BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Serat Poliester
Serat poliester merupakan jenis serat buatan yang mulai dikembangkan pada tahun
1.941 oleh JR. Whinfield dan JT. Dickson dari Calico Printers Association. Poliester
dibuat dari asam tereftalat dan etilena glikol. Pembuatan serat poliester dilakukan
dengan cara pemintalan leleh hingga menghasilkan serat poliester filament. Staple
poliester dibuat dengan cara yang sama tetapi serat filament tersebut harus
mengalami proses pengeritingan dahulu lalu dipotong-potong dalam panjang
tertentu. [3]
Sumber : Nakajima T, Advanced Fiber Spinning Technology, Woodhead Publishing Limited, halaman
250, 1994, Jepang
7
8
Sifat-sifat fisika yang dimiliki oleh serat poliester yaitu sebagai berikut :
1. Kekuatan dan mulur
Kekuatan dan mulur serat poliester dalam keadaan basah sama dengan
keadaan kering. Kekuatan serat poliester 4,5 gram/denier sampai dengan 7,5
gram/denier. Mulur serat poliester 7,5 % sampai dengan 25 % tergantung jenis
serat poliester.
2. Elastisitas
Poliester memiliki sifat elastisitas yang sangat baik sehingga kain yang
berbahan serat tersebut tahan kusut. Jika benang poliester ditarik dan kemudian
dilepaskan, pemulihan yang terjadi dalam satu menit adalah sebagai berikut :
- Penarikan 2 %, pulih 97%
- Penarikan 4%, pulih 90%
- Penarikan 8%, pulih 80%
3. Kandungan air (Moisture Regain)
Kandungan air (Moisture Regain) serat poliestrer pada kondisi standar (suhu
27O C dan RH 65 %) sebesar 0,4 %, sedangkan jika RH 100% moisture regain-
nya sebesar 0,6 – 0,8 %.
4. Modulus
Poliester mempunyai modulus awal yang tinggi, pemberian beban sebesar
0,9 gram/denier hanya akan menyebabkan poliester mengalami mulur 1 % dan
pemberian beban sebesar 1,75 gram/denier menyebabkan serat poliester
mengalami mulur sebesar 2%. Modulus tinggi yang dimiliki oleh serat poliester
menyebabkan saat pengerjaan poliester dengan tegangan kecil tidak akan
terjadi mulur.
5. Berat jenis
Berat jenis serat poliester adalah 1,38 gram/cm3.
6. Titik leleh
O
Poliester meleleh di udara pada suhu 250 C dan tidak menguning pada suhu
tinggi.
7. Mengkeret
Poliester apabila direndam dalam air mendidih akan mengkeret sampai 7 %
lebih. Beberapa zat organik seperti aseton, khroloform dan trikloro-etilena akan
menyebabkan benang atau kain poliester mengkeret pada titik didih, tetapi
apabila sebelumnya telah dilakukan proses pemantapan panas di dalam air
mendidih ataupun pelarut-pelarut untuk pencucian kering maka pada titik didih
benang atau kain poliester tidak akan mengkeret.
9
Serat poliester juga memiliki sifat biologi, serat poliester dapat tahan terhadap
serangga, jamur, dan bakteri.
Sumber : http://www.saviotechnologies.com/
Gambar 2.3 Alur Benang pada Mesin Winding Merek Savio Polar M
1. Magazine
2. Ballon breaker
3. Yarn tensioner
12
4. Waxing unit
5. Yarn splicer
6. Electronic slub catcher
7. Drum
Sumber : http://www.saviotechnologies.com/
Sumber : http://www.saviotechnologies.com
Sumber : http://www.mesdan.it/
Gambar 2.10 Yarn Splicer
Suction mouth
Mouth
Re-tie pipe
2.3.1.10 Cradle
Cradle berfungsi sebagai poros bagi cones dan sebagai pemberi
tekanan saat proses penggulungan. Gambar cradle dapat dilihat pada
gambar 2.16 halaman 19.
19
Senyawa paling sederhana yang mengandung hidrogen dan karbon adalah CH4
(metana). Metana terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang tertimbun lumpur dan
membusuk tanpa berhubungan dengan oksigen, senyawa-senyawa yang struktur
molekulnya berformula CnH2n+2 dikenal dengan nama alkana. Beberapa macam
alkana masuk ke dalam golongan yang titik didihnya lebih rendah diri suhu kamar.
