Anda di halaman 1dari 24

7

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Serat Poliester
Serat poliester merupakan jenis serat buatan yang mulai dikembangkan pada tahun
1.941 oleh JR. Whinfield dan JT. Dickson dari Calico Printers Association. Poliester
dibuat dari asam tereftalat dan etilena glikol. Pembuatan serat poliester dilakukan
dengan cara pemintalan leleh hingga menghasilkan serat poliester filament. Staple
poliester dibuat dengan cara yang sama tetapi serat filament tersebut harus
mengalami proses pengeritingan dahulu lalu dipotong-potong dalam panjang
tertentu. [3]

Penampang membujur serat poliester berbentuk silinder, sementara penampang


melintang serat poliester berbentuk bulat walaupun kadang-kadang terdapat bentuk
trilobal dan pentalobal. Bentuk morfologi serat poliester dapat dilihat pada gambar
2.1, sedangkan bentuk penampang serat poliester bentuk trilobal dan bentuk
penampang pentalobal dapat dilihat pada gambar 2.2.

Sumber : Soeprijono P, Serat–Serat Tekstil, halaman 283, 1973

Gambar 2.1 Bentuk Morfologi Serat Poliester

Sumber : Nakajima T, Advanced Fiber Spinning Technology, Woodhead Publishing Limited, halaman
250, 1994, Jepang

Gambar 2.2 Bentuk Penampang Pentalobal dan Trilobal

7
8

Sifat-sifat fisika yang dimiliki oleh serat poliester yaitu sebagai berikut :
1. Kekuatan dan mulur
Kekuatan dan mulur serat poliester dalam keadaan basah sama dengan
keadaan kering. Kekuatan serat poliester 4,5 gram/denier sampai dengan 7,5
gram/denier. Mulur serat poliester 7,5 % sampai dengan 25 % tergantung jenis
serat poliester.
2. Elastisitas
Poliester memiliki sifat elastisitas yang sangat baik sehingga kain yang
berbahan serat tersebut tahan kusut. Jika benang poliester ditarik dan kemudian
dilepaskan, pemulihan yang terjadi dalam satu menit adalah sebagai berikut :
- Penarikan 2 %, pulih 97%
- Penarikan 4%, pulih 90%
- Penarikan 8%, pulih 80%
3. Kandungan air (Moisture Regain)
Kandungan air (Moisture Regain) serat poliestrer pada kondisi standar (suhu
27O C dan RH 65 %) sebesar 0,4 %, sedangkan jika RH 100% moisture regain-
nya sebesar 0,6 – 0,8 %.
4. Modulus
Poliester mempunyai modulus awal yang tinggi, pemberian beban sebesar
0,9 gram/denier hanya akan menyebabkan poliester mengalami mulur 1 % dan
pemberian beban sebesar 1,75 gram/denier menyebabkan serat poliester
mengalami mulur sebesar 2%. Modulus tinggi yang dimiliki oleh serat poliester
menyebabkan saat pengerjaan poliester dengan tegangan kecil tidak akan
terjadi mulur.
5. Berat jenis
Berat jenis serat poliester adalah 1,38 gram/cm3.
6. Titik leleh
O
Poliester meleleh di udara pada suhu 250 C dan tidak menguning pada suhu
tinggi.
7. Mengkeret
Poliester apabila direndam dalam air mendidih akan mengkeret sampai 7 %
lebih. Beberapa zat organik seperti aseton, khroloform dan trikloro-etilena akan
menyebabkan benang atau kain poliester mengkeret pada titik didih, tetapi
apabila sebelumnya telah dilakukan proses pemantapan panas di dalam air
mendidih ataupun pelarut-pelarut untuk pencucian kering maka pada titik didih
benang atau kain poliester tidak akan mengkeret.
9

Sifat-sifat kimia yang dimiliki serat poliester yaitu sebagai berikut :


1. Ketahanan terhadap alkali
Serat poliester tahan terhadap alkali lemah pada suhu kamar tetapi kurang
tahan terhadap alkali kuat. Pengaruh alkali terhadap poliester ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu waktu proses, suhu proses, dan kuat lemahnya alkali
yang digunakan.
2. Ketahanan terhadap asam
Serat poliester tahan terhadap asam lemah meskipun pada suhu didih dan
tahan pada asam kuat dingin serta asam mineral (asam organik), sementara
ketahanannya terhadap asam kuat seperti asam klorida dan asam sulfat dalam
keadaan panas kurang baik.
3. Ketahanan terhadap oksidator
Poliester tahan terhadap oksidator, pengerjaan dengan larutan oksidator tidak
akan menurunkan kekuatan serat poliester.
4. Ketahanan terhadap reduktor
Pengerjaan serat poliester pada larutan reduktor dengan suhu tinggi dan waktu
yang cukup lama tidak akan menurunkan kekuatan serat poliester.
5. Ketahanan terhadap pelarut organik
Poliester larut dalam metakresol panas, campuran tujuh bagian triklorofenol dan
sepuluh bagian fenol.

