Anda di halaman 1dari 57

THIS IS CEGIL

one.everyday21
01. This is Wangsa
Drrttt...
Ponsel di samping laptop Gavan bergetar, diliriknya benda kotak itu,
nama guru BK di sekolah Wangsa tertampang jelas di sana membuat
pria itu seketika curiga, rasa-rasanya ada masalah dengan anaknya.
“Ya, halo?” Gavan mengangkat telepon tersebut, lantas mengusap
wajahnya. “Waalaikumsalam. Anak saya ada buat masalah lagi di
sekolah, Bu?”
“Betul, Pak.” Kemudian guru BK itu pun menjelaskan secara detail
masalah Wangsa dan meminta Gavan segera datang ke sekolah
untuk menanganinya.
YA ALLAH, WANGSAAA..!!
Gavan menghela napasnya, pasrah. “Baik, Bu, terimakasih atas
informasinya, saya akan segera langsung ke sana sekarang.
Waalaikumsalam.”
Tut.
Telepon itu Gavan tutup, pria itu lalu mengusap wajahnya. Lagi, lagi,
Wangsa kembali membuat ulah yang berakhir membuatnya masuk
BK, entah yang ke berapa kalinya Gavan dipanggil ke sekolah untuk
menangani kasus anak gadis satu-satunya itu.
Gavan merasa lelah, pasalnya tanpa sebuah prestasi satu pun anak
gadisnya itu sudah terkenal luas dengan reputasinya yang buruk di
kalangan kolega bisnisnya. Tentu saja hal itu membuat citra Gavan di
hadapan rekan bisnisnya terlihat buruk, kesannya Gavan tidak becus
mengurus anak!
“Astaga, kalau bukan anak gue udah dari lama gue tuker tambah
dah!” lirih Gavan sembari mengacak -acak rambutnya, saking
frustasinya menghadapi Wangsa yang terus berulah setiap 2 hari
sekali.
- アル・イクラス -
Hasil dari musyawarah antara Gavan dan guru BK, serta kepala
sekolah yang ikut turun tangan untuk menangani kasus yang telah
dibuat oleh Wangsa, akhirnya memutuskan untuk memberi gadis itu
hukuman skorsing 1 bulan dan mendapat SP 3.
Seharusnya Wangsa di drop-out, tetapi Gavan meminta keringanan
pada sekolah untuk tidak mengeluarkan Wangsa. Pria itu tahu
seberapa besar pengaruh sekolah ini untuk masa depan anaknya,
sekali didepak dari SMA Dawuan maka sekolah manapun tidak akan
ada yang mau menerimanya sebagai siswa pindahan!
Beruntungnya Gavan merupakan seorang bos ternama yang bisa
merobohkan sekolah ini kapan pun ia mau, sehingga hal itu menjadi
salah satu alasan mengapa ia hanya mendapatkan SP 3 dan diberi
hukuman karantina 1 bulan. Tetapi, apabila sekali lagi Wangsa
berulah, maka tanpa ba-bi-bu pihak sekolah akan langsung
mendepak gadis itu dan tentunya telah disetujui oleh Gavan sebagai
orang tua dari siswa yang bermasalah tersebut.
“Besok-besok bikin masalah apa lagi, Teh?” tanya Gavan ketika
keduanya kini sudah berada di dalam mobil yang hendak menuju
pulang. Pria itu tampak memijat keningnya yang terasa jangar hari
ini.
“Mana aku tau!” jawab Wangsa tak berminat seraya duduk dengan
tenang menikmati Burger Smoked Beef di setiap gigitannya, tanpa
mempedulikan cerocosan Gavan sepanjang perjalanan.
Tidak pernah kah gadis itu merasa bahwa dirinya bersalah? Setiap
kelar bikin ulah pasti dia langsung merengek meminta untuk
dibelikan Burger Smoked Beef, katanya supaya otaknya terasa rileks.
Cuih!
“Kamu, tuh, bukannya mikir ya, malah kayak gitu.” Gavan menghela
napasnya. “Papi capek, Teh, setiap dapet telepon dari sekolah pasti
gak jauh-jauh dari kamu bikin ulah! Cik atuh kamu mikir, Papi udah
pusing sama kerjaan, jangan nambah-nambahin!”
“Kalo pusing jangan kerja aja, Pih,” sahut Wangsa.
“Kalau Papi gak kerja kita mau makan apa, Teh?”
Wangsa mengedikan bahunya tanda tidak ingin ribet. “Ya udah kalo
gitu jangan bilang pusing.”
“Sing kasian atuh, Teh, sama Papi. Papi udah capek banting tulang
cari uang buat kamu, coba kamunya jangan bikin masalah terus
kalau di sekolah, tuh!”
“Dih?” Gadis itu melirik Gavan. “Papi lebay!”
Gavan langsung menoleh cepat, memberi Wangsa tatapan tajam.
Sementara Wangsa yang melihat itu hanya bisa bergumam pelan,
‘apaan sih sok cool!’
“Mau,” ucap Gavan sembari memanyunkan bibirnya.
“Mau apa?” tanya Wangsa tak mengerti, sampai -sampai membuat
keningnya mengkerut bingung.
Pria itu lantas menunjuk makanan yang masih dipegang Wangsa,
“kayaknya enak, tuh, Teh...”
“Hayang wae Papi ah!” ucap Wangsa sebal seraya menyodorkan
burger tersebut ke hadapan Gavan.
Gavan langsung nyengir ganteng, lalu mencolek dagu putrinya
sembari mengucapkan terimakasih.
02. Menu Masalah
Kamar yang berantakan adalah kebiasaan Wangsa; bedak powder
yang berhamburan di lantai, cermin rias dicoret-coret pake lipstik,
sarung bantal saling terlepas, sprei kasur kotor bekas minuman.
Definisi kapal pecah sesungguhnya, beruntung pembantu di
rumahnya masih kuat untuk tetap bekerja di sana.
Saat ini Wangsa sedang menatap selembar kertas dari notebook yang
telah ia susun selama 3 tahun terakhir dengan senyuman lebar. Ia
tidak merasa sedih sama sekali walaupun mendapat hukuman,
justru Wangsa malah senang, gadis itu bisa bebas jalan-jalan tanpa
sibuk memikirkan tugas sekolah.
Berikut salah satu list yang berhasil Wangsa selesaikan: 13.
Menyebar foto bugil Devina.
Dan karena kasus itu pula Wangsa hampir di depak dari sekolah,
namun karena kekuasaan yang Gavan miliki, gadis itu akhirnya
berhasil dipertahankan. Ia tidak peduli terhadap trauma yang
dialami korban, yang Wangsa inginkan; Devina menjauhi Januar.
Masih untung hanya foto bugil yang Wangsa sebar, bagaimana kalau
video syur cewek itu yang malah ia sebar ke grup sekolah. Apa gak
bakal gempar?
Januar Adiparma:
Lo stres!
Del Wangsa Putri:
This is the power of cegil, Jan >3
“Astagfirullahadzim...” Suara Gavan mengagetkan Wangsa, gadis itu
segera menyembunyikan ponsel beserta notebook ke belakang
tubuhnya. Tampak Gavan menggeleng-gelengkan kepalanya sembari
mengusap dada melihat bagaimana kondisi kamar Wangsa saat ini
yang terlihat seperti kapal pecah.
“INI APA?!” tanya Gavan pada Wangsa.
“Yang mana?” Wangsa balik bertanya dengan wajah sok polosnya,
membuat emosi Gavan naik-turun.
Pria itu lantas memejamkan matanya seraya mengatur napas. “Ini
semua apa, Wangsa?”
“Hm, macem-macem. Ada kasur, bantal, lampu,” jawab gadis itu
sembari melihat ke sekelilingnya. “Ada bedak sama lipstik juga, tuh.
Lengkap!”
“Terus kenapa kamu berantakin kamar sampe jadi kayak kapal
pecah gini?!” Gavan ngomel-ngomel.
“Biarin ajalah, Pih. Ini kan kamar aku, nanti juga ada si Bibi yang
bantu beresin,” balas Wangsa dengan ekspresi lempeng tanpa
merasa bersalah.
“Kamu, tuh—” Tangan Gavan sudah mengepal kuat, rasanya gatal
ingin memukul anak satu-satunya itu yang selalu mengaduk-aduk
emosinya. “Argh! Bikin kerjaan orang lain tambah banyak! Pokoknya
Papi minta kamu yang beresin semuanya sekarang!”
Gadis itu menggeleng. “Gak mau, capek!”
“Makanya ja—eh, eh, itu apa yang di belakang kamu?” tanya Gavan,
curiga. “Sini Papi liat!”
“Enggak!” Wangsa enggan memberikannya karena notebook itu
merupakan suatu rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat
untuk melakukan masalah.
“Liat!” Gavan melotot seraya memaksa anak gadisnya itu untuk
memberikan sesuatu di tangannya yang tengah ia sembunyikan.
Wangsa mendengus gusar, kalau Ayahnya sudah melotot seperti itu
Wangsa kalah, mau tidak mau ia pun harus memberikan notebook-
nya pada Gavan. Pria itu lantas segera mengambilnya dan langsung
membuka setiap lembar kertas dari notebook itu.
Tangan Gavan mengepal, emosinya naik berkali-kali lipat membaca
tulisan dari setiap lembar notebook milik Wangsa. “INI SEMUA
UDAH KAMU SUSUN?!”
Kepala Wangsa mengangguk dengan bangga.
“BUAT APA?!” tanya Gavan tak mengerti, bisa -bisanya Wangsa
menulis daftar seperti ini.
“Buat caper sama Januar lah, biar dia notice aku, kalo aku tuh jauh
lebih cantik dan seksi daripada pacarnya yang kaya beruk itu!”
jawab Wangsa seraya berpose ala model iklan sakit pinggang.
“Hah?!” Gavan tidak habis pikir dengan tujuan anak gadisnya yang
sangat tidak masuk akal. “Bisa stres Papi lama-lama kalau udah
ngadepin kamu kayak gini,” kata pria itu sembari memegangi
keningnya.
Sementara Wangsa menaikkan satu alisnya, “emangnya salah
berjuang demi pacar orang?”
“Ya Allah gusti nu agung, kamu tuh masih kecil, Teh, jangan pacar-
pacaran dulu!” ceramah Gavan. “Udah sekarang gini, kamu beresin
kamar kamu. Jangan minta tolong si Bibi. Papi gak mau tau. Setelah
itu kamu langsung ke ruangan Papi, gak pake lama!”
“Tapi 'kan aku gak bisa pasang sprei...”
“Sebisanya aja.” Gavan udah capek komen.
“Kalo gak bisa sama sekali, gimana?”
“Jangan banyak alesan, cepet sana beresin!”
Deg.
Wangsa langsung memegangi dadanya, lantas merosot duduk
bersimpuh sambil menyanyikan lagu Rossa. “KUMENANGIS
MEMBAYANGKAN BETAPA KEJAMNYA DIRIMU ATAS DIRIKU!”
Dih? Gavan tidak peduli sama sekali, pria itu justru memilih pergi
membawa notebook milik Wangsa untuk dieksekusi sebagai bahan
persidangan nanti.
3. Pengen Semok
Gavan kembali mengecek lembar demi lembar setiap isi dari
notebook milik Wangsa, pria itu tidak bisa berkata-kata apapun lagi
setelah mengetahui semuanya telah tercatat di buku ini. Termasuk
semua kasus gadis itu dari awal masuk sekolah!
Belum lagi, sebagian buku itu isinya sketsa wajah cowok yang
Wangsa maksud, Januar namanya. Gavan hanya berpikir, “Kok bisa
anak gue seniat ini cuma demi cowok? Emang gak ada cowok lain?”
Bagian paling mencengangkan itu pada saat di lembar ke 12, di situ
terdapat serangkaian daftar masalah yang harus dia lakukan di kelas
akhir.
Kalau Gavan baca-baca lagi seperti ini:
Dan masih banyak lagi rencana yang ditulis Wangsa dalam bukunya,
kasus paling menyeramkan yang pernah anak gadisnya itu lakukan
yaitu pada nomor 9, hari di mana ia sengaja menaruh beberapa
jarum di kursi guru sehingga ketika guru tersebut duduk maka
pantatnya akan otomatis tertusuk, dan hal itu membuat si guru
langsung mengalami pendarahan sehingga segera dibawa ke rumah
sakit terdekat untuk melakukan pengobatan dengan biaya yang
ditanggung oleh Gavan. Karena hal itu pula, Wangsa langsung
mendapat SP 2 dengan ancaman akan dikeluarkan dari sekolah
apabila sekali lagi berbuat ulah yang membahayakan nyawa
seseorang.
