Anda di halaman 1dari 12

(http://asysyariah.

com/)

KajianUtamaWarnaWarnidiBalik
Poligami
Mar 3, 2013 | Asy Syariah Edisi 085 (http://asysyariah.com/category/majalah-islamasysyariah-edisi-85/) |
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
Poligami disyariatkan dalam Islam bukan untuk menghancurkan rumah tangga yang
sudah dibina sebelumnya atau untuk menggagalkan rumah tangga kedua yang baru
dibangun. Jadi, sangatlah tidak diharapkan ketika seorang suami menikah lagi ternyata
berisiko perceraian dengan istri yang pertama atau berpisah dengan istri yang baru.
Memang dibutuhkan kesiapan, keteguhan, kesungguhan, dan kebesaran jiwa seorang
lelaki untuk menjalankannya. Sebagai lelaki, ia dituntut menjadi pemimpin dan
pengatur bagi perempuan, karena Allah l yang menetapkan demikian,






Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (lelaki) di atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (lelaki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (an-Nisa: 34)
Bukan sebaliknya, ia diatur oleh istrinya sehingga terkadang tidak berdaya dan tidak
berkutik di hadapan istrinya. Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi pada rumah
tangga yang dikepalai oleh suami yang nurut pada istri saat ia menjalani kehidupan
berpoligami dalam keadaan istrinya tidak suka.
Tidak Ada Hak bagi Istri dalam Urusan Ini
Poligami adalah hak suami yang dianugerahkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang
dengan hikmah-Nya yang agung. Dengan demikian, tidak ada hak sama sekali bagi istri
untuk mencegah suaminya menikah lagi, walaupun si istri beralasan bahwa dirinya
telah mencukupi semua yang diinginkan oleh suaminya dan tidak ada yang kurang dari
dirinya sehingga suami tidak butuh mencari istri yang lain.
Mengapa? Bisa jadi, suaminya ingin menikah lagi karena ingin memperbanyak
keturunan, ingin menjaga kemuliaan si perempuan dengan menikahinya, atau ia
merasa tidak cukup dengan seorang istri, dan hal ini sangat manusiawi.

Allah Subhanahu wataala telah membolehkan pria untuk memperistri sampai empat
wanita.
Tentu tidak pantas bagi seorang istri untuk marah, protes, dan tidak terima terhadap
hukum AllahSubhanahu wataala yang diridhai- Nya atas para hamba-Nya. Bahkan, ia
seharusnya bersabar dan mengharapkan pahala ketika menjalani semuanya. Sebab,
bila ia berketetapan hati untuk sabar, niscaya urusannya akan mudah baginya.
Demikian di antara nasihat yang disampaikan oleh al-Imam asy-Syaikh Ibnu
Utsaiminrahimahullah dalam fatwa beliau di kitab ad-Dawah (1/106) dan FatawaNurun
alad Darb (2/165166).
Beliau rahimahullah juga menekankan, apabila seorang lelaki mampu secara materi
dan sanggup berbuat adil, lebih afdal/utama baginya untuk menikah lagi baik yang
kedua, ketiga, maupun keempat. Sebab, semakin banyak istri akan memperbanyak
lahirnya generasi baru Islam dan lebih banyak memberikan penjagaan terhadap
kemaluan para perempuan, yang kalau tidak ada lelaki yang menikahinya, mereka
akan hidup membujang di rumah tanpa pasangan hidup dan dikhawatirkan akan jatuh
pada kejelekan.
Dimaklumi, dalam urusan ini memang biasanya istri pertama akan menentang dan
marah. Namun, lelaki yang cerdas /bijak akan bisa menerangkan kepada si istri bahwa
hal itu dibolehkan baginya dan ia berusaha menyenangkan hati si istri dengan segala
yang mungkin dilakukannya. Demikian pula apabila ada penentangan dari pihak
keluarga, misalnya dari ibu, si lelaki hendaknya berusaha menerangkan dengan cara
yang baik tentang keputusannya berpoligami dan sisi pandangannya. (Fatawa
Nurunalad Darb, 2/163)
Lebih Utama Bermusyawarah dengan Istri
Seorang suami yang ingin menikah lagi tidak diharuskan mengajak bicara istrinya dan
meminta izin tentang niatannya tersebut. Namun, apabila ia mengajak bicara,
bermusyawarah, dan meminta izin, hal itu tentu lebih baik dan terpandang dalam urf
(adat kebiasaan), khususnya di negeri kita. Agama pun memandang berlakunya urf
apabila tidak bertentangan dengan syariat.
Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa seandainya suami meminta
izin kepada istrinya, biasanya istri akan menolak. Dalam hal ini, suami tetap
melangkah, sama saja apakah ia telah minta izin atau belum kepada istri pertamanya,
sama saja apakah setelah minta izin ternyata si istri menolak memberi izin (ataukah
menerima).
Namun, menurut beliau, seharusnya suami mengajak bicara istrinya, memberikan
penjelasan sampai si istri merasa cukup dengan penjelasannya dan merasa tenang. Ia
terangkan kepada istrinya hikmah poligami dan ia sampaikan alasan keinginan
menikah lagi. Apabila hal ini dilakukan suami, kemudian ia mendatangkan istri barunya
kepada istripertamanya, niscaya istri pertama akan bisa menerima dengan lebih