Serat poliester juga memiliki sifat biologi, serat poliester dapat tahan terhadap
serangga, jamur, dan bakteri.

2.2 Pemintalan dan Pengulungan


Produk jadi yang dihasilkan pada proses pemintalan adalah benang. Benang
dihasilkan melalui beberapa tahapan, pada umumnya tahapan-tahapan pembuatan
benang yaitu sebagai berikut :
1. Proses pembukaan dan pembersihan serat yang dilakukan di mesin blowing.
2. Proses pemisahan serat panjang dan pendek yang dilakukan di mesin
carding.
3. Proses peregangan dan pelurusan serat yang dilakukan pada mesin
drawing.
4. Proses peregangan dan pemberian antihan sementara yang dilakukan di
mesin roving.
10

5. Proses peregangan dan pemberian antihan yang dilakukan di mesin ring


spinning.

Benang yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan tersebut belum dapat digunakan


pada proses berikutnya, misalnya untuk proses penganjian atau penghanian. Hal ini
disebabkan karena bentuk dan volume gulungan benang hasil mesin ring spinning
belum sesuai dengan kebutuhan proses selanjutnya, untuk mendapatkan volume
benang yang dibutuhkan perlu dilakukan proses pemindahan gulungan (winding)
pada benang yang dihasilkan oleh mesin ring spinning menjadi bentuk gulungan
cones atau chesee. [4]

Tujuan dilakukannya prodes winding atau penggulungan benang kembali yaitu


sebagai berikut :
1. Memperbaiki mutu benang yang dihasilkan dari segi kekuatan, kerataan,
kebersihan, sambungan benang, bulu-bulu benang, serta nilai koefisien friksi
benang yang dihasilkan.
2. Mengurangi ongkos produksi, dengan kata lain menambah/meningkatkan
efisiensi perusahaan. Perbaikan kualitas yang dilakukan di mesin winding
akan menimbulkan kepuasan konsumen, sehingga konsumen tidak akan
melayangkan complain yang akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
3. Mengubah bentuk gulungan benang menjadi ukuran yang lebih besar dan
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Proses winding pada umumnya
mengubah bentuk gulungan hasil dari mesin ring spinning yang berupa palet
menjadi bentuk cones.

Pengerjaan benang di mesin winding diharapkan akan menghasilkan benang yang


memiliki bentuk dan volume gulungan yang sesuai kebutuhan, serta bersih dari
cacat sehingga dapat meningkatkan efisiensi pada proses pengerjaan selanjutnya.

Proses penggulungan benang yang terjadi di mesin winding adalah mengulung


kembali benang yang dihasilkan oleh mesin ring spinning dari bentuk bobbin ke
dalam bentuk dan ukuran tertentu, bentuk dan ukuran gulungan disesuaikan dengan
proses selanjutnya. Tujuan lain yang ingin dicapai yaitu untuk memperbaiki mutu
benang yang dihasilkan, pada prinsipnya proses penggulungan di mesin winding
terjadi akibat putaran cones yang dipasang pada penjepit atau cradle farm yang
bergesekan dengan silinder/drum beralur, sehingga benang dari alur silinder
11

disuapkan pada cones dan kemudian tergulung dengan gulungan berbentuk


menyilang teratur sedemikian rupa di hampir seluruh permukaan cones.

2.3 Tinjauan Mesin Winding


Mesin winding pada proses pemintalan berfungsi untuk menggulung kembali
benang hasil produksi ring spinning dari bentuk palet menjadi bentuk cones atau
gulungan baru dengan berat benang yang sesuai dengan kebutuhan proses
selanjutnya. Proses penggulungan ini, di samping untuk mendapatkan gulungan
yang sesuai dengan kebutuhan, juga bertujuan untuk memperbaiki mutu benang
yang dilakukan dengan cara membuang bagian-bagian cacat yang terdapat pada
benang, yang terdiri dari thick, thin, slub, dan neps, juga membersihkan benang dari
partikel-partikel asing yang menempel pada benang.[5] Alur benang pada mesin
winding merek Savio polar M dapat dilihat pada gambar 2.3.