Gavan memejamkan matanya, ia tidak ingin anak gadisnya itu malah
melanjutkan aksinya pada nomor-nomor yang belum dicentang, dan
untuk menghindari hal itu sepertinya Gavan harus melakukan
sesuatu. Setidaknya, ia harus mencari cara bagaimana agar Wangsa
berhenti membuat kekacauan yang dapat merugikan semua orang!
Tok. Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu, membuat fokus Gavan teralihkan.
Dilihatnya ada Wangsa menyembulkan kepala, pria itu lantas
menyuruhnya untuk masuk.
Setiap kali ia masuk ke ruangan ayahnya pasti atmosfir-nya langsung
seketika berubah. Terasa menegangkan walaupun sebenarnya
tenang.
“Papi gak akan marahin kamu, asalkan kamu bisa jelasin semua
yang ada di dalam buku ini ke Papi,” terang Gavan seraya
menyodorkan sebuah buku yang menjadi sumber masalah utama
mengapa Wangsa bisa disidang Ayahnya malam ini.
“Ini cuma buku coret-coret biasa aja, Pih.” Wangsa gak mau jujur
dulu, siapa tahu Gavan bisa percaya, walaupun nihil, karena hampir
semua daftar yang ada di buku itu sudah ia lakukan di sekolah. Dan
Gavan orang yang selalu datang menanganinya.
“Biasa matamu pekok!” Gavan menyentil pelan kening Wangsa.
“Kalau emang biasa kamu gak bakalan mungkin hampir di DO sama
sekolah!”
“Kamu, tuh, kenapa, sih, Teh?” Kadang Gavan tidak habis thinking
dengan pola pikir anak gadisnya itu. “Apa yang kamu mau? Papi
udah turutin semua mau kamu, emangnya masih kurang juga?”
“Aku ngelakuin itu ada alesannya, kok, Pih,”
“Buat caper ke cowok?” tanya Gavan meledek.
“Aku colok mata Ibnu karena dia pernah ngintipin aku ganti baju,
aku kasih ludah ke minuman Jamal karena dia pernah numpahin
minuman ke baju aku sampe baju aku kotor, aku nempelin upil ke
giginya Erina karena pas aku sakit gigi dia ledekin aku—”
“Tapi perbuatan kamu gak bisa dibenarkan, Teh!” Gavan memberi
jeda, membasahi bibirnya. “Jangan terlihat seperti orang yang gak
berpendidikan, kamu anaknya pengusaha keramik terbesar di Asia,
kamu anak Papi, apa kata orang kalau anaknya Gavan Del Wazmi
kelakuannya bikin kacau semua orang?”
“Jangan bikin mami kamu sedih kalau tau kamu selalu bikin masalah
di sekolah. Papi malu, Teh. Kesannya Papi gak bisa ngurus anak!”
lirihnya.
“Kenyataannya emang Papi gak bisa ngurusin aku dengan baik! Papi
cuma mikirin kerjaan Papi aja!”
“Papi kerja juga buat kamu!” ungkap pria itu.
“Pokoknya aku gak mau tau, aku mau disuntik biar semok kayak
cupi-cupita!” ucap Wangsa seraya berdiri dari duduknya, hendak
pergi ke kamar.
Gavan melongo... kek hah?!
“Hubungannya apa anjirrr?”
“Aku tepos, Pih! Januar gak mau sama cewek tepos kayak aku,
makanya aku mau semok!” teriak gadis itu di ujung pintu sebelum
benar-benar lenyap.
Gavan meringis memegangi keningnya. Ujung -ujungnya tentang
cowok juga 'kan?
Dahlah.
4. Bergelut Rindu
“Lu yakin mau nitipin Wangsa ke gua?” tanya Davin seraya
membawa dua cup kopi, satu untuk Gavan yang tiba-tiba datang
bertamu ke rumahnya tanpa undangan, pria itu lalu ikut duduk di
sampingnya.
Gavan sedari tadi hanya diam, pria itu sedang menimang-nimang
keyakinannya untuk benar -benar menitipkan Wangsa pada
kakaknya itu.
Gavan sendiri sebenarnya enggan, karena ia tahu, Davin juga sibuk
dengan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan, jadi tidak akan
mungkin Davin dapat memantau anak gadisnya setiap waktu. Tetapi
Gavan juga tidak bisa mengajak Wangsa untuk ikut dengannya ke
Italia, sebab pria itu pergi ke sana bukan semata-mata untuk liburan
santai, melainkan ada tugas yang harus dia selesaikan. Kalau semisal
Wangsa diajak bisa-bisa fokusnya pecah karena anak gadisnya itu
suka kumat!
“Gua, sih, bukannya gak mau, tapi gua bener-bener gak bisa ngurusin
bocil modelannya anak lu. Bebal kalau dibilangin, sama lu aja dia
gak nurut, apalagi sama gua? Yang ada gua kena mental sama dia!”
ucap Davin sesaat sebelum menghisap rokoknya.
“Jujur gue juga bingung, gue gak tau lagi harus gimana selain minta
tolong sama lo,” lirih Gavan, memberi jeda untuk menyesap kopi
hitamnya.
“Gue cuma takut Wangsa bakal bersikap yang aneh-aneh kalau gue
tinggal sendirian tanpa ada yang ngawasin. Lo tau 'kan tingkahnya
anak gue kayak gimana?” Gavan melirik cemas pada Davin. Pria itu
benar-benar dibuat dilema oleh Wangsa.
“Stres anak lu, mah! Makanya gua gak mau dititipin dia, takut gua
ikutan stres. Bisa gila lama-lama gua, liat lu aja gua udah miris,
apalagi kalo gua nanti?”
Gavan tersenyum miring. “Gue juga kalau bisa tuker tambah, mah,
udah dari dulu gue lakuin kali, Dav!”
“Anjirrr lo! Gak boleh gitu woi, lu sama Mimi 'kan udah capek-capek
bikin tu anak sampe jadi!” kata Davin yang tertawa keras seraya
menepuk-nepuk pundak Gavan, membuat pria itu pun ikut tertawa.
“Biasalah, kurang didikan dari emaknya dia.”
“Gamon lu sama Mimi?” Davin semakin keras mentertawakan hidup
pria itu yang miris.
Gavan mengangguk, otaknya seakan memutar kembali semua
kenangannya bersama wanita itu yang kini memilih untuk pulang
pada keluarganya dan merelakan rumah tangga mereka selesai.
“Kalau udah bahas masa lalu suka sedih gua.”
Davin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Makanya punya istri
jangan apa-apa lu ajakin sparing terus!”
- アル・イクラス -
“Udah hampir 13 tahun kita hidup masing-masing, kamu apa kabar
sekarang? Wangsa udah tumbuh dewasa, emang kamu gak kangen
sama dia?”
Gavan memandangi foto pernikahannya dengan mantan istrinya
yang masih pria itu simpan. Hanya itu yang ia punya untuk
mengobati rasa kangennya pada Mimi yang sudah lama berpisah,
akses untuk menghubungi wanita itu telah di blokir, Gavan tidak
bisa melakukan banyak hal selain memendamnya.
“Setiap malem aku selalu berdoa supaya kita bisa bareng-bareng lagi
kayak dulu, tapi aku gak berani minta kamu lagi ke keluarga kamu,
karena aku tau mereka gak akan mungkin ngebiarin anak mereka
hidup sama laki-laki pengecut kayak aku...”
“Tapi satu hal yang harus kamu tau, aku di sini masih sayang sama
kamu. Perasaan aku gak pernah berubah dari dulu buat kamu.”
Gavan memejamkan matanya seraya memeluk foto pernikahan
mereka, tanpa sadar air matanya satu-per-satu berjatuhan
membasahi pipinya.
Wangsa menjadi salah satu alasan mengapa ia pembawaannya
menjadi lebih tenang sekarang, karena pria itu sudah pernah
merasakan yang namanya kehilangan. Itu juga menjadi salah satu
alasan mengapa Gavan jarang memarahi atau sekedar membentak
Wangsa, karena ia memiliki janji pada dirinya untuk berubah.
Berubah dari kebiasaannya yang gampang emosian, tak ayal
tangannya dulu sering melayang ke udara.
Gavan tidak ingin kesalahan yang sama terulang, maka dari itu ia
tidak mau jauh-jauh dari Wangsa. Gavan merasa khawatir dan takut
jika suatu saat gadis itu ikut meninggalkannya seperti istrinya.
Gavan ingin Wangsa selalu ada di sampingnya, menemaninya,
hingga pria itu tutup usia. Karena harta yang Gavan miliki saat ini
adalah putrinya.
Dan sekarang pria itu bingung, apakah ia harus mengikuti kata
Davin untuk memasukkan anaknya ke pesantren? Selain aman,
Davin juga berharap karakter Wangsa bisa terbentuk dari sana.
Belum lagi, Gavan juga harus segera berangkat ke Italia dalam waktu
yang cukup lama dan pastinya tidak bisa jika harus meninggalkan
putrinya sendirian.
“Lu gak perlu khawatir, di pesantren anak lu bakalan dijaga sebaik
mungkin. Gua juga yakin, anak lu pasti di sana bakal dapet banyak
ilmu. Gak perlu takut.”
“Lu masukin Wangsa ke pesantren bukan berarti lu gak sayang sama
dia, justru pesantren itu tempat terbaik buat membangun karakter
anak lu yang masih acakadut!” kata Davin pada siang tadi.
Gavan menyeka wajahnya, lantas meremas-remas kepalanya yang
terasa berdenyut-denyut hebat.
5. Masuk Pesantren
“Aku gak mau masuk pesantren, Pi!”
Wangsa menggebrak meja seraya berdiri dari duduknya, gadis itu
memilih untuk mengakhiri percakapan ini dan pergi menuju
kamarnya.
“Kenapa?” Gavin membuntuti Wangsa menaiki tangga. “Pesantren
itu baik buat kamu, supaya kamu bisa lebih berkarakter lagi. Kalau
emang kamu gak bisa nurut sama Papi, seenggaknya dengan masuk
pesantren kamu bakal disiplin.”
“Papi gak mau dianggap gak becus ngurus anak, maka dari itu Papi
mau kamu masuk pesantren supaya kamu gak ugal-ugalan lagi!”
lanjut Gavan.
“Oh, ya?” Wangsa membalikan badannya, lantas menunjuk Gavan
dengan perasaan emosi. “Semua ini salah Papi tau gak? Papi yang
udah bikin Mami pergi ninggalin kita! Kalo aja Papi sama Mami gak
cerai mungkin aku gak bakal kayak gini sekarang!”
Gadis itu mulai menunduk dan terisak. “Karena papi itu gak tau
maunya anak perempuan kayak gimana!”
“Cuma mami yang paham kemauan aku,” lirihnya.
“Terus... yang beliin kamu motor siapa?” tanya Gavan seraya
mengangkat dagu Wangsa agar mau menatap matanya yang kini
memerah. “Yang selalu beliin kamu baju, tas, hp, sepatu, semua yang
kamu punya sekarang itu siapa yang beliin?” Kepala pria itu
menggeleng pelan. “Papi sayang, bukan Mami.”
Air mata Gavan kemudian mulai membasahi pipinya, ia sudah
berusaha keras menjadi Bapak sekaligus Ibu untuk Wangsa, meski
rasanya berat karena mau bagaimana pun juga yang gadis itu
inginkan adalah tetap maminya, si Mimi Peri.
Bahkan setelah kejadian malam itu, Wangsa kehilangan sosok ibu
yang senantiasa memberinya kasih sayang, yang selalu ada
menemaninya di kala gadis itu merasa kesepian, wanita itu pula
yang menjadi tempat utama untuknya bercerita ketika ada masalah
dengan teman-temannya. Hanya Mimi yang gadis itu percaya dan
mendapatkan tempat terbaik di hatinya, Gavan tidak akan pernah
bisa menggantikan posisi itu sampai kapanpun.
Gavan sadar, bahwa Mimi memang seberharga itu untuk Wangsa,
dan ia telah menyia-nyiakan semua yang pernah dirinya miliki
hingga kini semua itu lenyap di makan oleh waktu dan kenangan.
“Papi mungkin emang gak bisa jadi kayak Mami kamu, tapi Papi bisa
bahagiain kamu dengan cara Papi, karena Papi juga orang tua
kamu!” katanya, lantas mengecup kening Wangsa dengan lembut.
“Aku masih butuh Mami, Pih!” Wangsa memeluk tubuh besarnya
dengan erat. Gadis itu terisak pelan di antara dada bidang Gavan.
“Aku kangen Mami.”
“Papi juga kangen,” balas Gavan seraya mengusap -usap kepala
Wangsa. “Biarin Mami kamu bahagia dengan pilihannya ya, sayang?
