Anda di halaman 1dari 26

Makalah

Sejarah Sunan Gunung jati beserta keturunanya


Disusun untuk memenuhi tugas ketidakikutsertaan StudyToor
Guru pembimbing :
Yudi Wahyudin, M.Pd.

Disusun oleh :
Nurul Ramandani Supriatna (XI IPA)

MADRASAH ALIYAH
MA AS-SA’ADAH SUKASARI TAHUN AJARAN 2023/2024
DESA MEKARSARI, KECAMATAN SUKASARI, KAB SUMEDANG
Kata pengantar

Alhamdulilaahi Rabbil‘aalamin. Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT,


yang atas rahmat nya, saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Sejarah Sunan Gunung jati beserta keturunanya”. Penulisan
makalah ini adalah salah satu tugas Ketidakikutsertaan Study Toor.
Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan
bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
saya dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ini. Saya berharap semoga karya ilmiah yang saya susun ini
memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Sumedang, 02 Febuari 2024


Penyusun,

Nurul Ramandani Supriatna.

1
Daftar isi

Contents
Kata pengantar ............................................................................................................1
Daftar isi ......................................................................................................................2
BAB I ...........................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................................4
BAB II ..........................................................................................................................5
PEMBAHASAN .............................................................................................................5
2.1 Riwayat Sunan Gunung Jati ...................................................................................5
2.2 metode dakwah Sunan Gunung Jati .......................................................................6
1. Penyebaran Ajaran yang Lembut..........................................................................6
2. Membangun Pesantren .........................................................................................7
3. Meningkatkan Kesejahteraan Sosial .....................................................................7
4. Membentuk Struktur Pemerintahan Islam ............................................................7
5. Menggabungkan Budaya Jawa dan Islam .............................................................7
2.3 Wilayah Dakwah Sunan Gunung Jati ....................................................................8
1. Wilayah Cirebon ..................................................................................................8
2. Wilayah Banten ...................................................................................................8
3. Wilayah Pantura Jawa Barat.................................................................................8
4. Wilayah Pesisir Utara Jawa Barat.........................................................................8
2.4 Warisan dan Pengaruh Sunan Gunung Jati ...........................................................9
2.5 Gagasan dan Pemikiran Sunan Gunung Jati .........................................................9
2.6 Karya Karya Sunan Gunung Jati ......................................................................... 11
2.7 Anak-anak Sunan Gunung Jati ............................................................................. 12
BAB III ....................................................................................................................... 22
PENUTUPAN .............................................................................................................. 22
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 22
3.2 Kritisi ..................................................................................................................... 23
3.3 Saran ...................................................................................................................... 23

2
Lampiran ................................................................................................................... 24
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Agama islam masuk pertama kali ke Indonesia melalaui pulau Sumatra,
selanjutnya penyebaran agama islam mulai masuk ke pulau-pulau lainnya di
indonesia. Ketika kekuatan islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan islam,
dari siniislam sampai ke pulau jawa, walisongo sebagai jantung penyebaran
agama islam di pulau jawa. Sunan gunung jati atau syarif hidatullah merupakan
salah satu walisongo yang selalu memberikan kontribusidalam penyebaran agama
islam di daerah pulau jawa, khususnya jawa barat. Syarif hidayatullah dikenal
sebagai pendiri kesultanan cirebon dan banten. Beliau memiliki peran yang sangat
besar dalam penyebaran agama islam.
Wali Songo bukan hanya ahli agama, tetapi juga intelektual pembaharu yang
memperkenalkan berbagai bentuk peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Para Wali memiliki ilmu yang sangat tinggi dalam berbagai bidang. Keimanannya
tinggi terhadap Allah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Riwayat Hidup Sunan Gunung Jati?
2. Bagaimana metode dakwah Sunan Gunung Jati ?
3. Siapa saja keturunan Sunan Gunung Jati serta apa saja Riwayat hidunya ?
4. Bagaimana Gagasan Pemikiran Sunan Gunung Jati?
5. Apa saja karya-karya dari Sunan Gunung Jati?

1.3 Tujuan Penulisan


Setiap karya tulis pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan makalah ini Ada
beberapa tujuan makalah ini disusun, diantara nya adalah :
1. Untuk melatih penulis agar mampu menyusun tulisan ilmiah yang benar.
2. Untuk memperluas wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan
pembacanya.
3. Untuk membentuk sumbangan pemikiran baik berupa konsep teoritis
maupun praktis.
4. Untuk mendukung perkembangan konsep keilmuan maupun pemecahan
masalah.
5. Serta untuk melengkapi tugas ketidakikutsertaan StudyToor.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Sunan Gunung Jati


Sunan gunung jati atau Raden Syarif Hidayatullah merupakan salah satu dari
ulama besar walisongo yang menyebarkan Islam di pulau jawa. Raden Syarif
Hidayatullah dilahirkan pada 1448 Masehi.
Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang
mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama
besar di Hadramaut. Yaman. Bahkan silsilahnya sampai kepada Rasulullah
melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan ibunya adalah Nyai Rara Santang
(Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang
Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang
yang bergelar Cakrabuwana.
Pertemuan ayah dan ibunya dari sunan gunung jati berawal saat Pangeran Cakra
Buana dan Rara Santang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk naik haji.
Maka mereka pun segera pergi melaksanakan niat itu. Di Mekah mereka tinggal
di rumah seorang ulama bernama Syekh Bayanullah. Pada wakt melakukan
thowaf, mereka bertemu dengan Syarif Abdullah dia adalah raja dari Mesir.
Begitu melihat paras Rara Santang, Syarif Abdullah sangat tertarik karena mirip
sekali dengan mendiang istrinya. Begitu selesai melakukan ibadah haji, Syarif
Abdullah langsung melamar Rara Santang. Dan sesuai nama kebiasaan orang
Mesir, setelah menjadi istri Syarif Abdullah nama Rara Santang kemudian diubah
menjadi Syarifah Muda’im. Dari perkawinan tersebut lahirlah dua orang putra,
Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang
masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang
ke tanah Jawa dan berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian
diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir
Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah.
Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah
leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Pada awal kedatangannya, Raden Syarif Hidayatullah sering dianggap juga
sebagai Fatahillah. Padahal kedua orang ini berbeda. Sunan gunung jati
merupakan cucu dari raja Padjajaran keturunan mesir dan mengemban Islam di
daerah Jawa Barat. Sedangkan Fatahillah merupakan pemuda Pasai yang
dikirimkan Sultan Trenggana untuk membantu sunan gunung jati dalam melawan
portugis. Hal ini di buktikan dengan makam Tubagaus pasai atau raden Fatahillah
di dekat makam sunan Gunung Jati.

5
Pada tahun 1475 Sunan Gunung Jati bersama dengan ibunya Syarifah Muda’im
datang ke Jawa Barat. Namun sebelum ke Jawa Barat beliau mampir terlebih
dahulu ke Gujarat dan pasai untuk menambah pengalaman. Namun setelah itu
Syarifah Muda’im datang kepada gurunya yang telah wafat Syekh Datuk Kahfi
dan menetap di Gunung Jati supaya dekat dengan makam gurunya.
Setelah itu Sunan Gunung Jati dan ibunya meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi.
Hal ini menjadikan Raden Syarif Hidayatullah di juluki dengan Sunan Gunung
Jati. Pada tahun 1497 Sunan Gunung Jati di serahi negeri Carubana untuk
dipimpinnya, karena pangeran Cakrabuana sudah lanjut Usia. Disaat itu pula
Sunan Gunung Jati menikah dengan anak dari Nyi Pakungwati.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada masa remajanya, ketika umur 20 tahun
Syarif Hidayatullah telah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri selama 2
tahun dan Syekh Ataillahi Syazally yang bermazhab Syafei. Guru-guru Syarif
Hidayatullah lainnya adalah Syekh Nur Jati (Datuk Khafidz), Sunan Ampel,
Syekh Najmurini (Nujumuddin) Kubra di Mekkah, Syekh Sidiq, Syekh Bentong,
dan Syekh Quro.
Pernikahan Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali; Retna Pakungwati (Putri
Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua anak: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan
Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua denngan Ong
Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding, tidak berlangsung lama, karena
meninggal dunia); ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng
Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki Gedeng Kawunganten,
Banten) dikaruniai dua anak; Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta)
dikaruniai dua anak; Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata Lelana.

