Anda di halaman 1dari 20

IHDAD , Berkabung atas Kematian Yang Disayangi

Posted on 12 September 2010 by muhammadqosim








1 Vote

Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan
luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada
hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat
Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-
ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia,
disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah
ihdad itu?
PENGERTIAN IHDAD
Ihdad maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu,
oleh seseorang yang ditinggalkan oleh orang dekat yang dikasihinya karena
kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Perlu ditekankan disini, ihdad
berbeda dengan iddah, meskipun terkadang masa ihdad sama dengan masa
iddah. Pembahasan iddah akan datang tersendiri Insya-Allah.
Bila dikatakan seorang istri berihdad atas kematian suaminya, maknanya si istri
yang sedang menjalani masa ihdad karena meninggalnya suaminya, menahan
diri dari mengenakan perhiasan seluruhnya baik berupa make up, wewangian
(parfum), dan selainnya serta segala hal yang menjadi pendorong untuk
melakukan jima. (Al-Minhaj 9/350, Fathul Bari 9/600, Asy-Syarhul Mumti 5/712,
Nailul Authar 6/343.)
Sebagian ulama melekatkan pengertian ihdad pada istri dengan
pengertian:ihdad adalah istilah bagi tenggang waktu yang dijalani seorang istri di
mana dalam masa itu ia harus menahan diri/menunda untuk menikah lagi
setelah wafatnya sang suami atau setelah bercerai dengannya, baik
perhitungannya dengan kelahiran kandungan, dengan quru`, atau dengan bulan.
(Fathul Bari, 9/582, Subulus Salam 3/307)
HUKUM IHDAD
Zainab bintu Abi Salamah berkata, Aku masuk menemui Ummu Habibah
radhiyallahu anha istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, saat datang berita
kematian ayahnya Abu Sufyan radhiyallahu anhu dari negeri Syam. Pada hari
ketiga setelah meninggalnya sang ayah, Ummu Habibah meminta minyak wangi
lalu mengusapkannya pada kedua sisi wajahnya dan kedua pergelangannya.
Demi Allah!, katanya, Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap
wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda di atas mimbar:


Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu
suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Zainab berkata lagi, Kemudian aku masuk menemui Ummul Mukminin Zainab
bintu Jahsyin radhiyallahu anha ketika saudara laki-lakinya meninggal dunia.
Lalu ia minta diambilkan minyak wangi untuk diusapkan pada dirinya.Ia pun
berkata, Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja
aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas
mimbar:
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari. Kecuali bila yang meninggal itu
suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Zainab melanjutkan penjelasannya, Aku pernah mendengar ibuku, Ummu
Salamah radhiyallahu anha, berkata, Datang seorang wanita menemui
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, Wahai Rasulullah, suami
putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada
matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya? Tidak, jawab
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali. Setelahnya
beliau bersabda: Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun
dulu di masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya
selama satu tahun. (HR. Al-Bukhari no. 1281, 1282, 5336 dan Muslim no. 3709)
Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan
sepuluh hari (sama dengan masa iddahnya -admin). Demikian pendapat
mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka, kecuali pendapat berbeda yang
dinukilkan dari Al-Hasan Al-Bashri [1] dan Asy-Syabi. Namun pendapat
keduanya ganjil, menyelisihi sunnah hingga tak perlu ditengok. Kata Al-Imam
Ahmad rahimahullahu, Tersembunyi perkara ihdad ini bagi keduanya.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, Dalam hadits di atas ada dalil
wajibnya berihdad bagi wanita yang menjalani iddah karena wafatnya suami.
Perkara ini secara umum disepakati walaupun ulama berselisih dalam
perinciannya. Ihdad ini wajib bagi setiap wanita yang menjalani iddah
karena kematian suami, baik ia telah berkumpul dengan suaminya atau
pun belum, si wanita masih kecil atau sudah besar, perawan (ketika
dinikahi suaminya) atau sudah janda, wanita merdeka atau budak, wanita
muslimah atau wanita kafir. Ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafii
rahimahullahu dan jumhur. Abu Hanifah rahimahullahu [2] dan selainnya dari
kalangan ulama negeri Kufah, Abu Tsaur rahimahullahu, dan sebagian Malikiyah
menyatakan, Tidak wajib berihdad bagi seorang istri dari kalangan ahlul kitab
(Yahudi atau Nasrani, pent.. Karena ihdad hanya khusus bagi istri yang
muslimah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah. Dalam
hadits di atas dikhususkan penyebutan wanita yang beriman (mukminah.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata: Wajibnya ihdad bagi wanita yang meninggal
suaminya diketahui dari kesepakatan ulama yang membawa hadits tentang
ihdad kepada hukum wajib. Walaupun dalam lafadz hadits tersebut tidak ada
yang menunjukkan wajibnya, akan tetapi mereka sepakat membawa hadits
tersebut kepada hukum wajib. Bersamaan pula adanya pendukung dari sabda
beliau Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits lain seperti hadits Ummu
Salamah radhiyallahu anha [3], hadits Ummu Athiyyah radhiyallahu anha
tentang celak, minyak wangi, dan pakaian perhiasan, serta pelarangan beliau
darinya. Wallahu alam. (Al-Minhaj, 9/351-352)
Iddah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari,
sebagaimana tersebut dalam ayat:


Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-
istri maka hendaklah para istri tersebut menangguhkan dirinya (beriddah
selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Adapun bila si istri yang ditinggal mati oleh suaminya itu dalam keadaan hamil,
tentang masa iddahnya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur
ulama sendiri berpendapat iddahnya sampai dengan melahirkan. (Al-Jami li
Ahkamil Qur`an, 3/115)
Bila seorang wanita yang berstatus budak dinikahkan oleh tuannya dengan
seorang lelaki, lalu si lelaki meninggal dunia maka wanita tersebut wajib berihdad
berdasarkan keumuman ayat Al-Baqarah: 234. Permasalahan ihdad ini berkaitan
dengan hak suami. Dan ihdad merupakan perkara yang mengikuti iddah. (Asy-
Syarhul Mumti, 5/717
Juga bagi istri kafir yakni dari kalangan Yahudi atau Nasrani. Apabila ada wanita
Yahudi atau Nasrani yang dinikahi oleh seorang muslim, lalu si suami meninggal
dunia maka si istri wajib berihdad. Karena ihdad itu mengikuti iddah walaupun si
istri kafir. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Taala (Al-
Baqarah: 234) [Asy-Syarhul Mumti, 5/715]. Jumhur (yakni yang berpendapat
bahwa ihdad berlaku bagi setiap istri yang ditinggal mati suaminya, baik si istri
muslimah ataupun non muslimah-red) memberi jawaban dengan menyatakan
bahwa dalam hadits disebutkan orang yang beriman karena hanya orang
berimanlah yang bisa mengambil buah dari pembicaraan sang penetap syariat,
mengambil manfaat dengannya dan terikat padanya. Karena itulah, sasaran
pembicaraan dalam hadits dikaitkan dengannya.
Dalam Fathul Bari disebutkan, jawaban jumhur dalam hal ini adalah bahwa
lafadz beriman kepada Allah Subhanahu wa Taala disebutkan sebagai
penekanan untuk menyatakan sangat dicercanya hal tersebut (berihdad lebih
dari tiga hari karena kematian selain suami). Sehingga tidak bisa difahami bahwa
ihdad hanya berlaku bagi wanita yang beriman. Sebagaimana kalau kita
menyatakan, Ini adalah jalan kaum muslimin . Sementara jalan tersebut
terkadang dilalui pula oleh selain kaum muslimin. (9/602). Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa yang dimaukan dengan hadits:

adalah untuk memberi hasungan dan anjuran kepada


wanita agar tidak melakukan perbuatan demikian. Bukan maksudnya membatasi
hukumnya hanya untuk wanita beriman saja sementara yang lain tidak masuk di
dalamnya. Sebagaimana kalau kita mengatakan, Tidak mungkin seorang yang
dermawan menghinakan tamunya. Kita maksudkan dengan kalimat ini sebagai
hasungan untuk memuliakan tamu. (Asy-Syarhul Mumti, 5/716
Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah
melahirkan anak untuk tuannya, pent.), tidak pula bagi budak perempuan yang
tuannya meninggal. Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan
suami mereka. Sementara dalam hadits disebutkan dengan lafadz:


kecuali bila yang meninggal suaminya. (Al-Mughni, kitab Al-Iddah, fashl La
Ihdada ala Ghairiz Zaujat
Tidak ada Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak
Ulama sepakat tidak ada ihdad juga istri yang ditalak raji (talak satu dan dua
atau talak yang bisa dirujuk kembali oleh suaminya, pent.).
Adapun terhadap istri yang ditalak tiga (talak bain, mereka berbeda pendapat.
Atha`, Rabiah, Malik, Al-Laits, Asy-Syafii, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah
berpendapat tidak ada ihdad baginya. Sedangkan Al-Hakam, Abu Hanifah,
ulama Kufah, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad
bagi istri yang ditalak tiga. Asy-Syafii rahimahullahu juga memiliki pendapat
seperti ini, namun merupakan pendapat yang lemah dari beliau.
Mereka yang berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak tiga, berdalil
dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:


Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berihdad terhadap mayat.
Kata Al-Imam Ash-Shanani rahimahullahu, Dalam ucapan Nabi:

ada
dalil tentang tidak adanya ihdad bagi istri yang ditalak. Bila talaknya raji maka
perkaranya disepakati. Adapun kalau talaknya bain, jumhur ulama berpendapat
tidak ada ihdadnya. (Subulus Salam, 3/313
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan kebolehan berihdad
hanya disebabkan kematian seseorang (

) setelah mengharamkannya.
Ihdad Kematian bagi Selain Kematian Suami
Dalam hadits di atas juga terdapat dalil bolehnya berihdad karena kematian
kerabat (yakni selain kematian suami, baik kematian ayah, ibu saudara laki-laki,
anak dan sebagainya) selama tiga hari dan tidak boleh (haram) jika lebih.
Batasan waktu tiga hari ini dibolehkan karena syariat memerhatikan keadaan
jiwa dan tabiat seorang manusia yang jelas berduka bila ditinggal mati oleh
orang yang dikasihinya hingga ia tak berselera berdandan, memakai pakaian
bagus dan sebagainya. Karena itulah Ummu Habibah radhiyallahu anha dan
Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu anha memakai wewangian untuk keluar dari
ihdadnya. Dan secara jelas keduanya menyatakan bahwa mereka memakai
wangi-wangian bukan karena suatu kebutuhan. Ini sebagai isyarat bahwa bekas-
bekas kesedihan masih ada pada mereka, namun karena syariat tidak
membolehkan berihdad lebih dari tiga hari, maka tidak ada yang melapangkan
mereka kecuali berpegang dengan perintah agama. (Fathul Bari 9/601, 602, Asy-
Syarhul Mumti 5/712, Nailul Authar 6/3434, Zadul Maad 4/220, Subulus Salam
3/312)
Waktu tiga hari tersebut hukumnya tidak wajib namun sekedar mubah saja, yakni
asalnya diharamkan akan tetapi diperbolehkan semata-mata untuk waktu tiga
hari saja. Bahkan bila si wanita meninggalkannya karena ingin menyenangkan
suaminya maka hal itu lebih baik, sehingga ia tetap berdandan dan
berpenampilan bagus di hadapan suaminya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, Ihdad karena kematian
selain suami tidaklah wajib karena adanya kesepakatan mereka (ahlul ilmi)
dalam hal ini, sehingga bila suaminya mengajaknya jima, tidaklah halal baginya
untuk menolaknya dalam keadaan seperti itu. (Fathul Bari, 3/146
Berikut ini ada pelajaran dari kisah Ummu Sulaim radhiyallahu anha
sebagaimana diceritakan oleh putranya, Anas bin Malik radhiyallahu anhu:

:
Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia. Maka Ummu Sulaim
berpesan kepada keluarganya, Jangan kalian sampaikan kepada Abu Thalhah
berita kematian anaknya hingga aku sendiri yang akan menyampaikannya.
Anas berkata: Datanglah Abu Thalhah, Ummu Sulaim pun menghidangkan
makan malam untuk suaminya. Suaminya pun makan dan minum. Kemudian
Ummu Sulaim berhias untuk suaminya dengan dandanan paling bagus dari
dandanan yang pernah dilakukan sebelumnya. Hingga suaminya tertarik untuk
menggaulinya. Tatkala Ummu Sulaim melihat suaminya telah kenyang dan telah
selesai dari hasratnya, ia membuka pembicaraan, Wahai Abu Thalhah, apa
pendapatmu bila ada suatu kaum meminjamkan barang mereka kepada suatu
keluarga, kemudian kaum tersebut meminta kembali barang yang
dipinjamkannya. Apakah keluarga tersebut berhak menahan barang pinjaman
itu? Tentunya tidak, jawab Abu Thalhah. Kalau begitu, bersabarlah dan
harapkan pahala atas kematian putramu, jelas Ummu Sulaim. Kata Anas:
Marahlah Abu Thalhah dan ia berkata, Engkau biarkan aku hingga berlumuran
janabah seperti ini baru engkau ceritakan tentang kematian anakku! (Keesokan
harinya Abu Thalhah pergi menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
lantas menceritakan kejadian yang telah menimpanya. Semoga Allah
memberkahi kalian berdua pada malam kalian itu, doa beliau Shallallahu alaihi
wa sallam. Dan ternyata Ummu Sulaim mengandung (dari hubungannya dengan
suaminya malam itu. (HR. Muslim no. 6272
Kematian anak jelas menggoreskan duka yang teramat dalam. Tapi lihatlah apa
yang dilakukan seorang wanita shalihah yang diberitakan sebagai ahlul jannah
oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Ummu Sulaim radhiyallahu anha.
Ia tetap berdandan untuk suami serta melayaninya, karena itulah yang wajib
dilakukannya sebagai seorang istri. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Aku masuk ke dalam surga, lalu aku dengar suara orang berjalan, maka
kutanyakan, Siapa itu? Mereka menjawab, Al-Ghumaisha bintu Milhan, ibu
Anas bin Malik. (HR. Muslim no. 6270
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, Ummu Sulaim namanya Ar-Rumaisha`
dan Al-Ghumaisha`. Namun yang masyhur Al-Ghumaisha`. Sedangkan Ar-
Rumaisha nama Ummu Haram saudara perempuannya. (Al-Minhaj, 15/229)
LAMA IHDAD WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMINYA
Wanita yang tidak hamil
Lamanya masa ihdad adalah selama masa iddah seorang wanita yang ditinggal
mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari (malam dan siangnya-admin)
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Dan sepuluh hari yang
disebutkan dalam hadits:

mencakup pula malam-malamnya. (Fathul Bari


9/603)
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, Ini merupakan madzhab kami dan
madzhab ulama secara keseluruhan. Kecuali pendapat berbeda yang
dihikayatkan dari Yahya ibnu Abi Katsir dan Al-Auzai yang menyatakan lamanya
empat bulan sepuluh malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada
hari yang kesepuluh (karena menurut pendapat ini, yang terhitung hanyalah
malam tidak menyertakan hari-red). Sementara pendapat kami dan jumhur, si
wanita tidak halal hingga ia masuk malam yang kesebelas (setelah berlalu hari
kesepuluhnya-red. (Al-Minhaj, 9/352)
wanita hamil
Bila si istri dalam keadaan hamil, maka masa iddah dan ihdadnya berakhir
dengan melahirkan kandungannya, walaupun ia melahirkan sesaat sebelum
jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya saat itu telah berakhir dan halal
baginya untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf
dan khalaf (Al-Jami li Ahkamil Qur`an 3/115, Al-Hawi 11/235, Al-Minhaj 9/348,
Al-Mughni kitab Al-Iddah, fashl Aqsamul Mutadat, Al-Muhalla bil Atsar 10/41),
dengan dalil ayat berikut ini:


Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4)
Dan juga berdalil dengan kisah Subaiah Al-Aslamiyyah radhiyallahu anha.
Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu anha menceritakan:


Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subaiah. Ia sedang hamil saat
suaminya meninggal dunia. Setelah melahirkan ia dipinang oleh Abus Sanabil
bin Bakak, namun Subaiah menolak untuk menikah dengannya. Lalu Abus
Sanabil berfatwa kepada Subaiah, Demi Allah, tidak sepantasnya engkau
menikah dengannya [4] sampai engkau beriddah dalam waktu yang paling akhir
(paling panjang dari dua waktu yang ada [5]. Maka Subaiah pun berdiam
selama sepuluh malam. Kemudian ia mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, untuk bertanya tentang perkaranya dan ternyata Nabi bersabda,
Menikahlah. (HR. Al-Bukhari no. 5318)
Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Masud mengabarkan bahwa ayahnya
menulis surat kepada Umar bin Abdilllah Ibnul Arqam Az-Zuhri
memerintahkannya agar bertanya kepada Subaiah Al-Aslamiyyah tentang
haditsnya dan tentang apa yang difatwakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
dalam perkaranya ketika ia minta fatwa. Maka Umar bin Abdillah pun membalas
surat Abdullah bin Utbah mengabarkan bahwa Subaiah berkisah,
dulunya ia bersuamikan Sad bin Khaulah yang bernisbah kepada Bani Amir bin
Lu`ai. Suaminya termasuk shahabat yang ikut dalam perang Badar. Ketika haji
wada, suaminya meninggal dunia dalam keadaan ia sedang mengandung. Tidak
berapa lama setelahnya ia melahirkan. Sesucinya dari nifasnya, ia pun
berdandan untuk menerima orang-orang yang mau melamarnya. Ketika itu
masuk Abus Sanabil bin Bakak, seorang lelaki dari Bani Abdid Dar, menemuinya
sambil berkata memberi fatwa, Kenapa aku melihatmu berdandan? Mungkinkah
engkau ingin menikah lagi? Padahal demi Allah, engkau tidak boleh menikah
hingga berlalu waktu empat bulan sepuluh hari. Subaiah berkata, Mendengar
ucapan demikian darinya, maka pada sore harinya aku menemui Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam untuk bertanya tentang hal tersebut. Ternyata beliau
memfatwakan bahwa aku telah halal (selesai dari masa iddah) ketika aku
melahirkan kandunganku, dan beliau memerintahkan agar aku menikah jika ada
keinginan ke sana. (HR. Al-Bukhari no. 3991, 5319 dan Muslim no. 3706)
Sepanjang masa iddahnya, si istri harus berihdad hingga selesai melahirkan
kandungannya, sama saja baik masanya pendek atau panjang. Bila ia telah
melahirkan maka tidak ada ihdad setelahnya (Al-Minhaj 9/352, Al-Muhalla 10/72,
Asy-Syarhul Mumti 5/714.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menetapkan bahwa Subaiah telah selesai
iddahnya dan halal untuk menikah tatkala ia telah melahirkan dan Nabi tidak
mensyaratkan agar Subaiah suci dulu dari nifasnya, karena nifas sebagaimana
haid bukanlah penghalang untuk melangsungkan akad nikah. Ibnu Syihab
rahimahullahu berkata, Aku memandang tidak apa-apa si wanita menikah
seselesainya dari melahirkan, walaupun darah nifasnya masih keluar. Hanya
saja suaminya yang baru tersebut tidak boleh menggaulinya sampai ia suci dari
nifasnya. (Al-Minhaj 9/349)
Masa iddah disertai ihdad yang harus dijalani seorang istri yang ditinggal mati
suami ini terhitung masa yang pendek bila dibandingkan dengan keadaan wanita
di masa jahiliahnya bangsa Arab. Di mana seorang istri yang ditinggal mati
suami harus berkabung selama setahun, sebagaimana telah disinggung dalam
hadits tentang ihdad di atas.
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan tentang
iddah wanita di jaman jahiliah dengan pernyataan:


Dulunya salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya dengan
menetap di rumahnya yang paling buruk dengan mengenakan pakaiannya yang
paling jelek atau: ia mengenakan pakaiannya yang paling jelek di dalam
rumahnya selama satu tahun. Apabila lewat seekor anjing, ia melempar kotoran
hewan kemudian ia keluar. (HR. Al-Bukhari no. 1280 dan Muslim no. 3711)
Ibnu Daqiqil Ied rahimahullahu menyatakan, dalam hadits di atas ada isyarat
pendeknya waktu ihdad seorang istri bila dibandingkan dengan iddah dan ihdad
para istri di masa jahiliah, sehingga sepatutnya si istri lebih bersabar
menjalaninya. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-Iddah
Sebenarnya masa iddah dan ihdad selama setahun tersebut terus berlanjut
setelah datangnya Islam, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Taala:


Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan
istri-istri, hendaklah mereka berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah
hingga setahun lamanya (Al-Baqarah: 240)
Namun kemudian ayat ini dihapus dengan ayat yang sebelumnya, yaitu:


Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan
istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama
empat bulan sepuluh hari (Al-Baqarah: 234)
Lihat Tafsir Ibni Katsir 1/388, Al-Hawil Kabir 11/232.
SIFAT-SIFAT IHDAD: YANG HARUS DITINGGALKAN DAN DIJAUHI
Ummu Athiyyah radhiyallahu anha berkata:


Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang
meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Selama ihdad itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wangi-wangian,
dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali pakaian ashbin.
Rasulullah memberikan rukhshah bagi kami ketika suci dari haid, apabila salah
seorang dari kami mandi suci dari haidnya ia boleh memakai
sedikit kust azhfar. (HR. Al-Bukhari no. 313, 5341 dan Muslim no. 3722)
Ummu Salamah radhiyallahu anha, ia berkata: Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:


Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan pakaian
yang muashfar dan pakaian yang dicelup dengan tanah berwarna merah
(mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan perhiasan, tidak boleh
menyemir rambut (ataupun memacari kuku, dan tidak boleh bercelak. (HR. Abu
Dawud no. 2304, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Abi Dawud)
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi
wanita yang berihdad.
Pertama: Bersolek/menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai kosmetik
pada wajah, memakai itsmid (celak).
Kedua: Pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah
misalnya muashfar, muzafar, celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang
memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
Ketiga: Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah
rahimahullahu berkata, Perkataan Atha` rahimahullahu, Dibolehkan memakai
perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas, tidaklah
benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga
perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk
menggaulinya. (Al-Mughni, Kitab Al-Idad, Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah
Wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian,
pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup
dengan warna merah (muashfar, dan yang dicelup dengan tanah merah
(mumasysyaqah) serta perhiasan.
Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu
Salamah radhiyallahu anha:

.
Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ia
berkata, Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki
matanya? Tidak, jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebanyak dua
atau tiga kali. (HR. Al-Bukhari no. 5336 dan Muslim no. 3709)
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, Wajib bagi wanita yang berihdad untuk tidak
memakai celak baik karena ada ataupun tidak ada kebutuhan darurat, sekalipun
hilang kedua matanya (buta. Larangan ini berlaku malam dan siang. (Al-
Muhalla, 10/63)
Ada hadits yang membolehkan memakai celak bila darurat sebagaimana berita
dari ibu Ummu Hakim bintu Usaid. Ketika suaminya wafat dan masih dalam
masa ihdad ia mengeluhkan sakit pada matanya, maka ia pun memakai celak
itsmid. Lalu diutusnya bekas budaknya untuk menanyakan hal itu kepada Ummu
Salamah radhiyallahu anha. Ummu Salamah radhiyallahu anha pun berkata,
Janganlah engkau bercelak dengannya kecuali bila memang terpaksa karena
sakit yang sangat. Engkau boleh bercelak pada malam hari namun harus engkau
hapus pada siang hari. Ummu Salamah radhiyallahu anha lalu berkata:


Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah
wafat sementara aku memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau
bertanya, Apa yang kau pakai pada matamu, wahai Ummu Salamah? Ini cuma
shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung wewangian, jawabku. Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam berkata, Shabr itu membuat warna wajah
bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu
malam dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu
dengan minyak wangi dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena
hina` itu (berfungsi) sebagai semir (mewarnai rambut dan kuku, pent.. Ummu
Salamah berkata, Kalau begitu dengan apa aku meminyaki rambutku, wahai
Rasulullah? Beliau menjawab, Daun sidr dapat engkau pakai untuk memolesi
rambutmu. (HR. Abu Dawud no. 2305
Akan tetapi hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah karena sanadnya munqathi
(terputus) dan di antara para perawinya ada orang-orang yang majhul. Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dhaif Abi Dawud.
Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak
sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya. Adapun
pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada siang hari,
sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana diterangkan di
atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah Subhanahu wa
Taala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk
menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu wa Taala? Seperti
obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada alasan bagi yang
berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata karena sakit mata Insya
Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain. Wallahu taala alam bish-
shawab.
Tidak Boleh Berwangi-wangian
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, Dari ucapan Ummu Athiyyah,
Kami tidak boleh memakai wewangian menunjukkan haramnya minyak wangi
bagi wanita yang sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang
dinamakan wewangian dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.
(Nailul Authar, 6/346)
Pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ummu Athiyyah adalah

yakni semacam buhur/dupa/wewangian dan sebagian ulama mengatakan,


Azhfar adalah nama kota yang ada di Yaman. Ada pula yang mengatakan nama
buhur (Fathul Bari, 1/537). Menggunakan buhur setelah mandi suci dari haid
dibolehkan karena tujuannya untuk menghilangkan bau yang tidak sedap di
sekitar daerah yang terkena darah haid, bukan tujuannya untuk berwangi-wangi.
(Al-Minhaj, 10/357)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyatakan bahwa hadits Ummu
Athiyyah di atas menjadi dalil dibolehkannya menggunakan sesuatu yang dapat
menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk berhias
atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut kepala atau
selainnya. (Fathul Bari, 9/609)
Al-Imam Malik rahimahullahu menyatakan bahwa wanita yang ditinggal mati
suaminya boleh berminyak dengan zaitun dan semisalnya selama tidak
mengandung minyak wangi. (Al-Muwaththa`, 2/599)
Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek
Dalam Asy-Syarhul Mumti (5/720-721), Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan bahwa di antara yang dilarang
bagi wanita yang berihdad adalah, At-tahsin yaitu mempercantik diri dengan
memakai hina` (inai/daun pacar) atau dengan bunga mawar, pemerah pipi/bibir,
celak, atau yang lainnya. Apa saja yang dapat mempercantik (anggota)
tubuhnya, tidak boleh dipakainya sampaipun membaguskan kuku dengan kutek
misalnya. Apa saja yang teranggap mempercantik dan memperbagus dirinya
tidak boleh dipakai/digunakannya (sampai selesai ihdadnya, pent..
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada urf (adat kebiasaan
setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang
bentuknya bagaimana dan penampilan bagaimana yang teranggap berhias.
(Taisirul Allam, 2/354
Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah
Ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ummu Athiyyah di atas:

merupakan dalil dilarangnya seluruh pakaian yang dicelup


dalam masa ihdad, dengan warna apa saja terkecuali apa yang dikecualikan
dalam hadits, yaitu

. Demikian yang dinyatakan Al-Imam Ash-Shanani


rahimahullahu dalam Subulus Salam (3/314).

adalah kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya


kemudian dicelup, setelahnya ditenun dalam keadaan terikat. Hasilnya berupa
kain berwarna namun masih tersisa warna putih tidak terkena celupannya
(Fathul Bari, 9/608). Pada kain ini ada warna hitam dan putih. (Ihkamul Ahkam fi
Syarhi Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-Iddah
Terkadang dari hadits di atas diambil pengertian bolehnya memakai pakaian
yang tidak dicelup dalam masa ihdad, yaitu pakaian yang berwarna putih.
Sebagian pengikut mazhab Malikiyah melarang pakaian putih yang mahal yang
digunakan untuk berpenampilan, demikian pula warna hitam yang bagus.
(Ihkamul Ahkam fi Syarhi Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-Iddah
Pakaian yang dilarang

