Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

FAKTOR RISIKO KEMATIAN DAN TANDA BAHAYA IBU HAMIL

OLEH:

TIARA RENATA

22092004132010.10

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN (FIIK)

S1 KESEHATAN MASYARAKAT

KENDARI

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji baji Allah swt yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu saya tidak bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad Saw yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti. Saya mengucapkan
syukur pada Allah SWT atas limpahan nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal
fikiran, sehingga saya mampu untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul “FAKTOR
RISIKO DAN TANDA BAHAYA IBU HAMIL”

Tentu makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan
didalamnya. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dari makalah ini, agar
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
kesalahan-kesalahan pada makalah ini saya memohon maaf yang sebesar-esarnya.

Dan saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak, demikian semoga makalah
ini dapat bermanfaat.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B.RumusaNMasalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian kematian ibu
B. Penyebab kematian ibu
C. Epidemiologi kematian ibu
D. Faktor-faktor resiko kematian ibu hamil
E. Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu
F. Tanda Bahaya Kehamilan

BAB III PENUTUP


A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap tahun, di seluruh dunia, diperkirakan terjadi 358.000
kematian ibu dan sekitar 99% kematian tersebut terjadi di negara
berkembang yang miskin dan sekitar 67% merupakan sumbangan sebelas
negara temasuk Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada
tahun 2007 adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup sehingga hampir dapat
dipastikan bahwa Indonesia tidak akan mampu mencapai target Millenium
Development Goals, menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015.
Kematian ibu merupakan peristiwa kompleks yang disebabkan
oleh berbagai penyebab yang dapat dibedakan atas determinan dekat,
antara, dan jauh.Determinan dekat yang berhubungan langsung dengan
kematian ibu merupakan gangguan obstetrik seperti perdarahan,
preeklamsi/eklamsi, dan infeks atau penyakit yang diderita ibu sebelum
atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan
seperti jantung, malaria, tuberkulosis, ginjal, dan acquired
immunodeficiency syndrome. Determinan dekat secara langsung
dipengaruhi oleh determinan antara yang berhubungan dengan faktor
kesehatan, seperti status kesehatan ibu, status reproduksi, akses terhadap
pelayanan kesehatan, dan perilaku penggunaan fasilitas kesehatan.
Determinan jauh berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural.
Kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu hamil,
pemberdayaan perempuan yang tidak baik, latar belakang pendidikan,
sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, serta
kebijakan secara tidak langsung diduga ikut berperan dalam meningkatkan
kematian ibu.
AKI yang tinggi di suatu wilayah pada dasarnya menggambarkan
derajat kesehatan masyarakat yang rendah dan berpotensi menyebabkan
kemunduran ekonomi dan sosial di level rumah tangga, komunitas, dan
nasional. Namun, dampak terbesar kematian ibu yang berupa penurunan
kualitas hidup bayi dan anak menyebabkan goncangan dalam keluarga dan
selanjutnya memengaruhi tumbuh kembang anak.Untuk menurunkan AKI,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan Making
Pregnancy Safer (MPS), antara lain terimplementasi dalam program
Jampersal untuk menjamin semua persalinan dilakukan di fasilitas
kesehatan dan oleh tenaga kesehatan terlatih serta penyediaan pelayanan
obstetri neonatal emergensi dasar (PONED) dan pelayanan obstetri
neonatal emergensi komprehensif (PONEK) untuk menjamin semua
komplikasi obstetrik dapat tertangani dengan optimal. Selain itu,
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan juga mencanangkan
Gerakan Sayang Ibu (GSI) sebagai upaya menumbuhkan kesadaran bahwa
kehamilan dan kelahiran dapat memunculkan risiko dan tidak hanya
menjadi tanggung jawab ibu, tetapi juga juga keluarga, suami, orang tua,
dan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Apa itu kematian Ibu hamil?
2. Apa saja penyebab dari kematian ibu hamil?
3. Apa faktor-faktor kematian ibu?
4. Apa itu tanda bahaya kehamilan?
5. Apa saja tanda bahaya kehamilan?
6. Apa tujuan dari mengenali bahaya kehamilan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan dari
makalah ini adalah:
1. Apa itu kematian Ibu hamil?
2. Apa saja penyebab dari kematian ibu hamil?
3. Apa faktor-faktor kematian ibu?
4. Apa itu tanda bahaya kehamilan?
5. Apa saja tanda bahaya kehamilan?
6. Apa tujuan dari mengenali bahaya kehamilan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kematian Ibu


