Anda di halaman 1dari 101

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN UMUM FILSAFAT


1. Terminologi Filsafat.

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia. Philo atau


philein berarti cinta atau ingin, Sophia berarti kebijaksanaan atau Cinta
kebijaksanaan atau berusaha mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan
bagi subjek/orang yang cinta kebijaksanaan disebut dengan Philosophos
adalah pecinta kebijaksanaan. Dalam bahasa Arab disebut Failasuf,
ditransfer ke dalam bahasa Indonesia menjadi Filsuf.

Pengertian dari kata ”cinta” bermakna 2 (dua) maksud, yaitu:


Agape adalah cinta yang dikaitkan dengan situasi kemanusiaan dan
mencari kebenaran hakiki (keinginan Dari Dalam Jiwa ). Amor/Eros
(Cinta Penuh Hasrat) adalah cinta yang merepresentasikan keinginan dan
hasrat seksual. Eros melambangkan hasrat alami manusia untuk
berkembang biak demi menjaga eksistensinya di muka bumi.
Filsafat dalam bahasa lain dikenal dengan sebutan philosophy
(Inggris), philosophie (Perancis dan Belanda), filosofie wijsbegeerte
(Belanda), philosophia (Latin). Kata filsafat ini diambil dari bahasa Arab,
yaitu “Falsafah”. Secara etimologis filsafat atau falsafah itu sendiri berasal
dari kata filo (Yunani) yang berarti cinta dan sophia atau sofia yang artinya
bijaksana.

Filsafat cinta akan kebajikan (wisdom of love), sehingga mempelajari


filsafat sebagai pencarian secara tidak jemu-jemu kebenaran dan
penerapannya pada kehidupan. Filsafat ialah keinginan yang mendalam
untuk menjadi bijak.
Immanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang
menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang mencakup:

1
a. Apa yang diketahui hakikat mendasar tentang keberadaan sesuatu
(metafisika/ontologi);
b. Apa yang seharusnya diketahui tentang nilai (etika/moral) atau disebut
aksiologi;
c. Sampai di mana harapannya/hakikatnya (jawabannya agama); dan
d. Apa itu pengetahuan sebagai sumber yang diketahui manusia
(jawabannya epistimologi).
Beberapa pendapat pemikir menciptakan definisi filsafat yang secara
meluas diantara para tokoh (filsuf) menjadikan pengertian filsafat itu
berbeda dalam merujuk objek pemikirannya sesuai dengan perkembangan
zaman. Setiap orang memiliki persepsi masing-masing tergantung
pengalaman yang pernah dialaminya sehingga membentuk persepsi yang
berbeda-beda. Persepsi adalah proses dimana seseorang dapat memilih,
mengelola, menyimpan serta mengimprementasikan informasi-informasi
yang diterima melalui kelima panca inderanya, dengan bagaimana orang
tersebut mencerna tentang sesuatu melalui indera yang dimilikinya. Hal
tersebut juga bisa terbentuk dari pengalaman dan budaya yang telah mereka
miliki atau mereka pelajari sebelumnya. Persepsi bisa saja berbeda-beda
oleh setiap orang, hal tersebut bisa terjadi karena penerimaan dan
pengalaman dari masing-masing orang berbeda sehingga bisa membentuk
persepsi yang berbeda-beda juga. Dengan demikian, persepsi masing-
masing orang tidak akan ada yang salah, sebagaimana gambaran empat
orang disabilitas netra yang menganggap bahwa apa yang mereka pegang
saat itu bukanlah seekor gajah, tetapi hal yang lain.

2
Gambar 1.
Filsafat Gajah ( tentang persepsi)*

*Sumber gambar : kompasiana.com.

2. Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan.


Fisafat adalah salah satu jenis pengetahuan manusia, yaitu
pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat objek abstrak tetapi logis,
paradigmanya logis, metodenya rasio, dan ukuran kebenarannya logis atau
tidak logis. Manfaat pengetahuan filsafat akan berusaha menemukan
kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran serius.
Berarti berfilsafat akan terlatih berpikir serius, mampu memahami
filsafat, mungkin menjadi filsuf dan menjadi warga negara yang baik.
Kemampuan berpikir serius akan memberikan kemampuan memecahkan
masalah serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, menemukan
sebab terakhir suatu penampakan.
Dengan dimilikinya kemampuan berpikir serius, seseorang mungkin
saja mampu menemukan rumusan baru dalam menyelesaikan masalah, bisa
berbentuk kritik, usul dalam suatu sistem pemikiran.

3
Filsafat sebagai pengetahuan, maka merupakan sebagai ilmu. Ilmu
adalah suatu pengetahuan yang mempelajari alam jagad raya
(makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari mempelajari
alam jagad raya maka muncul ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia dan
sebagainya.
Ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan,
sifat, objek, tujuan, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu
dengan lainnya. Dikenal dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Sedangkan tujuan dari Ilmu adalah:
a. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh dapat
memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
b. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di
berbagai bidang, sehingga mendapatkan gambaran tentang proses ilmu
kontemporer secara historis.
c. Menjadi pedoman bagi pengajar (dosen) dan mahasiswa dalam
mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan
persoalan yang ilmiah dan non-ilmiah;
d. Mendorong calon ilmuwan (peneliti) untuk konsisten dalam mendalami
ilmu dan mengembangkannya;
e. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan dari ilmu dan
agama tidak ada pertentangan.
Istilah ilmu mengandung dua makna yaitu sebagai produk dan proses.
Sebagai produk ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji
kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem
(stetselmatig). Sebagai proses bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan,
sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya
tentang kenyataan, yang dijalankan orang terhadap kenyataannya.
Ilmu merupakan kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh
pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan atau sistematikal-
metodologikal dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara
khusus diciptakan untuk mengamati, menginventarisasi dan mengkaji

4
gejala-gejala (dari data dan fakta) yang relevan di bidang tertentu, yang
hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya diakui oleh
lingkungan komunitas keahlian di bidangnya.
Asal usul ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Tuhan (Alloh
SWT) sebagai pencipta ilmu. Tuhan menyampaikan ilmu kepada umat
manusia melalui pengetahuan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis.
Tertulis diturunkan melalui kitab-kitab-Nya, termasuk Al-Quran dan
pengetahuan yang tidak tertulis melalui sunnatullah (natural law).

Surah Al-Alaq (1-5):

Terjemahannya:
“Bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.”

5
Surah Al-Baqarah (164):

Terjemahannya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa manfaat
kepada manusia, dan yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudahnya mati (keringnya) dan
Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan pengisaran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (tedapat) tanda-
tanda bagi orang yang memikirnya.”

3. Objek Penelitian Filsafat.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki akal budi,


mempunyai sifat keingintahuan yang banyak masalah yang berhasil
dipecahkannya terhadap alam jagad raya ini. Filsafat sebagai ilmu harus
mempunyai objek tertentu sebagai unsur pencariannya.

Objek suatu ilmu menurut Poedjawijata, dibedakan menjadi dua, yaitu


objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang
tertentu yang menentukan jenis suatu ilmu. Misalnya: Biologi (ilmu hayat)
dan ilmu jiwa (psikologi) memiliki objek materia yang sama yaitu tentang
makhluk hidup wujud fisiknya (manusia), tetapi objek forma berlainan
karena yang diselidiki adalah kehidupan makhluk hidup dari luar (wujud
fisiknya) yaitu kehidupan dari dalam (rohani atau batinnya).

6
Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada atau mungkin ada, yang
dibedakan menjadi 3 (tiga) macam:

(1) tentang hakekat Tuhan;

(2) tentang hakekat alam; dan

(3) tentang hakekat manusia.

Sedangkan objek forma filsafat adalah sudut pandangnya tidak


membatasi diri, dan hendak mencari keterangan sampai sedalam-dalamnya
atau sampai hakekat sesuatu (tanpa batas).

B. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN FILSAFAT HUKUM


1. Gambaran Umum.
Filsafat menyelidiki tentang hakikat nilai yang dimiliki manusia yaitu
tingkah laku (etika) dan logika (berpikir), serta budaya (norma). Timbul
cabang-cabang filsafat yang dikenal dengan cabang-cabang ilmu
pengetahuan, salah satunya adalah filsafat hukum. Hukum berkaitan
dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia.
Filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut
etika atau filsafat tingkah laku. Filsafat manusia (genus), etika sebagai
species, dan filsafat hukum sebagai subspecies. Pembidangan filsafat
menurut objek materianya yang dijadikan dasar, maka letak filsafat hukum
hanyalah sesuatu yang “ada” (das sein) karena sesuatu yang “mungkin
ada” (das sollen).

7
Gambar 2.
Alur pemikiran Filsafat Hukum

“Hukum adalah seperangkat ketentuan dan peraturan yang


mengatur tata kehidupan masyarakat dan negara, yang bersumber
dari masyarakat dan negara, dengan tujuan untuk menciptakan
ketertiban, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan”
(Prof. Dr. H. Martin Roestamy, S.H., M.H.)

2. Pengertian Filsafat Hukum.

Menurut beberapa pakar di bidang hukum, telah memberikan


pengertian tentang filsafat hukum, yaitu sebagai berikut:
a. E. Utrecht: Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan, seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (Persoalan: adanya
dan tujuan hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik
buruknya hukum itu? (Persoalan: keadilan hukum). Inilah pertanyaan-
pertanyaan yang sebetulnya yang dijawab oleh ilmu hukum. Akan
tetapi bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan.
Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum
sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu
“gegebenheit” (nyata) belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum
sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch warrdeoordeel”. Filsafat hukum
berusaha membuat dunia etis menjadi latar belakang yang tidak dapat
diraba oleh panca indera dari hukum. Filsafat hukum menjadi suatu
ilmu normatif, seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat
hukum berusaha mencari rechtsideal yang menjadi dasar hukum dan

8
etis (ethisch) bagi berlakunya sistem hukum positif di suatu masyarakat
atau negara.
b. Kusumadi Pudjosewojo:
Filsafat hukum mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, apakah
tujuan dari hukum, apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan
itu?, bagaimana hubungan hukum dan keadilan? Di sini filsafat hukum
sebagai ilmu pengetahuan filsafat.
c. Satjipto Rahardjo:
Filsafat hukum menguraikan persoalan atas pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat dasar hukum tentang hakikat hukum. Dari perumusan-
perumusan di atas, maka filsafat hukum adalah:
1) Merupakan cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau moral;
2) Membahas tentang hakikat atau inti sedalam-dalamnya daripada
hukum;
3) Merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari lebih lanjut
setiap hal yang tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum.
d. William Zevenbergen: Filsafat hukum ialah cabang ilmu hukum yang
menyelidiki ukuran-ukuran apa yang dapat dipergunakan untuk menilai
isi hukum agar dapat memenuhi hukum yang baik. Ia juga mengatakan,
filsafat hukum ialah filsafat yang diterapkan dalam hukum.
e. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: Filsafat hukum
adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum
juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara
ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan
antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaruan.
f. Langemeyer: Filsafat Hukum ialah ilmu yang membahas secara
filosofis tentang hukum.
g. J. H. Bellefroid: filsafat hukum ialah filsafat dalam bidang hukum,
bukan ilmu hukum tetapi ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu
hukum.

9
h. Lili Rasjidi: Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang
menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera”
sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normative, seperti halnya dengan
ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum
yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system
hukum positif suatu masyarakat.
i. Gustav Radbruch: Filsafat Hukum ialah cabang filsafat yang
mempelajari hukum yang benar.
j. L. Bender. O.P: Filsafat Hukum ialah suatu ilmu yang merupakan
bagian dari filsafat yaitu tentang filsafat moral /etika.

3. Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum.


Filsafat hukum memiliki sifat-sifat yang membedakan dengan ilmu-
ilmu lain, yaitu:
a. Filsafat memiliki karakter yang bersifat menyeluruh, dengan
mengajak berpikir untuk membuka wawasan yang luas dan terbuka.
Mempelajari filsafat akan mengajak pada kita untuk menghargai
pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Dalam filsafat hukum
diajarkan berbagai aliran pemikiran hukum, sehingga diharapkan tidak
akan bersikap arogan dan apriori bahwa disiplin ilmu yang
dipelajarinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu lainnya.
b. Filsafat hukum memiliki sifat yang mendasar, sehingga dalam
menganalisis suatu masalah akan mengajak untuk berpikir kritis dan
radikal. Artinya diajak untuk tidak memahami hukum dalam arti
hukum positif saja, melainkan memahami hukum secara universal.
c. Sifat ilmu filsafat yang spekulatif (bukan bersifat gambling tetapi
inovatif). Artinya dengan mempelajari filsafat hukum kita akan
berinovatif yaitu selalu mencari sesuatu yang baru atau hal-hal yang
baru (radikal) tetapi terarah dan dapat dipertanggungjawakan secara
ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (arti positif), maka hukum dapat

10
dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d. Sifat filsafat yang reflektif kritis, maka dengan mempelajari filsafat
hukum akan berguna untuk membimbing untuk menganalisis masalah-
masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan
jawaban itu secara terus-menerus. Jawaban itu tidak sekedar
diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada
nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala. Maka dengan sifat inilah
dalam menganalisis suatu masalah akan menentukan sikap secara bijak.

4. Filsafat Hukum Dan Ilmu-Ilmu Hukum.


Disiplin ilmu hukum adalah sistem ajaran hukum mengenai kenyataan
atau gejala-gejala yang dihadapi dalam fenomena hukum. Secara umum
disiplin dapat dibedakan antara disiplin analitis hukum dan disiplin
preskriptif hukum. Disiplin analitis hukum adalah suatu sistem ajaran yang
titik beratnya menganalisis, memahami serta menjelaskan gejala-gejala
yang dihadapi dalam fenomena hukum. Contohnya antara lain adalah
sosiologi hukum, psikhologi hukum, dan seterusnya. Disiplin preskiptif
hukum adalah sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya
atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi fenomena hukum
tertentu. Disiplin preskriptif hukum mengandung adanya nilai-nilai tertentu
yang akan dikejar dan bersifat normatif (memberi pedoman patokan).
Beberapa bidang studi yang termasuk dalam kelompok disiplin preskriptif
hukum in adalah filsafat hukum, yang melahirkan Teori Hukum (Legal
Theory).

11
Gambar 3.
Skema Disiplin Ilmu Hukum

C. DISIPLIN HUKUM
Disiplin hukum, mencakup tentang :
a. Politik hukum;
b. Filsafat hukum; dan
c. Ilmu hukum.
Politik Hukum, mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan
menerapkan nilai-nilai. Berbicara tentang Hukum yang dicita-citakan (ius
Constituendum) dan berupaya menjadikannya sebagai hukum positif (ius
constitutum) pada suata masa mendatang.
Filsafat Hukum, adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, juga
mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban
dan ketentraman, antara kebendaan (materialisme) dan keakhlakan
(idealisme), antara kelanggengan nilai-nilai lama (konservatisme) dan
pembaharuan.

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa eksistensi ilmu hukum


ditinjau dari filsafat ilmu mencakup 3 (tiga) landasan pengembangan, yaitu:

12
1) Ontologi:
Objek Kajian dalam ilmu adalah norma-norma, seperti norma
perilaku dan norma kewenangan , termasuk norma-norma yang
telah hidup secara turun menurut dalam masyarakat. Dalam
hubungan antara subyek dengan obyek, posisi subyek berada di luar
obyek sebagai pemerhati.
2) Epistemologi :
Metodologi yang digunakan adalah secara induksi dan deduksi,
dengan kriteria kebenaran secara preskriptif atau sejatinya.
3) Aksiologi:
Ilmu hukum dalam pengembangannya memiliki manfaat berupa
penyelesaian terhadap semua masalah hukum konkret (problem
solving) yang terjadi dalam masyarakat. Pengembangan ilmu
hukum bertujuan untuk menciptakan, menjaga dan mengendalikan
keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan manusia.
Sedangkan relevansi ilmu hukum kemudian merumuskan dan
menerapkan nilai-nilai tersebut.
Ilmu hukum sebagai kumpulan dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan antara lain meliputi:
a) Ilmu tentang kaidah atau normwisseschaft atau
sollenwissenschaft, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai
kaidah atau sistem kaidah-kaidah. Ilmu Hukum, hukum
normatif terbagi 2 (dua), yaitu:
(1) Ilmu hukum dalam arti sempit;
(2) Perbandingan hukum.
Dalam arti sempit yang dinamakan dogmatik hukum.
b) Ilmu tentang pengertian hukum (begriffenwissenschaft, yakni
ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum seperti:
subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek
hukum.

13
c) Ilmu tentang kenyataan (empiris) atau tatsachenwissenchaft
atau seinwissenchaft yang menyoroti hukum sebagai sikap
tindak atau perikelakuan. Artinya hukum akan dilihat dari segi
penerapannya yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku atau
sikap tindak (das sein), yang antara lain mencakup:
(1) Sosiologi hukum yakni suatu cabang ilmu pengetahuan
yang secara impiris dan analitis mempelajari hubungan
timbal-balik antara hukum sebagai gejala-gejala sosial yang
lain.
(2) Anthropologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan
yang·mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya
pada masyarakat sederhana, maupun yang sedang
mengalami proses modernisasi.
(3) Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari
perkembangan jiwa manusia.
(4) Perbandingan hukum adalah cabang ilmu pengetahuan
yang memperbandingkan sistem-sistem hukum yang
berlaku di dalam satu atau beberapa masyarakat.
(5) Sejarah hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-
usul daripada sistem hukum suatu masyarakat tertentu.

D. TEORI HUKUM (LEGAL THEORY)


Istilah teori hukum disebut juga dengan teori hukum umum atau ilmu
hukum sistematis atau ilmu hukum dogmatis. Teori hukum mempelajari
tentang pengertian-pengertian pokok dan sistematika hukum. Pengertian-
pengertian pokok itu, misalnya subjek hukum, perbuatan hukum, objek
hukum, peristiwa hukum, badan hukum, dan lain-lainnya.
Pengertian-pengertian pokok penting untuk memahami sistem hukum
umumnya dan sistem hukum positif. Teori hukum dipelajari secara ntensif
dan mendasar melalui cabang ilmu hukum lainnya, yaitu Filsafat Hukum.

14
Teori hukum dipelajari dalam mata kuliah, seperti: Pengantar Ilmu hukum;
Ilmu Negara; dan asas-asas Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, dan Asas-
Asas Hukum Pidana.
Dalam perkembangannya filsafat hukum, ilmu hukum (dogmatik
hukum) dan teori hukum menjadi perdebatan dari para pemikir hukum
dalam pembahasannya. Filsafat hukum menjadi teori payung (grand theory)
bagi pemikiran hukum lainnya. Namun secara metodologi ada perbedaan
dalam kajiannya, di mana filsafat hukum menggunakan metode reflektif-
spekulatif terhadap semua gejala hukum, sedangkan teori hukum
menggunakan metode interdisipliner yaitu mengkaji masalah-masalah
hukum dari Bahasa non yuridis atau menggunakan pendekatan (approach)
ilmu-ilmu lainnya, dan ilmu hukum dogmatik menggunakan metode
normatif positivis.

1. Sosiologi Hukum.
Sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari
hukum sebagai suatu gejala sosial. Sosiologi hukum menyoroti:

a. Hukum dan sistem sosial masyarakat;


b. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sistem hukum;
c. Sifat hukum yang dualitis;
d. Hukum dan kekuasaan;
e. Hukum dan nilai-nilai sosial budaya;
f. Kepastian hukum dan keadilan; dan
g. Peraturan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat.
Pengaruh filsafat hukum dalam mepelajari sosiologi hukum,
timbulnya aliran hukum Sociological jurisprudence, bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hukum yang sesuai dengan mencerminkan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Sedangkan sosiologi hukum dalam
penelahaannya bermula dari masyarakat itu pada hukum. Maka

15
perbedaan dengan aliran Sociological jurisprudence sebaliknya
bermula dari hukum ke masyarakat.

2. Perbandingan Hukum.
Adalah cabang ilmu yang dengan jalan perbandingan mencari
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara sistem hukum yang
berlaklu dalam satu atau beberapa negara/masyarakat. Mencari kerangka
atau konsep-konsep hukum yang bersifat universal dan disesuaikan dengan
keperluan masyarakat setempat.
Dalam mata kuliah cabang ilmu hukum ini terdapat pada mata kuliah,
seperti: Perbandingan Hukum Perdata; Perbandingan Hukum Pidana.
Kegunaannya untuk membekali calon Sarjana Hukum memiliki wawasan
pengetahuan yang luas di bidang hukum. Baik sebagai teoritisi maupun
praktisi hukum.

3. Sejarah Hukum.
Metode mempelajari hukum dari segi sejarahnya, yaitu dicari asal mula
suatu sistem hukum dalam suatu negara/masyarakat, perkembangannya dari
dulu hingga sekarang. Dalam mempelajari sejarah hukum akan mampu
menjawab:
a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga
hukum tertentu dan bagaimana jalannya proses pembentukan itu?
b. Faktor apakah yang dominan pengaruhnya dalam proses pembentukan
suatu lembaga hukum tertentu dan apa sebabnya?
c. Bagaimana interaksi antara pengaruh-pengaruh yang datang dari luar
dengan kekuatan perkembangan dari dalam masyarakat sendiri?
d. Bagaimana jalannya proses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang
diambil dari hukum asing?
e. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang
sama? Apakah terjadi perubahan fungsi? Apa yang menyebabkannya?
Apakah perubahan itu bersifat formal atau informal?

