Anda di halaman 1dari 14

BAB III - Perkembangan Anak, Peran Keluarga dan Lingkungan

6 JPL (270 menit)

I. Tujuan Hasil Belajar


Setelah mengikuti sesi ini peserta pelatihan diharapkan dapat:
a. Menjelaskan tahap–tahap dalam perkembangan anak sehingga memahami latar belakang
perilaku anak pada setiap tingkatan usia
b. Menguraikan pentingnya peran keluarga dalam perkembangan anak
c. Menguraikan pentingnya peran lingkungan dalam perkembangan anak

II. Uraian Materi


1. Tahap Perkembangan Anak
Pengetahuan dan pemahaman tentang anak dan perkembangan mereka penting untuk
meningkatkan kualitas hidup anak. Terkadang terdapat bias-bias pada diri orang dewasa dalam
memandang anak, terutama berkaitan dengan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH),
namun dengan memahami tahap perkembangan akan menjadi kunci untuk memahami perilaku
mereka.

Ketika berbicara tentang ABH, maka hal yang menjadi perhatian adalah anak sebagai pelaku.
Untuk memahami mengapa anak bisa sampai melakukan tindak kejahatan, maka harus dipahami
tentang bagaimana cara anak berpikir dan berperilaku sehingga pertanyaan tentang sejauh mana
mereka paham akan perbuatan mereka dan dapat bertanggung jawab atas perbuatan mereka
serta jenis hukuman atau rehabilitasi seperti apa yang sesuai dengan jenis kejahatan mereka.
Selain anak sebagai pelaku, anak juga dapat bertindak sebagai saksi dan korban. Bagaimana cara
yang terbaik untuk mewawancarai anak, tingkat kepercayaan akan kesaksian anak, serta dampak
jangka panjang dari trauma masa kecil seperti perundungan baik fisik maupun seksual pada anak,
menjadi suatu hal yang penting untuk dipahami sehingga tercapai keadilan bagi pelaku dan
korban.
Remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja dipenuhi
dengan resiko yang berdampak pada perkembangan mereka, namun juga memiliki potensi
terhadap pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, kognitif, dan psikososial.

A. Perkembangan Kognitif
Ada beberapa aspek yang dapat menunjukkan kematangan fungsi kognitif dari remaja.
Walaupun cara berpikir remaja masih kurang matang dalam beberapa hal, mereka sudah
mampu untuk berpikir secara abstrak dan memiliki penilaian moral yang kompleks, serta
mereka juga sudah mulai mampu untuk melakukan perencanaan masa depan dengan
lebih realistis.

1. Tahap Operasi Formal Piaget


Menurut, Piaget (dalam Papalia, 2014), remaja memasuki tingkat tertinggi dalam tahap
perkembangan kognitif--operasional formal--ketika mereka mulai mengembangkan
kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Remaja mulai memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan masalah dengan berpikir secara hipotetis tanpa harus melihat atau
mengalami sendiri masalah yang harus dipecahkan. Akan tetapi, kemampuan ini
memiliki dampak emosional. Pada masa ini, remaja dapat memberikan penilaian
subyektif terhadap nilai-nilai yang mereka sukai atau tidak sukai, dengan
mempertimbangkan pengalaman-pengalaman terdahulu ataupun dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dan keluarga.