Kematian maternal atau kematian ibu menurut batasan dari The
Tenth Revision of International Cassification of Diseases (ICD-10) adalah
kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan atau dalam 42 hari
setelah kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan,
disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang
diperberat oleh kehamilan tersebut, atau penanganannya, akan tetapi bukan
kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan (WHO, 2015).
Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah angka
kematian ibu (Maternal Mortality Ratio) yaitu jumlah kematian ibu dalam
100.000 kelahiran hidup. Angka ini mencerminkan risiko obstetrik yang
dihadapi oleh seorang ibu sewaktu ia hamil (Saifudin, 2010).
B. Penyebab Kematian Ibu
Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak
langsung. Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi
kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan segala intervensi atau
penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak
langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit
yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan,
misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular
(Saifudin, 2010).
Penyebab kematian langsung ibu di Indonesia didominasi oleh
perdarahan pasca persalinan, hipertensi/eklamsia, dan infeksi. Penyebab
tidak langsung kematian ibu adalah masih banyaknya kasus 3 terlambat
dan 4 terlalu (GKIA, 2016). Kasus 3 terlambat, meliputi :
1. Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil
keputusan.
2. Terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan.
3. Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Kasus 4 terlalu, meluputi :
1. Terlalu tua hamil (diatas usia 35 tahun)
2. Terlalu muda hamil (dibawah usia 20 tahun)
3. Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4)
4. Terlalu dekat jarak antar kelahiran (kurang dari 2 tahun)
C. Epidemiologi Kematian Ibu
Menurut WHO, sekitar 830 wanita meninggal karena komplikasi
kehamilan atau persalinan di seluruh dunia setiap harinya. Diperkirakan
pada tahun 2015, sekitar 303.000 wanita meninggal selama dan setelah
kehamilan dan persalinan, dimana sebagian besar dari kematian dapat
dicegah (WHO, 2018).
Tingginya jumlah kematian ibu di beberapa daerah di dunia
mencerminkan ketidakadilan dalam akses menuju layanan kesehatan, dan
menyoroti kesenjangan antara kaya dan miskin. Kematian ibu (99%)
terjadi di negara berkembang. Rasio kematian ibu di negara berkembang
pada 2015 adalah 239 per 100.000 kelahiran hidup berbanding 12 per
100.000 kelahiran hidup di negara maju. Ada perbedaan besar antara
negara, tetapi juga di dalam negara, dan antara wanita dengan pendapatan
tinggi dan rendah dan wanita yang tinggal di daerah pedesaan versus
perkotaan (WHO, 2018). Risiko kematian ibu tertinggi terjadi pada gadis
remaja di bawah 15 tahun dan komplikasi dalam kehamilan dan persalinan
merupakan penyebab utama kematian diantara remaja perempuan di
negara berkembang (WHO, 2018).
Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan terdapat 240.000 kematian
maternal setiap tahunnya, sehingga diperoleh angka kematian maternal
sebesar 210 per 100.000 KH. Angka kematian maternal ini merupakan
ukuran yang mencerminkan risiko obstetrik yang dihadapi oleh seorang
wanita setiap kali wanita tersebut menjadi hamil. Risiko ini semakin
bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah kehamilan yang dialami
(WHO dalam Fibriana, 2007). Melihat adanya kemungkinan untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu, negara-negara kini telah
berkomitmen melalui target baru untuk mengurangi kematian ibu lebih
jauh. Salah satu tujuan Sustainable Development Goal (SDGs) 3 adalah
untuk mengurangi rasio kematian ibu bersalin menjadi kurang dari 70 per
100.000 kelahiran (WHO, 2018).
Penurunan AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai
dengan 2007, yaitu dari 390 menjadi 228. SDKI tahun 2012 menunjukkan
peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi
305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 (Profil Kesehatan Indonesia,
2016). Kematian ibu merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia.
Berdasarkan angka-angka hasil survei nasional hingga tahun 2012. Angka
Kematian Ibu (AKI) belum menunjukkan perbaikan (GKIA, 2016).
Angka sebesar 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup ini
setara dengan 17 ribu kejadian kematian ibu setiap tahunnya. Hasil analisis
dan studi lanjutan Sensus Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa
proporsi kematian ibu terbesar terjadi pada saat persalinan dan 48 jam
pertama setelahnya. Kematian yang terjadi pada masa kehamilan sebagian
besar terjadi saat ibu tersebut kandungannya berumur kurang dari 20
minggu (GKIA, 2016).
Di Indonesia 1 dari 10 kehamilan terjadi pada remaja berusia 15-19
tahun. Kehamilan remaja berusia dibawah 18 tahun berdampak negatif
pada kesehatan. Risiko kesakitan dan kematian yang terjadi 1,5 kali lebih
tinggi dibandingkan kehamilan pada usia yang lebih matang (WHO. 2018
dan GKIA, 2016).
Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia didominasi oleh
pendarahan pasca persalinan, hipertensi/eklamsia, dan infeksi. Penyebab
tidak langsung kematian ibu adalah masih banyaknya kasus 3 terlambat
dan 4 terlalu (GKIA, 2016).
Keadaan ibu pra–hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya.
Penyebab tidak langsung kematian maternal ini antara lain adalah anemia,
kurang energi kronis (KEK) dan keadaan 4 terlalu (terlalu muda / tua,
terlalu sering dan terlalu banyak) (Saifudin, 2000).
Tahun 1992 McGarthy dan Maine mengembangkan suatu kerangka
konseptual kematian ibu. Terdapat 3 komponen dalam proses kematian
ibu, yang paling dekat dengan kematian dan kesakitan adalah kehamilan,
persalinan atau komplikasinya. Komponen kehamilan, komplikasi, atau
kematian secara lengkap dipengaruhi oleh 5 determinan antara, yaitu status
kesehatan, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku
kesehatan dan faktor lain yang tidak diketahui. Determinan antara
dipengaruhi oleh determinan jauh yang digolongkan sebagai komponen
sosioekonomi dan budaya (Saifudin, 2010).
D. Faktor-Faktor Risiko Kematian Ibu
Menurut Mcarthy dan Maine (1992) kematian maternal
dipengaruhi oleh 3 determinan, yaitu determinan dekat, determinan antara
dan determinan jauh. Determinan dekat merupakan penyebab kematian
ibu, yaitu kehamilan itu sendiri dan gangguan obstetrik yang berupa
perdarahan, infeksi, eklampsia/preeklampsia, dan lainnya. Determinan
dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu status
kesehatan, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, dan perilaku
penggunaan pelayanan kesehatan. Determinan jauh merupakan determinan
yang berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural, yaitu status
wanita dalam keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat,
dan status masyarakat.
1. Determinan Dekat
Determinan dekat merupakan proses yang paling dekat terhadap
kejadian kematian maternal, yang meliputi kehamilan itu sendiri dan
komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas. Tiap wanita
hamil memiliki risiko komplikasi yang berbeda, dibedakan menjadi ibu
hamil risiko rendah dan ibu hamil risiko tinggi. Komplikasi yang dapat
terjadi antara lain :
a. Perdarahan
Perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu antara lain
adalah perdarahan karena abortus, perdarahan ektopik terganggu,
perdarahan antepartum, dan perdarahan postpartum. Perdarahan karena
abortus dapat disebabkan karena abortus yang tidak lengkap atau cedera
pada organ panggul atau usus. Abortus sendiri adalah berakhirnya suatu
kehamilan (oleh akibatakibat tertentu) pada atau sebelum kehamilan
tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk
hidup di luar kandungan (Saifudin dkk, 2009).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi,
implantasi terjadi di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik
dapat mengalami abortus atau ruptura apabila masa kehamilan
berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi dan peristiwa ini
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu (Saifudin, 2009).
Kehamilan ektopik yang mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada
tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan
tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian
disusul dengan syok atau pingsan (Hadijanto, 2010).
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pervaginam pada
kehamilan diatas 28 minggu atau lebih. Pendarahan antepartum terjadi
pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu maka sering disebut atau
digolongkan perdarahan pada trimester ketiga. Pendarahan antepartum
pada umumnya disebabkan oleh kelainan implantasi plasenta (letak
rendah dan previa), dan separasi plasenta sebelum bayi lahir. Faktor
yang meningkatkan kejadian plasenta previa yaitu umur penderita yang
masih muda atau berumur diatas 35 tahun, paritas penderita yang tinggi
dan endometrium yang cacat (Manuaba, 2010).
Perdarahan postpartum adalah hilangnya darah 500 ml atau lebih
dari organ-organ reproduksi setelah selesainya kala tiga persalinan
(setelah plasenta lahir). Perdarahan postpartum dibagi menjadi dua
yaitu, perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan pasca persalinan
yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran penyebab utamanya
adalah atona uteri, retensio plasenta, robekan jalan lahir dan inversio
uteri. Perdarahan postpartum sekunder yaitu perdarahan pasca
persalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Penyebab
utama perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik atau sisa plasenta yang tertinggal
(Astuti dkk, 2015). Perdarahan postpartum merupakan penyebab
penting kematian maternal khususnya di negara berkembang. Faktor-
faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah
grandemultipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun,
persalinan dilakukan dengan tindakan (Manuaba, 2010).
b. Infeksi
Infeksi adalah invasi jaringan oleh mikroorganisme patogen
hingga menyebabkan kondisi sakit karena virulensi dan jumlah
mikroorganisme patogen tersebut. Infeksi dapat terjadi pada masa
kehamilan, selama persalinan (inpartu) maupun masa nifas. Infeksi pada
kehamilan adalah infeksi jalan lahir pada masa kehamilan, baik
kehamilan muda maupun tua. Keadaan infeksi ini berbahaya karena
dapat mengakibatkan sepsis, yang mungkin menyebabkan kematian ibu
(Leveno dkk. 2013).
Infeksi nifas adalah infeksi bakteri yang berasal dari saluran
reproduksi selama persalinan. Penyebab terbesar dari infeksi nifas
adalah penolong persalinan yang membawa kuman ke dalam rahim ibu
dengan membawa kuman yang telah ada di dalam vagina ke atas (Astuti
dkk, 2015).
c. Pre-eklamsia dan eklamsia
Pre-eklamsia adalah tekanan darah tinggi yang disertai dengan
proteinuria (protein dalam kemih) atau edema (penimbunan cairan)
yang terjadi pada kehamilan 20 minggu sampai akhir minggu pertama
setelah persalinan. Kelanjutan pre-eklamsia berat menjadi eklamsia
dengan tambahan gejala kejang dan/atau koma (Astuti dkk, 2015 dan
Manuaba, 2010).
Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pada wanita
yang sebelum kehamilannya memiliki tekanan darah normal
(normotensi) atau dapat memperberat keadaan hipertensi yang
sebelumnya telah ada. Hipertensi dalam kehamilan atau yang dikenal
sebagai pre-eklamsi, dan jika hipertensi ini disertai kejang maka disebut
sebagai eklamsia merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di
Indonesia. Pre-eklamsia dan eklamsia ini juga dapat terjadi pada masa
nifas (Astuti dkk, 2015).
Hipertensi didiagnosis jika tekanan darah mencapai 140/90
mmHg atau lebih. Edema sudah tidak lagi digunakan sebagai kriteria
diagnostik karena juga terjadi pada banyak wanita hamil normal.
Dahulu dianjurkan bahwa digunakan parameter peningkatan tekanan
darah sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg sebagai diagnostik,
meskipun nilai absolut masih dibawah 140/90 mmHg. Kriteria ini tidak
lagi dianjurkan karena bukti-bukti memperlihatkan bahwa wanita dalam
kelompok ini kecil kemungkinannya mengalami gangguan pada hasil
akhir kehamilan mereka. Tetapi, wanita yang mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg perlu diawasi
secara ketat (Leveno dkk, 2013).
Pre-eklamsia dan eklamsia merupakan penyebab kematian ibu
dan perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang. Kematian
akibat eklamsia meningkat lebih tajam dibandingkan pada tingkat pre-
eklamsia berat. Kejadian pre-eklamsia dan eklamsia bervariasi di setiap
negara bahkan pada setiap daerah. Dijumpai beberapa faktor yang
mempengaruhi diantaranya jumlah primigravida, terutama primigravida
muda, distensi hamil berlebihan, penyakit yang menyertai kehamilan
dan jumlah usia ibu lebih dari 35 tahun (Manuaba, 2010).
d. Partus macet atau partus lama
Partus lama terjadi sejak ibu mulai merasa mulas sampai
melahirkan bayi, biasanya berlangsung kurang dari 12 jam. Kasus bayi
belum lahir lebih dari 12 jam sejak mulas, persalinan tersebut tergolong
lama (Syafrudin dan Hamidah, 2009).
Partus lama disebabkan oleh adanya kemungkinan kelainan yang
terjadi pada jalan lahir seperti terjadi kesempitan jalan lahir, mengubah
posisi dan kebutuhan janin intrauterin, ada penghalang jalan lahir,
ukuran janin terlalu besar sedangkan pelvis normal sehingga terjadi
disproporsi sefalopelvik dan serviks kaku. Keadaan janin yang dapat
menyebabkan partus lama adalah letak janin yang membujur sehingga
letak sungsang, ukuran janin terlalu besar, lilitan tali pusat, dan bagian
terendah belum masuk disproporsi sefalopelvik, serta adanya kelainan
pada janin yaitu tumor abdomen, anensefali, dan hidrosefalus
(Manuaba, 2010).
e. Ruptura uterus
Ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim
akibat dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptura uteri
adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salah satu diagnosis banding apabila wanita
dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti
dengan syok dan perdarahan pervaginam (Saifudin, 2010). Robekan
jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi
banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi, yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi.
Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks dan
robekan uterus (ruptur uteri) (Manuaba. 2010).
2. Determinan antara
Determinan antara merupakan keadaan atau hal-hal yang
melatarbelakangi dan menjadi penyebab langsung serta tidak langsung
dari kematian ibu meliputi status kesehatan ibu, status reproduksi, akses
terhadap pelayanan kesehatan dan perilaku penggunaan pelayanan
kesehatan.
a. Status kesehatan ibu
Menurut McCarthy dan Maine status kesehatan ibu yang
berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal meliputi status gizi,
anemia, riwayat penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi
pada kehamilan dan persalinan sebelumnya.
1) Status gizi
Status gizi merupakan hal yang penting diperhatikan pada
masa kehamilan, karena faktor gizi sangat berpengaruh
terhadap status kesehatan ibu selama hamil serta berguna untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin. Hubungan antara gizi
ibu hamil dan kesejahteraan janin merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan. Keterbatasan gizi selama hamil
sering berhubungan dengan faktor ekonomi, pendidikan, sosial
atau keadaan lain yang meningkatkan kebutuhan gizi ibu hamil
dengan penyakit infeksi tertentu termasuk persiapan fisik untuk
persalinan.
(Jannah, 2012) Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil
pengukuran terhadap lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran
LILA bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil termasuk
kategori kurang energi kronis (KEK) atau tidak. Ibu dengan
status gizi buruk memiliki risiko untuk terjadinya perdarahan
dan infeksi pada masa nifas. Keadaan kurang gizi sebelum dan
selama kehamilan memberikan kontribusi terhadap rendahnya
kesehatan ibu, masalah dalam persalinan dan masalah pada bayi
yang dilahirkan (Andriani dan Wirjatmadi, 2012) Standar
minimal ukuran LILA pada wanita dewasa atau usia reproduksi
adalah 23,5 cm. Ukuran LILA < 23,5 cm maka interpretasinya
adalah Kurang Energi Kronik (KEK). (Jannah, 2012).
2) Status Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan
zat besi. Anemia pada kehamilan merupakan masalah nasional
karena mencerminkan nilai kesejateraan sosial ekonomi
masyarakat, dan pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas
sumberdaya manusia. Anemia kehamilan disebut “potential
danger mother and child” (potensi membahayakan ibu dan
anak). Menurut WHO, kejadian anemia kehamilan berkisar
antara 20% dan 89% dengan menetapkan Hb 11 g% (g/dl)
sebagai dasarnya (Manuaba, 2010).
Ibu yang anemia tidak dapat mentoleransi kehilangan darah
seperti perempuan sehat tanpa anemia. Pada waktu persalinan,
kehilangan darah 1.000 ml tidak mengakibatkan kematian pada
ibu sehat, tetapi pada ibu anemia, kehilangan darah kurang dari
itu dapat berakibat fatal. Ibu anemia juga meningkatkan risiko
operasi atau penyembuhan luka tidak segera sehingga luka
terbuka seluruhnya (Saifudin, 2010).
3) Riwayat penyakit
Kematian ibu tidak langsung merupakan akibat dari
penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu
kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya
malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular
(Saifudin, 2010).
Kehamilan dengan penyakit jantung selalu saling
mempengaruhi karena kehamilan memberatkan penyakit
jantung dapat mempengaruhi petumbuhan dan perkembangan
janin dalam rahim. Jantung yang normal dapat menyesuaikan
diri terhadap segala perubahan sistem jantung dan pembuluh
darah yang disebabkan oleh kehamilan (Manuaba, 2010).
Hipertensi yang menyertai kehamilan adalah hipertensi
yang telah ada sebelum kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan
yang disertai proteinuria dan edema maka disebut pre-eklamsi.
Penyebab utama hipertensi pada kehamilan adalah hipertensi
esensial dan penyakit ginjal (Manuaba, 2010).
Diabetes dalam kehamilan telah lama diketahui sebagai
masalah serius baik bagi ibu dan janin. Pada masa sebelum
ditemukan insulin, ibu mengidap diabetes jarang menjadi
hamil. mereka yang hamil jarang mencapai kehamilan cukup
bulan. Penanganan Pengidap penyakit diabetes telah membaik
selama 50 tahun terakhir. Lindsay dalam Wylie (2010)
menyimpulkan bahwa lahir mati, mortalitas perinatal, dan
abnormalitas kongenital tetap 2-5 kali lebih sering
dibandingkan kehamilan yang tidak diperumit oleh diabetes
(Wylie dan Bryce, 2010).
Malaria meningkatkan risiko anemia ibu, prematuritas, dan
berat badan lahir rendah pada kehamilan pertama. Infeksi HIV
juga meningkatkan risiko komplikasi malaria. Hepatitis virus
dalam kehamilan merupakan keadaan yang meningkatkan case
fatality rate 35 kali daripada ibu tidak hamil. Hepatitis virus
umumnya terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dapat
menyebabkan persalinan prematur, gagal hati, perdarahan dan
janin pada umumnya sulit diselamatkan. (Saifudin, 2010)
4) Riwayat komplikasi kehamilan dan persalinan sebelumnya
Menurut Manuaba, ibu hamil yang memiliki risiko tinggi
adalah ibu hamil dengan riwayat komplikasi kehamilan seperti
keguguran berulang, sering mengalami perdarahan saat hamil
dan terjadi infeksi saat hamil serta ibu hamil dengan riwayat
komplikasi persalinan seperti persalinan prematur, persalinan
dengan berat bayi lahir rendah, persalinan lahir mati, persalinan
dengan perdarahan postpartum dan persalinan dengan tindakan
(ekstraksi forseps, ekstraksi vakum letak sungsang, operasi
sesar). (Manuaba, 2010)
b. Status Reproduksi
Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian
kematian ibu adalah umur ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak
kehamilan dan status perkawinan ibu (McCharty dan Maine, 1992)
1) Umur
Faktor tidak langsung kematian ibu diantaranya adalah faktor
usia terlalu tua yaitu usia diatas 35 tahun dan usia terlalu muda yaitu
usia dibawah 20 tahun. Di Indonesia 1 dari 10 kehamilan terjadi
pada remaja berusia 15-19 tahun. Kehamilan remaja berusia dibawah
18 tahun berdampak negatif pada kesehatan. Risiko kesakitan dan
kematian yang terjadi 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan
pada usia yang lebih matang. (WHO. 2018 dan GKIA, 2016)
Usia diatas 20 tahun dan dibawah 35 tahun adalah usia yang
ideal bagi wanita untuk hamil. Wanita usia dibawah 20 tahun
memiliki risiko yang tinggi apabila hamil karena organ reproduksi
untuk gadis dibawah 20 tahun belum siap untuk berhubungan seks
atau mengandung sehingga jika terjadi kehamilan berisiko
mengalami tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat),
kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, dan berisiko terkena
penyakit kanker serviks. (Dewi, 2016)
Kehamilan pada usia diatas 35 tahun juga merupakan risiko
tinggi untuk hamil, karena organ reproduksi wanita yang sudah
mengendur, banyak penyakit yang menghampiri seperti penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus sehingga wanita
harus berhati-hati ketika memutuskan melahirkan diatas usia 35
tahun. Wanita hamil usia diatas 35 tahun biasanya dokter
menyarankan untuk sering check up kehamilan atau menjalani
