Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Serat Poliester

Serat poliester ditemukan dan diteliti oleh W. H. Carothers, kemudian dikembangkan


oleh J. R. Whinfield dan J. T. Dickson dari Calico Pronter Association, Inggris yang
mana berhasil menyempurnakan sifat titik leleh poliester sehingga menjadi lebih
tinggi dengan cara kondensasi asam tereftalat dengan etilena glikol dan
mempolimerisasikannya menjadi serat sintetik. I. C. I di Inggris memproduksi serat
poliester dengan nama Terylene dan kemudian Du Pont di Amerika pada tahun 1953,
juga membuat serat poliester berdasarkan paten dari Inggris dengan nama Dacron.
Jepang pun membuat serat poliester dengan nama dagang tetoron pada tahun 1958
dengan cara membeli hak paten dari I.C.I. Inggris.[4]

2.1.1. Pembuatan Serat Poliester

Serat poliester dibuat berdasarkan hasil reaksi polimerisasi kondensasi antara asam
tereftalat dengan etilena glikol, melalui tiga tahapan proses yaitu reaksi esterifikasi,
polimerisasi, dan pemintalan leleh.[4]

Sumber: Jumaeri, Poerwanti, P. Soeprijono, Widayat, Serat-Serat Tekstil, Institut Teknologi Tekstil,
Bandung. 1976.halaman 280

Gambar 2.1 Pembentukan Serat Poliester

Asam tereftalat dibuat dari para-Xilena yang harus bebas dari isomer meta dan orto.
P-xilena merupakan bagian dari destilasi minyak tanah dan tidak dapat dipisahkan
dari isomer meta dan orto dengan cara destilasi.[4]

Pemisahan dilakukan dengan cara kristalisasi, dimana p-xilena membeku pada suhu
13oC, m-xilena pada suhu 48oC dan o-xilena 25oC. Oksidasi dengan asam nitrat pada

6
7

suhu 220oC dan tekanan 30 atm merubah p-xilena menjadi asam tereftalat. Cara lain
adalah oksidasi p-xilena dengan udara dan katalisator kobalt tolaut pada suhu 200oC
menjadi asam toluat yang diesterkan menjadi metil toluat kemudian dioksidasi dan
berubah menjadi monometil tereftalat. Monometil tereftalat atau asam tereftalat
dirubah menjadi dimetil tereftalat.[4]

Asam tereftalat atau esternya dan etilena glikol dipolimerisasikan dalam hampa
udara dan suhu tinggi. Polimer disemprotkan dalam bentuk pita dan kemudian
dipotong-potong nenjadi serpih-serpih dan dikeringkan. Filamen yang terjadi ditarik
dalam keadaan panas sampai lima kali panjang semula, kecuali filamen yang kasar
ditarik dalam keadaan dingin. Jika hendak dibentuk stapel, filamen dibuat kriting
kemudian dipotong-potong dengan panjang tertentu.[4]

Polimer yang terbentuk disebut poliester yang memiliki keteraturan struktur rantai
yang menyebabkan serat memiliki struktur yang rapat akibat rantai yang saling
berdekatan membentuk ikatan hidrogen antara gugus –OH dan gugus –COOH
dalam molekulnya. Oleh karena itu serat poliester bersifat hidrofob dan sulit dimasuki
air maupun zat warna. Agar dapat dimasuki air dan zat warna maka ikatan hidrogen
antar rantai molekul yang berdekatan harus dikurangi dengan cara menaikkan suhu.
Kenaikan suhu mengakibatkan adanya vibrasi molekul yang memperlemah ikatan
antar molekul, menjadikan jarak antar rantai lebih longgar, serat menjadi lebih plastis
sehingga dapat dimasuki oleh molekul air dan zat warna.[4]

2.1.2. Morfologi Serat Poliester

Poliester berbentuk silinder dengan penampang melintang bulat dan penampang


membujur berbentuk silinder, seperti terlihat pada gambar 2.2 dibawah ini.[4]

Sumber: Jumaeri, Poerwanti, P. Soeprijono, Widayat, Serat-Serat Tekstil, Institut Teknologi Tekstil,
Bandung. 1976

Gambar 2.2 Penampang Melintang dan Membujur Serat Poliester


8

2.1.3. Sifat-Sifat Serat Poliester

Sifat-sifat fisika serat poliester dijelaskan sebagai berikut:[4]


1. Kekuatan dan Mulur
Kekuatan dan mulur serat poliester dalam keadaan kering maupun basah sama.
Terylene mempunyai kekuatan dari 4,5-7,5 gram/denier dan mulurnya 7,5-25%
bergantung pada berat jenisnya. Sedangkan dacron mempunyai kekuatan dari 4-6,9
gram/denier dan mulurnya 11-40%.

2. Elastisitas
Serat poliester mempunyai elastisitas yang baik sehingga kain poliester mempunyai
ketahanan kusut yang baik pula. Jika benang poliester ditarik dan kemudian
dilepaskan, pemulihan yang terjadi dalam 1 menit adalah sebagai berikut:
 Penarikan 2% akan kembali 97% kebentuk semula
 Penarikan 4% akan kembali 90% kebentuk semula
 Penarikan 8% akan kembali 80% kebentuk semula

3. Kandungan Air
Serat poliester dalam kondisi standar (27oC, RH 65%) kandungan airnya 0,4%, dalam
RH 100% kandungan airnya 0,6-0,8%.

4. Berat Jenis
Serat poliester mempunyai berat jenis 1,38 g/cm3.

5. Pengaruh Panas
Serat poliester tahan terhadap panas sampai temperatur 220oC, diatas suhu ini akan
mempengaruhi kekuatan, mulur, dan juga warnanya menjadi kekuningan.
Temperatur 230oC hingga 240oC menyebabkan serat poliester melunak. Pada
temperatur 260oC menyebabkan serat poliester meleleh.