2. Karakteristik Ketidakmatangan Pola Pikir Remaja


David Elkind (dalam Papalia, 2014) mengatakan bahwa perilaku dan sikap yang tidak
matang dari remaja dapat muncul dari kurangnya pengalaman terhadap bagaimana
memanfaatkan atau menggunakan pemikiran abstrak. Ketidakmatangan ini
menyebabkan remaja menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
a. Argumentativeness: Remaja secara konstan mencari kesempatan untuk
mencoba dan memamerkan kemampuan nalar mereka. Mereka sering menjadi
senang mendebat seiring dengan usaha mereka untuk mencari celah dalam
kelemahan sebuah sistem yang sudah terbentuk sebelumnya.
b. Indecisiveness: Remaja baru menyadari tentang banyaknya pilihan yang
ditawarkan oleh kehidupan yang menyebabkan sebagian dari mereka mengalami
kesulitan untuk mengambil keputusan bahkan untuk hal-hal kecil.
c. Finding fault with authority figures: Remaja sekarang menyadari bahwa orang
dewasa yang dulu mereka idolakan ternyata tidak seideal yang mereka piker dan
mereka merasa berkewajiban untuk mengungkapkan kritik terhadap orang
dewasa tersebut.
d. Apparent hypocrisy: Remaja seringkali tidak mengenali perbedaan antara
mengekspresikan idealism mereka dan membuat pengorbanan yang dibutuhkan
untuk hidup sesuai dengan idealisme mereka. Mereka tampak sering
mengungkapkan banyak hal yang sangat ideal namun seringkali menghindar dari
ketidaknyamanan yang harus mereka alami untuk mencapainya dengan
rasionalisasi dan berbagai alasan sebagai pembenaran.
e. Self-consciousness:Sibuk dengan kondisi mental mereka sendiri, remaja sering
berasumsi bahwa orang lain juga berpikir tentang hal yang sama, yaitu diri
mereka. Remaja merasa bahwa orang lain memperhatikan dan menilai mereka,
serta tertarik dengan diri mereka.
f. Assumption of invulnerability: Kepercayaan yang dimiliki oleh mereka bahwa
mereka unik dan berbeda dari orang lain, yang berpotensi mendorong remaja
untuk bersikap sembrono karena merasa bahwa konsekuensi yang mungkin
muncul sebagai resiko dari perilaku mereka tidak mungkin terjadi pada diri
mereka.

3. Perkembangang Penalaran Moral


Menurut Kohlberg (dalam Papalia, dkk, 2014), terdapat beberapa tahap dari
perkembangan moral:
1. Level I: Preconventional Morality. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh
control eksternal. Mereka mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman atau
untuk mendapatkan hadiah, atau bertindak karena keuntungan yang didapat.
Level ini biasanya muncul pada anak-anak yang berusia 4-10 tahun. Tahap 1:
Orientation toward punishment and obedience serta tahap 2: Instrumental purpose
and exchange dari perkembangan penalaran moral terjadi pada level ini. Pada
tahap 1, anak hanya berpikir tentang apa yang akan terjadi padanya jika ia
melanggar aturan sehingga anak akan cenderung patuh untuk menghindari
hukuman tersebut. Sedangkan pada tahap 2, anak sudah dapat menetapkan
aturan yang dapat mendatangkan keuntungan baginya, misalnya, meminjamkan
mainan kepada teman dengan imbalan akan mendapatkan pinjaman mainan dari
teman.
2. Level II: Conventional mortality. Seseorang sudah menginternalisasi standar
yang ditetapkan oleh figure otoritas. Mereka lebih peduli untukbersikap baik,
menyenangkan orang lain, dan menjaga keteraturan social. Level ini biasanya
dicapai setelah usia 10-13 tahun dan banyak orang yang tidak pernah
berkembang lebih dari level ini, bahkan pada masa deasa. Tahap 3: Maintaining
mutual relations, approval of others, the golden rule serta tahap 4: Social concern
& conscience dari tahap perkembangan penalaran moral muncul pada level ini.
Pada tahap 3, anak ingin menyenangkan dan menolong orang lain, mulai dapat
menilai niatan dari orang lain, dan mengembangkan standar mereka tentang
bagaimana perilaku orang yang baik. Mereka mengevaluasi perbuatan
berdasarkan motif yang mendasari berbuatan tersebut atau siapa yang
melakukannya, dan mereka mempertimbangkan situasi saat perilaku tersebut
muncul. Sedangkan pada tahap 4, individu lebih peduli untuk melakukan apa yang
telah menjadi tugasnya, menunjukkan rasa hormat pada figure otoritas, dan
menjaga ketertiban social. Mereka menilai bahwa suatu perbuatan yang salah
selalu salah, apapun alasan dan situasi yang melatarbelakanginya, jika melanggar
aturan dan membahayakan orang lain.
3. Level III: Postconventional mortality. Individu mengenali konflik antara standar
moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran,
keadilan, dan hukum. Biasanya jarang ada yang mencapai level ini pada masa
remaja awal atau dewasa awal. Sebagian besar individu tidak pernah mencapai
tahap ini. Tahap 5: Morality of contract, individual rights, and democratically
accepted law serta tahap 6: Morality of universal ethical principles dari tahap
perkembangan penalaran moral terjadi pada level ini. Pada tahap 5, individu
berpikir secara rasional, menghargai keinginan mayoritas dan kesejahteraan
masyarakat. Mereka biasanya melihat bahwa nilai-nilai ini lebih baik jika didukung
oleh hukum. Walaupun mereka menyadari bahwa terkadang kebutuhan manusia
berkonflik dengan hukum, mereka percaya bahwa secara jangka panjang lebih
baik bagi komunitas untuk mematuhi hukum. Sedangkan pada tahap 6, individu
melakukan apa yang secara pribadi mereka anggap benar, tanpa memandang
keterbatasan secara hukum atau pendapat orang lain. Mereka berperilaku sesuai
dengan standar internal, dengan kesadaran bahwa mereka akan menyesali diri
sendiri jika mereka tidak melakukannya.