serangkaian test, konseling genetik dan skrining kendala-kendala
yang mungkin terjadi pada wanita hamil usia diatas 35 tahun. (Dewi,
2016)
2) Paritas
Paritas ≤ 1 dan usia muda berisiko karena ibu belum siap secara
medis maupun secara mental, sedangkan paritas di atas 4 dan usia
tua, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani
kehamilan.(Fibriana, 2007)
3) Jarak kehamilan
Jarak kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2 tahun) merupakan
faktor tidak langsung penyebab kematian ibu di Indonesia. Jarak
antar kehamilan yang disarankan pada umumnya adalah paling
sedikit dua tahun, untuk memungkinkan tubuh wanita dapat pulih
dari kebutuhan ekstra pada masa kehamilan dan laktasi. (GKIA,
2016)
4) Status perkawinan
Status perkawinan yang mendukung terjadinya kematian
maternal adalah status tidak menikah. Status ini merupakan indikator
dari suatu kehamilan yang tidak diharapkan atau direncanakan.
Wanita dengan status perkawinan tidak menikah pada umumnya
cenderung kurang memperhatikan kesehatan diri dan janinnya
selama kehamilan dengan tidak melakukan pemeriksaan antenatal,
yang mengakibatkan tidak terdeteksinya kelainan yang dapat
mengakibatkan terjadinya komplikasi. (WHO dalam Fibriana, 2007)
c. Akses terhadap Pelayanan Kesehatan
Hal ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat
pelayanan kesehatan, dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak
strategis/sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses
ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan
yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi. Umumnya
kematian maternal di negara – negara berkembang, berkaitan dengan
setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models).
Keterlambatan pertama sering dipengaruhi lambatnya pengambilan
keputusan dari pihak keluarga. Pengenalan tanda bahaya oleh tenaga
kesehatan juga memengaruhi ketepatan waktu pengambilan keputusan
merujuk. (GKIA, 2016)
Keterlambatan kedua sering dipengaruhi hambatan biaya dan
transportasi dalam mendapatkan pelayanan. Masyarakat di Indonesia
belum semua memanfaatkan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) karena masih ada ketakutan bahwa petugas akan meminta
tambahan biaya serta akan adanya perlakuan serta kualitas pelayanan
kesehatan jika menggunakan JKN. (GKIA, 2016)
Keterlambatan ketiga terkait dengan lambatnya tenaga
kesehatan di fasilitas dalam menangani kasus-kasus rujukan. Ini
menjadi indikator masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan di
Indonesia (Kemenkes dalam GKIA, 2016)
d. Perilaku Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan antara lain
meliputi perilaku penggunaan alat kontrasepsi, dimana ibu yang
mengikuti program Keluarga Berencana (KB) akan lebih jarang
melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak ber KB, perilaku
pemeriksaan antenatal, dimana ibu yang melakukan pemeriksaan
antenatal secara teratur akan terdeteksi masalah kesehatan dan
komplikasinya, penolong persalinan, dimana ibu yang ditolong oleh
dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan, serta
tempat persalinan, dimana persalinan yang dilakukan di rumah akan
menghambat akses untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. (WHO dalam Fibriana, 2007).
Menurut Arsmstrong (1998) program KB memungkinkan
wanita untuk merencanakan kehamilan sedemikian rupa sehingga dapat
menghindari kehamilan pada usia tertentu atau jumlah persalinan yang
membawa bahaya tambahan, dan dengan cara menurunkan tingkat
kesuburan secara umum, yaitu dengan mengurangi jumlah kehamilan.
Di samping itu, program KB dapat mengurangi jumlah kehamilan yang
tidak diinginkan sehingga mengurangi praktik pengguguran yang ilegal,
berikut kematian yang ditimbulkannya. Fibriana (2007)
mengungkapkan bahwa ibu yang tidak pernah KB memiliki risiko
untuk mengalami kematian maternal 33,1 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang mengikuti program KB.
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang
dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu dan janinnya secara berkala,
yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang
ditemukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu bidan, dokter
dan perawat yang sudah terlatih. Tujuannya adalah untuk menjaga agar
ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan
baik dan selamat. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali
selama kehamilan, dengan ketentuan satu kali pada trimester pertama
(usia kehamilan sebelum 14 minggu), satu kali selama trimester kedua
(antara 14 sampai dengan 28 minggu), dan dua kali selama trimester
ketiga (antara minggu 28 s/d 36 minggu dan setelah 36 minggu).
Pemeriksaan antenatal dilakukan dengan standar „5 T‟ yang meliputi :
timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri,
pemberian imunisasi tetanus toksoid, dan 5) pemberian tablet tambah
darah 90 tablet selama hamil (Depkes RI dalam Widaryatmo, 2010).
WHO (1999) menemukan bahwa sebagian besar komplikasi
obstetri terjadi pada saat persalinan berlangsung. Untuk itu diperlukan
tenaga profesional yang dapat secara cepat mengenali adanya
komplikasi yang dapat mengancam jiwa ibu dan sekaligus melakukan
penanganan tepat waktu untuk menyelamatkan jiwa ibu. Angka
kematian maternal akan dapat diturunkan secara adekuat apabila 15%
kelahiran ditangani oleh dokter dan 85% ditangani oleh bidan. Rasio ini
paling efektif bila bidan dapat menangani persalinan 29 normal, dan
dapat secara efektif merujuk 15% persalinan yang mengalami
komplikasi kepada dokter.
3. Determinan jauh
Determinan jauh ini tidak secara langsung mempengaruhi
kematian maternal, akan tetapi faktor sosio kultural, ekonomi, dan
faktorfaktor lain juga perlu dipertimbangkan dan disatukan dalam
pelaksanaan intervensi penanganan kematian maternal.
a. Pendidikan
Termasuk dalam determinan jauh adalah status wanita dalam
keluarga dan masyarakat, yang meliputi tingkat pendidikan, dimana
wanita yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan tingkat
pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian
mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya
terutama dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan.
Ibuibu terutama di daerah pedesaan atau daerah terpencil dengan
pendidikan rendah, tingkat independensinya untuk mengambil
keputusanpun rendah. Pengambilan keputusan masih berdasarkan
pada budaya „berunding‟ yang berakibat pada keterlambatan
merujuk. Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang
tandatanda bahaya pada kehamilan mendasari pemanfaatan sistem
rujukan yang masih kurang.
Ditemukan bahwa faktor yang berpengaruh paling penting dalam
perilaku mencari pelayanan kesehatan antenatal adalah pendidikan.
90% wanita yang 30 berpendidikan minimal sekolah dasar telah
mencari pelayanan kesehatan antenatal. (Saifudin, 2010)
Tingkat pendidikan ibu hamil sangat berperan dalam kualitas
perawatan bayinya. Penguasaan pengetahuan erat kaitannya dengan
tingkat pendidikan seseorang (Jannah, 2012). Penelitian yang
dilakukan di RSUD DR. Soesilo Slawi menemukan bahwa
pendidikan ibu < SMP memiliki risiko 3,818 kali mengalami