16
f. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan hapusnya atau tidak
digunakannya lagi suatu hukum tertentu?
g. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang uymum yang
dijalanai oleh lembaga-lembaga hukum dari suatu hukum tertentu?

4. Antropologi Hukum.
Mempelajari hukum sebagai pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam
masyasrakat. Cabang ilmu hukum ini berkembang sebagaimana cabang
ilmu sosiologi hukum, dimana untuk mendapatkan informasi tentang hukum
yang hidup di kalangan masyarakat sederhana. Metode yang digunakan
yaitu perbandingan hukum.

5. Psikologi Hukum.
Cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu
perwujudan perkembangan jiwa manusia. Melihat kaitan antara jiwa
manusia di satu pihak dengan hukum di lain pihak. Psikologi membicarakan
tentang fungsi-fungsi pikiran, setelah dilakukan penelitian-penelitian maka
berusaha untuk menemukan dan menegakkan peraturan-peraturan dan
hukum-hukum yang membimbing pikiran.
Ruang lingkup Psikologi Hukum:
a. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum;
b. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola penyelesaian pelanggaran
kaidah hukum; dan
c. Akibat-akibat dari pola-pola penyelesaian sengketa tertentu.
Atau:

17
18
DAFTAR PUSTAKA

Al Quran al Karim.
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2016.

Amina Memon, Aldert Vrij and Ray Bull, Psychology and Law, John Wiley & Son
Ltd, Sussex, 2003.

A.S. Rappoport, A Primer Philosophy, Albemarle, London, 2020.

Bertrand Russell, The Art of Philosophizing & Other Essay, yang sudah
diterjemahkan oleh Basuki Heri Winarno, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002.

I Dewa Gede Atmadja, Sudarsono, Suko Wiyono, Filsafat Ilmu (dari Pohon
Pengetahuan sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum), Madani Wisma
Kalimetro, Malang, 2014.

-----------------------------, Teori-Teori Hukum, Setara Press, Malang, 2018.

Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, yang sudah diterjemahkan oleh


Soerjono Margono, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2004.

Muhamad Erwin, Filsafat Hukum (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016.

Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993.

Soetikno, Filsafat Hukum (Bagian 1), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

Stephen Palmquis, The Tree of Philosophy, Philosophy Press, Hongkong, 2000.

19
BAB II

SEJARAH (Singkat) FILSAFAT HUKUM

A. ZAMAN KUNO.

1. Zaman Yunani.
Pada dasarnya pemikiran filsafat hukum barat asalnya dari para ahli
pikir Yunani (4-6 SM), dari filsuf Homerus sampai kaum Stoa
(Sokrates, Plato dan Aristoteles). Pemikiran era Yunani itu, didasari
pengaruh alam dewa (nomos) beralih ke dalam pemikiran yang rasio
(logos), agar tercipta keteraturan dan keadilan, manusia harus hidup
selaras dengan alam.
Nomos adalah sumber segala hukum, yang kemudian kata ini
dikembangkan menjadi undang-undang, tetapi maknanya lebih luas.
Nomos adalah sesuatu yang berlaku sebagai aturan umum, dalam
bentuk yang sama dan setara bagi semua orang. Nomoi (kata jamak dari
nomos) tersebut berupaya mengejar keadilan, keelokan, dan
kemanfaatan.
Nomos ini terutama adalah alat yang adil sebagai batas-batas
kepatutan dalam masyarakat untuk membatasi kekuasaan penguasa di
Polis dan mengekangnya Oleh karena itu, kebebasan para warga negara
di Polis tersebut justru hanya tunduk dan taat pada Nomoi, dan tidak
pada keputusan-keputusan yang sewenang-wenang.
Latar belakang renungan tentang hukum dan pemerintahan bangsa
Yunani, adalah timbulnya dan berkembangnya ”Polis” (Politea) negara
kota Yunani. Pandangan ini merupakan gambaran bahwa suatu
penghidupan kota berdiri di atas tameng dewa Achilles (dalam buku I
li’as dan Odysseia, karangan Homerus sampai Plato dan Aristoteles).

20
Dalam renungan filsuf Yunani, bahwa fungsi dan masalah hukum
di masyarakat Yunani, menghasilkan 2 (dua) unsur yang dapat
dikombinasikan sebagai yaitu:
a. Pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat,
pergantian dan kesewenangan-wenangan pimpinan/pemerintahan
kepada warga negara harus ada dorongan dari luar untuk berpikir
hubungan antara keadilan yang lebih tinggi dan hukum positif.

b. Perenungan yang didasari pemikiran spekulatif (speculative


insight) dan penglihatan menurut kecerdasan (intellectual
perception) ikut memberikan andil atau bagian pada pandangan
filsafat hukum, khususnya hal-hal yang mengenai keadilan abadi
dan hukum positif.
Manusia akan berbahagia apabila ia berada dalam Polis. Manusia
tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makhluk polis, makhluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Dalam filsafat kaum sofis (stoa),
hukum alam ditafsirkan sebagai hukum, yaitu yang berlaku selalu dan
di mana-mana (lex universalis), sehingga hukum menjadi abadi (lex
aeterna).
Hukum alam merupakan dasar dari hukum positif. Pada mulanya
bagi orang Yunani menganggap hukum alam ini adalah hukum yang
primitif, karena hukum dianggap sebagai keharusan alamiah (Nomos)
baik semesta alam maupun manusia. Seperti: laki-laki berkuasa, budak
adalah budak, dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, beberapa filsuf Yunani mengartikan
hukum (alam) ini berbeda-beda, seperti: Socrates, menyatakan bahwa
orang harus memiliki pengetahuan (theorika). Hukum ditafsirkan
menurut selera dan kepentingan penguasa saja. Plato, menyarankan
agar pada setiap peraturan dicantumkan pertimbangan filosofisnya,
agar penguasa membuat suatu aturan tidak berdasarkan pada
kehendaknya semata. Aristoteles, bahwa hukum sudah harus membawa

21
ke arah yang realistis. Pemikiran-pemikiran ini membawa pada
pandangan yang sudah sangat luas mencakup ketatanegaraan,
perundang-undangan, perkonomian, hak milik dan keadilan.
Seperti Palto (427-347 SM), menulis dalam Politea dan Nomoi,
memberikan tawaran pengertian hukum, hakikat hukum dan
pertentangan-pertentangannya. Dalam Politea digambarkan model
negara yang adil, di mana negara terdapat kelompok-kelompok dan
yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok berbuat
dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan dalam
Nomoi menjelaskan tentang terbentuknya tata hukum atau peraturan-
peraturan yang berlaku ditulis dalam kitab perundang-undangan, karena
jika tidak penyelewengan dari hukum yang adil sulit dihindarkan.
Seperti juga Aristoteles (348-322 SM) dalam Politika, bahwa
manusia merupakan makhluk polis (zoon politicon), di mana manusia
harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum Polis. Kemudian,
Aristoteles membagi hukum menjadi 2 (dua), yaitu: pertama, hukum
alam (kodrat) sebasgai aturan yang mencerminkan aturan alam, selalu
berlaku dan tidak pernah berubah; kedua, adalah hukum positif adalah
hukum yang dibuat oleh manusia. Sehingga pembentukan hukum harus
selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang baik dan pantas bagi
orang yang hidup bersama.

2. Zaman Romawi.
Zaman Kekaisaran Romawi (5 M), timbul aliran Stoisisme, yang
memandang hukum sebagai keterkaitan hubungan manusia dengan
logos atau rasio. Tujuan hukum adalah keadilan menurut logos bukan
menurut hukum positif. Ketaatan hukum positif apabila baru dapat
dilakukan sepanjang hukum ini sesuai dengan hukum alam. Dengan
tokoh-tokohnya, seperti: Cicero, Galius, Ulpianus, dan lain-lain.
Pada masa Cicero (106 – 43 SM), filsafat hukum dalam esensinya
bersifat Stoa. Cicero menolak bahwa hukum positif dari suatu

22
masyarakat (tertulis atau kebiasaan) adalah standar tentang apa yang
adil, bahkan jika hukum tersebut diterima secara adil. Cicero juga tidak
menerima utilitas semata-mata adalah standar, bahwa keadilan itu satu
hukum, yaitu mengikat semua masyarakat manusia dan bertumpu di atas
satu hukum, yaitu akal budi yang benar diterapkan untuk memerintah
dan melarang. Menurut Cicero hukum terwujud dalam suatu hukum
yang almiah yang mengatur, baik alam maupun hidup manusia. Oleh
karena itu filsafat hukum Cicero dalam esensinya mengemukakan
konsepsi tentang persamaan (equality) semua manusia di bawah hukum
alam.
Pengaruh kekaisaran Romawi yang luas, munculnya embrio hukum
internasional (ius gentium). Pada awalnya peraturan hanya berlaku
untuk kota Roma, kemudian dengan kekuasaan Romawi saat itu,
peraturan ini berlaku dan berfungsi bagi para gubernur wilayah
kekuasannya untuk sebagai hakim.
Pada zaman Romawi, perkembangan filsafat hukum bersifat idiil,
yaitu bahwa hukum yang berlaku bukanlah hukum yang ditentukan
(hukum positif/leges), tetapi hukum yang dicita-citakan dan yang
dicerminkan dalam leges tersebut (hukum sebagai ius). Ius yang tidak
ditemukan di dalam peraturan saja, melainkan juga terwujud dalam
hukum alamiah yang mengatur alam dan manusia. Sehingga hukum
alam (hukum kodrat) melebihi hukum positif karena adanya kehendak
ilahi.
Hukum Romawi dikembangkan oleh kekaisaran Romawi Timur
(Byzantium), yang diwarisi ke generasi-generasi selanjutnya dalam
bentuk Kodeks (Codex). Tahun 528-534 seluruh perundangan
kekaisaran Romawi dikumpulkan dalam satu Kodeks atas perintah
Kaisar Yustianus yang dikenal dengan Codex Iurus Romawi atau Codex
Yustianus atau Corpus Iurus Civilis. Kemudian dikembangkan pada
abad pertengahan dan dipraktekkan Kembali pada kekaisaran Jerman
(Germania). Terakhir perundangan (hukum) ini berkembang menjadi

23
hukum perdata modern dalam Code Civil Kaisar Napoleon Prancis
(1804).

B. ZAMAN ABAD PERTENGAHAN

1. The Dark Ages (12-13 M).


Setelah kekuasaan Romawi runtuh, timbul kejayaan agama
Kristen di Eropa. Abad pertengahan merupakan abad yang khas,
yang ditandai dengan suatu pandangan hidup manusia yang merasa
dirinya tidak berarti tanpa adanya tuhan. Selama abad pertengahan
tolak ukur setiap pemikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan
semesta alam telah diciptakan oleh Tuhan Sang Pencipta. Sesuai
dengan kepercayaan itu, hukum pertama-tama dipandang sebagai
suatu aturan yang datangnya dari Tuhan. Oleh karena itu, untuk
membentuk hukum positif manusia hanya ikut mengatur hidup,
sebab, hukum yang ditetapkanya harus dicocokkan dengan aturan
yang telah ada, yaitu sesuai dengan aturan-aturan agama.
Hukum alam berkembang dengan motivasi atas dasar kehendak
ilahi, dimana tokoh-tokoh filsafat hukum pada era ini, seperti:
Thomas Aquinas (1225-1275 M), yang dipengaruh pemikiran Plato
dengan memandang hukum sebagai ide-ide abadi dengan benda-
benda duniawi. Hukum yang abadi berasal dari rasio Tuhan (lex
aeterna). Tuhan membuat rencana-Nya terhadap alam semesta, yang
mengenjewantahkan terhadap manusia melalui rasa Keadilan (lex
naturalis). Hubungan antara penguasa negara dan gereja, melahirkan
dua aliran filsafat, yaitu: Via antiqua dan via moderna. Via antiqua
berpihak pada gereja, sedangkan via moderna berpihak pada negara
(penguasa).
Marsilius Padua (1270-1340 M) dan William Occam (1280-
1317 M), rohaniwan yang melahirkan karya Defensor Facis, saat
pertentangan antara Kaisar Ludwig dari Bavaria dengan Paus
Yohanes XXII. Permasalahan negara dan hukum didasarkan pada

24
pemikiran modern, di mana diatur tentang dasar-dasar negara dan
gereja, serta hubungan keduanya (sekuler), dengan tokoh-tokohnya:
John Wycliffe (1320-1384 M) dan Johanes Huss (1369-1415), yang
memperkenalkan pemikiran-pemikiran yang bersifat sekuler,
dengan memisahkan secara tegas urusan duniawi (negara) dan
keagamaan (gereja).

2. Zaman Renaisance (Pencerahan: 14-15 M).


Zaman Renaisance atau abad pertengahan merupakan era
pencerahan sebagai abad yang khas di Eropa dengan keberadaan
gereja-geraja saat itu. Abad ini ditandai dengan suatu pandangan
hidup manusia yang merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan, di
mana kekuasaan gereja begitu besarnya mempengaruhi segala
kehidupan, akhirnya berlalu dan muncul suatu zaman baru yang
disebut zaman Renaisance. Zaman ini ditandai dengan tidak
terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan,
manusia menemukan kembali kepribadianya. Akibat dari perubahan
ini, terjadi perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia,
perkembangan tehnologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara
baru, ditemukanya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu-
ilmu baru dan sebagainya. Semua itu hanya akan terjadi oleh karena
adanya kebebasan dari pada individu untuk menggunakan akal
pikiranya tanpa adanya rasa takut (pencerahan).
Pada zaman ini perhatian pertama-tama diarahkan kepada
manusia, sehingga manusia menjadi titik tolak pemikiran. Hal ini
tidak berarti bahwa sikap religius pada orang-orang zaman ini
hilang, melainkan sikap hidup religius terpisah dengan kehidupan
lainya. Di zaman inilah para filsuf pada umumnya memisahkan
urusan yang berkaitan agama dengan non agama, yang bisa disebut
dengan adanya dikotomi antar urusan dunia dengan urusan akhirat
(sekuler).

25
Pada Abad Petengahan ini muncullah seorang astronom
berkebangsaan Polandia. Astronom tersebut bernama Nicolaus
Copernicus. Pada saat itu, Copernicus mengemukakan temuannya
bahwa pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari
(Heleosentrisme adalah salah satu teori kontroversial, yang
menggambarkan bahwa matahari adalah pusat di alam semesta dan
menentang geosentrisme, yang menempatkan bumi di tengah).
Namun temuan teori ini tidak disambut baik oleh otoritas Gereja
sebab mereka menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh
Copernicus bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai
pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh
Ptolomeus. Oleh karena itulah, Copernicus dihukum kurungan
seumur hidup oleh otoritas Gereja.
Tokoh lainnya pada abad ini adalah Galilieo Galilei, seorang
penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Galilieo menemukan
bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak
parabola, bukan gerak horisontal yang kemudian berubah menjadi
gerak vertikal. Galilieo menerima pandangan bahwa matahari adalah
pusat jagad raya. Dengan telekospnya, ia mengamati jagad raya dan
menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari bintang-bintang
yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri.
Karena pandangannya yang bertentangan dengan tokoh Gereja
akhirnya di hukum mati.
Pada zaman ini, hukum tidak lagi di lihat dalam bayang-bayang
alam dan agama, tetapi hanya memandang pada tatanan kehidupan
manusia sebagai pengalaman hidupnya atau manusia duniawi.
Namun pemikiran para filsuf masih dipengaruhi kosmologi
metafisika, yaitu masih mengakui hukum alam, meskipun tidak
menjadi perhatian utama. Tokoh-tokohnya, seperti Jean Bodin
(1530-1596); Hugo Grotius (1583-1646), dan Thomas Hobbes
(1588-1679).

26
Jean Bodin, melihat hukum sebagai perintah raja, dan perintah
itu menjadi aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan
umum. Raja tidak terikat oleh hukum (summa in cires at subditos
legibusque solute potesta). Setiap tradisi dan hukum kebiasaan
akann menjadi absah apabila adanya perintah pemegang kedaulatan
yang menetapkannya. Sehingga hukum itu merupakan kehendak
atau penjelmaan negara (raja). Negaralah yang menciptakan hukum,
dan negaralah adalah satu-satunya sumber hukum yang memiliki
kedaulatan. Kehidupan masyarakat atau kepentingan individu selalu
dikalahkan oleh kepentingan negara.
Hugo Grotius, memandang bahwa setiap orang mempunyai
kecenderungan hidup bersama (homo homonicus). Hukum
merupakan kesadaran manusia sosial agar terpenuhi kebutuhan
dasarnya untuk saling berinteraksi dengan sesamanya dengan
keinginan hidup secara damai. Untuk menjaga sosialibitas manusia,
maka perlu menjaga prinsip-prinsip, seperti: (1) Milik orang lain
harus dihormati, jika meminjam dan membawa keuntungan maka
harus diberi imbalan; (2) Kesetiaan pada janji. Kontrak harus
dihormati (pacta sunt servanda); (3) Harus ada ganti rugi untuk
setiap kerugian yang diderita; (4) Harus ada hukuman untuk setiap
pelanggaran. Pandangan Grotius itu menjadi prinsip yang universal
bagi bangsa yang beradab, karena akal sehat yang dimiliki semua
manusia (sensus communis) diterima dan disetujui oleh semua
bangsa, maka menjadi hukum bangsa-bangsa.
Thomas Hobbes, melihat hukum sebagai kebutuhan dasar
manusia untuk keamanan bagi dirinya. Kehidupan manusia yang
saling suka memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi
terciptanya masyarakat yang aman dan damai (Si vis pacem, para
bellum). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa yang kuat,
maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini
lupus). Maka hukum merupakan pilihan untuk mengamankan hidup

27
masing-masing terhadap serangan orang lain. Agar hukum itu efektif
perlu penegak hukum yang kuat, yaitu penguasa yang punya
kekuasaan besar. Hukum alam (keadilan, kesetaraan, kerendahatian,
kemurahatian, dan semua kebaikan) tidak akan dapat ditegakkan dan
tidak akan berfungsi sebagai pelindung jika tanpa ada kekuasaan dari
penguasa untuk menegakkannya.

C. ZAMAN MODERN (Era Aufklarung).


Pada abad ini timbul aliran-aliran filsafat hukum yang
mempertentangkan ketergantungan manusia pada rasio Tuhan sebagaimana
diajarkan para filsuf abad pertengahan. Pandangan terhadap pengetahuan
tentang hukum abadi dari Tuhan itu ada di luar jangkauan rasio manusia.
Pada era ini, para filsuf berpendapat bahwa hukum positif tidak perlu
harus bergantung pada rasio Tuhan lagi, melainkan tergantung pada rasio
manusia sendiri. Untuk mempersatukan rasio-rasio manusia yang demikian
banyaknya, ditempuh cara perjanjian (konsensus), sehingga dikenal “Teori
Perjanjian”. Negara bukan lembaga alamiah, tetapi sebuah tatanan buatan
manusia yang bebas dan rasional serta obyektif.
Rene Descrates (1596-1650 M), “Discours de la methode,” ide
rasionalisme membawa pengaruh besar dalam hukum, tentang hubungan
antara negara dan warganya. Lahirnya Revolusi Perancis (1789): egalite,
liberte, dan franite. Adanya pemisahan yang tegas antara das sein dan das
sollen, yang puncaknya pada abad ke-19, lahirnya positivisme hukum.
Di Inggris, muncul aliran lain dengan pandangan bahwa untuk mengisi
rasio dari sesuatu yang kosong diisi oleh empiri atau pengalaman
indrawinya. Tokohnya John Locke (1632-1704 M) dengan tokoh-tokoh
lainnya, seperti: George Berkeley (1685-1753 M), David Hume (1711-1776
M), Francis Bacon (1561-1626 M), Samuel Pufendorf (1632-1694 M).
John Locke sebagai penganut hukum alam (hukum kodrat) juga
mengajarkan kontrak sosial dengan prinsip menghargai kebebasan, hak
hidup, dan hak kepemilikan harta sebagai hak bawaan manusia. Maka hak-

28
hak itu tidaklah diserahkan seluruhnya kepada penguasa (eksekutif) ketika
kontrak sosial dilakukan, tetapi penguasa adalah pihak yang melindungi
hak-hak kodrat itu dari ancaman yang dating dari dalam dan luar. Di sinilah
Lembaga pembuat hukum (legislatif) sebagai inti dalam kehidupan politik
dalam membuat Undang-undang. Menurut Immanuel Kant dalam
perkembangannya Lembaga yudikatif sebagai Lembaga penerap Undang-
undang, ketika hakim sebagai corongnya (la bouche de la loi) merupakan
kekuasaan dari hukum (Undang-undang), sehingga disetarakan dengan
kekuasaan.
Di Perancis, lahir gagasan tentang empirisme oleh Montesquieu (1689-
1755 M), pencetus trias politica. Hukum alam adalah suatu hukum yang
berlaku bagi manusia sebagai manusia, tetapi bagaimana hukum alam itu
dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum bergantung pada situasi
historis, psikis, dan kultur bangsa. Pendapat ini berkembang menjadi
Mazhab sejarah yang membagi kekuasaan pada tiga bidang, yaitu legislatif,
eksekutif dan yudikatif (konsep negara hukum/ rechtsstaat).
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) yang memperkenalkan Teori
Kontrak Sosial. Manusia pada awalnya hidup dalam kebebasan, tetapi untuk
menyerahkan kebebasannya kepada masyarakat secara keseluruhan melalui
kontrak sosial. Prinsip-prinsip demokrasi modern, yang memberi kebebasan
sebesar-besarnya bagi rakyat untuk menyatakan kehendaknya (volonte
generale). Maka pandangan Rousseau dengan paham kedaulatan rakyat,
membentuk berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan
Anglo Saxon (abad XVII) .
Idealisme yang berpengaruh pada filsafat hukum didukung oleh filsuf
hukum Immanuel Kant (1724-1804 M) yang bertentangan dengan
empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak bergantung
pada empiris, karena pengetahuan empiris itu bersifat konkret dengan
dibatasi ruang dan waktu. Rasio manusia itulah yang membentuk
pengetahuan itu sendiri (Aliran hukum alam yang irasional). Menurut Kant,
akal manusia memiliki dua jenis, yaitu pertama adalah akal murni (akal

29
teoritis) untuk melihat hal yang ada (sein) berupa alam, fakta dan semua
yang dapat direkam inderanya. Kedua adalah akal praktis yang merupakan
media untuk menangkap bidang harus (sollen), yakni norma-norma. Itulah
sebabnyha hukum merupakan bidang akal praktis, yang berbicara
seharusnya yaitu prinsip-prinsip kelakuan yang dirasa sebagai kewajiban.