2.2 metode dakwah Sunan Gunung Jati


Sunan Gunung Jati memainkan peran utama dalam penyebaran Islam di wilayah
Jawa Barat, khususnya di sekitar Gunung Jati, Cirebon. Beliau dikenal sebagai
tokoh yang berperan besar dalam mengislamkan penduduk setempat.

Berikut adalah beberapa metode dakwah beliau dalam menyebarkan Islam di


wilayah Cirebon:

1. Penyebaran Ajaran yang Lembut

Sunan Gunung Jati memulai misi dakwahnya dengan menyebarluaskan ajaran


Islam di sekitar Gunung Jati. Beliau menggunakan pengetahuannya untuk
berdialog dengan penduduk setempat dan mengenalkan konsep-konsep Islam
secara lembut.

6
Beliau menggabungkan ajaran Islam dengan nilai lokal Jawa untuk memudahkan
penerimaan agama ini kepada masyarakat. Adanya percampuran ini membuat
masyarakat lebih nyaman dalam menerima ajaran serta kebaikan dalam Islam.

2. Membangun Pesantren

Penyebaran dakwah lainnya yang dilakukan beliau adalah dengan mendirikan


pesantren di Cirebon sebagai pusat pendidikan Islam. Pesantren ini menjadi
tempat pembelajaran agama, ilmu pengetahuan serta budaya.

Para santri yang datang dari berbagai lapisan masyarakat belajar di sana untuk
mendapatkan ilmu serta pengetahuan yang mendalam tentang Islam. Adapun
metode pembelajaran yang diterapkan, yakni menggabungkan keagamaan dan
kesenian.

3. Meningkatkan Kesejahteraan Sosial

Tidak hanya fokus pada aspek pada bidang keagamaan, tetapi beliau juga sangat
peduli terhadap kesejahteraan sosial masyarakat. Hal ini terlihat dari
pembangunan masjid, madrasah, serta fasilitas sosial lainnya untuk masyarakat.

Adanya tindakan-tindakan ini membuat masyarakat melihat dampak langsung dari


kebaikan-kebaikan ajaran Islam. Sunan Gunung Jati sebagai salah satu dari
sembilan wali songo yang ada di pulau Jawa sangat mengimplementasikan nilai-
nilai Islam.

4. Membentuk Struktur Pemerintahan Islam

Sunan Gunung Jati juga berperan dalam membentuk struktur pemerintahan Islam
di wilayah Cirebon. Memiliki kecerdasan yang unggul dari lainnya serta
kemampuan diplomasi yang baik, membuat beliau mendapatkan amanat besar.

Beliau diangkat menjadi penasihat dan pemimpin spiritual bagi penguasa


setempat, yang pada gilirannya memperkuat otoritas Islam di wilayah tersebut.
Hal ini semakin memudahkan beliau dalam melakukan penyebaran atau dakwah
ajaran Islam.

5. Menggabungkan Budaya Jawa dan Islam

Beliau mengambil pendekatan yang bijaksana dengan menggabungkan budaya


Jawa dan ajaran Islam. Hal ini membuat Islam menjadi lebih akrab bagi
masyarakat setempat hingga adanya integrasi harmonis antara kedua elemen
tersebut.

7
2.3 Wilayah Dakwah Sunan Gunung Jati
Tidak hanya wilayah Cirebon yang menjadi fokus beliau dalam melakukan
penyebaran Islam. Namun, juga di beberapa tempat sekitar yang masih belum
mengenal ajaran agama Islam dengan baik.

Di bawah ini beberapa tempat atau wilayah yang menjadi perjalanan beliau dalam
melakukan penyebaran ajaran agama Islam:

1. Wilayah Cirebon

Sebagai pusat utama penyebaran ajaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati,
wilayah ini menjadi saksi pendirian pesantren dan terjalinnya hubungan harmonis
dengan pemimpin lokal.

Sunan Gunung Jati dengan tekun menyebarkan Islam di kalangan penduduk


Cirebon. Bahkan sampai saat ini masih terdapat beberapa peninggalan beliau
dalam melakukan penyebaran ajaran Islam di wilayah tersebut.

2. Wilayah Banten

Tidak hanya di tanah Cirebon, salah satu wali songo ini juga menjalankan dakwah
di wilayah Banten. Beliau membangun hubungan erat dengan para penguasa
Banten dan memainkan peran yang signifikan dalam ajaran Islam di wilayah
tersebut.

Relasi ini menjadi cikal bakal terbentuknya kesultanan Banten yang menjadi
sejarah dalam peradaban Islam di wilayah Banten. Adanya kontribusi serta ajaran
dakwah yang lembut dari Sunan Gunung Jati menjadikan ajaran Islam mudah
diterima.

3. Wilayah Pantura Jawa Barat

Beliau juga sering mengunjungi berbagai tempat di sepanjang jalan Pantura,


seperti Indramayu, Subang dan daerah sekitarnya. Hal ini tentunya beliau lakukan
untuk menyebarkan dan mengajarkan nilai-nilai Islam.

4. Wilayah Pesisir Utara Jawa Barat

Sunan Gunung Jati juga memperluas jangkauan dakwahnya ke wilayah pesisir


utara Jawa Barat, mencakup kawasan seperti Pekalongan, Tegal dan sekitarnya.
Beliau berperan dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah tersebut.

8
Hampir sama dengan metode di wilayah lainnya, yakni dengan menyebarkan
ajaran dakwah melalui penggabungan seni dan budaya dari masyarakat setempat.
Melalui metode ini banyak masyarakat yang semakin mengenal ajaran Islam.

2.4 Warisan dan Pengaruh Sunan Gunung Jati


Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1568 di Cirebon. Namun, warisannya
masih hidup hingga saat ini dan masih bisa kita rasakan. Peran beliau dalam
menyebarkan Islam tentunya sangat penting dalam pertumbuhan Islam di
Indonesia.

Pesantren yang didirikannya menjadi pusat pendidikan Islam yang terkemuka dan
keturunannya masih memainkan peran penting dalam pengajaran dan penyebaran
Islam.

Selain itu, tradisi dakwah yang ditanamkan oleh beliau masih menjadi bagian
penting dalam praktek Islam di Indonesia. Pendekatan yang bijaksana dalam
menggabungkan budaya lokal dengan Islam telah menjadi model dakwan baru.

Pengaruh beliau juga terlihat dalam seni dan budaya Jawa Barat. Banyak seni
pertunjukan dan seni rupa di wilayah ini memiliki nuansa Islam yang kuat dan
mencerminkan perpaduan harmonis antara Islam dan budaya Jawa.

Sunan Gunung Jati adalah salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah Islam di
Indonesia. Keberhasilannya dalam menggabungkan budaya lokal dengan ajaran
Islam telah memberikan fondasi yang kuat bagi praktek serta ajaran dalam Islam.