Sumber : http://www.saviotechnologies.com/

Gambar 2.3 Alur Benang pada Mesin Winding Merek Savio Polar M

Keterangan gambar 2.3 :

1. Magazine
2. Ballon breaker
3. Yarn tensioner
12

4. Waxing unit
5. Yarn splicer
6. Electronic slub catcher
7. Drum

2.3.1 Bagian-Bagian Penting di Mesin Winding Merek Savio Polar M


Mesin winding memiliki bagian-bagian dalam menjalankan fungsinya.
Bagian-bagian penting di mesin winding merek Savio polar M yaitu :
2.3.1.1 Ballon Breaker
Ballon breaker adalah bagian dari mesin winding yang berfungsi untuk
mengurangi tegangan akibat terbentuknya balloning saat benang ditarik dari
bobbin dengan kecepatan tinggi. Ketinggian ballon breaker akan
mempengaruhi tegangan, mulur, dan gesekan bobbin pada lapisan benang
sehingga akan memperkecil balloning, pada mesin winding merek Savio
polar M terdapat dua macam bentuk ballon breaker yaitu ballon breaker
untuk benang twist z dan ballon breaker untuk benang twist s.[6] Gambar
ballon breaker dapat dilihat pada gambar 2.4.

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M

Gambar 2.4 Ballon Breaker


13

2.3.1.2 Pre Clearer


Pre clearer adalah bagian dari mesin winding yang berfungsi untuk
melakukan pembersihan pendahuluan, pada peralatan pre clearer terdapat
skala pengatur (1) untuk mengatur jarak dari fixed introducer (4) yang akan
dilalui oleh benang. Jika benang yang melewati fixed introducer (4) melebihi
skala maka mobile introducer (3) akan memotong benang yang melebihi
skala tersebut. Mobile introducer diatur oleh pneumatic cylinder (2) yang
mengatur pembukaan mobile introducer. Gambar pre clearer dapat dilihat
pada gambar 2.5.

Sumber : Buku manual mesin winding Merek Savio polar M

Gambar 2.5 Pre Clearer

2.3.1.3 Yarn Tensioner


Yarn Tensioner adalah bagian dari mesin winding yang berupa sepasang
piringan penjepit benang, terdiri dari tension dan washers. Washers
berfungsi agar tekanan yang diberikan pada benang konstan. Pengaturan
tekanan washers dan kecepatan putar terpusat pada PC. Fungsi alat ini
adalah mengatur tegangan benang pada saat digulung pada bobbin agar
gulungan benang memiliki kekerasan yang cukup sehingga gulungan tidak
mudah rusak dan dapat mencapai volume gulungan yang optimal sesuai
dengan kebutuhan.[7] Gambar yarn tensioner dapat dilihat pada gambar 2.6
dan gambar 2.7 halaman 14.
14

Sumber : http://www.saviotechnologies.com/

Gambar 2.6 Yarn Tensioner

Sumber : Buku manual mesin winding Merek Savio polar M

Gambar 2.7 Penampang Yarn tensioner


Keterangan:
1. Motor untuk memutarkan washers
2. Washers
3. Tension
4. Yarn guide
5. Bobbin

2.3.1.4 Waxing unit


Waxing unit berada di atas yarn tensioner, berfungsi sebagai pemberi
lapisan lilin/wax pada benang. Gambar waxing unit dapat dilihat pada
gambar 2.8 dan gambar 2.9 halaman 15.
15

Sumber : http://www.saviotechnologies.com

Gambar 2.8 Waxing Unit

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M

Gambar 2.9 Penampang Waxing Unit

2.3.1.5 Yarn Splicer


Yarn splicer berfungsi sebagai penyambung benang pada awal
penggulungan maupun ketika terjadi putus benang dengan bantuan
hembusan angin, saat terjadi putus benang maka ujung benang dari bobbin
dan cones dimasukkan ke dalam untwisting nozzle, twist benang dibuka
kemudian kedua ujung benang diputar dengan bantuan hembusan angin
sehingga terjadi penyambungan benang. Yarn splicer yang digunakan
adalah merek Mesdan.[8] Gambar yarn splicer dapat dilihat pada gambar
2.10 halaman 16.
16

Sumber : http://www.mesdan.it/
Gambar 2.10 Yarn Splicer

2.3.1.6 Suction Mouth


Suction Mouth berfungsi untuk mengambil ujung benang dari gulungan
cones ketika terjadi putus benang untuk dibawa ke bagian yarn splicer
untuk kemudian disambung dengan benang dari bobbin. Gambar suction
mouth dapat dilihat pada gambar 2.11.