D. ZAMAN MODERN (Abad XX).

Zaman abad ke-XIX, berkembangnya rasionalisme. Rasionalisme


dilengkapi dengan empirisme. Tokoh-tokohnya: Hegel (1770-1831 M);
Karl Marx (1818-1883 M); C. von Savigny (1779-1861). Hukum tidak
dibuat tetapi tumbuh bersama perkembangan masyarakat. Tidak adanya
hukum yang universal, tetapi hukum sesuai dengan jiwa dari suatu bangsa
(volkgeist). Tokoh-tokoh lainnya, seperti aliran positivisme hukum, yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan ajaran hukum murni-nya.
Utilitarianisme, Jeremy Bentham (1748-1832) dan John S. Mill (1806-
1903) sebagai tokoh-tokoh Sociological Jurisprudence.

Hans Kelsen, bahwa hukum bersifat normatif yang mengatur pola


perilaku tertentu, maka manusia harus menyesuaikan perilaku yang telah
ditentukan itu sebagai keharusan atau kewajiban mentaati hukum (yuridis
normatif). Sumber norma itu berasal dari grundnorm (norma dasar) yang
menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan
dalam hidup bersama (negara). Maka seluruh tatanan hukum (hukum
positif) harus berpedoman secara hirarkis pada grundnorm. Atau dikenal
dengan stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut tingkatannya) teori,
karena dalam tertib yuridis jenjang perundang-undangan mempunyai
struktur piramidal yakni dari yang abstrak (grundnorm) sampai yang
konkret yakni Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.
Pada abad ke-20, timbul aliran-aliran yang berpangkal pada empirisme
ke dalam neo positivisme. Seperti di Amerika, lahirnya pragmatisme.
Kebenaran harus diuji dengan dunia realistis, di mana timbulah aliran-aliran

30
filsafat hukum yang disebut realisme hukum. Realisme hukum tidak
mengandalkan undang-undang sebagai sumber utama hukum, tetapi dari
kenyataan-kenyataan sosial yang kemudian diambil alih oleh hakim ke
dalam putusannya. Adanya kebebasan kepada hakim. Aliran freirechtslehre
(ajaran hukum umum) sebagai penentang positivisme hukum.

Gambar 4.
Alur Perkembangan Aliran Filsafat Hukum

1. Post Modernism.

Postmodernisme hukum adalah pandangan-pandangan kritis


terhadap gagasan, pemikiran, teori, dan praktik hukum dalam era
modern, post-modern, atau modernisme hukum itu sendiri. Basis
gerakan dan pemikiran postmodernisme hukum sendiri ada pada
modernisme hukum yakni ajaran positivisme dan realisme hukum.
Positivisme hukum menegaskan bahwa dasar atau fondasi hukum ada
pada kenyataan, pada kasus-kasus konkret, atau pada objektivitas yakni
bahwa hukum nyata berlaku karena hasil legislasi dan ditetapkan.
Sementara realisme hukum menegaskan muatan pengalaman konkret
yang terumuskan dalam hukum, peran pragmatis hukum, fungsi

31
kontrol, serta komitmen pada tujuan hukum sebagai sarana
mewujudkan keadilan melalui proses yang demokratis.

Pada abad ke-XX, adanya perkembangan ilmu sosial umum yang


didasarkan pada ilmu hukum. Teori sosial mempunyai pengaruh yang
semankin meningkat dalam tulisan-tulisan ulasan hukum dan teori
hukum semankin meresap dalam tulisan sosiologis, terutama dalam
penelitian-penelitian hukum dan rasionalitas. Postmodernisme dapat
dijelaskan sebagai suatu aliran yang menyerang modernisme dengan
menciptakan ketertiban, sistem, struktur, dan konseptual dalam hukum.

2. Pragmatic Legal Realism (Realisme Hukum).

Tokoh-tokohnya seperti: John Chipman Gray (1839-1915); Oliver


Wendell Holmes (1841-1936); Cordozo (1870-1938); Jerome Frank
(1889-1957), dan Roscoe Pound (1870-1964). Inti aliran ini adalah
fakta empiris, bukan pernyataan normatif, aturan yang diperlukan
adalah sikap tindak (behaviour). Ilmu pengetahuan hukum berkembang
tidak hanya didasari oleh pandangan positivisme hukum, melainkan
melihat keberlakuan hukum dari perilaku manusia (behaviour science).
Pandangan legal realism, bahwa hukum tidak statis (law in book),
tetapi selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan
perkembangan zamannya dan dinamika masyarakat (law in action).
Bagaimana hukum dilaksanakan tidak didasarkan pada konsep-konsep
hukum tradisional. Sebagaimana dikatakan oleh Karl Liewellyn (1893-
1962), menganggap aliran legal realism ini bukan sebagai aliran
filsafat hukum, tetapi sebagai gerakan dalam pola pikir dan pola kerja
di bidang hukum.

Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara


bekerja tentang hukum dan eksistensinya dalam masyarakat. Aliran
legal realism, melihat hukum:

32
a. Peran suatu aturan yang berlaku;
b. Memprediksi suatu putusan pengadilan yang lebih akurat;
c. Keobjektifan pengadilan menemukan fakta-fakta dalam kasus-kasus
yang konkret;
d. Metode apa yang digunakan hakim dalam menyimpulkan dan
menjustifikasi putusannya;
e. Apakah putusan telah sesuai dengan yang dicapai.

3. Critical Legal Studies.


Penelitian-penelitian yang secara politis dan metodologis
berlawanan dengan ajaran hukum dan rasionalitas, melahirkan ilmu
hukum kritis (critical legal studies). Dalam aliran critical legal studies
membicarakan bahwa teori hukum merupakan suatu perlindungan
idiologis bagi keputusan-keputusan yang diperintahkan oleh kekuasaan
dan pemeliharaan ketidakadilan. Menurut para penulis critical legal
studies bahwa hukum terdiri dari berbagai pertentangan dan
ketidakkonsistenan yang dapat mengakibatkan keputusan menjadi
melantur. Hukum secara logis tidak menentukan dan tidak dapat
menghasilkan akibat tertentu. Keputusan-keputusan hukum harus
ditempatkan di luar doktrin hukum formal, tempat yang tidak dapat
dihindari bersifat politis.

Para sarjana critical legal studies menjelaskan suatu pandangan


bahwa hukum secara relatif berkuasa, artinya meskipun hukum
menggunakan suatu bentuk argumentasi khusus yang membuatnya
berbeda dengan politik biasa, namun hukum selalu melayani
kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik. Selain itu, para
penulis critical legal studies menganalisis hukum dengan menetapkan
hukum dalam kondisi-kondisi yang didominasi oleh suatu pandangan
untuk melarikan diri dari idiologi-idiologi. Sehingga perlu kenetralan
dalam memberi gagasan-gagasan dan cita-cita hukum yang secara terus
menerus direkonstruksikan kembali.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Asnawi, Sejarah Para Filsuf Dunia, Penerbit Indoliterasi, Yogyakarta,


2020.

A. Mukthie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara Press, Malang, 2014.

Bernard L. Tanya, et.al., Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
Lintas Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Eduardus Marius Bo, Teori Negara Hukum & Kedaulatan Rakyat, Setara Press,
Malang, 2019.

H.B. Jacobini, A Study of The Philosophy of International Law as Seen in Works of


Latin American Writers, Martinus Nijhoff-The Hague, Netherland, 1954.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1971.

Immanuel Kant, The Critique of Pure Reason, Indolitersi, Yogyakarta, 2014.

J.J. Von Schmid, Het Denken over Staat en Recht, PT. Pembangunan Djakarta,
1961.

John Gilisen & Frits Gorlé, Historische Inleding tot het Recht, yang sudah
diterjemahkan oleh Freddy Tengker, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007.

Lili Rasjidi dan Ira Thania, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 2007.

Soetikno, Filsafat Hukum (Bagian II), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,


1990.

W.J.V. Windeyer, Lectures on Legal History, The Law Book Company, Sydney,
1938.

34
BAB III

PERMASALAHAN YANG DIKAJI DALAM FILSAFAT HUKUM

A. MASALAH HUKUM DAN KEKUASAAN

“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa


hukum adalah kelaliman”
(St. Agustinus)

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia negara hukum“.
Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan kebenaran dan
keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
Hukum merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan. Kekuasaan
merupakan faktor penting dalam keharusan hukum, karena:
1. Sebagai alat pembatas kekuasaan;
2. Sebagai penegakan hukum;
3. Sebagai pemberi sanksi.
Kekuasaan dapat berwujud sebagai:
a. Keyakinan moral dari masyarakat;
b. Persetujuan (konsensus) dari seluruh rakyat;
c. Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan
belaka);
d. Kombinasi dari faktor-faktor tsb di atas.
Kekerasan dan Kekuasaan.
Dalam penegakan hukum, kekerasan diartikan sebagai penggunaan
kekuatan secara sah (yustifikasi). Kekuatan yang sah adalah kekuatan yang
diatur secara eksplisit dalam kaidah-kaidah hukum positif. Tujuannya
adalah untuk membentuk perilaku hukum dari masyarakat akan kepatuhan
terhadap hukum. Berdasarkan ketentuan Filsafat, bahwa manusia
didefinisikan seperti hewan, dengan perbandingannya sebagai political
animal; economical animal; dan rational animal.

35
Dikatakan manusia sebagai mahlum political animal, karena pada
hakekatnya manusia ingin menjaga ketertiban dan keteraturan, maka perlu
membentuk suatu sturktur masyarakat yan dapat mengatur individu dan
individu-individu lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka
dengan interaksi dengan sesama individu lainnya, manusia berhubungan
untuk saling memenuhinya kehidupannya (economical animal). Manusia
dibedakan dengan hewan karena berakal budi (rational animal), dengan
akal (ratio) manusia mengatur, membentuk, dan mengorginisir
kehidupannya. Hanya manusia yang memiliki rasio, dan ini yang
membedakan antara hewan dan manusia.
Maka manusia haruslah ditata dalam kehidupan menjadi tertib dan
teratur, dengan hukum sebagai seperangkat kaidah yang mengatur perilaku
para warga masyarakat, yang pada suatu waktu dan di tempat tertentu yang
dirasakan sebagai tuntutan keadilan demi terwujudnya ketertiban keadilan
yang mampu membuka peluang bagi setiap orang untuk mencapai
kebahagiaan dalam menjalani kehidupan di dunia.

B. HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN DALAM


MASYARAKAT
Pemikiran dari Roscoe Pound “Law as a tool of social engeering”,
seorang tokoh pragmatic legal realism, aliran atau mazhab hukum yang
bertitik tolak dari pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum.
Konsep mengenai hukum yang selalu berubah-ubah bahwa hukum sebagai
alat untuk mencapai tujuan sosial, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan
sosial.
Melihat perubahan sosial yang lebih cepat daripada hukum, maka
diselidiki mengenai tujuan maupun dari hasilnya. Penyelidikan antara sollen
dan sein dalam nilai-nilai yang dapat berlaku umum, tidak boleh
dipengaruhi oleh kehendak maupun tujuan-tujuan lain. Hukum di lihat dari
putusan-putusan pengadilan, bukan konsep hukum tradisionil. Akhirnya

36
hukum dirumuskan dari definisi-definisi peraturan-peraturan apa yang
ditafsirkan oleh pengadilan-pengadilan.
Hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, di Indonesia di
kembangkan oleh Mochtar Kusuma Atmadja. Istilah “tool” (alat), lebih
tepat digunakan istilah “sarana”. Hukum digunakan sebagai sarana
pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau
kombinasi dari kedua-duanya. Hukum yang baik hendaknya sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat itu.
Peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat, karena jika tidak akan terlaksana dan
akan mendapatkan tantangan-tantangan. Contoh perundang-undangan yang
berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dalam arti mengubah
sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern. Misal: larangan-
larangan perilaku lama, pensertifikatan tanah. Sehingga hukum akan
memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali
hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Satjipto Rahardjo, secara singkat menyimpulkan dalam bukunya
“Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, dalam
halaman yang menyatakan bahwa:
“Persoalan-persoalan hukum Sekarang ini bukannya lagi persoalan
legalitas formal, tentang penafsiran serta penetapan pasal-pasal undang-
undang secara semestinya dan yang semacamnya, melainkan bergerak
ke arah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut
menyusun tata kehidupan yang baru tersebut”.

Hal ini mendasari pada pemikiran dalam studi hukum sekarang lebih
menuntut agar hukum itu dipahami sebagai saluran untuk merumuskan
kebijakan (policy) dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan
sebagainya. Dengan demikian, hukum sebagai sarana untuk mewujudkan
keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat dan ciri-
ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti

37
dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa
agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
Selain itu, hukum juga sebagai sarana penggerak pembangunan: daya
mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan
untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk
membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Serta sebagai penentuan
alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan
pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang
memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara,
yang pada akhirnya sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh
persengketaan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum
waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.

C. HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA


Pengertian kebudayaan adalah penggambaran cara hidup tertentu,
mengekspresikan makna dan nilai-nilai tertentu, tidak hanya dalam seni dan
pembelajaran namun juga institusi dan perilaku sehari-hari. Kebudayaan
sebagai respon tertentu dari suatu masyarakat atau kelompok, dan efek yang
terinternalisasikan dari lokalitas sosial tertentu pula yang merupakan
dimensi aktivitas sosial yang ada.
Konsep kebudayaan tidak dapat diabaikan dalam pengkajian perilaku
manusia dan masyarakat, karena di mana ada masyarakat maka di situ ada
hukum (ubi societas ibi ius) dan hukum sebagai sarana atau alat untuk
mengendalikan perilaku manusia dan masyarakat itu sendiri pada waktu dan
tempat tertentu.
Dalam aktivitas sosial ini, maka membentuk lembaga sosial atau
sebagai pranata sosial (social institution) merujuk pada perlakuan mengatur
masyarakat (sosial) tersebut. Ada pendapat lain mengemukakan bahwa
pranata sosial merupakan sistem tata kelakukan dan hubungan yang
berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai macam
keburtuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut

38
Koentjaraningrat, bahwa lembaga sosial merupakan satuan norma khusus
yang menata serangkaian tindakan yang berpola untuk keperluan khusus
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Maka hukum yang baik tidak lain
adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja,
bahwa:
“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban masyarakat.
Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya konservatif, artinya
hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai”.

Bahkan menurut Phil Harris, mengatakan bahwa:


”We eat and sleep at certain interval; we work certain days for certain
periods; our behaviour towards others is controlled, directly and
indirectly, through moral standards, religious doctrines, social
conditions and legal rules”.

Manusia sebagai makhluk sosial (masyarakat) dalam tatanan


kehidupannya diatur oleh sistem aturan hukum. Sehingga manusia tidak
hanya berubah oleh dirinya sendiri, tetapi dapat dirubah dengan situasi
norma-norma kehidupan (hukum), meskipun tetap sebagai dirinya sendiri.
Hukum merupakan suatu sistem norma, tetapi jelas hukum itu bukanlah
suatu sistem norma saja. Sebab ada sistem-sistem norma yang lain, seperti
moral, budaya, bahkan ekonomi, yang juga merupakan sistem norma.
Sehingga manusia tidak hanya berubah oleh dirinya sendiri, tetapi dapat
dirubah dengan situasi meskipun tetap sebagai dirinya sendiri. Namun tetap
dalam lingkungan budaya yang mempengaruhinya.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa budaya hukum merupakan salah
satu unsur dari sistem hukum yang membicarakan hal-hal lembaga sosial.
Sedangkan menurut Lawrence W. Friedman, melihat hukum harus dari segi
strukturnya, substansinya, juga dari kulturnya. Dalam penjelasannya yaitu:
(1) Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana
hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formal. Seperti
bagaimana pengadilan, pembuatan dan badan dalam memproses jalannya
hukum itu; (2) Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai

39
oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta
hubungan-hubungan hukum. Misalnya pada waktu pedagang melakukan
perjanjian antara sesamanya, maka berdasarkan hubungan itu mengacu pada
peraturan-peraturan di bidang perdagangan; dan (3) Kultur (budaya) hukum
merupakan unsur-unsur dari tuntutan atau permintaan dalam mencari
penyelesaian dengan cara yang dikehendaki oleh suatu masyarakat.
Penyelesaian yang dikehendaki oleh masyarakat melalui lembaga penegak
hukum karena adanya faktor-faktor seperti sikap, keyakinan dan harapan
atau ide dalam menangani hukum akan baik.
Berdasarkan pandangan di atas, maka lembaga sosial memiliki fungsi
untuk memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana
mereka harus bersikap atau bertingkah laku dalam menghadapi masalah-
masalah yang muncul atau berkembang di lingkungan masyarakat, termasuk
yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhannya, menjaga keutuhan
masyarakat yang bersangkutan, dan memberikan pengarahan kepada
masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu sistem
pengawasan masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Sedangkan lembaga
hukum sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, dalam arti
hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang
buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga sosial tertentu
cenderung diikuti dengann perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
sosial lainnya. Karena lembaga-lembaga sosial tadi sifatnya interdependen,
maka sulit sekali untuk mengisolir perubahan pada lembaga-lembaga sosial
tertentu. Proses yang dimulai dan proses-proses selanjutnya, merupakan
suatu mata rantai yang disebut sebagai sistem.
Dalam pandangan Sunaryati Hartono, bahwa hukum bukanlah norma
belaka, tetapi merupakan suatu sistem yang (seperti juga ekonomi atau
politik) juga terdiri dari perilaku, proses, simbol, bahkan benda-benda yang
dilandasi atau dikendalikan oleh serangkaian norma-norma dasar atau
promisee yang oleh masyarakat atau negara yang bersangkutan diakui

40
sebagai suatu kebenaran atau grundnorm yang harus mengilhami, secara
rasional ataupun irasional, seluruh sistem hukum nasional masyarakat atau
bangsa tersebut.
Sistem hukum, yang antara lain terdiri dari norma-norma (formal dan
informal, lokal, nasional dan internasional) juga merupakan sistem perilaku
(anggota masyarakat) dan lembaga-lembaga hukum. Norma-norma yang
selalu terumus dalam setiap bentuk kehidupan manusia bersama sebagai
pedoman dalam berperilaku. Sedangkan lembaga-lembaga hukum ini masih
di bagi ke dalam pembentuk hukum (seperti DPR, badan-badan peradilan,
pemerintah), lembaga penegak hukum (seperti: Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, Advokat dan Notaris) dan lembaga pengawasan hukum, seperti
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, serta Komisi Polisi Nasional
(Kompolnas). Maka sistem hukum terdiri dari sejumlah komponen, yang
saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi sedemikian rupa, sehingga
manakala satu komponennya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya
maka seluruh sistem hukum itu akan macet.
Berbicara sistem dan tatanan hukum adalah sistem hukum positif
Indonesia, yaitu suatu sistem hukum yang berlaku dalam hal mengatur
tatanan kehidupan di Indonesia. Secara umum sistem diartikan sebagai
suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang satu sama lain
berhubungan dan saling mempengaruhi sehingga merupakan suatu
keseluruhan yang utuh dan berarti.
Pada dasarnya suatu sistem hukum adalah suatu struktur formal, yang
dimaksudkan dalam sistem hukum Indonesia berarti struktur formal kaidah-
kaidah hukum yang berlaku dan asas-asas yang mendasarinya yang pada
gilirannya didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 dan di jiwai oleh
falsafah Pancasila. Prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar
(The founding fathers) Negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan
menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara, itulah Pancasila.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistim
hukum dalam bernegara dan berbangsa. Sistem hukum Pancasila itu adalah

41
sistem hukum kepunyaan bangsa dan negara Indonesia sendiri. Sistem
hukum Pancasila atau sistem hukum Indonesia adalah Pemerintah yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa dan berasal dari Rakyat. Sila-sila pancasila
merupakan satu kesatuan sistim yang bulat dan utuh (sebagai suatu
totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila
dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan pancasila.
Sebagai suatu sistem, hukum itu mempunyai suatu struktur yang
bersifat hierarkis. Hukum itu valid sebagai suatu sistem karena susunan
kaidah dan norma serta asas dalam peraturan perundangan yang berlaku di
dalam suatu negara tersusun secara hierarkis dan satu sama lainnya
mempunyai hubungan yang erat, mengalir dari atas ke bawah. Pancasila
dalam tertib hukum di Indonesia merupakan norma dasar
(staatsfundamentalnorm), berturut-turut UUD 1945 (verfassungnorm),
kemudian grungezetsnorm atau Ketatapan MPR, serta gezetznorm atau
Undang-Undang.
Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum
Pancasila, berarti pembentukan ayat, pasal, dan/atau bagian dari jenis
peraturan perundang-undangan menurut tata cara yang sudah diatur dalam
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-
Udangan), Kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019, dan dirubah Kembali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

D. ORANG MENTAATI HUKUM


Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat daripada
hukum, yaitu apakah ditaatinya hukum itu disebabkan oleh hukum itu
dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau memang masyarakat
mengakuinya karena hukum tersebut dinilai sebagai suatu hukum yang
hidup di dalam masyarakat.