2.5 Gagasan dan Pemikiran Sunan Gunung Jati


Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitulah pola pikir sunan gunung jati, dari
pengalamannya bertempur di Malaka sehingga dari sini dia tahu kelemahan
portugis. Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai
seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan
penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid
Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima
hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Syarif
Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada
gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau.
Menurut Bruinessen, dalam babad-babad tentang Syarif Hidayatullah diceritakan
sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami
akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat
bahwa Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah. Tarekat
Kubrawiyah ialah tarekat yang dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra
yang dalam Babad Cirebon selalu disebut-sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah

9
berguru kepada Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di
Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah.
Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat Syattariyah, Istika’i, Qadiriyah, dan
Naqsyabandiyah.
Menurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah
dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh
Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid
Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat
Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaran-ajaran Wali
Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syekh
Siti Jenar.
Madzhab yang dipakai oleh Sunan Gunung Djati adalah Mazhab
Syafi’i. Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan
Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui
sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran
Ahlulhadits dan Ahlurra ‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan
pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai
tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh
Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah.
Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta
beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam
menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya
dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah
SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia
melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-
Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti
yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa
tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin
terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia
menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan
tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam
Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-
kan hukum syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan
Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm,
pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang
terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf
bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail
bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ‘i

10
sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270
H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i
tersebut.

2.6 Karya Karya Sunan Gunung Jati


1. Tajug dan (atau) Masjid
Pendirian tempat ibadah, khususnya masjid, telah dilakukan sejak Islam masuk di
Cirebon. Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, Pangeran
Cakrabuana kemudian mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug
Jalagrahan (jala artinya air; graha artinya rumah). Masjid ini merupakan masjid
pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Masjid masih
terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi masjid Pejalagrahan. Tempatnya
di dalam Kraton Pakungwati, Kasepuhan. Masjid tersebut dibangun sekitar tahun
1454.[6]
Selain itu, terdapat beberapa bangunan masjid pada masa Syarif Hidayatullah
yang sampai hari ini diakui keberadaannya, yakni masjid merah Panjunan dan
masjid Agung Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjidnya,
sebelum dibangun masjid Agung Sang Cipta Rasa, dibangun terlebih dahulu
masjid Merah Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480 masjid.
Kejayaan era Syarif Hidayatullah juga terlihat dari keberadaan sebuah bangunan
masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang saat ini berada dalam
lingkungan kompleks Kraton Kasepuhan. Masjid itu dibangun 1549 atau jika
seperti tertulis dalam candrasangkala yang berbunyi, “Waspada Penenbehe
Yuganing Ratu”, bermakna 1500. Simbol bangunan masjid melambanhkan
filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup tanpa ruh).[7]
2. Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
Syarif Hidayatllah menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan
negara (kota) Carbon, mulai dengan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal
dengan nama Istana Pakungwati (Pupuh 18, Dhandhanggula)[8]
Karena menjadi bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir
hayatnya lebih memilih untuk menjadi seorang ulama, daripada penguasa dalam
pemerintahan. Baginya, kekuasaan itu telah cukup dijalankan oleh putranya di
Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif Hidayatullah menyerahkan kekuasaan
pemerintahan di Cirebon kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552.
Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai Tepasari. Syarif
Hidayatullah sendiri lebih memilih dan mengkhususkan dalam syiar Islam ke
daerah pedalaman.[9]
3. Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan
Peninggalan dari Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi jalur sutra
perdagangan dunia internasional adalah pelabuhan. Pelabuhan Cirebon diduga
berdiri seiring dengan kelahiran Cirebon pada 1371. Sebagai kota pantai, Cirebon
merupakan pusat perdagangan untuk daerah sekitarnya. Saat ini, pelabuhan

11
Cirebon mempunyai status pelabuhan internasional, pelabuhan samudra dan
pelabuhan ekspor impor, yang berarti pelabuhan Cirebon terbuka bagi kegiatan
bongkar muat barang dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan impor.
Adapun pelabuhan Cirebon dikelola oleh BUMN yang keberadaannya dibawah
manajemen PT (Persero).

2.7 Anak-anak Sunan Gunung Jati


 Pangeran Jaya Kelana
Pangeran Jaya Kelana dikisahkan sebagai pangeran yang nakal, mempunyai hobi
bermain musik sambil menari-nari, susah di atur, pangeran ini juga dikisahkan
suka bergaul dengan para begundal, dan karena saking nakalnya kemudian
pangeran ini dibuang ke pulau terpencil diutara Cirebon.
Pangeran Jaya Kelana dikisahkan iri hati kepada anak-anak sudagar kaya di
Cirebon, anak-anak sudagar bergelimang harta, pakaiannya bagus-bagus, uangnya
banyak, sedangkan Pangeran Jaya Kelana yang anak Sultan Cirebon justru malah
diwajibkan hidup sederhana. Oleh sebab itu pangeran Jaya Kelana memutuskan
menjadi seorang Sudagar, beliau terjun dalam bidang perdagangan di Cirebon,
tampa menunggu lama, rupanya pangeran Jaya Kelana kemudian bergelimang
harta.
Namun harta yang dimiliki sang Pangeran ternyata tidak ada apa-apanya dengan
saudagar lain yang memiliki kapal dan melakukan kegiatan jual beli ke seberang
pulau, melihat hal tersebut Pangeran Jaya Kelana iri hati, beliau kemudian
meniatkan diri agar lebih hebat dari sudagar-saudagar yang berdagang sampai
keluar pulau Jawa itu. Beliaupun memutuskan untuk berlayar ke luar jawa untuk
berdagang. Tapi malang ditengah lautan kapalanya ternyata dihantam gelombang,
beliau terombang-ambing ditas kapalnya, musnahlah seluruh daganganya,
meskipun demikian beliau selamat dari maut.
Mendapati anaknya telah dianggap sudah cinta dunia, Ibunda sang pangeran
Nyimas Rara Jati bersedih hati, kemudan beliau memberikan nasihat kepadanya,
demikian katanya "Anakku janganlah kamu semborno (Tamak Terhadap Dunia),
tidak ushlah kamu berdagang sampai kesebrang pulau, hatimu harus selalu
bersyukur" mendapatkan nasihat dari Ibundanya itu Pangeran Jaya Kelana
kemudian menurutinya, dan kegiatan perdagangan yang ia geluti selama itu
dicampakannya.
Setelah kegagalannya menjadi seorang Sudagar terkaya, rupanya pangeran Jaya
Kelana kini banyak menghabiskan hidup untuk bergaul dengan orang-orang
breman hari-harinya dijalani dengan bermain-main, menikamati musik sambil
menari-nari dengan memainkan tarian kuda lumping, begitulah kehidupan sang
pangeran bersama orang-orang breman. Melihat kedaan anaknya yang semakin