kematian dibandingkan ibu yang memiliki pendidikan > SMP. (Ien
dan Fibriana, 2017)
b. Pendapatan
Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya peran serta
masyarakat pada upaya kesehatan. Kematian maternal sering terjadi
pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal di tempat
terpencil, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk
memperjuangkan kehidupannya sendiri. Wanita-wanita dari keluarga
dengan pendapatan rendah memiliki risiko kurang lebih 300 kali
untuk menderita kesakitan dan kematian maternal bila dibandingkan
dengan mereka yang memiliki pendapatan yang lebih baik. Tingkat
sosial ekonomi terbukti sangat berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan fisik dan psikologis ibu hamil. Ibu hamil yang lebih tinggi
sosial ekonominya akan lebih fokus untuk mempersiapkan fisik dan
mentalnya sebagai seorang ibu. ibu hamil yang lebih rendah
ekonominya maka ia akan mendapat banyak kesulitan, terutama
masalah pemenuhan kebutuhan primer. (Jannah, 2012) 31
c. Wilayah Tempat
Tinggal Letak geografis sangat menentukan terhadap pelayanan
kesehatan dalam pelaksanaan antenatal care. Ibu hamil yang tinggal di
wilayah terpencil umumnya desa-desa yang masih terisolisir dan
transportasi yang sulit terjangkau, sehingga untuk menempuh
perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan akan memerlukan waktu
yang lama, sementara ibu hamil harus memeriksakan kehamilannya
(Meilani,dkk, 2009). Kejadian kematian ibu lebih tinggi pada wanita
yang tinggal di daerah pedesaan dan di antara komunitas yang lebih
miskin. (WHO. 2018)
E. Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka kematian
ibu. Pada tahun 1987 untuk pertama kalinya di tingkat internasional
diadakan konferensi tentang kematian ibu di Nairobi, Kenya. Tahun 1990
diadakan World Summit for Children di New York, Amerika Serikat yang
membuahkan tujuh tujuan utama, diantaranya menurunkan angka
kematian ibu menjadi separuh pada tahun 2000. Pada konferensi tersebut
hadir wakil dari 127 negara. Tahun 1994, diadakan pula International
Conference on Population and Develoment (ICPD) di Kairo, Mesir yang
menyatakan bahwa kebutuhan kesehatan reproduksi pria dan wanita sangat
vital bagi pembangunan sosial dan pengembangan SDM. Tahun 1995 di
Beijing, Cina diadakan Fourth World Conference on Women. Tahun 1997
di Colombo, Sri Lanka diselenggarakan Safe Motherhood Technical
Consultation. (Saifudin, 2009).
Konferensi yang terakhir, yaitu The Millenium Summit in 2000,
dimana semua anggota PBB berkomitmen pada Milleni um Development
Goals (MDGs) untuk menurunkan tiga perempat angka kematian pada
tahun 2015 dan untuk membangun upaya yang telah dilakukan dalam
MDGs, WHO mencanangkan agenda baru yakni Sustainable Development
Goals (SDGs) berupa pembangunan berkelanjutan dengan salah satu
targetnya menurunkan AKI dibawah 70 per 100.000 kelahiran hidup
hingga tahun 2030 (WHO, 2015)
Indonesia telah mencanangkan Making Pregnancy Safer (MPS)
sebagai strategi pembangunan kesehatan masyarakat menuju Indonesia
sehat 2010 pada 12 Oktober 2000, sebagai bagian dari program Safe
Motherhood. Tujuan dari Safe Motherhood dan Making Pregnancy Safer
sama yaitu melindungi hak reproduksi dengan mengurangi beban
kesakitan, kecacatan, dan kematian berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan yang seharusnya tidak perlu terjadi. (Martadisoebrata,
Sastrawinata dan Saifudin, 2011)
Safe Motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita
agar kehamilan dan persalinannya sehat dan aman, serta melahirkan bayi
yang sehat. Tujuan upaya Safe Motherhood adalah menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu hamil, bersalin dan nifas, dan menurunkan
angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir. Upaya ini terutama
ditujukan pada negara yang sedang berkembang karena 99% kematian ibu
di dunia terjadi di negara-negara tersebut. (Syafrudin dan Hamidah, 2009)
Intervensi strategis dalam upaya Safe Motherhood dinyatakan
sebagai empat pilar Safe Motherhood, yaitu :
1. Keluarga Berencana, yang memastikan bahwa setiap orang/pasangan
memiliki akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat
merencanakan waktu yang tepat untuk kehamilan, jarak kehamilan dan
jumlah anak. Adanya KB diharapkan tidak ada kehamilan yang tidak
diinginkan, yaitu kehamilan yang masuk dalam kategori “4 terlalu”,
yaitu terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil
dan terlalu banyak anak
2. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila
mungkin, dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin
serta ditangani secara memadai.
3. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan
memiliki pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan
pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas
kepada ibu dan bayi.
4. Pelayanan obstetri esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetri
untuk risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang
membutuhkannya.
F. Tanda Bahaya Kehamilan
Tanda bahaya kehamilan adalah tanda-tanda yang mengindikasikan
adanya bahaya yang dapat terjadi selama kehamilan/periode antenatal,
yang apabila tidak dilaporkan atau tidak terdeteksi bisa menyebabkan
kematian ibu (Pusdiknakes, 2013).
Menurut Kusmiyati dkk (2013), kehamilan merupakan hal yang
fisiologis. Namun kehamilan yang normal dapat berubah menjadi patologi.
Salah satu asuhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menapis
adanya risiko ini yaitu melakukan pendeteksian dini adanya komplikasi/
penyakit yang mungkin terjadi selama hamil.
1. Deteksi Dini Tanda Bahaya Kehamilan
Pada umumnya 80-90% kehamilan berlangsung normal dan hanya
10-12% kehamilan yang disertai dengan penyulit atau berkembang
menjadi kehamilan patologis. Kehamilan patologis tidak terjadi secara
mendadak karena kehamilan dan efeknya terhadap organ tubuh
berlangsung secara bertahap dan berangsur-angsur.
Deteksi dini gejala dan tanda bahaya selama kehamilan merupakan
upaya terbaik untuk mencegah terjadinya gangguan yang serius terhadap
kehamilan ataupun keselamatan ibu hamil. Faktor 12 predisposisi dan
adanya penyulit penyerta sebaiknya diketahui sejak awal sehingga dapat
dilakukan berbagai upaya maksimal untuk mencegah gangguan yang berat
baik terhadap kehamilan dan keselamatan ibu maupun bayi yang
dikandungnya.
2. Macam-macam Tanda Bahaya Kehamilan
1) Tanda Bahaya Kehamilan Trimester I (0 – 12 minggu)
a) Perdarahan Pada Kehamilan Muda
Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah
terjadinya perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap
kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan dengan kejadian
abortus, misscarriage, early pregnancy loss. Perdarahan pada
kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan
pertimbangan masing-masing, setiap terjadinya perdarahan pada
kehamilan maka harus selalu berfikir tentang akibat dari perdarahan
ini yang menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan.
(1) Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan
ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram. Penyebab kematian ibu dikarenakan abortus (5%).
