Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kematian ibu


Definisi kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil atau sampai 42 hari
pasca persalinan, terlepas dari lama dan lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang
berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan komplikasi kehamilan atau manajemennya,
namun bukan oleh karena penyebab kecelakaan atau insidental. Untuk memudahkan identifikasi
kematian ibu dalam keadaan di mana sulit menentukan penyebab kematian, digunakan kategori
lain: yaitu kematian seorang wanita saat hamil atau dalam 42 hari pasca persalinan, terlepas dari
penyebab kematiannya(WHO). Penghitungan angka kematian ibu adalah jumlah kematian
selama periode tertentu per 100.000 kelahiran selama periode yang sama(Siti, 2015).

Berdasarkan definisi WHO tersebut menggambarkan adanya hubungan akibat dan sebab
antara kehamilan dan kematian maternal. Ibu yang hamil mungkin mengalami keguguran atau
kehamilan ektopik terganggu, atau ibu yang hamil mungkin meninggal dunia sebelum
melahirkan atau ibu yang hamil telah melahirkan seorang bayi dalam keadaan hidup atau mati
yang diikuti dengan komplikasi kehamilan persalinan dan nifas yang menyebabkan kematian
maternal.
Kematian dan kesakitan pada ibu hamil dan bersalin serta bayi baru lahir sejak lama telah
menjadi masalah, khususnya di negara-negara berkembang. Sekitar 25-50% kematian perempuan
usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan
menjadi faktor utama mortalitas perempuan pada masa puncak produktivitasnya. Walaupun
kematian ibu telah lama menjadi masalah di negara-negara berkembang, baru pada tahun 1987
untuk pertama kali diadakan Konferensi Internasional tentang kematian ibu di Nairobi Kenya.
Pada tahun 1990 dilangsungkan World Summit for children di New York, USA yang antara lain
bersepakat untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi separuh pada tahun 2000(Widodo et
al., 2017).
2.2. Penyebab Angka Kematian Ibu (AKI)
Penyebab kematian dan kesakitan ibu dan bayi telah dikenal sejak dulu dan tidak berubah
banyak. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan post partum,eklampsia, infeksi, aborsi tidak
aman, partus macet, dan sebab-sebab lain seperti kehamilan ektopik dan mola hidatidosa.
Keadaan ini diperkuat dengan kurang gizi, malaria, dan penyakit-penyakit lain seperti
tuberkulosis, penyakit jantung, hepatitis, asma, atau HIV. Pada kehamilan remaja lebih sering
terjadi komplikasi seperti anemia dan persalinan preterm. Sementara itu, terdapat berbagai
hambatan yang mengurangi akses memperoleh pelayanan kesehatan maternal bagi remaja,
kemiskinan, kebodohan, kesenjangan hak asasi pada remaja perempuan, kawin pada usia muda,
dan kehamilan yang tidak diinginkan. Kematian pada bayi baru lahir disebabkan oleh tidak
adekuatnya dan tidak tepatnya asuhan pada kehamilan dan persalinan, khususnya pada saat-saat
kritis persalinan. Konsumsi alkohol dan merokok merupakan penyebab kesakitan dan kematian
ibu dan bayi baru lahir yang seharusnya dapat dicegah. Ibu perokok berhubungan dengan
komplokasi seperti perdarahan, ketuban pecah dini, dan persalinan preterm. Juga dapat berakibat
pertumbuhan janin terhambat, berat badan lahir rendah, serta kematian janin. Konsumsi alkohol
selama kehamilan berhubungan dengan abortus, lahir mati, prematuritas, dan kelainan bawaan
fetal alcohol syndrome.
Menurut Saifudin (2002) kematian ibu dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Kematian obstetri langsung (direct obstetric death)
Kematian obstetri langsung yaitu kematian ibu yang disebabkan oleh komplikasi
kehamilan, persalinan dan nifas yang timbul akibat tindakan atau kelalaian dalam
penanganan. Komplikasi yang dimaksud antara lain perdarahan antepartum dan postpartum,
preeklamsia/eklamsia, infeksi, persalinan macet, dan kematian pada kehamilan mud
2. Kematian obstetri tidak langsung (indirect obstetric death)
Kematian obstetri tidak langsung adalah kematian ibu yang disebabkan oleh suatu
penyakit yang sudah diderita sebelum kehamilan atau persalinan yang berkembang dan
bertambah berat yang tidak berkaitan dengan penyebab obstetri langsung. Kematian obstetri
tidak langsung ini misalnya disebabkan oleh penyakit jantung, hipertensi, hepatitis, malaria,
anemia, tuberkulosis, HIV/AIDS, diabetes dan lain-lain.
Penyebab kematian ibu yang diakibatkan oleh kecelakaan atau kebetulan tidak di
klasifikasikan ke dalam kematian ibu yang ada hubungannya dengan kehamilan, persalinan dan
nifas. Kematian yang dihubungkan dengan kehamilan International Classifation of Deases
(ICD-10) memudahkan identifikasi penyebab kematian ibu ke dalam kategori baru yang disebut
pregnancy related death yaitu kematian wanita selama hamil atau dalam 42 hari setelah
berakhirnya kehamilan dan tidak tergantung dari penyebab kematian lain.
Batasan 42 hari ini dapat berubah karena telah diketahui bahwa dengan adanya prosedur-
prosedur dan teknologi baru maka terjadinya kematian dapat diperlama dan ditunda sehingga
ICD-10 juga memasukkan suatu kategori baru yang disebut kematian maternal terlambat (late
maternal death) yaitu kematian wanita akibat penyebab obstetric langsung atau tidak langsung
yang terjadi lebih dari 42 hari tetapi kurang dari satu tahun setelah berakhirnya kehamilan (WHO
et al, 2010).
2.3. Data angka kematian ibu (AKI)
Menurut data World Health Organization (WHO), angka kematian ibu di dunia pada
tahun 2015 adalah 216 per 100.000 kelahiran hidup atau diperkirakan jumlah kematian ibu
adalah 303.000 kematian dengan jumlah tertinggi berada di negara berkembang yaitu sebesar
302.000 kematian. Angka kematian ibu di negara berkembang 20 kali lebih tinggi dibandingkan
angka kematian ibu di negara maju yaitu 239 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan di negara
maju hanya 12 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (WHO, 2015).