12
susah di atur Ibundanya kemudian menjadi sedih hati. Hingga suatu ketika, ketika
Pangeran Jaya Kelana bersama teman teman sepergaulanya berpetualang
memasuki Gowa Siuk di Kaki Gunung Ciremai, untuk melakukan penjelajahan,
rupanya sang Pangeran menghirup belerang dan seketika pingsan tak sadarkan diri
didalam Gowa itu, sang pangeran kemudian dibawa ke Istana, seharian pangeran
Jaya Kelana tak sadarkan diri. Setelah sadar kemudian ibundanya menasehati
demikian nasihatnya "Anakku mengapa engkau selalu melakukan hal yang
macam-macam, ketahuilah anakku, anak cucu wali itu tidak boleh naik gunung
Ciremai, jangan menuruti ayahmu.." setelah mendapat nasihat Ibundanya itu,
kemudian sang pangeran mencampakan Rebana, serta alat-alat musik lainya
beserta Kuda lumping yang ia miliki.
Setelah dua kali mengalami kejadian buruk akibat tingkah lakunya itu kemudiar
pangeran Jaya Kelana dikisahkan Insaf, beliau kembali menjadi anak seorang Raja
sebagaimana layaknya, hari-hari beliau dihabiskan dengan belajar baik belajar tata
sopan santun, Ilmu Agama dan lain sebagainya. Meskipun Pangeran Jaya Kelana
hidupnya kini dihabiskan untuk belajar Agama, akan tetapi rupanya ilmu-ilmu
yang ia dapat tidak meresap kedalam sanubarinya, pangeran ini tidak peka
terhadap kehidupan orang-orang miskin, beliau dikata cenderung tak mau peduli
terhadap orang-orang miskin. Meskipun demikian Pangeran ini kemudian merasa
cukup dalam kemampuan beragama, beliaupun kemudian memutuskan untuk
berlayar untuk menunaikan Ibdah Haji. Akan tetapi rupanya bencana ditengah
lautan menghalanginya, kapal yang ia tumpangi kembali diterjang gelombang
sehingga hancur berantakan, beliau terombang-ambing ditengah lautan sembari
bersandar di sisa-sisa kayu Kapal. Beliaupun kemudian berhasil selamat, karena
diselamatkan oleh nelayan. Mendapati kejadian buruk yang beberapakalinya
menimpa anaknya itu, Ibunda Pangeran Jaya Kelana kemudian menasihatinya lagi
katanya "Anakku engkau pamit hendak beribadah haji, akan tetapi karena
kelakukanmu engka mendapatkan kemalangan, anakku, keturunan aulia di
Cirebon itu tidak boleh naik haji sebelum ia mempedulikan dan mencintai orang
fakir". Pangeranpun kemudian terdiam tak berkata-kata.
Setelalah peristiwa gagalnya Pangeran Jaya Kelana untuk menunaikan Ibdah haji,
sang pangeran diceritakan aktif didalam masjid, beliau merasa sudah mahir dalam
agama, ia pun kemudian mengajukan diri untuk menjadi Khotib Jumat di Masjid
Kesultanan. Tentu saja para pengurus masjid tak dapat menolak permintaan anak
Rajanya itu. Namun yang terjadi justru membuat gempar seluruh Kesultanan
Cirebon, Pangeran Jaya Kelana menjadi Khotib dan Imam Jumat tidak sesuai
dengan syariat dan tata-cara Shalat Jumat yang telah ditetapkan kesultanan, sang
Pangeranpun kemudian dianggap mencoreng Agama, dan dianggap batal menjadi
Khotib oleh para ulama dan aulia dikesultanan Cirebon. Waktu kejadian ini Ayah
beliau Syarif Hidayatullah tidak mnyaksikan peristiwa, karena beliau sedang
melakukan kunjungan kenegaraan di Pajang. Para Awlia dan Ulama di Cirebon
kemudian marah besar terhadap pangeran, diantaranya Syekh Datul Kahfi, Sunan

13
Makdum, Syekh Hatim, Pangeran Kadarjati, Dan Fakih Abdullah. Para ulama
tersebut kemudian mengajukan tuntutan ke Kesultanan agar sang pangeran
dihukum. Dibawalah kemudian Pangeran Jaya Kelana dalam pengadilan, namun
ketika dibawa kepengadilan tak ada satupun hakim yang berani memutuskan
hukuman apa yang tepat untuk dijatuhkan kepada pangeran. Mengingat waktu itu
Syarif Hidayatullah sedang tidak ada di Cirebon. Hukuman kemudian ditunda.
Setelah beberapa lamanya kemudian Syarif Hidayatullah selaku Sultan Cirebon I
yang tak lain merupakan ayah dari Pangeran Jaya Kelana datang kembali ke
Cirebon, mendapati laporan dari bahwannya soal kelakukan anaknya itu,
kemudian Syarif Hidayatullah mengumpulkan seluruh pejabat, dan tamu Negara
yang berada di Cirebon untuk menyaksikan penjatuhan hukuman bagi anaknya.
Dalam pengadilan tersebut kemudian Syarif Hidyatullah menjatuhkan hukuman
agar Pangeran Jaya Kelana ditimbang bobot tubuhnya dengan uang dinar, setelah
uang dinar itu menyamai bobot dari Pangeran Jaya Kelana kemudian uang itu
dibagikan kepada orang miskin, selain itu pangeran Jaya Kelana juga dijatuhi
hukuman buang, beliau dibuang ke sebuah pulau yang terletak di laut utara
Cirebon yang jauhnya 40 hari perjalanan kaki Setelah peristiwa ini. kemudian
Syarif Hidayatullah menetapkan agar jangan lagi Para Pangeran menjadi Khotib
Jumat di Kesultanan Cirebon.
Selepas dihukum buangnya Pangeran Jaya Kelana, tidak ada kabar lagi
mengenainya, bahkan dalam sumber-sumber sejarah Cirebon, Pangeran Jaya
Kelana dianggap tidak mempunyai keturunan. Sementara itu menganai makam
Pangeran Jaya Kelana, ternyata dapat ditemui di komplek pemakaman Sunan
Gunung Jati di Gunung Sembung dapat ditemui. Diduga selepas hukumannya
selesai, Pangeran Jayakela kembali ke Cirebon sehingga wafat dan dimakamkan
di komplek Pemakaman Raja-Raja dan Keluarga Raja di Gunung Sembung.
Kelak yang menggantikan kedudukan Pangeran Jaya Kelana sebagai putra
mahkota adalah adiknya yang bernama Pangeran Brata Kelana, akan tetapi
Pangeran Brata Kelana rupanya wafat sebelum naik tahta, sebab terbunuh oleh
perompak yang merampoknya di tengah pelayaran.
 Pangeran Brata Kelana
Pangeran Brata Kelana adalah adik dari Pangeran Jaya Kelana, jika kakaknya
terkenal akan kenakalannya, maka tidak demikian dengan sang adik, Pangeran
Brata Kelana dikenal sebagai Pangeran yang membanggakan Negara, beliau pada
mulanya direncanakan akan djadikan pewaris tahta Kesultanan Cirebon, namun
sayang, sebelum dinobatkan menjadi Sultan rupanya beliau wafat dengan tragis.
Pangeran Brata Kelana merupakan Putera Sunan Gunung Jati dari Istinya Nyimas
Rarajati, karena prestasinya yang gemilang beliau kemudian dinikahkan dengan
Ratu Nyawa anak Sultan Demak Ke III Pangeran Trenggana. Pangeran Brata
Kelana mempunyai nama lain Pangeran Gung Anom, sementara setelah

14
kewafatanya yang tragis itu, beliau kemudian digelari dengan nama Pangeran
Seda Ing Lautan[1]. Seda Ing Lautan bermaksud meninggal di lautan (Seda-
Meninggal. Ing Lautan di Laut), dinamakan demikian karena Pangeran
Bratakelana meninggal terbunuh ditengah-tengah lautan.
Menurut Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, beliau diceritakan wafat dengan
Tragis, kisah tragedi kewafatan beliau dimulai ketika beliau mengadakan
perjalanan laut, ada kemungkinan perjalanan dari Demak menuju Cirebon, atau
sebaliknya. Waktu itu beliau berada di wilayah pantai Gebang, di Gebang beliau
dihadang oleh kapal perompak, terjadi pertarungan sengit antara Gerombolan
Perompak dengan Pangeran Brata Kelana beserta pengawalnya, akan tetapi karena
jumlah Perompak yang begitu banyak, akhirnya Pangeran Bratakelana terbunuh.
Jasad Pangeran Brata Kelana dibuang dilautan oleh perompak, sementara harta
kekayaan dalam kapal dijarah, mayat Pangeran Brata Kelana terdampar di pesisir
pantai Mundu (Cirebon), mayatnya ditemukan oleh nelayan, setelah ditemukan,
mayat tersebut kemudian dimakamkan di daerah itu juga.
Dalam peristiwa tragis itu, dikisahkan ada beberapa Prajurit yang selamat dari
maut, kemudian mereka melaporkan kejadian tersebut ke Sultan Cirebon yang tak
lain merupakan ayah dari Pangeran Brata Kelana.
Mendapati anaknya terbuh dengan tragis, Sunan Gung Jati amat murka, beliau
kemudian memerintahkan Prajurit lautnya yang dipimpin Ki Gede Bungko untuk
melakukan penumpasan Perompak di wilayah laut Kesultanan Cirebon. Ekspedisi
militer pencarian Perompak itu kemudian berhasil menemukan perompak
perompak kejam itu, pada akhirnya Ki Gede Bungko menemukan mereka
sehingga kemudian menumpasnya sampai tak bersisa.
Disisi lain, Ratu Nyawa anak Sultan Demak III setelah peristiwa itu hidupnya
begitu merana, saban hari mengingat-ingat suaminya yang telah tiada. Mendapati
menantunya tengah berduka, Sunan Gunung Jati merasa iba. sehingga akhirnya
Sunan Gunung Jati memerintahkan putera yang lainnya, yaitu Pangeran Pasarean
dari istrinya yang bernama Nyimas Rara Tepasan untuk menikahi Ratu Nyawa
Janda kakanya.

