligami. Tetapi jangan memahami ayat ini sebagai ayat
yang mewajibkan dan harus dikerjakan. Dan jangan dijadikan
poligami menjadi sebuah gaya-gayaan.”165

Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa ayat

poligami menurut pendapat Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM bukan

ayat yang mewajibkan poligami. Tetapi, ayat yang hanya

membolehkan poligami. Dan beliau juga memaparkan bahwa

poligami yang dimaksud di dalam alquran adalah poligami yang

sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.

Terkait adil, hal ini juga dibahas oleh Bapak Drs. H. Abdul

Basit, MM ketika ditanya tentang pandangan Kepala KUA Kecamatan

Martapura tentang syarat adil dalam poligami beliau mengatakan:

165
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM Selaku Kepala KUA
Kecamatan Martapura kota pada tanggal 14 Agustus 2023
99

“syarat adil itu mencakup pada beberapa bagian, pertama nafkah,

kedua giliran. Jika poligami secara sembunyi-sembunyi maka tidak

mendapatkan adil tersebut. Konsep islam tentang poligami itu menjadi

solusi dalam keadaan darurat atau kondisi tertentu. tetapi, jangan

dijadikan poligami sebagai opsional pertama dalam beberapa kondisi.”

Terkait pembahasan adil, Bapak Drs. H.Abdul Basit, MM menyatakan

kesulitan untuk memaknainya. Karena adil ini memiliki makna yang

sangat luas

Hal ini beliau utarakan ketika peneliti bertanya tentang memaknai

adil dalam poligami dan konsep adil dalam poligami. Beliau

mengatakan:

“sulit dan luas sebenarnya makna adil ini. Cuma yang diketahui
tentang adil itu masalah pembagian nafkah, pakaian, tempat tinggal,
waktu, giliran dan dalam hal muamalah dengan istri yang masih
sangat luas pembahasannya.”166

Berdasarkan pemaparan kepala KUA kecamatan Astambul dan

Martapura kota dapat disimpulkan bahwa makna adil sebagaimana yang

tertulis di dalam Alquran itu memiliki makna yang luas. Seperti yang ayat

Alquran jelaskan bahwa adil itu tidak akan bisa dilakukan secara penuh

karena manusia tidak ada yang dapat secara sempurna mampu adil dalam

hal berpoligami.

2. Tinjauan Hukum Islam Tentang Konsep Adil Dalam Poligami

Menurut ajaran Islam, istilah poligami diambil dari bahasa Arab

“ta’addud az-zawjat” yang artinya beristri banyak lebih dari satu. Para
166
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM Selaku Kepala KUA
Kecamatan Martapura kota pada tanggal 14 Agustus 2023
100

sarjana hukum Islam telah sepakat mengatakan bahwa poligami itu adalah

perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita. 167 Namun

batasan umumnya yang dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun

ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari

empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan

perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat al-Nisa ayat 3, sebagai

dasar penetapan hukum poligami.

Dalam âl-Qur’ân ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami

dan perintah untuk melakukan poligami oleh umat Islam adalah surat an-

Nisâ’ ayat 3:

‫َو ُثٰل َث‬ ‫َو ِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل ُتْق ِس ُطْو ا ىِف اْلَيٰت ٰم ى َفاْنِكُحْو ا َم ا َطاَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس ۤاِء َم ْثىٰن‬
‫َتُعْو ُلْو ا‬ ‫َو ُر ٰبَع ۚ َفِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل َتْع ِدُلْو ا َف اِح َد ًة َاْو َم ا َم َلَك ْت َاَمْياُنُك ْم ۗ ٰذ ِلَك َاْد ىٰن َااَّل‬
‫َو‬
Dalam Fiqih Munakahat, poligami adalah seorang laki-laki beristri

lebih dari seorang. Tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang,

karena melebihi dari empat berarti mengingkari syari’at Allah SWT bagi

kemaslahatan hidup suami istri.168

Pada perkawinan poligami harus mampu berlaku adil terhadap para

isteri-isterinya. Ini didasari oleh firman Allah Swt., dalam QS. An-Nisâ

ayat 129:

167
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia, (Pekanbaru:
Suska Press, 2015), 40.
168
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 131.
101