Angka Kematian Ibu di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan survey penduduk
antar sensus ( SUPAS ) 2015 masih menempati posisi 305 per 100 ribu kelahiran hidup.
Sementara itu, data capaian kinerja Kemenkes RI Tahun 2015-2017 menunjukkan telah terjadi
penurunan jumlah kasus kematian ibu. Jika ditahun 2015 AKI mencapai 4.999 kasus maka
ditahun 2016 sedikit mengalami penurunan menjadi 4.912 kasus dan ditahun 2017 mengalami
penurunan tajam menjadi sebanyak 1.712 kasus AKI.

2.4. faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu (AKI)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu hamil diklasifikasi sebagai berikut:


2.4.1 Faktor Medis
Faktor medis yang dipengaruhi oleh status reproduksi dan status kesehatan ibu antara
lain: umur, paritas, jarak kehamilan dan penyakit ibu, anemia dan kurang gizi.
1. Umur ibu
Umur ibu saat kehamilan terakhir dihitung dalam tahun berdasarkan tanggal lahir atau
ulang tahun terakhir yang ada hubungannya dengan faktor risiko dalam kehamilan. Indeks
kehamilan risiko tinggi adalah usia ibu pada waktu hamil terlalu muda yaitu kurang dari 16
tahun atau lebih dari 35 tahun (Fortney dalam Manuaba2001). Total fertility rate (TFR)
adalah jumlah total anak yang mungkin akan dimiliki oleh seorang wanita sampai akhir
periode reproduksinya selama usia suburnya 15-49 tahun, atau disebut juga dengan rata-rata
jumlah kelahiran per wanita. (Merrill RM,2014).
2. Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang dilahirkan. Paritas yang
tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan persalinan diantaranya dapat
menyebabkan terganggunya transport O2 dari ibu ke janin sehingga terjadi asfiksia yang
dapat dinilai dari APGAR Score menit pertama setelah lahir.
Menurut Saifudin (2002) paritas/jumlah kehamilan 2 sampai 3 adalah paritas yang
paling aman dilihat dari sudut kematian ibu. Paritas kurang dari satu dan usia ibu terlalu
muda di kategorikan berisiko tinggi karena ibu belum siap secara mental maupun secara
medis sedangkan paritas diatas empat dan usia ibu terlalu tua secara fisik ibu mengalami
kemunduran untuk menjalani kehamilan.
3. Jarak kehamilan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau kurang dari dua tahun berisiko terhadap
kematian maternal dan tergolong dalam kelompok risiko tinggi untuk mengalami
perdarahan post partum. Jarak kehamilan yang disarankan pada umumnya adalah dua tahun
agar memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra pada masa kehamilan
dan laktasi.
2.4.2 Faktor Non Medis
Faktor non medis berkaitan dengan perilaku kesehatan ibu, status ibu dalam keluarga,
status sosial ekonomi dan budaya yang menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian
ibu adalah sebagai berikut: Kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan ANC/ante
natal care, terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidak
berdayaan sebagian besar ibu hamil di daerah terpencil maupun di perkotaan dalam pengambilan
keputusan untuk dirujuk.
1. Perilaku Kesehatan Ibu
Perilaku kesehatan ibu (health behavior) adalah respon seseorang terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang
mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan pelayanan
kesehatan.
2. Status ibu dalam keluarga.
Status ibu dalam keluarga berkaitan dengan status pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan begitu juga berkaitan dengan ketidakmampuan ibu mengambil keputusan dalam
keluarga. Pengambilan keputusan dalam keluarga sangat mempengaruhi keterlambatan
dalam merujuk ibu ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Masih sering ditemukan kasus
yang terlambat dirujuk karena masalah ketersediaan transportasi dan biaya juga masih
merupakan kendala dalam upaya penyelamatan dan rujukan ke Rumah Sakit sehingga
pemanfaatan pusat rujukan primer masih rendah (underutilized). Hal ini dipengaruhi oleh
faktor sosiobudaya, ketidaktahuan, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang diberikan.
3. Status kesehatan ibu .
Status kesehatan ibu hamil merupakan suatu proses yang membutuhkan perawatan
khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Resiko kehamilan ini bersifat dinamis karena
ibu hamil yang pada mulanya normal , secara tiba-tiba dapat berisiko tinggi. Jika status
kesehatan ibu hamil buruk, misalnya menderita anemia maka bayi yang dilahirkan berisiko
lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR ini memilki risiko kesakitan
seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian yang lebih tinggi dari pada bayi
yang dilahirkan dengan berat badan normal. Bagi ibu sendiri anemia ini meningkatkan
risiko pendarahan pada saat persalinan dan pasca persalinan, gangguan kesehatan bahkan
resiko kematian.
Menurut Lubis (2003) ibu hamil yang menderita Kekurangan Energi Kronik (KEK)
dan anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester ke tiga
kehamilan di bandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka mempunyai risiko
yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan,
perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan
kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan
lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan, bahkan dapat menganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga ibu hamil
dengan KEK akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap
infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, serta masalah perilaku.
Seorang ibu hamil juga memerlukan tambahan zat gizi besi rata-rata 20 mg per hari,
sedangkan kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg per hari
(Najoan dkk., 2011).
2.4.3 Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan
Menurut Dubois dan Miley (2005), sistem pelayanan kesehatan merupakan jaringan
pelayanan interdisipliner, komprehensif dan kompleks, terdiri dari aktivitas diagnosis, treatmen,
rehabilitasi, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan untuk masyarakat pada seluruh kelompok
umur dan dalam berbagai keadaan. Pelayanan kesehatan adalah sebuah upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan baik secara perorangan,
keluarga, kelompok ataupun masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Sistem Pelayanan Kesehatan antara lain :
1. Pergeseran masyarakat dan konsumen.
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen
terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. Sebagai
masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat, maka
mereka mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya hidup terhadap
kesehatan. Hal ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan juga
meningkat.
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan memadai
walau di sisi yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti meningkatnya biaya
pelayanan kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan dibutuhkannya tenaga
profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih modern.
3. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pengobatan, issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka
menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang memadai dan
kurang manusiawi sehingga persoalan hukum kerap akan membayanginya.
4. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat dirasakan
oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status ekonomi rendah
tidak akan mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna karena tidak dapat
menjangkau biaya pelayanan kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada
kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diberikan dan siapa yang
menanggung biaya pelayanan kesehatan karena sistem terbentuk dari subsistem yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi.
2.5.Upaya yang dilakukan dalam menurunkan angka kematian ibu (AKI)
1. Kesiapan Menghadapi Preeklampsia-eklampsia
Preeklampsia adalah komplikasi kehamilan yang dapat terjadi mulai umur kehamilan >
20 minggu, dengan hipertensi dan proteinuria. Bila terjadi kejang disebut eklampsia.
Pencegahan preeklampsia melalui penguatan asuhan antenatal yang terfokus. Deteksi
kemungkinan risiko preeklampsia dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan layanan primer, bila