 Ratu Winahon
Ratu Winahon adalah salah satu putri Sunan Gunung Jati yang lahir dari Nyimas
Kawunganten, istri kedua Sunan Gunung Jati. Ratu Winahon menurut Naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari lahir pada tahun 1477. Beliau juga merupakan
adik dari Pangeran Sebakingkin (Maulana Hasanudin) Sultan Banten pertama. Ibu
Ratu Winahon merupakan anak dari Sang Surosowan, sementara Sang Surosowan
sendiri adalah orang yang dikemudian hari menjabat sebagai Pucukumun Banten,
beliau juga merupakan putra Prabu Siliwangi (Srt Baduga Maharaja) dengan
Kentring Manik Mayang Sunda. Selainn itu, Sang Surosowan juga merupakan
adik Sang Surawisesa Raja Pajajaran kedua pengganti Prabu Siliwangi.

15
Selepas Sang Surosowan wafat, kedudukan Pucukumun Banten digantikan oleh
anak laki-lakinya yang bernama Sang Suranggana, sementara anak perempuannya
yaitu Nyimas Kawunganten dikemudian hari dinikahkan dengan Sunan Gunung
Jati (Syarif Hidayatullah) pada tahun 1475.
Baik ayah maupun ibu Ratu Winahon adalah sama-sama cucu Prabu Siliwangi,
akan tetapi lahir dari beda ibu karena Sunan Gunung Jati lahir dari Nyimas Rara
Santang, yaitu putri Prabu Siliwangi yang lahir dari Nyimas Subang Larang.
Ratu Winahon dinikahi oleh Pangeran Atas Angin, yaitu seorang Pangeran yang
berasal dari negeri atas angin, negeri ini menurut sebagian orang disebut sebagai
Minangkabau namun sebagiannya lagi menyebutnya Jambi, Pangeran Atas Angin
berdasarkan catatan Rabithah Alawiyah nama aslinya Sayyid Abdurrahman, Ratu
Winahon setelah menikah dengan Pangeran Atas Angin berganti nama menjadi
Syarifah Khadijah. Dari perkawinannya dengan Pangeran Atas Angin, Ratu
Winahon menurut sumber tersebut juga dikisahkan melahirkan lima orang
keturunan, yaitu; 1. Abdullah 2. Sulaiman 3. Ahmad (Tuan Idrus Darussalam) 4.
Muhammad (Tuanku Di Pulau), dan 5. Fatimah
Meskipun Ratu Winahon dikisahkan tinggal di negeri atas angin (Pulau Sumatra),
makam beliau dijumpai di Jawa Timur tepatnya di Desa Swadesi, Bangil, Kab
Pasuruan.
Makam Syarifah Khudijas, Plasurtuan Masyarakat setempat secara turun temurun
menyebut makam tersebut merupakan makam Syarifah Khadijah binti Sunan
Gunung Jati, masyarakat setempat juga mengenalnya dengan nama makam Ratu
Ayu binti Sunan Gunung Jati.
 Maulana Hasanuddin
Perjalanan Maulana Hasanuddin menuju Banten Pada Suatu hari Syarif
Hidayatullah yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati berucap kepada
putranya “Hai Anakku Hasanuddin, sekarang pergilah engkau dari Cirebon dan
carilah negeri yang penduduknya belum memeluk Islam”. Lalu setelah mendengar
titah orang tua beliau, maka berangkatlah beliau seorang diri ke arah barat.
Setelah setengah perjalanan beliaupun mendaki gunung Munara yang terletak
diantara Bogor dan Jasinga. Dan beliau bermunajat selama 14 hari meminta
kepada Allah SWT supaya mendapat petunjuk. Dalam munajatnya datanglah sang
ayah Sunan Gunung Jati lalu berucap “Hai anakku Hasanuddin, turunlah engkau
dari Gunung Munara dan berjalanlah engkau ke arah barat ke Gunung Pulosari,
yaitu negeri Azar. Negeri Azar adalah negerinya Pucuk Umun yang dinamai Ratu
Azar Domas. Lalu pergilah ke Gunung Karang yaitu negerinya Azar”. Setelah
berbicara ayahanda beliau kembali ke Cirebon. Setelah mendapat petunjuk,
akhirnya beliaupun turun gunung dan akhirnya berhenti di negeri Banten Girang
yakni di sungai Dalung. Disana adalah tempat bersemedinya Ki Ajar Jong dan Ki
Ajar Ju, beliau berdua adalah saudara Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran. Ratu
Pakuan dinamai Dewa Ratu dan Ratu Pajajaran dinamai Prabu Siliwangi.

16
Sebelumnya Ki Ajar Ju dan Ki Ajar Jong telah diberi mimpi bertemu dengan
Maulana Hasanuddin dan kemudian memeluk Islam dalam mimpi mereka berdua.
Maka, sesampainya Maulana Hasanuddin di Banten Girang dan duduk disisi
sungai Dalung, keluarlah Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju dari dalam Gua tempat
pertapaan beliau berdua, lalu bersalaman dan mencium tangan Maulana
Hasanuddin setelah bercerita akhirnya beliau berdua diajari membaca syahadat
oleh Maulana Hasanuddin dan keduanya bertekad bulat memeluk Islam. Akhirnya
oleh Maulana Hasanuddin kedua santrinya ini diganti namanya dari Ajar Jong
menjadi Mas Jong dan Ajar Ju diganti menjadi Agus Ju dan Maulana
Hasanuddinpun memberikan arahan kapada keduanya apabila memiliki keturunan
maka diharapkan keduanya memberikan ciri dalam nama keturunan keduanya.
Kepada Mas Jong, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila suatu saat kamu
mempunyai anak, maka berilah nama anak laki-lakimu yang tertua dengan
tambahan Mas dan yang termuda Entul dan apabila memiliki anak perempuan
berilah nama Nyi Mas”. Dan kepada Agus Ju, Maulana Hasanuddin berkata
“Apabila kelak satu saat kamu mempunyai anak, maka berilah tambahan pada
nama anak laki-lakimu yang tertua Ki Agus dan yang termuda Ki Entul dan
apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Ayu”. Demikianlah sejarah
keturunan nyi mas, nyi ayu, entul, ki agus dan mas yang berasal dari keturunan
santri Maulana Hasanuddin ini. Selanjutnya Mas Jong dan Agus Ju diperintah
oleh Maulana Hasanuddin untuk menaklukkan Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran,
maka berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju sesuai titah Maulana Hasanuddin.
Penaklukan Pucuk Umun Ditempat berbeda Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran telah
mengetahui akan kedatangan saudara-saudara mereka yang akan menaklukkan
mereka, maka sebelum Mas Jong dan Agus Ju datang, Ratu Pakuan dan Ratu
Pajajaran kabur dari tempat semedi dan berkumpul ke Gunung Pulosari tempat
Pucuk Umun berada. Setibanya ditempat semedinya Ratu Pakuan dan Ratu
Pajajaran, Mas Jong dan Agus Ju-pun tidak mendapati Ratu Pakuan atau Ratu
Pajajaran berada di tempat semedi keduanya, maka Mas Jong dan Agus Ju-pun
kembali ke Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin dan melaporkan
bahwa Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran tidak ada dan telah menghilang dari
tempat semedi keduanya. Mendengar laporan dari keduanya tentang keberadaan
Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran yang tidak di ketahui. Maulana Hasanuddin pun
berkata kepada santri beliau ini “Mari kita datangi saja ke Gunung Pulosari, kalian
ikuti langkahku”. Maka keduanyapun mengikuti seperti apa yang disarankan
Maulana Hasanuddin kepada mereka bedua. Maka berangkatlah mereka bertiga
menuju Gunung Pulosari, Di Gunung Pulosari ditempat Pucuk Umun berada,
Pucuk Umun telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin dan santrinya
berencana mengislamkan Pucuk Umun dan teman-teman. Maka
bermusyawarahlah Pucuk Umun bersama rekan-rekannya, setelah bermusyawarah
Pucuk Umun pun duduk di atas batu putih tempat bersemedinya di Kandang
Kurung yang ditemani oleh Ajar Domas Kurung Dua. Maka tibalah Maulana
Hasanuddin ke Kandang Kurung dan menemui Pucuk Umun yang sedang duduk,
berkatalah Maulana Hasanuddin “Hai Pucuk Umun, Saya datang kemari mau
menaklukan kamu, sekarang kamu semua Islamlah, masuklah kamu ke agama
Nabi (Muhammad SAW), berucaplah kalian semua Dua Kalimat (Syahadat)”.