42
Pengembangan filsafat hukum dapat dilakukan dengan pola pemikiran
yang eksploratif. Pola pemikiran ini akan berproses yang bertitik tolak pada
unsur-unsur konkrit menuju pada hal-hal yang abstrak dan melahirkan teori
untuk dipikirkan dari yang induktif menjadi deduktif. Artinya, seseorang
berpikir pada titik tolak pada fakta, untuk kemudian menarik kesimpulan-
kesimpulan umum yang berwujud konsep-konsep abstrak atau proposisi-
proposisi yang kemungkinan bisa disangsikan, disangkal atau dibuktikan
benar tidaknya. Singkatnya, dari proposisi tersebut melahirkan teori yang
dapat dinyatakan benar atau salah.
Dapat dijabarkan pada pemahaman bagaimana orang mentaati hukum
dengan contoh teori-teori, sebagai berikut:
1. Teori kedaulatan Tuhan (teokrasi).
Segala hukum adalah hukum Ketuhanan. Tuhan sendirilah yang
menetapkan hukum, dan pemerintah-pemerintah duniawi adalah
pesuruh-pesuruh kehendak Tuhan. Maka hukum sebagai kehendak atau
kemauan Tuhan. Manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan, wajib taat
pada hukum Ketuhanan ini. Pemerintah diwujudkan dalam raja-raja
yang bertindak sebagai wakil Tuhan di dunia. Sebagai penguatan atas
pandangan idealisme bahwa jiwa manusia adalah kenyataan yang
sebenarnya. Manusia adalah makhluk kejiwaan atau kerohaniaan.
Membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena hubungannya
dengan Tuhan. Manusia diciptakan sebagai bagian dari kehendak
Tuhan, memiliki sifat-sifat Ke-Tuhanan dan rohnya akan kembali
kepada Tuhan. Maka dalam teori ini, raja sebagai wujud kehendak
Tuhan, yang patut dipatuhi.
2. Teori perjanjian masyarakat.
Orang taat dan tunduk pada hukum, oleh karena berjanji
mentaatinya. Hukum dianggap sebagai kehendak bersama, sebagai
hasil dari konsensus (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651), bahwa
manusia pada mulanya hidup dalam suasana kacau ingin berdamai,

43
maka harus bersiap berperang (omnium contra omnes). Maka untuk
menciptakan suasan damai atau tentram, lalu diadakannya perjanjian
diantara mereka (pactum unionis). Setelah itu, disusul perjanjian antara
semua dengan seseorang tertentu (pactum subjectionis) yang akan
diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki
oleh pemimpin ini adalah mutlak timbullah kekuasaan yang bersifat
absolut.
John Locke (1690), memberi pendapat atas perjanjian itu harus
disertakan dengan batasan-batasan agar tidak melanggar hak asasi
manusia. (teori kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi). Bahkan
menurut J.J. Rousseau (1672) bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh
anggota masyarakat tetap pada individu-individu dan tidak diserahkan
pada seseorang secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu (teori
tipe demokrasi langsung).
3. Teori kedaulatan negara.
Dipatuhinya suatu hukum karena negara menghendakinya.
Menurut Hans Kelsen bahwa orang tunduk pada hukum karena merasa
wajib mentaatinya karena hukum itu adalah kehendak negara. Hukum
adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules)
tentang perilaku manusia. Kekuasaan dengan kekuatan konsep
kehendap negara memotivasi dan dimuat dalam norma-norma sistem
hukum yaitu sistem negara.
Setiap aturan hukum mengharuskan manusia melakukan tindakan
tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam kondisi tertentu.
Kondisi tersebut harus berupa tindakan manusia, tetapi dapat juga
berupa suatu kondisi. Misalnya: delik terkait dengan tindakan manusia
dengan kematian sebagai hasil akibatnya (pembunuhan).
Negara menggunakan alat negara untuk memperlihatkan
kekuasaannya dalam menghukum manusia yang menyimpang dari
hukum sesuai dengan sistem tertentu, hanya selama manusia diperintah

44
dengan konsep sistem ini, dengan kepercayaan bahwa manusia harus
bertindak sesuai dengan sistem ini.
4. Teori kedaulatan hukum.
Konsep hukum dewasa ini merupakan suatu bangunan dasar negara
harus merespons realitas sosial (social reality), dan respons terhadap
realitas sosial agar teratur atau memiliki keteraturan adalah dengan
menggunakan hukum untuk mengikat warga negaranya. Keterikatan
warga negara pada hukum merupakan Upaya untuk menemukan
kembali esensi negara didirikan. Negara didirikan adalah untuk
melindungi kemerdekaan individu, dan untuk melindungi kemerdekaan
individu itu, negara membuat hukum sebagai ”alat bantu sosial” untuk
menciptakan keteraturan.
Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya,
melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum
masyarakat (rakyat). Adanya nilai batin akan kesadaran hukum
masyarakat. Hugo Krabbe menyatakan bahwa “Kesadaran hukum
masyarakat berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu
perasaan bagaimana seharusnya hukum itu”.

Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri


manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang
dikehendaki. Jadi kesadaran hukum dalam hal ini berarti kesadaran
untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum
dalam masyarakat merupakan semacam jembatan yang
menghubungkan antara peraturan-peraturan dengan tingkah laku
hukum anggota masyarakat.

Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan,


paksaan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang berlaku.
Dengan berjalannya kesadaran hukum di masyarakat maka hukum tidak
perlu menjatuhkan sanksi. Sanksi hanya dijatuhkan pada warga yang
benar-benar terbukti melanggar hukum. Hukum berisi perintah dan

45
larangan. Hukum memberitahukan kepada kita mana perbuatan yang
bertentangan dengan hukum yang bila dilakukan akan mendapat
ancaman berupa sanksi hukum. Terhadap perbuatan yang bertentangan
dengan hukum tentu saja dianggap melanggar hukum sehingga
mendapat ancaman hukuman.
Kalau semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa
terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu terjadi
secara tertatur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa yang berhak
atau siapa yang bersalah kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang
lain. Dikatakan salah satu karena disamping hukum masih ada
perlindungan kepentingan lain. Sebagaimana dalam perspektif Islam, di
mana orang mematuhi hukum karena kepatuhannya kepada pencipta
Allah SWT, dan ini diwahyukan dalam al-Quran pada Surat an-Nisa
ayat 59, yang berbunyi:

Terjemahannya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”

Sejalan dengan teori human religious belief dari Hugo Krabbe, bahwa
tidak ada peraturan yang dapat mengikat manusia, kecuali ia menerimanya
berdasarkan keyakinannya sendiri. Kecenderungan mengubah perilaku ke
arah yang lebih spiritual diidentikkan dengan mendorong pendidikan dan
pelaksanaan rutinitas ibadah. Identifikasi tersebut mengabaikan struktur
dasar pembentukan tindakan keagamaan yang muncul sebagai konsekuensi

46
utama dari keyakinan agama. muncul dari dalam diri individu, yang
diperkuat oleh dorongan-dorongan eksternal yang penekanannya diarahkan
pada aspek komitmen keagamaan yang menjadikan seseorang taat atau
patuh terhadap aturan agama (dalam hal ini bisa juga terhadap hukum
positif).
Pembentukan keyakinan dan dorongan terhadap komitmen terhadap
keyakinannya merupakan dorongan perubahan terhadap Tindakan yang
lebih religious dan mengubah perilaku, baik melalui pendidikan dan ibadah
yang merupakan bentuk modifikasi terhadap keyakinan dan komitmen
keagamaan. Begitupun seseorang akan patuh terhadap hukum, karena
keyakinannya (agama) yang didapatnya melalui pendidikan dan
dijalankannya melalui ibadah cenderung akan taat kepada hukum.

E. NEGARA BERHAK MENGHUKUM SESEORANG


Pada pemikiran tentang kekuasaan negara menjadi kekuasaan tertinggi
adalah ditangan rakyat. Kekuasan rakyat berdaulat secara mutlak, namun
semua fungsi dan peran negara merupakan pengaliran dari suatu kekuasan
yang tidak terbagi, sehingga semua kebijakan yang diambil pemerintah
harus tunduk pada negara sebagai kepentingan umum (republik), sebagai
negara demokrasi, rakyat dihormati menurut martabat manusianya dan
dijamin eksistensinya.
Dalam konteks di atas, negara melalui hukum melayani anggota-
anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan
sumber daya, melindungi kepentingan anggota-anggota masyarakat, dan
menjamin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam masyarakat.
Secara substasial hukum, terutama dapat di lihat bentuknya melalui
kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah
atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakan-tindakan yang
harus dilaksanakan, yaitu berupa penegakan hukum. Hukum sebagai wujud
peraturan jelas tidak dapat melakukan semua tindakan tersebut, maka
peranan para penegak hukum sebagai presentasi negara yang

47
terimplementasi ke dalam sistem (peradilan) hukum. Maka negara yang
juga merupakan presentasi dari masyarakat, apabila ditinjau dari ajaran-
ajaran, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Menurut ajaran kedaulatan Tuhan.
(Frederich Julius Stahl): negara adalah merupakan badan yang
mewakili Tuhan di dunia memiliki kekuasaan penuh untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia.
2. Menurut ajaran perjanjian masyarakat.
Otoritas negara untuk menjaga kedamaian dan ketentraman dari
kehendak manusia itu sendiri. Masyarakat telah memberikan kuasa
kepada negara untuk menghukum seseorang yang melanggar ketertiban
dan ketentraman.
3. Menurut ajaran kedaulatan negara.
Negara yang berdaulat, maka hanya negara itu sendiri yang
bergerak menghukum seseorang yang mengganggu ketertiban dan
ketentraman di masyarakat. Negara yang menciptakan hukum jadi
segala sesuatu harus tunduk kepada negara.
Perkembangan filsafat hukum pada abad ke-IX dan XX mengarah
pada pengurangan kekuatan penguasa (raja dan gereja) yang lebih tinggi
yaitu sebagai entitas yang berdaulat (sovereign), dan menuju kesetaraan
penguasa dan rakyat. Secara prinsip penegakan hukum dibuat dan
dijalankan oleh pemerintahan selaku penguasa melalui perlengkapan negara
sebagai alat penegak hukum seperti: polisi, jaksa, dan lembaga
pemasyarakatan, serta lembaga peradilan dengan teori pemisahan
kekuasaan yaitu pada posisi yang terpisah sebagai lembaga ekesekuti dan
yudikatif. Namun dipastikan dalam posisi hukum untuk mengatur dan
memastikan penguasa juga tunduk dalamnya dengan rule of law.
Sebagaimana dalam pemikiran Gustav Rabruch bahwa hukum pada
hakekatnya adalah secara utama untuk keadilan (sebagai cita pencapaian
ketertiban umum bersama antara anggota masyarakat), yang kemudian
harus dilengkapi dengan finalitas atau pencapaian tujuan, dan untuk

48
melengkapi keadilan dan finalitas tersebut, maka dibutuhkan kepastian.
Aspek finalitas ini menunjukkan bahwa tujuan keadilan yaitu untuk
memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Sedang aspek kepastian ini
menunjukkan jaminan bahwa hukum harus benar-benar berfungsi sebagai
peraturan yang ditaati karena kesadaran manusia itu sendiri (awarness).
Negara yang menciptakan peraturan-peraturan hukum jadi adanya
hukum itu karena adanya negara dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku
jika tidak dikehendaki oleh negara. Misalnya: hukum pidana. Di sini negara
mempunyai hak untuk menghukum seseorang, karena untuk mewujudkan
dari tujuan yang dicita-citakan dan keinginan seluruh warganya. Maka
sebagai perwujudan tujuan itu, segala penyimpangan dan hambatan yang
menggangu tujuan itu harus dihukum.
Fungsi negara sebagai penguasa adalah sebagai penegak hukum yang
akan menjadi penengah konflik antar individu dengan individu lainnya,
sedangkan hukum dan sanksinya adalah aturan main bersama yang memberi
larangan untuk menyerang kepentingan anggota masyarakat lain yang
ditegakkan dengan sanksi.

F. SEBAB NEGARA BERHAK MENGHUKUM ORANG


Tujuan negara pada setiap negara, umumnya dapat diketahui dari
Undang-Undang Dasar atau konstitusinya. Indonesia, tujuan negara
terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945 pada Pembukaan (preambule)
alinea 4 :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan ,
perdamaian abadi dan keadilan sosial yang semuanya berlandaskan
pada Pancasila.
1. Fungsi negara secara mutlak, yaitu :

49
a. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan
bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka
negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa Negara
bertindak sebagai stabilisator.
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Di Indonesia
tercermin dalam upaya atau usaha pemerintah untuk membangun
melalui suatu rentetan Repelita.
c. Pertahanan dalam hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan
serangan dari luar, untuk itu Negara dilengkapi oleh alat - alat
pertahanan.
d. Menegakkan keadilan, dalam hal ini dilaksanakan melalui badan
badan pengadilan.
Keseluruhan fungsi Negara tersebut, diselenggarakan oleh pemerintah
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara bersama. Adapun
hubungan antara Negara sebagai dasar mengikatnya hukum bagi Negara
yang dapat menghukum seseorang terkait dengan wewenang Negara untuk
menghukum warganya yang melanggar hukum, yang dapat mengakibatkan
goncangan, bahaya dalam masyarakat, serta meruntuhkan sendi-sendi
kehidupan masyarakat.
Negara yang menciptakan hukum jadi segala sesuatu harus tunduk pada
negara. Adanya hukum karena adanya Negara, hukum sendiri sebenarnya
juga kekuasaan. Van Apeldoorn membagi: Hukum objektif, yaitu kekuasaan
yang bersifat mengatur; dan Hukum subjektif, yaitu kekuasaan yang diatur
oleh hukum objektif. Hak Negara dalam arti objektif yaitu sejumlah
peraturan yang mengandung larangan –larangan atau keharusan-keharusan
di mana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman.
Sedangkan Hak-hak Negara untuk menghukum seseorang dalam arti
subjektif (Ius Poeniendi) yaitu sejumlah aturan yang mengatur hak Negara
untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Hak Negara untuk memidanakan atau menjatuhkan hukuman haruslah
berdasarkan hukum (pidana materiil) dan adanya hukum materil yang

50
mengatur/prosedur (pidana formil) adalah memungkinkan berlakunya
hukum pidana secara benar dan tidak sewenang-wenang. Negara
berdasarkan rule of law tidak boleh hanya memiliki hukum formil yang
menjamin hak-hak asasi manusia belaka, namun harus juga mempunyai
Undang-Undang (materril) yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip
rule of law (prinsip asas Negara Hukum).

51
DAFTAR PUSTAKA

Al Quran

Bernard L. Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta,


2011.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Beberapa Catatan Bagi Pembahasan Dalam Dialog


Nasional Tentang Perencanaan Pembangunan Hukum 2015-2020, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI, Jakarta, 2013.

Chandra Kartika Dewi, Religious Belief Model dalam al-Qur’an: Rekonfigurasi


Dorongan Perubahan Tindakan Ketaatan, Jurnal Al Quds Studi Alquran dan
Hadis, Volume 7, Nomor 1, 2023.

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Pustaka Magister,


Semarang, 2015.

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Jakarta, 2012.

Fajlurrahman Jurdi, Teori Negara Hukum, Setara Press, Malang, 2016.

Hans Kelsen, Introduction to the problems of Legal Theory, Clarendon Press,


Oxford, 1966.

Hassan Suryono, Ilmu Negara Suatu Pengantar ke Dalam Politik Hukum


Kenegaraan, Lembaga LPP dan UNS Press, Surakarta, 2008.

L.J. Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht: Pengantar
Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita , Jakarta, 1990.

Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit PT.
Fikahati Aneska, Bandung, 2012.

Mochtar Kusuma Atmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit
Alumni, Bandung, 2020.
N. Drijarkara, Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1969.

Phil Harris, An Introduction to Law, Butterworths, London, 1993.

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,


Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

52
---------------------, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu
Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum & Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali,
Jakarta, 1987.
William H. Brenner, Elements of Modern Philosophy, Prentice-Hall Publication
Inc., New York, 1989.

