Pada realitas era sekarang, umat Islam terbebani kewajiban ganda, sebagai muslim yang harus membayar
zakat dan sebagai warga negara yang harus membayar pajak negara. Sehingga sebagian orang pun
berpandangan bahwa ketika mereka sudah membayar pajak kepada pemerintah, maka ia sudah terbebas
dari kewajiban membayar zakat. Sementara sebagian lain berprinsip sebaliknya, bahwa ketika mereka
sudah membayar zakat, mereka tidak perlu dan wajib lagi membayar pajak untuk negara.
Para ulama sepakat bahwa sudah menjadi hak negara untuk mewajibkan warganya membayar pajak
dalam rangka pembiayaan sarana umum. Keduanya sama-sama penting dan wajib. Zakat tetap wajib
sebagai konsekuensi agama, dan pajak juga wajib selama pemerintah memang mewajibkannya.
Dalam kondisi double kewajiban seperti ini, para ulama ahli fikih --dengan landasan menghindari
kebangkrutan bagi si wajib bayar-- merekomendasikan kebijakan bahwa ketika penghitungan neraca
wajib zakat, kita diperbolehkan mengurangi neraca tersebut dengan total pengeluaran yang kita
alokasikan untuk pajak dan retribusi-retribusi pemerintah lainnya. Kewajiban mengeluarkan zakat
tergantung saldo neraca wajib zakat setelah dikurangi alokasi pajak dan retribusi pemerintah. Jika saldo
menunjukkan sama atau lebih dari nisab maka harus membayar zakat, dan sebaliknya jika saldo
menunjukkan angka kurang dari nisab maka tidak berkewajiban membayar zakat. Seorang pedagang
yang berlaba Rp. 25 juta, sementara itu ia harus membayar pajak dan retribusi pada pemerintah sebanyak
Rp. 5 juta. Maka, zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5%-nya Rp. 20 juta.
Adapun kriteria harta kekayaan yang wajib dizakati adalah sebagai berikut:
1. Kepemelikan penuh (perfect title) Maksudnya harta kekayaan tersebut sepenuhnya milik
pribadi dan tidak ada hubungannya dengan kepemilikan orang lain. Adapun harta yang tidak
sepenuhnya milih sendiri, di antaranya: harta haram, harta wakaf, dan aset piutang yang masih di
tangan orang.
a. Harta Haram (uang panas)
Yaitu harta yang diperoleh dengan cara ilegal, seperti hasil curian, penipuan, korupsi,
riba, penyelewengan, perjudian dan cara-cara lain yang tidak halal. Harta jenis ini secara
esensial tidak dimiliki oleh si pemiliknya, meski harta tersebut dalam genggamannya.
Harta/uang haram ini tidak wajib dizakati, namun harus dikembalikan pada pemilik
aslinya, atau diserahkan pada pemerintah jika memang pemiliknya tidak ketahuan. Harta
seperti ini tidak akan tetap haram baik disimpan sendiri atau disedekahkan, karena Allah
tidak menerima sedekah dari harta kotor.
b. Harta wakaf (untuk kepentingan umum)
Para ulama membedakan antara wakaf kepentingan individu dan kepentingan umum.
Harta yang diwakafkan pemiliknya untuk kepentingan umum tidak wajib dizakati,
sementara harta yang disumbangkan pada satu pihak tertentu atau perseorangan
sehingga publik tidak bisa menikmatinya maka harta jenis ini wajib dizakati.
c. Piutang
Ada dua jenis piutang:
1. Piutang aktif, yaitu piutang yang bisa diharapkan terbayar dan si pemberi hutang
bisa mengambilnya sewaktu-waktu. Piutang jenis ini harus dizakati. Dimasukkan
ke dalam keseluruhan harta kekayaan.
2. Piutang pasif, yaitu piutang yang tidak mungkin atau sulit untuk terbayar.
Piutang passiva ini tidak wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi kita tetap
berkewajiban membayarnya ketika kita memang benar-benar sudah menerima
pelunasannya, itupun, menurut pendapat mayoritas, hanya di tahun saat kita
menerima pelunasan tersebut. Misalnya piutang itu berada ditangan peminjam
selama 5 tahun, dan baru dikembalikan pada tahun ke-6, maka kita hanya
kewajiban mengeluarkan zakatnya untuk tahun ke-6 itu saja dan tidak wajib
mengeluarkan zakat untuk 5 tahun sebelumnya.
Imam Malik (pendiri madzhab Malikiyah) mempunyai prinsip lain, baik piutang aktif
maupun pasif, keduanya sama-sama dizakati, dengan syarat selunasnya piutang itu.
Kewajiban zakat itu pun hanya setahun di tahun saat menerima pelunasannya tersebut.
Namun Imam Malik juga mensyaratkan satu hal, sang pemilik piutang bukan kategori
orang yang menolak pelunasan agar ia terbebas dari wajib zakat. Jika demikian halnya,
maka pemilik piutang yang seperti ini terkena kwajiban membayar zakat tiap tahun
selama piutang itu belum lunas.