‫َو َلْن َتْس َتِط ْيُعْو ا َاْن َتْع ِدُلْو ا َبَنْي الِّنَس ۤاِء َو َلْو َح َر ْص ُتْم َفاَل ِمَتْيُلْو ا ُك َّل اْلَم ْي ِل َفَت َذ ُر ْو َه ا‬
‫َك اْلُم َعَّلَق ِة َۗو ِاْن ُتْص ِلُحْو ا َو َتَّتُقْو ا َفِاَّن الّٰل َه َك اَن َغُفْو ًر ا َّر ِح ْيًم ا‬
Dalam surat an-Nisâ ayat 129 ini ath-Thâbâri mengatakan, “jika

kalian dapat berbuat adil, memberi nafkah, menggauli mereka maka

janganlah kamu melanggar ketentuan ini dan berlindunglah kepada Allah

Swt., dari sikap cinta yang dilarang seperti mencintai salah satu dan

menganiaya yang lainnya dengan mengabaikan hak-haknya. Akan tetapi

Allah Swt., Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.169

Keadilan adalah hak yang sangat asasi dan merupakan prinsip yang

harus ditegakkan di muka bumi ini. Pelaksanaan ajaran Islam yang benar

akan mewujudkan keadilan. Sebaliknya, penyelewengan dari ajaran Islam

akan membuahkan kerusakan dan penindasan. Penegakkan keadilan dalam

Islam bersifat Universal dan Komprehensif, seperti diisyaratkan dalam

ayat-ayat berikut:

An-Nissa 135:

‫َعَلٰٓى َأنُف ِس ُك ۡم َأِو‬ ‫َٰٓيَأُّيَه ا ٱَّل ِذيَن َءاَم ُن وْا ُك وُن وْا َقَّٰو ِم َني ِبٱۡل ِق ۡس ِط ُش َه َد ٓاَء ِلَّل ِه َو َلۡو‬
‫َتَّتِبُع وْا ٱۡل َه َو ٰٓى َأن‬ ‫ٱۡل َٰو ِل َد ۡي ِن َو ٱۡل َأۡق َر ِبي ِإن َيُك ۡن َغِنًّي ا َأۡو َفِق ريا َفٱلَّل ُه َأۡو ٰىَل ِهِبَم ۖا َفاَل‬
‫ْۚا‬
‫َتۡع ِدُلو َو ِإن َتۡل ُوٓۥْا َأۡو ُتۡع ِر ُضوْا َفِإَّن ٱلَّلَه َك اَن َمِبا َتۡع َم ُلوَن َخ ِبريا‬
Berdasarkan ayat-ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa Allah

memerintahkan manusia untuk menegakkan keadilan baik dalam urusan


169
Muhammad Baltaji, Poligami, (Solo: Media Insani Publishing, 2007), h.48
102

umum maupun kehidupan keluarga. Adapun keadilan terhadap perempuan

menempati jawaban bagi perlakuan tidak adil terhadap perempuan yang

terjadi pada zaman jahiliah. Dengan demikian, al-Qur‟an memerintahkan

agar keadilan menjadi dasar hubungan antara laki-laki dan perempuan di

wilayah publik maupun dosmetik. Di antara alasan mendasar penegakkan

keadilan dlam Islam adalah kesetaraan manusia. Kesetaraan manusia telah

ada sejak penciptaan, hal ini dijelaskan di dalam Q.S an-Nisa‟ ayat 1 dan

surat ar-Rum ayat 21. Manusia setara di hadapan Allah, kemuliaan

manusia bukan karena jenis kelamin, melainkan karena ketakwaan dan

amal salehnya, hal ini termaktub dalam Q.S al-Hujurat ayat 13 dan surat

an-Nahl ayat 97. Selain itu manusia juga setara dalam beriman, beribadah

dan melakukan perbuatan moral, hal ini dapat dilihat di Q.S al-Ahzab ayat

35, manusia setara dalam kepemimpinan dan beramar ma‟ruf nahi

mungkar dalam Q.S at-Taubah ayat 71. Laki-laki dan perempuan, suami

istri, sama-sama memiliki tanggung jawab menjaga kesucian dan

kehormatan diri, hal ini dilihat dalam Q.S an-Nur ayat 30-31 dan al-Ahzab

ayat 35. Kesemua ayat ini memberi kita panduan untuk berlaku adil dan

setara dalam hubungan antar manusia.170

Adil disini berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri

terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan,

minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan

lainnya yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari

170
M. Quraish shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), cet. ke-I, h. 27.
103

kemampuan manusi. Surat an-Nisa‟ ayat 3 merupakan dasar keadilan yang

harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu

diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan

istriistri dalam urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal dan

perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing.171

Persyaratan adil dalam poligami adalah karena pada umumnya

lakilaki yang btelah mendapat istri muda, maka istri tuanya ditinggal

begitu saja atau ditelantarkan. Hal ini adalah untuk mengingatkan setiap

waktu kepada laki-laki yang melaksanakan poligami.

Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan

disamakan seperti cinta atau kecendrungan hati, maka suami tidak dituntut

mewujudkannya. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah 286:

‫ۗۡت‬
‫اَل ُيَك ِّل ُف ٱلَّل ُه َنۡف ًس ا ِإاَّل ُو ۡس َعَه ۚا َهَلا َم ا َك َس َبۡت َو َعَلۡي َه ا َم ا ٱۡك َتَس َب َر َّبَن ا اَل‬
‫ي‬ ‫اِخ ۡذ َنٓا ِإن َّنِس ي ٓا َأۡو َأۡخ َطۡأ َنۚا َّب ا اَل َتِم ۡل َلۡي ٓا ِإۡص را َك ا ۡل ۥ َلى ٱَّلِذ‬
‫َن‬ ‫َم َمَح َتُه َع‬ ‫َع َن‬ ‫َر َن َو‬ ‫َن‬ ‫ُتَؤ‬
‫ۚٓا‬ ‫ۡغ ِف‬ ‫ِه‬ ‫ۡل‬ ‫ِم ِل ۚا‬
‫ن َقۡب َن َر َّبَنا َو اَل َحُتِّم َنا َم ا اَل َطاَقَة َلَن ا ِبۖۦ َو ٱۡع ُف َعَّنا َو ٱ ۡر َلَن ا َو ٱۡر َح َن َأنَت‬
‫ۡل ِم ۡل َٰك ِف‬
‫َم ۡو َلٰىَنا َفٱنُصۡر َنا َعَلى ٱ َق ۡو ٱ ِر يَن‬
Adapun keadilan rasa cinta dalam hati, bukan wewenang manusia

dan tidak dapat diupayakan manusia. Hal itu merupakan aturan Allah yang

tidak dapat berubah dengan usaha manusia. Maka kewajiban manusia

adalah menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan dan menjaga perasaan

istri jangan sampai tersinggung dengan prilaku yang berlebihan akibat

kecintaan tersebut. Hal ini diungkapkan dalam surat an-Nisa’ ayat 129:
171
Musfir Husain, Poligami Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet.
keII, h. 58.
104

‫َو َلن َتۡس َتِط يُعٓو ْا َأن َتۡع ِدُلوْا َبۡي َن ٱلِّنَس ٓاِء َو َلۡو َح َر ۡص ُتۖۡم َفاَل ِمَتيُل وْا ُك َّل ٱۡل َم ۡي ِل‬
‫َفَتَذ ُر وَه ا َك ٱۡل ُم َعَّلَق ِۚة َو ِإن ُتۡص ِلُح وْا َو َتَّتُقوْا َفِإَّن ٱلَّلَه َك اَن َغُفورا َّر ِح يما‬
Allah SWT, mengingatkan kepada kita agar hati dan kecintaan kita

tidak terlalu cenderung kepada salah seorang istri sementara yang lain

dilupakan dan ditelantarkan. Apabila seorang muslim ingin berpoligami

sedangkan dia yakin bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan

diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi, maka itu adalah

dosa disisi Allah dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang

istri.

Ahmad Syalabi mengatakan bahwa keadilan yang merupakan

syarat dalam poligami tidak saja terhadap istri-istri tetapi juga keadilan

terhadap dirinya (diri suami itu sendriri) dan terhadap anak-anak. Sebab

perintah berlaku adil bersifat umum dan mutlak, tidak hanya terbatas pada

istri-istri saja.172

Masjfuk zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami

lebih banyak membawa resiko atau mudharat daripada manfaatnya.

Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan

suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi,

jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa

menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara

suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik

antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.173


172
Ibid, h. 25
173
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1889), cet. ke-IV, h. 12.
105

Oleh sebab itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah

monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau

watak cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi,

sehingga bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan

keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan bila

dalam keadaan darurat misalnya istrinya ternyata mandul (tidak dapat

membuahkan keturunan), istri terkena penyakit yang menyebabkan tidak

bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.174

M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang diisyaratkan oleh

ayat 3 surat an-Nisa‟ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan

dalam bidang material sedangkan keadilan immaterial (cinta) ini tidak

mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang

berpoligami dituntut tidak meperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan

cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat

menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu poligami.175

Namun hal terpenting yang menjadi perhatian fuqaha klasik dalam

masalah poligami adalah teknis dalam perlakuan terhadap istri-istri yang

dipoligami yaitu bagaimana membagi giliran dan membagi nafkah. Dalam

hal ini Mustafa Diibul Bigha merincikan dalam hal pembagian terhadap

para istri sebagai berikut:

a. Jumhur ulama sepakat bahwa membagi giliran menginap antara

beberapa istri adalah wajib, istri muslimah ataupun kitabiyyah kalau

174
Ibid, h. 13
175
M. Quraish Shihab, op cit, h. 201.
106

merdeka semua bagiannya sama, tapi ketika diantara mereka ada yang

budak maka istri merdeka mendapatkan dua malam dan istri budak

satu malam. Imam malik berbeda pendapat dengan mengatakan istri

merdeka maupun budak bagiannya sama.

b. Bila hendak bepergian maka harus mengundi diantara mereka dan

harus keluar dengan istri yang mendapatkan undian.

c. Jumhur ulama sepakat bahwa bila kawin dengan istri yang baru, maka

harus mengkhususkan bermalam padanya tujuh malam kalau istri

tersebut masih perawan dan tiga malam kalau ia janda. Imam Hanafi

berbeda pendapat dengan mengatakan tidak ada jatah lebih buat istri

baru.

d. Bila mengkhawatirkan istri membangkang maka ia harus

menesehatinya. Bila masih membangkang maka hendaknya berpisah

tempat tidur dan apabila masih membangkang juga maka

diperbolehkan memukul. Adapun pembagian nafkah seperti makan,

minum, pakaian dan tempat tinggal tidak harus sama yang penting

sesuai dengan keadaan pribadinya (kaya atau miskin) ketika suami

sudah memberikan hak ini maka boleh baginya memberikan lebih

kepada istri yang dia sukai. Tetapi alangkah baiknya

mempertimbangkan akibat yang terjadi kalau menjadikan keretakkan

rumah tangga dan menimbulkan permusuhan maka hal itu tidak boleh

dilakukan.176

176
Mustafa Diibul Bigha, Fiqh Syafi’i Terjemahan, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1984), cet.
keIV, h. 383-386.
107

C. Analisis Data

1. Pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Astambul Tentang Makna Adil Dalam Poligami

a. Pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Astambul Tentang Makna Adil Dalam Poligami

Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil,

menurut Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai

adanya persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari

terhadap sesama istri dalam batas yang mampu dilakukan oleh

manusia. Selanjutnya Mustafa al-Sibai mengatakan bahwa keadilan

material seperti yang diperlukan dalam poligami adalah keadilan

material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian,

makanan, minum, perumahan dan lain-lain.

Secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama, adil dalam

arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi

tersebut adalahpersamaan dalam hak. Setiap suami wajib

melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan prinsip keadilan itu

ialah persamaan diantara dua yang sama. Dan persamaan di antara

istri-istri itu menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya dalam

statusnya sebagai istri, dan memperhatikan sebab apapun yang

berhubungan dengan dirinya. Karena hubungan suami dengan masing-


108

masing istrinya itu adalah hubungan suami istri. 177 Adil itu mudah

diucapkan, namun sangat berat diaplikasikan. Adil terhadap diri

sendiri saja sulit apalagi adil kepada lebih dari satu isteri. Ada

sebagian orang yang mampu berlaku adil, namun ada pula yang tidak

mampu. Bagi yang mampu menegaskan bersikap adil terhadap seluruh

anggota keluarganya, berarti telah memenuhi salah satu syarat

melakukan poligami.178

Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami

adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai

berikut:179

Pasal 3
3) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
4) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.

Pasal 4
3) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat Undang-undang ini, maka
ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
4) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin
kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
d) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
e) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
f) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Walaupun diperbolehkan disini ditambah dengan kondisi yang

tidak mungkin ditunaikan, yaitu keadilan dalam kasih sayang,

177
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-
Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), h. 206.
178
Cahaya Takariawan, Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri, (Solo: Era Intermedia, 2007),
cet. ke-I, h.119
179
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1991),h.289.
109

perasaan dan cinta, namun selama kemampuan berbuat adil di bidang

nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan izin untuk berpoligami menajdi

sesuatu yang bisa diperoleh.

Berdasarkan hasil wawancara tentang konsep adil dalam

poligami menurut kepala KUA Kecamatan Astambul diketahui bahwa

walaupun poligami secara hukum islam diperbolehkan tetapi terdapat

syarat utama dalam praktik poligami yaitu adil. Secara definisi adil

dapat difahami, namun pada prakteknya sangat sulit. Karena pada

dasarnya manusia tidak dapat berlaku adil sepenuhnya, melalui ayat

yang memiliki arti “jika tidak mampu,cukup beristri satu” ayat ini

seakan mengunci manusia jika tidak mampu jangan berpoligami.