53
BAB IV

HUKUM DALAM PERSPEKTIF KEADILAN

A. TEORI KEADILAN
Di awal telah diterangkan tentang filsafat gajah (persepsi), bahwa
keadilan mirip cerita gajah yang diteliti oleh para peneliti buta. Setiap
peneliti merasakan bagian yang berbeda, seperti kaki, telinga, gading,
buntut, dan badan, sehingga masing-masing melukiskan mahluk ini
dengan cara yang berbeda-beda pula, bisa merasakan gemuk dan kuat,
tipis dan lentur, halus dan keras. Sementara Gajah itu sendiri sebagai
“sang keadilan” tidak pernah bisa dikenal seluruhnya oleh deskripsi
individual manapun. Bahkan seringkali pelukisannya nampak saling
bertentangan, karena setiap individu hanya menawarkan sesuatu bagi
pendifinisiannya. Sehingga pada kesimpulan yang berbeda-beda
mengenai hakikat mahluk sang keadilan ini.
Manusia mempunyai kecenderungan dan kebutuhan akan adanya
ketertiban dan keadilan. Dinamika kehidupan masyarakat telah
memunculkan hukum yang terwujud melalui berbagai perangkat aturan
hukum yang tertata secara sistematis sebagai ungkapan rasa keadilan
masyarakat serta sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban
berkeadilan.
Manusia sebagai masyarakat dengan hukum mempunyai kaitan
yang sangat erat satu sama lain, sehingga di dalam semua masyarakat
betapa pun sederhananya, pasti tumbuh berbagai perangkat kaidah
perilaku yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan memenuhi
rasa atau tuntutan keadilan.
Tujuan hukum itu sendiri, yang menurut D.H.M. Meuwissen,
menyatakan tujuan dari hukum untuk sebagian terletak dalam
merealisasikan keadilan, bahwa manusia mempunyai kecenderungan
dan kebutuhan akan adanya ketertiban dan keadilan. Selanjutnya dalam

54
hal tujuan hukum, fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia
dengan tujuan pokok adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.
Dengan tercapainya ketertiban dan keseimbangan di dalam
masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam
mencapai tujuannya itu, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perseorangan di dalam masyarakat. Secara etis hukum semata-
mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan sesuatu
yang etis tentang yang adil dan tidak.
Perkembangan sejarah tentang teori keadilan secara garis besar
menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama dari hukum selalu
berubah-ubah dari masa ke masa, karenanya pengertian keadilan juga
jadi berubah-ubah dengan sifat keadilan yang berlaku secara universal.
1. Yunani Kuno
Socrates (470-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM) sebagai kaum Sofis, telah mengajarkan manusia
tentang bagaimana membuat ketidakadilan akan memunculkan
penyebab keadilan. Oleh karenanya bahwa tujuan utama dari hukum
adalah untuk mempertahankan status quo sosial secara damai.
Aristoteles memaknai keadilan dalam pengertian persamaan di
hadapan hukum.
Aristoletes ada 2 (dua) konsep keadilan, yaitu:
a. Justitia distributive (distributive justice), penekanannya pada
setiap orang mempunyai hak sesuai jatahnya. Artinya, hak yang
diberikan sesuai dengan kemampuannya yang dimiliki dan
bersifat proporsional.
b. Justitia commutative (remedial justice), penekannya pada
pemberian hak yang sama banyaknya. Artinya, di sini dituntut
adanya kesamaan, suatu perlakuan yang sama.
Persamaan antara keadilan distributief dan keadilan
commutatief yang mutlak terletak di antara benda-benda misalnya

55
antara kerja dan upah, atau antara kerugian dan pembayaran rugi.
Sedangkan persamaan relatif dalam memperlakukan bermacam-
macam orang misalnya, pajak menurut kemampuan membayar
pajak, atau hukuman sesuai jasa dan kesalahan adalah keadilan
distributief. Keadilan commutatief adalah keadilan dalam
hubungannya dengan kerjasama (co-cordinatie). Keadilan
distributief adalah tersebar dalam hubungan daripada atas dengan
bawahnya (super dan sub-ordinatie). Keadilan communatief adalah
keadilan daripada hukum perdata, sedangkan yang distributief
adalah keadilan dalam hukum publik. Keadilan commutatief adalah
keadilan antara dua orang yang sama setingkat terhadap haknya,
sehingga membutuhkan paling sedikit dua orang. Keadilan
distributief adalah bentuk awal (prato type) daripada keadilan, oleh
karena itu, keadilan ini membutuhkan paling sedikit tiga orang.
Aristoteles, menyebutkan bahwa keadilan merupakan gagasan
yang ambigu (mendua), sebab dari satu sisi konsep ini mengacu pada
keseluruhan kebajikan sosial atau disebut “Keadilan Universal”
(umum). Keadilan universal adalah keadilan yang terbentuk
bersamaan dengan perumusan hukum. Pada sisi yang lain, juga
mengacu pada salah satu jenis kebajikan sosial, khusus yang disebut
atau disebut keadilan partikular. Keadilan partikular adalah keadilan
yang diidentikan dengan kepatutan atau equalitas. Keadilan
partikular ini dapat dibagi menjadi dua yaitu keadilan komutatif dan
keadilan distributif.
Keadilan komutatif mengatur hubungan yang adil atau fair
antara orang yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang
satu dan warga negara lainnya. Keadilan ini menyangkut hubungan
horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain. Keadilan
ini menuntut dalam interaksi sosial antara warga yang satu dan
warga yang lain, tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua

56
orang memberikan, menghargai, dan menjamin apa yang menjadi
hak orang lain. Oleh karena itu, dasar moralnya sama dengan
keadilan hukum, yaitu semua orang mempunyai harkat dan martabat
serta hak yang sama, yang harus dijamin dan dihargai oleh semua
orang lain. Keadilan komutatif pada dasarnya adalah keseimbangan
atau kesetaraan antara semua pihak dalam interaksi sosial apapun.
Dalam interaksi sosial apapun terjadi bahwa pihak tertentu
dirugikan hak dan kepentingannya, maka negara dituntut untuk turun
tangan menindak pihak yang merugikan dan dengan demikian
memulihkan kembali keseimbangan atau kesetaraan kedua pihak
yang terganggu oleh adanya pelanggaran tadi. Negara dituntut untuk
memulihkan kembali hubungan yang kurang harmonis yang
diakibatkan pelanggaran hak oleh pihak tertentu. Dalam kaitan ini,
prinsip keadilan komutatif juga menyangkut pemulihan kembali
hubungan yang kurang harmonis, karena terlanggarnya hak pihak
tertentu oleh pihak lain.
Sedangkan menurut Plato bahwa keadilan (justice) adalah
tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya
kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat
manusia yang mengkoordinasi dan membatasi berbagai elemen dari
psikis manusia pada lingkungannya yang tepat (proper spheres),
agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan
baik, seperti contoh pada kepatuhan wajib pajak untuk membayar
pajak.
Menurut Plato, keadilan dimaknai sebagai seseorang membatasi
dirinya pada kerja dan tempat dalam hidupnya disesuaikan dengan
panggilan kecakapan “talenta” dan kesanggupan atau kemampuan.
Sehingga keadilan diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang
dapat dikatakan adil adalah seseorang yang mampu mengendalikan
diri dan perasaannya yang dikendalikan oleh akal (logos).

57
Dalam mewujudkan keadilan haruslah dengan mengembalikan
masyarakat pada struktur aslinya, misalnya jika seseorang sebagai
guru baiklah tugasnya hanya mengajar saja, jika seseorang sebagai
prajurit baiklah tugasnya hanya menjaga kedaulatan negara, jika
seseorang sebagai pedagang baiklah tugasnya hanya dibidang
perniagaan saja. Jika seseorang sebagai gubernur atau presiden
baiklah tugasnya hanya untuk memimpin negara dengan adil dan
bijaksana. Dari ungkapan tersebut, berarti seorang raja harus
mempunyai jiwa filsafat, supaya mengetahui apa itu keadilan dan
bagaimana keadilan itu harus dicapai oleh negara. Dengan demikian,
pemerintahan pada suatu negara adalah haruslah dipimpin oleh
seorang yang arif dan bukannya hukum, karena hukum tidak
memahami secara sempurna apa yang paling adil untuk semua
orang, dan karenanya tidak dapat melaksanakan yang terbaik.

2. Klasik
Abad ke-16 dan memasuki abad ke-17, yang menjadi tujuan utama
dari hukum adalah persamaan (equality) dan persamaan itulah yang
disebut dengan keadilan. Dalam hal ini, hukum dapat membatasi
tindakan manusia atau negara, jika bertentangan dengan kepentingan
manusia yang lain.
Selanjutnya dalam sejarah hukum dan keadilan adalah bahwa
manusia tidak senang jika kebebasanya dibatas-batasi, sehingga
kemudian dianut teori yang mengajarkan bahwa tujuan hukum adalah
untuk mendapatkan persamaan yang ideal (ideal equality), yakni dengan
mengembangkan konsep keadilan sebagai kebebasan manusia (liberty).
Gagasan Plato tentang keadilan ditransformasikan oleh St.
Agustinus menjadi suatu konsepsi yang religius. Bagi St. Agustinus
hakekat keadilan ialah adanya relasi yang tepat dan benar antara
manusia dengan Tuhan, oleh sebab itu keadilan adalah suatu yang paling
hakiki dalam bernegara dan keadilan itu hanya dapat terlaksana dalam

58
kerajaan Ilahi yang merupakan sumber dari keadilan. Tuhan adalah
sumber keadilan yang sesungguhnya, oleh sebab itu apabila seseorang
memiliki hubungan yang baik dan benar dengan Tuhan maka akan
dipenuhi oleh kebenaran dan keadilan.
Konsep keadilan yang bersifat religius dari St. Agustinus kemudian
diperluas oleh Thomas Aquinas. Jika dalam konsepsi Agustinus
keadilan hanya diperoleh dalam kerajaan Ilalhi yang perwujudannya di
muka bumi dijalankan oleh Gereja, maka Thomas Aquinas mengakui
adanya persekutuan lain di samping Gereja yang bertugas memajukan
keadilan yakni negara. Oleh karena itu, Thomas Aquinas membedakan
keadilan kepada keadilan Ilahi dan keadilan manusiawi, namun tidak
boleh ada pertentangan antara kekuasaan Gereja dan kekuasaan
duniawi. Dengan demikian konsep keadilan yang ditetapkan oleh ajaran
agama, sepenuhnya sesuai dengan suara akal manusia sebagaimana
terdapat dalam hukum alam. Jadi sahnya hukum selalu digantungkan
pada kesesuaiannya dengan hukum atau keadilan alamiah. Sedangkan
definisi yang diberikan pada keadilan berbunyi “justitia est contstans et
perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi” (keadilan adalah
kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya). Konsep justitia ini kemudian dianggap
sebagai sifat pembawaan atau sudah dengan sendirinya melekat pada
setiap hukum.
3. Modern
Konsep keadilan pada jaman modern diwarnai dengan
berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain
munculnya aliran liberalisme yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia
barat pada awal abab ke-XVII Masehi. Aliran ini mendasarkan diri pada
nilai-nilai dalam ajaran etika dari mazhab Stoa khususnya
individualisme, sanksi moral dan penggunaan akal (ratio). Dalam
bidang politik dianut konsepsi tentang pemerintahan demokrasi yang
dapat menjamin tercapainya kebebasan. Tradisi liberalisme sangat

59
menekankan kemerdekaan individu. Istilah liberalisme erat kaitannya
dengan kebebasan, titik tolak pada kebebasan merupakan garis utama
dalam semua pemikiran liberal.
Sejarah teori keadilan yang dipelopori oleh para teolog dan para
ahli hukum bangsa Spanyol. Selanjutnya, pada abad ke-17 dan ke-18
mulai berkembang paham yang berorientasi kepada hukum alam
modern, terdiri dari yang bersifat individualistis dan universalistis
(sosialistis). Paham yang individualistis terpengaruh oleh pemikiran
Thomas Hobbes, Pufendorf, John Locke, dan Immanuel Kant yang juga
berpengaruh terhadap era dari aliran metafisika abad ke-19. Sedangkan
paham yang bersifat universalistis dipengaruhi oleh ajaran dari Grotius,
Leibniz, dan Wolff.
Sejarah teori keadilan yang dipelopori oleh para teolog dan para
ahli hukum bangsa Spanyol. Selanjutnya, pada abad ke-17 dan ke-18
mulai berkembang paham yang berorientasi kepada hukum alam
modern, terdiri dari yang bersifat individualistis dan universalistis
(sosialistis). Paham yang individualistis terpengaruh oleh pemikiran
Thomas Hobbes, Pufendorf, John Locke, dan Immanuel Kant yang juga
berpengaruh terhadap era dari aliran metafisika abad ke-19. Sedangkan
paham yang bersifat universalistis dipengaruhi oleh ajaran dari Grotius,
Leibniz, dan Wolff.
Paham pertama tersebut di atas, kemudian terpecah lagi menjadi
dua macam teori, yaitu:
a. Teori yang menyatakan bahwa keadilan merupakan kehendak
(will) dari negara, sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes
dan Pufendorf;
b. Teori yang mengajarkan bahwa pada prinsipnya keadilan
merupakan sistesis antara kebebasan individu (liberty) dengan
persamaan (equality), karena manusia dilahirkan bebas dan
sama (men were born free and equal). Begitu pula negara
sebagai suatu masyarakat yang terorgansir secara politis harus

60
dapat menjamin kebebasan dan persamaan diantara anggota
masyarakat tersebut. Teori ini diajarkan oleh John Locke,
Rousseau, dan Immanuel Kant.
c. Pikiran-pikiran Immanuel Kant, mempengaruhi teori-teori
tentang keadilan di abad ke-19, seperti antara lain:
1) Paham dari aliran metafisis yang abstrak individualistik,
yang mengajarkan bahwa kebebasan individu (freedom)
merupakan pencapaian akhir dari manusia. Hukum menjadi
adil manakala dapat melindungi kebebasan individu dalam
suatu masyarakat dan negara.
2) Paham dari aliran utilitarian yang praktis, yang
mengajarkan bahwa hukum akan adil jika dapat melindungi
kebebasan individu, karenanya dapat menghasilkan
kesenangan yang terbesar bagi sebagian besar manusia,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham.
Dalam menilai suatu keadilan di lihat pada konsentrasi
proses pembuatan hukum oleh parlemen.
3) Paham dari aliran historis yang juga abstrak individualis
dan konsep hukum yang berkembang, yang mengajarkan
bahwa hukum akan adil jika dapat melindungi kebebasan
individu. Sejarah hukum adalah sejarah tentang realisasi
mengenai ide kebebasan individu (liberty), yang antara lain
menghasilkan teori seperti yang dikemukakan oleh Sir
Henry Maine, bahwa hukum berkembang dari suatu
kontrak.
4) Paham positivisme yang berorientasi pada perkembangan
ilmu alam dan grativikasi yang sangat dipengaruhi oleh
ajaran Immanuel Kant, yang mengajarkan tentang hukum
dan keadilan dalam sejarah hukum, misalnya pengamatan
tentang hukum dan moral, evolusi sosial dan hukum,
pembangunan hukum, menunjukan kesamaan dengan

61
perkembangan ilmu alam, grativikasi dan konservasi
energi. Bahkan, menurut Herbert Spencer, perkembangan
hukum dan keadilan dari status ke kontrak merupakan
produk yang rasional dari alam semesta. Di Amerika
Serikat abad ke-19, sangat kental dipengaruhi paham
keadilan dari aliran positivisme, bersama-sama dengan
aliran utilitarian dan aliran historis.
d. Paham juristic radicalism, pada abad ke-19 yang terpecah dalam
2 (dua) aliran, yaitu anarchist individualist atau philosophical
anarchist dan social individualism (individualisme sosial).
Paham pertama mengajarkan bahwa hukum pada prinsipnya
bersifat jelek karena selalu membatasi kebebasan seseorang,
oleh karena itu, manusia harus dibebaskan dari pengaruh
ketentuan memaksa dari negara. Sedangkan paham yang kedua
mengajarkan bahwa hukum dan pemerintah dapat sejajar dengan
perlindungan kebebasan manusia dengan memperkenalkan
kepentingan sosial dalam kehidupan individu. Kontrol yang
maksimum oleh negara merupakan cara yang memaksimumkan
kebebasan manusia. Di akhir abad ini, keadilan telah mulai
memperlihatkan segi-segi kemasyarakatan, yang kemudian
berkembang pesat pada abad ke-20.
e. Di Inggris, perkembangan teori keadilan dipengaruhi oleh ajaran
utilitarian dari Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan David
Hume, yang berlandaskan kepada prinsip manfaat yang sebesar-
besarnya kepada sebanyak-banyak masyarakat. Ukuran keadilan
adalah kebahagiaan (the greatest numbers the happinees). Aliran
filsafat Utilitarianisme ini memberikan usulan bahwa kesetaraan
haruslah memberikan kemanfaatan sebagai prinsip keadilan.
Perkembangan pemikiran tentang keadilan terus berlanjut sesuai
dengan perkembangan pemikiran tentang hukum sepanjang masa.
Misalnya pendapat - pendapat yang menganggap bahwa keadilan baru

62
ada jika membawa manfaat/kesenangan yang sebesar-besarnya bagi
sebanyak mungkin manusia (paham Jeremy Bentham) dan kaum
positivisme yang menganggap bahwa keadilan adalah apa yang
diputuskan oleh penguasa (John Austin), yang menurut Hans Kelsen,
keadilan baru benar adil jika diterapkan sesuai dengan konstitusi
(grund norm).
4. Kontemporer (Abad 20 memasuki abad 21)
Di akhir abad ke-20 memasuki abad ke 21, keadilan diyakini hanya
sebagai mitos belaka. Tidak ada yang namanya keadilan yang universal
sebagaimana dianut oleh Roscoe Pound. Keadilan tidak pernah objektif
yang selalu dipengaruhi oleh kepentingan, perasaan, kepercayaan
politik, agama, aliran, dan kemampuan berpikir dari pembentuk dan
penerap hukum. Misal yang dianut oleh aliran hukum yang disebut
dengan critical legal studies.
Persoalan keadilan seperti nasib manusia yang mendambakan suatu
keadilan itu sendiri, ibarat sebuah fatamorgana. H.L.A. Hart
mengemukakan bahwa keadilan secara tradisional dianggap sebagai
memelihara dan mengembalikan perimbangan keadaan, dan dalil ini
sering diformulasikan sebagai perlakuan kasus yang sama dengan cara
yang sama atau memperlakukan kasus yang berbeda secara berbeda
pula (and treat different cases differently).
John Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan, yang pertama
bahwa setiap orang harus memiliki hak yang setara terhadap kebebasan
dasar yang ekstensif yang sama dengan kebebasan yang dimiliki oleh
orang-orang lain, sedangkan yang kedua, adalah keseimbangan sosial
dan ekonomi yang harus diatur oleh keduanya, yaitu diharapkan
sewajarnya menguntungkan setiap pihak, dan terkait dengan posisi dan
jabatan yang terbuka bagi semua.
Menurut John Rawls perlu adanya keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ukuran dari
keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Di

63
sinilah hukum diperlukan sebagai penengah (wasit), karena pada
masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila mampu
meletakkan prinsip-prinsip keadilan. Maka dalam pemikiran filosofis
keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum, oleh John Rawls
dikemukakan bahwa keadilan harus dapat mempengaruhi pada:
a. Perimbangan pada keadilan;
b. Kepastian Hukum; dan
c. Kemanfaatan hukum.
Faktor-faktor di atas akan mempengaruhi tujuan dan fungsi hukum
yaitu memberi perlindungan dan kepentingan manusia. Oleh karena
dalam teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls dengan satu
tujuan utama bahwa keadilan sebagai fairness guna membangun sebuah
alternatif bagi doktrin utilitarian klasik. Prinsip-prinsip keadilan adalah
struktur dasar masyarakat dari satu skema kerja sama yang mengatur
pemberian hak dan kewajiban dalam menentukan pembagian
kenikmatan serta beban kehidupan sosial, yang terbagi dalam keadilan
formal, yaitu keadilan berdasarkan tatanan hukum dan lembaga yang
diperlakukan secara sama dan keadilan substantif, yaitu keadilan yang
diberlakukan terhadap orang-orang berdasarkan keberadaan dalam
kelas masyarakat yang ditentukan oleh keadilan formal.
Keadilan yang hendak dituju dengan atau melalui hukum merupakan
kebutuhan masyarakat akan peraturan untuk menata kehidupan anggota-
anggotanya. Orang per orang akan selalu membutuhkan bantuan dari
orang lain untuk mewujudkan keinginan atau rencana tertentu. Hukum
yang tumbuh berkembang di dalam masyarakat terwujud dalam bentuk
aturan-aturan dilandasi pada pengertian-pengertian yang dikembangkan
orang-orang yang memiliki visi tertentu dan bertujuan memberikan
jaminan bahwa di dalam masyarakat yang bersangkutan dapat
dimunculkan ketertiban.
Berbagai pemikiran tentang keadilan di atas menunjukkan kaitan
yang erat antara keadilan dan pencapaian keseimbangan. Pemikiran-

64
pemikiran tersebut pada akhirnya akan menggambarkan sifat
kesetaraan dalam mendukung konsep hukum.
Konsep pemikiran ini dapat menjadi landasan untuk menentukan
keseimbangan, adil dan mengutamakan kepentingan umum serta
menjadi benteng terhadap tekanan dari sistem luar yang dapat merusak
tatanan kepentingan umum.

B. PERKEMBANGAN TEORI KEADILAN DI INDONESIA


Dalam perkembangannya teori keadilan mengalami pandangan
sesuai dengan sistem hukum Indonesia, yang meskipun masih tetap
berentensi pada teori-teori keadilan barat terdahulu, seperti:
1. Teori keadilan sosial.
Keadilan sosial atau dalam beberapa literatur disebut dengan
keadilan distributif, yaitu keadilan yang berhubungan dengan
pembagian nikmat dan beban dari suatu kerja sama sosial,
khususnya yang disebut negara. Keadilan sosial lebih luas dari
keadilan distributif, karena bukansaja menyangkut masalah
pembagian (distribusi) ekonomi, tetapi lebih luas dalam
penjangkauan dimensinya yang menyangkut moral, penataan
politik, ekonomi, dan aspek kemasyarakatan lainnya.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki dasar negara
Pancasila, yang pada sila ke-5 yang berbunyi “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” yang mempunyai makna bahwa seluruh
rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan baik dalam bidang
hukum, ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan, maupun
kebudayaan sehingga tercipta masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera, sehingga makna keadilan ini sangatlah luas karena
mencakup kesejahteraan dan hak seluruh warga negara.

Keadilan sosial dalam sila ke-5 Pancasila mempunyai arti


keadilan yang berlaku di masyarakat baik dalam segala bidang
kehidupan baik material maupun spiritual. Keadilan sosial juga

65
menjamin setiap warga negara diperlakukan adil sehingga
kedudukan tiap-tiap individu dan kedudukan masyarakat
ditempatkan dalam hubungan keselarasan dan keserasian.

2. Keadilan substantif.
Keadilan substantif adalah keadilan yang melekat pada
hakekat keadilan itu sendiri. Makna dari pendapat dari keadilan
substantif ini, bahwa keadilan cukup diberikan sesuai dengan
aturan hukum substantif, meskipun ada kesalahan prosedural yang
tidak mempengaruhi hak-hak substantif yang berperkara. Dalam
setiap penyelesaian perkara harus diupayakan penyelesaian melalui
keadilan restoratif (seperti dalam perkara pidana tertentu), karena
realisasinya mengubah cara pemahaman bentuk kesalahan menjadi
sebuah kewajiban tanggung jawab pelaku terhadap hak-hak
korban.
Dalam konsep hukum yang berkeadilan substansif yaitu
dengan melihat pada hakikat hukum itu sendiri sebagai produk nilai
akal budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan
berkenaan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan
manusia. Dengan menghayati tentang keadilan memunculkan
penilaian terhadap situasi dan kondisi kemasyarakatan tertentu
yaitu perilaku yang dianggap adil atau memenuhi rasa keadilan.
3. Keadilan Bermartabat.
Teori keadilan bermartabat merupakan ilmu hukum yang
memiliki suatu cakupan yang meliputi filsafat hukum (philosophy
of law). Teori keadilan bermartabat merupakan mempertegas
bahwa keadilan didasari oleh suatu sistem yang utuh (bulat) dari
sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata urutan atau
struktur kepentingan manusia. Makna dari teori ini adalah menjaga
kedaulatan keutuhan manusia itu sendiri.