Maafin Papi yang gak bisa tahan Mami buat gak pergi waktu itu.”
Gavan kembali mengecup kening putrinya. “Papi sayang kamu
seperti rasa sayang Papi ke Mami.”
- アル・イクラス -
Del Wangsa Putri:
Jan, tolongin gue TT
Januar Adiparma:
Gue bukan ultramen
Del Wangsa Putri:
Iiiiii, gue sedih banget TT
Papi gue mau masukin gue
Januar Adiparma:
Incest lo?
Del Wangsa Putri:
*ke pesantren
lemot jaringannya, otak lo
jangan mikir aneh-aneh!
Januar Adiparma:
Bagus deh, seenggaknya
satu kuman terhempas
Del Wangsa Putri:
Kok?! Lo gitu sih sama gue!
Gue gak mau pesantren, Jan!!
Januar Adiparma:
Gapapa udah, biar lu waras
Del Wangsa Putri:
Kita belum ngamar bareng :(
Januar Adiparma:
Ogah, lu tepos soalnya!
Del Wangsa Putri:
Gue suntik dulu biar semok
Januar Adiparma:
Cewek stres!
Del Wangsa Putri:
This is CEGIL, Jan >3
Wangsa tertawa, kapan lagi coba bisa chatingan sama crush kayak
gini? Biasanya mereka kalau chatingan cuma mentok di pesan kedua,
seterusnya gak dibalas. Sebenarnya yang hobi nge-read pesan itu
Januar, padahal Wangsa udah effort, tapi gak pernah dihargain.
Nasib jadi cegil emang begini.
“Teh, disuruh beresin baju buat besok, kok, malah asik main hp?
Udah semua emang?” tanya Gavan seraya masuk ke dalam kamar
Wangsa. Ada satu koper di atas kasurnya yang masih kosong. “Teh,
kenapa ini bajunya belum dimasukin ke koper?”
“Sama Papi aja, aku mau streaming MV aespa dulu bentar,” ucap
Wangsa lantas naik ke atas kasur dan segera ambil posisi tengkurap
sambil peluk bantal.
Gavan menarik napasnya, lantas beranjak menuju lemari untuk
memasukkan baju-baju yang Wangsa butuhkan di pesantren nanti.
Beruntunglah anak gadisnya itu mengerti tujuan Gavan
memasukkan dirinya ke pesantren setelah bicara baik-baik.
“Kalau urusan Papi udah selesai, Papi pasti bakal langsung jemput
kamu lagi,” kata Gavan sembari melipat baju milik Wangsa agar
kopernya muat.
Wangsa melirik Gavan sebentar, lantas kembali fokus pada
ponselnya yang menampilkan video musik futuristik ‘Black Mamba’
milik aespa.
Cup.
Gavan mengecup pipi putrinya usai memasukkan semua baju gadis
itu ke dalam koper, pria itu juga menyelipkan selembar foto dirinya
agar Wangsa bisa selalu mengingatnya. “Jangan tidur malem -malem
ya, besok kita mesti berangkat subuh.”
Wangsa bergumam pelan, “Hemmm bawel.”
Gavan terkekeh sembari mengusap-usap kepala Wangsa. “Susunya
jangan lupa diminum sebelum tidur! Papi tinggal ke bawah ya?
Alopyu sayang!”
“Lopyu tu, Papi!” balas Wangsa sambil manyun.
6. Sakit Perut
Selama dalam perjalanan Wangsa hanya diam, cenderung melihat
pemandangan luar, terlebih lagi saat mobil mereka sudah memasuki
pemukiman, kanan kiri hanya terdapat sawah yang hijau, terasa asri
dan sejuk bagi orang yang banyak pikiran.
Sesampainya di sana, ada bapak-bapak berpeci putih dan seorang
ibu berjilbab syar'i panjang yang menyambut kedatangan mereka di
depan gerbang. Gavan lantas segera turun dari mobilnya dan
bersalaman dengan mereka, sedangkan Wangsa masih berada di
dalam mobil, enggan untuk turun. Melihat tempatnya saja Wangsa
sudah tidak berminat untuk tinggal di sini dalam waktu yang cukup
lama, oh Tuhan, Wangsa berubah pikiran!
Gavan membukakan pintu mobilnya untuk Wangsa, kemudian
berkata, “Teh, ayo turun, salaman dulu ke Pak Kiyai sama Umi
Hasan.” Sembari tersenyum.
Wangsa menggeleng. “Aku gak mau tinggal di sini!” Lantas turun
dari mobil dan memeluk Gavan erat. “Aku mau ikut Papi aja ke Itali,”
rengek gadis itu.
“Hei, emangnya kenapa kamu gak mau tinggal di sini?” tanya
seorang wanita berjilbab panjang itu seraya tersenyum manis
meraih tangan Wangsa.
Wangsa menggeleng lagi tanpa menjawab.
“Biasalah Umi, belum adaptasi jadi mikirnya bakal gak betah,
padahal di sini rame banyak temennya,” sahut Gavan sambil
mengusap rambut putrinya.
“Pesantren itu gak semenyeramkan apa kata orang- orang, kok,
Neng. Umi yakin kamu di sini pasti bakal betah karena banyak
temen-temennya,” ucap Umi Hasan yang seakan mencoba untuk
mencuci otak Wangsa agar mau tinggal di pesantren kecil ini.
Heran banget sama Gavan, padahal masih banyak pesantren yang
jauh lebih bagus dari ini, bahkan berkali-kali lipat bagusnya, tetapi
kenapa memilih pesantren kecil ini untuk Wangsa? Baru menginjak
tanahnya saja gadis itu sudah merasa gak betah, beda banget sama
review anak pesantren di sosial media, kelihatan asik dan
menyenangkan. Aslinya? Entahlah, mungkin beda pesantren, beda
suasana.
“Salaman dulu, gih. Kenalan sama Pak Kiyai dan Umi Hasan. Papi
mau ambil koper kamu dulu di bagasi,” ucap Gavan yang diangguki
kepala oleh Wangsa. Gadis itu lalu bersalaman pada mereka.
“Gak usah takut, kita di sini belajar bersama-sama, kamu bakalan
diajarin dari nol sampe bisa,” begitu kata Pak Kiyai sembari
mengusap kepala Wangsa.
Wangsa mengukir senyum di bibirnya dengan sedikit terpaksa saat
Umi Hasan mengajaknya masuk lebih dulu ke dalam. Gadis itu
melihat sekumpulan anak perempuan memakai mukena putih
sambil membawa Al-Qur'an sehabis dari masjid, pulang sholat subuh
sekaligus mengaji.
Sedangkan Gavan di belakangnya sedang asik mengobrol bersama
Pak Kiyai sembari membawa koper milik putrinya ke dalam
pesantren, satunya lagi dibantu oleh seorang santri. “Terimakasih
ya.”
“Sama-sama, Pak.” Santri tersebut lalu pamit.
Setibanya di ruangan utama, mereka dipersilakan duduk di kursi
kayu yang tersedia dan disediakan sesuguhan teh manis serta
gorengan seadanya.
Wangsa protes, “teh sama gorengan doang?”
“Hush, jangan ngomong gitu di depan makanan.” Gavan menegur
putrinya dengan memukul pelan tangannya. Pria itu lalu tersenyum
pada Pak Kiyai.
“Neng Wangsa emangnya mau apa?” tanyanya.
“Pitsa sih kalo ada,” ucap gadis itu seraya menaikkan kaki kirinya ke
atas kaki kanan.
“Teh, gak boleh gitu kakinya!” tegur Gavan, lantas kembali
tersenyum pada Pak Kiyai dan Umi Hasan.
“Kalau pitsa mah di sini gak ada atuh, Neng.”
“Ya udah kalo gak mampu gak usah nawarin.”
Spontan semua orang yang ada di dalam ruangan itu mengucap
istighfar sembari mengusap dada mendengar ucapan Wangsa yang
asal ceplos.
“Maaf, ya, Umi, Pak Kiyai. Si Teteh kebiasaan di rumah.” Gavan
menangkupkan kedua tangannya.
Beruntunglah mereka memakluminya, Pak Kiyai tersenyum. “Tidak
apa -apa, Pak, kami maklumi.”
“Aduh, aku mules, pengen ke toilet. Mau BAB,” ucap Wangsa sembari
memegangi perutnya agar mereka semua percaya bahwa gadis itu
betulan sakit perut.
“Ayo, Nak, Umi antarkan ke toilet.” Umi Hasan menawarkan diri
untuk mengantar Wangsa.
“Eh, gak usah, gak usah!” Gadis itu menolak, pasalnya ia cuma pura-
pura, ntar gagal susunan rencananya kalau dianter Umi Hasan. “Aku
sendiri aja, kasih tau aja toiletnya ada di sebelah mana.”
“Kamu gak lagi ngibul 'kan?” tanya Gavan, curiga.
“Beneran, kok, Pih, ini udah di ujung, emang gak papa kalo aku
cepirit mencret-mencret di sini?” Wangsa berusaha akting senyata
mungkin agar Gavan bisa percaya kalau dirinya sakit perut.
“Di gedung ini gak ada toilet?” tanya Gavan.
Pak Kiyai menggeleng. “Nggak ada, Pak. Kamar mandinya sengaja
dibuat terpisah supaya tertib.”
“Gini, gini, keluar dari pintu ini kamu belok kanan, terus jalan lurus
aja ikutin jalur, di jembatan nanti kamu pilih belok kiri, nah toiletnya
ada di sebelah kanan, deket pohon. Nanti di situ ada tulisannya, kok,
toilet khusus perempuan,” jelas Umi Hasan.
“Kalo toilet laki-laki di mana?” tanyanya, iseng.
“Kamu ngapain nanyain toilet laki-laki?” Gavan langsung menatap
Wangsa, tidak habis pikir.
“Mau ngintip aja,” jawab gadis itu, jujur. “Cowok pesantren pada
suka rajin sikat gigi gak sih?”
“Kagak! Biar jigongan, HAH, gitu entar!” balas pria itu, sebal. “Aneh-
aneh aja yang kamu tanyain!”
Sementara Wangsa cuma nyengir ala princess.
7. Gagal Kabur
Sialan! Niatnya Wangsa cuma alesan doang supaya bisa kabur, eh
malah perutnya mules beneran, akhir -nya gadis itu memilih untuk
menuntaskan gejolak di dalam perutnya sebelum aksinya
dilanjutkan.
Lebih sialnya lagi ternyata WC yang ada di dalam kamar mandi
jenisnya masih jongkok. Yaelah, apa gak ada WC duduk satupun di
pesantren ini? Gadis itu tidak biasa dengan WC jongkok, kurang
elegan menurutnya jikalau harus berak sambil jongkok.
Sekitar 7 menit waktu yang dibutuhkan Wangsa untuk
menyelesaikan panggilan tak terduga itu, rasanya sedikit lega
walaupun sesudahnya betis dan kaki gadis itu terasa pegal dan
kesemutan.
Karena urusannya dengan alam sudah selesai, alangkah lebih baik
gadis itu segera pergi menuju mobil Gavan sebelum ada orang yang
melihatnya. Tetapi, saat hendak pergi, Wangsa tidak sengaja
mendapati buah jambu tak jauh dari kepalanya, kalau minta satu
sepertinya bukan masalah?
Ah, lumayan. Begitu katanya. Wangsa lantas segera mencari alat
bantu disekitarnya, sejenis kayu atau bambu yang penting bisa
mentung-mentung jambu tersebut sampai jatuh. Begitu sudah dapat
jambu -nya, gadis itu segera ngacir menuju mobil Gavan.
“Hah.. hah...” Bagai dikejar setan, napas Wangsa sampai tersengal-
sengal begitu sampai di mobil Gavan. Gadis itu lalu segera berusaha
membuka pintu bagasi mobil Ayahnya yang tertutup rapat, mirip-
mirip seperti mau membegal mobil orang.
Begitu pintu bagasi tersebut terbuka, Wangsa segera masuk ke dalam
sana. Pikirnya, ia bisa ikut pulang bersama ayahnya dengan cara
sembunyi di bagasi mobil tanpa ada siapapun yang melihatnya.
Sudah ia pastikan, bahwa di sekitarnya itu aman.
Namun, saat gadis itu hendak menutup pintu bagasinya, tiba-tiba ada
seorang laki-laki yang menahannya dari luar. “Kamu mau kabur
ya?!”
Wangsa bengong sebentar melihat wajahnya yang sangat tampan,
bahkan sampai matanya berkedip beberapa kali untuk memastikan
bahwa gadis itu sedang tidak salah lihat sosok di depannya.