6. Pemantapan Panas (Heat-Set)


Dimensi serat poliester dapat distabilkan dengan proses pemantapan panas (heat-
set). Pemantapan panas ini dilakukan dengan cara mengerjakan kain dalam dimensi
yang telah diatur (biasanya dalam bentuk lebar) pada temperatur 160oC- 200oC.
9

7. Sifat Kristalinitas
Serat poliester mempunyai sifat kristalinitas yang tinggi. Derajat kristalin adalah faktor
yang sangat penting. Hal ini disebebabkan karena derajat kristalin serat berpengaruh
pada daya serap zat warna, mulur, kekuatan tarik, kestabilan dimensi, titik leleh, serta
sifat-sifat lainnya.

8. Ketahanan Sinar
Poliester kurang tahan dalam penyinaran yang cukup lama, tetapi ketahanan
sinarnya masih lebih baik dibandingkan serat nilon.

Sifat-sifat kimia serat poliester dijelaskan sebagai berikut:[4]


1. Pengaruh Asam dan Alkali
Serat poliester tahan terhadap asam lemah meskipun pada suhu didih, dan tahan
terhadap asam kuat dingin. Poliester tahan terhadap basa lemah, akan tetapi kurang
tahan terhadap basa kuat. Sifat kimia serat poliester disajikan pada Tabel 2.1 di
bawah ini.
Tabel 2.1 Sifat Kimia Serat Poliester

Pereaksi Suhu Konsentrasi (%) Waktu Pengaruh pada Kekuatan


Kamar 18 3 minggu Tidak ada
HCl 75oC 18 4 ½ hari Nyata
Didih 10 3 hari Rusak
HNO3 Kamar 40 3 minggu Sedang
Kamar 37 6 minggu Tidak ada
H2SO4 Kamar 50 3 minggu Sedang
75 C
o
37 2 minggu Nyata
NaOH Kamar 10 3 hari Sedang
NaOCl 75oC 2½ 4 jam Tidak ada

2. Zat Penggelembung
Serat poliester akan menggelembung dalam larutan sebagai berikut:
 2% asam benzoat, fenol, asam salisilat dan meta kresol dalam air.
 Dispersi 5% monokhlorobenzena, p-dikhlorobenzena, metil salisilat dalam air.
 Dispersi 0,3% o-fenilfenol dan p-fenilfenol dalam air.
10

3. Ketahanan terhadap Oksidator


Jika serat poliester dikerjakan dalam larutan oksidator dengan konsentrasi lebih pekat
dari pada untuk proses pemutihan, penurunan kekuatannya hampir tidak tampak.

4. Ketahanan terhadap Reduktor


Serat poliester mempunyai ketahanan yang baik terhadap zat reduktor. Jika serat
poliester dikerjakan dalam larutan reduktor dengan temperatur yang cukup tinggi dan
waktu yang relatif lama, maka penurunan kekuatan serat poliester hampir tidak
tampak.

5. Ketahanan terhadap Pelarut Organik


Serat poliester larut dalam metakresol panas, asam trifluoro-asetat orto-khlorofenol,
campuran 7 bagian trikhlorofenol dan bagian fenol campuran 2 bagian
tetrakhloroetana dengan 3 bagian fenol.

2.2. Zat Warna Dispersi

Zat warna dispersi pada mulanya banyak dipergunakan untuk mencelup serat asetat
yang merupakan serat hidrofob. Semakin banyak dikembangkannya serat buatan
yang bersifat hidrofob, seperti serat poliakrilat, poliamida dan poliester, maka
penggunaan zat warna dispersi semakin meningkat. Pada waktu itu zat warna
dispersi dipergunakan pada pencelupan serat poliester.[5]

Zat warna dispersi adalah hasil sintesa senyawa yang bersifat hidrofob sehingga
kelarutannya dalam air kecil sekali. Oleh karena itu zat warna ini dalam
pemakainannya harus didispersikan dalam larutan. Pada pemakaiannya
memerlukan bantuan zat pengemban (carrier) atau adanya suhu yang tinggi. Zat
warna dispersi digunakan dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk larutan. Sifat tahan
cuci dan tahan sinarnya cukup baik. Ukuran molekulnya berbeda-beda dan
perbedaan tersebut sangat erat hubungannya dengan sifat kerataan dalam
pencelupan dan sifat sublimasinya.[5]

Berdasarkan ukuran molekulnya dan sifat sublimasinya, zat warna dispersi


digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu :

1. Tipe A, zat warna dispersi yang mempunyai sifat kerataan pencelupan sangat
baik karena ukuran molekulnya paling kecil, akan tetapi mudah tersublimasi pada
suhu 170oC, biasanya tipe ini digunakan untuk mencelup selulosa asetat dan
poliakrilat.
11

2. Tipe B (tipe E), zat warna dispersi yang mempunyai sifat kerataan pencelupan
baik dengan ukuran molekul sedang, dan menyublim pada suhu 190oC, biasanya
tipe ini digunakan untuk mencelup serat poliester metoda carrier.
3. Tipe C (tipe SE), zat warna dispersi yang mempunyai sifat kerataan pencelupan
cukup baik, menyublim pada suhu 200oC, tipe ini digunakan untuk mencelup
serat poliester metoda carrier, HT/HP, maupun metoda termosol.
4. Tipe D (tipe S), zat warna dispersi yang mempunyai sifat kerataan pencelupan
kurang baik, menyublim pada suhu 210oC, tipe ini digunakan untuk mencelup
serat poliester metoda HT/HP, dan metoda termosol.[9]

2.3. Pencelupan Serat Poliester dengan Zat Warna Dispersi

Gambar 2.6 dibawah ini menunjukkan kedudukan zat warna dispersi didalam serat
poliester. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa rantai molekul tersusun dengan
pola zig-zag yang rapih dan celah-celah yang diperlukan untuk masuknya zat warna
sangat sempit. Rantai molekul mengalami kesulitan untuk mengubah posisinya.
Akibatnya molekul zat warna juga sulit untuk menembus serat, sehingga pencelupan
akan berjalan sangat lambat bila dilakukan tanpa pemanasan dan suhu tinggi. Untuk
mengatasi hal ini poliester harus dicelup pada suhu melewati suhu transisi gelasnya,
saat itu rantai molekul bebas bergerak, sehingga dapat dimasuki oleh molekul zat
warna dengan waktu yang relatif singkat.[5]