1) Abortus Imminens (threatened)
Abortus imminens dicurigai bila terdapat
pengeluaran vagina yang mengandung darah, atau
perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan.
Abortus imminens dapat atau tanpa disertai rasa mules
ringan, dengan pada waktu menstruasi atau nyeri pinggang
bawah. Perdarahan pada abortus imminens seringkali hanya
sedikit, namun hal tersebut berlangsung beberapa hari atau
minggu. Pemeriksaan vagina pada kelainan ini
memperlihatkan tidak adanya pembukaan serviks.
Sementara pemeriksaan dengan real time ultrasound pada
panggul menunjukkan ukuran kantong amnion normal,
jantung janin berdenyut, dan kantong amnion kosong,
serviks tertutup, dan masih terdapat janin utuh.
2) Abortus Insipien (inevitable)
Merupakan suatu abortus yang tidak dapat
dipertahankan lagi ditandai dengan pecahnya selaput janin
dan adanya pembukaan serviks. Pada keadaan ini
didapatkan juga nyeri perut bagian bawah atau nyeri kolek
uterus yang hebat. Pada pemeriksaan vagina
memperlihatkan dilatasi osteum serviks dengan bagian
kantung konsepsi menonjol. Hasil Pemeriksaan USG
mungkin didapatkan jantung janin masih 14 berdenyut,
kantung gestasi kosong (lima hingga enam minggu) uterus
kosong (tiga-lima minggu) atau perdarahan subkorionik
banyak di bagian bawah.
3) Abortus Incompletus (incomplete)
Adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa yang
tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, canalis
servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam cavum
uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari osteum uteri
eksternum. Pada USG didapatkan endometrium yang tipis
dan ireguler.
4) Abortus Completus (complete)
Pada abortus completus semua hasil konsepsi sudah
dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit,
osteum uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak
mengecil. Selain ini, tidak ada lagi gejala kehamilan dan uji
kehamilan menjadi negatif. Pada pemeriksaan USG
didapatkan uterus yang kosong.
5) Missed Abortion
Adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu,
tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama delapan
minggu atau lebih.
6) Abortus Habitualis (habitual abortion)
Adalah abortus spontan yang terjadi berturutturut
tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar
menjadi hamil, namun kehamilannya berakhir sebelum 28
minggu.
(2) Kehamilan Ektopik
Adalah kehamilan yang pertumbuhan sel telur telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri.
Lebih dari 95% kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba
Fallopii). Kejadian kehamilan ektopik tidak terjadi diantara senter
pelayanan kesehatan. Hal ini bergantung pada kejadian salpingitis
seseorang. Di Indonesia kejadian sekitar lima-enam perseribu
kehamilan.
Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering
karena sel telur yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju
endometrium tersendat sehingga embrio sudah berkembang
sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya tumbuh di luar
rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebut tidak dapat
menyesuaikan diri dengan besarnya buah kehamilan, hal ini dapat
menyebabkan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik
terganggu.
Tanda dan gejala pada kehamilan muda, dapat atau tidak
ada perdarahan pervaginam, ada nyeri perut kanan/kiri bawah.
Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang
terkumpul dalam peritoneum. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
rahim yang juga membesar, adanya tumor didaerah adneksa.
Adanya tandatanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, pucat dan
ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut yaitu perut
tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding
abdomen. Dari pemeriksaan dalam serviks teraba lunak, nyeri
tekan, nyeri pada uterus kanan dan kiri.
(3) Mola Hidatidosa
Adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis
mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara
makroskopik, molahidatidosa mudah dikenal yaitu berupa
gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan
jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai
satu atau dua cm. Permulaannya gejala mola hidatidosa tidak
seberapa berbeda dengan kehamilan biasa yaitu mual, muntah,
pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih
hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada
umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula
kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun
jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan
jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan
kemungkinan adanya dying mole.
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya
keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke
rumah sakit.Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan
pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat
perdarahan bisa intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan
ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan
anemia.
2) Tanda Bahaya Kehamilan Trimester II (13 – 28 minggu)
a) Demam Tinggi
Ibu menderita demam dengan suhu tubuh >38ºC dalam
kehamilan merupakan suatu masalah. Demam tinggi dapat
merupakan gejala adanya infeksi dalam kehamilan. Penyebab
kematian ibu karena infeksi (11%). Penanganan demam antara lain
dengan istirahat baring, minum banyak dan mengompres untuk
menurunkan suhu.
Demam dapat disebabkan oleh infeksi dalam kehamilan
yaitu masuknya mikroorganisme pathogen ke dalam tubuh wanita
hamil yang kemudian menyebabkan timbulnya tanda atau gejala–
gejala penyakit. Pada infeksi berat dapat terjadi demam dan
gangguan fungsi organ vital. Infeksi dapat terjadi selama
kehamilan, persalinan dan masa nifas.
b) Bayi Kurang Bergerak Seperti Biasa
Gerakan janin tidak ada atau kurang (minimal tiga kali
dalam satu jam). Ibu mulai merasakan gerakan bayi selama bulan
ke-lima atau ke-enam. Jika bayi tidak bergerak seperti biasa
dinamakan IUFD (Intra Uterine Fetal Death). IUFD adalah tidak
adanya tanda-tanda kehidupan janin didalam kandungan. Beberapa
ibu dapat merasakan gerakan bayinya lebih awal. Jika bayi tidur
gerakannya akan melemah. Bayi harus bergerak paling sedikit tiga
kali dalam satu jam jika ibu berbaring atau beristirahat dan jika ibu
makan dan minum dengan baik.
c) Selaput Kelopak Mata Pucat
Merupakan salah satu tanda anemia. Anemia dalam
kehamilan adalah kondisi ibu dengan keadaan hemoglobin di
bawah <10.5 gr% pada trimester II. Anemia pada trimester II
disebabkan oleh hemodilusi atau pengenceran darah. Anemia
dalam kehamilan disebabkan oleh difisiensi besi.
3) Tanda Bahaya Kehamilan Trimester III (29 – 42 minggu)
a) Perdarahan Pervagina
Penyebab kematian ibu dikarenakan perdarahan (28%).
Pada akhir kehamilan perdarahan yang tidak normal adalah merah,
banyak dan kadang-kadang tidak disertai dengan rasa nyeri.
Perdarahan semacam ini berarti plasenta previa. Plasenta previa
adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat yang