“Ah, cogann,” ucap Wangsa sembari tersenyum, ia seakan terhipnotis
dengan pesona lelaki itu, sampai -sampai Wangsa menjulurkan
tangannya untuk di ikat oleh lelaki itu dan di bawa ke ruangan Pak
Kiyai. “Aku rela di penjara kalau misalkan ada kamu.”
Lelaki itu lantas memberinya sarung, membuat Wangsa seketika
bingung. “Buat apa?”
“Pegang ini.” Wangsa pun mau tak mau menuruti apa kata lelaki itu
untuk memegangi sarungnya, meskipun otaknya sambil bertanya-
tanya.
Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah, lelaki itu menariknya
menggunakan sarung tersebut seperti kambing. Ya Allah, Wangsa
mau marah, tapi yang ngelakuin itu spek cogan, jadi mau pasrah aja.
Seketika terbesit ide cemerlang di otaknya.
“Humko hamise curalo,” Wangsa menarik sarung tersebut, kemudian
memutari tubuh lelaki itu ala -ala lagu India yang sering ia tonton
waktu kecil.
Karena dia hanya diam, gadis itu lalu benar-benar melanjutkan
aksinya untuk bertingkah seperti sedang menyanyi lagu India dan ia
menganggap lelaki di depannya itu adalah Sharukh Khan.
“Kamu waras?” tanya lelaki itu, keheranan.
“This is cegil, Mas Gamis!” jawab Wangsa.
“Gamis?” Lelaki itu mengkerutkan keningnya.
“Ganteng dan manis, aw!” Wangsa mencolek dagu lelaki itu,
kemudian joget geter ala penari India.
“Astagfirullahadziim,” ucap lelaki itu sembari mengusap-usap
dadanya karena terkejut.
- アル・イクラス -
Di sinilah gadis itu sekarang, di sebuah kamar kecil yang diisi oleh 4
penghuni. Yap, dia akhirnya benar -benar memutuskan tinggal di
sini untuk beberapa bulan ke depan. Salah satu alasannya karena
lelaki tadi, Wangsa ingin mengejarnya dan memilih move on dari si
kadal Januar yang udah gak perjaka.
Aisyah, teman sekamarnya, dengan senang hati membantu Wangsa
untuk membereskan semua barang-barang milik gadis itu ke
tempatnya.
“Rambut lo bagus banget,” puji seorang perempuan yang
berkerudung merah dari kasur di sampingnya saat Wangsa melepas
kerudung yang ia gunakan.
“Iya, bagus banget!” sahut teman di belakangnya.
Wangsa tak menjawab, gadis itu malah mengkibas -kibaskan rambut
gingernya seakan sedang pamer kepada tiga santriwati yang berada
di kamar ini.
“Tapi lebih cantik kalau pakai kerudung, karena kerudung menjaga
aurat kamu dari siksa neraka,” ucap Aisyah seraya melipat baju-baju
Wangsa.
“Gue lagi gak butuh ceramah, gue cuma pengen rambut gue digerai
kayak gini,” kata gadis itu.
Aisyah menghela napasnya, lantas tersenyum. “Iya, gak papa, yang
terpenting bukan pas lagi di luar.”
“Ngatur banget idup lo!” ucap Wangsa, tidak suka.
“Sesama teman muslim, aku hanya mengingatkan,”
“Hadeuh, modelan yang sok suci kayak lo gini pasti diem-diem suka
caper 'kan sama yang ganteng?”
Kepala Aisyah menggeleng pelan. “Astagfirullah... aku gak sok suci
dan gak ngerasa paling suci, kok. Aku cuma manusia biasa yang
punya dosa juga.”
“Nama lo siapa, sih?” tanya Wangsa seraya mengikat rambutnya
yang acak-acakan.
“Aku Aisyah, kamu bisa panggil aku Aish.”
“Aish, aish, emangnya lo bayi di aish segala?” cibir Wangsa seraya
memutar bola matanya, kemudian menatap 2 orang di sampingnya.
“Kalo lo berdua?”
“Gue Kana, salam kenal ya,” ucap perempuan berhijab merah itu
seraya tersenyum lebar.
“Aku Kiki, kalau nama kamu siapa?” tanya Gia.
“Namanya Wangsa, cantik ya?” sahut Aisyah sembari tersenyum,
keduanya mengangguk.
Kana sangat setuju. “Sumpah iya, Aish, sinkron banget. Nama sama
muka sama-sama cantik. Semoga cantiknya nular ke gue Ya Allah...”
“Masya Allah, jangan lupa, takut ain.” Aisyah mengingatkan sembari
memasukan baju milik teman barunya itu, Wangsa, ke dalam lemari.
“Oiya, Masya Allah cantiknya...” puji Kana dan Gia.
“Lo berdua pasti dayang-dayangnya si bayi ini?” tanya Wangsa
seraya menunjuk Aisyah yang kini ikut duduk di sebelahnya. Gadis
itu mengernyit, kenapa tiba-tiba Wangsa menyebutnya bayi?
“Bayi siapa?” tanya Gia, tidak mengerti.
“Aish,” jawab Wangsa sambil monyong-monyong.
“Nama aku Aisyah, kalau kamu gak mau panggil Aish,” koreksi gadis
itu, tak lupa tetap tersenyum.
“Bayi aja cocok, muka lo mirip bayi. Bayi kadal!”
“Astagfirullah,” ucap Aisyah sembari mengusap -usap dadanya, sabar
banget ngadepin Wangsa.
Sementara Kana tertawa. “Berdosa bet lo!”
8. Goreng Bakwan
“Eh, Kan, lo kenal sama cowok yang pake peci hitam, terus bajunya
warna merah gak?” tanya Wangsa pada Kana yang sedang
merapihkan beberapa koleksi komiknya pada rak buku.
Kana menggeleng. “Enggak,” jawab gadis itu.
“Masa, sih, lo gak kenal?” Wangsa berhenti menyisir rambutnya dan
menoleh tidak percaya pada Kana. “Gue cuma pengen tau namanya
aja, Kan!” Lantas kembali melanjutkan kegiatan menyisir
rambutnya.
Kana menghela napas, kemudian menatap Wangsa. “Gue gak tau
cowok yang lo maksud siapa? Di sini kan cowoknya bukan cuma satu
atau dua. Lagipun ini pesantren, gue jarang papasan sama cowok.”
“Yang lo tau aja, siapa?” tanya Wangsa sembari melihat dirinya di
kaca sedang menyisir rambut.
“Siapa ya?” Gadis itu sedang berusaha mengingat- ingatnya. “Gue
kadang inget muka, tapi lupa nama.”
“Masih muda udah pikun lo!” ledek Wangsa.
“Ah, gak tau, ah, gue mau baca komik aja!” kata Kana seraya
membawa salah satu komik yang hendak ia baca ke atas kasur
sambil rebahan.
“Ihh, Kan, masa lo gak tau satupun?” ucap Wangsa sembari
merengek menghampiri Kana yang mulai fokus pada halaman
pertama buku komiknya.
Gadis itu lalu mendongak. “Emang buat apa, sih?”
“Gue suka cowok itu, Kan!” ungkap Wangsa dengan mata yang
berbinar-binar penuh harap. “Gila 'kan?”
Kana sempat melongo, tidak percaya, kek... hah?!
“Secepet itu? Lo bahkan gak tau di pesantren ini cowok-cowoknya
masih doyan cewek apa nggak,” ucapnya sembari mulai membuka
halaman kedua.
“Loh, emang mereka pada gak doyan?” Senyum Wangsa yang
awalnya mengembang, jadi kendor gara-gara mendengar ucapan
Kana tersebut.
“Mungkin beberapa ada yang enggak,” jawabnya sembari
menggedikan bahu. “Gak tau juga deh.”
“Kata Aisyah jangan fitnah, Kan,” ucap Wangsa yang membawa-
bawa nama Aisyah, karena bayi sok suci satu itu apabila ada di sini
pasti bakal dengan sotoy ikut nimbrung sambil ceramahin mereka
satu-satu.
Kana terkekeh. “Gue gak bakal berani bilang gini kalau gak
ngeliatnya sendiri, so just information.”
Wangsa mendecak, fakta itu tak membuatnya gentar untuk tidak jadi
mengejar cowok tadi, ia yakin dengan pesonanya bisa menggaet
cowok tersebut, sekalipun dia nggak doyan cewek.
“Gue seksi, Kan, gue yakin cowok itu suka sama gue. Secara gue
montok gini kayak Cupi-cupita,” ucap Wangsa memvalidasi dirinya
sendiri seraya memonyongkan bokongnya agar terlihat semok.
“Terserah lo aja deh.” Kana udah males komen.
“Assalamualaikum...” Aisyah tiba-tiba masuk ke dalam kamar
sembari membawa nampan.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka bersamaan.
“Lo bawa apaan, tuh, Bayi?” tanya Wangsa sembari berpegangan
pada tiang serta berkacak pinggang ala preman yang sedang
mengintimidasi targetnya.
“Ini aku bawain bakwan buat kalian, tadi habis bantuin Umi Hasan
goreng bakwan,” ucap Aisyah seraya memamerkan bakwan goreng
tersebut.
“Wah, seger banget sore-sore dikasih bakwan!” Kana yang awalnya
fokus membaca komik mulai bangun saat mencium aroma bakwan
yang masih hangat. Kalau soal makanan, Kana paling cepat.
“Lo cuma bawain bakwan?” tanya Wangsa lagi dan Aisyah
mengangguk kalem. “Gak ada burger apa?”
“Ish, bakwan enak tau, Sa!” kata Kana seraya mengambil satu
bakwan. “Makasih ya, Aish.”
“Iya sama-sama, Kana. Ayo Wangsa, kamu ambil juga, cobain
bakwan buatan aku. Enak loh!” kata Aisyah yang terlihat seperti
memaksa gadis itu.
Wangsa menghela napasnya. “Yaelah makanan kampung, doang.
Yaudah kalo gitu gue ambil 2!”
“Iya gak papa, ambil aja, aku sengaja bawa banyak buat kalian.”
Aisyah tersenyum, ia tampak senang apabila teman-temannya mau
menikmati bakwan buatannya, setidaknya ia tidak sia-sia memasak.
“Gia ke mana, Aish?” tanya Kana yang tidak menemukan Kiki sehabis
sholat ashar tadi.
“Piket masjid, bentar lagi soalnya mau maghrib. Kalian udah pada
mandi?” Kana mengangguk sebagai jawabannya. “Bagus deh kalau
gitu.”
“Bakwannya enak, mau lagi ya, Aish!” ucap Kana sambil nyengir saat
mengambil satu bakwan lagi.
“Boleh, ambil aja. Habisin juga gak papa, ini emang buat kalian. Buat
Kiki udah aku sediain di masjid,” ucap Aisyah seraya menaruh
nampan itu di nakas.
“Makasih, Ukhti, makin cantik, deh!” puji Kana sembari terkekeh
pelan menggoda Aisyah.
“Modelan kayak lo pasti sukanya yang gratisan ya, Kan? Tipe-tipe
yang kalo ditraktir pasti muji-muji,” ucap Wangsa yang langsung
diangguki Kana.
Kana nyengir. “Tau aja lo kalo gue pencitraan!”
9. Namanya Garden
“Sa, ayo bangun, sudah subuh,” ucap Aisyah seraya menggoyang-
goyangkan tubuh Wangsa yang masih nyaman bermimpi dalam
tidurnya. “Sa, ayo bangun!”
“Euhh...” Gadis itu menggeliat sembari matanya mengerjap-ngerjap,
lantas melihat jam beker di nakas yang masih menunjukkan pukul 3
pagi.
“Kenapa lo ribut bangunin gue?” tanya Wangsa dengan mata yang
berusaha ia buka, sejujurnya gadis itu sangat mengantuk. “Baru juga
jam 3, ah elah, lo udah ribut subuh aja, adzan juga belum!”
“Iya, maksudnya udah menjelang subuh, Sa. Ayo bangun, kita
bareng-bareng sholat tahajud,” kata Aisyah seraya menyingkap
selimut gadis itu.
“Gue diwakilin sama lo dulu bisa gak? Gue ngantuk banget sumpah,
semalem tidur jam 12 teng!” ucap Wangsa yang malah lanjut tidur
memeluk guling.
“Gak bisa, Sa, kamu itu sekarang ada di pesantren, kamu harus
belajar disiplin. Ayo cepetan bangun, mandi, kita sholat tahajud
bareng-bareng!” Aisyah menarik gadis itu hingga terbangun dari
tidurnya.
Dengan wajah ngantuk Wangsa misuh-misuh gak jelas sembari
mengambil handuk dan alat mandi. Gadis itu lalu di antar oleh
Aisyah menuju kamar kecil, mereka juga sempat berpapasan dengan
Kana dan Gia di jalan yang baru selesai mandi.