B. Perkembangan Psikososial
1. Perkembangan Psikososial menurut Erik Erikson
Dalam setiap tahap perkembangannya, anak akan menghadapi tantangan
perkembangan yang harus ia selesaikan. Tantangan-tantangan yang tidak mampu
diatasi oleh anak berakibat pada kesulitan anak untuk beradaptasi dan masalah
emosional yang akan tercermin pada perilakunya. Menurut teori perkembangan
psikososial Erik Erikson (dalam Bjorklun dan Blasi, 2012), ada 8 tantangan yang harus
diselesaikan oleh manusia selama hidupnya, dan 5 diantaranya dihadapi selama
masa kanak-kanak dan remaja:

a. Usia 0-1 tahun


Krisis: Rasa Percaya v. Rasa Tidak Percaya
Pada tahun pertama dalam kehidupan, bayi bergantung pada orang lain untuk
pemenuhan kebutuhan akan makanan, kehangatan, dan afeksi, sehingga harus
mampu untuk mempercayai orang tua atau pengasuh untuk menyediakan hal-hal
tersebut baginya. Akan tetapi, tidak selamanya memiliki rasa percaya itu
merupakan hal yang baik sehingga diharapkan agar bayi dapat belajar untuk
mempercayai dan pada beberapa situasi belajar untuk tidak mempercayai agar
mereka tidak mudah dibohongi dan mengembangkan sikap waspada.
Kekuatan: HARAPAN.
b. Usia 1-2 tahun
Krisis: Kemandirian v. Rasa Malu atau Ragu-ragu
Batita mulai belajar berjalan, berbicara, menggunakan kamar kecil, dan
melakukan berbagai hal sendiri. Anak mulai belajar untuk mempercayai dirinya
sendiri dan tidak mudah terpengaruh terhadap krisis psikososial yang ringan. Anak
diharapkan mulai dapat mengendalikan perilakunya, terutama yang berhubungan
dengan kemampuan bantu diri, namun di sisi lain masih memiliki rasa malu yang
tidak berlebihan jika mereka membuat kesalahan.
Kekuatan: KEINGINAN

c. Usia 2-6 tahun


Krisis: Inisiatif v. Rasa Bersalah
Anak memiliki kemampuan baru pada tahap ini seiring dengan perkembangan
motorik dan lebih terlibat dalam interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya.
Pada tahap ini, anak harus belajar untuk mencapai keseimbangan antara
keinginan mereka untuk mengeksplorasi dengan tanggung jawab, serta belajar
untuk mengontrol dorongan-dorongan dan fantasi yang kekanak-kanakan. Mereka
belajar untuk melakukan sesuatu yang memiliki tujuan yang sederhana, bukan
sekedar perilaku acak yang tidak beraturan.
Kekuatan: TUJUAN.

d. Usia 6-12 tahun


Krisis: Kompetensi v. Rasa Rendah Diri
Sekolah merupakan situasi yang penting pada tahap ini. Anak belajar untuk
membuat sesuatu, menggunakan peralatan dan menguasai keterampilan untuk
mempersiapkan mereka untuk dapat melakukan sesuatu yang bernilai secara
finansial. Mereka melakukan semua ini seiring dengan transisi dari kehidupan di
rumah menuju kehidupan dengan teman sebaya.
Kekuatan: KOMPETENSI.