tenang, tanpa curiga istri yang baru ini akan merebut suaminya karena ia telah
mendapatkan penjelasan. Ia mengetahui pernikahan suaminya dengan si madu dan
telah rela (walau mungkin kerelaannya harus dipaksakan).
Dengan cara seperti ini, diharapkan kedua istri (istri pertama dan madunya) dapat
hidup secara damai, tenteram, tidak saling menjauh, dan saling membenci. Karena
memerhatikan kemaslahatan ini, sepantasnya suami meminta izin kepada istri
pertamanya dan memberitahukannya, walaupun tidak wajib. Andaipun si suami
menikah diam-diam dan merahasiakannya dari istrinya, tidak ada dosa bagi si suami.
(Fatawa Nurun alad Darb, 1/334 335)
Tidak Dibenarkan Meminta Cerai Ketika Suami Menikah Lagi
Apabila suami menikah lagi sedangkan istri pertamanya belum siap dimadu atau tidak
bisa menerima kenyataan dimadu, apakah tidak berdosa ia meminta cerai dari
suaminya? Sebagaimana si istri tidak boleh menuntut suaminya untuk menceraikan
madunya, tidak halal pula baginya menuntut cerai dari suaminya.
Sang suami tidak harus meluluskan permintaan cerai istrinya. Ada ancaman
NabiShallallahu alaihi wasallam terhadap istri yang bermudahmudah menuntut cerai
dari suaminya, padahal suaminya telah berbaik-baik kepadanya. (Fatawa Nurun alad
Darb, 2/165, 166) Kata Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,




Istri mana saja yang menuntut cerai dari suaminya padahal tidak ada kesulitan yang
mendesak1, maka haram baginya mencium wangi surga. (HR. at-Tirmidzi no. 1187, Ibnu
Majah no. 2055, dll, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
Tidak Ada Istilah Habis Manis Sepah Dibuang
Pepatah di atas mungkin terpikir di benak istri saat suaminya menikah lagi. Padahal
bila suaminya adalah suami yang baik, saleh, dan bertakwa kepada Allah Subhanahu
wataala, serta melangkah menuju poligami dengan memerhatikan syarat-syaratnya, si
istri tidak perlu mengkhawatirkan dirinya menjadi sepah yang dicampakkan. Sebab,
istri tetaplah istri, walau istri tua atau istri lama, toh istri baru dengan berjalannya
waktu akan menjadi istrilama pula.
Berbeda halnya apabila suaminya seorang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu
wataala, maka bisa saja ia menelantarkan istri pertamanya karena telah mendapatkan
istri muda. Apalagi ketika istri mudanya turut memprovokasi dan terlalu banyak
menuntut. Oleh karena itu, kita ingatkan suami yang sampai berlaku demikian,
hendaklah bertakwa kepada AllahSubhanahu wataala dan takut akan siksa-Nya. Telah
datang ancaman Rasul yang mulia Shallallahu alaihi wasallam kepada suami yang
berlaku curang atau tidak adil di antara istri-istrinya;
orang itu akan datang pada hari kiamat dalamkeadaan sebelah tubuhnya miring.