Sejujurnya, di saat-saat jam sholat tahajud menuju subuh itu apabila
di pesantren tidak gelap dan juga tidak menyeramkan. Terkesan
biasa saja, layaknya seperti bukan jam 3. Hanya saja gadis itu perlu
di antar oleh Aisyah karena tidak mau pergi sendiri, belum lagi
kondisinya masih sangat ngantuk.
Selesai mandi, mereka langsung kembali ke kamar untuk segera
melakukan sholat tahajud berjamaah dengan Aisyah yang ditunjuk
menjadi imamnya.
Kata Ustadzah Ningsih, perempuan boleh menjadi imam apabila
makmumnya juga perempuan. Dan sholat tahajud lebih baik
dilakukan sendiri-sendiri, tetapi tidak ada larangannya apabila
dilaksanakan secara berjamaah dan hukumnya akan tetap sah.
Sembari menunggu adzan subuh berkumandang, mereka membaca
dzikir dan doa-doa, sementara Wangsa malah memilih tiduran di
atas sajadah, gadis itu hanya ingin tidur tanpa diganggu.
“Weh, kok, tiduran?” tanya Gia pada Wangsa.
“Gue ngantuk, pengen tidur aja,” ucapnya seraya pergi menaiki
kasur untuk melanjutkan tidurnya.
Kana mendengus gusar melihat temannya satu itu. “Kalo lo suka
sama orang itu harus pake jalur langit, biar orang yang lo suka bisa
suka balik sama lo. Lah kalo lo diajak bangun subuh aja udah
ngantuk kayak gini, gimana mau dapetin santri yang lo suka itu?”
“Emangnya Wangsa lagi suka sama siapa?” tanya Aisyah sedikit
kepo, padahal baru masuk, kok bisa secepat itu suka sama salah satu
santri di sini?
“Nggak tau, namanya juga cinta ababil. Sekali ketemu, langsung suka.
Ntar juga pasti ilang tuh perasaannya, kan cewek kalo udah suka
sama cowok ganteng dikit cuma suka sementara.”
“Sok tau, gini-gini gue setia orangnya!” semprot Wangsa yang
seketika langsung bangun dari tidurnya dan ikut duduk di samping
Aisyah.
“Gercep ya kalau urusan cowok,” sindir Gia.
“Gak papa, yang penting sekarang Wangsa jadi semangat,” ucap
Aisyah sembari tersenyum.
- アル・イクラス -
Demi sang pujaan hatinya yang bersemayam di pesantren ini,
Wangsa sampai nekat menerobos sekat area pembatas antara santri
laki-laki dan perempuan hanya agar bisa berkenalan dengan cowok
kemarin. Setidaknya, ia tahu namanya.
Untung saja Wangsa masih memiliki penglihatan yang tajam,
sehingga ia bisa dengan mudah untuk menemukan keberadaan
cowok itu yang ternyata sedang memotong bambu bersama
temannya.
Wangsa lantas segera menghampiri cowok itu dan ikut jongkok di
sampingnya tanpa mereka sadari.
“Lo lagi bikin apa?” tanya Wangsa yang berhasil mengagetkan Abu
Dawud, sedangkan cowok yang ia tanya itu tampak tidak berekspresi
sama sekali.
“Kok, lo gak kaget?” tanya Wangsa, terheran-heran.
Lagi-lagi, cowok itu tetap diam dan memilih fokus membelah
bambunya, berbeda dengan temannya yang malah sewot pada
Wangsa karena terkejut.
“Lo ngapain ada di sini anjirr?!” tanya Abu Dawud.
“Dih? Gue mah ke sini mau silaturahmi sama calon bubub,” jawab
Wangsa dengan percaya dirinya.
Abu mengernyitkan keningnya. “Siapa dih?”
“Dia yang ada di hati gue,” jawab Wangsa lagi seraya memeluk
lengan cowok di sampingnya.
“Stres! Ini pesantren woi!” Abu menarik tangan Wangsa yang dengan
lancang memeluk lengan temannya itu, padahal mereka bukan
mahram.
“Emang kenapa gitu kalo pesantren?” tanyanya, sebel banget, masa
meluk doang gak boleh?
“Gak boleh cinta-cintaan lah!” jawab Abu sembari mendecak sebal.
“Lagian lo ngapain sih ke sini?”
“Dikata gue mau silaturahmi!” jawab Wangsa kesal.
Abu menarik napasnya, lantas berkacak pinggang. “Iya, tapi cewek
gak boleh ada di sekitaran sini!”
“Kenapa emangnya?” tanya gadis itu, tidak tahu.
“Ya kalo gak boleh, berarti gak boleh. Kagak paham amat, sih?!
Bukan muhrim jadi gak boleh disatuin!”
“Tinggal minta dinikahin dia aja biar muhrim,” ucap Wangsa ngawur
seraya kembali memeluk cowok itu, tetapi dia dengan cepat langsung
menghindar.
“Gile bet lo! Sana pulang!” Abu mengusirnya, tetapi Wangsa menolak
dengan menggelengkan kepala.
“Gue ke sini bukan mau aneh-aneh, kok, gue cuma pengen kenalan
aja sama dia,” ungkap Wangsa.
“Oh, maksud lo mau kenalan sama si Aden?” tanya Abu yang
menyebut nama cowok di sampingnya.
Wangsa tersenyum lebar. “Namanya Aden?”
Abu menggeleng. “Namanya mah Garden, panggilannya Aden. Lo
santri baru ya di sini?”
“Iya, kenapa emang?” Gadis itu berkacak pinggang, terlihat
menantang Abu. “Masalah gitu buat lo?”
“Pantesan oon. Udah sana pulang!” usir Abu lagi.
“Dih?” Wangsa berdecih. “Songong banget lo!”
“Nama kamu siapa?” tanya Garden yang pada akhirnya bersuara,
membuat Wangsa girang.
“Wangsa, bub,” jawab Wangsa genit, lantas memberi cowok itu fly
kiss. “Muach!”
“Hoek.” Rasanya Abu ingin muntah.
Garden tersenyum dan mencoba berbicara halus pada gadis itu.
“Oke, Wangsa. Kamu bisa pergi dari sini sekarang? Laki-laki dan
perempuan gak boleh berduaan, nanti yang ketiganya adalah setan–”
Spontan Abu menunjuk dirinya sambil bertanya -tanya, “Gue gak
dianggap? Gue setan jadinya?”
“–jadi alangkah lebih baik, kamu kembali ke area santriwati lagi
sebelum ada yang melihat kamu di sini. Nanti kalau ketahuan sama
Ustadzah Ningsih kamu ada di sini, kamu bisa dihukum,” sambung
cowok itu yang terlihat sweet dan pengertian.
“Cium dulu dong, Bub!” Wangsa menunjuk pipinya, meminta dicium
Garden. Cowok itu menggeleng.
“Nanti saja kalau sudah muhrim,” jawab Garden.
“AAAAA!” Wangsa berteriak girang. “CIUS KAMU, BUB? AKSKSKSJ
MUACH! KUTUNGGU HALALMU!”
“Dih? Cewek stres!” umpat Abu pada cewek itu.
10. Jigong di Kaca
Seperti biasa, setiap menjelang sore hari, tepatnya waktu setelah
ashar, Garden akan pergi ke kampung sebelah untuk mengajar anak-
anak di sana mengaji.
Dengan sedikit ilmu yang dimilikinya, cowok itu mampu untuk
menjadi seorang guru agama di sebuah paud ‘Sore Ceria’ yang sudah
berjalan hampir kurang lebih 3 tahun lamanya di sana.
Tidak ada kata lelah sedikit pun untuk cowok itu mengajari anak-
anak tersebut yang masih dalam proses berkembang, walaupun
kadang beberapa dari mereka bandel, banyak bertanya dan sulit
mengikuti aturan yang ia tetapkan. Garden akan tetap sabar dan
ikhlas menjalankan profesinya.
Untuk materi yang cowok itu bawa kali ini adalah tentang akidah
dan akhlak dengan tema beriman kepada malaikat-malaikat Allah
Swt., ia memberi sedikit penjelasan tentang siapa itu malaikat dan
mengapa manusia biasa seperti kita harus tahu tentang malaikat-
malaikat utusan Allah Swt?
Garden menjelaskan kepada mereka bahwa, “Malaikat adalah
makhluk suci yang Allah Swt., ciptakan dari cahaya. Berbeda dengan
Jin dan manusia, malaikat tidak memiliki hawa nafsu. Malaikat
diciptakan oleh Allah Swt., hanya untuk taat dan bertasbih, seperti
yang telah dijelaskan pada surah Al-Anbiya ayat 19 yang artinya,
milik -Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan para malaikat-
malaikat yang di sisi-Nya, tidak pernah mempunyai rasa angkuh
untuk menyembah-Nya, tiada pula merasa letih. Kurang lebih seperti
itu.”
“Ada yang ingin ditanyakan sebelum lanjut ke penjelasan
berikutnya?” tanya Garden seraya tersenyum kepada murid-
muridnya yang setia mendengarkan penjelasannya, awalnya kelas
tampak hening, tetapi beberapa saat kemudian mulai ada yang
berani mengangkat tangannya.
“Pak Ustadz, saya mau bertanya!”
“Iya, silakan Farhan, apa yang ingin kamu tanyakan?” Garden
menghampiri mejanya.
“Kenapa Allah subh—” Farhan tampak berpikir sejenak. Sedangkan
Garden menunggu kalimat selanjutnya. “Sub apa ya tadi Pak
Ustadz?”
“Subhanallahu Wa Ta'ala maksudnya?” tanya Garden pada anak
kecil itu, barangkali salah.
“Iya, itu, Pak Ustadz! Kenapa Allah sub-ha-na-”
“Subhanallahu Wa Ta'ala,” Garden membantu anak itu yang tampak
mengeja dan mengingat-ingat.
“Ah, iya. Kenapa menciptakan Malaikat?”
“Pertanyaan yang bagus, Farhan. Baik, Pak Ustadz akan menjawab
menurut yang Pak Ustadz ketahui ya,” ucap Garden seraya kembali
ke depan untuk menjelaskan alasannya sambil coret-coret bor.
“Allah Swt., menciptakan malaikat bukan semata- mata tanpa alasan,
melainkan malaikat itu sendiri diciptakan untuk melaksanakan tugas
atau misi tertentu yang Allah Swt., berikan. Apa saja itu?” Garden
menulis sebuah tanda tanya yang diberi lingkaran. “Seperti yang
telah kita ketahui, bahwa jumlah malaikat yang diperkenalkan oleh
Allah kepada kita yaitu ada sepuluh beserta tugasnya, coba apa saja?
Ada yang tahu?” tanya cowok itu.
“Tahu, Pak Ustadz!” jawab mereka serentak.
“Yang pertama ada malaikat?” tanya Garden.
“JIBRIL!” jawab semuanya dengan kompak.
“Tugasnya apa malaikat Jibril?” tanya Garden kembali, “tugasnya
adalah untuk menyampaikan Wahyu kepada nabi dan rasul Allah
Swt.,” ucap cowok itu yang diikuti oleh murid-muridnya.
“Lalu yang kedua ada malaikat apa?” lanjut cowok itu sampai
terjawab semua ke sepuluh malaikat yang wajib diketahui beserta
tugas-tugasnya.
- アル・イクラス -
Sementara di sisi lain Wangsa sedang ikut Aisyah ke pasar untuk
belanja keperluan dapur. Padahal baru hari ke tujuh berada di
pesantren, gadis itu sudah merasa bosan dengan kegiatannya yang
monoton, jadi sesekali ia ingin jalan-jalan keluar seperti contohnya
menemani Aisyah belanja.
Jujur agak malas pergi ke pasar yang notabene-nya terkenal kotor,
becek, padat oleh orang-orang yang berlalu lalang, bau amis ikan dan
bau sampah yang menggunung di pojokan bercampur air comberan.
“Gils, gue mau muntah!” ucap Wangsa sembari menutupi hidungnya
saat melewati gunungan sampah di pojokan yang baunya
menyengat.
Usai mengelilingi pasar dan membeli semua keperluan dapur yang
dibutuhkan sesuai catatan yang diberikan oleh Umi Hasan, mereka
lantas segera kembali ke pesantren sebelum langitnya mulai
menggelap. Sedari awal datang ke pasar hingga pulang, Wangsa tak
ada niatan sedikitpun untuk membantu Aisyah meringankan
bebannya dengan membawakan kresek belanjaan yang dia bawa,
karena niatnya ikut hanya ingin jalan-jalan, walaupun hampir
muntah karena bau sampah.
Namun, saat melewati jalan pesawahan Wangsa berhenti sejenak, ia
menyipitkan matanya untuk memastikan seseorang yang tak sengaja
ia lihat.