17
Lalu berkatalah Pucuk Umun “Tuan, Saya belum tunduk ke agama Nabi
(Muhammad SAW) dan saya belum takluk kepada tuan apabila belum kalah
dalam tarung kesaktian, sehingga apabila saya kalah kesaktian maka saya baru
takluk kepada tuan”. Mendengar tantangan Pucuk Umun tersebut, Mualana
Hasanuddin-pun berkata “Silahkan engkau pilih tarung kesaktian apa yang engkau
inginkan?”. “baiklah, saya ingin tarung kesaktian dengan tarung ayam” ujar Pucuk
Umun. Akhirnya disetujuilah permintaan Pucuk Umun tersebut oleh Maulana
Hasanuddin, akhirnya mereka-pun mencari arena yang luas untuk tarung
kesaktian, dan didapatilah suatu lahan yang berada di wilayah Waringinkurung
yaitu disuatu kebon yang rata yang disebut Tegal Papak. Selanjutnya Pucuk Umun
dan para Ajar istidroj dan membuat ayam jago yang terbuat dari besi, baja, dan
pamor yang terbuat dari sari baja dan rosa. Akhirnya jadilah barang-barang
tersebut seekor ayam jago yang memiliki raut mirip jalak rawa. Dilain tempat
Maulana Hasanuddin bermunajat kepada Allah SWT. Memohon pertolongan
untuk mengalahkan dan menaklukkan Pucuk Umun, agar Pucuk Umun dan para
Ajarnya memeluk agama Nabi Muhammad SAW. Dengan kekuasaan Allah SWT.
Maka datanglah jin dan atas keinginan Maulana Hasanuddin berubahlah jin
tersebut menjadi seekor ayam jago dan memiliki raut mirip jalak putih. Setelah
siap maka Maulana Hasanuddin yang diikuti kedua muridnya Mas Jong dan Agus
Ju serta para jin yang membawa palu yang terbuat dari besi magnet berangkat
menuju tempat pertandingan. akhirnya rombongan Maulana Hasanuddin-pun
sampai di Tegal Papak pada hari Selasa, disana rombongan dan pengikut Pucuk
Umun telah berada ditempat menunggu kedatangan Maulana Hasanuddin. Setelah
berjumpa keduanya, maka Pucuk Umun berkata kepada Maulana Hasanuddin
“Tuan, inilah ayam jago saya, apabila kalah kami sanggup takluk kepada tuan”.
“Saya pun demikian, apabila kalah dengan ayam jago mu, saya akan menghamba
kepadamu” balas Maulana Hasanuddin. Lalu bertarunglah ayam jago Pucuk
Umun dan ayam jago Maulana Hasanuddin, gemuruh senangpun datang dari
Pucuk Umun dan Ajarnya. Serangan ayam jago Pucuk Umun seperti suara guntur,
tepuk tangan dan rasa riang menyelimuti rombongan Pucuk Umun yang meyakini
bahwa ayam jago mereka bakal memenangkan pertarungan. namun meski
serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh ayam jago Pucuk Umun kepada ayam jago
Maulana Hasanuddin, ayam jago Maulana Hasanuddin tidak surut dan terus
berusaha mengalahkan ayam jago Pucuk Umun. Disatu waktu akhirnya ayam jago
Maulana Hasanuddin mampu menghancurkan ayam jago Pucuk Umun menjadi
debu. Melihat kekalahan ayam jago Pucuk Umun, gemuruh senang dan tepuk
tanganpun berhenti menjadi sepi senyap. Selanjutnya kembali pulanglah Ajar dan
juga ayam jago yang hancur tadi mewujud seperti asalnya menjadi besi pamor dan
baja. Sementara para Ajar Domas masuk Islam dihadapan Maulana Hasanuddin
dan membaca dua kalimat syahadat disaksikan Maulana Hasanuddin. sementara
itu, Pucuk Umun yang telah dikalahkan berkata kepada Maulana Hasanuddin
“Tuan, saya belum takluk kepada tuan karena masih banyak kesaktian saya,
apabila telah habis barulah saya takluk”. mendengar tantangan Pucuk Umun,
Maulana Hasanuddinpun membalas “keluarkan semua kesaktianmu saat ini, saya
ingin tahu kemampuanmu”. akhirnya Pucuk Umun pun terbang dan hilang dari
penglihatan Maulana Hasanuddin. selanjutnya dari balik mega Pucuk Umun

18
memanggil nama Maulana Hasanuddin. mendengar panggilan Pucuk Umun,
Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Hai Mas Jong dan Agus Ju,
datangilah Pucuk Umun yang berada di balik mega dan pukullah sekalian” lalu
berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju ke atas awan, saat akan dipukul oleh Mas
Jong dan Agus Ju, Pucuk Umun pun menjerit dan menghilang lagi. Melihat hal
demikian, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Dengan ridho
Allah SWT. Pucuk Umun jadilah kafir iblis laknaktullah, tidak ingin masuk Islam,
kamu berdua pulanglah”. maka turunlah kedua santri tersebut dari langit, setelah
berkumpul berangkatlah rombongan Maulana Hasanuddin, Mas Jong dan Agus Ju
yang diikuti juga oleh para Ajar Domas dari Tegal Papak menuju Gunung
Pulosari.