Kepada istri muda pun kita ingatkan, hendaklah bertakwa kepada Allah l dan takutlah
akan siksa-Nya. Janganlah merusak apa yang sudah dibina. Jika engkau memiliki
perasaan sebagai perempuan, istri tua pun punya perasaan yang sama. Jika engkau
cemburu, dia pun begitu. Jika engkau ingin disayang, dia pun demikian.
Terkadang istri pertama khawatir, cinta suami akan beralih kepada istri yang baru.
Padahal, sebenarnya cinta adalah urusan Allah Subhanahu wataala. Hamba tidak
mampu menguasainya. Cinta suami bisa saja luntur kepada istrinya walaupun si suami
tidak memiliki istri yang lain. Bisa jadi sebaliknya, cinta suami bertambahtambah
kepada istrinya padahal si suami telah memiliki istri selainnya. Jadi, urusan cinta adalah
urusan hati, Allah Subhanahu wataala lah yang mengaturnya. Seorang istri sebatas
berusaha mereguk cinta suami.
Sebenarnya, kerelaan seorang istri, ketulusannya, pengertian, dan tidak banyak
tuntutannya, justru menjadi salah satu pendorong terbesar berseminya kasih sayang
di hati suaminya. Suami yang baik tentu pandai memberikan apresiasi. Suami menikah
lagi pun bukan tanda suami tidak cinta lagi. Lihatlah Ummul Mukminin, ibunda orangorang yang beriman, Aisyah radhiyallahu anha.
Betapa suaminya, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, mencintainya lebih dari yang
lain. Namun, cinta itu tidaklah menghalangi beliau n untuk menikahi sekian wanita
setelah Aisyah radhiyallahu anha. Sebab, menikah lagi memang tidak berarti
melupakan cinta yang lama. Tentu kita masih ingat pula berita dalam sirah Alasan
sangat mendesak yang memaksanya untuk minta berpisah. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab
ath-Thalaq, bab Ma Jaa al-Mukhtaliat)
hidup Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, betapa sering beliau menyebut-nyebut
Khadijah radhiyallahu anhaistri pertama beliau yang telah lama wafat, memuji,
menyanjung, dan mengenang kebaikannya sampai membuat Aisyahradhiyallahu anha
cemburu. Inilah kesetiaan kepada cinta yang lama, yang tidak luntur dengan datangnya
cinta yang baru.
Terkadang juga para istri keberatan suami menikah lagi karena merasa dihinakan serta
dijatuhkan harkat dan martabatnya. Dengan kata lain, gengsinya terusik.
Sebenarnya kekhawatiran seperti ini pun mudah terjawab. Mengapa harus gengsi jika
suami mempunyai istri yang lainyang jauh berlipat-lipat kali lebih mulia daripada ia
memiliki kekasih gelap atau selingkuh dengan wanita yang tidak halal, atau
naudzubillah, jatuh dalam zinasementara wanita salehah ahlul jannah setingkat
Aisyah2 yang kata Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Keutamaan
Aisyah dibanding wanita-wanita lain seperti kelebihan tsarid (makanan yang istimewa dari
campuran gandum dengan daging) dibandingkan dengan makanan yang lain,
juga ditinggal menikah oleh suaminya dan tidak merasa dihinakan atau dijatuhkan
harkat martabatnya. Padahal yang dinikahi oleh RasulullahShallallahu alaihi wasallam
bukan wanita sembarangan, melainkan para wanita berparas jelita, berbudi mulia, dari
keturunan yang mulia, seperti Zainab bintu Jahsy, Juwairiyah bintu al-Harits, Shayah
bintu Huyai, dan yang lainnya.