“Garden bukan, sih?” Wangsa bertanya-tanya, dari jarak sejauh ini
cukup sulit untuk memastikan siapa orang tersebut, tetapi gadis itu
yakin bahwa orang tersebut adalah Garden jika dilihat dari
posturnya.
“Wangsa! Kok, malah diem?” Aisyah ikut berhenti dan menoleh pada
Wangsa yang jauh tertinggal. “Wangsa, ayo cepetan, sudah mau
Maghrib!”
“Hah? Lo duluan aja, ntar gue nyusul!”
“Bareng aja, takut ditanyain sama Umi!”
“Gue ada urusan dulu, sana lo pulang aja!”
“Ya udah, deh, urusannya jangan lama-lama, ya, sebelum adzan
Maghrib nanti harus sudah ada di pesantren!” ucap Aisyah yang
memberinya pesan sebelum kemudian lanjut berjalan meninggalkan
Wangsa sendirian di tengah-tengah jalan setapak.
Wangsa yang masa bodo langsung menghampiri Garden yang sedang
sibuk mengajar anak-anak di sebuah gubuk yang berada di ujung
pesawahan.
“Eh? Bener! WOI BUB, INI AKUU!” Wangsa berteriak sembari
menggedor-gedor kaca jendela saat lelaki yang ia lihat ternyata
adalah cowok yang ia suka.
Namanya Garden Alfaren, seorang santri paling tampan di pesantren
Al-Ikhlas, menurut gadis itu.
Sontak saja hal itu membuat semua perhatian seluruh muridnya
kompak beralih pada Wangsa.
Salah satu murid Garden menyeletuk, “Pak Ustadz, itu istrinya, ya?”
tanyanya dengan wajah polos. Dan Garden kini melihat Wangsa yang
memberi jigong pada kaca jendela itu untuk melukis gambar hati.
“ALOPYU, BUB!” Tak lupa tangannya juga membuat saranghae untuk
Garden sambil memberinya wink.
“CIE, CIE, PAK USTADZ!” ledek murid-muridnya. Sementara Garden
menggelengkan kepalanya melihat tingkah gadis itu di balik kaca
jendela.
11. Perkara Jodoh
Tanpa terasa sudah terhitung satu bulan Wangsa bersemayam di
pesantren Al-Ikhlas, ia sudah cukup paham dengan aturan dan
prosedur untuk menjadi santri Sholehah di pesantren ini, dan dalam
waktu satu bulan tersebut momen bertemu dengan sang pujaan
hatinya hanya bisa dihitung dengan jari.
Beruntung hari ini Wangsa mendapat jadwal piket masjid bersama
cowok itu, lumayan buat digodain. Kapan lagi coba bisa punya
timing bareng kayak gini? Walau konteksnya lagi bersih-bersih
masjid.
Ini adalah hari Minggu, Garden libur mengajar dan kebetulan
jadwalnya piket harian. Ternyata jodoh emang gak bakal ke mana,
begitulah kata Wangsa.
“Kiw, cowok!” Wangsa nempel di pintu layaknya seekor cicak
sembari memandangi Garden yang tengah mengelap kaca jendela.
“Lirik aku dong!”
Garden menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa menghiraukan
perkataan Wangsa, sembari terus melanjutkan kegiatannya
mengelap kaca jendela.
Gadis itu lantas mulai bernyanyi lagu alakadarnya dengan lirik yang
sudah ia ubah-ubah tanpa peduli terhadap kualitas suaranya, entah
bagus atau tidak, yang terpenting Garden dapat memahami liriknya.
“Kau jantanku yang ganteng, aw
Coba lihat aku di sini
Di sini ada aku yang cinta padamu
Oh-ho
Walau ku tahu, bahwa dirimu
Belum ada yang punya
Namun 'kan kutunggu
Sampai kau mau, wo-wo
Jangan, jangan kau menolak cintaku
Jangan, jangan kau ragukan hatiku
Lepas lah saja masa bujangmu
Ku siap jadi istrimu, jeng, jeng, jeng.”
“Dih?” Abu yang sedang memunguti sampah langsung bergidik.
“Suara lo gak enak, liriknya ngawur. Dan lo gak menarik buat dinotis
Aden!”
“Lebih gak menarik liat muka idiot lo, sih,” balas Wangsa seraya
memberinya tatapan yang sinis, membuat cowok itu menggerutu
karena sebal hingga terbitlah adu mulut di antara mereka.
“Berantem mulu dah, curiga kalian bakal jadi jodoh,” ucap Kana
sembarangan sembari terkekeh pelan di sela-sela kegiatannya yang
sedang menyapu lantai.
“Dih, amit, gue mah pengennya jodoh gue si Gia! Bukan cewek stres
kayak dia!” Abu menolaknya tanpa pikir panjang sambil baca-baca
mantra.
“Emangnya lo pikir gue juga mau gitu sama cowok modelan kayak
lo? Amit-amit, gue cuma mau doi!” balas Wangsa dengan memasang
wajah gondok.
“Siapa tau 'kan? Hidup itu penuh plot twist-nya.”
“Paok, lo ngomongnya jangan gitu, dong! Namanya itu mah lo nge-
doain, ege!” Abu mendengus gusar. “Mana mau gue modelan bebegig
kayak begitu!”
“Heh, Abu Lahab! Gue juga punya standar kali!” Wangsa melempar
cowok itu menggunakan kain lap. “Tetap Garden di era gempuran
bujang NCT! Inget doa-nya Abu Nawas, kalau gak jodoh, coba tolong
dipikir-pikir lagi Ya Allah, takutnya salah.”
“Itu namanya lo maksa!” semprot Kana seraya memukul pelan
pantat gadis itu menggunakan gagang sapu yang ada di
genggamannya.
“Terkabulnya sebuah doa adalah dimulai dari kita yang senantiasa
membujuk Allah,” jelas Wangsa sok iye, padahal mencontek kata-
katanya Aisyah.
“Lo mah jodoh gue aja udah, jangan mau jadi jodohnya si Garden.
Ribet, hafalan terus ntar!” sambar Nabawi dari arah kamar mandi.
“Yeuu, justru bagus itu, namanya ngebimbing!”
“Hei, ayo istirahat dulu. Ini ada apa, sih?” tanya Aisyah yang baru
saja datang dengan membawa minuman dingin serta gorengan
bakwan. “Masih kecil sudah bahas jodoh segala. Ada-ada saja.
Bukannya piket yang bener, malah ngobrol.”
“Saya juga nggak ngerti dengan pembahasan mereka, Aish, padahal
yang namanya jodoh dan kematian sudah ada yang atur,” jawab
Garden seraya menghampiri Aisyah untuk beristirahat sembari
menikmati jus jeruk dingin buatannya.
“Termasuk kamu yang ditakdirkan untuk menjadi jodohku, Bub,”
ucap Wangsa, sangat percaya diri. Lantas ikut mengambil segelas jus
jeruk dingin.
“Jangan terlalu berharap pada saya, saya masih banyak
kekurangannya. Belum tentu juga Allah menjodohkan kita. Belajar
dulu saja memperbaiki diri kamu, nanti kalau sudah saatnya pasti
jodoh akan datang dengan sendirinya. Gak perlu takut, jodoh gak
akan tertukar dengan milik orang lain,” jelas Garden sembari
tersenyum pada Wangsa.
“Sakit gak sih? SAKITNYA TUH DI SINI, BUB!” ucap Wangsa sembari
memegangi dadanya sedramatis mungkin begitu mendengar ucapan
cowok itu yang secara tidak langsung menolaknya dengan halus.
Melihat itu, Kana langsung menciprat wajah cantik Wangsa
menggunakan air sabun untuk mengepel.
“Udah gak usah lebay, mending bantu gue ambilin pel sana cepetan!”
titah Kana pada gadis itu yang sedari tadi tidak memberikan
kontribusi apapun pada piket hari ini selain sibuk menggoda Garden.
“Ngoks ah!” Wangsa berekspresi layaknya babi, kemudian segera
pergi mengambilkan Kana pel. Satu bulan berada di sini tak
membuat gadis itu tobat menjadi cegil, justru malah makin-makin.
“KELAKUAN MASA DEPAN LO, NOH, DEN!”
Garden hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menikmati
bakwan yang dibawa Aisyah. Sementara dalam diamnya, Aisyah
tersenyum samar memandangi cowok di sampingnya.
“Eh? Astagfirullah, Aish!” Aisyah yang tersadar lantas memalingkan
wajahnya ke arah yang berlawanan sambil mengusap-usap matanya.
“Kenapa, Aish?” tanya Garden yang melihat perempuan itu tiba-tiba
bersikap aneh.
“Gak papa, cuma kelilipan,” jawabnya bohong.
“Oh.” Garden menganggukkan kepalanya.
12. Ngupil atau Kentut?
Waktu sore gini emang paling enak ngadem di bawah pohon mangga
sambil makan rujak jambu asam pedas, tapi sayang Wangsa cuma
sendirian, tidak ada yang menemaninya. Aisyah sibuk bantuin Umi
Hasan masak di dapur, Gia lagi sakit, dan Kana dijemput pulang
sebentar oleh keluarganya karena kakak laki-lakinya akan menikah
besok lusa.
Sebenarnya Wangsa disuruh oleh Aisyah untuk menjaga Gia yang
sedang sakit, tapi mumpung Aisyah gak ada, Gia juga lagi istirahat,
daripada gabut, mending gadis itu nongkrong di bawah pohon
mangga sembari menikmati angin sore.
Tapi, eh tapi, lebih gabut lagi nongkrong sendirian kayak gini, feel
gabutnya lebih kental, gak ada yang nemenin buat ngobrol,
setidaknya kalau ada hp sih gak bakal gabut, karena bisa sambil
scroll BoTak. Sayangnya, hp gadis itu di razia karena ketahuan
Ustadzah Ningsih nonton situs porno di kamar.
Ada aturan tidak tertulis bahwa membawa hp ke dalam ruang
lingkup pesantren sangat dilarang, eh Wangsa malah dengan santai
gelap-gelapan nonton wleo wleo di kamarnya. Udah hp-nya di sita,
dapet hukuman pula suruh bersih-bersih toilet selama satu minggu
ke depan. Sehingga hal itu menjadi pelajaran untuk Wangsa
kedepannya, kalau nanti punya hp baru mending nonton
begituannya di tempat yang tidak pernah dijangkau oleh Ustadzah
Ningsih aja, supaya aman dari razia dan hukuman.
Prinsip yang Wangsa pegang selama ini, jangan dulu tobat sebelum
bisa cipokan sama Januar, tapi karena udah pindah haluan ke
Garden, maka gadis itu mengubah prinsipnya untuk tidak dulu tobat
sebelum menjadi istri seorang Garden Alfaren.
Ngomong-ngomong soal Garden, panjang umur ternyata cowok itu
tiba-tiba lewat di depannya dengan pakaian yang rapi dan tak lupa
sembari membawa beberapa buku serta alat tulis miliknya. Wangsa
lantas mengusap-usap dagunya ala-ala detektif Conan, dapat gadis itu
tebak, sepertinya Garden mau pergi mengajar ke kampung sebelah.
Karena Wangsa anaknya aktif, ia langsung bangkit berdiri dari acara
lesehannya untuk menghadang jalan cowok itu. Tiada kata malas
ataupun terlanjur bila sudah menyangkut urusan Garden, apapun itu
rintangannya, Wangsa akan tetap semangat 45.
Sementara Garden hanya bisa beristighfar saat melihat gadis itu
muncul begitu saja di depan matanya dengan wajah yang sumringah
bak mendapat sembako gratis dari kelurahan.
“Hai, calon suamiku!” sapa Wangsa super ceria dengan senyuman
selebar harapan mertua, lantas menawari cowok itu rujaknya.
“Apakah kamu mau rujak yang sedang diriku makan ini, atau tidak?”
Garden tersenyum sembari menggeleng pelan. “Terimakasih, tapi
maaf, saya gak suka pedas.”
“Nih!” Wangsa menunjuk-nunjuk bibirnya.
“Kenapa?” Garden tidak mengerti, yang ia lihat bibir gadis itu agak
sedikit dower. “Bibir kamu bintitan?”
Wangsa menggeleng cepat. “Kalo kamu gak suka pedes, kan masih
ada bibir aku, cipok aja sepuas kamu!” Lantas gadis itu
memonyongkan bibirnya.
“Astagfirullahadziim,” ucap Garden yang langsung menunduk sambil
mengusap-usap dadanya. Ujian terberat dalam hidupnya adalah
bertemu dengan Wangsa. Bukan karena imannya yang lemah, tapi
karena kepalanya sudah cukup pusing setiap kali meladeni tingkah
gadis itu yang diluar angkasa.
