Anda di halaman 1dari 2

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL DAN WANITA ZINA

Artikel ini dirangkum dari rubrik "Risalatikum" yang ada di Majalah As-Sunnah
No.08/III/1419-1999, yang dijawab oleh Ustadz Aunur Rafiq Ghufran yang juga
sebagai pengasuh pondok pesantren Al-Furqan, Gresik, Jawa Timur.

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang sedang


mengandung (hamil), baik dari hasil zina maupun tidak, baik laki-laki tersebut yang
menzinahi maupun yang tidak ?

Penjelasan :

Hukum menikahi wanita yang sudah mengandung (hamil) atau sudah diketahui
keadaannya bahwa wanita tersebut telah berzina, adalah batal dan tidak sah. Orang
Islam dilarang menikahi wanita yang hamil sampai wanita itu melahirkan.
Dalilnya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu 'iddah mereka itu sampai mereka
melahirkan kandungannya." (ath-Talaq:4)

IMAM ASY-SYANQITHI rahimahulloh berkata : "Adapun pendapat yang paling aku


sukai dari kalangan ahli ilmu (ulama) yaitu pendapat yang mengatakan bahwa
wanita yang harmil karena zina, tidak boleh dinikahi kecuali sesudah melahirkan...."
Kemudian beliau membawakan surat ath-Talaq :4 seperti diatas. [Tafsir Adhwa' al-
Bayan : V/416]

IBNU QUDAMAH rahimahulloh menambahkan : "Iddahnya wanita yang zina ialah


seperti wanita yang ditalak suaminya." [Al-Mughni : IX/564]

Menurut pendapat yang paling kuat, laki-laki yang menzinahi wanita yang kemudian
hamilpun tidak boleh menikahinya melainkan setelah wanita tersebut melahirkan
kandungannya.

Hal ini seperti disebutkan oleh IBNU MAS'UD radiallohu 'anhu bahwa :
"Barangsiapa menzinahi seorang wanita, kemudian ia menikahinya setelah itu, maka
keduanya melakukan perzinaan terus menerus."

Pendapat ini dipakai pula oleh IMAM MALIK rahimahulloh, beliau mengatakan
bahwa tidak diperkenankan (sekalipun laki-laki yang menzinahinya) menikahi
wanita yang dizinahi sehingga wanita itu mengalami haid dan suci dari haidnya,
karena menikahi wanita yang baru saja dikumpuli haram hukumnya.

Diantara keharamannya yaitu, tercampurnya air mani dari hasil perzinaan dengan air
mani dari pernikahan yang sah. [lihat Jami'ul Ahkamil Qur'an oleh Abu Abdillah Al-
Qurthubi : XII/114].
Jika ternyata laki-laki (yang tidak menzinahi wanita tersebut) baru mengetahui
setelah menikah bahwa wanita tersebut telah hamil atau telah rusak kegadisannya,
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin rahimahulloh menjawab bahwa :
"Jika ternyata kemudian diketahui bahwa wanita itu telah hamil duluan, maka
pernikahannya rusak (batal). Namun jika ternyata yang ketahuan adalah bahwa
wanita tersebut sudah tidak gadis lagi, maka nikahnya tidak rusak (sah), karena
kegadisan bisa hilang bukan karena zina. Dalam hal ini suami perlu memberikan
penjelasan kepada isterinya."

Jawaban ini dipertegas dengan riwayat dari Sa'id bin al-Musayyab bahwa ada
seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Setelah laki-laki itu mengumpuli
isterinya, ternyata didapati isterinya telah hamil terlebih dahulu. Hal ini kemudian
dilaporkan kepada Nabi sholallohu 'alaihi wasalam. Lalu beliau menceraikan
keduanya dan menyuruh si suami memberi mas kawin kepada isterinya, dan
memerintahkan pula agar wanita tersebut didera 100 kali. [Hadist riwayat Sa'id bin
Manshur : I/198 al-Mughni : IX/561].

IBNU QUDAMAH rahimahulloh mengatakan bahwa : "Apabila ada wanita yang


berbuat zina, maka kaum muslimin yang mengetahuinya diharamkan untuk
menikahinya kecuali jika memenuhi salah satu dari yang disyaratkan berikut ini :
'Telah habis masa iddah dan telah melahirkan kandungannya bila ia hamil."

IBNU QUDAMAH rahimahulloh berhujjah dengan sabda Rasululloh Sholallohu 'alaihi


wasallam : "Barangsiapa yang beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan hari
akhir, maka janganlah mencampurkan air maninya pada rahim wanita dengan air
mani laki-laki lain." [Diriwayatkan oleh Abu Dawud : I/497 dan Ahmad dalm
Musnadnya : IV/108,109, atau dalam al-Mughni : IX/561].

IMAM ASY-SYANQITHI rahimahulloh berkata : "Adapun madzhab yang paling kuat


bagi kami dalam masalah ini ialah hendaknya seorang muslim tidak menikah
kecuali dengan wanita yang afifah (terjaga kehormatannya/tidak zina."

Rasululloh Sholallohu 'alaihi wasallam bersabda : "Wanita yang hamil tidak boleh
dinikahi sehingga ia melahirkan, dan wanita zina yang belum hamil tidak boleh
dinikahi sehingga ia mengalami haid." [Diriwayatkan oleh Abu Dawud : I/498]

Sumber : Dinukil dari Majalah As-Sunnah No.08/III/1419-1999,

Anda mungkin juga menyukai