Sumber : Moncrieft, Man Made Fibres, Newness Butterworth, London, 1975, halaman 452.
Gambar 2.3 Kedudukan Zat Warna Dispersi pada Rantai Molekul Poliester

Zat warna dispersi berpindah dari keadaan agregat dalam larutan celup, masuk ke
dalam serat dalam bentuk monomolekuler sebesar 0,5-5 mikron. Bagian yang tidak
larut merupakan timbunan zat warna (agregat zat warna) yang suatu saat akan
terpecah menjadi monomolekuler. Zat warna dalam bentuk monomolekuler ini masuk
kedalam serat. Penjelasan dari peristiwa tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4
dihalaman 12. [5]
12

Serat poliester terdiri dari bagian amorf, bagian terorientasi dan bagian kristalin. Zat
warna menempati bagian amorf dan terorientasi. Pada saat pencelupan, kedua
bagian itu masih dapat bergerak sehingga zat warna dispersi dapat menyusup
diantara celah-celah rantai molekul dengan ikatan antara zat warna dan serat.[5]

Sumber : Edward, J.L. And Press, J.J., Advance in Textile Processing, Vol I, Textile Book Publisher,
inc, New York, 1961, halaman 338

Gambar 2.4 Mekanisme Penyerapan Zat Warna Dispersi oleh Serat Poliester

Selama proses pencelupan poliester terjadi peristiwa:[5]

1. Difusi zat warna pada larutan ke dekat permukaan serat.


2. Adsorpsi zat warna ke permukaan serat.
3. Difusi zat warna dari permukaan serat kedalam inti serat.
4. Fiksasi zat warna dengan serat.

Jenis ikatan yang terjadi antara gugus fungsional zat warna dispersi dengan serat
poliester ada dua macam, yaitu : [5]

1. Ikatan Hidrogen

Ikatan hidrogen merupakan ikatan gaya dipol yang melibatkan atom hidrogen
dengan atom lain yang bersifat elektronegatif. Pada umumnya zat warna dispersi
tidak mengadakan ikatan hidrogen dengan serat poliester karena zat warna dispersi
dengan serat poliester bersifat non polar, hanya sebagian zat warna dispersi yang
mengadakan ikatan hidrogen dengan serat poliester yaitu zat warna dispersi yang
mempunyai donor proton seperti –OH atau NH2.

2. Ikatan Hidrofobik

Zat warna dispersi dan serat poliester merupakan senyawa hidrofob dan cenderung
bersifat non polar. Ikatan yang terjadi pada senyawa hidrofob dan bersifat non polar
ini disebut dengan ikatan hidrofobik. Gaya yang berperan dalam terbentuknya ikatan
13

hidrofobik antara serat poliester dan zat warna dispersi adalah gaya dispersi London,
yang termasuk kedalam gaya Van Der Waals (gaya fisika), yang terjadi berdasarkan
interaksi antara kedua molekul yang berbeda. Ikatan Van Der Waals terdiri dari dua
komponen yaitu ikatan dipol (dwi kutub) dan dispersi London. Akan tetapi sifat zat
warna dispersi cenderung non polar, sehingga gaya yang lebih berperan dalam
terbentuknya ikatan antara zat warna dispersi dan serat poliester adalah gaya
dispersi London. Mekanisme dispersi London dapat dilihat pada Gambar 2.5
dibawah ini.

Sumber: Campanion L. Audrey, Ikatan Kimia, Edisi Kedua, Institut Teknologi Bandung,1991.halaman
104
Gambar 2.8 Mekanisme Gaya Dispersi London

2.4. Penyempurnaan Resin

Penyempurnaan resin termasuk penyempurnaan secara kimia. Pada


penyempurnaan ini digunakan resin sintetik, yaitu senyawa organik yang rumit dan
mempunyai berat molekul tinggi. Penggunaan resin sintetik di bidang tekstil mula-
mula dilakukan kira-kira tahun 1930 oleh Fould, Marsh, dan Wood dari Tootal
Broadhurst Lee Co. Ltd, Manchester, Inggris untuk memperbaiki ketahanan kusut
bahan-bahan dari kapas, rayon, linen, dan serat-serat selulosa lainnya. Penemuan
ini merupakan awal dari produk-produk wash and ware, drip-dry, durable/permanent
press. Dewasa ini resin merupakan salah satu bahan penyempurnaan yang paling
banyak dipakai.[6]

Resin sintetik dapat digunakan secara luar (eksternal) atau secara dalam (internal).
Penggunaan resin sintetik secara luar terutama untuk serat-serat alam, yaitu sebagai
zat pembentuk film atau pelapis dan zat perekat. Pada penggunaan secara luar,
resin teradsorpsi pada permukaan serat saja. Sedangkan pada penggunaan secara
dalam, resin masuk kedalam serat, sehingga memberikan sifat yang permanen
kepada serat.[7]

Pembentukan resin sintetik dapat terjadi menurut dua cara, yaitu secara polimerisasi
kondensasi dan secara polimerisasi adisi. Resin yang dihasilkan secara kondendasi
14

bersifat termosetting, sedangkan yang dihasilkan secara adisi akan bersifat


termoplastik.[7]

Resin termoplastik membentuk molekul berantai yang tak dihubungkan oleh ikatan
silang. Dengan demikian resin-resin ini dapat diplastisasi dengan penambahan
reaksi lain yang akan berkedudukan diantara rantai-rantai tersebut. Hal ini tak
mungkin terjadi dengan resin termosetting, karena pada resin ini terjadi ikatan silang
yang mengikat struktur molekulnya menjadi mata jaring berdimensi tiga.[7]