e. Usia 12-18 tahun


Krisis: Identitas v. Kebingungan Peran
Inilah saat remaja mempertanyakan “Siapa diri saya?” Untuk dapat menjawab
pertanyaan ini dengan sukses, menurut Erikson, remaja harus mengintegrasikan
resolusi yang sehat terhadap semua konflik terdahulu. Apakah remaja
mengembangkan rasa percaya yang mendasar? Apakah remaja memiliki rasa
kemandirian, kompetensi, dan merasa memegang kendali akan hidup mereka?
Remaja yang telah dengan sukses menangani konflik-konflik terdahulu akan siap
menghadapi “Krisis Identitas”, yang oleh Erikson dianggap sebagai satu-satunya
konflik yang paling penting yang dihadapi oleh seseorang.
Kekuatan: KESETIAAN.
Keberhasilan remaja dalam melewati krisis pada setiap tahap perkembangannya akan
mendorong remaja untuk mencapai kematangan psikososial. Kematangan psikososial
ini kemudian akan mempengaruhi remaja untuk mengambil keputusan mengingat
kemampuan remaja untuk membuat keputusan berbeda dengan orang dewasa.
Pengambilan keputusan oleh remaja akan selalu berkaitan dengan pengaruh teman
sebaya, pengambilan resiko, dan perspektif temporal. Cauffman dan Steinberg (dalam
Roesch, Zapf & Hart, 2010) mendefinisikan kematangan psikososial sebagai
kompleksitas dan keunikan proses keputusan individual – dipengaruhi oleh faktor
kognitif, emosional, dan sosial. Mereka mengidentifikasi tiga kapasitas perkembangan
yang mempengaruhi pengambilan keputusan:

a. Tanggung Jawab. Meliputi kapasitas remaja untuk membuat pilihan secara


mandiri, bebas dari pengaruh eksternal, termasuk orang dewasa terutama teman
sebaya. Remaja yang matang akan mampu untuk menyaring dan tidak mudah
untuk dipengaruhi oleh teman sebaya, dan juga mandiri dari pengaruh orang tua.
Tanggung jawab membutuhkan penemuan jati diri yang baik dari anak.

b. Kesederhanaan. Remaja cenderung mengambil resiko yang lebih tinggi, lebih


impulsif, senang mencari sensasi, dan lebih rentan terhadap perubahan suasana
hati akibat ketidakstabilan hormon. Kesederhanaan meliputi kemampuan untuk
mengontrol dorongan dan melakukan pengendalian diri. Meningkatnya perilaku
beresiko tinggi pada remaja berhubungan dengan pencarian sensasi yang
meningkat pada masa pubertas yang tidak berhubungan dengan perkembangan
kompetensi pengaturan diri yang muncul pada tahap remaja akhir. Perilaku
beresiko tinggi cenderung tidak berubah dengan intervensi pendidikan dan bahwa
perlu dilakukan intervensi yang berfokus pada mengurangi bahaya yang
dihubungkan pada perilaku beresiko tinggi.

c. Perspektif. Meliputi kemampuan remaja untuk melihat konsekuensi jangka


pendek dan jangka panjang (perspetif waktu), kemampuan untuk memahami
bagaimana tindakan seseorang mungkin mempengaruhi orang lain, dan
kemampuan untuk menimbang kerugian dan keuntungan dari tiap keputusan.

2. Status Identitas – Krisis dan Komitmen menurut Marcia


Menurut James Marcia (Papalia, 2014), masa remaja merupakan masa dimana
mereka dapat mengembangkan salah satu dari empat kategori status identitas yang
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya krisis dan komitmen. Empat kategori tersebut
adalah:
a. Identity Achievement (mengalami krisis yang menuju pada komitmen). Remaja
berhasil mengatasi krisis kebingungan dalam menentukan masa depannya dan
mampu mengambil keputusan dan berkomitmen untuk menjalankan
keputusannya.
b. Foreclosure (komitmen tanpa krisis). Remaja tidak mengalami krisis dan sudah
mengambil keputusan serta mau berkomitmen terhadap keputusannya tersebut.
c. Moratorium (mengalami krisis namun belum mencapai komitmen). Remaja masih
berada dalam krisis untuk menentukan pilihan apa yang akan ia lakukan dalam
menentukan masa depannya dan ia masih belum dapat mengambil keputusan
terkait hal tersebut walaupun pada akhirnya ia diharapkan mampu untuk melewati
krisis tersebut dan membuat komitmen.
d. Identity Diffusion (tidak ada komitmen, tidak ada krisis). Remaja masih merasa
ragu dan tidak memiliki tujuan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa
depannya dan tidak melakukan sesuatu untuk mencari apa yang ingin ia lakukan.
Remaja-remaja semacam ini cenderung tidak bahagia, kesepian dan tidak mampu
mengembangkan hubungan interpersonal yang mendalam.