Menolak Tinggal Berdekatan dengan Madu


Apabila seorang suami menginginkan istri-istrinya tinggal berdekatan di satu kompleks
misalnya, yang setiap istri memiliki rumah tersendiri, tidak ada hak bagi istri untuk
menolak keinginan suami tersebut. Misalnya, ia menuntut agar jangan didekatkan
dengan madunya, ia ingin tinggal berjauhan, dan sebagainya.
Walaupun cemburunya mencapai puncak, itu bukanlah alasan penolakan terhadap
keinginan suami. Justru yang wajib baginya adalah mendahulukan syariat dan menaati
suaminya daripada rasa cemburunya. Tidak pantas seorang istri yang mukminah
memperturutkan rasa cemburunya dan membiarkan perasaan itu menguasainya.
(Fatawa ManarulIslam, al-Imam Ibnu Utsaimin, 3/116)
Yang Terjadi di Antara Madu
Cemburu memang perasaan yang pasti terselip di antara para madu. Ini adalah
perasaan yang wajar selama tidak melampaui batas sampai pada tingkat melakukan
kedustaan atau menuduh serampangan.
Al-Hazh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, Asal dari sifat cemburu
bukanlah hasil usaha wanita, sebab wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut.
Namun, apabila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, jadilah
tercela. Ketika seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami
melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti berzina, mengurangi haknya, atau
berbuat zalim dengan mengutamakan madunya, cemburu semacam ini disyariatkan
(dibolehkan).
Dengan syarat, hal itu pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Jika
cemburu itu hanya didasari sangkaan tanpa bukti, tidak diperkenankan. Adapun bila
suami adalah orang yang adil dan telah menunaikan hak setiap istrinya, tetapi masih
tersulut juga kecemburuan, ada uzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) apabila
cemburunya sebatas tabiat perempuan yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat
selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan
hal-hal yang diharamkan baik ucapan maupun perbuatan. (FathulBari, 9/404)
Ada di antara wanita yang sifat cemburunya melampaui batas sehingga beranganangan poligami tidak dibolehkan dalam syariat ini. Bahkan, ada yang membenci syariat
karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian
suaminya apabila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tetapi
lisannya digunakan untuk mencaci maki madunya, meng-ghibah, dan menjatuhkan
kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadiiyah, hlm. 158159)
Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas perempuan merasa mendapatkan musibah
yang sangat besar ketika suaminya menikah lagi. Semestinya, apa pun kenyataan yang
dihadapi, seorang mukminah semestinya sadar bahwa semua itu adalah ketentuan
takdir Allah Subhanahu wataala. Segala musibah dan kepahitan yang didapatkan di
dunia itu sangat kecil dibanding keselamatanagama yang diperolehnya.

Gejolak cemburu ini juga muncul dalam rumah tangga yang paling mulia dari manusia
termulia Shallallahu alaihi wasallam. Istri-istri beliau saling cemburu dan berusaha
mengundang cinta beliau. Nabi Shallallahu alaihi wasallam sendiri sebagai seorang
suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu
itu dalam batas kewajaran. Sebagian kisah-kisah cemburu dalam rumah tangga
manusia terbaik tersebut di antaranya sebagai berikut. Aisyah radhiyallahu anha
bertutur tentang cemburunya,

Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam seperti cemburuku kepada Khadijah, karena beliau Shallallahu alaihi wasallam
banyak menyebut dan menyanjungnya. (HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
Aisyahradhiyallahu anha pernah berkata kepada NabiShallallahu alaihi wasallam
mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah radhiyallahu anha,



:

Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah. Nabi Shallallahu alaihi
wasallam menjawab, Khadijah itu begini dan begitu3, dan aku mendapatkan anak
darinya. (HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hazh

Ibnu

Hajar

berkata,

Sebab

cemburu

Aisyah

adalah

karena

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam banyak menyebut Khadijah meskipun telah


tiada. Aisyah sebenarnya aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun, karena
RasulullahShallallahu alaihi wasallam sering menyebutnya, Aisyah memahami betapa
berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah, meletuplah emosi Aisyah dan
mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya berkata kepada suaminya,
Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.
Namun,

Rasulullah Shallallahu

alaihi

wasallam

berkata,

Allah

tidak

pernah

menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya. Bersamaan dengan itu, kita tidak
mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam kepada Aisyah, karena Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong
rasa cemburunya yang merupakan tabia wanita. (Fathul Bari, 9/405)
Ketika Nabi Shallallahu alaihi wasallam berada di rumah seorang istrinya, salah
seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan
untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi n sedang berdiam di rumahnya memukul

tangan pelayan yang membawa makanan tersebut, hingga jatuhlah piring itu dan
terbelah. NabiShallallahu alaihi wasallam pun mengumpulkan belahan piring tersebut,
kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan, lalu beliau letakkan di atas
piring yang terbelah seraya berkata, Ibu kalian sedang cemburu. Beliau lalu menahan
pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh
milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya.
(HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan, perempuan yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman
atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Sebab, dalam keadaan
demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/403)
Namun, apabila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan
seperti ghibah, Rasulullah n tidak membiarkannya. Suatu saat Aisyahradhiyallahu anha
berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah, cukuplah bagimu Shayah,dia itu begini dan
begitu.
Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud Aisyah adalah
Shayah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
berkata kepada Aisyah,