66
4. Keadilan Dalam Islam.
Adil dalam perspektif Islam, bahwa keadilan berasal dari kata
’adl dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali dalam
al-Quran. Kata ’adl sendiri disebutkan sebanyak 13 kali, yakni
pada Surat al-Baqarah ayat 48, 123, dan 282; Surat an-Nisa ayat
58; Surat al-Ma’idah ayat 95, 106; Surat al-An;am ayat 70; Surat
an-Nal ayat 76, 90; Surat al-Hujurat ayat 9; Surat Ath-Thalaq ayat
2.
Kata ’adl dalam al-Quran memiliki aspek dan obyek yang
beragam, begitu pula pelakunya. Keberagaman tersebut
mengakibatkan keberagaman makna ’adl (keadilan). Pengertian ini
paling banyak terdapat di dalam al-Quran, antara lain pada Surat
an-Nisa ayat 3, 58 dan 129; Surat asy-Syura ayat 15; Surat al-
Ma’idah ayat 8; Surat an-Nahl ayat 76, 90, dan Surat al-Hujurat
ayat 9. Kata ’adl ’ dengan arti sama (persamaan) pada ayat-ayat
tersebut yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Misalnya
dalam Surat al-Ma’idah ayat 8, ditegaskan:

Terjemahannya:
”Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh,
Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Ayat ini menjelaskan bahwa memerintahkan kepada manusia


agar selalu menegakkan kebenaran dan bersaksi dengan adil.

67
Kesaksian merupakan salah satu alat bukti dalam menemuikan
kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Allah SWT
memerintahkan agar memberikan kesaksian yang sebenarnya.
Surat an-Nisa ayat 58, berbunyi:

Terjemahannya:
” Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum
di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”.

Ayat di atas, mempunyai maksud bahwa Allah SWT menyuruh


seseorang apabila menetapkan hukum di antara manusia, baik yang
berselisih dengan manusia lain maupun tanpa perselisihan maka
seseorang harus menetapkan putusan yang adil sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh Allah SWT, tidak memihak kecuali kepada
kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang
melanggar, tidak menganiaya walaupun lawannya dan tidak pula
memihak kepada temannya.
Tanpa keadilan, negara tidak lain hanya gerombolan
perampok yang terorganisir (St. Agustinus).

68
DAFTAR PUSTAKA

Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, FH Unika Parahyangan, Bandung,


2010.
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 10th Edition, Thompson-West Publishing
Co., St. Paul, 2010.

D.H.M. Meuwissen, Lima Dalil Tentang Filsafat Hukum, yang telah diterjemahkan
oleh: B. Arief Sidharta, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2007.

Hafiz Ghulam Sarwar, 1993, Philosophy of the Qur’an, yang telah diterjemahkan
oleh Tim Penerjemah, Pustaka Firdaus, Jakarta.

H.L.A. Hart, The Concept of Law, 3rd Edition, Oxford University Press, UK, 2012.

John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973.

Karen Leback, Six Theories of Justice, Augsbung Publishingn Haouse,


Indianapolis, yang sudah diterjemahkan oleh Yudi Santoso, Teori-Teori
Keadilan, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2015.

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Sayid Qutb, Fi Zhilailil Qur’an (Di Bawah Naungan Qur’an), terjemahan As’ad
Yasin, et.al., Jilid 6, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.

Teguh Prasetyo, Perspektif Teori Keadilan Bermartabat, Nusa Media, Bandung,


2016.

69
BAB V
APAKAH HUKUM SEBUAH SISTEM ATURAN?

A. HUKUM ALAM (KODRAT) DAN POSITIVISME HUKUM


Sistem hukum harus menampilkan kesesuaian spesifik tertentu dengan
moralitas atau keadilan. Atau bersandar pada pendirian yang samar-samar
bahwa ada kewajiban moral untuk mematuhinya. Kriteria validitas hukum
pada hukum-hukum tertentu yang digunakan dalam sebuah sistem hukum
harus berupa, secara tersirat atau secara tersurat, acuan kepada moralitas dan
keadilan.
• Immanuel Kant:
“Dalam hukum, kita baru bersalah kala melanggar hak orang lain. Dalam
etika (moral), kita sudah bersalah baru berniat berlaku salah”.
Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (1760-1825)
dari Prancis sebagai metode sekaligus merupakan perkembangan dalam aliran
pemikiran filsafat. Aliran ini lahir dalam sebuah perubahan besar yang tidak
dapat dikendalikan, yang saat itu di Prancis terjadi revolusi Borjuis yangn
menentang kekuasaan feodal (Raja Louis XVI).
Hukum positivisme sebagai sebuah reproduksi atau pemenuhan ketentuan
moralitas. Hukum alam merupakan prinsip-prinsip perilaku yang ditemukan
oleh akal pikiran manusia, yang harus diikuti oleh hukum buatan manusia jika
dikehendaki untuk divalidkan.
Dalam perkembangannya pandangan dari hukum alam bahwa hukum
dirumuskan dari alur keteraturan alam dan hukum-hukum yang menuntut
manusia untuk berperilaku dengan cara tertentu. Meskipun hukum dilanggar,
tetap saja merupakan hukum karena hanya berarti bahwa manusia tidak
melakukan apa yang diperintahkan. Kata-kata dalam hukum, tercermin pada:
“harus” (must); dilarang (bound to); “wajib” (ought); dan “mesti” (should).
Hukum Tuhan merupakan hukum untuk manusia diantara berbagai makhluk
yang ada. Karena manusia memiliki kehendak yang bebas dan dianugerahi akal
pikiran. Elemen yang khas pada manusia adanya perkembangan dan

70
keunggulan pikiran dan karakter yang termanifestasi dalam pikiran dan
tindakan.
Manusia dengan penalaran dan perenungannya bisa menemukan dan
menginginkan apa yang bisa dicapai dengan keunggulan pikirannya itu. Tujuan
utama dari hidup manusia bukan saja sebagai kebaikan atau sesuatu yang
diinginkannya tetapi sudah merupakan tujuan akhirnya secara alamiah.
Kebutuhan manusia untuk berbuat baik agar terhindar dari hal yang
merugikan atau yang membahayakannya. Seperti manusia perlu makan dan
istirahat. Begitu dalam pembentukan aturan sebagai pembedaan atas tindakan
manusia untuk dipatuhi dalam bentuk kesepakatan. Manusia pada hakikatnya
tidak bisa bertahan hidup dengan cara apa pun tanpa bersekutu sesama individu
dan persekutuan itu tidak akan pernah bisa berlangsung tanpa ada penghargaan
kepada hukum kesetaraan dan keadilan.
Hukum merupakan produk akal manusia yang harus bisa dimanafaatkan
oleh manusia dan berguna bagi manusia untuk mencapai hak kodrat manusia
itu sendiri. Moralitas adalah salah satu kodrat yang diberikan oleh Allah kepada
manusia dan itu telah di turunkan di banyak kitab-kitab suci seperti perjanjian
lama dan Baru serta sebelumnya pada kitab-kitab Yunani kuno, dan terakhir
dalam perkembangan filsafat hukum Islam yaitu al-Quran al-Karim.
Banyak pemikiran-pemikiran para pemikir hukum yang terus
berkontestasi agumen khususnya mengenai hukum, penerapan, hingga tujuan
dari hukum tersebut. Kontestasi pemikiran ini kemudian tertuang dan menjadi
landasan para pemikir-pemikir selanjutnya dalam memahami hukum.
Perdebatan demi perdebatan terus bergeliat hingga memunculkan aliran-aliran
pemikiran bagi keilmuan Hukum itu sendiri.
Tokoh yang dapat dikatakan yang paling berpengaruh dalam
perkembangan aliran hukum positif adalah Hans Kelsen. Dasar-dasar pokok
pemikiran pikiuran Hans Kelsen adalah sebagai berikut: pertama, tujuan teori
tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan (unity); kedua, teori hukum adalah ilmu, bukan
kehendak, keinginan. Teori hukum adalah pengetahuan tentang hukum yang

71
ada bukan tentang hukum yang seharusnya ada; ketiga, ilmu hukum adalah
normatif bukan ilmu alam; keempat, sebagai suatu teori tentang hukum adalah
formal; kelima, suatu teori tentang cara pengaturan dari sisi yang berubah-ubah
menurut jalan atau cara yang spesifik; dan keenam, hubungan antara teori
hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum
yang mungkin dan hukum yang ada.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat di lihat
dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum
itu dapat diverifikasi. Adapun yang di luar undang-undang tidak dapat
dimasukkan sebagai hukum, karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus
dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa fokus
menganai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi,
sosiologi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral
hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh
otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Moralitas dan hukum senantiasa memiliki hubungan yang erat bila
mengingat tujuan dari dibentuknya hukum adalah ”demi dan untuk keadilan”,
karena keadilan merupakan bagian dari moralitas. Dalam aliran teori
positivisme hukum keduanya diletakkan dalam posisi yang terikat antara satu
dengan yang lain dan memiliki hubungan kausalitas namun bersifat tidak
mutlak. Hal ini menjadi salah satu prinsip dasar dari aliran positivisme hukum
sekaligus menjadi dasar pembeda dengan aliran hukum alam (kodrat). Karena
bagi aliran hukum kodrat, antara moralitas dan hukum memiliki hubungan
yang erat dan mutlak (hukum yang tidak adil bukanlah hukum).
Salah satu perdebatan yang sangat menarik dalam keilmuan Hukum antara
hukum alam (kodrat) dengan positivisme hukum, hingga saat ini adalah
Perdebatan antara H.L.A Hart dan Lon Fuller. Perdebatan antara kedua pemikir
hukum ini, dapat dikatakan sebagai perdebatan paling menarik dalam abad ke-
XXI. Kedua pemikir ini memberikan gambaran mengenai pemaknaan hukum
pada konteks Hukum yang sebenarnya, yaitu bagaimana Hukum yang di
fahami didasari pada dua filsafat yang berbeda. Perdebatan kedua pemikir

72
hukum ini menyangkut Positivisme hukum dan Hukum Alam mengambil peran
dalam memandang hukum. Positivisme hukum ini dikemukakan oleh H.L.A.
Hart, sedangkan Hukum alam dikemukakan oleh Lon Fuller, kedua pemikir ini
dinobatkan sebagai pemikir yang produktif dan merupakan pentolan dari kedua
filsafat hukum tersebut meskipun bukan pemikir yang pertama sekali
memperkenalkan pemahaman ini.
Sebenarnya Positivisme Hukum merupakan aliran yang bersifat
Yudisprudensi analitis. Artinya, filsafat ini mencoba memaknai arti penting
dari Apa itu Hukum. Meskipun banyak pemikir yang beranggapan
Yudisprudensi analitis ini semakin kabur pemaknaanya, namum belum ada
pemikir yang mampu menjelaskan sejauh mana filsafat ini kabur dari tujuan
asalnya.
Filsafat jenis ini dikembangkan oleh pemikir hukum pada abad ke-XVIII
dan XIX, seperti seperti Jeremy Bentham danjuga John Austin. Sedangkan
Hukum alam adalah jenis filsafat yang menitikberatkan pada hak kodrat
manusia. Sejarah hukum alam tidak terepas dari adanya pemikiran penggunaan
akal manusia yang akan bermanfaat bagi banyak orang (ratio).
Keterkaitannya dengan hukum sebagai produk akal manusia yang harus
bisa dimanfaatkan oleh manusia dan berguna bagi manusia untuk mencapai hak
kodrat manusia itu sendiri. Moralitas adalah salah satu kodrat yang diberikan
oleh Allah kepada manusia dan itu telah diwahyukan di banyak kitab-kitab suci
seperti perjanjian lama dan Baru serta sebelumnya pada kitab-kitab Yunani
kuno. Bahkan di beberapa buku di sebut juga sebagai filsafat Romawi kuno,
dikarenakan filsafat ini banyak secara simultan muncul di berbagai negara.
Pemikiran ini didasari pada adanya penentangan terhadap Gereja dan
Agama Kristen yang digunakan sebagai alat kekuasaan dan penindasan atas
nama Agama. Banyak pemikir saat itu telah menggunakan akal sebagai salah
satu rujukan berfikir yang saat itu telah dibutakan oleh agama. Pertentangan ini
didasari adanya perlakuan amoral dari pemimpin Kerajaan dan Gereja dalam
menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia termasuk kehidupan
sosial, Pajak, dan penebusan dosa yang tidak beraturan dan bertetangan dengan

73
ajaran yang ada. Agama (Kristen) saat itu di Eropa menjadi satu ide yang salah,
Gereja menjadi institusi yang jahat dan kerajaan adalah penguasa bagi agama
dan Gereja yang berujung pada tidak berlakunya kehidupan sosial yang baik
pada masa itu.
Kedua filsafat ini kemudian, antara Positivisme Hukum dan Hukum Alam
menjadi salah satu pemikiran Hukum yang besar dan paling berpengaruh. Pada
pembahasan ini perdebatan ini didasari pada sebuah fenomena sosial besar di
masa lalu. Terdapat anomali yang tampak jelas mengenai hukum yang masing-
masing dasar pemikiran besar tersebut terhiraukan oleh fenomena tersebut.
Namun sebelumnya, perlu difahami dasar pemikiran dan konteks awal lahirnya
perdebatan antara H.L.A Hart dan Lon Fuller adalah mengenai penerapan
Hukum di masa Perang dunia kedua. Pada masa itu Nazi Jerman memiliki
sistem hukum yang tersendiri dan dianggap penerapannya sangat keji dan tidak
manusiawi dikalangan negara-negara lain.
Nazi menerapkan sistem dengan dasar Fasisme dan Nasionalisme, dimana
Hukum di dasarkan pada semangat Kebangsaan Aria dan Nasionalisme Fasis
ala Nazi. Semua hukum dilakukan untuk kepentingan nasional Nazi meskipun
dalam hukum tersebut banyak terdapat hukuman yang hirau akan kemanusiaan;
pembunuhan, kerja paksa, menawan tawanan perang, penyiksaan, pembakaran,
hingga pemusnahan etnis atau orang yang dianggap berkhianat dan bukan
bagian dari Bangsa Aria Nazi, serta orang yang tidak mau tunduk dan patuh
dengan kepentingan Nasional Nazi.
Pada fenomena tersebut, Hart berpendapat bahwa tindakan-tindakan ini
meskipun dianggap tidak manusiawi adalah sah menurut hukum. Penjelasan
ini lebih rinci dijelaskan Hart karena otoritas hukum haruslah di buat oleh
otoritas tertinggi di suatu wilayah, kemurnian hukum juga akan muncul jika
otoritas tersebut tidak tercampur dengan otoritas-otoritas lainnya baik yang
tampak jelas maupun secara abstrak dan hidup pada dunia kolektifitas
masyarakatnya (Moralitas).
Bagi Hart, hukum memiliki kedaulatan hukum negara atau wilayah dimana
sebuah sistem berlaku pada wilayah dan sistem hukum negara tersebut. Karena

74
pada dasarnya, hukum adalah ketetapan yang ketika seseorang telah berada
pada zona hukum suatu negara berarti telah berkomitmen pada sistem dan
hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Hal ini menjadi salah satu cara negara
bisa menerapkan hukum dan kedualatannya tanpa harus menerima pandangan
dan intervensi negara dan hukum asing dari luar wilayah negara tersebut.
Tanpa menomorduakan aspek-aspek lain, satu-satunya cara agar pelaku atau
pelanggar hukum bisa ditindak secara hukum adalah melalui Undang-Undang
yang ada.
Undang-Undang merupakan produk yang telah lahir dengan kesepakatan
yang sama dan dengan kesamaan posisi bagi semua masyarakat. Tidak ada satu
unsurpun yang boleh merubah hukum demi terlaksananya hukum murni di
suatu wilayah. Kemurnian hukum adalah ketika pelaksanaanya tidak
tergantung pada situasi dan keadaan yang mampu mengintervensi kekuatan dan
wibawa hukum.
Menurut Hart, hukum itu sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi
hukum itu sendiri. Mempertahankan aspek lain selain hukum tidak hanya dapat
menjadi masalah buruk secara intelektual, tetapi juga dapat mendorong
individu atau masyarakat untuk mempertanyakan atau bahkan menolak untuk
mematuhi sebuah Hukum. Pada hakikatnya hukum tidak bermoral, dan tidak
ada moralitas dalam hukum, bagi Hart.
Hukum yang didekatkan dengan moral akan cenderung membawa hukum
pada tujuan yang buruk. Keberadaan Hukum yang dalam penegakannya selalu
tertahan dengan moralitas bisa meningkatakan semangat individu atau
masyarakat untuk mematuhi secara membabi-buta dan hanya dipakai untuk
tujuan-tujuan yang tidak bermoral. Keberadaan moral bisa menjadi alat
penguasa atau sekelompok orang untuk bisa lepas dari hukum. Moral yang
dijadikan alat untuk memerangi hukum pada dasarnya adalah sebagai alat
untuk memerangi moral tersebut, dengan memberi dalil-dalil yang secara tidak
langsung menjatuhkan wibawa dan kedaulatan Hukum. Sehingga
memunculkan pemahaman jika Hukum haruslah dipisahkan dari segala bentuk
aspek-aspek di luar hukum, termasuk moral.

75
Melihat teori hukum ini, Hart melihat bahwasanya moralitas yang
dianggap sebagai Hukum akan memiliki nilai yang berbeda diantara pemimpin
pemerintah yang satu dengan yang lainnya khususnya dalam penegakan
hukum. Akan terjadi kerusakan hukum yang besar, di mana validasai hukum
akan kalah dengan perspektif pemimpin yang akan menegakkan hukum.
Hukum haruslah sesuai fakta hukum, sedangkan moralitas hanya sebagai
norma yang hanya diakui dikalangan masyarakat dan bukan bagian dari
penegakan hukum karena tidak tertulis dan dikodifikasi sebagai aturan menjadi
sebuah Undang-Undang.
Pandangan Hart ini. kemudian dibantah dengan perspektif Lon Fuller.
Fuller memiliki argumentasi lain mengenai sistem, hukum dan penegakannya.
Bagi Fuller, Hart terlalu cepat mengakui bahwa tindakan tidak manusiawi atas
dasar hukum itu sah dan diperbolehkan. Menjadi catatan penting dalam
argumentasi Fuller adalah untuk mencapai tujuan hukum yang baik tidaklah
dengan melalui hukum yang benar.
Pada argumentasi ini Fuller berpendapat jika Nazi Jerman memiliki tujuan
yang tidak bermoral dan manusiawi, justru hukum yang berlaku di Nazi Jerman
dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak bermoral. Fuller menekankan
pada pentingnya keberadaan sistem hukum yang memungkinkan manusia
untuk mengatur interaksi mereka satu sama lain dengan mengacu pada aturan.
Sehingga kemanusiaan bisa terjalin dengan baik yang berujung pada padunya
antara Hukum dan Moralitas yang digunakan dengan cara yang benar dan sah.
Hukum yang dimaksud Fuller adalah Hukum publik yang jelas, tidak
kotradiktif, proskriptif, dapat diandalkan, mungkin untuk mematuhi, dan
diterapkan sebagai Hukum yang seharusnya dijalankan.
Bagi Fuller penyimpangan prosedur sistemik di mana Nazi sangat
melanggar prinsip-prinsip hukum yang bertujuan pada penerapan kemanusiaan
dan moralitas. Prinsip yang dimaksud adalah prinsip moralitas yang mana
menurut Fuller tujuan hukum adalah mencapai tingkat moralitas yang tinggi.
Sangat tidak mungkin moral lahir dari sistem hukum yang tidak melihat pada
sisi moral malah memisahkan diri dari moral itu sendiri. Karena pada

76
kenyataanya, arguemantasi Fuller menunjukkan bahwa keberadaan Hukum
Nazi secara sepihak dapat dikatakan sebagai hukum yang ilegal.
Argumen ini di bangun karena pada sistem Nazi terdapat penyimpangan
termasuk penggunaan secara luas atas Undang-Undang untuk tindakan yang
tidak bermoral termasuk pembunuhan massal yang sah, peraturan dan
perundang-undangan rahasia, dan campur tangan politik dengan lembaga
peradilan yang sedemikian rupa sehingga interpretasi dan penerapan Hukum
menjadi tunduk pada keinginan pemimpin tanpa ada dasar Hukum yang baik
dan benar.
Mengingat penyimpangan ini, Fuller pasca pengadilan Nazi dapat secara
sah menolak untuk menghindari akibat hukum atas tindakan tidak manusiawi
yang dilakukan di bawah warna "hukum" Nazi. Ketidakmanusiawian itu
menjadi dasar yang dapat digunakan untuk menolak semua dalil-dalil hukum
dan penerapan yang ada di Nazi. Ketidakmanusiawiaan itu lantas merupakan
bentuk hukum paling buruk yang ada karena sama sekali tidak mencerinkan
nilai hukum yang murni dan mencerminkan mengapa hukum itu di buat dan
mengapa hukum itu ada.
Pendapat Fuller ini terkait dengan teori hukum umumnya, menurutnya
sistem hukum tidak didasari oleh pada perspektif pemimpin secara internal
belaka dan tentang apa yang dianggap sebagai perangkat hukum yang sah,
melainkan oleh orientasi yang dibagikan oleh para pejabat dan subjek hukum
yang sama-sama mengatur interaksi mereka satu sama lain dengan cara yang
menampilkan kesetiaan pada prinsip-prinsip legalitas. Fuller menyebutnya
sebagai moralitas internal hukum.
Pada akhirnya antitesis yang ditawarkan oleh Fuller adalah Moralitas
sebagai tujuan dan landasan dari adanya hukum. Keberadaan Hukum haruslah
sesuai dengan moralitas, dan moralitas tidak bisa dilepaskan dari hukum.
Karena moralitas merupakan panduan murni dalam terbentuknya hukum yang
berkeadilan yang memberi nilai fitrah manusia (kodrat).
Dalam konsep moralitas hukum menurut Hans Kelsen, bahwa hukum
adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan (rules) tentang perilaku

77
manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal
(rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki satu kesatuan sehingga
dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin
memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.
Hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti
bahwa tata hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi
juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusai. Terutama
dalam kehidupan sosial terdapat berbagai macam tata aturan selain hukum,
seperti moral atau agama. Jika masing-masing atutran berbeda-beda, maka
definisi hukum harus spesifik sehingga dapat digunakan untuk membedakan
hukum dari tata aturan yang lain. Masing-masing tata aturan tersebut terdiri
dari norma-norma yang memiliki karakteristik berbeda-beda.
Dalam pandangan Kelsen, obyek dari ilmu hukum adalah norma hukum
yang di dalamnya mengatur perbuatan manusia, baik sebagai kondisi atau
sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut. Hubungan antar manusia hanya
menjadi obyek dari ilmu hukum sepanjang hubungan tersebut diatur dalam
norma hukum.

B. HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA


Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia, karena dalam masyarakat
yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu
pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi
keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Hakiki dari hukum
di mana di satu pihak hukum harus mengandung unsur kepastian, dan
prediktabilitas, sehingga dia harus stabil. Tetapi di lain pihak hukum haruslah
dinamis, sehingga selalu dapat mengikut dinamika perkembangan kehidupan
manusia.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Manusia membutuhkan manusia yang lain untuk menjalankan kehidupan.
Manusia mengembangkan sarana bersifat immateril yang menjadi perekat
dalam hidup bermasyarakat. Sarana itu muncul dari dalam diri manusia itu

78
sendiri, yaitu cinta kasih dan kebersamaan, bahkan dua hal itulah yang
melandasi kehidupan bermasyarakat yan disebut sebagai moral. Sehingga
moral menimbulkan pranata-pranata pada manusia sebagai pengaturan dalam
kehidupan manusia itu sendiri. Pranata-pranata ini menciptakan hukum yanf
didasari oleh norma dalam bentuk aturan atau pedoman atau petunjuk bagi
seseorang untuk berbuat dan bertingkah laku sebagaimana mestinya
sebagaimana seharusnya terhadap sesama manusia dalam lingkungan suatu
masyarakat tertentu. Norma berarti aturan, kaidah, patokan, dan ukuran hukum.
Secara umum, norma merupakan aturan, pedoman atau petunjuk bagi
seseorang untuk berbuat dan bertingkah laku sebagaimana mestinya,
sebagaimana seharusnya terhadap sesama manusia dalam lingkungan suatu
masyarakat tertentu. Norma merupakan ukuran yang melandasi seseorang
untuk bergaul dengan orang lainnya ataupun dengan lingkungan sekitarnya.
Seperti halnya hukum yang merupakan suatu sifat yang sifat keseluruhannya
mencakup norma sosial yang mengatur perilaku (kelakuan) manusia. Karena
hukum memiliki sifat sosial maka akan membentuk suatu aturan yang sifatnya
memaksa dan dilembagakan. Hukum akan efektif bila dipertahankan olehnya
sendiri.
Secara harfiah, norma berarti aturan, kaidah, patokan, dan ukuran hukum.
Maka secara umum, Norma merupakan aturan, pedoman atau petunjuk bagi
seseorang untuk berbuat dan bertingkah laku sebagaimana mestinya,
sebagaimana seharusnya terhadap sesama manusia dalam lingkungan suatu
masyarakat tertentu. Norma merupakan ukuran yang melandasi seseorang
untuk bergaul dengan orang lainnya ataupun dengan lingkungan sekitarnya.
Norma berasal dari bahasa Latin “mos”, yang artinya kebiasaan, tata kelakuan,
atau adat istiadat di suatu wilayah. Dalam bahasa Arab disebut “kaidah”,
sedangkan dalam bahasa Indonesia umumnya atau lazimnya.
Hasil dari norma terwujud dalam aturan-aturan sehingga menjadi acuan
seseorang individu, untuk mengarahkan bagaimana dia bertingkah laku dan
bersikap. Tetapi, kemudian bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-
tindakan atau tingkah laku tersebut, sehingga dapat dikatakan sebuah norma itu

79
telah sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan demikian, di sinilah norma
terbagi-bagi dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, seperti: norma
agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Norma agama adalah aturan-aturan hidup yang berupa perintah-perintah
dan larangan-larangan, yang oleh pemeluknya diyakini bersumber dari Tuhan
YME yang diturunkan berupa kitab-kitab suci. Sedangkan norma kesusilaan
adalah aturan-aturan hidup tentang tingkah laku yang baik dan buruk, yang
berupa “bisikan-bisikan” atau suara batin yang berasal dari hati nurani
manusia. Berdasar kodrat kemanusiaannya, hati nurani setiap manusia
“menyimpan” potensi nilai-nilai kesusilaan. Adapun norma kesopanan adalah
aturan hidup bermasyarakat tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik baik,
patut dan tidak patut dilakukan, yang berlaku dalam suatu lingkungan
masyarakat atau komunitas tertentu. Norma ini biasanya bersumber dari adat
istiadat, budaya, atau nilai-nilai masyarakat. Terakhir, adalah norma hukum
adalah aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang, yang
mengikat dan bersifat memaksa, demi terwujudnya ketertiban masyarakat.
Sifat “memaksa” dengan sanksinya yang tegas dan nyata inilah yang
merupakan kelebihan norma hukum dibanding dengan ketiga norma yang lain.
Negara berkuasa untuk memaksakan aturan-aturan hukum guna dipatuhi dan
terhadap orang-orang yang bertindak melawan hukum diancam hukuman.
Ancaman hukuman itu dapat berupa hukuman badan atau hukuman benda
(denda).
Pada masyarakat primitif, norma kebiasaan diidentikkan dengan hukum.
Sebagai norma sosial, hukum merupakan suatu produk budaya yang hadir pada
masyarakat dengan budaya apa pun. Bronislaw Malinovski, seorang ahli
Anthropologi Hukum, menegaskan pada suatu masyarakat primitif, hukum
timbul dari kebutuhan masyarakat. Hukum bereksistensi sebagai hasil kerja
sama suatu masyarakat, di mana merupakan modus survival bagi manusia,
hukum merupakan sesuatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat.
Sehingga oleh Leopold Pospisil, bahwa definisi hukum sebagai suatu aktivitas
kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial.

80
Untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang
sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial, maka
peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu:
1. Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah keputusan-
keputusan dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa.
2. Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of universal
aplication) artinya keputusan-keputusan pemegang otoritas juga akan
diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.
3. Atribut obligasio (attribute of obligation) berarti keputusan pemegang
otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama
memilki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua
mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama.
4. Atribut sanksi (attribute of sanction) berarti keputusan-keputusan dari
pihak pemegang otoritas juga disertai penjatuhan sanksi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum adalah sistem
yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak,
sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap
kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara
negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia
dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan.
Pada landasan suatu sistem kaidah hukum terdapat kaidah yang
fundamental, yakni asas-asas hukum. Menurut Paul Scholten, asas adalah
pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem
hukum masing-masing yang dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-
undangan dan putusan-putusan Hakim.
Hukum menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia sebagai
makhluk sosial dan aspek lahiriah manusia. Norma hukum diadakan dalam
rangka mempertahankan bentuk kehidupan bermasyarakat sebagai modus

81
survival. Dari segi wilayah yang diaturnya, hukum mengatur tingkah laku
lahiriah manusia.
Norma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga
kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum
diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memang memiliki
kompetensi atau kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan
hukum, yaitu badan legislatif. Dengan demikian, hukum di Indonesia
dibentuk oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan/atau pemerintah sesuai
dengan kapasitas dan jangkauan yang ingin dicapai oleh hukum tersebut.
1. Sistem Hukum.
Hukum sebagai suatu sistem adalah suatu susunan atau tatanan
teratur dari aturan-aturan hidup, dari aturan-aturan hidup, di mana
keseluruhan bagian atau komponennya berkaitan satu dengan lainnya.
Menurut Lon Fuller, dalam bukunya ”The Morality of Law”:
bahwa , prinsip-prinsip keabsahan (legalitas) suatu hukum (principles
of legality), harus memenuhi 8 (delapan) prinsip dasar agar hukum
memberikan suatu kepastian (hukum), yaitu:
a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.
Yang dimaksud di sini adalah ia tidak boleh mengandung sekedar
keputusan yang bersifat ad hoc.
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut. Memberikan
peraturan yang berlaku surut berarti merusak integritas
pengaturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan
datang.
d. Peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.
e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.

82
g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah
peraturan sehingga menyebabkan orang akan kehilangan
orientasi.
h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari.
Hukum Indonesia merupakan suatu sistem. Artinya hukum
Indonesia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-
peraturan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, melainkan
makna keberadaan dari suatu peraturan hukum ialah karena
hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum
yang lain.
Istilah Hukum Indonesia sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari untuk menunjuk pada sistem norma yang berlaku dan atau
diberlakukan di Indonesia. Hukum Indonesia adalah hukum, sistem
norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain
yang juga populer digunakan, Hukum Indonesia, adalah hukum positif
Indonesia, semua hukum yang dipositifkan atau yang sedang berlaku
di Indonesia.
2. Norma/Kaidah Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Sistem Hukum Indonesia berarti membahas hukum secara sistemik
yang berlaku di Indonesia. Secara sistemik berarti hukum dilihat sebagai
suatu kesatuan, yang unsur-unsur, sub-sub sistem atau elemen-
elemennya saling berkaitan, saling pengaruh memengaruhi,serta saling
memperkuat atau memperlemah antara satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Pengaruh kolonial Belanda yang menganut Sistem Hukum Eropa
Kontinental (civil law system), mempunyai tiga karakteristik, yaitu
adanya kodifikasi, Hakim tidak terikat kepada preseden, sehingga
undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem
peradilan bersifat inkuisitorial (keaktifan Hakim mencari kebenaran).
Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem Hukum Civil Law, adalah

83
hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara
sistematik di dalam kodifikasi.
Ciri-ciri Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law):
a. Mengenal adanya sistem peradilan administrasi;
b. Sistem hukum menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan
oleh perguruan tinggi;
c. sistem hukumnya adalah suatu sollen (bersifat umum) bukan sein
(yang terjadi pada masyarakat);
d. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan
atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak;
e. Tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah;
f. Pada sistem civil law dikenal dengan adanya kodifikasi hukum;
g. Keputusan Hakim yang lalu (yurisprudensi) tidak dianggap sebagai
kaidah atau sumber hukum;
h. Pada sistem civil law pandangan Hakim tentang hukum adalah
lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu;
i. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem
hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang
kewajiban.
Dalam pengaruhnya sistem hukum barat tidak lagi mendasarkan pada
moral lokal melainkan pada konsep-konsep yang diundangkan pada
kitab-kitab hukum oleh penguasa kolonial saat itu. Sistem hukum barat
yang memiliki karakteristik berupa aturan-aturan yang dinyatakan secara
eksplisit dalam rumus-rumus pasal/ayat yang tertulis dan tersistematisasi
(corpus iurus), menuntut adanya otoritas satu aturan hukum di wilayah
teritorial kekuasaannya, dilandasi suatu ajaran atau doktrin bahwa hukum
dalam wujudnya adalah tertinggi dibandingkan norma-norma sosial
lainnya (ius) yang belum dirumuskan dalam bentuk yang eksplisit,
memiliki dialektika secara terus menerus dalam stabilitas dan
fleksibilitas yang sulit untuk bersifat final, dan hukum itu dibangun dan

84
dikelola secara rasional ekslusif oleh institusi keilmuan pada tingkat
universiter.
Sedangkan karakteristik dalam pranata masyarakat Indonesia,
terutama komunitas lokal yang belum mengenal baca tulis, sehingga
mempengaruhi paradigma karakteristik sistem hukum Indonesia.
3. Norma/Kaidah Yang Berlaku Pada Sistem Hukum Indonesia.
Istilah Hukum Indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-
hari untuk menunjuk pada sistem norma yang berlaku dan atau
diberlakukan di Indonesia. Hukum Indonesia adalah hukum, sistem
norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain
yang juga populer digunakan, Hukum Indonesia, adalah hukum positif
Indonesia, semua hukum yang dipositifkan atau yang sedang berlaku di
Indonesia.
Membicarakan Sistem Hukum Indonesia berarti membahas hukum
secara sistemik yang berlaku di Indonesia. Secara sistemik berarti hukum
dilihat sebagai suatu kesatuan, yang unsur-unsur, sub-sub sistem atau
elemen-elemennya saling berkaitan, saling pengaruh memengaruhi,serta
saling memperkuat atau memperlemah antara satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan.
Pada sistem Hukum Indonesia, seperti putusan Pengadilan
berdasarkan pada peraturan perundang undangan, bisa dari bisa UUD
1945, Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-Undang/Perpu, Peraturan
Pemerintah, Perpres/Keppres, MA, Keputusan Menteri dan lain lain.
Keputusan pengadilan bersifat fleksibel (berubah-ubah) tergantung
Hakim yang memutuskan berdasarkan fakta/bukti yang ada.
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut tiga sistem hukum
sekaligus yang hidup dan berkembang di masyarakat yakni sistem
hukum civil,sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam. Ketiga sistem
hukum tersebut saling melengkapi, harmonis dan romantis. Hukum
Islam mempengaruhi corak hukum di Indonesia karena mayoritas
penduduk di Indonesia menganut agama Islam yang memungkinkan

85
hukum Islam menjadi bagian yang penting dan berpengaruh dalam
sistem hukum di Indonesia. Sedangkan hukum adat sebagai hukum yang
asli yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat
mempengaruhi proses berlakunya hukum di Indonesia. Bahkan, nilai-
nilai yang terkandung dari hukum adat dan hukum Islam di Indonesia
digunakan dalam pembentukan yurisprudensi di Mahkamah Agung.

• SIMPULAN:
Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri
dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling
berhubungan dan berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu tujuan
kesatuan tersebut perlu kerja sama antara bagian-bagian atau unsur-unsur
tersebut menurut rencana dan pola tertentu yang didasari oleh moralitas
sebagai norma dalam tatanan hukum itu sendiri.
Sistem hukum Indonesia merupakan suatu sistem hukum dengan ciri-
ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang dikodifikasi
(dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh
Hakim dalam penerapannya. Bentuk-bentuk sumber hukum Indonesia
dalam arti formal, berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-
kebiasaan (hukum adat), dan yurisprudensi (tidak mengikat).

86
DAFTAR PUSTAKA

Bronislaw Malinowski, Tertib Hukum Dalam Masyarakat Terasing, Penerbit


Erlangga, Jakarta, 1987.
Khudzaifah Dumyati, Absori, Kelik Wardiono & Fitrah Hamdani, Hukum & Moral
(Basis Epistemologi Paradigma Rasional H.L.A. Hart), Genta Publishing,
Yogyakarta, 2017.
Koentjaraningrat (ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
L.B. Curzon, Jurisprudence, Cavendish Publishing, London, 1993.
Leopold Pospisil, Anthopology of Law: A Comparative Study, 1971, yang sudah
diterjemahkan oleh: Laurensius Arliman S, Antropologi Hukum, Deepublish,
Yogyakarta, 2023.
Lon L. Fuller, 1969, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven, CT.

Muhammad Rusydi, Hukum dan Moral: Mengulik Ulang Perdebatan Positivisme


Hukum dan Teori Hukum Kodrat H.L.A. Hart & Lon F. Fuller, Jurnal Al-
Wasath Volume 2, Nomor 1, 2021.

Paul Scholten, De Structuur Der Rechtswetenschap, yang sudah diterjemahkan


oleh: B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2011.

Soetandyo Wignjosoebroti, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial


dan Hukum, Setara Press, Malang, 2013.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, PT. Liberty, Yogyakarta, 2002.


Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Zaka Firma Aditya, Romantisme Sistem Hukum Di Indonesia: Kajian Atas


Konstribusi Hukum Adat Dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
Di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.
8, No. 1, 2019.

87
BAB VI
HUKUM SEBAGAI KEABSAHAN SISTEM ATURAN

A. KEABSAHAN HUKUM
1. Manusia harus hidup bersama karena untuk hidup.
Peraturan-peraturan yang mengandung hukum dan moralitas
merupakan bentuk-bentuk kontrol sosial tersendiri. Aspek-aspek
kehidupan masyarakat dalam hukum diungkapkan pada badan
legislatif, pengadilan, petugas hukum dan sanksi-sanksi sebagai
kepastian dan efisiensinya aturan tersebut.
2. Manusia mau menerima ketentuan-ketentuan hukum sebagai
batasan agar tidak melanggar prinsip-prinsip moralitas dan
keadilan.

Landasan pokok dari kehidupan manusia agar mendapatkan


perlindungan yang dijustifikasikan ke dalam aturan-aturan hukum
adalah sarana untuk menertibkan dan mengarahkan tingkah laku
anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain. Karena hasrat
manusia sebagai anggota masyarakat mematuhi aturan hukum dalam
ketentuan-ketentuannya adalah untuk mendapatkan perlindungan dari
hukum itu sendiri.

3. Aspek hukum dalam fenomena sosial.


Dalam aspek hukum yang melihat pada fenomena sosial, terbagi
dalam:
a. Cakupan sikap dan perilaku yang berwujud dalam pengakuan atas
peraturan-peraturan;
b. Perilaku yang mematuhi atau menerima peraturan-peraturan itu.
c. Peraturan-peraturan merupakan standar berperilaku yang harus
diterima dengan melalui tangan petugas hukum. Maka dalam
peraturan-peraturan itu berlaku standarisasi hukum, yaitu berupa:
1) Adanya kekuatan yang memaksa atau ancaman.

88
2) Adanya kemungkinan penjatuhan hukuman.

d. Perlunya keseimbangan dalam peraturan-peraturan itu agar tidak


terjadi ketimpangan-ketimpangan untuk mencapai kesolidan dari
hukum itu sendiri.

B. KEKUASAAN DAN OTORITAS


Kekuasaan (penguasa) dapat melakukan dengan paksaan atas suatu
peraturan-peraturan dapat dipakai sebagai alat kontrol sosial. Adanya
dengan perintah-perintah yang ditopang dengan ancaman dan kebiasaan
patuh, maka suatu sistem hukum akan valid. Hukum yang diterima secara
sukarela, maka sistem hukum akan stabil. Hal ini merupakan otoritas
penguasa memaksa warga negaranya untuk patuh kepada hukum (positif).
Dalam rangka negara memaksakan otoritas kekuasaannya, maka ada
beberapa yang perlu diperhatikan pada hal-hal yang mempengaruhi
terbentuknya hukum, yaitu:
1. Pengaruh Moralitas Terhadap Hukum.
Moralitas dapat disamakan dengan ketertiban dan memiliki tujuan
tertentu. Dalam genus yang tertinggi terkandung sebuah ide dari nilai
(baik atau buruk) yang mana intinya dari setiap sistem moral dalam
urutan konsep praktis. Nilai sesuatu terutama terletak pada
kesempurnaannya dan dalam tindakannya, yaitu, dalam perkembangan
penuh dari sifatnya yang khas. Dan pencapaian kesempurnaan khasnya
sendiri.

Hukum dan moralitas merupakan satu kesatuan yang tidak


terpisahkan karena hukum digali dari nilai moral yang ada di
masyarakat sehingga secara tidak langsung hukum membutuhkan
moral sebagai landasan pembuatan hukum. Hal ini merupakan
paradigma norma-norma dan tujuan moral, standar moral, dan sistem
moral pasti dimiliki oleh setiap bangsa dan kelompok masyarakat atau
negara.