Dalam segi makna, adil juga memiliki arti yang sangat luas. Sehingga

sulit di definisikan dan semakin sulit jika dipraktekkan. Namun, jika

dilihat dari segi pandangan masyarakat tentang adil yaitu mencakup

aspek materi, kasih sayang, perhatian dan lain-lain.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa islam

telah mengatur adil dalam berpoligami sebagaimana yang dikemukan

oleh Muhammad Husein al-Zahabi yaitu adil dalam pemberian nafkah

dan giliran menginap. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang

dikemukan oleh Bapak Hasan Yamani, S.Ag selaku kepala KUA

Kecamatan Astambul bahwa adil yang dimaksud dan dikenal secara

awam oleh masyarakat adalah adil dalam nafkah, kasih sayang dan

perhatian.
110

b. Pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Martapura Kota Tentang Makna Adil Dalam Poligami

Menurut Wahbah az-Zuhaily bahwa syariat menetapkan dua

syarat inti bagi bolehnya poligami, diantaranya kesanggupan untuk

berlaku adil terhadap para istri. Keadilan yang dimaksud az-Zuhaily

adalah keadilan yang dapat dilakukan dan diwujudkan oleh manusia.

Yaitu berlaku adil terhadap istri dari segi materi, yang berupa nafkah,

perlakuan baik dan masa menginap. Namun jika khawatir akan berlaku

zalim atau tidak mampu berlaku adil di antara para istri maka cukup

memiliki satu istri saja.180

Menurut Yusuf Qardhawi, adil dalam tataran praktis merupakan

kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berbuat adil di antara

istriistrinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal,

bermalam dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk

menunaikan hakhak tersebut secara adil dan imbang, maka haram

baginya menikahi lebih dari seorang.181

Berbeda dengan ulama klasik, secara umum dapat dikatakan

bahwa ulama pada era modern memperketat diperbolehkannya

poligami, bahkan di antara mereka ada yang mengharamkannya,

meskipun dibalik keharaman tersebut masih disertai dengan kondisi

yang memberikan kemungkinan untuk melakukannya. Alasan

180
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, alih bahsa oleh: Abdul
Hayyie dkk, Fiqih Islam 9 ( Jakarta: Gema Insan, 2011), Cet. Ke-1, h. 162.
181
Yusuf Qordhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih bahasa oleh: Muammal Hamidy
(Singapura: PT Bina Ilmu, 1993), h. 260-261.
111

pemikiran modern melarang menikahi perempuan lebih dari satu, atau

kalaupun membolehkannya diikuti dengan berbagai syarat yang

hampir tidak mungkin terpenuhi oleh suami, yaitu keadilan.182

Keadilan yang dituntut disini dalam bidang nafkah, mu’amalah,

pergaulan, serta pembagian bermalam. Sedangkan bagi calon suami

yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.

Poligami merupakan solusi dan antisipasi bukan sebaliknya membuat

masalah. Jadi sesuaikan dengan kondisi dan keadaan dimana dan

kapan poligami ini dibutuhkan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan

Bapak Drs. H. Abdul Basit, MM selaku Kepala KUA Kecamatan

Martapura kota diketahui bahwa konsep adil sangat sulit untuk di

definisikan. Hanya saja adil yang telah banyak diketahui dalam

lingkungan masyarakat adalah adil dalam pembagian. Adapun

pembagian yang dimaksud adalah pembagian nafkah, giliran, cinta dan

kasih sayang. Walaupun sebenarnya masih ada lagi konsep adil selain

itu yaitu perihal muamalah yang masih sangat luas pembahasannya.

Namun, jika adil sudah dirasa mampu maka poligami yang dilakukan

tidak akan menjadikan mudhorot bagi salah satu diantaranya dan tidak

ada kegaduhan.

Berdasarkan teori dan hasil wawancara yang dilakukan peneliti

dapat disimpulkan bahwa konsep adil dalam poligami berdasarkan

182
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas pemikiran Muhammad
Abduh (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.101-104
112

pandangan kepala KUA Kecamatan Martapura kota sudah sesuai.

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh M. Yusuf Qardhawi yang

menyatakan bahwa mampu berbuat adil di antara istri-istrinya dalam

masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam dan

nafkah.