Sungguh, engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya dicampur dengan air
lautan niscaya akan dapat mencampurinya. (HR. Abu Dawud no. 4875, dinyatakan sahih
dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Ada lagi kisah lainnya. Ketika sampai berita kepada Shayah bintu Huyai radhiyallahu
anha bahwa Hafshah bintu Umar radhiyallahu anhuma mencelanya dengan
mengatakan bahwa dirinya putri Yahudi, ia menangis. Bersamaan dengan itu,
Nabi Shallallahu alaihi wasallam masuk menemuinya dan mendapatinya sedang
menangis. Beliau pun bertanya,
Apa yang membuatmu menangis? Shayah menjawab, Hafshah mencelaku dengan
mengatakan aku putri Yahudi. Nabi Shallallahu alaihi wasallam berkata menghiburnya,
Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan
engkau adalah istri seorang nabi. Bagaimana bisa dia membanggakan dirinya di
hadapanmu? Kemudian beliau menasihati Hafshah, Bertakwalah kepada Allah
Subhanahu wataala, wahai Hafshah! (HR. at-Tirmidzi no. 3894, dinyatakan sahih dalam
Shahih Sunan Tirmidzi dan al-Misykat no. 3894)
Suatu ketika, di malam giliran Aisyah, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
meletakkan selendangnya, melepas kedua sandalnya, dan meletakkannya di sisi kedua
kakinya. Beliau lalu membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya. Setelah
itu, beliau pun berbaring. Tidak berapa lama, beliau bangkit dan mengambil
selendangnya dengan perlahan, lalu mengenakan sandalnya dengan perlahan agar
tidak mengusik tidur Aisyah.

Beliau Shallallahu alaihi wasallam kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar
Aisyah. Setelah itu, pintu ditutup kembali dengan perlahan. Aisyah yang ketika itu
disangka telah lelap dalam tidurnya, ternyata melihat apa yang diperbuat oleh
suaminya. Ia pun bangki mengenakan pakaian dan kerudungnya.
Untuk selanjutnya, kita dengar penuturan Aisyah, Kemudian aku mengikuti beliau
hingga beliau sampai di permakaman Baqi. Beliau berdiri lama, lalu mengangkat kedua
tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berbalik, aku pun berbalik. Beliau
bersegera, aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, aku pun berlari kecil. Beliau berlari lebih
cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului beliau lalu segera
masuk ke dalam rumah. Belum lama aku membaringkan tubuhku, beliau masuk. Melihat
keadaanku beliau pun berkata, Ada apa dengan dirimu wahaiAisyah, kulihat napasmu
memburu? Aku menjawab, Tidak ada apa-apa. Beliau berkata, Beri tahu aku, atau Allah
Subhanahu wataalayang akan mengabarkan kepadaku. Aku pun menceritakan apa yang
baru berlangsung. Mendengar ceritaku, beliau berkata, Berarti engkau adalah sosok yang
akulihat di hadapanku tadi? Aku menjawab, Iya. Beliau mendorong dadaku dengan kuat
hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda, Apakah engkau menyangka
AllahSubhanahu wataala dan Rasul- Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu4?
Aisyah

berkata,

Bagaimana

pun

manusia

menyembunyikannya,

niscaya

Allah

mengetahuinya. Memang, semula aku menyangka demikian. RasulullahShallallahu alaihi


wasallam menjelaskan, Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, aku pun
menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya. Jibril tidak mungkin masuk ke
kamar ini, sedangkan engkau telah membuka pakaianmu. Tadi aku menyangka engkau
sudah tidur sehingga aku tidak ingin membangunkan tidurmu, karena khawatir engkau
akan merasa sendirian (dalam sepi) dalam kegelapan malam.
Jibril berkata kepadaku saat itu, Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk
mendatangi permakaman Baqi guna memintakan ampun bagi penghuninya. (HR.
Muslim no. 974)
Pernah juga suatu malam, Aisyah x merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam. Ia pun kemudian meraba-raba mencari beliau. Ia menyangka beliau pergi ke
rumah istri yang lain. Ternyata Aisyah mendapatkan beliau sedang ruku atau sujud
seraya berdoa,



Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu.
Aisyah pun berkata, Sungguh, aku berada dalam satu keadaan, sementara engkau
berada dalam keadaan yang lain. (HR. Muslim no. 485)
Kebiasaan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam apabila hendak bepergian (safar)
adalah mengundi di antara istri-istrinya, siapa yang diajak dalam safar tersebut. Suatu
ketika, jatuhlah undian kepada Aisyah dan Hafshah radhiyallahu anha. Keduanya pun

dibawa oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Dalam safar tersebut, apabila malam
telah menjelang, RasulullahShallallahu alaihi wasallam berjalan bersisian dengan unta
yang ditunggangi Aisyah x (yang berada di dalam sekedup/semacam tandu yang
diletakkan di atas unta, sehingga tidak terlihat orang-orang di sekitarnya) dan beliau
berbincang bersamanya. Suatu ketika, Hafshah radhiyallahu anha berkata kepada
Aisyah radhiyallahu anha, Tidakkah engkau mau menaiki untaku malam ini dan aku
menaiki

untamu,

hingga

engkau

bisa

melihat

dan

aku

bisa

melihat?

Aisyah radhiyallahu anha menjawab, Iya. Lalu ia pun menaiki unta Hafshah dan
Hafshah menaiki untanya.
Datanglah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menuju unta yang biasa dinaiki oleh
Aisyah radhiyallahu anha tanpa mengetahui bahwa yang ada di dalam sekedupnya
adalah Hafshah, bukan Aisyah radhiyallahu anhs. Beliau Shallallahu alaihi wasallam
mengucapkan salam, kemudian berjalan bersisian dengan unta tersebut hingga
mereka singgah di suatu tempat.
Aisyah merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada malam itu. Ia
pun cemburu, hingga ketika mereka berhenti dan singgah di suatu tempat, Aisyah
memasukkan kakinya ke dalam rumputrumputan seraya berkata, Ya Rabbku,
biarkanlah seekor kalajengking atau ular menyengatku. Aku tidak sanggup berkata
apa-apa kepada Rasul-Mu. (HR. al- Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2445)
Cemburu Tidak Membuat Ibunda Kita Buta
Kisah-kisah cemburu di atas kitabawakan bukan untuk mencela istri-istri Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Mereka adalah perempuanperempuan yang paling mulia.
Cukuplah bagi mereka kemuliaan dengan Allah Subhanahu wataala memilih mereka
menjadi pendamping hidup Rasul-Nya yang mulia.
Jangan pula kisah mereka dijadikan dalil oleh para perempuan sekarang untuk
membenarkan tindakan salah mereka dengan dalih cemburu, atau untuk menolak
ucapan baik dari suami mereka yang menasihati mereka dalammasalah cemburu
dengan mengatakan, Istri-istri Rasulullah juga cemburu dan berbuat ini dan itu karena
dorongan cemburunya. Memang benar mereka (istri-istri Rasul Shallallahu alaihi
wasallam) cemburu dan engkau pun cemburu, namun kebaikan yang ada pada diri
mereka tidak didapatkan pada dirimu.
Ketahuilah, bagaimanapun cemburu yang ada di tengah mereka, tidaklah membuat
mereka menutup mata dari kebaikan yang ada pada madu mereka dan tidak
mengantarkan mereka untuk membuat kedustaan guna menjatuhkan madu mereka.
Satu contoh, ketika peristiwa Ifk, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam meminta
pendapat Zainab bintu Jahsyradhiyallahu anha salah seorang istri beliau, tentang diri
Aisyah radhiyallahu anha. Beliau Shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Zainab
radhiyallahu anha, Apa yang engkau ketahui tentang Aisyah dan apa pendapatmu?
Zainab radhiyallahu anha menjawab, Wahai Rasulullah,aku menjaga pendengaranku
danpenglihatanku. Demi Allah, aku tidakmengetahui darinya selain kebaikan. (HR. alBukhari no. 4141)