Suction mouth

Mouth

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M


Gambar 2.11 Suction Mouth

2.3.1.7 Re-tie Pipe


Re-tie pipe adalah pipa yang pada ujungnya terdapat klem, berfungsi
untuk mengambil benang dari suction mouth yang berasal dari ujung
benang pada cones, kemudian benang tersebut akan disambung pada
yarn splicer. Gambar re-tie pipe dapat dilihat pada gambar 2.12 halaman
17.
17

Re-tie pipe

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M

Gambar 2.12 Re-tie Pipe

2.3.1.8 Electronic Slub Catcher


Electronic slub catcher berfungsi untuk mengontrol cacat-cacat yang
terdapat pada benang dengan cara membersihkan benang atau memotong
benang yang cacat tersebut. Benang akan melewati jalur benang yang di
dalamnya terdapat clearer, kemudian benang akan melewati sensor. Sensor
tersebut akan mendeteksi benang (thin, thick, neps, dan slub) yang
sebelumnya telah diatur standarnya pada komputer pada mesin winding.
Apabila benang tidak sesuai standar maka clearer akan memotong benang
tersebut, membuang benang yang termasuk ke dalam kategori cacat, dan
kemudian disambung pada bagian yarn splicer dengan bantuan re-tie pipe
dan suction mouth. Slub catcher yang digunakan adalah merek loepfe zenit
C.[9] Gambar slub catcher dapat dilihat pada gambar 2.13 dan gambar 2.14.

Sumber : Bagian PPIC dan QC PT Superbtex


Gambar 2.13 Slub Catcher Zenit C
18

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M

Gambar 2.14 Penampang Slub Catcher

2.3.1.9 Drum Beralur


Drum beralur berfungsi sebagai penggulung benang pada cones dan
sebagai pengantar benang, pada drum beralur terdapat alur yang berfungsi
sebagai traverse (pengantar benang), drum ini juga berfungsi sebagai
penggerak atau pemutar bobbin penggulung benang. Apabila gulungan
benang telah mencapai panjang tertentu, maka drum beralur akan berhenti
berputar secara otomatis. Gambar drum beralur dapat dilihat pada gambar
2.15.

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M

Gambar 2.15 Drum Beralur

2.3.1.10 Cradle
Cradle berfungsi sebagai poros bagi cones dan sebagai pemberi
tekanan saat proses penggulungan. Gambar cradle dapat dilihat pada
gambar 2.16 halaman 19.
19

Sumber : Buku manual mesin winding merek Savio polar M

Gambar 2.16 Cradle

2.4 Tinjauan Tentang Lilin/Wax dan Penggunaanya pada Benang


Pemakaian lilin/wax adalah hal yang paling modern dari proses winding.
Penggunaan lilin/wax sedikit dipengaruhi oleh udara dan zat asam. Lapisan tipis
yang dibentuk oleh lilin/wax pada benang pun tidak bisa ditembus oleh gas karena
permukaan lilin/wax yang tidak berpori, licin, dan mengikat.[10]

Berdasarkan susunannya, terutama berdasarkan sifat asam lemaknya, suatu


lilin/wax bisa berupa lelehan atau padatan. Lilin/wax yang berupa lelehan dapat
diperoleh dari beberapa binatang laut misalnya dari spermaseti yaitu binatang
sejenis ikan. Lilin/wax yang paling terkenal adalah lilin/wax yang berasal dari madu
yang terdiri dari suatu asam palmitin dan myricylalkohol serta mengandung asam
cerotin bebas dan zat arang yang padat.

Senyawa paling sederhana yang mengandung hidrogen dan karbon adalah CH4
(metana). Metana terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang tertimbun lumpur dan
membusuk tanpa berhubungan dengan oksigen, senyawa-senyawa yang struktur
molekulnya berformula CnH2n+2 dikenal dengan nama alkana. Beberapa macam
alkana masuk ke dalam golongan yang titik didihnya lebih rendah diri suhu kamar.

Senyawa-senyawa tersebut berbentuk gas pada suhu kamar, terdapat pula yang
titik didihnya di atas suhu kamar, senyawa-senyawa itu berupa zat cair, selain itu
terdapat pula alkana yang pada tiap molekulnya mengandung lebih dari tujuh belas
atom karbon, senyawa-senyawa itu berupa zat cair, selain itu terdapat pula
20

golongan alkana yang molekulnya mengandung lebih dari tujuh belas atom karbon
dan senyawa-senyawa itu pada suhu kamar berupa zat padat. Alkana adalah
hidrokarbon alifatik yang dalam industri minyak bumi lebih dikenal dengan nama
parafin.