2. Tinjauan Hukum Islam Tentang Konsep Adil Dalam Poligami

Dalam âl-Qur’ân ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami

dan perintah untuk melakukan poligami oleh umat Islam adalah surat an-

Nisâ’ ayat 3:

‫َو ُثٰل َث‬ ‫َو ِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل ُتْق ِس ُطْو ا ىِف اْلَيٰت ٰم ى َفاْنِكُحْو ا َم ا َطاَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس ۤاِء َم ْثىٰن‬
‫َتُعْو ُلْو ا‬ ‫َو ُر ٰبَع ۚ َفِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل َتْع ِدُلْو ا َف اِح َد ًة َاْو َم ا َم َلَك ْت َاَمْياُنُك ْم ۗ ٰذ ِلَك َاْد ىٰن َااَّل‬
‫َو‬
Dalam Fiqih Munakahat, poligami adalah seorang laki-laki beristri

lebih dari seorang. Tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang,

karena melebihi dari empat berarti mengingkari syari’at Allah SWT bagi

kemaslahatan hidup suami istri.183

Pada perkawinan poligami harus mampu berlaku adil terhadap para

isteri-isterinya. Ini didasari oleh firman Allah Swt., dalam QS. An-Nisâ

ayat 129:

183
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 131.
113

‫َو َلْن َتْس َتِط ْيُعْو ا َاْن َتْع ِدُلْو ا َبَنْي الِّنَس ۤاِء َو َلْو َح َر ْص ُتْم َفاَل ِمَتْيُلْو ا ُك َّل اْلَم ْي ِل َفَت َذ ُر ْو َه ا‬
‫َك اْلُم َعَّلَق ِة َۗو ِاْن ُتْص ِلُحْو ا َو َتَّتُقْو ا َفِاَّن الّٰل َه َك اَن َغُفْو ًر ا َّر ِح ْيًم ا‬
Dalam surat an-Nisâ ayat 129 ini ath-Thâbâri mengatakan, “jika

kalian dapat berbuat adil, memberi nafkah, menggauli mereka maka

janganlah kamu melanggar ketentuan ini dan berlindunglah kepada Allah

Swt., dari sikap cinta yang dilarang seperti mencintai salah satu dan

menganiaya yang lainnya dengan mengabaikan hak-haknya. Akan tetapi

Allah Swt., Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.184

Adil disini berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri

terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan,

minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan

lainnya yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari

kemampuan manusi. Surat an-Nisa‟ ayat 3 merupakan dasar keadilan yang

harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu

diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan

istri-istri dalam urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal dan

perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing.185

Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa poligami adalah suatu

ikatan perkawinan antara seorang suami dengan beberapa orang istri,

sednagkan kebalikan dari poligami adalah monogami yakni perkawinan

tunggal.

184
Muhammad Baltaji, Poligami, (Solo: Media Insani Publishing, 2007), h.48
185
Musfir Husain, Poligami Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet.
keII, h. 58.
114

Adapun poligami menurut pandangan masyarakat luas ialah beristeri

lebih dari satu orang pada waktu bersamaan yang dibatasi hingga empat orang

istri. Adanya poligami di dasari atas islam yang memperbolehkan laki-laki

memiliki istri lebih dari satu orang. Hanya saja islam memiliki catatan

penting dari Allah SWT untuk laki-laki yang berpoligami untuk mampu

berlaku “adil”. Tetapi, jika tidak mampu adil maka lebih baik beristeri satu

orang saja. Peringatan dari Allah SWT untuk hamba-Nya yang berpoligami

ini dikarenakan melihat sebuah kenyataan dari fenomena-fenomena yang

terjadi bahwa dampak dari poligami adalah ketidakadilan pada isteri-isteri

mereka yang berpoligami.

Berdasarkan tinjauan hukum islam tentang adil dalam poligami yang

telah dipaparkan di atas sebagaimana sudah dikenal oleh masyarakat secara

umum bahwa konsep adil dalam poligami merupakan syarat utama dalam

praktik poligami. Hal ini tentunya bertujuan agar tidak terjadi

ketidakselarasan antara satu sama lain hingga kedepannya.


BAB V
PENUTUP
A. Simpulan

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep

adil dalam poligami perspektif Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Astambul

sebagai berikut:

1. Dalam penelitian pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Martapura Kota dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Astambul tentang makna adil dalam poligami adalah

mendefinisikan konsep adil dalam poligami merupakan hal yang sulit,

karena konsep adil memiliki pengertian dan pemahaman yang sangat luas.