Resin terbentuk bila sejumlah molekul-molekul sederhana dengan berat molekul


rendah bergabung membentuk molekul yang jauh lebih panjang, baik linier maupun
siklik. Pada saat berlangsungnya reaksi penggabungan (polimerisasi) dapat
terbentuk cabang-cabang atau ikatan-ikatan silang. Agar polimer terbentuk di dalam
serat mula-mula serat direndamperas dalam larutan monomer resin atau molekul-
molekul resin yang ukurannya masih kecil (pereaksi/prakondensat) sehingga
memungkinkannya masuk kedalam serat. Setelah itu pembentukan resin dapat
dilanjutkan dengan memberikan kondisi polimerisasi yang sesuai.[6]

Prakondesat biasanya disiapkan terpisah dari penyempurnaan seratnya agar


reaksinya dapat dikendalikan dengan baik. Untuk merubah prakondesat menjadi
resin secara penuh di dalam serat diperlukan kondisi asam dengan pemakaian
katalis seperti asam tartarat, amonium sulfat, amonium dihidrogenfosfat, atau
magnesium klorida yang dapat melepaskan asam pada kondisi yang diproses.[6]

Katalis adalah zat yang terakhir ditambahkan pada larutan resin, agar kestabilan dari
larutan resin semaksimal/selama mungkin. Penambahan katalis untuk mempercepat
reaksi dan hingga batas tertentu dapat mengendalikan reaksinya. Katalis yang
ditambahkan umumnya asam atau bahan-bahan yang dapat melepaskan asam pada
kondisi pemanasawetan. Disamping mampu mempercepat pembentukan resin,
katalis harus memenuhi persyaratan lain seperti tidak menurunkan stabilitas larutan
prakondensat yang ditandai dengan pembentukan endapan. Katalis juga tidak
mempercepat polimerisasi prakondensat dalam larutan sehingga partikelnya
menjadi terlalu besar untuk dapat masuk kedalam serat. Larutan prakondensat akan
lebih stabil bila katalis yang digunakan tidak dalam bentuk asam bebas melainkan
sebagai garam dari basa lemah dan asam kuat yang dapat terdisosiasi pada kondisi
yang sesuai dan berfungsi sebagai asam.[7][6]

Kain di rendamperas dalam larutan yang mengandung prakondensat dan katalis lalu
dikeringkan pada suhu 80-100 oC dan selanjutnya di panas awet kan pada suhu 130-
160 oC selama 4-7 menit. Pada saat pemansanawetan prakondensat di ubah
15

menjadi polimeresin di dalam serat. Polimer tersebut bersifat tidak larut sehingga
tahan terhadap penyucian. Pemanasawetan merupakan proses yang harus di
kendalikan dengan baik karena di samping untuk penjamin pembentukan resin
dengan sifat sifat yang dikehendaki tetapi juga karena pada suhu tinggi dalam
suasana asam resiko penurunan kekuatan serat juga sangat tinggi. Proses
pemanasawetan perlu diikuti dengan pencucian untuk menghilangkan resin yang
menempel pada permukaan serat. [6]

Setelah proses penyempurnaan resin yang tertinggal di dalam serat merupakan


partikel-partikel yang mengisi ruang antar molekul di daerah amorf serat. Partikel-
partikel resin tersebut juga mungkin bersenyawa secara kimia dengan molekul-
molekul serat yang berdekatan membentuk ikatan-ikatan silang sehingga
menghasilkan struktur yang lebih kaku.[6]

Resin untuk menyempurnaan tekstil dapat di golongkan ke dalam dua kelompok


sebagai berikut :

1. Resin self-crosslinking
2. Reaktan

Senyawa-senyawa tersebut pada umumnya memiliki dua gugus hidroksil sehingga


bersifat bifungsional yang dapat membentuk ikatan silang dengan serat. Kelompok
self-crosslinking cenderung berpolimerisasi sendiri dan mengisi ruang-ruang antar
molekul serat dengan resin yang sangat kompleks, tetapi hanya sedikit membentuk
ikatan silang. Kelompok reatan cenderung membentuk polimer-polimer pendek
tetapi banyak berikatan silang dengan molekul serat.[6]

2.4.1. Tahapan Proses Penyempurnaan Resin

Proses penyempurnaan resin secara umum meliputi proses persiapan kain,


persiapan larutan resin, impregnasi, pengeringan, pemanasawetan (curing atau
baking), dan pencucian.

2.4.1.1. Persiapan Kain

Hasil penyempurnaan resin tergantung pada distribusi resin yang merata pada
permukaan kain. Untuk itu diperlukan daya serap yang sama pada seluruh
permukaan kain. Agar kain mempunyai daya serap yang sama dan baik, maka kain
yang akan diproses penyempurnaan resin perlu dikerjakan terlebih dahulu dengan
pengerjaan seperti pembakaran bulu, penghilangan kanji, pemasakan, pemutihan,
kautisasi atau merserisasi, pencucian, dan pengeringan.[7]
16

2.4.1.2. Perendaman atau Dip-Nip-Pad Proses / Impregnasi

Perendaman dilakukan dengan cara melewatkan kain dalam bak perendam dan
kemudian diperas dengan rol-rol pemeras dari mesin pad. Kain yang dikerjakan
harus dalam regangan yang uniform dan optimal. Regangan yang diberikan pada
kain harus cukup untuk mencegah terjadinya lipatan-lipatan pada kain kain tanpa
tarikan, karena tarikan yang terlalu besar dapat mencegah masuknya resin kedalam
kain. Regangan yang terlalu tinggi setelah pemerasan akan menyebabkan pegangan
kain menjadi kaku dan kain akan mengkeret.[7]

Tekanan dari rol-rol pemeras harus tetap dan uniform, tujuan dari
pemerasan/penekanan yaitu untuk memasukkan larutan resin yang berlebih,
mencegah kekusutan, memasukkan larutan resin ke dalam kain dengan tekanan
yang tinggi dan tetap. Tekanan normal dari rol-rol pemeras berkisar antara 6-10 ton,
sedangkan tekanan dari nip berkisar antara 40-60 kg/cm.[7]

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan larutan resin ke dalam kain
yaitu :

1. Zat-zat yang terdapat pada kain seperti kanji, zat warna, zat-zat pembantu untuk
pencelupan dan penyabunan, minyak dan busa.
2. Tegangan permukaan dari larutan.
3. Bulu-bulu kain.
4. Suhu dari larutan.
5. Lama perendaman atau kecepatan kain.
6. Besarnya regangan pada kain.
7. Tetal kain atau berat kain persatuan panjang.