Senyawa-senyawa tersebut berbentuk gas pada suhu kamar, terdapat pula yang
titik didihnya di atas suhu kamar, senyawa-senyawa itu berupa zat cair, selain itu
terdapat pula alkana yang pada tiap molekulnya mengandung lebih dari tujuh belas
atom karbon, senyawa-senyawa itu berupa zat cair, selain itu terdapat pula
20
golongan alkana yang molekulnya mengandung lebih dari tujuh belas atom karbon
dan senyawa-senyawa itu pada suhu kamar berupa zat padat. Alkana adalah
hidrokarbon alifatik yang dalam industri minyak bumi lebih dikenal dengan nama
parafin.
Penggunaan wax/lilin pada permukaan benang akan membentuk lapisan tipis atau
film yang menutupi permukaan benang sehingga bulu benang (hairiness) yang
terbentuk selama proses winding berlangsung menjadi tidur, selain itu pemberian
wax/lilin juga dimaksudkan untuk menurunkan nilai koefisien gesek benang karena
adanya film tersebut.
Lilin/wax adalah sarana terbaik dan merupakan pelumas paling ideal untuk
mencapai tujuan tersebut. Tanpa menggunakan lilin/wax, efisiensi tidak akan
tercapai secara maksimal saat terjadi proses perajutan dengan kecepatan tinggi,
meskipun lilin/wax dianggap sebagai pelumas terbaik, jenis-jenis lilin/wax harus
sangat hati-hati dipilih. Alasan mengapa lilin/wax harus dipilih dengan hati-hati atau
serius secara signifikan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Karakteristik dan kualitas lilin/wax.
b. Karakteristik dari jenis mesin winding yang digunakan.
c. Karakteristik dari kombinasi penggunaan lilin/wax dan mesin winding yang
digunakan.
d. Karakteristik dari benang yang diproses.
e. Suhu saat proses penggulungan/winding.
f. Biaya yang tersedia.
g. Penggunaan atau proses benang atau kain selanjutnya.
h. Hasil yang diharapkan, dan berbagai kondisi lainnya.
21
Penggunaan lilin/wax yang melekat pada benang yang paling efektif dan ekonomis
yaitu sebesar 0,5 gram – 1,5 gram untuk 1 kg benang, atau sebesar 0,05 % -
0,15%, pada kisaran tersebut akan dihasilkan gesekan perlawanan (nilai koefisien
friksi benang) yang paling efektif. Lilin/wax pun harus digunakan dengan benar dan
merata.
Beberapa pihak masih ada yang menggunakan lilin/wax dalam jumlah yang terlalu
banyak, mereka menganggap pemberian lilin/wax yang banyak dapat menghasilkan
nilai koefisien friksi benang yang semakin baik, padahal sebenarnya tidak seperti
itu. Pemberian lilin/wax yang terlalu banyak justru akan kembali meningkatkan
koefisien friksi yang terdapat pada benang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.17.
Sumber : Fundamentals of Yarn Technology yang ditulis oleh Carl A. Lawrence Ph.D, tahun 2003
Gambar 2.17 (A) Pengaruh Kandungan Lilin yang Terdapat pada Benang (Sumbu X)
Terhadap Koefisien Friksi Benang (Sumbu Y), 2.17 (B) Penampang Benang yang Telah
Diberi Lilin/Wax
22
Semakin banyak jumlah hairiness maka semakin tidak rata suatu benang,
sebaliknya semakin rendah jumlah hairiness yang terdapat pada suatu benang
maka akan semakin rata benang tersebut. Gambar hairiness dapat dilihat pada
gambar 2.19 halaman 23.
23
1. Sifat serat
Sifat-sifat serat berpengaruh terhadap timbulnya bulu-bulu pada benang, dari
sifat-sifat serat yang ada panjang serat mempengaruhi hairiness sampai pada
jumlah tertentu. Panjang serat dan rasio keseragaman adalah faktor yang
sangat berpengaruh, sebuah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
kekuatan, panjang, dan mulur serat akan mengurangi jumlah hairiness yang
terjadi pada benang. Serat yang lebih panjang cenderung menghasilkan
hairiness yang lebih sedikit dibandingkan dengan serat yang pendek, hal ini
telah terbukti pada beberapa nomor benang.