Sehingga manusia awam tidak akan mampu berlaku adil. Hal ini juga

berdasarkan pemahaman terhadap Surat an-Nisa ayat 129 yang merupakan

ayat pengunci sebagai peringatan kepada manusia bahwa adil itu sangat

sulit.

2. Dalam tinjauan hukum Islam konsep adil dalam poligami adalah harus

didasari pada keadilan terhadap pasangan, keadilan tersebut tidak hanya

pada pemberian nafkah namun meliputi segala aspek dasar dalam berumah

tangga.

B. Saran-saran

Dari hasil simpulan diatas penulis menyampaiakan beberapa saran,

sebagai bahan dalam mengkaji lebih lanjut.

116
117

1. Bagi para suami yang ingin melakukan praktek poligami hendaknya

diimbangi dengan pengetahun yang mendalam tetang poligami dalam

Islam, agar tidak melakukan perbuatan yang boleh namun dapat berakibat

kepada keharaman jika kemudian melalaikan pihak yang isteri lain.

2. Bagi perempuan hendaknya ketika menerima ajakan pernikahan oleh

seorang laki-laki yang sudah beristeri dengan mendasarinya pada

kemaslahatan.

3. Bagi para pasangan yang melakukan poligami agar benar-benar dapat

berlaku adil terhadap pasangannya, dan bergaul secara baik dalam

keluarga.

4. Bagi para akademisi, penelitian ini sebagai gerbang awal untuk meneliti

lebih dalam mengenai poligami.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung:

Pustaka Setia.

al-Jaziri, Abdul. 1969. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Arba’ah.

Mesir: Al-Maktabah al-Tijariyyah.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Ayyub, Syaikh Hasan. 2001. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Azwarfajri, “Keadilan Berpoligami dalam Perspektif Psikologi”,

Substantia, Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar- Raniry,

Vol 13, No 2 2011.

Azni. 2015. Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan

Malaysia. Pekanbaru: Suska Press.

Baltaji, Muhammad. 2007. Poligami. Solo: Media Insani Publishing.

Basyir, Ahmad Azhar. 1999 Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:UII

Press.

Ghozali Abdul Rahman, Fiqih Munakahat , Jakarta: Kencana, 2010.

Hidayatulloh, Haris, “Adil dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm” ,

Religi, Jombang: Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum,

Vol 6, No 2, Oktober 2015.


Harun, Keadilan Dalam Perkawinan Poligami Perspektif Hukum Islam

(Aspek Sosiologis Yuridis), Suhuf, Vol. 19, No. 1. Mei 2007.

Hariyanti. 2008. Konsep Poligami dalam Hukum Islam. Jurnal Risalah

Hukum : Vol. 4 No. 2.

Masykuroh , Rini, “Poligami dan Keadilan”, Asas, Bandar Lampung:

UIN Raden Intan, Vol 3, No 2 Juli 2011.

Mursalin, Supardi, Menolak Poligami, Study Tentang Undang-undang

Perkawinan dan Hukum Islam , Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007.

Ramulyo, Idris. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Saebani, Beni, Ahmad , Fiqih Munakahat , Bandung: Pustaka Setia, 2001

Sahrani Tihami dan Sohari. 2013 Fikih Munâkahat: Kajian Fikih Nikah

Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.

Sam’un, “Poligami dalam Perspektif Muhammad ‘Abduh”, AL-

HUKAMA’, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, Vol 2 No 1 Juni

2012.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung:

Alfabeta, 2012.

-------, Metode Penelitian tKuantitai Kualitatif Dan R&D, Bandung:

Alfabeta, 2009.
Takariawan, Cahyadi, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri, Solo: Era

Intermedia, 2007.

Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Makalah dan Jurnal,

Martapura: Institut Agama Islam Darussalam Martapura, 2021.

Tobibatussaadah, Tafsir Ayat Hukum Keluarga 1, Yogyakarta:Idea Pres,

2013.

Wartini, Atik, “Poligami dari Fiqh hingga Perundang-Undangan”,

Hunafa, Palu: IAIN Palu, Vol 10, No 2, Desember 2013.

Yunus , Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab

Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, Jakarta: PT. Hidakarya

Agung, 1996.