2.4.1.3. Pengeringan

Pengeringan pada penyempurnaan resin merupakan proses yang penting sekali.


Tujuan dari proses ini yaitu untuk menguapkan air yang digunakan sebagai
pengencer pada larutan resin. Proses pengeringan perlu diperhatikan bahwa suhu
pengeringan harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi proses kondensasi, kain
harus tetap tidak kusut dan distribusi dari pereaksi dalam serat tidak terganggu.

Proses pengeringan yang terlalu lambat dan penarikan yang berlebih selama
pengeringan harus dihindarkan, karena keadaan ini akan membawa resin
kepermukaan kain. Suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan kain, sedangkan kecepatan aliran udara panas yang tinggi
17

dapat menyebabkan migrasi dari resin dan mempengaruhi sifat pegangan kain. Suhu
pengeringan biasanya antara 80-110oC, dan kecepatan udara panas kira-kira 10
m/detik.[7]

2.4.1.4. Pemanasawetan/(Curing atau Baking)

Pada umumnya suhu pemanasawetan ditentukan oleh semacam katalis yang


digunakan. Asam organik, seperti asam tartrat memerlukan 1-3 menit pada suhu
170oC, tetapi untuk asam organik seperti garam amonium memerlukan suhu 120-
130oC dengan waktu yang sama. Penggunaan suhu dibawah 115oC atau 110oC tidak
ada gunanya, karena hanya akan melelehkan kondesat awalnya saja dan mengalir
dalam serat. Oleh karena itu proses pemanasawetan perlu dikontrol dengan baik
agar mendapatkan hasil yang maksimal. Tujuan dari proses pemanasawetan itu
sendiri adalah untuk mengawetkan sifat yang diharapkan sehingga bersifat
permanen.[7]

2.4.1.5. Pencucian

Proses pencucian perlu dilakukan untuk menghilangkan pereaksi-pereaksi yang


masih tertinggal dalam kain terutama untuk resin-resin yang memiliki reaksi
berkesudahan. Larutan yang biasanya digunakan adalah sabun dan natrium
karbonat atau detergen sintetik dan natrium karbonat masing-masing sebanyak 0,2%
pada suhu 50oC-60oC.[7]

2.5. Penyempurnaan Tolak Air

Dalam istilah sehari-hari sering terjadi kerancuan pengertian mengenai istilah “kedap
air” (water-proof) dan “tolak air” (water-repellent). Pada tahun 1924 Pearson
mendefinisikan water-proof sebagai suatu permukaan yang dapat menahan air dan
udara, sedangkan water-repellent adalah permukaan yang hanya dapat menahan
air. Definisi tersebut masih harus disesuaikan dengan tujuan dan kondisi pembuatan
kain tahan air atau tolak air, sehingga perbedaan kedua istilah tersebut kadangkala
hanya dibedakan dari kemampuan kain menahan air pada suatu tekanan tertentu
yang dikenal sebagai tekanan hidrostatik.[6]

Untuk mendapatkan sifat kedap air atau tolak air yang cukup tinggi pada kain
diperlukan suatu pengerjaan khusus, yang umumnya dapat di golongkan atas dua
cara yaitu :

1. Mengadsorpsikan/mendeposisikan zat-zat yang bersifat tolak air pada serat


seperti garam-garam aluminium, lilin parafin, silikon, senyawa fluoro, dan
18

sebagainya. Dengan cara itu kain mempunyai daya tahan terhadap pembasahan
dalam waktu kontak yang cukup lama namun tetap dapat ditembus udara.
Kelemahan cara ini terletak pada kekurang tahanannya terhadap curahan air
yang deras dengan disertai tekanan serta harus dihindarkan dari gosokan
(impact).
2. Melapisi kain dengan film dari zat-zat hidrofob seperti aspal, karet, dan
sebagainya, sehingga menutupi celah antar benang dan kain. Dengan cara ini
akan diperoleh kain yang mampu menahan curahan air yang deras dengan
tekanan sekalipun.

2.5.1. Prinsip Tolak Air


2.5.1.1. Tegangan Permukaan dan Energi Bebas Permukaan

Molekul-molekul zat cair dalam suatu rongga cairan berada dalam keadaan saling
tarik-menarik satu sama lain akibat adanya gaya tarik-menarik di antara mereka.
Molekul-molekul yang berada dekat daerah permukaan akan mengalami gaya tarik
total ke dalam karena tidak diimbangi oleh gaya tarik dari fase-fase yang berbatasan
dengan permukaan tersebut, dan gaya tarik total inilah yang disebut sebagai
tegangan permukaan. Tegangan permukaan di definisikan sebagai gaya dalam dyne
yang bekerja sepanjang permukaan cairan tangensial pada garis yang panjangnya 1
cm (satuan tegangan permukaan = dyne/cm).[6]

Adanya tegangan permukaan ini menyebabkan sistem cenderung mengambil luas


permukaan sekecil mungkin sesuai dengan kebutuhan energi yang diperlukan
sistem. Untuk mencapai keseimbangan maka dibutuhkan suatu energi untuk
memperluas permukaan, energi tersebut dinamakan energi bebas permukaan, dan
didefinisikan sebagai usaha dalam energi yang dibutuhkan untuk memperluas
permukaan sebesar 1 cm2 (erg/cm2). Tegangan permukaan dan energi bebas
permukaan adalah ekivalen dan dinyatakan dengan simbol Ɣ.[6]

