Anda di halaman 1dari 3

Bangkit

‘Andai dulu aku nggak pernah merengek buat ikut ke sini, pasti aku nggak akan nanggung
beban seberat ini’

“Hey”

Suara sekaligus tepukan di pundak itu berhasil mengagetkan seorang gadis dari lamunannya,
mata cokelatnya bergerak untuk mencari siapakah yang telah mengganggu pikirannya tersebut.

“Kak Rani!” seru gadis itu ketika mendapati wajah seorang wanita yang tak lain adalah
kakaknya

“Ziva lagi mikirin apa sih?” tanya seorang wanita berusia 22 tahun itu pada adik semata
wayangnya.

“Nggak kok, nggak lagi mikirin apa-apa” balas Ziva sambil menggelengkan kepalanya.

“Yaudah, kamu buruan tidur ya, besok kan harus berangkat ke sekolah” pinta Rani pada Ziva.

"Iya iya" balas Ziva, kemudian ia beranjak naik ke tempat tidurnya.

Melihat adiknya beranjak tidur, wanita itu segera keluar dari kamar adiknya. "Selamat tidur"
ucap sang kakak. Mendengar suara kakaknya, Ziva hanya tersenyum simpul di balik selimut tebal
yang menutupi seluruh tubuhnya.

Keesokan harinya di pagi hari, entah apa yang merasuki Ziva, tiba-tiba gadis itu berangkat ke
sekolah pada dini hari. Kakaknya pun dibuat heran dengan kebiasaan adiknya yang berubah.

"Tumben kamu berangkat pagi, biasanya juga mepet terus" tanya kakaknya.

"Gak tau nih, lagi mood aja" balas ziva singkat, "Ziva berangkat dulu ya" pamit Ziva pada
kakaknya.

"Iya, hati-hati" balas kakaknya sambil mengoleskan selai pada roti.

Sesampainya di sekolah, Ziva tak langsung masuk ke dalamnya. Dipandangnya gerbang


sekolah di depannya terlebih dahulu, 'Asik juga berangkat pagi gini' pikirnya dalam hati, setidaknya ia
tak akan melakukan drama lagi dengan satpam sekolah pagi ini. Setelahnya, ia segera masuk ke
dalam sekolah yang dikenal orang-orang sebagai tempat para titisan Albert Einstein itu.

Sepi, itulah yang dapat menggambarkan suasana kelas Ziva pagi ini. Gadis itu kemudian
mengeluarkan sebuah map dari tasnya, di dalam map tersebut, ada beberapa lembar kertas yang
membuatnya pusing akhir-akhir ini. Mata Ziva memandang lekat kertas-kertas itu.

Dulu ia berpikir bahwa dengan bersekolah di sini, akan membuatnya semakin pintar, tapi
nyatanya salah. Untuk sekarang, mendapatkan nilai sempurna tak semudah ketika ia masih duduk di
bangku SMP. Belum lagi tugas-tugas yang menumpuk membuat gadis itu semakin pusing.

Tanpa disadari, satu persatu temannya telah memasuki ruang kelas. Gadis itu baru tersadar
ketika Pak Rudi, guru kimia di kelas itu memasuki kelas dan mengucapkan salam. Seperti biasa,
pelajaran kimia akan terasa sangat membosankan bagi Ziva, sebab itulah ia tak pernah
memerhatikan Pak Rudi ketika pelajaran berlangsung. Bahkan Ziva sendiri heran mengapa ia bisa
diterima di sekolah yang anak-anaknya sangat ambisius ini, padahal ia sendiri sangat malas belajar.

Saat ini Ziva hanya memikirkan seberapa lama lagi bel istirahat berbunyi. Beberapa jam
kemudian bel istirahat pun berbunyi, raut wajah gadis itu kembali bersemangat setelah sebelumnya
suntuk mendengarkan guru di depannya menjelaskan.

Gadis itu pun segera beranjak pergi menuju kantin, perutnya sudah berteriak kelaparan
sejak pelajaran berlangsung.

"Pak, pesen baksonya satu dong" ucapnya kepada abang penjual bakso di kantin sekolahnya
dan dibalas anggukan oleh Bapak tersebut.

Ziva pun segera mencari tempat duduk untuk ia makan, hari ini kantin memang ramai. Bola
mata gadis itu bergerak mencari tempat duduk yang kosong. Dilihatnya ada satu tempat di depan
Tari, teman sekelasnya. Ziva pun menggerakkan kakinya menuju tempat duduk itu.

"Hai, Boleh kan aku duduk disini?" tanya Ziva kepada Tari, tak ada sahutan dari gadis
bernama Tari tersebut. Tanpa mempedulikannya, Ziva pun segera menduduki tempat yang kosong
itu. Ia segera menghabiskan makanan favoritnya itu.

Masih di tempat yang sama, dilihatnya Tari yang masih tak berkutik. Sedari tadi gadis itu
memang makan sambil membaca buku. Matanya seperti terkunci pada buku yang dibacanya
tersebut. Ziva pun mencoba tak mempedulikan gadis itu dan segera kembali ke kelas.

Setelah kembali ke kelas, Ziva pun mengeluarkan bindernya. Niatnya untuk menyalin PR pun
tertunda ketika tiba-tiba sebuah kertas kecil terjatuh dari dalam binder tersebut. Segera diambilnya
kertas itu.

'Semangat belajarnya biar nanti diterima di SMAN 5 Surabaya' Tulisan di kertas itu membuat
Ziva mengingat bagaimana dulu ia belajar dengan keras agar bisa diterima di sekolahnya saat ini. Kali
ini ia baru tersadar bahwa kerja kerasnya dulu seakan sia-sia mengingat jika sekarang ia selalu
bermalas-malasan.

'Mulai saat ini, Ziva janji bakal belajar yang rajin kayak dulu waktu SMP, Ziva janji nggak
bakal males-malesan lagi. Bangkit, Ziva!' batin Ziva, kemudian senyum simpul pun terlukis di wajah
gadis itu.

Anda mungkin juga menyukai