Zulaikha, Siti, Fiqih Munakahat 1, Yogyakarta: Idea Pres Yogyakarta,

2015.
LAMPIRAN
DAFTAR TERJEMAH

No BAB Hlm Terjemah


1 I, II 3, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
dan 18, (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
IV 39, mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
100 kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
dan takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
113 seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
2 II, 18, Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
IV 35, antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
101, berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
104 cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
dan biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
113 mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
3 II 24 Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada
mengambil maslahat
4 II 38 Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Muhammad Saw
beliau bersabda: barang siapa yang memiliki dua orang
isteri dalam satu waktu, dan suami lebih condong terhadap
salah satu isterinya saja, maka di hari kiamat nanti suami
itu akan datang sambil berjalan miring. (hadits riwayat
Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
5 II 43 Allah tidak akan memberikan ujian kepada hambanya
melebihi batas kemampuan hamba
6 II 45 Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan.
7 II 46 Setelah dirinya; suami harus mendahulukan isterinya.
Menafkahi isteri lebih ditekankan karena nafkahnya tidak
gugur seiring dengan berlalunya waktu. Berbeda halnya
dengan nafkah kepada orangtua dan anak. Nafkah mereka
gugur seiring dengan berlalunya waktu.
8 II 46 Dari Aisyah Rha bercerita; suatu saat hindun bint Utbah
datang –isteri Abu Sufyan- kepada Rasulullah Saw., dan
beliau mengadukan suatu masalah. Hindung berkata: ya
Rasulullah ! suamiku –Abu Sufyan- adalah seorang yang
pelit, dia tidak memberikan aku nafkah dan juga tidak
No BAB Hlm Terjemah
memberikan makan kepada anakku, maka tanpa
sepengetahuan suamiku, aku mengambil uangnya tanpa
sepengetahuan dia, apakah aku telah melakukan perbuatan
mencuri ya Rasulullah? Nabi Saw., pun bersabda kepada
Hindun: “ambilah harta dari suamimu dengan cara yang
baik, secukupnya untuk keperluanmu dan keperluan
anakmu”.
9 II 49 Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu
beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang
benderang (supaya kamu mencari karunia Allah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
mendengar.
10 II 50 Nabi Saw apabila beliau ingin melakukan perjalanan safar,
maka beliau akan memilih isteri-isteri beliau dengan cara
bergantian, maka siapa yang belum sampai giliran maka
Rasulullah Saw, akan keluar dengannya.
11 II 50 Dari Aisyah Rha. Suatu ketika Saudah binti Zam’ah,
memberikan malam giliran kepada Aisyah Rha. Dan
adalah Nabi Saw., memberikan giliran kepada Aisyah dan
kepada Saudah.
12 II 51 Dari Anas ia berkata; Termasuk perbuatan sunnah apabilah
seseorang menikahi seorang gadis adalah bermukim di
tempatnya selama tujuh hari, baru kemudian ia membagi
hari-harinya. Dan bila ia menikahi seorang janda atas
gadis, maka ia boleh tinggal di tempat wanita itu selama
tiga hari, baru kemudian ia membagi-bagi harinya.
13 II 52 dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
14 IV 102 Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
15 IV 103 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
No BAB Hlm Terjemah
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami;
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir".
PEDOMAN WAWANCARA

A. Identitas Narasumber
Nama :
Jabatan :
Hari/tanggal wawancara :
Waktu wawancara :
Lokasi wawancara :

B. Pertanyaan Wawancara
1. Apa makna perkawinan menurut Kepala KUA Kecamatan Astambul?

2. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Astambul tentang

Poligami?

3. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Astambul melihat

poligami yang ada pada masyarakat?

4. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Astambul tentang ayat

poligami pada surat an nissa ayat 3 dan 129?

5. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Astambul tentang syarat

adil dalam poligami?

6. Bagaimana Kepala KUA Kecamatan Astambul memaknai adil dalam

poligami?

7. Bagaimana konsep adil dalam poligami menurut Kepala KUA Kecamatan

Astambul?
PEDOMAN WAWANCARA

A. Identitas Narasumber
Nama :
Jabatan :
Hari/tanggal wawancara :
Waktu wawancara :
Lokasi wawancara :

B. Pertanyaan Wawancara
1. Makna perkawinan menurut Kepala KUA Kecamatan Martapura?

2. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Martapura tentang

Poligami?

3. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Martapura melihat

poligami yang ada pada masyaraka?

4. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Martapura tentang ayat

poligami surat an nissa ayat 3 dan 129?

5. Bagaimana pandangan Kepala KUA Kecamatan Martapura tentang syarat

adil dalam poligami?

6. Bagaimana Kepala KUA Kecamatan Martapura memaknai adil dalam

poligami?

7. Bagaimana konsep adil dalam poligami menurut Kepala KUA Kecamatan

Martapura?
DOKUMENTASI WAWANCARA

Anda mungkin juga menyukai