2.5.1.2. Sudut Kontak dan Pembahasan

Jika setetes air dijatuhkan di atas permukaan zat padat maka air tersebut dapat
membasahi permukaan atau tetap berbentuk tetesan yang hanya menutupi sebagian
kecil permukaan. Tepi tetesan tersebut membentuk sudut dengan permukaan zat
padat, dan sudut tersebut dinamakan sudut kontak.[6]

Bila sudut kontak sama dengan nol maka dikatakan permukaan terbasahi sempurna.
Sudut kontak yang besar menunjukkan permukaan memiliki sifat tolak air yang baik.
19

Pergeseran cairan sejauh Δ A menyebabkan terjadinya perubahan energi bebas (Δ


GS) yang hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut :

∆ = ∆ ( − )+ ∆ cos( − ) (1)

Sudut Kontak > 90o Sudut Kontak = 90o Sudut Kontak < 90o
Sumber: Hendrodyantopo. S, Mohamad Widodo, Purwanti, N.M. Susyami Hitariat. Teknologi
Penyempurnaan, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung. 1998.halaman 126
Gambar 2.6 Sifat Tetesan dengan Berbagai Sudut Kontak

Dimana :

Δ GS = perubahan energi bebas

ΔA = perubahan luas permukaan padatan yang semula tertutup air

XSL = tegangan antar muka (energi bebas antar muka ) padatan-cairan

XSV = tegangan antar muka (energi bebas antar muka ) padatan-udara

XLV = tegangan antar muka cairan-udara

η = sudut kontak

Pada keadaan setimbang berlaku :

∆ → 0, ∆ /∆ =0

Sehingga : − + cos = 0

Atau

= + cos (2)

Persamaan (2) lebih sering ditulis dalam bentuk

cos = ( − )/ (3)
20

Sumber: Hendrodyantopo. S, Mohamad Widodo, Purwanti, N.M. Susyami Hitariat. Teknologi


Penyempurnaan, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung. 1998.halaman 130
Gambar 2.7 Bentuk Tetesan Air di Atas Benda Padat

Dupré telah merumuskan hubungan antara tegangan permukaan atau energi bebas
permukaan dengan kerja adhesi, yaitu kerja yang dibutuhkan untuk memisahkan
cairan dari suatu pemukaan padat per satuan luas bidang kontak, sebagai berikut :

= + − (4)

Kombinasi persamaan (2) dan (4) menghasilkan persamaan Young – Dupré sebagai
berikut :

= + cos + −

= XLV ( 1 + cos η ) (5)

Untuk mendapatkan kain yang bersifat tolak air maka sudut kontak η harus tak
hingga, atau sebesar mungkin, sehingga air tetap mempertahankan bentuk
tetesannya dan tidak menyebar di atas permukaan kain (fase padat). Sudut kontak
menjadi besar bila cos η sekecil mungkin, yaitu dengan cara memperbesar tegangan
antar muka padatan-cairan (XSL).

Berdasarkan persamaan (5) harga η akan bertambah kecil bila Wa bertambah besar,
dan menjadi nol bila W a = 2XLV (dimana kerja adhesi = kerja kohesi). Jadi pada saat
η = 0 akan terjadi pembasahan. Bila W a < 2XLV akan ada sudut kontak η tertentu,
dimana sudut tersebut akan semakin besar bila Wa berkurang, dan dengan kata lain
semakin kecil kerja adhesi maka semakin terjadi pembasahan.[6]

2.5.2. Pengaruh Kontruksi Kain Terhadap Sifat Tolak Air

Kontruksi kain mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat tolak air. Jenis serat,
kontruksi benang serta karakteristik anyaman (tenunan) akan mempengaruhi
efisiensi perlakuan tolak air yang akan diterapkan pada kain. Hal ini komposisi serat
dan kontruksi kain bergantung pada tujuan pemakaian akhirnya.[6]
21

Serat hidrofob (kandungan kelembabannya rendah) menghasilkan kain yang


cenderung cepat kering setelah pembasahan, akan tetapi dalam hubungannya
dengan sifat tolak air faktor kelembaban ini tidak penting. Faktor penentu sifat tolak
air adalah daya basah dan tegangan permukaan kritis (critical surface tension/CST)
dari serat yang bersangkutan. Serat yang kurang terbasahi pada umumnya akan
menghasilkan kain dengan sifat tolak air yang lebih nyata. Umumnya serat tekstil
cenderung memiliki daya basah yang relatif tinggi (nilai CST-nya besar), kecuali teflon
dan piloetilena yang secara bawaan (inherent) memang bersifat tolak air sehubungan
dengan konstitusi kimia molekul-molekul penyusun seratnya. Oleh sebab itu hampir
semua serat tekstil memerlukan penyempurnaan tolak air, meskipun untuk serat-
serat hidrofob tidak diperlukan pemberian zat tolak air yang tinggi pada
penyempurnaan.[6]

Bulu-bulu (nep) yang tegak, kaku serta merata pada benang yang menyusun kain
didapati membantu timbulnya sifat tolak air. Akan tetapi bila bahan sudah terbasahi,
bulu-bulu tersebut justru membantu mempercepat pembasahan dengan cara
peresapan.[6]

Konstruksi benang yang longgar terbukti lebih efisien dibandingkan dengan yang
lebih rapat. Benang dengan konstruksi longgar bila terbasahi akan menggembung
dengan mudah dan cepat, terutama pada benang yang terbuat dari serat hidrofilik.
Sifat ini dimanfaatkan untuk membantu kain yang dikenal sebagai self sealing
fabrics, misalnya selang air pemadam kebakaran, kantung air, dan sebagainya.[6]

Kain dengan tetal tinggi serta efek tenunan benangnya panjang akan lebih mudah
ditembus air dari pada kain dengan tetal yang sama tapi efek tenunannya pendek,
misalnya antara anyaman keper dan polos. Penjelasan lebih lanjut seperti dibawah
ini:

 Kain dengan efek tenunan panjang memiliki rongga antar benang-benang yang
lebih banyak dari pada kain dengan efek tenunan pendek.
 Pada kain dengan efek tenunan panjang benang-benangnya relatif lebih mudah
bergeser sehingga struktur anyamannya dapat “terbuka” dan membuka jalan
masuknya air.
2.6. Senyawa Tolak Air

2.6.1. Senyawa Fluorokarbon

Fluorokarbon adalah senyawa yang mengandung gugus fluor dan karbon, struktur
dari fluorokarbon hampir sama dengan hidrokarbon, tetapi dengan sifat yang sama
22

sekali berbeda. Hidrokarbon merupakan senyawa reaktif, mudah mengoksidasi atau


menyerang zat-zat kimia yang lainnya, tetapi fluorokarbon merupakan senyawa yang
tidak reaktif, sulit mengoksidasi ataupun di oksidasi. Sejak ditemukan pada abad 15
sampai sekarang fluorokarbon telah digunakan secara cukup luas dan pada sekitar
1950-an diproduksi untuk zat tolak air bagi bahan tekstil. [6]

Zisman et.al mengemukakan bahwa daya basah atau permukaan dipengaruhi oleh
sifat kimia atau fisika atom-atom pada lapisan permukaan, terutama energi
permukaan, dimana daya basah cenderung berkurang dengan turunnya energi
permukaan. Senyawa fluorokarbon ini pada dasarnya berfungsi menurunkan energi
permukaan bahan tekstil. [6]

Senyawa fluorokarbon dibuat dengan cara modifikasi monomer jenis akrilat atau
uretan dengan kelompok perfluoro alkil. Monomer kemudian beraksi dengan
sendirinya untuk berpolimerisasi, atau dengan penambah ikatan crosslinking untuk
membuat jaringan polimer. Guna meningkatkan daya tahan cuci, daya basah, dan
adhesi-kohesinya umumnya digunakan monomer akrilat yang reaktif yang dapat
membentuk ikatan tiga dimensi, misalnya monomer karbosiklik, amida dan amino,
epoksi, dan monomer hidroksil.

Ikatan perfluoro alkil yang memiliki enam buah hingga dua belas buah atom karbon
bersifat hidrofobik dan oleofobik, dan membuktikan tolak air. Senyawa fluorokarbon
yang banyak beredar di pasaran adalah senyawa fluorokarbon yang terdiri atas
delapan atom karbon dalam ikatan perfluoro alkil yang mampu terurai menjadi bentuk
PFOA. Sifat PFOA yaitu terbioakumulasi di lingkungan. Seiring dengan di
angkatnyanya isu ramah lingkungan , maka dikembangkanlah senyawa fluorokarbon
yang terdiri dari enam buah atom karbon. Penggunaan senyawa yang sedikit juga
memiliki ikatan yang lebih pendek, dan dipecah lebih cepat di lingkungan
dibandingkan dengan senyawa yang memiliki lebih banyak atom karbon yang
mengandung PFOA. Namun struktur yang memiliki ikatan lebih pendek cenderung
untuk menunjukkan sedikit keefektifan dalam pengujian tolak air.[6]

2.6.2. Zelan R3

Salah satu zat non fluorokarbon adalah Zelan R3, zat ini merupakan senyawa tolak
air untuk bahan tekstil tenun dan tekstil bukan tenun, yang diproduksi dari bahan
tumbuhan, bukan termasuk fluorokarbon, dan bisa di daur ulang secara alami dari
waktu kewaktu.[11] Sifat Zelan R3 adalah sebagai berikut :
23

 Zat tolak air ini dapat menolak air yang baik pada serat-serat alam, serat
campuran, dan serat sintetik serta melindungi dari noda yang pada umumnya
berbentuk cairan.
 Memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencucian rumah tangga dan proses
pengeringan dengan sinar matahari, memungkinkan untuk memperpanjang
ketahanan terhadap air setelah pencucian beberapa kali.
 Udara dapat masuk kedalam kain dengan baik, sehingga membuat nyaman saat
dipakai.
 Memiliki sifat elatis yang baik, sehingga tidak mengganggu proses produksi.
 Kompatibel dengan zat pembantu penyempurnaan, termasuk resin dan zat
pengikat silang lainnya.
 Tidak dibuat dengan Alkil Fenol Etoksilat ( APEO ).
Karakteristik dari zat ini yaitu:
Jenis Ionik : Kationik
Penampilan : Off - putih untuk cairan putih
Struktur kimia : Alkyl urethane
Materi aktif , wt % : 25 ± 1
Pelarut : Air
Spesifik Density : 1,001 g / mL
pH : 4,0-7,0
Kelarutan : Siap larut dalam air antara 10-35 ºC ( 50-95 ° F )
Penyimpanan Stabilitas : Stabil selama 2 tahun ketika disimpan dengan benar
dalam wadah tertutup pada 20 ° C ( 68 ° F ). Temperatur penyimpanan yang
direkomendasikan adalah 5-40 ° C ( 41-104 ° F ), tetap tertutup di tempat yang kering,
sejuk, dan baik serta berventilasi. Melindungi dari pembekuan karena mudah rusak
jika dibekukan.[11]

Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi
uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari
reaksi antara senyawa yang
mengandung gugus hidroksil (-OH)
dengan senyawa yang mengandung gugus isosianat (-NCO-), terlihat dibawah ini.