Penggunaan wax/lilin pada permukaan benang akan membentuk lapisan tipis atau
film yang menutupi permukaan benang sehingga bulu benang (hairiness) yang
terbentuk selama proses winding berlangsung menjadi tidur, selain itu pemberian
wax/lilin juga dimaksudkan untuk menurunkan nilai koefisien gesek benang karena
adanya film tersebut.

Proses pemberian lilin dilakukan apabila benang yang diproses memerlukan


penambahan lilin/wax pada permukaan benang dengan tujuan tertentu, peralatan
pelilinan dipasang satu unit dengan tension disk, letaknya berdekatan. Tujuan
pemberian lilin/wax pada benang adalah untuk meningkatkan efisiensi saat benang
mengalami proses selanjutnya, yaitu saat benang menjalani proses perajutan
maupun proses pertenunan. Proses pemberian lilin/wax pada benang dapat
mengurangi hambatan gesek antara benang dan benang, benang dan logam (jarum
pada mesin rajut), dan benang dan benda-benda lain.

Lilin/wax adalah sarana terbaik dan merupakan pelumas paling ideal untuk
mencapai tujuan tersebut. Tanpa menggunakan lilin/wax, efisiensi tidak akan
tercapai secara maksimal saat terjadi proses perajutan dengan kecepatan tinggi,
meskipun lilin/wax dianggap sebagai pelumas terbaik, jenis-jenis lilin/wax harus
sangat hati-hati dipilih. Alasan mengapa lilin/wax harus dipilih dengan hati-hati atau
serius secara signifikan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Karakteristik dan kualitas lilin/wax.
b. Karakteristik dari jenis mesin winding yang digunakan.
c. Karakteristik dari kombinasi penggunaan lilin/wax dan mesin winding yang
digunakan.
d. Karakteristik dari benang yang diproses.
e. Suhu saat proses penggulungan/winding.
f. Biaya yang tersedia.
g. Penggunaan atau proses benang atau kain selanjutnya.
h. Hasil yang diharapkan, dan berbagai kondisi lainnya.
21

Pemberian lilin/wax yang berlebihan akan menimbulkan masalah, karena akumulasi


dari lilin/wax bisa memicu peningkatan perlawanan (gesekan geser perlawanan).
Akumulasi juga akan mengganggu pemeliharaan mesin, misalnya terjadinya
kerusakan pada jarum rajut yang digunakan atau peralatan lainnya yang
berhubungan langsung dengan proses pelilinan. Apabila lilin/wax yang digunakan
terlalu banyak maka akan mengganggu proses selanjutnya, misalnya saat benang
menjalani proses pencelupan, warna yang timbul akan menjadi tidak rata, juga bisa
timbul masalah-masalah lain yang terjadi karena pada dasarnya lilin/wax memiliki
sifat tidak larut dalam air, oleh karena itu jenis lilin/wax harus dipilih dengan baik dan
jumlah lilin/wax yang melekat pada benang harus dikendalikan.

Penggunaan lilin/wax yang melekat pada benang yang paling efektif dan ekonomis
yaitu sebesar 0,5 gram – 1,5 gram untuk 1 kg benang, atau sebesar 0,05 % -
0,15%, pada kisaran tersebut akan dihasilkan gesekan perlawanan (nilai koefisien
friksi benang) yang paling efektif. Lilin/wax pun harus digunakan dengan benar dan
merata.

Beberapa pihak masih ada yang menggunakan lilin/wax dalam jumlah yang terlalu
banyak, mereka menganggap pemberian lilin/wax yang banyak dapat menghasilkan
nilai koefisien friksi benang yang semakin baik, padahal sebenarnya tidak seperti
itu. Pemberian lilin/wax yang terlalu banyak justru akan kembali meningkatkan
koefisien friksi yang terdapat pada benang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.17.