ditemukan hal-hal berikut: adanya riwayat preeklampsia-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
atau pada saudara kandung, kehamilan primigravida, kehamilan ke- 3 atau lebih, obesitas Bila
pada pemeriksaan ANC ditemukan penyakit hipertensi, DM, autoimun, penyakit ginjal kronik,
maka harus dirujuk ke Spesialis Obgin di fasilitas yang lebih lengkap. Bila pada pemeriksaan
didapatkan faktor risiko sebagaimana di atas maka dilakukan pemantauan tekanan darah dan
protein dalam urin setiap 2 minggu. Bila kemudian ditemukan hipertensi atau tanda bahaya
untuk preeklampsia, maka segera dirujuk ke fasilitas lebih lengkap (spesialis obgin).
Tanda bahaya preeklampsia antara lain: sakit kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan
kabur, hematemesis, hematuria, proteinuria, kejang, mual - muntah, sesak, nyeri perut kuadran
atas, oligouria, skotoma. Bila terjadi preeklampsia berat, maka dilakukan pemberian magnesium
sulfat dan monitoring ketat ibu dan janinnya. Pertimbangkan untuk melakukan terminasi
kehamilan. Manajemen kegawatdaruratan pada eklampsia7 adalah ABCCCD:
Airway: Bebaskan jalan napas, miringkan 15-30° Breathing: Pasang oksigen 6-8 liter. Hal
ini sangat penting untuk mencegah terjadinya koma irreversible. Dahulukan pasang oksigen lalu
meminta pertolongan petugas lain. Bahkan, lebih penting mendahulukan pemberian oksigen
dibanding magnesium sulfat, oleh karena otak sedang dalam keadaan hipoksia dan sangat
mungkin iskemia, yang akan bertambah berat bila tidak ada suplai oksigen. Dengan pemberian
oksigen, biasanya terjadi resolusi dari keadaan kejang, sehingga selanjutnya dapat
mengoptimalkan kerja magnesium sulfat.
Circulation: Ukur tekanan darah, pasang infus larutan kristaloid. Control convulsion &
hypertension: Pemberian magnesium sulfat 40%, sebanyak 4 gram secara bolus intravena
perlahan-lahan, dilanjutkan tetesan ( drips ) 6 gram iv 28 tetes per menit. Bila terjadi kejang
berulang, diberikan bolus 2 gram intravena perlahan. Pemberian antihipertensi Nifedipin 10 mg
per 8 jam atau Nicardipin drips intravena bila terjadi hipertensi urgensi atau emergensi.
Continuous Monitoring: Evaluasi tanda vital, balans cairan, pasang kateter, evaluasi lab
penunjang Deliver the baby: Terminasi kehamilan baik secara pervaginam ataupun seksio sesar.
2. Kesiapan Menghadapi Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan pasca persalinan, perdarahan post partum ( PPH ) adalah perdarahan sesudah
persalinan dengan jumlah lebih dari 500 mL pada persalinan pervaginam, atau lebih 1000 mL
pada persalinan seksio sesar.
Pencegahan terjadinya perdarahan pasca persalinan adalah dengan antenatal yang
terfokus dan deteksi dini kemungkinan tanda bahaya, kenali kemungkinan risiko seperti: anak
besar, kehamilan multipel, polihidramnion, riwayat seksio sesar, riwayat induksi persalinan,
partus lama, partus presipitatus, penggunaan alat bantupersalinan (ekstraksi vakum atau forceps),
dan ibu dengan anemia. Bila ditemukan risiko untuk perdarahan, ibu dirujuk agar bersalin di
tempat dengan fasilitas yang lengkap dan ada spesialis Obgin. Pemasangan infus cairan
kristalloid sebaiknya sudah dilakukan bila ibu sudah masuk fase persalinan. Salah satu langkah
yang efektif untuk mencegah komplikasi perdarahan pada saat melahirkan plasenta adalah
manajemen aktif kala III, dengan menyuntikkan oksitosin segera setelah bayi lahir, meregangkan
tali pusat terkendali dan masase fundus uteri setelah plasenta lahir.
Perdarahan pasca persalinan selalu datang tiba-tiba, dramatis dan tak terduga. Manajemen
kegawatdaruratan pada perdarahan pasca persalinan terbagi dalam 4 tahap, yakni penilaian dan
penatalaksanaan awal, terapi penyebab, terapi PPH yang menetap, rujukan atau pembedahan.
Bila terjadi perdarahan pasca persalinan, maka tindakan yang paling pertama dilakukan adalah
nilai uterus (raba fundus uteri). Dalam sepersekian detik, penyebab atonia/hipotonia atau bukan,
sudah dapat ditegakkan. Bila terjadi atonia/ hipotonia, segera lakukan masase uterus dan
kompresi bimanual, sambil meminta petugas lain untuk memasang infus dan memberikan
uterotonika( prostaglandin dan oksitosin).
