Anda di halaman 1dari 3

Belajarlah dari masa lalu, ubahlah masa

depan
By Stefanus Tay & Ingrid Tay -
Mar 10, 2016
0
62

Share on Facebook

Tweet on Twitter

[Minggu Prapaskah V: Yes 43:16-21; Mzm 126:1-6; Flp 3:8-14; Yoh 8:1-11]

Ada pepatah yang mengatakan, “Kita tak kuasa mengubah masa lalu kita. Namun kita dapat
belajar dari masa lalu kita, dan dengan demikian, mengubah masa depan kita.” Cara pandang
sedemikian diajarkan oleh sabda Tuhan hari ini, seperti yang disampaikan oleh Nabi Yesaya.
Nabi Yesaya menubuatkan bahwa bangsa Israel akan mengalami pembuangan di Babel (lih. Yes
43:14). Namun Nabi Yesaya tidak hanya menubuatkan tentang pembuangan tersebut, melainkan
juga sesudahnya, yaitu bahwa Babel akan runtuh; mereka menerima penghakiman Allah atas apa
yang telah mereka perbuat terhadap bangsa Israel (lih. Yes 47). Namun sebelum itu terjadi,
memang Babel adalah bangsa yang besar dan berkuasa. Maka tak mengherankan jika umat Israel
berkecil hati membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka dijadikan tawanan bangsa itu.
Namun Allah memahami kekhawatiran umat-Nya. Allah mengingatkan mereka, bahwa sama
seperti Allah telah melepaskan mereka dari penjajahan Mesir di masa lalu, demikianlah, Allah
akan membebaskan umat-Nya dari penjajahan Babel dan mendatangkan penghukuman kepada
bangsa itu. Segera setelah mengingatkan umat-Nya akan perbuatan tangan-Nya di masa lalu,
ketika Ia membuka jalan di Laut Merah, dan melepaskan umat-Nya dari pengejaran bangsa
Mesir, Allah mengatakan agar mereka jangan mengingat-ingat hal-hal yang dahulu. Ada
peralihan drastis di sini: dari disuruh mengingat pengalaman yang lalu, menjadi disuruh
“melupakan hal-hal yang dahulu”. Nampaknya, Allah tak menghendaki umat-Nya selektif dalam
mengingat masa lalu. Allah tak mau kita terpuruk dalam rasa bersalah atas segala dosa yang telah
kita perbuat di waktu yang dulu. Sebab jika demikian, kita tidak mampu melihat bahwa Allah
hendak membuat sesuatu yang baru (lih. Yes 43:18-19). Yaitu, bahwa Allah mempersiapkan
rahmat keselamatan, bagi kita yang bertobat dan mau dilepaskan dari belenggu dosa kita.

Minggu lalu kita telah diajak untuk bertobat dan meninggalkan dosa-dosa kita. Kita menjadi
seperti anak yang hilang yang kembali kepada bapanya. Kini tibalah saatnya kita bermazmur dan
merenungkan karya keselamatan Allah bagi kita. Di hari Minggu Sengsara (Passion Sunday) ini,
kita merenungkan karya Allah Bapa yang telah mengutus Yesus Putera-Nya. Yang melalui
sengsara, wafat-Nya dan kebangkitan-Nya, Ia melepaskan kita dari dosa-dosa kita dan
memulihkan jiwa kita. Saat itu kita seperti orang-orang yang bermimpi. Tuhan telah melakukan
perkara besar pada kita, maka kita bersukacita (lih. Mzm 126:1-6).