Penaklukan Ratu Darah Putih Sesampainya rombongan Maulana Hasanuddin di


Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati datang menghampiri Maulana Hasanuddin
dan berucap “Hai anakku Hasanuddin, mari kita pergi haji ke Makkah, karena
sekarang adalah hari haji”. Selanjutnya Maulana Hasanuddin dibungkus
selendang Sunan Gunung Jati. berangkatlah Sunan Gunung Jati dan Maulana
Hasanuddin menuju Makkah Al-Mukarromah meninggalkan Mas Jong dan Agus
Ju beserta para Ajar Domas di Gunung Pulosari. Di Makkah Maulana Hasanuddin
melaksanakan towaf dan diajarkan thoriqat Syathariyah, lalu berangkat ke
Madinah. setelah selesai melaksanakan haji, Maulana Hasanuddin kembali ke
Gunung Pulosari beserta ayahanda beliau. Setelah Maulana Hasanuddin
menjalankan ibadah haji, terdengar kabar kematian beberapa penjaga Banten yaitu
Pucuk Umun di Jung Kulon, Dewa Ratu di Panahitan, Prabu Langkarang di
Tanjung Tua, Prabu Langka Wastu di Gunung Raja Basa, Prabu Langgawana di
Gunung Lor, Prabu Mundaeng Kalangon di Puncak Gunung Karang, Brama
Kendala di Gunung Pulosari, Sida Sakti di Gunung Tanjung Pujut, Prabu
Mundaiti di Gunung Kendeng, Prabu Lengkang Klincang Kangkaring di Gunung
Karawang. dari sekian Ajar yang meninggal yang masuk Islam dan kekal dalam
Islamnya yaitu berjumlah 486 orang Ajar.

Setelah pulang dari Makkah bersama ayahanda Sunan Gunung Jati, Sunan
Gunung Jati memberikan titah kepada Maulana Hasanuddin “Hai anakku, carilah
negara setengahnya adalah lautan”. Maka, Maulana Hasanuddin pun mengikuti
titah ayah beliau, Maulana Hasanuddin kembali ke Banten Girang diikuti oleh
Mas Jong dan Agus Ju beserta para Ajar. Sesampainya di Banten Girang Maulana
Hasanuddin mengumpulkan seluruh pengikutnya, lalu Maulana Hasanuddin
berkata “Sekarang tunggulah kalian semua disini (Banten Girang), karena saya
hendak berkeliling bersama santri dua ini yaitu Mas Jong dan Agus Ju” setelah
berkata demikian, Maulana Hasanuddin beserta Mas Jong dan Agus Ju
meninggalkan para Ajar di Banten Girang. Selanjutnya Maulana Hasanuddin
berjalan dari Banten Girang ke arah Selatan, lalu mengikuti pesisir selatan ke arah
UJung Kulon, lalu ke Penahitan tanpa menggunakan perahu lagi. sesampainya
ditengah-tengah dari Jung Kulon, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua
santrinya “Menyelamlah kamu ke dalam lautan, ambilah Gong Kaleng” maka
menyelamlah kedua dan berhasil mendapatkan Gong Kaleng. setelah mengangkat
Gong Kaleng, Maulana Hasanuddin turun dari Panahitan dan melanjutkan ke

19
Pulau Semangka terus ke Sidebu dan melanjutkan ke Bangka Hulu dan
dilanjutkan ke Pulau Sulaibar lalu ke Malangkabu di Malangkabu Maulana
Hasanuddin berjumpa dengan Raja Malangkabu, dari sana beliau melanjutkan
perjalanan ke arah Utara mengikuti pesisir hingga sampailah di Sirem negerinya
Ratu Darah Putih Tanah Liat. disana Ratu Darah Putih sudah mendapat isyarat
dari Allah SWT. agar masuk Islam dan akan datang kepadanya Seorang
Waliyullah. Ratu Darah Putih akhirnya dapat bertemu dengan Maulana
Hasanuddin di tengah laut, Ratu Darah Putih-pun Masuk Islam dan diajarkan dua
kalimat syahadat oleh Maulana Hasanuddin. setelahnya masuk Islam Ratu Darah
Putih diserahi oleh Maulana Hasanuddin untuk mengislamkan seluruh penduduk
Lampung dan kepadanya diperintah menanam Merica di tanah Lampung.
akhirnya keduanyapun berpisah Ratu Darah Putih pulang dan mengislamkan
penduduk Lampung, sementara Maulana Hasanuddin kembali ke Timur menuju
Karawang, dari Karawang Maulana Hasanuddin melanjutkan perjalanannya ke
arah Selatan melewati hutan hingga sampai di Bogor Utara, lalu kembali kearah
Barat melewati hutan dan sampai di Ujung Kulon dari Ujung Kulon kembali
pulang ke Banten Girang hingga menetaplah Maulana Hasanuddin di Banten
Girang.

Pengangkatan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten Pertama Setelah


menetap di Banten Girang, Maulana Hasanuddin berucap kepada Mas Jong dan
Agus Ju agar menempatkan masyarakatnya dan mendirikan perkampungan
Banten. Maka keduanya pun segera melaksanakan titah Maulana Hasanuddin
membuka dan membersihkan hutan dan pegunungan untuk didirikan
perkampungan-perkampungan dan keduanya mengajak masyarakat untuk
menempati hutan dan pegunungan yang sudah dibersihkan tersebut.

Setelah selesai dengan tugasnya Mas Jong dan Agus Ju pun akhirnya kembali ke
Banten Girang melaporkan tugas yang telah dilaksanakannya kepada Maulana
Hasanuddin. Suatu hari Maulana Hasanuddin berangkat dari Banten Girang
menuju ke arah Utara mengikuti jalan pesisir Banten Serang, dan terus berjalan di
atas laut diiringi oleh kedua santrinya Mas Jong dan Agus Ju. Ketika sampai di
tengah lautan mereka sholat dua rakaat, setelah selesai dari sholatnya maka
lautpun kering dan menjadi daratan, maka duduklah Maulana Hasanuddin di atas
batu gilang (batu yang berwarna hitam pekat) yang ada di pancaniti (aula), yaitu
disifati negri di jajaloka (Jayaloka) negri Surosoan. Disitulah Maulana
Hasanuddin mendirikan keraton yang dinamai Kipanggang rupanya seperti tempat
panggangan ikan pari. Setelah keraton selesai didirikan, maka sang ayah Syarif
Hidayatullah datang dan memberikan kabar kepada Maulana Hasanuddin bahwa
Pangeran Ratu (Ratu Ayu Kirana) ibunda dari Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf,
Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya,
Ratu Agung atau Ratu Kumadaragi, Pangeran Molana Magrib dan Ratu Ayu
Arsanengah ini telah ditetapkan sebagai Sultan di Demak oleh Maulana Syarif
Hidayatullah, maka menjadi ketetapan Maulana Syarif Hidayatullah juga kalau
Maulana Hasanuddin menjadi Sultan di Banten. Setelah Maulana Syarif
Hidayatullah selesai mengutarakan tujuannya tanpa menunggu lama Maulana
Syarif Hidayatullah berangkat kembali menuju Cirebon.

20
Maka jadilah Maulana Hasanuddin Sultan Banten pertama, pertama tugas yang
dilaksanakan oleh Maulana Hasanuddin adalah mendirikan masjid Agung, dan
dalam titahnya sebagai Sultan Maulana Hasanuddin menugaskan Indra Kumala
penjaga Gunung Karang yang bertempat tugas di Sumur Tujuh, Manik Kumala
ditugaskan menjaga pemandian sungai Banten, Mas Jong ditugaskan menjaga
Pintu Merah (Lawang Abang) di dalam istana sebelah kanan, dan Agus Ju
ditugaskan menjaga pintu Utara.