Poliuretan adalah nama umum dari jenis sintesis kopolimer yang mengandung rantai
uretan sebagai unit pengulangnya.
24

2.6.3. Rucostar EEE6

Rucostar EEE6 merupakan resin fluorokarbon dengan polimer, hyperbranched


dendrimers dalam struktur hidrokarbon, kationik. Zat ini sangat ramah untuk air,
digunakan untuk penyempurnaan tolak air dan minyak pada semua jenis serat dan
tahan terhadap proses pencucian. Zat ini bebas dari Perfluorooctanoic Acid (PFOA),
Perfluorooctane Sulfonic Acid (PFOS), dan Alkylphenol Ethoxylate (APEO).[12]
Sifat-sifat dari zat Rucostar EEE6 yaitu sebagai berikut:
 Baik untuk tolak air dan minyak.
 Sangat tahan terhadap proses pencucian.
 Lebih baik dari zat penyempurnaan tolak air fluorokarbon yang lainnya.
 Lembut dan pegangan penuh.
 Tidang membutuhkan temperatur yang tinggi untuk proses pemanasawetan.
 Biasanya sangat kompatibel dengan N-methylol compounds.
 Bisa dicuci dengan air dingin.
 Disarankan untuk larutan zat dicampur dengan zat anti sadah.
 Non-flammable.
 Tidak perlu pelarut.
 pH 2-5.
 spesifikasi zat 20oc 1,03 g/cm3.
 menggunakan emulsi.

2.7. Lingkungan dan Kesehatan

Metoda pembuatan sintesis senyawa perfluorinasi ada dua buah cara. Pertama
proses Electrochemical Fluorination (ECF) atau yang lebih dikenal dengan proses
elektrofluorinasi yang menghasilkan campuran rantai linier dan beberapa isomer
bercabang tetapi proses telomeriasasi hanya akan menghasilkan isomer linier.
Distribusi dari senyawa perfluorinasi dalam darah manusia inilah yang menjelaskan
penyebaran senyawa perfluorinasi. Senyawa perfluorinasi menyerang protein serum
dan kontaminasi yang serum miliki lebih besar dari sejumlah besar darah. Senyawa
ini dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui lingkungan seperti penggunaan
senyawa kimia dalam kemasan makanan seperti kanting pop corn untuk
meningkatkan kelembabannya dan kemampuan tolak minyaknya. Pada umumnya
kemasan makanan bersentuhan dengan makanan yang berlemak tinggi dan
cenderung untuk bereaksi serta mencegah noda minyak pada kemasan. Selain itu
dapat pula dari zat kimia yang digunakan dalam proses penyempurnaan untuk tekstil
25

rumah tangga minyanya karpet dan jaket yang menempel pada debu dan kemudian
terhirup kedalam paru-paru. Maka penggunaan senyawa perfluorinasi dalam
kehidupan sehari-hari harus bebas PFOA dan PFOS karena membahayakan
kehidupan manusia.[3]

Perfluorooctane Sulfonate (PFOS), Perfluorooctanoic Acid (PFOA) adalah bagian


dari kelompok kimia yang disebut surfaktan terfluorinasi. Surfaktan adalah
kependekan dari surface-active agent atau zat aktif permukaan. Surfaktan adalah
sebuah zat yang dalam konsentrasi rendah akan menurunkan tegangan permukaan.

Surfaktan terfluorinasi adalah surfaktan dimana bagian hidrofob dari molekul


surfaktan menyerang fluor. Setidaknya satu atom hidrogen dalam bagian hidrofob
molekul telah digantikan posisinya oleh atom fluor. Surfaktan terfluorinasi bersifat
stabil terhadap panas (tahan api), asam, dan basa sama seperti zat pereduksi dan
pengoksidasi. Ikatan yang terjadi antara atom karbon dan fluor sangat kuat. Bersifat
tidak mudah diurai. PFOS lebih mengandung racun dibandingkan dengan PFOA, dan
tingkat racun dari bahan kimia perfluorinasi meningkat secara umum dengan
bertambah panjangnya rantai alkil.

Ada banyak kemungkinan kesehatan dan keamanan mengenai PFOA dan PFOS,
yang mana PFOA telah diidentifikasi oleh pemerintah sebagai salah satu kategori zat
karsinogen (beracun). Banyak bahan kimia yang digunakan secara terus menerus
tetapi tidak dapat diurai, serta banyak pula laporan ilmiah yang menunjukkan
peningkatan bahan kimia di sekitar lingkungan, hewan, dan juga manusia di dunia.
Uni Eropa telah melarang PFOS dan mempertimbangkan aksi yang sama pula untuk
PFOA sejak 2008. Negara Amerika Serikat pada lembaga Environmental Protection
Agency (EPA) telah memprakarsai industri secara sukarela untuk menghapuskan
setahap demi setahap penggunaan PFOA, dengan jalan perusahaan yang membuat
bahan kimia yang berbahan dasar fluor telah menyetujui untuk menghilangkan
penggunaan PFOA di tahun 2015.[9]

PFOA telah digunakan selama beberapa dekade dalam proses pembuatan berbagai
macam produk. Mulai dari peralatan masak, lapisan anti kotor pada furniture, pakaian,
karpet, dan pengemasan. PFOA diketahui sebagai salah satu penyebab penyebab
penyakit karsinogen. Hal ini dibuktikan dengan dua penelitian mengenai PFOA pada
tikus ditemukan timbulnya peningkatan akan kanker kelenjar susu, testis, pankreas,
dan liver. Dua tahun penelitian pada tikus jantan Sprague-Dawley ditemukan sel
tumor testis dan pankreas pada tikus tersebut.[10]
26

Selain mengenai PFOA dan PFOS, yang harus diperhatikan pun kadar buangan air
limbahnya, yang mana harus sesuai dengan baku mutu limbah cair untuk industri
tekstil yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
nomor 6 tahun 1999. Terlihat seperti Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tekstil

Beban pencemar
No Parameter Kadar maksimum (mg/L)
maksimum (kg/ton)
1 BOD5 85 12,75
2 COD 250 37,5
3 TSS 60 9,0
4 Fenol Total 1,0 0,15
5 Krom Total (Cr) 2,0 0,30
6 Minyak dan Lemak 5,0 0,75
7 pH 6,0 – 9,0
8 Debit Limbah Maksimum 150 m3 per ton produk tekstil
Sumber: Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No 6, 1999

Catatan:

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil.

Anda mungkin juga menyukai