Sungguh, kita diampuni dan dipulihkan bukan karena jasa kita sendiri, namun oleh jasa
pengorbanan Kristus, yang sebentar lagi kita rayakan secara istimewa dalam Pekan Suci. Kita
diselamatkan, bukan oleh kebenaran diri sendiri karena melakukan berbagai hukum dan aturan
hukum Taurat, tetapi oleh “kebenaran karena iman kepada Yesus Kristus”. Itulah sebabnya Rasul
Paulus menganggap rugi segala sesuatu, setelah ia mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya
(lih. Flp 3:8-11). Ini juga suatu peringatan bagi kita untuk memandang hukum-hukum Taurat
dalam terang Kristus. Bukan berarti bahwa hukum Taurat dalam Perjanjian Lama semuanya
tidak berguna. Tetapi bahwa semuanya itu adalah persiapan bagi penggenapannya di dalam
Kristus. Maka layaklah misalnya, bahwa Gereja sejak abad pertama, beribadah pada hari Tuhan,
yaitu hari Minggu, yang merupakan perayaan akan kuasa kebangkitan Kristus. Ini menggenapi
makna perayaan Sabat, yang maknanya adalah hari yang dikuduskan bagi Tuhan (lih. Kel 16:23).
Sebab Allah menyatakan kekudusan-Nya melalui kebangkitan Putera-Nya, Yesus Kristus (lih.
Rm 1:4); dan menguduskan kita yang mendapat bagian dalam kebangkitan-Nya itu (lih. Why
20:6). Sayangnya, ajaran yang telah sedemikian jelas ini, tak serta merta diterima oleh semua
umat Kristen. Sebab masih ada saudara-saudari kita, yang mengartikan hukum Taurat tanpa
melihat kaitannya dengan penggenapannya di dalam Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya.
Semoga saja sabda Tuhan hari ini memantapkan pemahaman kita akan cara pandang Gereja
Katolik tentang hukum Taurat dalam kaitannya dengan penggenapannya di dalam Kristus,
seperti yang diajarkan oleh para rasul, secara khusus oleh Rasul Paulus. Ia telah meninggalkan
segalanya, setelah ia mengenal Kristus.

Bacaan Injil hari ini kembali menegaskan bahwa hal meninggalkan segalanya, paling jelas
dinyatakan dengan pertobatan. Kisah wanita yang berdosa ini mengingatkan kita akan kasih
Kristus yang tak terpisah dari keadilan-Nya. Ia mengampuni wanita itu, namun memperingatkan
agar ia jangan berbuat dosa lagi (Yoh 8:11). St. Agustinus berkata, “Maka Tuhan kita mengecam
dosa, tetapi tidak mengecam orang yang berdosa. Sebab seandainya Ia menyokong dosa, Ia akan
berkata, ‘Pergilah, dan hiduplah sesuka hatimu: [hanya] bergantunglah pada penebusan-Ku.
Betapapun besar dosamu, itu tidak masalah: Aku akan membebaskan kamu dari neraka dan para
penyiksanya’. Tetapi Ia tidak berkata demikian. Biarlah mereka memperhatikan, yang mengasihi
kerahiman Tuhan, dan takutilah kebenaran-Nya. Sungguh murah hati dan benar-lah Tuhan.” (St.
Augustine, Catena Aurea, John 8:1-11)

Perkataan Yesus, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi….” hendaknya mengingatkan kita
untuk senantiasa bertobat, setiap kali kita jatuh ke dalam dosa. Sebab ada kemungkinan, bahkan
besar kemungkinannya, bahwa setelah diampuni Tuhan, kita tetap jatuh ke dalam dosa, entah
dosa yang sama atau berbeda. Itulah sebabnya Rasul Paulus tidak menganggap dirinya sempurna.
Namun untuk dapat bangkit, Rasul Paulus tidak mau mengingat-ingat jerat dosanya di masa lalu.
Ia mengarahkan diri kepada apa yang di hadapannya, yaitu “panggilan surgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus” (Flp 3:14). Marilah kita mengikuti teladan Rasul Paulus, untuk tidak
mengikatkan diri pada masa lalu—entah karena terus menyalahkan diri sendiri atau keadaan.
Masa lalu sudah tidak dapat kita ubah. Namun yang bisa kita ubah adalah masa depan, yang
penuh harapan jika kita menjalani hari ini bersama Kristus. Yaitu, dalam tuntunan belas kasih-
Nya, kita berjuang untuk mawas diri dan berjalan dalam kebenaran-Nya.

“Belas kasihan tidak bertentangan dengan keadilan. Sebaliknya, belas kasihan menunjukkan cara
Allah menghampiri orang berdosa, sembari menawarkan kepadanya kesempatan baru untuk
mawas diri, bertobat dan percaya.” (Paus Fransiskus, Misericordiae Vultus, 21).

Anda mungkin juga menyukai