Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan. Kemudian, Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekret presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu
antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin
PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada
angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa
tentara" subjek karya-karya mereka.
Tujuh korban peristiwa Gerakan 30 September tersebut adalah:
Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando
Operasi Tertinggi)
Mayor Jenderal TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)
Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (ajudan Jenderal Abdul Harris Nasution yang tewas
karena G30S mengira ia adalah Jenderal Nasution)
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
Tanda Tangan Orang
Nama Siswa Nama Guru
Tua