3. Perbedaan Gender dalam Pembentukan Identitas


Menurut Erikson (Feist & Feist, 2009) krisis: Keintiman v. Kesepian biasanya baru
muncul ketika individu mencapai usia dewasa awal, namun Erikson menemukan
bahwa untuk remaja putri, mereka cenderung mengembangkan identitas dan
keintiman secara bersamaan. Remaja putri dan wanita cenderung menilai diri mereka
dari kemampuan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab mereka serta
kemampuan mereka untuk mengayomi orang lain. Berbeda dengan remaja putra yang
cenderung mengembangkan identitas mereka berdasarkan kemampuan mereka untuk
melaksanakan tanggung jawab mereka. Perbedaan dalam pembentukan identitas
inilah yang menyebabkan remaja putri cenderung tampak lebih dewasa dari usianya
dalam ranah hubungan interpersonal atau hubungan dekat dengan orang lain karena
sebagian identitas mereka terkait dengan bagaimana relasi mereka dengan orang lain.
Di lain pihak, ketergantungan remaja putri terhadap orang lain juga menyebabkan
kepercayaan diri mereka cenderung tidak terlalu tinggi karena mereka sangat
bergantung pada penilaian dan penerimaan orang lain kepada diri mereka.

4. Pembentukan Identitas menurut Elkind


Hasil pengamatan Erikson dan Marcia menunjukkan bahwa tidak semua remaja
mencapai tahap pembentukan identitas yang optimal. Mengapa demikian? Elkind
(dalam Papalia, 2014) menjelaskan bahwa ada dua jalan untuk mencapai
pembentukan identitas:
a. Differentiation & Integration: dimana remaja menyadari bahwa dirinya berbeda
dengan orang lain dan mengintegrasikan keunikan-keunikan yang ia miliki sebagai
satu kesatuan yang utuh. Jalan ini merupakan proses yang paling sehat dalam
pembentukan identitas.
b. Substitution: remaja menggantikan ide-ide dan perasaan-perasaan yang
kekanak-kanakan dari diri sendiri dengan mengadopsi sikap, kepercayaan, dan
komitmen yang dimiliki oleh orang lain menjadi miliknya sendiri. Remaja yang
memiliki identitas terpotong-potong seperti ini biasanya sulit untuk menghadapi
kebebasan, kehilangan dan kegagalan. Mereka cenderung merasa cemas, marah,
takut dan sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain karena mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri.

C. Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak


Penelitian menunjukkan bahwa, di hampir semua budaya, keluarga yang berfungsi secara
sehat mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan, menentukan batas-batas yang
jelas, mengembangkan hubungan melalui komunikasi yang terbuka, mendorong rasa
tanggung jawab, mengekspresikan rasa percaya diri terhadap diri orang tua dan anak-
anak, serta optimisme terhadap masa depan (Cutler & Radford, dalam Gladding, 2002).
Memang, faktor resiliensi berperan cukup besar sehingga individu yang sehat tidak selalu
datang dari keluarga yang sehat, namun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga yang sehat merupakan sebuah keuntungan untuk mempelajari hubungan yang
produktif dan memiliki pengaruh yang positif.

Sebagai kelompok, keluarga yang sehat memiliki beberapa karakteristik yang sama.
Keluarga yang sukses, bahagia, dan kuat memiliki keseimbangan dalam berbagai hal.
Keluarga paham tentang isu apa yang harus menjadi perhatian dan bagaimana
menangani isu-isu tersebut. Secara umum, keluarga yang sehat akan memaksimalkan
berbagai faktor yang diinteraksikan secara kompleks namun dengan cara yang positif.