“Mwehehe...” Wangsa cuma nyengir tanpa dosa.
“Ya sudah, saya pamit dulu ya,” ucap cowok itu seraya
menganggukkan kepalanya pada Wangsa sebagai bentuk hormat
menutup percakapan.
Wangsa senyum-senyum kesemsem. “Ceritanya kamu lagi simulasi
pamitan sama calon istri, nih?”
“Ha?” Garden bengong sebentar, kemudian memilih
mengabaikannya. “Saya duluan, assalamualaikum.”
“Tunggu, Bub!” panggil Wangsa.
Garden berbalik badan. “Ya, kenapa?”
“Mau ikut!” cicit gadis itu sambil manyun, persis seperti anak kecil
yang sedang merayu ibunya.
“Jangan, nanti yang ada kamu ganggu saya yang lagi mengajar anak-
anak.” Garden menolaknya, ia tidak ingin kejadian hari itu terulang
lagi, di mana Wangsa masuk ke dalam kelas tanpa seizinnya,
kemudian membubarkan mereka begitu saja.
“Kamu ini suudzon terus sama aku.”
“Lebih baik kamu di sini saja, jagain Gia, katanya lagi sakit 'kan?”
kata Garden pada gadis itu.
Wangsa menggeleng. “Pokoknya aku mau ikut!”
Garden menghela napasnya, ia sedang malas untuk bicara banyak
hari ini, jadi terserah gadis itu saja. Ia memilih untuk melanjutkan
langkahnya, diikuti oleh Wangsa di belakangnya yang seperti anak
ayam.
Cukup lama mereka saling diam, tiba-tiba Wangsa bersuara, “Bub,
kenapa kamu mau jadi guru?”
“Karena saya ingin berbagi ilmu yang saya miliki.”
“Kenapa harus guru paud?” tanya Wangsa lagi, ia hanya ingin tahu
alasannya. “Emangnya gak pusing tiap hari ketemu anak-anak?
Apalagi kalo bandel.”
“Enggak, karena saya suka anak-anak,” jawab Garden yang berhasil
membuat Wangsa membelo.
“Are you seriously?” Garden mengangguk. “Bub, mumpung ada
sawah, bikin anak dulu sabi, tuh!” Wangsa menunjuk sawah yang
mereka lewati.
Garden kembali dibuat mengusap dadanya sambil mengucap
istighfar. “Perbanyak istighfar, Wangsa, kayaknya software otak
kamu ada yang eror.”
Gadis itu mendengus sebal. “Katanya tadi suka anak-anak, diajakin
bikin anak malah gak mau!”
“Belum saatnya,” jawab Garden sambil tersenyum.
“Kalo kita nikah, kamu mau punya anak berapa?” tanya Wangsa
berandai-andai, itung-itung kuat apa nggak nanti push up
berkeringat bareng cowok itu.
“Satu hal yang harus kamu tahu, kita gak mungkin menikah. Lebih
baik fokus ke diri kamu, daripada mengejar saya yang belum tentu
jodoh kamu.”
Wangsa tersenyum, lantas membalasnya sesuai apa kata Aisyah,
“Aku percaya tentang usaha yang gak akan pernah mengkhianati
hasil, dan jodoh itu nggak ada yang tahu, tapi sebagai manusia kita
bisa berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, benar?
Kita punya hak merubah takdir.”
Garden ikut tersenyum, ia pernah mendengar kata -kata itu dari
Aisyah, persis seperti yang Wangsa katakan. “Tetap jadi diri kamu
apa adanya.”
“Aing macan!” ucapnya bak orang kesurupan.
“That's right, I like what you see as it is!”
“Apakah ini lampu hijau?” Gadis itu membelo.
“No! You're attractive when you are yourself.”
“Dan kamu tetap ganteng walaupun lagi ngupil!”
“Saya gak pernah ngupil di depan kamu!”
“Tapi kentut pernah?” tanya Wangsa.
“Mungkin, hanya Allah yang tahu.”
13. Aku, Kau dan Pohon
Seiring berjalannya waktu, hubungan Wangsa dan pujaan hatinya
semakin dekat. Gadis itu menjadi lebih sering ikut Garden mengajar
setiap sore.
Awalnya ia pikir mengajar anak kecil itu melelahkan, sebab di masa-
masa pertumbuhan, mereka sangat aktif dengan yang namanya
bermain. Jadi gadis itu berpikir bahwa mereka semua pasti bandel,
namun nyatanya anak-anak itu justru patuh pada aturan.
Wangsa juga melihat sisi lain dari Garden semenjak sering mengikuti
cowok itu mengajar di paud ‘Sore Ceria’. Ternyata cowok itu tidak
secuek yang ia lihat, Garden justru memiliki sifat humoris dan ceria.
Dia memang tegas, tetapi pembawaannya yang santai membuat
Wangsa berpikir bahwa hidupnya terlihat membosankan dan tidak
bisa diajak bercanda.
Gadis itu belajar banyak hal dari Garden, termasuk cara menghadapi
anak kecil yang sering menangis karena tidak bisa hafalan. Garden
memiliki metode belajar yang cukup menarik dan unik, serta mudah
untuk dipahami. Tak jarang pula, cowok itu sering melakukan ice
breaking apabila murid-muridnya terlihat mengantuk saat sedang
belajar materi.
Seperti saat ini, Garden sedang mengajarkan murid -muridnya
bagaimana caranya bermain, tetapi otak tetap berpikir. Bahkan
Wangsa yang tadinya ikutan suntuk kini ikut dibuat melotot karena
ice breaking dari Garden yang menguji kesabarannya. Mereka
tertawa bersama dan kembali semangat belajar.
Satu lagi yang membuat mereka selalu semangat adalah karena
Garden selalu mengapresiasi usaha murid-muridnya, seperti
memberi mereka hadiah apabila di antara mereka ada yang bisa
menjawab pertanyaan dari Garden. Namun jika jawabannya salah,
maka wajahnya akan dicoret pakai bedak.
Sejauh yang Wangsa lihat, Garden tidak pernah marah-marah saat
sedang mengajar sampai urat -urat di lehernya menonjol. Bahkan
teriak pun tidak apabila mendapati muridnya selalu berisik, hanya
dengan tatapan cowok itu mampu untuk membuat murid-muridnya
langsung diam sehingga kelas pun seketika hening sampai cowok itu
mulai bersuara.
“Alhamudillah, kelas kita hari ini sudah selesai. Semoga apa yang
sudah kita pelajari pada hari ini dapat bermanfaat, mohon maaf
apabila dari Bapak ada salah kata atau tindakan. Manusia tidak lepas
dari yang namanya salah, mari kita tutup dengan membaca doa
bersama-sama,” ucap Garden setiap selesai mengajar, yang
kemudian dilanjut dengan membaca surah Al-Ashr bersama murid-
muridnya.
“Terima kasih, Pak Ustadz!” tutup murid-muridnya serentak,
kemudian mereka menghampiri Garden dan Wangsa untuk
mencium tangan keduanya.
“Hati-hati ya di jalannya, semoga kelak bisa jadi anak-anak yang
Sholeh dan Sholehah semuanya.” ucap Garden dengan tulus sembari
mengusap rambut setiap murid yang mencium tangannya.
Sementara Wangsa yang berdiri di sampingnya hanya bisa
tersenyum memandangi Garden tanpa berkomentar apapun, dalam
posisi seperti ini gadis itu malah sedang lancarnya membayangkan
jika mereka adalah sepasang pengantin dan anak -anak yang
bersalaman itu ibarat tamu undangan yang tengah memberi ucapan
selamat kepada mereka.
“Aamiin ya, Mas, semoga pernikahan kita diberi keberkahan oleh
Allah,” balas Wangsa pura-pura terharu sambil mengusap-usap
ujung matanya.
Garden langsung menoleh. “Ha? Maksudnya?”
“Ceritanya lagi simulasi kalo kita nikah nanti.”
Garden menghela napasnya, lantas menggeleng -gelengkan
kepalanya. “Perbanyak istighfar, halu terus gak bakal bikin kamu
sukses jadi orang.”
“Ini bukan soal kesuksesan, tapi soal bagaimana hati aku yang
menginginkan kamu buat jadi suami di masa depan aku,” kata
Wangsa yang memberi cowok itu kode secara terang-terangan biar
peka.
Garden kembali menggelengkan kepalanya seraya membereskan
buku-bukunya. “Bocah ingusan kayak kamu harus perbanyak
istighfar. Menikah apalagi di usia muda tidak seindah yang kamu
bayangkan.”
“Tapi aku bisa gaya helikopter!” ucap Wangsa yang langsung muter-
muter. “Bisa tuing-tuing kayak gini juga, kamu suka gak? Dijamin
repeat order, deh!”
“Sesungguhnya Allah itu menciptakan manusia dengan otak yang
waras, kalau tahu kamu gak waras kayak gini mending jadi pohon
aja,” ujar Garden sebelum pergi meninggalkan kelas.
“TUNGGUIN DONG! KOK, CALON ISTRI SENDIRI MALAH
DITINGGALIN!” Wangsa berteriak seraya menyusul langkah cowok
itu keluar dari kelas.
“Soalnya kamu sekarang sudah jadi pohon.”
“Hah?” Wangsa bengong. “Eh, ha'ah lah.”
14. Rencana Pak Kiyai
Garden tidak tahu kenapa tiba-tiba Umi Hasan meminta dirinya
untuk ke rumah Pak Kiyai bersama Aisyah. Mungkin ada hal penting
yang akan mereka bicarakan? Garden sendiri kurang begitu
mengerti.
Setibanya di sana, Umi Hasan langsung menyuruh mereka berdua
untuk duduk terlebih dahulu. Lalu wanita itu menawari mereka
ingin minum apa dan Garden pun dengan sopan menolaknya, tetapi
Umi Hasan memaksa, sehingga ia akhirnya menyebut teh hangat,
begitu pula dengan jawaban Aisyah.
Sembari menunggu Umi Hasan yang sedang membuatkan teh hangat
untuk mereka, Garden yang pada dasarnya sedikit kaku untuk
memulai pembicaraan memutuskan untuk melihat-lihat koleksi foto
yang terpajang di dinding daripada harus dibuat mati kutu di dekat
lawan jenisnya.
Sementara Aisyah yang mendapat julukan cewek pendiam di
pesantren Al-Ikhlas juga ikutan kikuk bila sudah berhadapan dengan
Garden, tak ada yang bisa perempuan itu lakukan selain memilin
ujung kerudungnya sembari menghitung domba.
“Kalian sudah menunggu dari tadi?” Tiba-tiba Pak Kiyai datang
membuyarkan lamunan Aisyah yang sedang lancar, entah sudah
berapa domba yang telah ia hitung, yang pasti semua dombanya kini
sudah kabur begitu mendengar suara Pak Kiyai.
“Iya, Abah,” jawab Aisyah seraya berdiri untuk mencium tangan Pak
Kiyai, begitu pula dengan Garden yang tadinya sibuk melihat-lihat
foto di dinding langsung menyalami tangan Pak Kiyai, cowok itu lalu
kembali duduk di tempatnya.
“Apa kabar, Jang Aden, Teh Aish?” tanya Pak Kiyai.
“Alhamdulillah kami baik, Pak Kiyai,” jawab Garden sembari
menunduk, cowok itu masih sering merasa canggung setiap kali
berhadapan dengan Pak Kiyai.
Aisyah lantas ikut mengangguk dengan diiringi pertanyaan yang
sama, “Abah sendiri apa kabar?”
“Seperti yang kalian lihat, Abah sehat wal'afiat,” jawab Pak Kiyai
dengan senyum bangga seraya merentangkan tangannya seakan
menunjukkan bahwa dirinya terlihat sehat, tidak penyakitan.
Aisyah tersenyum. “Syukur alhamdulillah, Abah.”
“Bagaimana dengan pekerjaan kamu, Den?” tanya Pak Kiyai yang
melanjutkan basa-basinya, semenjak orang tua Garden meninggal 9
tahun yang lalu, Pak Kiyai kini tak lagi melihat Garden sebagai
santrinya, melainkan sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
Apapun yang Garden lakukan, Pak Kiyai selalu ingin tahu. Ia juga
mengerti bagaimana cowok itu masih membutuhkan bimbingan dari
orang tuanya untuk perkembangan dan rencana masa depannya
nanti. Maka dari itu, Pak Kiyai berharap bisa menjadi ayah pengganti
yang tepat untuk Garden. Bahkan, Pak Kiyai juga sempat meminta
pada cowok itu untuk menyebutnya ‘Abah’ sama seperti Aisyah,
tetapi Garden menolak karena masih merasa canggung.