(muashfar) yaitu pakaian yang dicelup dengan


ushfur (safflower). Menurut Asy-Syaukani, warnanya menjadi merah
sebagaimana dalam Nailul Authar (syarah hadits 560, Kitabul Libas, Bab Nahyur
Rijal anil Muashfar. Sedangkan menurut sebagian sumber, terkadang
menjadi kekuningan. (ed)
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:


Nabi melarang wanita yang suaminya meninggal, memakai minyak wangi dan
berhias. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 5/204 dan
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 7/43)
Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu berkata, Adalah Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma memerintahkan wanita yang suaminya meninggal agar menjauhi
minyak wangi/wewangian. Atha` juga mengatakan, Wanita yang suaminya
meninggal dilarang memakai minyak wangi dan berhias. Maka hati-hati si wanita
dari mengenakan setiap pakaian yang bila dilihat akan dikomentari, Ia telah
berhias. Dan tidak boleh baginya mengenakan pakaian yang dicelup, tidak pula
perhiasan. (Riwayat Abdurrazzaq no. 12111
Bila dikatakan, Ini pakaian biasa, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan, boleh
dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki model atau
berwarna/bercorak. Tapi bila dikatakan, Ini pakaian untuk berhias, berarti wajib
dijauhi selama ihdad, baik pakaian tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya
untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang, rok, syal, dan sebagainya.
(Asy-Syarhul Mumti, 5/720
Tidak Boleh Memakai Perhiasan
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, Wanita yang sedang berihdad karena
kematian suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa
cincin, gelang kaki atau yang selainnya. (Al-Muwaththa`, 2/599)
Sama saja baik perhiasan itu dikenakan pada kedua telinga, pada kepala, leher,
tangan, kaki atau di atas dada, seluruh macam perhiasan tidak boleh
dikenakannya. (Asy-Syarhul Mumti, 5/721
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, Seluruh yang dipakai wanita
sebagai perhiasan dalam rangka mempercantik diri tidak boleh dipakai oleh
wanita yang sedang berihdad. Ulama dalam mazhab kami tidak menyebutkan
permata jauhar, yaqut, dan zamrud, namun semuanya itu masuk dalam makna
perhiasan. Wallahu alam. (Al-Jami li Ahkamil Qur`an 3/119
Bagaimana bila Perhiasan Sudah Ada pada Tubuhnya Saat Suaminya
Meninggal?
Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal dunia
maka ia harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia
memakai gigi emas (gigi palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka
tidak wajib baginya melepasnya, namun ia upayakan untuk
menyembunyikannya. (Asy-Syarhul Mumti, 5/721
Berdiam di Rumahnya
Dalam Majmu Fatawa (17/159, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai
wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya,
tidak boleh keluar di siang hari kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula
keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh memakai perhiasan, tidak
boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
Kebiasaan Memakai Pakaian Hitam saat Berkabung
Memakai busana hitam saat berkabung/menjalani masa ihdad, tidak keluar ke
teras/halaman rumah, tidak naik ke teras atas rumah (balkon), tidak mau melihat
bulan saat purnama dengan anggapan karena bulan adalah laki-laki dan
berbagai anggapan khurafat lainnya, merupakan perkara yang tidak disyariatkan.
Bahkan termasuk bidah bila si wanita melakukannya dengan niat taabbud
(beribadah). Demikian penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin t. (Asy-Syarhul Mumti, 5/723-724)
Yang Tidak Terlarang bagi Wanita yang Sedang Berihdad
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak,
mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut
karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-
Mughni, Kitab Al-Idad, Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah
Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah
menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad
ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-
Syarhul Mumti, 5/720
Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan
dibolehkan pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama
ia berhijab. Demikianlah Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang
dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat apabila suami-suami mereka
meninggal. (Majmu Fatawa libni Taimiyah, 17/159
HIKMAH IHDAD OLEH WANITA
Hikmah Larangan Wanita Mengenakan Perhiasan dan Sebagainya saat
Berihdad karena Kematian Suami
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu
mengatakan, Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa
iddah karena meninggalnya, hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan
untuk menikahi si wanita dalam masa iddah tersebut. Adapun bila si wanita ber-
iddah karena bercerai dengan suaminya yang masih hidup, tidaklah wajib
baginya menjauhi hal-hal tersebut karena suaminya masih hidup (tidak ada
kewajiban ihdad, pent.). Seandainya ada seseorang ingin berbuat melampaui
batas pada si wanita (istrinya dalam masa iddah tersebut dan bermaksud
meminangnya misalnya, niscaya sang suami dapat mencegahnya (karena
selama dalam masa iddah dialah yang paling berhak terhadap si wanita -pent).
Inilah, wallahu alam, hikmah mengapa seorang istri harus berihdad dalam masa
iddahnya yang disebabkan kematian suami, dan tidak wajib dilakukannya dalam
masa iddah yang disebabkan cerai hidup dengan suaminya. (Asy-Syarhul
Mumti, 5/723
Suami, selama dalam masa iddah adalah yang paling berhak terhadap si
wanita. Sebagaimana Allah subhanahu wataala berfirman:


Dan suami-suami mereka paling berhak merujuki mereka dalam masa iddah
tersebut, jika mereka menghendaki ishlah. (Al-Baqarah: 228)
Wallahu taala alam bish-shawab.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qadhi rahimahullahu menghikayatkan satu ucapan dari Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu yang menyatakan tidak wajibnya ihdad bagi wanita yang ditalak,
bahkan juga bagi wanita yang suaminya meninggal dunia. Namun pendapat ini
ganjil dan aneh.
[2] Abu Hanifah rahimahullahu juga berkata menyelisihi pendapat jumhur, Tidak
ada ihdad bagi istri yang masih kecil. Tidak pula bagi istri yang berstatus budak.
[3] Tentang seorang wanita yang memintakan izin putrinya yang baru ditinggal
mati suaminya untuk memakai celak karena keluhan sakit pada matanya. Hadits
ini menunjukkan wajib berihdad bagi wanita yang wafat suaminya. Karena kalau
tidak wajib, niscaya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melarang
seseorang berobat dengan pengobatan yang mubah seperti mengobati penyakit
mata dengan bercelak. (Fathul Bari, 9/601)
[4] Dalam Muwaththa` Al-Imam Malik rahimahullahu (no. 1286) disebutkan
bahwa ada dua orang lelaki yang meminang Subaiah. Seorang anak muda (Abul
Basyar) dan seorang lagi lelaki berusia antara 30-50 tahun (Abus Sanabil).
Subaiah cenderung dan lebih terpikat kepada Abul Basyar. Maka Abus Sanabil
mengatakan, Engkau belum halal untuk menikah. Ia mengatakan demikian
karena berharap sekembalinya keluarga Subaiah dari bepergian, mereka akan
mengedepankannya dari yang lain untuk menikahi Subaiah.
[5] Demikian pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dengan mengumpulkan dua firman
Allah Subhanahu wa Taala, yaitu:


Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan
istri -istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama
empat bulan sepuluh hari . (Al-Baqarah: 234)
dan ayat:


Dan istri-istri yang sedang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4)
Menurut pendapat ini, iddah si wanita adalah masa yang paling akhir/paling
panjang dari dua waktu yang ada, waktu 4 bulan 10 hari atau waktu melahirkan.
Misalnya bila ia melahirkan 2 bulan setelah suaminya wafat, iddahnya belumlah
berakhir karena waktu yang paling panjang adalah 4 bulan 10 hari. Sehingga ia
harus menunggu sampai selesainya 4 bulan 10 hari tersebut. Contoh lain, bila
sampai 4 bulan 10 hari ia belum juga melahirkan, maka iddahnya belumlah
selesai meski sudah berlalu 4 bulan 10 hari tersebut. Ia harus menunggu hingga
melahirkan kandungannya, karena itulah masa yang paling panjang dari dua
waktu yang ada. Misalnya ia baru melahirkan setelah 9 bulan suaminya wafat,
maka itulah akhir masa iddahnya. Wallahu alam. (lihat Ihkamul Ahkam kitab Ath-
Thalaq, bab Al-Iddah, no. hadits 320, Asy-Syarhul Mumti, 5/674
Pendapat ini ditolak oleh hadits Subaiah yang shahih (dan penjelasan-
penjelasan setelahnya -admin, sebagai nash yang menunjukkan Subaiah telah
halal dengan melahirkan kandungannya (selesai dari iddah). Dengan demikian
dari hadits Subaiah tersebut kita dapatkan keterangan bahwa yang ditujukan
oleh firman Allah Subhanahu wa Taala:


Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan
istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama
empat bulan sepuluh hari . (Al-Baqarah: 234)
Adalah para istri yang tidak sedang mengandung. Hadits Subaiah merupakan
pengkhusus dari keumuman ayat ini dan menerangkan bahwa firman Allah
Subhanahu wa Taala:


Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4)
berlaku umum, baik bagi istri yang ditalak ataupun istri yang meninggal
suaminya. (Al-Minhaj 9/348, Fathul Bari, 9/587)

Anda mungkin juga menyukai