1. Keluarga sebagai Sarana Pemenuhan Kebutuhan


Keluarga memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan berikut untuk anggota
keluarganya:
a. Pemeliharaan, menyediakan sandang, pangan, papan, dan layanan kesehatan.
Keluarga memiliki fungsi untuk menyediakan kebutuhan dasar kepada setiap
anggota keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang berusaha
dengan maksimal untuk memberikan kebutuhan dasar ini akan memiliki
kepercayaan yang kuat terhadap upaya orang tua untuk memberikan yang terbaik
bagi mereka.
b. Pengasuhan, memberikan rasa aman, kehangatan, dan perasaan bahwa
seseorang merupakan anggota keluarga. Sebagai sebuah sistem, keluarga akan
menjadi kuat jika seluruh anggota keluarga juga kuat, sehingga dukungan dari
anggota keluarga dalam mengembangkan bakat dan kemampuan anggota
keluarganya akan meningkatkan kekuatan keluarga. Proses ini terutama sangat
penting saat anak menghadapi proses pendidikan, saat remaja menghadapi
perubahan fisik dan kelompok pergaulan, ketika dewasa muda harus
mengembangkan kemandirian untuk menggapai cita-cita mereka.
c. Inklusi, pemenuhan kebutuhan akan rasa cinta dan kebersamaan. Komitmen
meliputi loyalitas terhadap keluarga dan anggotanya melalui saat-saat senang dan
susah, didasarkan pada emosi dan intensi. Anak-anak akan tumbuh dengan
perasaan aman bahwa orang tua dan keluarga akan selalu mendukung aspirasi
mereka, serta siap untuk membantu saat mereka membutuhkan.
d. Privasi, menghormati kemandirian tiap-tiap anggota keluarga. Setiap keluarga
pasti akan mengalami krisis. Krisis dapat saja menimpa keluarga secara
keseluruhan, namun bisa juga hanya menimpa satu orang saja. Keluarga yang
berfungsi secara optimal akan memberikan kesempatan bagi anggota keluarga
untuk mengatasi masalahnya sendiri, dan jika diminta, memberikan bantuan dan
dukungan dengan menggunakan strategi coping seperti bernegosiasi, mencari
saran dari orang yang lebih berpengalaman, menggunakan humor, menunjukkan
emosi dan dukungan kepada satu sama lain.
e. Kepercayaan diri, menghargai nilai dan perbedaan tiap anggota keluarga.
Komitmen yang dimiliki oleh anggota keluarga akan semakin diperkuat saat
mereka mengekspresikan rasa penghargaan mereka secara fisik dan verbal. Pada
keluarga yang sehat, orang tua cenderung membangun rasa percaya diri seluruh
anggota keluarga dengan rasa cinta dan hormat. Keluarga yang sehat akan
cederung menghindari pertengkaran berupa serangan yang bersifat personal
ataupun kekerasan.
f. Pemahaman, memberikan kesempatan kepada anggota keluarga untuk membuat
kesalahan/kegagalan, dan belajar dari kesalahan/kegagalan tersebut.
Pemahaman ini dikirimkan dalam bentuk komunikasi verbal dan non-verbal.
Pesan diterima dan dikirimkan dengan rasa sayang, dan di dalamnya tersirat
dukungan, pemahaman, dan empati. Dalam keluarga yang sehat, anggota
keluarga merasa nyaman untuk membicarakan berbagai isu dengan terbuka, dan
tidak memendam sendiri masalah yang ada ataupun bergosip dengan anggota
keluarga yang lain. Konflik diselesaikan melalui diskusi dan cenderung
berkomunikasi dengan nada yang positif.
g. Rekreasi, kesempatan untuk bersenang-senang bersama. Keluarga yang sehat
akan menghabiskan waktu berkualitas yang cukup dengan satu sama lain.
Menghabiskan waktu bersama untuk bersenang-senang tidak harus dengan
liburan ataupun aktivitas di luar rumah yang menghabiskan biaya yang besar,
namun bisa juga dalam bentuk makan bersama, menonton televisi bersama,
berkunjung ke rumah saudara, dll.
h. Spiritualitas, kebebasan untuk mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, untuk mencari makna diri dan tujuan hidup. Pada sebagian besar
keluarga di dunia, keterikatan dan komitmen dalam agama atau dimensi spiritual
lainnya membantu keluarga untuk mengembangkan rasa sejahtera dan
kebahagiaan. Kepercayaan dan praktek spiritual membantu keluarga untuk
mengatasi cobaan hidup dan untuk bangkit kembali, serta membantu anggota
keluarga untuk mencari makna dan prinsip moral sebagai panduan dalam hidup.
Selain pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, peran setiap anggota keluarga yang
sehat terbagi secara wajar, jelas, disepakati bersama, dan berjalan dengan baik.
Orang tua berfungsi dengan baik sebagai pelindung dan pengayom bagi anak, tahu
kapan harus bersikap tegas dan tahu kapan harus bersikap fleksibel. Sering kali
orang tua terjebak dalam kepercayaan bahwa orang tua harus menjadi teman bagi
anak padahal menjadi pendengar yang baik serta tidak menghakimi anak bukan
berarti orang tua menjadi teman. Kemampuan untuk memberi masukan secara
obyektif dan menyayangi serta mengasihi anak secara tidak terkondisi merupakan
kemampuan orang tua yang melebihi peran teman. Ketika orang tua beranggapan
bahwa orang tua yang baik harus mampu menjadi teman bagi anak, maka orang tua
akan cenderung lebih permisif dan takut untuk dimusuhi oleh anak, yang kemudian
membuat anak merasa kebingungan akan batas yang boleh dan tidak boleh ia
langgar.