Sumber : Fundamentals of Yarn Technology yang ditulis oleh Carl A. Lawrence Ph.D, tahun 2003

Gambar 2.17 (A) Pengaruh Kandungan Lilin yang Terdapat pada Benang (Sumbu X)
Terhadap Koefisien Friksi Benang (Sumbu Y), 2.17 (B) Penampang Benang yang Telah
Diberi Lilin/Wax
22

Berdasarkan gambar 2.17 tampak bahwa pemberian lilin/wax dengan jumlah


tertentu dapat menurunkan nilai koefisien friksi pada benang. Sumbu x yang
menunjukkan jumlah kandungan lilin/wax yang terdapat pada benang terbagi
menjadi tiga zona. Zona pertama menunjukkan pemberian lilin/wax dengan kadar
pertama dapat menurunkan nilai koefisien friksi benang sampai nilai tertentu, pada
zona dua tampak bahwa nilai koefisien friksi tersebut cenderung stabil di angka
tertentu dengan pemberian lilin dengan kadar kedua, sementara pada zona ketiga
nilai koefisien friksi menjadi meningkat saat lilin/wax yang terkandung pada benang
memiliki kadar ketiga. Penjelasan lebih lanjut mengenai persentase kandungan
lilin/wax terhadap nilai koefisien friksi benang dapat dilihat pada gambar 2.18.

Sumber : Buku manual mesin friction tester merek Reseda Binder

Gambar 2.18 Pengaruh Jumlah Lilin/Wax yang Melekat pada Benang


(Sumbu X) Terhadap Koefisien Friksi Benang (Sumbu Y)

2.5 Tinjauan Tentang Hairiness (Bulu-Bulu Benang)


Hairiness atau bulu-bulu benang adalah suatu ukuran jumlah serat yang menonjol
dari struktur benang. Awalnya hairiness dianggap sebagai salah satu penentu mutu
benang yang tidak begitu penting, namun seiring dengan keberadaan mesin-mesin
rajut maupun tenun yang berkecepatan tinggi maka pandangan itu berubah.
Hairiness dianggap menjadi suatu penentu mutu benang yang sangat penting,
satuan hariness dikenal dengan jumlah panjang (cm) total serat-serat yang
menonjol dalam pengukuran benang nyata sepanjang 1 cm.[12]

Semakin banyak jumlah hairiness maka semakin tidak rata suatu benang,
sebaliknya semakin rendah jumlah hairiness yang terdapat pada suatu benang
maka akan semakin rata benang tersebut. Gambar hairiness dapat dilihat pada
gambar 2.19 halaman 23.
23

Sumber : Uster Hw-400 aplication report

Gambar 2.19 Ilustrasi Hairiness (Bulu-Bulu Benang)

Hairiness merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketidadakrataan pada


benang. Penggunaan tipe dan nomor traveller yang tidak tepat saat proses di ring
spinning akan menghasilkan banyaknya bulu-bulu yang terdapat pada benang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hairiness diantaranya sebagai berikut :

1. Sifat serat
Sifat-sifat serat berpengaruh terhadap timbulnya bulu-bulu pada benang, dari
sifat-sifat serat yang ada panjang serat mempengaruhi hairiness sampai pada
jumlah tertentu. Panjang serat dan rasio keseragaman adalah faktor yang
sangat berpengaruh, sebuah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
kekuatan, panjang, dan mulur serat akan mengurangi jumlah hairiness yang
terjadi pada benang. Serat yang lebih panjang cenderung menghasilkan
hairiness yang lebih sedikit dibandingkan dengan serat yang pendek, hal ini
telah terbukti pada beberapa nomor benang.
2. Sifat benang
Hairiness yang timbul tergantung dari banyaknya serat yang berada pada
penampang melintang benang. Benang yang lebih kasar mempunyai hairiness
yang lebih banyak dibandingkan dengan benang yang memiliki penampang
yang halus. Antihan benang merupakan faktor utama lainnya, hal ini merupakan
alasan utama mengapa benang untuk proses perajutan, secara normal
mempunyai hairiness yang tinggi apabila dibandingkan dengan benang untuk
proses pertenunan.
3. Parameter proses
Kombinasi traveller, kondisi ring flange, kecepatan putaran spindle, kondisi
guide pada mesin ring spinning, dan mesin winding sedikit banyaknya
mempengaruhi hairiness. Secara umum hairiness akan meningkat setelah
mengalami proses penggulungan karena pada proses penggulungan terjadi
24

dengan kecepatan yang tinggi. Pemakaian wax atau lilin pada saat
penggulungan/winding benang merupakan hal yang sering dilakukan, terutama
untuk benang-benang yang akan digunakan untuk proses perajutan yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah bulu dalam benang tersebut.