Lihatlah kejujuran Zainab! Cemburunya kepada Aisyah tidak membuatnya lupa akan
kebaikan dan keutamaan Aisyah. Demikian pula sebaliknya pada diri Aisyah, ia pernah
memuji Zainab, Aku belum pernah melihat seorang perempuan pun yang paling baik
agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu
wataala, paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi, paling
banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk bekerja lalu
hasilnya ia sedekahkan dan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wataala.
Padahal, Zainab inilah yang menyamai kedudukannya di sisi Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam. Dengarkan pula pujian Aisyah terhadap Juwairiyah, salah seorang
ummahatul mukminin, Kami tidak pernah mengetahui ada seorang perempuan yang
lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah. (al-Istiab, 4/1805)
Pujian ini dilontarkan oleh Aisyah ketika bani Mushthaliq, kaum Juwairiyah, dibebaskan
oleh kaum muslimin dari penawanan karena pernikahan Rasulullah n dengan
Juwairiyah. Pujian ini dengan jujur diucapkan Aisyah. Padahal sebelumnya, Aisyah
cemburu pada Juwairiyah. Aisyah mengatakan, Juwairiyah adalah perempuan yang
berparas elok dan manis. Setiap orang yang memandangnya pasti akan terpikat. Aku
melihatnya dari balik pintu saat menemui RasulullahShallallahu alaihi wasallam untuk
meminta tolong dalam hal pembebasan dirinya dari status tawanan perang. Ketika itu
aku tidak menyukainya, karena aku tahu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam akan
melihat keelokannya sebagaimana yang aku lihat. (al-Istiab, 4/1804)
Demikian sedikit contoh dari kehidupan rumah tangga para istri RasulullahShallallahu
alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa kecemburuan tidaklah membutakan
mereka dari kebenaran dan melihat kenyataan. Semoga shalawat, salam, dan berkah
Allah Subhanahu wataala tercurahkan selalu bagi panutan umat dan kekasih-Nya,
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, dan semoga Allah Subhanahu wataala
meridhai istri-istri beliau yang mulia yang menjadi teladan terbaik bagi para wanita
umat ini.
Sekarang, coba kita lihat apa yang ada pada diri para perempuan yang cemburu pada
hari iniselain yang dirahmati dan diselamatkan oleh Allah Subhanahu wataala!
Sungguh, cemburu telah membuat mereka buta. Mereka menjatuhkan kehormatan
perempuan yang mereka cemburui di hadapan suami mereka dan orang lain. Bahkan,
mereka menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama guna menyingkirkan
perempuan yang membuat panas hatinya karena cemburu. Wallahul mustaan.

ArtikelTerbaru
Topeng Tebal Islam Nusantara (http://asysyariah.com/tema-majalah-edisi-112/)
Berniaga di dunia maya (http://asysyariah.com/tema-majalah-edisi-111/)
Cara salah cari Berkah (http://asysyariah.com/tema-majalah-edisi-110/)
Tema Majalah edisi 109 (http://asysyariah.com/tema-majalah-edisi-109/)

Keteladanan Dai Pilihan (http://asysyariah.com/tema-majalah-edisi-108/)

(http://asysyariah.com/temamajalah-edisi-112/)

DAFTARAGEN(HTTP://ASYSYARIAH.COM/DAFTARAGEN/)
TEBARASYSYARIAH(HTTP://ASYSYARIAH.COM/TEBARASYSYARIAH/)
ARTIKEL(HTTP://ASYSYARIAH.COM/ARTIKEL/)
DOA(HTTP://ASYSYARIAH.COM/CATEGORY/DOA/)
HADITS(HTTP://ASYSYARIAH.COM/CATEGORY/HADISNABI/)
HUKUMISLAM(HTTP://ASYSYARIAH.COM/CATEGORY/HUKUMISLAM/)
IBRAH(HTTP://ASYSYARIAH.COM/CATEGORY/IBRAH/)
KHAZANAH(HTTP://ASYSYARIAH.COM/CATEGORY/KHAZANAH/)
SEMUAKATEGORIARTIKEL(HTTP://ASYSYARIAH.COM/ARTIKEL/)

TENTANGMAJALAHASYSYARIAH
Majalah AsySyariah adalah Majalah ahlussunnah wal jamaah di Indonesia. Membahas dan menampilkan
pembahasan artikel berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah dengan apa yang di pahami oleh generasi awal umat
ini.

KONTAKASYSYARIAH
Alamat: JL. Godean KM. 5, No. 26B,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55244
Telepon:(0274) 626439

Berlangganan (http://asysyariah.com/berlangganan/)
Pengiriman (http://asysyariah.com/pengiriman/)
Informasi (http://asysyariah.com/asysyariah-tidak-memiliki-akun-facebook/)
Sitemap (http://asysyariah.com/sitemap.xml)

(http://asysyariah.com/feed/)
Website resmi Majalah Majalah Islam Asy-Syariah (http://asysyariah.com/) Yogyakarta - Khazanah
Ilmu-ilmu Islam Ilmiah di atas Sunnah
web desain dan development oleh Dakwah Studio (http://www.dakwahstudio.com/)

Anda mungkin juga menyukai