2. Pola Asuh Orang Tua


Menurut Diana Baumrind, pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses
interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan
tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan
kepribadian anak. Baumrind menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua
dimensi pola asuh, yaitu:
a. Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons
kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua.
Acceptance/responsiveness ini mengacu pada beberapa aspek, yakni:
1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-
anaknya,
2) sensitif terhadap emosi anak,
3) memperhatikan kesejahteraan anak,
4) bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama,
5) bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak
mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.
Orang tua responsif dapat menerima kondisi anak mereka, penuh kasih sayang
dan sering tersenyum, memberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka.
Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau
berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat
mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan
jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan
dihargai.
b. Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan
oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua.
Demandingness/control ini mengcu pada beberapa aspek yakni;
1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha
orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan
memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,
2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung
jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan
orang tua,
3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam
menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua
tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan keberatan
terhadap peraturan yang telah ditentukan,
4) campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan
orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam
keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak
dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang
mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak.
5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua
menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang
tua.
Orang tua yang mengendalikan atau menuntut mengharapkan anak-anak
mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anakanak mereka dengan
ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang
dalam pengendalian atau menuntut (sering disebut orang tua permisif)
membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka
memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan,
mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan
tentang kegiatan mereka sendiri.

Diana Baumrind meneliti tipe-tipe pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dan
menemukan terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritarian, authoritative dan
permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi
dengan pola asuh uninvolved/ neglectful.

a. Authoritarian parenting; pola asuh ini mengkombinasikan tingginya


demandingness/control dan rendahnya acceptance/responsive. Orang tua
memaksakan banyak peraturan, mengharapkan kepatuhan yang ketat, jarang
menjelaskan mengapa anak harus memenuhi peraturan-peraturan tersebut, dan
biasanya mengandalkan taktik kekuasaan seperti hukuman fisik untuk memenuhi
kebutuhannya.
b. Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel; mereka
mengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka juga menerima dan
responsif. Seimbang dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun
acceptance/responsive. Mereka membuat peraturan yang jelas dan secara
konsisten melakukannya, mereka juga menjelaskan rasionalisasi dari peraturan
mereka dan pembatasannya. Mereka juga responsif pada kebutuhan anak-anak
mereka dan sudut pandang anak, serta melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan keluarga. Mereka dapat diterima secara rasional dan demokratis dalam
pendekatan mereka, meski dalam hal ini jelas mereka berkuasa, tetapi mereka
berkomunikasi secara hormat dengan anakanak mereka.
c. Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control
yang rendah dan acceptance/responsive yang tinggi. Orang tua permisif
penyabar, mereka membuat beberapa pengendalian pada anak-anak untuk
berperilaku matang, mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan dan
dorongan mereka dan jarang menggunakan kontrol pada prilaku mereka.
d. Neglectful parenting; merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya
demandingness/control dan acceptance/responsive yang rendah pula. Secara
relatif tidak melibatkan diri pada pengasuhan anak mereka mereka terlihat tidak
terlalu perduli pada anak-anak mereka dan bahkan mungkin menolak mereka atau
yang lainnya mereka kewalahan dengan masalah-masalah mereka sendiri yang
mana mereka tidak dapat memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan
menegakkan aturan

D. Peran Lingkungan dalam Perkembangan Anak

Anak belajar untuk melakukan hal-hal baru dengan cara mengamati lingkungannya. Bandura
yakin, bahwa observasi memberikan jalan pada anak untuk belajar tanpa harus melakukan
perilaku apapun. Bandura yakin bahwa pembelajaran melalui observasi lebih efisien daripada
belajar melalui pengalaman langsung. Dengan mengobservasi orang lain, anak tidak perlu
mengalami berbagai respons yang dapat berakibat pada hukuman atau tanpa menghasilkan
penguatan sama sekali (Feist & Feist, 2009)

Contoh:

Anak-anak mengobservasi karakter yang ada di televisi dan mengulang apa yang dilihat atau
didengarnya, mereka tidak perlu melakukan perilaku yang acak, berharap perilaku tersebut akan
diberikan pernghargaan.