Garden tersenyum. “Alhamdulillah berjalan dengan lancar selama
Aden menjabat sebagai guru agama di sana, Pak. Terima kasih sudah
membantu Aden.”
Sejujurnya, Garden tidak akan pernah lupa dengan jasa Pak Kiyai
yang telah membantunya, karenanya cowok itu bisa mendapatkan
pekerjaan walaupun hanya menjadi seorang guru agama di sebuah
paud kecil, tetapi setidaknya Garden bisa hidup mandiri dengan
gajinya serta bisa membantu menyumbang dana untuk
pembangunan gedung baru di Al-Ikhlas.
Sama seperti namanya, Al-Ikhlas, pesantren ini di bangun dengan
rasa keikhlasan dari ayah Aisyah. Sejak berdiri pada tahun 2012
pesantren ini tidak pernah memungut biaya sepeserpun untuk orang
-orang yang ingin menimba ilmu di sini, dan setiap dana yang
pesantren ini dapatkan tentunya dari sumbangan para orang-orang
besar yang dengan ikhlas memberikan sebagian harta mereka untuk
perkembangan pesantren ini, salah satunya Gavan, pria itu
menyumbangkan 60% dari hartanya untuk kemajuan pesantren ini
agar menjadi lebih baik.
“Semoga ilmu yang telah kamu berikan kepada anak-anak dapat
bermanfaat ya. Jangan pernah bosan untuk berbagi ilmu yang kamu
punya.”
Garden menganggukkan kepalanya. “Aamiin, Pak Kiyai. Aden pasti
akan melakukan yang terbaik, menurut pengetahuan Aden, untuk
mereka.”
“Kalau Aish bagaimana? Apa ada kendala saat revisian?” tanya Pak
Kiyai pada Aisyah, kisahnya sama seperti Garden. Orang tua Aisyah
bercerai karena ibunya selingkuh, ayahnya lalu membangun
pesantren ini, tetapi kemudian pria itu meninggal karena
kecelakaan, sehingga kini diteruskan oleh Pak Kiyai selaku adik dari
ayahnya Aisyah.
Sementara Pak Kiyai yang selama pernikahannya tidak pernah
dikaruniai anak akhirnya memutuskan untuk mengangkat Aisyah
sebagai anak mereka dan berharap semoga kelak Aisyah bisa
menjadi anak yang Sholehah serta disayang banyak orang.
“Sejauh ini masih aman, Abah. Aish minta doanya semoga proses
penerbitannya nanti lancar,” ucap Aisyah tetap rendah hati. Menjadi
seorang penulis merupakan cita-citanya sejak kecil, beruntung Pak
Kiyai selalu membantunya dalam segala proses mewujudkan cita-
citanya hingga tanpa Aisyah sangka novelnya dilirik oleh penerbit
besar.
“Pasti, Abah akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak
Abah,” ucap Pak Kiyai kemudian.
Aisyah tersenyum. “Terima kasih, Abah.”
“Terima kasih, Pak Kiyai,” susul Garden.
Setelah itu keadaan jadi canggung, tetapi bibir Pak Kiyai tetap komat-
kamit cerita dari mulai A hingga Z, sampai akhirnya Umi Hasan pun
datang dengan membawakan mereka dua cangkir teh hangat dan
secangkir kopi hitam yang ikut nyempil sendirian.
“Maaf, ya, nunggu lama, tadi baru masak airnya dulu,” kata Umi
Hasan sembari meletakan teh hangat serta kopi hitam tersebut di
atas meja.
“Tidak apa-apa, Umi, terima kasih sebelumnya. Maaf apabila kami
merepotkan,” ucap Garden.
Umi Hasan tersenyum seraya mengambil duduk di samping Pak
Kiyai. “Sama-sama. Silakan diminum teh-nya, mumpung masih
hangat.”
Tampak di tempatnya Pak Kiyai tengah berpikir sejenak seakan
tengah mencari kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada
mereka.
“Begini, Nak–” Kalimat itu tersampaikan dengan baik oleh Pak Kiyai,
namun berhasil membuat Garden yang sedang menyesap teh
hangatnya tersedak seketika.
15. Peran Antagonis
Ternyata yang ingin dibicarakan oleh Pak Kiyai dan Umi Hasan
adalah rencana perjodohan yang akan mereka lakukan pada Garden
dan Aisyah, tentunya tidak asal sembarangan, mereka juga melihat
dulu apakah Garden pantas untuk menjadi calon imam Aisyah atau
tidak? Dan tentunya semua kembali pada cowok itu, karena yang
berhak memutuskan untuk menerima atau tidak adalah pihak laki-
laki.
“Kenapa harus saya, Umi?” tanya Garden pada wanita setengah
umur itu. Bukannya ia tidak mau, tetapi cowok itu belum siap untuk
membangun rumah tangga di umurnya yang masih muda.
Cowok itu tidak ingin pernikahannya gagal seperti yang dialami oleh
kakak laki-lakinya. Garden masih ingin menyusun masa depannya
dengan rapi, agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman di dalam
pernikahan yang berusaha ia bina dengan baik.
Lagipun, Garden belum memiliki jenjang karir yang memadai untuk
hidupnya. Ia tidak ingin mengajak susah wanita yang kelak akan
mendampinginya.
Bukannya Garden tidak ingin berjuang bersama, tetapi cowok itu
cukup realistis dengan keadaan sekitarnya. Kalau gak ganteng,
minimal mapan, supaya tidak membuat anak orang hidup susah.
Tampak Umi Hasan menghela napasnya, lalu tersenyum pada
Garden. “Kalau kamu merasa keberatan, kamu bisa menolaknya.
Umi tidak memaksa kamu untuk menerima ini semua.”
Garden diam, merenungi hati dan egonya yang ternyata bertolak
belakang. Hatinya berkata tidak, sementara egonya tidak ingin
melihat Pak Kiyai dan Umi Hasan sedih karena penolakannya, pun
Garden juga tidak ingin melukai hati tulus Aisyah karena ia menolak
untuk dijodohkan dengan perempuan itu.
Munafik kalau Garden tidak tertarik pada Aisyah, tetapi pada
kenyataannya, hati Garden memang tidak menginginkan perempuan
itu untuk menjadi seorang istri serta ibu dari anak-anaknya kelak.
Lebih tepatnya, Garden belum kepikiran ke sana.
“Tapi, Umi dan Abah cuma ingin yang terbaik untuk kamu. Karena
Umi sama Abah sudah menganggap kamu seperti anak kami, begitu
pula dengan Aisyah. Umi sama Abah ingin sekali kamu dan Aisyah
bisa terus bersama suatu hari nanti, Umi cuma percaya sama kamu,
kalau kamu bisa menjaga Aisyah,” ujar Umi Hasan yang diangguki
kepala oleh Pak Kiyai.
Garden melirik Aisyah di sampingnya. “Kamu bersedia, Aish, apabila
kita menjalani ta'aruf?”
“Insya Allah, Kang,” jawab Aisyah, lalu menunduk.
Garden menghela napasnya, matanya terpejam sebentar kemudian
tersenyum pada Pak Kiyai dan Umi Hasan sembari berkata, “Maaf,
Pak Kiyai, Umi, Aden belum bisa memutuskannya sekarang. Aden
meminta waktu untuk meyakinkan diri Aden atas rencana
perjodohan ini. Apabila nanti sudah siap, Aden akan langsung
memberi kabar pada kalian. Sekali lagi, Aden mohon maaf, Umi, Pak
Kiyai!”
“Tidak apa-apa, Nak Aden, kami mengerti. Kami tidak meminta
jawabannya sekarang. Kamu juga pasti berharap yang terbaik untuk
diri kamu, dan kamu punya kehendak untuk menentukan siapa
pilihan kamu,” ucap Pak Kiyai seraya tersenyum.
Garden kembali melirik Aisyah. “Maaf, ya, Aish.”
“Gak papa, Kang. Itu haknya Akang,” balasnya.
Garden merasa canggung sekarang, pasalnya ia sudah menganggap
Aisyah sebagai adiknya sendiri. Garden takut melihat Aisyah kecewa
karena dirinya tidak langsung menjawab kesiapannya sekarang.
Sejujurnya Garden memiliki pertimbangan berat atas perjodohan ini,
salah satunya ada Wangsa. Kalian tidak salah baca, kok, Wangsa
memang menjadi pertimbangan Garden atas semua ini.
Aisyah memang tipe ideal semua laki-laki untuk dijadikan istri yang
memiliki sayap surga, tetapi Wangsa memiliki sisi unik yang bisa
membuat Garden merasa nyaman dan tenang ketika ada gadis itu di
sampingnya, walaupun rada takut. Soalnya, Wangsa suka kesurupan
tiba-tiba.
Bukan karena Garden menyukainya, tetapi bagi cowok itu, Wangsa
memiliki nilai plus yang sebesar buah zaitun apabila dibandingkan
dengan Aisyah.
Lumayan, kalau kata Wangsa, kosong satu.
“Kang!” panggil Aisyah saat Garden hendak melangkahkan kakinya
pulang ke area santri. Pembicaraan mengenai perjodohan ini sudah
selesai meski ia belum memberi jawabannya.
Garden membalikkan badan. “Ya, kenapa?”
“Kalau misalnya Akang merasa keberatan, Akang bisa menolaknya.
Gak perlu dipaksa,” kata Aisyah.
“Siapa yang maksa?” tanya cowok itu. “Saya hanya meminta waktu
untuk meyakinkan diri saya, Aish.”
“Iya, Kang. Maksud Aish, kalau misalkan Akang tidak mau
menjalankan ta'aruf dengan Aish, tidak apa-apa, Kang. Akang berhak
memilih siapa yang pantas untuk Akang. Jangan khawatir, Abah dan
Umi baik-baik saja kalaupun Akang menolaknya,” ucap perempuan
itu yang seakan tahu apa yang sedang Garden pikirkan sejak tadi
mengenai ini.
Aisyah hanya tidak ingin Garden merasa terbebani atas perjodohan
yang dilakukan oleh Pak Kiyai dan Umi Hasan hanya karena alasan
akrab sejak lama. Takutnya, hal itu membuat Garden membencinya.
“Kamu mencintai saya?” tanya Garden kemudian.
Aisyah menunduk sembari kepalanya mengangguk, lantas berkata,
“Maaf, Kang, tapi Aish gak papa.”
“Itu hak kamu, saya gak bisa larang,” ujar Garden.
“Aish minta maaf, Kang!” Aisyah merasa tidak enak. Bisa-bisanya ia
menaruh rasa pada cowok itu yang padahal hanya menganggapnya
sebagai adik.
“Santai, Aish. Tidak perlu meminta maaf, perasaan itu ada pasti
karena terbiasa,” kata Garden seraya tersenyum. “Saya yang
harusnya minta maaf sama kamu karena belum bisa balas perasaan
kamu.”
“Gak papa, Kang. Itu juga hak Akang,” terangnya.
“Saya akan berusaha membalas perasaan kamu kepada saya, tapi
beri saya waktu berproses ya?”
Aisyah mengangguk pelan. “Terima kasih, Kang.”
Di belakangnya, Wangsa menguping pembicaraan mereka dari balik
tembok. Cewek itu menggerutu pada Garden. “Anak kampret,
bukannya dicuekin biar sakit hati malah dikasih lampu kelap-kelip!”
Kesel banget.
Tapi tunggu, peran Wangsa sebagai orang ketiga mulai kembali
berlaku. Kalau Januar bisa diambil oleh Devina, jangan harap
mencintai Garden Nice Try juga, untuk kali ini segala cara akan ia
lakukan!
Wangsa lantas tersenyum smirk ala-ala antagonis.
“Lo ngapain di situ senyum-senyum sendiri?” tanya Nabawi yang
hendak pergi ke warung, mendapati Wangsa sedang senyum-senyum
bak orang gila.
Wangsa melirik Nabawi. “AING MACAN, HAHH!”
“Dih stres!” Mimpi apa cowok itu bisa ketemu roh macan di sini.
“Ngejar gak sih modelan kayak lo?”
“Lo mau gue kejar?” tanyanya menakut-nakuti.
“Ya udah kejar, gue diem di sini,” kata Nabawi.
“Ogah, gue mau tidur. Bye!” Malah Wangsa yang takut jadinya, gadis
itu lantas memilih kembali ke kamarnya daripada berlama-lama di
sini bisa gila.
Nabawi tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dasar cewek! Gue jebolin lama-lama!”
“ASTAGFIRULLAH DOSA SIA, NABAWI! FAK CEUK AING TEH!” kata
Wangsa seraya mengangkat jari tengahnya ke atas yang ditujukan
untuk cowok itu.

Anda mungkin juga menyukai