Penyebab perdarahan pasca persalinan sering disingkat dalam 4 T(tonus, tissue, trauma
dan thrombin). Terapi untuk tonus adalah masase fundus, kompressi bimanual, uterotonika dan
tamponade kondom kateter. Terapi untuk tissue (retensi atau sisa plasenta) adalah kuretase. Bila
didapatkan robekan ( perineum, vagina atau serviks ) harus segera dijahit, untuk menghentikan
perdarahan. Terapi untuk penyebab gangguan koagulasi adalah dengan penggantian faktor
pembekuan, yang biasanya dilakukan pada fasilitas yang lebih lengkap.
Salah satu tindakan yang cukup efektif dengan teknologi sederhana dan tepat guna dalam
membantu mengatasi perdarahan pasca persalinan adalah penggunaan tamponade kondom
kateter. Tepat guna dan sederhana, karena hanya menggunakan bahan-bahan yang sudah ada
seperti kondom, kateter urine, benang untuk mengikat kondom dan kateter, spekulum,
tenakulum, tampon tang atau cunam/ fenster, juga tampon kasa. Pemasangan tamponade in
mempunyai prinsip kondom yang telah mengembang seperti balon karena diisi oleh cairan akan
menekan pembuluh darah di cavum uteri dari dalam ke arah luar, mengisi ruangan cavum uteri
yang mengalami perlambatan berkontraksi oleh keadaan overdistended, sambil terus
mengupayakan kontraksi uterus dengan uterotonika. Tamponade tidak menyebabkan banyak
darah tertinggal dalam cavum uteri, seperti tamponade kasa. Bila kontraksi uterus sudah
membaik, tidak akan menghalangi kontraksi karena berbentuk balon dan elastis.
3. Pencegahan Infeksi Intrapartum
Persalinan yang bersih dan aman, di samping manajemen persalinan yang baik dengan
penggunaan partograf, penggunaan antibiotik secara rasional, manajemen ketuban pecah dini dan
pasca persalinan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi intrapartum. Infeksi
intrapartum bila bertambah berat, dapat jatuh ke dalam sepsis yang membahayakan jiwa ibu dan
bayi yang dilahirkan.
4. Menggiatkan Program Keluarga Berencana
Untuk menekan tingginya Angka Kematian Ibu, salah satu pilar dari Safe Motherhood
adalah Keluarga Berencana. Dengan menggunakan kontrasepsi, seorang ibu dapat merencanakan
keluarga lebih baik, karena tercegah dari jarak kehamilan yang terlalu dekat, tercegah dari
kehamilan yang berisiko, tercegah dari kehamilan yang tak diinginkan, tercegah dari aborsi, dan
dapat mengasuh anak-anak dan keluarganya dengan baik. Sehingga, upaya Keluarga Berencana
merupakan investasi paling cost-effective dalam pembangunan. Secara global, upaya KB menjadi
sangat krusial dalam pencapaian MDGs(Millenium Development Goals), karena terbukti dapat
menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan, peningkatan pendidikan secara universal,
kesetaraan gender, kesehatan ibu dan anak, pertumbuhan ekonomi, dan keberlangsungan
lingkungan.
5. Pemberdayaan Semua Pihak: Inovasi Praktek-praktek Terbaik di Masyarakat
Angka kematian ibu adalah resultante dari begitu banyak faktor. Masalah pendidikan,
keterbatasan akses, status ekonomi, sosial budaya masyarakat menjadi faktor yang berpengaruh
tidak langsung sehingga masih ada jutaan perempuan Indonesia mempunyai risiko mengalami
komplikasi kehamilan dan persalinan akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap tanda bahaya
kehamilan/persalinan(Maisuri, 2016)

DAFTAR PUSTAKA
WHO. World Health Statistic 2015: Word health Organization;2015.

Badan Pusat Statistik. 2016. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015.
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/dasar/pdf?kd=2&th=2015. Diakses pada tanggal 6 maret
2018

Maisuri, T. C. (2016) ‘Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu ’:, pp. 1–8.

Siti, Uswatun, C. (2015) ‘Peran Petugas Kesehatan Masyarakat Dalam Upaya Penurunan Angka
Kematian Ibu Pasca MDGs 2015’, pp. 73–79.

Widodo, Y. et al. (2017) ‘Angka Kematian Ibu Rendah dan Tinggi The Infuence of Social
Economic and Cultural Factors on Childbirth Behavior in Rural Area with High and Low
Maternal Mortality Ratio PENDAHULUAN Hasil estimasi Angka Kematian Ibu ( AKI ), atau
disebut juga Maternal Mor’, 8(1), pp. 77–88. doi: 10.22435/kespro.v8i1.6753.77-88.

Anda mungkin juga menyukai