Elemen inti dari pembelajaran melalui observasi adalah modeling, yang difasilitasi dengan
mengobservasi aktivitas yang tepat, melalui pengkodean dengan benar dari peristiwa tersebut
sebangai representasi di dalam ingatan, melakukan perilaku tersebut secara aktual, dan
termotivasi dengan cukup
Pembelajaran melalui modeling meliputi menambahi atau mengurangi suatu perilaku yang
diobservasi dan mengeneralisasi dari satu observasi ke observasi yang lainnya. Dengan kata lain,
modeling meliputi proses kognitif dan bukan sekedar melakukan imitasi.

Faktor yang menentukan apakah seseorang akan belajar dari seorang model dalam suatu situasi:
1. Karakteristik model sangat penting
Anak lebih mungkin mengikuti orang yang memiliki status tinggi daripada yang memiliki
status rendah, yang kompeten daripada yang tidak kompeten, dan yang memiliki kekuatan
daripada yang tidak. Orang lain (baik teman sebaya maupun orang dewasa) yang
dianggap memiliki pengaruh terhadap lingkungannya akan cenderung diikuti dan ditiru,
terlepas dari benar atau tidaknya perilaku yang ditunjukkan.
2. Karakteristik dari yang melakukan observasi
Anak-anak yang tidak mempunyai status, kemampuan, atau kekuatan, lebih mungkin
untuk melakukan modeling. Anak-anak melakukan modeling lebih banyak daripada orang
dewasa dalam proses mengakuisisi perilaku baru.
3. Konsekuensi dari perilaku yang ditiru
Semakin besar nilai yang ditaruh seseorang yang melakukan observasi pada suatu
perilaku, lebih memungkinkan untuk orang tersebut untuk mengambil perilaku tersebut.
Ketika suatu perilaku dilihat memiliki dampak yang cukup besar (misalnya, mendapat
penghormatan atau dikagumi oleh orang lain), maka perilaku tersebut memiliki peluang
yang besar untuk ditiru oleh anak.

Proses dalam pembelajaran melalui observasi:


1. Perhatian
Faktor-faktor yang mengontrol perhatian:
1.1. Karena kita mempunyai kecenderungan untuk mengobservasi seseorang yang
sering kita asosiasikan dengan diri kita, kita lebih mungkin untuk memperhatikan
orang tersebut. Hal ini menyebabkan teman sebaya akan cenderung lebih menarik
untuk ditiru dibandingkan orang dewasa.
1.2. Model yang atraktif dan menarik lebih mungkin untuk diobservasi daripada model
yang tidak menarik. Teman sebaya yang tampak keren akan cenderung ditiru
dibandingkan teman-teman yang tampak alim dan tidak menonjol.

2. Representasi
Agar sebuah observasi dapat mengarahkan pada pola respon yang baru, pola tersebut
harus direpresentasikan secara simbolis di dalam ingatan. Representasi simbolik tidak
perlu dalam bentuk verbal, karena beberapa observasi dipertahankan dalam bentuk
gambaran dan dapat dimunculkan tanpa adanya model secara fisik. Hal ini menyebabkan
pemberitaan-pemberitaan mengenai suatu peristiwa tetap dapat mempengaruhi proses
pembelajaran pada diri anak walaupun anak tidak melihat secara langsung peristiwa
tersebut.

3. Produksi perilaku
Setelah memperhatikan seorang model dan mempertahankan apa yang telah diobservasi,
kemudian kita memproduksi perilaku tersebut.

4. Motivasi
Pembelajaran melalui observasi paling efektif terjadi apabila pihak yang belajar termotivasi
untuk melakukan perilaku yang ditiru. Ketika anak yang biasa-biasa saja percaya bahwa
ketika ia melakukan perilaku tertentu akan dapat meningkatkan statusnya, maka
kemungkinan perilaku tersebut akan benar-benar dilakukan relatif lebih besar.

III. Sumber-Sumber
Materi - Bjorklun & Blasi (2012). Child and Adolescent Development:
an Integrated Approach. Belmont: Wadsworth, Cengage
Learning.
- Feist & Feist (2009). Theories of Personality 7th Ed
International Edition. New York: McGraw-Hill International
- Gladding (2002). Family therapy: history, theory, and
practice. Columbus: Merril Prentice Hall.
- Papalia, Olds & Feldman (2014). Experiencing Human
Development. New York: McGraw-Hill International
- Roesch, Zapf & Hart (2010). Forensic Psychology and Law.
New Jersey: John Wiley & Sons

Anda mungkin juga menyukai