2. Sifat benang
Hairiness yang timbul tergantung dari banyaknya serat yang berada pada
penampang melintang benang. Benang yang lebih kasar mempunyai hairiness
yang lebih banyak dibandingkan dengan benang yang memiliki penampang
yang halus. Antihan benang merupakan faktor utama lainnya, hal ini merupakan
alasan utama mengapa benang untuk proses perajutan, secara normal
mempunyai hairiness yang tinggi apabila dibandingkan dengan benang untuk
proses pertenunan.
3. Parameter proses
Kombinasi traveller, kondisi ring flange, kecepatan putaran spindle, kondisi
guide pada mesin ring spinning, dan mesin winding sedikit banyaknya
mempengaruhi hairiness. Secara umum hairiness akan meningkat setelah
mengalami proses penggulungan karena pada proses penggulungan terjadi
24
dengan kecepatan yang tinggi. Pemakaian wax atau lilin pada saat
penggulungan/winding benang merupakan hal yang sering dilakukan, terutama
untuk benang-benang yang akan digunakan untuk proses perajutan yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah bulu dalam benang tersebut.
Gesekan berasal dari kohesi antar molekul-molekul pada kedua permukaan yang
bersinggungan, ikatan kohesinya terkadang sangat kuat sehingga bagian-bagian
yang lebih kecil akan menempel pada bagian yang lain. [13]
Terdapat koefisien friksi statik dan dinamik pada gaya friksi karena adanya gaya
yang diperlukan untuk menyegerakan puncak-puncak permukaan dari kedua
permukaan yang saling bergesekan. Koefisien friksi yang terjadi pada benda-benda
keras yang bergesekan adalah konstan, sedangkan untuk bahan tekstil atau benda-
benda elastis koefisien friksinya tidak konstan.
Besarnya gesekan antara benang yang satu dengan benang yang lainnya atau
antara benang dengan logam akan mempengaruhi kelancaran proses selanjutnya
yang tejadi pada benang. Faktor-Faktor yang mempengaruhi besarnya koefisien
friksi benang diantaranya sebagai berikut :
Jenis serat
Besarnya koefisien friksi benang tergantung pada besarnya koefisien friksi
jenis seratnya.
25
Kerapatan serat
Koefisien friksi benang akan meningkat berbanding lurus dengan
meningkatnya kerapatan serat. Hal ini terjadi karena kerapatan serat
mengakibatkan naiknya luas daerah kontak.
Bidang kontak
Apabila benang bergesekan dengan benang lain atau benda lain pada sudut
tertentu maka terjadi kontak pada daerah gesekan tersebut, koefisien friksi
akan meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya luas daerah
gesekan, di samping itu sifat-sifat bidang kontak juga berpengaruh terhadap
besarnya friksi.
untuk n < 30
untuk n > 30
Keterangan :
contoh uji
Keterangan :
JK = Jumlah Kuadrat (sum of square)
db = derajat bebas (degree of freedom)
2.8 Permodelan Fisika Mengenai Gerakan yang Terjadi Saat Proses Pelilinan
Y
V = 1200 m/mnt
X
α r
bb RPM rol pelilinan
wax benang
Gambar 2.20 Permodelan Fisika Mengenai Gerakan yang Terjadi Saat Proses
Pelilinan
X = r sin α
Y = -r cos α
=x= (r sin α)
= + sin α
=r . + sin α r
= r cos α α + r sin α
=Ý= - cos α
=r α - cos α r
= r cos α α + r sin α
= = + 2 α r r cos α sin α + α
= = - 2 α r r cos α sin α + α +
= +
29
Persamaan Langrange :
(ii) + m. α. + m. = - m.g.r.α
Keterangan :
r = 1200 m/menit = kecepatan penarikan
α = V = ω.r = RPM speed washer
untuk RPM rol pelilinan 20, maka :
α = V = ω.r = 20.(20.10-3 m)
= 0,4 m/menit
r >> α
r =m.r. - [ . α. + Fm
r - m.r. =- [ . α. + Fm
r.α. - m.r. .α = - r. α. - + Fm
r.α. ̴ x y
30
Vα . =x y
=D<0
0 – 4.a.c = D
-4.a.c < 0
Keterangan :
m = massa benang
r = panjang benang
α = sudut yang terbentuk saat benang ditarik
r = kecepatan penarikan
α = kecepatan sudut (RPM rol pelilinan/speed washer)
T = Energi kinetik
V = Kecepatan
m.r.α. = kecepatan penarikan
2.m. r. α = kecepatan rol pelilinan (RPM/speed washer)