Perlu diingat, piutang yang kita bahas di atas adalah benar-benar uang piutang,
maksudnya bukan piutang yang dikomersialkan. Jika piutang tersebut berupa barang
(yang dikomersialkan), maka pemilik piutang harus membayar zakatnya setiap tahun
dengan menggunakan uang yang ada dulu.
2. Berkembang (Produktif)
Artinya bahwa harta tersebut bisa bertambah nilainya, baik pertambahannya secara nyata
diupayakan atau sebenarnya harta itu berpotensi berkembang namun didiamkan oleh
pemiliknya. Contoh harta yang mampu mendatangkan pemasukan secara nyata bagi pemiliknya
adalah seperti ternak, barang dagangan, atau aset-aset tersebut berkembang sendiri seperti hasil
bumi dan buah-buahan, dll. Dan contoh jenis harta yang berpotensi berkembang adalah seperi
emas, harta simpanan, aksesori-aksesori mewah.
Syarat "berkembang" ini mempunyai 2 arti penting dalam menentukan kategori aset wajib zakat,
yaitu:
1. Untuk membedakan dari kekayaan yang mempunyai fungsi, walaupun itu sifatnya
individual. Seperti perhiasan yang dipakai, mobil pribadi, perabotan rumah tangga,
rumah pribadi, dll.
2. Memasukkan semua jenis aset kekayaan yang mempunyai karakter berkembang ke
dalam kategori wajib zakat.
3. Mencapai nisab Apapun jenis aset yang kita miliki, kita tidak wajib menzakatinya sampai aset
tersebut mencapai Nisab. Nisab aset-aset ini berbeda satu sama lain.
Dalam proses audit nisab, disyaratkan harus sempurna setelah penotalan anggaran kebutuhan
pokok berupa sandang, papan, pangan, peralatan kerja, dll. Maka nisab yang dianggap adalah
nisab yang sudah terbebas dari biaya kebutuhan pokok untuk pribadi dan keluarganya.
Contoh: Jika si A mempunyai aset Rp. 75 juta, sementara ia harus melunasi hutang sebesar Rp. 7
juta dan untuk biaya kebutuhan pokok sebesar Rp. 15 juta. Maka aset wajib zakatnya adalah Rp.
53 juta.
Adapun nisab harta kekayaan adalah senilai 85 gram emas murni (menurut harga pasar). Jika
aset pokok yang telah dikurangi anggaran kebutuhan pokok ini mencapai nisab maka harus
dizakati. Jika kurang dari nishab, tidak wajib.
Untuk menentukan dan menghitung zakat mâl, terdapat seperangkat kaidah-kaidah akuntansi yang
disarikan dari sumber-sumber syariah Islam atau dari Dasar-dasar Pemikiran Akuntansi Umum yang
tidak bertentangan dengan kaidah dan hukum-hukum syariah Islam.
Diantara kaidah-kaidah yang prinsipil dan penting dalam penghitungan zakat adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Tahunan (Annual)
Zakat dihitung atas dasar hitungan tahun hijriyyah. Dimulai sejak harta kekayaan mencapai nisab.
Prinsip ini berlaku untuk semua jenis zakat, kecuali zakat pertanian, buah-buahan, barang tambang
dan barang temuan.
1. Menentukan dan menghitung harta kekayaan yang beragam pada akhir tahun, serta memerinci
kekayaan yang masuk daftar wajib zakat --atau sering disebut sebagai aset. Dan aset wajib zakat
ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Kepemilikan penuh
b. Berkembang, baik perkembangan tersebut riil atau menurut hitungan prediktif
c. Berjalan setahun, kecuali zakat pertanian, buah-buahan, barang tambang dan barang
temuan
d. Tidak dikeluarkan zakatnya pada tahun yang sama
e. Merupakan surplus dari kebutuhan yang wajar
f. Terbebas dari hutang
g. Mencapai nisab (ketentuan batas minimal).
2. Total pengeluaran, meliputi:
h. Biaya kebutuhan pokok sehari-hari (sandang, papan, pangan)
i. Biaya yang berhubungan dengan operasional kerja
j. Pembayaran pajak
k. Pelunasan hutang
3. Wi'â' zakat (= aset kekayaan dikurangi pengeluaran). Hasil pengurangan ini jika mencapai nisab
maka berhak dizakati.
4. Besar nisab = 85 gram emas murni. Nilai per gram emas ini dihitung menurut harga yang sedang
berlaku di daerah mana harta tersebut berada.
5. Membuat neraca perbandingan antara jumlah zakat yang telah ditentukan pada nomor 3 dengan
nisab yang telah ditentukan pada nomor 4. Jika wi'â' melebihi atau setidaknya menyamai nisab
maka zakat wajib dikeluarkan.
6. Menentukan kadar zakat (si'ru al-zakât) yang diambil --prosentasenya-- dari wi'â' zakat. Yaitu
sebesar:
l. 2,5 % untuk kategori zakat uang, barang dagangan, rental, profesi, harta yang difungsikan
dan barang tambang;
m. 5 % untuk kategori zakat pertanian dan buah-buahan yang pengairannya membutuhkan
biaya.
n. 10% untuk kategori zakat pertanian dan buah-buahan yang mengandalkan pengairannya
dari air hujan atau mata air (tanpa biaya).
o. 20 % untuk kategori zakat barang temuan.