2.6 Tinjauan tentang Friction/Gaya Gesek pada Benang


Apabila sebuah permukaan bergeseran dengan permukaan yang lainnya maka
akan timbul gaya tolak dari geseran tersebut, itulah yang dimaksud dengan
gesekan, pada bahan tekstil gesekan dapat terjadi pada serat, benang, kain,
maupun pakaian jadi. Konsep dasar friksi dikemukakan pertama kali oleh Leonardo
Davinci pada tahun 1699, kemudian ditemukan lebih lanjut oleh Amonton,
selanjutnya diselidiki serta dibuktikan oleh Colomb pada tahun 1788. Berikut adalah
dua hukum tentang gaya friksi :
 Gaya gesek (F) sebanding dengan gaya normal (N), ini berarti rasio (F/N)
disebut dengan koefisien friksi dan umumnya dilambangkan dengan simbol
, nilai ini konstan untuk bagian yang bergesekan.
 Gaya gesekan ini berlaku hanya pada bidang kontak dari benda tersebut.
Berdasarkan pernyataan di atas didapat rumus sebagai berikut :

Gesekan berasal dari kohesi antar molekul-molekul pada kedua permukaan yang
bersinggungan, ikatan kohesinya terkadang sangat kuat sehingga bagian-bagian
yang lebih kecil akan menempel pada bagian yang lain. [13]

Terdapat koefisien friksi statik dan dinamik pada gaya friksi karena adanya gaya
yang diperlukan untuk menyegerakan puncak-puncak permukaan dari kedua
permukaan yang saling bergesekan. Koefisien friksi yang terjadi pada benda-benda
keras yang bergesekan adalah konstan, sedangkan untuk bahan tekstil atau benda-
benda elastis koefisien friksinya tidak konstan.

Besarnya gesekan antara benang yang satu dengan benang yang lainnya atau
antara benang dengan logam akan mempengaruhi kelancaran proses selanjutnya
yang tejadi pada benang. Faktor-Faktor yang mempengaruhi besarnya koefisien
friksi benang diantaranya sebagai berikut :
 Jenis serat
Besarnya koefisien friksi benang tergantung pada besarnya koefisien friksi
jenis seratnya.
25

 Kerapatan serat
Koefisien friksi benang akan meningkat berbanding lurus dengan
meningkatnya kerapatan serat. Hal ini terjadi karena kerapatan serat
mengakibatkan naiknya luas daerah kontak.
 Bidang kontak
Apabila benang bergesekan dengan benang lain atau benda lain pada sudut
tertentu maka terjadi kontak pada daerah gesekan tersebut, koefisien friksi
akan meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya luas daerah
gesekan, di samping itu sifat-sifat bidang kontak juga berpengaruh terhadap
besarnya friksi.

Penambahan wax/lilin dengan kadar tertentu tidak akan mempengaruhi faktor-faktor


lain atau dapat dikatakan tidak akan menurunkan kualitas benang, juga tidak akan
menimbulkan ketidakrataan pada benang. Penambahan lilin/wax menambah licin
permukaan benang, sehingga apabila terjadi gesekan maka benang akan
mempunyai koefisien friksi yang lebih kecil.

2.7 Metode Statistika

2.7.1 Tinjauan Uji Statistika


Kesimpulan yang tepat (mendekati kebenaran) didapat dengan mengolah data hasil
pengujian dengan menggunakan perhitungan statistika. Data hasil pengujian pada
percobaan diolah dengan menggunakan Anava satu arah (klasifikasi tunggal).
Anava satu arah (klasifikasi tunggal) digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh variasi kecepatan rol pelilinan (speed washer) terhadap nilai koefisien
friksi benang dan hairiness benang yang dihasilkan. Perhitungan-perhitungan yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Harga Rata-rata ( )

2. Simpangan Baku atau Standar Deviasi (SD)

untuk n < 30

untuk n > 30

3. Koefisien Variasi (CV)


26

4. Sampling Error (E)

Keterangan :

t = angka konstanta, besarnya tergantung dari probabiliti yang telah ditentukan,

probabiliti yang digunakan 95% (harga = 1,96)

CV= koefisien variasi dalam %

n = jumlah contoh uji

E = error (%), tujuannya untuk mengetahui tingkat kesalahan pengambilan

contoh uji

2.7.2 Anava Satu Arah


Anava merupakan bagian dari metode analisis statistika yang tergolong ke dalam
analisis komparatif (perbandingan) lebih dari dua rata-rata. Tujuan dari Anava satu
arah adalah untuk membandingkan lebih dari dua rata-rata. Anava lebih dikenal
dengan uji - F (Fisher Test), sedangkan arti variasi atau varians berawal dari
pengertian konsep “Mean Square” atau Kuadrat Rerata (KR). Rumus sistematisnya
yaitu sebagai berikut :

Keterangan :
JK = Jumlah Kuadrat (sum of square)
db = derajat bebas (degree of freedom)