abnormal yaitu segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian
atau seluruh ostium uteri interna.
Penyebab lain adalah solusio plasenta dimana keadaan
plasenta yang letaknya normal, terlepas dari perlekatannya sebelum
janin lahir, biasanya dihitung sejak kehamilan 28 minggu.
b) Sakit Kepala yang Hebat
Sakit kepala selama kehamilan adalah umum, seringkali
merupakan ketidaknyamanan yang normal dalam kehamilan. Sakit
kepala yang menunjukkan masalah yang serius adalah sakit kepala
hebat yang menetap dan tidak hilang dengan beristirahat. Kadang-
kadang dengan sakit kepala yang hebat tersebut, ibu mungkin
mengalami penglihatan yang kabur. Sakit kepala yang hebat dalam
kehamilan adalah gejala dari pre-eklampsia.
c) Penglihatan Kabur
Penglihatan menjadi kabur atau berbayang dapat
disebabkan oleh sakit kepala yang hebat, sehingga terjadi oedema
pada otak dan meningkatkan resistensi otak yang mempengaruhi
sistem saraf pusat, yang dapat menimbulkan kelainan serebral
(nyeri kepala, kejang) dan gangguan penglihatan. Perubahan
penglihatan atau pandangan kabur, dapat menjadi tanda pre-
eklampsia. Masalah visual yang mengidentifikasikan keadaan yang
mengancam jiwa adalah perubahan visual yang mendadak,
misalnya penglihatan kabur atau berbayang, melihat bintik-bintik
(spot), berkunangkunang. Selain itu adanya skotama, diplopia dan
ambiliopia merupakan tanda-tanda yang menujukkan adanya
preeklampsia berat yang mengarah pada eklampsia. Hal ini
disebabkan adanya perubahan peredaran darah dalam pusat
penglihatan di korteks cerebri atau didalam retina (oedema retina
dan spasme pembuluh darah).
d) Bengkak di Muka atau Tangan
Hampir separuh dari ibu-ibu akan mengalami bengkak yang
normal pada kaki yang biasanya muncul pada sore hari dan
biasanya hilang setelah beristirahat atau meletakkannya lebih
tinggi. Bengkak dapat menunjukkan adanya masalah serius jika
muncul pada permukaan muka dan tangan, tidak hilang setelah
beristirahat, dan diikuti dengan keluhan fisik yang lain. Hal ini bisa
merupakan pertanda pre-eklampsia.
e) Janin Kurang Bergerak Seperti Biasa
Gerakan janin tidak ada atau kurang (minimal tiga kali
dalam satu jam), ibu mulai merasakan gerakan bayi selama bulan
ke-lima atau ke-enam. Jika bayi tidak bergerak seperti biasa
dinamakan IUFD (Intra Uterine Fetal Death).
IUFD adalah tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin di
dalam kandungan. Beberapa ibu dapat merasakan gerakan bayinya
lebih awal. Jika bayi tidur gerakannya akan melemah. Bayi harus
bergerak paling sedikit tiga kali dalam satu jam jika ibu berbaring
atau beristirahat dan jika ibu makan dan minum dengan baik.
f) Pengeluaran Cairan Pervagina (Ketuban Pecah Dini)
Yang dimaksud cairan di sini adalah air ketuban. Ketuban
yang pecah pada kehamilan aterm dan disertai dengan munculnya
tanda-tanda persalinan adalah normal. Pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda-tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum
dimulainya tanda-tanda persalinan ini disebut ketuban pecah dini.
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia
luar dan ruangan dalam rahim sehingga memudahkan terjadinya
infeksi. Makin lama periode laten (waktu sejak ketuban pecah
sampai terjadi kontraksi rahim), makin besar kemungkinan
kejadian kesakitan dan kematian ibu atau janin dalam rahim.
g) Kejang
Penyebab kematian ibu karena eklampsi (24%). Pada
umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya keadaan dan
terjadinya gejala-gejala sakit kepala, mual, nyeri ulu hati sehingga
muntah. Bila semakin berat, penglihatan semakin kabur, kesadaran
menurun kemudian kejang.
h) Selaput Kelopak mata Pucat
Merupakan salah satu tanda anemia. Anemia dalam
kehamilan adalah kondisi ibu dengan keadaan hemoglobin di
bawah 11 gr% pada trimester III. Anemia dalam kehamilan
disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tak
jarang keduanya bisa berinteraksi. Anemia pada Trimester III dapat
menyebabkan perdarahan pada waktu persalinan dan nifas, BBLR
(Bayi Berat Lahir Rendah) yaitu kurang dari 2500 gram).
i) Demam Tinggi
Ibu menderita demam dengan suhu tubuh >38ºC dalam
kehamilan merupakan suatu masalah. Demam tinggi dapat
merupakan gejala adanya infeksi dalam kehamilan. Penyebab
kematian ibu karena infeksi (11%). Penanganan demam antara lain
dengan istirahat baring, minum banyak dan mengompres untuk
menurunkan suhu. Demam dapat disebabkan oleh infeksi dalam
kehamilan disebabkan masuknya mikroorganisme pathogen ke
dalam tubuh wanita hamil yang kemudian menyebabkan timbulnya
tanda atau gejala–gejala penyakit. Pada infeksi berat dapat terjadi
demam dan gangguan fungsi organ vital, infeksi dapat terjadi
selama kehamilan, persalinan dan masa nifas.
3. Tujuan Mengenali Tanda Bahaya Kehamilan
Tujuan pentingnya mengetahui tanda bahaya kehamilan untuk
mengenali tanda-tanda yang mengancam bagi ibu hamil dan janinnya
sejak dini.
1.) Dapat mengambil tindakan yang tepat yaitu menghubungi
tenaga kesehatan terdekat bila menemui tanda bahaya kehamilan
untuk mendapat perawatan segera.
2.) Pengetahuan ibu hamil mengenai tanda bahaya kehamilan
membuat ibu menjadi lebih menyadari bahwa adanya tanda
bahaya kehamilan tersebut bisa jadi berdampak buruk pada
kesehatan ibu dan janin.
3.) Dengan pengetahuan yang baik, maka perilaku ibu hamil juga
bisa berubah menjadi lebih baik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kematian maternal atau kematian ibu menurut batasan dari The
Tenth Revision of International Cassification of Diseases (ICD-10) adalah
kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan atau dalam 42 hari
setelah kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan,
disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang
diperberat oleh kehamilan tersebut, atau penanganannya, akan tetapi bukan
kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan (WHO, 2015).
Tanda bahaya kehamilan adalah tanda-tanda yang mengindikasikan
adanya bahaya yang dapat terjadi selama kehamilan/periode antenatal,
yang apabila tidak dilaporkan atau tidak terdeteksi bisa menyebabkan
kematian ibu (Pusdiknakes, 2013).
Menurut Kusmiyati dkk (2013), kehamilan merupakan hal yang
fisiologis. Namun kehamilan yang normal dapat berubah menjadi patologi.
Salah satu asuhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menapis
adanya risiko ini yaitu melakukan pendeteksian dini adanya komplikasi/
penyakit yang mungkin terjadi selama hamil.
B. Saran
Diharapkan ibu hamil untuk lebih memperhatikan dan
memeriksakan kehamilannya ke pelayanan kesehatan sehingga dapat
mendeteksi dini apabila ditemukan faktor resiko yang dapat
membahayakan kehamilan sehingga diharapkan tidak terjadi komplikasi
pada kehamilan, persalinan dan nifas.
DAFTAR PUSTAKA

http://scholar.unand.ac.id/24446/2/BAB%201.pdf

https://core.ac.uk/download/pdf/322465718.pdf

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/3378/4/Chapter%201.pdf

http://repositori.unsil.ac.id/844/4/BAB%202%20TINJAUAN%20PUSTAKA
%20revisi.pdf

https://eprints.uad.ac.id/5410/1/17.%20ANALISIS%20FAKTOR%20KEJADIAN
%20KEMATIAN%20IBU%20DI%20KABUPATEN%20SERANG
%20BANTEN.pdf

Anda mungkin juga menyukai