 Ratu Ayu Wangunan

Ratu Ayu Wanguran adalah putri Sunan Gunung Jati dari Rara Tepasan kelak putri
ini dinikahi oleh Sultan Demak kedua (Pati Unus). 6. Pangeran Pasarean adalah
putra Sunan Gunung Jati dari Rara Tepasan.
 Pangeran Pasarean
Pangeran Pasarean yang mempunyai nama asli Pangeran Muhamad Arifin dalam
sejarah Cirebon disebut sebagai salah satu anak Sunan Gunung Jati yang cukup
ternama, beliau merupakan anak Sunan Gunung Jati dari Rara Tepasan, Putri dari
kerajaan Majapahit. Rara Tepasan merupakan satu-satunya wanita Jawa yang
dinikahi oleh Sunan Gunung Jati, selain itu Rara Tepasan juga dikisahkan sebagai
wanita yang paling cerdas dalam tata kelola keraton, mengingat Rara Tepasan
merupakan Putri dari KI Ageng Tepasan yang dahulu dididik di Istana Kerajaan
Majapahit, oleh karena itu ia sangat akrab dengan tata kelola keraton.
Pangeran Pasarean merupakan anak bungsu dari Rara Tepasan, ia mempunyal
kakak perempuan yang bernama Ratu Ayu Wanguran. Kakak perempuana satu-
satunya itu kelak menikah dengan Pangeran Sabrang Lor, atau Pati Unus yang
kemudian menjabat sebagai Sultan Demak ke II.
Selama hidupnya, Pangeran Pasarean pernah menikah dua kali, yaitu dengan Ratu
Dewi anak dari Ki Arya Kedung Soka, dan menikah dengan Ratu Nyawa, anak
Pangeran Trenggono, Sultan Demak ke tiga. Dengan Ratu Dewi Pangeran
Pasarean tidak dikaruni anak, akan tetapi pernikahannya dengan Ratu Nyawa
dikaruniai 6 orang anak, yaitu: 1. Pangeran Kasatrian 2. Pangeran Panembahan
Losari 3. Pangeran Sedang Kemuning/Swarga (Berjuluk Dipati Carbon 1) 4. Ratu
Bagus 5. Ratu Mas Tuban 6. Pangeran Raju Dalam sejarah Cirebon, Pangeran
Pasarean merupakan putra mahkota, la diangkat menjadi putra mahkota setelah
kakak tirinya Pangeran Bratakelana yang kala itu menjabat sebagai Putra Mahkota
wafat dibunuh oleh perompak ditengah laut.
Ratu Nyawa sendiri pada mulanya merupakan istri kakaknya, akan tetapi selepas
kewafatan kakanya, ia diperintahkan oleh Sunan Gunung Jati untuk mengawini
janda kakaknya, tujuannya agar hubungan antara Cirebon dan Demak terus
terjalin dengan erat.

21
Meskipun direncanakan akan dijadikan Sultan Cirebon pengganti Sunan Gunung
Jati, tapi rupanya Pangeran Pasarean wafat mendahului ayahnya, beliau wafat
karena sakit di Demak. Sementara dalam versi lain beliau wafat terbunuh oleh
Arya Penangsang karena membela Sunan Prawoto. Latar belakang tragedi
terbunuhnya Pangeran Pasarean, diawali terbunuhnya Sultan Trenggono, oleh
bocah pengiringnya, ketika mengadakan penyerangan ke Pasuruan. Kemudian,
terjadilah huru hara di kalangan kerabat keraton Kesultanan Demak Calon
pengganti Sultan Trenggono adalah puteranya, Sunan Prawoto. Kekosongan tahta
Demak, dimanfaatkan oleh Arya Penangsang, Bupati Jipang, putera Pangeran
Sekar (putera Raden Patah).
Pangeran Sekar, adalah tokoh yang dibunuh oleh Sunan Prawoto, untuk
memperlancar kenaikan tahta ayahnya, Sultan Trenggono. Atas restu gurunya,
Sunan Kudus, Jipang menyerang Demak, dan Prawoto tewas di tangan Arya
Penangsang. Pangeran Hadiri (suami Ratu Kalinyamat), adiknya Prawoto, tewas
pula. Pada saat peristiwa itu terjadi, putera mahkota Cirebon, Muhammad Arifin
(Pangeran Pasarean), sedang berada di Demak, ia pun tewas di tangan Arya
Penangsang, karena berupaya membela Prawoto. Peristiwa itu sangat melukai hati
Susuhunan Jati Cirebon. Sebelum menikah dengan janda kakanya, Pangeran
Pasarean mulanya ditugaskan oleh Sunan Gunung Jati sebagai penjaga tapal batas
Kesultanan Cirebon dengan Rajagaluh, akan tetapi selepas kematian kakaknya
Pangeran Pasarean kemudian pindah ke Demak untuk mengabdi disana hingga
kewafatannya.

BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Sunan gunung jati atau Raden Syarif Hidayatullah merupakan salah satu dari
ulama besar walisongo yang menyebarkan Islam di pulau jawa. Raden Syarif
Hidayatullah dilahirkan pada 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin
Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan Musafir besar dari
Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama besar di Hadramaut.
Syarif Hidayatullah diceritakan sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah telah mendalami akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan
tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat bahwa Syarif Hidayatullah merupakan
penganut Tarekat Kubrawiyah. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang
dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad
Cirebon selalu disebut-sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada
Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia
mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Syarif

22
Hidayatullah juga belajar Tarekat Syattariyah, Istika’i, Qadiriyah, dan
Naqsyabandiyah.
Karya dari Sunan Gunung Jati adalah
· Tajug dan (atau) Masjid
· Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
· Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan

3.2 Kritisi
Sunan Gunung Jati merupakan Wali songo yang banyak memperdalam ilmu
Tasawuf terbukti dengan banyak nya tarekat yang beliau pelajari. Menurut
sebagian sejarah beliau juga bisa menyembuhkan orang yang sakit, beliau juga
sering melakukan dzikir dan amalan-amalan seorang sufi. Beliau juga terlihat
tidak mementingkan urusan dunia, terbkti bahwa beliau memilih menjadi seorang
penyebar agama islam dari pada seorang raja di Mesir di Negara tempat ayahanda
nya tinggal. Dan ketika di Indonesia pun beliau menyerahkan kekuasaan nya
seperti keraton kepada anaknya, dan perilaku tersebut menggambarkan bahwa
beliau seseorang yang tidak terpaku kepada urusan duniawi beliau hanya
mengharap keridhoan dan kecintaan dari Alloh SWT. Beliau juga seseorang yang
sangat di kagumi karena kecerdasannya.
Selain seorang pengamal Tasawuf beliau juga bermadzhab imam syaf’I yang
berdiri di tengah di antara perbedaan- perbedaan pendapat. Beliau tidak hanya
terfokus dalam suatu ilmu saja tapi beliau juga sangat cerdas sehingga dapat
memahami berbagai macam ilmu. Pantas saja beliau menjadi Wali Alloh dan di
cintai oleh umat islam

3.3 Saran
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi

23
Lampiran

24
Daftar Pustaka

kaM. hariwijaya Sunan Gunung Jati Pendiri Kerajaan Islam Cirebon, Yogyakarta,
2006,
https://informazone.com/sunan-gunung-jati/
Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati,
Bandung: Pustaka, 2007
Suprapto Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gramedia, 2009
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999 cet. III.
Sulendraningrat Sulaeman, Babad Tanah Sunda,
Paramita R. Abdurrachman, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto Jakarta: Depdikbud,
1979
Adeng ,dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta:
Depdikbud, 1998
Keturunan Sunan Gunung Jati Dari Istri-Istrinya - Sejarah Cirebon
(historyofcirebon.id)
Pangeran Jaya Kelana, Putra Sunan Gunung Jati Ternakal - Sejarah Cirebon
(historyofcirebon.id)
Pangeran Brata Kelana, Putera Sunan Gunung Jati Yang Wafat Tragis - Sejarah
Cirebon (historyofcirebon.id)
Ratu Winahon, Putri Sunan Gunung Jati - Sejarah Cirebon (historyofcirebon.id)
Sultan Maulana Hasanudin "Pangeran Sebakingking" ibni Syarif Hidayatullah (b.
- 1570) - Genealogy (geni.com)
Istri, Anak, Cucu dan Cicit Sunan Gunung Jati - Sejarah Cirebon
(historyofcirebon.id)
Pangeran Pasarean Cirebon - Sejarah Cirebon (historyofcirebon.id)

25

Anda mungkin juga menyukai