Cara Perhitungan Anava :


a. Menghitung rata-rata jumlah kuadrat antar kelompok dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

b. Menghitung nilai jumlah kuadrat antar kelompok dengan menggunakan


rumus sebagai berikut :

c. Menghitung jumlah kuadrat dari semua nilai pengamatan, dengan


menggunakan rumus sebagai berikut :
27

d. Membuat tabel ringkasan Anava sesuai tabel 2.1 berikut :


Tabel 2.1 Daftar Anava untuk Data Eksperimen Faktor Tunggal

Derajat Jumlah Kuadrat


Sumber Variasi Kebebasan Kuadrat Tengah Fhitung
(dk) (JK) (KT)
Rata-Rata 1 Ry

Antar Kelompok k–1 Ay

Dalam Kelompok ∑(ni – 1) Dy

Total ∑ni ∑Y2 - -


Sumber : Sudjana, Metoda Statistika, “Tarsito”, Bandung 2005

e. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan untuk melakukan analisa dalam


desain eksperimen yaitu sebagai berikut :
1. Menyusun data-data desain eksperimen faktor tunggal.
2. Menyusun daftar Anava.
3. Menyusun hipotesa dan alternatifnya, yaitu :
a. Ho : semua harga rata-rata sama
b. Hi : sedikitnya ada satu harga rata-rata yang tidak sama.
4. Menguji hipotesa, perlu dihitung nilai statistik F agar diketahui apakah
terdapat sample yang mempunyai harga variasi sama atau berbeda.
5. Menetapkan kesimpulan berdasarkan kriteria daerah kritisnya, yaitu F
hitung berada pada daerah penerimaan yaitu lebih kecil dari F atau F
tabel (0-pada taraf signifikan maka ditolak  = 0,05), maka hipotesa
diterima, dan sebaliknya jika F hitung lebih besar dari pada daerah
penolakannya yaitu lebih besar dari F atau F tabel, maka hipotesa
ditolak.
28

2.8 Permodelan Fisika Mengenai Gerakan yang Terjadi Saat Proses Pelilinan
Y
V = 1200 m/mnt

X
α r
bb RPM rol pelilinan

wax benang

Gambar 2.20 Permodelan Fisika Mengenai Gerakan yang Terjadi Saat Proses
Pelilinan

X = r sin α
Y = -r cos α

=x= (r sin α)

= + sin α

=r . + sin α r

= r cos α α + r sin α

=Ý= - cos α

=r α - cos α r
= r cos α α + r sin α

= = + 2 α r r cos α sin α + α

= = - 2 α r r cos α sin α + α +

= +
29

Persamaan Langrange :

L=T–V= + + m.g.r. cos α

( )- = Qn → (m. r) – (m. + m.g.cos α) Qr

( )- = Qα → (m. ) + (m. .sin α) = Qα

(i) r +m = m.r. + m.g + Fm

(ii) + m. α. + m. = - m.g.r.α

Keterangan :
r = 1200 m/menit = kecepatan penarikan
α = V = ω.r = RPM speed washer
untuk RPM rol pelilinan 20, maka :
α = V = ω.r = 20.(20.10-3 m)
= 0,4 m/menit
r >> α

m.g =- [ . α. ] ........... (iii)

memasukkan persamaan (iii) ke persamaan (i) :

r =m.r. - [ . α. + Fm

r - m.r. =- [ . α. + Fm

r.α. - m.r. .α = - r. α. - + Fm

(r.α + α.r) = m.r.α. - 2.m. r. α + Fm

α.r diabaikan karena r >> α , berdasarkan data numerik :


r = 1200 m/menit
α = 20 RPM
Vα = α.r lilin = 20/menit . 20.10-3 m

r.α. ̴ x y
30

Vα . =x y

Persamaan umumnya yaitu :


Y=
Sehingga menghasilkan grafik parabola terbuka ke atas sebagai berikut :

Gambar 2.21 Grafik Parabola Terbuka dari Persamaan Umum


Y=
Dengan syarat sebagai berikut :
a>0
D<0

=D<0
0 – 4.a.c = D
-4.a.c < 0
Keterangan :
m = massa benang
r = panjang benang
α = sudut yang terbentuk saat benang ditarik
r = kecepatan penarikan
α = kecepatan sudut (RPM rol pelilinan/speed washer)
T = Energi kinetik
V = Kecepatan
m.r.α. = kecepatan penarikan
2.m. r. α = kecepatan rol pelilinan (RPM/speed washer)

Anda mungkin juga menyukai