89
Hukum di semua negara modern dalam berbagai peraturannya
memperlihatkan adanya moralitas sosial yang diterima maupun yang
dicita-citakan. Menurut pandangan positivisme bahwa kestabilan suatu
sistem hukum bergantung pada kesesuaian moral yang diterima
keberadaannya.
Pembahasan hubungan hukum dan moralitas, dalam filsafat hukum
telah dikupas dalam Bab V di atas, ada dua aliran filsafat hukum yang
mempengaruhinya yaitu: Positivisme Hukum dan Hukum Alam
(Kodrat). Pada intinya kedua aliran filsafat hukum ini secara eksplisit
menjelaskan bahwa manusia atau masyarakat dapat menciptakan
hukum, karena karakter universalistik dari hukum hanya mungkin
bersumber dari moralitas masyarakat tersebut.

2. Interpretasi/Penafsiran Hukum.
Interpretasi merupakan suatu teori yang berupaya menjelaskan
keutuhan bahasa manusia dalam pandangan keberagaman fungsi.
Seperti menafsirkan inter-relasi manusia dalam teks (bahasa) dalam
perubahan-perubahan zaman dengan berusaha menjelaskan keutuhan
bahasa manusia dalam pandangan atas penggunaan yang beragam dari
bahasa itu digunakan untuk tujuan bahwa hukum dapat mengandung
arti sebagai aktivitas yang dijalankan sesuai aturan (rule of law).
Begitu pun hukum memerlukan interpretasi ketika hendak
diterapkan dalam kasus-kasus konkret. Aktivitas legislatif,
menginterprestasikan undang-undang; Aktivitas yudikatif,
menginterprestasikan preseden (putusan) dengan alternatif-alternatif
agar menghasilkan suatu keadilan. Aktivitas eksekutif,
menginterprestasikan kebijakan-kebijakan (hukum) yang memiliki
landasan konstitusional yang tinggi. Perlunya standar moral dalam
ketiga aktivitas tersebut, yaitu disesuaikan dengan lingkup hukum yang
diterima oleh masyarakat. Sistem hukum harus memperlakukan
manusia yang ada dalam lingkupnya sebagai berhak atas perlindungan
dan kebebasan yang dimilikinya.

90
Interpretasi dalam praktek pada umumnya penafsir digunakan oleh
praktisi hukum, seperti: Hakim. Di mana maknanya hukum ditemukan
dalam aplikasi pada fakta-fakta tertentu bukan pada sebelum aplikasi.
Interpretasi digunakannya hukum pada penerapan sebelum kasus-kasus
terjadi (concurrent interpretation) maupun setelah kasus-kasus terjadi
(prospective interpretation). Sedangkan dalam ilmu hukum, interpretasi
diaplikasi dalam argumentasi-argumentasi filosofis tentang makna
hukum tanpa melihat kasus. Argumen-argumen ini juga mengandung
pedoman/arahan yang bernilai tentang metode interpretasi, khususnya
terkait dengan interpretasi dari teks-teks hukum.
Interpretasi secara tipologi penafsiran hukum terbagi 2 (dua), yakni:
Operative Interpretation dan Doctrinal Interpretation. Penafsiran
pertama terjadi jika ada suatu keraguan terkait makna norma hukum
yang harus diberlakukan dalam suatu kasus konkret pengambilan
keputusan oleh badan yang menerapkan hukum. Adanya kasus terlebih
dahulu, baru kemudian penafsir mencari makna teks terkait dengan
kasus yang dihadapi sebagai pedoman untuk menjawab atas keragu-
raguan penafsiran yang berkaitan dengan suatu formulasi norma yang
diinterpretasikan secara konkret dari kasus yang dihadapi tersebut
(case-bound interpretor). Sedangkan penafsiran yang kedua,
merupakan suatu penafsiran untuk membangun suatu perangkat konsep
yang memadai untuk menghapuskan keraguan yang terkait dengan
formulasi norma. Hasil interpretasi ini berupa statement yang
menentukan makna yang secara linguistik memungkin dari suatu teks
yang diinterpretasikan dari teks tersebut (true meaning).
Persamaan dari kedua interpretasi ini adalah untuk menghapuskan
keragu-raguan terkait dengan makna suatu formulasi norma. Bisa juga
menyangkut isi dari makna bahasa yang tidak jelas dapat digunakan
untuk menjelaskan masalah-masalah yang terkait atau makna dari
norma-norma yang berkonflik. Sedangkan perbedaannya, untuk
interpretasi operatif digunakan untuk mengambil keputusan dalam

91
situasi konkret. Dalam interpretasi doktrinal lebih kepada masalah-
masalah yang terkait dengan berbagai jenis situasi untuk dianalisis
secara dogmatik dengan perenungan yang didasarkan pada pengalaman
praktis.
3. Prinsip Legalitas dan Keadilan.
Sistem hukum yang baik harus sejalan dengan moralitas dan
keadilan, serta terlepas dari kepentingan maupun prasangka. Peraturan-
peraturan hukum harus memenuhi syarat-syarat yang dapat mudah
dipahami, terjangkau oleh kepasitas kebanyakan orang yang harus
mematuhinya, dan secara umum tidak berlaku surut, sekalipun ada
perkecualian untuk itu. Prinsip-prinsip hukum yang harus dipatuhi,
dipahami, dan tidak berlaku surut, oleh para ahli hukum disebut dengan
prinsip legalitas. Hal ini agar orang yang melanggar hukum dapat
dihukum dan pada akhirnya mampu untuk mematuhinya (patuh).
Namun sebagai Negara hukum, setiap perbuatan pemerintah harus
berdasarkan hukum, karena dalam Negara terdapat prinsip
wetmatigheid ven bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan
tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam perbuatan
pemerintah akan dianggap tidak memiliki dasar hukum untuk
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau kedudukan hukum warga
masyarakatnya. Asas legalitas merupakan asas yang berlaku di dalam
hukum pidana, di mana merupakan jaminan bagi individu atas
kegiatannya apa yang dibolehkan atau tidak dibolehkan yang diatur
dalam suatu undang-undang.
Asas ini menjamin dan memberi perlindungan hukum dari
penyalahgunaan wewenang penguasa. Biasanya, asas legalitas berlaku
dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris
yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali. Diartikan secara bebas adagium ini bermakna bahwa “tidak

92
ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan
yang mendahuluinya.
Hukum positif di Indonesia mengenal asas legalitas dalam
KUHPidana Pasal 1 ayat (1), bahwa setiap perbuatan yang disebut
sebagai perbuatan/tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-
undang yang diadakan terlebih dahulu yang menetapkan dalam
rumusan yang jelas tentang perbuatan-perbuatan dimaksud. Sebagai
konsekuensinya, sebuah perbuatan yang menurut pandangan
masyarakat dianggap sebagai perbuatan tercela karena melanggar nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dapat dipidana karena
tidak diatur secara tertulis dalam undang-undang.
Tujuan asas legalitas adalah untuk memberikan kepastian hukum
dalam hukum pidana. Asas legalitas bertujuan untuk adanya kepastian
hukum mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang oleh
hukum tertulis. Sehingga memberikan perlindungan kepada masyarakat
terhadap kesewenang-wenangan penguasa dalam menghukum
seseorang. Selain itu, asas legalitas juga bertujuan untuk memberikan
pengetahuan kepada masyarakat terkait perbuatan apa saja yang tidak
boleh dilakukan. Sehingga, masyarakat tidak perlu cemas mengenai
sewaktu-waktu akan dipidana karena perbuatannya.
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan
kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki
legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu
suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum
tertentu. Dalam hal ini, negara memaksakan otoritas kekuasaannya
namun harus dibatasi oleh undang-undang, agar tidak terjadi
kesewenang-wenang yang menghilangkan prinsip keadilan, karena
legalitas adalah di mana sesuatu dilihat berdasarkan hukum yang ada,

93
contohnya adalah sebuah tindakan bila di lihat secara hukum yang
menghasilkan putusan legal atau ilegal.
4. Validitas Hukum.
Validitas hukum berarti bahwa norma- norma hukum itu mengikat,
bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-
norma hukum, bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-
norma hukum. Adanya unsur paksaan yang esensial dalam hukum tidak
merupakan psychic compulsion, tetapi fakta bahwa sanksi sebagai
tindakan spesifik ditentukan dalam kasus spesifik oleh aturan yang
membentuk aturan hukum. Unsur paksaan relevan hanya sebagai
bagian dari isi norma hukum, bukan sebagai suatu proses dalam pikiran
individu subyek norma. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem moralitas.
Apakah orang benar-benar bertindak sesuai aturan untuk menghindari
sanksi aturan hukum atau tidak, dan apakah sanksi itu sungguh
dilaksanakan atau tidak, adalah masalah yang terkait dengan
keberlakuan hukum. Misalnya suatu aturan hukum melarang pencurian
dengan menyatakan bahwa setiap pencuri harus dihukum oleh hakim.
Aturan ini valid untuk semua orang yang harus mematuhi aturan
tersebut (subyek). Bagi mereka mencuri itu dilarang namun dapat
dikatakan bahwa aturan hukum ini valid terutama untuk orang yang
mencuri, yang berarti melanggar aturan. Jadi dapat dikatakan bahwa
aturan hukum adalah valid walaupun dalam kasus aturan tersebut
kurang berlaku dalam kasus tetap adanya pencurian.

Suatu hukum dapat dikatakan valid, apabila memiliki ciri-ciri:

a. Hukum hanya berlaku pada satu hal tertentu;


b. Hukum harus layak;
c. Hukum sebagai sesuatu yang sedang ada;
d. Hukum mengandung norma-norma;
e. Hukum memiliki makna yang jelas;
f. Hukum memenuhi semua kriteria validitas sistem.

94
C. FAKTOR MORALITAS MANUSIA ATAS KEPATUHAN HUKUM
1. Pengertian moral.
Arti kata etika sama dengan moral, yaitu: nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.
Moralitas adalah Keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk, dengan kata lain moralitas merupakan kualitas
perbuatan manusiawi dalam arti perbuatan itu baik atau buruk.
Faktor penentu moralitas (Sumaryono), terdapat ada 3 faktor penentu
moralitas perbuatan manusia, yaitu:
a. Motivasi;
b. Tujuan akhir; dan
c. Lingkungan perbuatan.
Motivasi, adalah hal yang diinginkan oleh seseorang/pelaku
perbuatan dengan maksud untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai
(dalam Hukum Pidana dikenal dengan “mens rea”). Jadi, motivasi
dikehendaki secara sadar, sehingga menentukan motivasi tersebut
dijadikan kadar moralitas perbuatan.
Tujuan akhir dimaksudkan sebagai diwujudkannya perbuatan yang
dikehendaki secara bebas. Moralitas perbuatannya ada dalam kehendak
manusia tersebut, artinya perbuatan itu memang dikehendaki dan
dijadikan tujuan akhir oleh pelaku.
Sedangkan lingkungan perbuatan, diwujudkannya perbuatan yang
dikehendaki secarar bebas. Moralitas perbuatannya ada dalam
kehendak manusia tersebut, artinya perbuatan itu memang dikehendaki
dan dijadikan tujuan akhir oleh pelaku. Segala sesuatu yang secara
aksidental mengelilingi mewarnai perbuatan, termasuk dalam
pengertian lingkungan Perbuatan. Lingkungan Perbuatan diantaranya
adalah :
1) Manusia yang terlibat;

95
2) Kuantitas dan kualitas perbuatan;
3) Cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan;
4) Frekuensi perbuatan.

2. Moralitas sebagai Norma.


Moralitas dapat diklasifikasikan sebagai norma menjadi 4
golongan, yaitu :
a. Moralitas objektif.
b. Moralitas subjektif.
c. Moralitas intrinsik.
d. Moralitas ekstrinsik.
Adapun yang dimaksud dengan klasifikasi-klasifikasi moralitas
tersebut di atas, adalah:
1) Moralitas objektif

Adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagaimana


adanya, terlepas dari segala bentuk modifikasi kehendak bebas
pelakunya. Moralitas objektif sebagai norma berhubungan
dengan semua perbuatan yang pada hakikatnya baik atau jahat,
benar atau salah.
2) Moralitas subjektif
Adalah moralitas yang melihat perbuatan yang dipengaruhi
oleh pengetahuan dan perhatian pelakunya, latar belakang,
stabilitas emosional, dan perlakuan lainnya. Moralitas subyektif
sebagai norma berhubungan dengan perbuatan sesuai atau
tidaknya dengan hati nuraninya.
3) Moralitas intrinsik
Adalah moralitas yang menentukan perbuatan itu benar atau
salah berdasarkan hakikatnya, terlepas dari Pengaruh hukum
positif. Orang mematuhi suatu aturan karena menurutnya secara
kesadarannya sendiri harus dipatuhi. Moralitas intrinsik ini
hakekatnya terdapat dalam perbuatan diri manusia sendiri.

96
4) Moralitas ekstrinsik
Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau
salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan
hukum positif. Moralitas yang bersifat ekstrinsik didasari pada
penilaian peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat
perintah maupun larangan. Sifat moralitas ini merupakan realitas
bahwa manusia terikat pada nilai-nilai atau norma-norma yang
diberlakukan dalam kehidupan bersama.
Dalam pandangan Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa
kesadaran seseorang untuk membuat pilihan atas sejumlah objek yang
dipilihnya atau didahulukannya didasari pada kesadaran untuk tahu
(gatra kognitif) dan kesadaran untuk membuat pilihan yang
keberpihakan (gatra afektif). Perilaku Manusia akan kesadaran
terhadap hukum, karena sebagai sikap kesadaran hukum (legal
awareness), karena yang bersangkutan mencari tahu ada tidaknya
aturan yang mengatur perbuatannya (kognitif) atau memang sudah
seharusnya dipatuhi atau tidak dipatuhi berdasarkan keyakinannya
(afektif).
Teori Perilaku Manusia dalam perspektif hukum, bahwa pada
dasarnya perilaku manusia difokuskan secara utama adalah intense
individu untuk melakukan perilaku tertentu. Intense atau intensi
dianggap dapat melihat faktor-faktor motivasi yang mempengaruhi
perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras orang mau
berusaha untuk mencoba dan berapa besar usaha yang akan
dikeluarkan individu untuk melakukan suatu perilaku (kognitif).
Sedangkan, jika intensi individu merasa untuk melakukan atau tidak
melakukan perilaku tertentu karena adanya persepsi yang menurut
bersangkutan tidak untuk dilakukan (afektif).

97
D. HUKUM DAN NILAI SOSIAL BUDAYA.
Hukum yang baik adalah hukum yang materinya berasal dari nilai sosial
budaya masyarakat. Untuk itu perlu suatu sistem pemerintahan yang kuat
yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa itu sendiri dilandasi dengan
nilai-nilai hukum yang dapat menjamin dilaksanakannya hak-hak asasi
rakyat.
Budaya hukum suatu masyarakat merupakan budaya hukum tidak
tertulis (unwritten law) atau dalam Masyarakat Indonesia di kenal dengan
Hukum Adat. Budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang di
dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai sosial dan budaya hukum ini
hidup dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum itu sendiri, sehingga
secara keseluruhan budaya hukum masyarakat adalah nilai-nilai dan budaya
hukum living law. Akan tetapi dalam perkembangannya masyarakat hukum
pada suatu tempat juga terbiasa dengan nilai-nilai dan budaya hukum tertulis
yang diakibatkan oleh proses interaksi dari luar. Contohnya seperti
kolonialisme di Indonesia yang dibawa oleh penjajah Hindia Belanda yang
menganut budaya hukum Eropa Kontinental yang mengutamakan kodifikasi
hukum. Kemudian di dalam proses perkembangan pembangunan hukum
nasional, kedua budaya hukum unwritten law/Hukum Adat dan Hukum
Eropa Kontinental memberi pengaruh terhadap konsep hukum Indonesia.
Pengaruh aliran sosiological jurisprudence yang mengetengahkan
tentang pentingnya hukum yang hidup di dalam Masyarakat (living law) dan
berpegang pada pendapat mengenai pentingnya akal maupun pengalaman.
Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound, yang intinya menyatakan bahwa
hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal yang dapat hidup terus.
Menurut Roscoe Pound yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan
diuji pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh
pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem
hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh
akal, yang diumumkan dengan kewibawaan oleh badan-badan yang

98
membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan
masyarakat itu sendiri.
Para penganut ajaran Sosiological jurisprudence, menyatakan bahwa
kelemahan-kelemahan hukum tertulis (unwritten law) dapat diatasi dengan
mempertimbangkan secara cermat hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang
hidup di masyarakat, dan bahkan para penganut ajaran ini mengemukakan
bahwa kodifikasi hukum itu harus selaras dan mengembangkan hukum dan
nilai-nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam konteks pembangunan konsep hukum, maka seharusnya dapat
dengan senantiasa mendahului pembentukan hukum dengan penelitian
tentang pandangan, sikap dan perasaan hukum, rasa butuh hukum, dan rasa
keadilan masyarakat tentang hukum yang akan dibentuk.
Pada umumnya negara-negara sedang berkembang dan berkembang
(termasuk negara Indonesia) dalam pembangunannya akan melalui tahap-
tahap, yaitu: (1) tahap unifikasi; (2) tahap Industrialisasi; (3) tahap
kesejahteraan sosial. Peranan hukum, ahli hukum serta lembaga-lembaga
hukum yang sangat penting dalam pembangunan tersebut adalah pada saat
perpindahan ke dan pensintesean dari suatu sistem norma-norma serta nilai-
nilai nasional yang baru. Peranan hukum dalam hal ini adalah memberikan
legitimasi terhadap perubahan, sehingga peristiwa yang secara potensial
dapat menimbulkan perpecahan serta perombakan yang revolosioner itu
dapat berlangsung dengan tertib dan damai.
Contoh di atas, seperti perubahan ketatanegaraan di Indonesia akibat
tuntutan dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang kita kenal dengan
nama reformasi, sehingga memunculkan orde reformasi juga memerlukan
peranan hukum yang kuat dengan mengindahkan nilai-nilai sosial budaya
yang ada di dalam masyarakat Indonesia sehingga dapat mengantarkan kita
ke sebuah negara berkembang dengan tahap-tahap perkembangan tersebut
di atas.

99
Harapannya tahap-tahap perkembangan tersebut dapat dilampaui
dengan baik dengan sarana hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang ada
pada masyarakat, walaupun sampai saat ini untuk mencapai tahap unifikasi,
bangsa kita masih belum dapat melaksanakan sesuai dengan harapan yang
kita cita-citakan, namun telah di coba dengan kebijakan hukum pemerintah
saat ini dengan diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja dengan
metode unifikasi omnibus law.
Meskipun harapan untuk melaksanakan tahap-tahap perkembangan
yang ingin mencapai tingkat perkembangan yang tertinggi yakni
melaksanakan tahap unifikasi, sekaligus juga melaksanakan industrialisasi
dan juga kesejahteraan sosial, namun pilihan ini memberikan beban yang
tidak ringan pada para ahli hukum di Indonesia. Sebagaimana diketahui
bahwa dalam melaksanakan tahap-tahap perkembangan ini sangat sulit
untuk dilaksanakan, bahkan untuk mencapai tahap unifikasi sebagai tahap
pembangunan negara yang paling rendahpun sampai saat ini belum tercapai
bahkan terjadi perubahan sosial di Indonesia dengan adanya tuntutan yang
mengakibatkan goyahnya unifikasi (kesatuan hukum) dan persoalan-
persoalan bangsa lainnya yang apabila tidak ditangani secara baik, akan
mengganggu kehidupan ketatanegaraan di Indonesia akibat perkembangan
budaya. Hal ini harus segera diselesaikan supaya tidak mengganggu tahap-
tahap pembangunan yang lain, yakni industrialisasi, dan kesejahteraan
sosial sehingga dapat mengejar ketertinggalan-ketertinggalan tahap-tahap
pembangunan yang telah dikerjakan oleh bangsa-bangsa lain.

100
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muktie Fajar, Negara Hukum: Sejarah, Elemen, dan Tipe, Setara Press,
Malang 2016.

D.H.M. Meuwissen, 2007, Rechtstheorie, Rechtswetenschap, Rechtsfilosofie,


yang diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang
Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum,
PT. Refika Aditama, Bandung.

Emile Durkheim, Law and Social Fact, dalam Clive Seale (ed.), Social
Research Methods, Routledge, London, 2004.

Eni Kusdarini, Kajian Filsafat Hukum Tentang Hukum Dan Nilai-Nilai Sosial
Budaya Masyarakat, Jurnal Informasi Vol. 36, No. 1, 2010.

E. Sumaryono, Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas


Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002.

I Dewa Gede Atmadja, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum, Setara
Press, Malang, 2015.

Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Penerbit Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006.

Gregory Leyh (ed.), Legal Hermeneutics, University California Press, 1992,


yang sudah diterjemahkan oleh: M. Khozim, Hermeneutika Hukum:
Sejarah, Teori dan Praktik, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2015.

Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.

Paul Ricoeur, Theory of Interpretation: Discourse and The Surplus of Meaning,


The Texas University Press, 2014.

R. Diah Imaningrum Susanti, Penafsiran Hukum Yang Komprehensif,


Indonesian Philosophical Studies (IPHILS), Malang, 2015.

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.

---------------------, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu


Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 1988.

101

Anda mungkin juga menyukai