Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dengan

berbahasa manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya, seperti:

bertanya, bercerita, meminta pertolongan, berpidato dan sebagainya. Sejak lahir, manusia

telah memiliki naluri untuk berkomunikasi. Banyak tahapan dan cara yang dilalui seorang

bayi untuk berkomunikasi mulai dari hanya menggunakan gerakan, suara tangisan, sampai

bisa mengucapkan kata-kata. kemampuan bahasa anak berkembang terus menerus dengan

mempelajari dan menyimak kosa kata baru yang didengar serta belajar untuk

mengucapkannya. Hal ini terus berlanjut melalui didikan dalam lingkungan

keluarga, kemampuan bahasa anak terus berkembang hingga anak dapat berbicara secara

baik dan siap untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya.

Ketika berusia 3-6 tahun anak sudah bisa berbicara dengan lancar. Hal ini dapat dilihat

dalam pergaulan anak dengan teman sebayanya. Anak-anak bermain, bercerita, bahkan

saling mengejek. Kemampuan berbicara ini akan terus berkembang tahap demi tahap.

Ketika memasuki lingkungan sekolah, kemampuan berbahasa yang sudah dimiliki anak dari

lingkungan keluarganya, akan dipakai untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar

lingkungan sekolahnya. Kemampuan berbicara ini sangat menentukan siswa untuk memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang akan memudahkan siswa untuk berkomunikasi dengan

orang-orang di sekitar.

Kemampuan berbicara yang telah dimiliki anak sejak dalam lingkungan keluarga belum

tentu seutuhnya memenuhi standar kebahasaan yang baik dan benar. Dalam dunia

pendidikan formal, tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar harus diperhatikan.

Pada dasarnya dalam berbahasa, kemampuan sisw akan berkembang secara optimal

dengan mengaplikasikan empat keterampilan bahasa secara utuh, yaitu

berbicara, membaca, menulis dan menyimak. Setiap keterampilan ini sangat berkaitan erat

dengan cara yang beraneka ragam. Keempat keterampilan ini merupakan suatu kesatuan

atau catur tunggal. Keempat keterampilan ini merupakan pilar pokok berbahasa yang harus

ditanamkan kepada siswa.


Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan

pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan

banyak latihan. Melatih keterampilan berbahasa siswa berarti pula melatih keterampilan

berpikir.[1] Pendapat ini sejalan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah,

yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien

sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulis, menghargai dan bangga

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, memahami

bahasa Indonesia dan dapat menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk

meningkatkan kemampuan intelektual serta kemampuan berbahasa dengan baik.

Bahasa Indonesia tidak lepas dari empat kompetensi yang sangat penting yang harus

dimiliki, yaitu berbicara, menyimak, membaca dan menulis. Untuk memperoleh pengalaman

berbahasa yang seoptimal mungkin perlu dilatihkan semua kompetensi bahasa yaitu

menyimak, berbicara, membaca, dan menulis secara utuh. Pengalaman mendengarkan

(menyimak) merupakan pengalaman memahami bahasa lisan. Pengalaman berbicara

merupakan pengalaman melahirkan bahasa lisan, pengalaman membaca merupakan

pengalaman memahami bahasa tulis, sedangkan pengalaman menulis merupakan

pengalaman melahirkan bahasa tulis.[2] Salah satu yang perlu diperhatikan dari keempat

kompetensi ini yaitu kompetensi berbicara.

Kompetensi berbicara memegang peranan yang sangat penting dalam

berbahasa yang harus dilatihkan kepada siswa sedini mungkin. Komunikasi yang lebih

efektif adalah melelui berbicara. Berbicara membantu siswa untuk bertukar

informasi, bertanya, menyampaikan ide, bercerita serta berkomunikasi dengan orang lain

secara efektif dan efisien.

Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa dan juga

merupakan sasaran pembelajaran berbahasa Indonesia. Keterampilan berbicara dapat

meningkat jika ditunjang oleh keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak,

membaca, dan menulis.

Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-

mengajar. Dalam kehidupan sehari-hari, anak dituntut untuk terampil berbicara.

Seseorang siswa yang terampil berbicara cenderung berani tampil di depan kelas. Dia juga

cenderung memiliki keberanian untuk tampil menjadi pemimpin pada kelompoknya. Jika
dilihat dalam lingkungan sekolah, banyak guru yang mengatakan bahwa siswa yang pandai

berbicara umumnya mudah bergaul, memiliki rasa percaya diri. Hal ini membuktikan

bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting dikuasai peserta didik.

Itu artinya peran seorang guru juga sangat penting, karena gurulah yang mendesain

semua perangkat pembelajaran untuk menfasilitasi siswa agar mengembangkan semua

kemampuannya secara optimal. Guru harus melatih siswa untuk mengorganisasikan,

mengonsepkan, mengklarifikasikan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide

kepada orang lain secara lisan. Siswa akan terbiasa dengan hal-hal kecil yang diajarkan

gurunya, termasuk gaya berbicara. Tidak jarang di kelas siswa sering meniru apa yang

diucapkan oleh gurunya, atau meniru gaya bicar gurunya. Hal ini membuktikan bahwa dalam

tahap perkembangannya berbicaranya, siswa belajar melalui model. Tentunya seorang guru

harus memberikan pedoman yang benar. Keberhasilan belajar peserta didik dalam

mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah sangat ditentukan oleh penguasaan

kemampuan berbicara mereka.

Pembelajaran berbicara membantu siswa untuk berkomunikasi di dalam maupun di

luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pembelajaran keterampilan berbicara

penting diajarkan karena dengan keterampilan itu seorang peserta didik akan mampu

mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak.

Anak usia sekolah dasar, khusunya kelas III telah memiliki dasar untuk berbicara

dengan baik. Hal ini dilihat dengan anak sudah bisa mengemukakan pendapat, bertanya,

bercerita, serta berdiskusi didalam kelas. Sekolah dasar merupakan pemberdaya

kemampuan dasar segala kemampuan anak termasuk kemampuan berbicara. Namun

dalam kenyataan di lapangan, banyak ditemukan berbagai kendala dalam

proses pembelajaran, khususnya masalah yang berkaitan dengan kemampuan berbicara

pada anak sekolah dasar.

Berdasarkan pengamatan proses pembelajaran di SDN Rawamangun 11 Pagi Jakarta

Timur, peneliti menemukan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kelas tidak

dikemas secara menyeluruh. Hasilnya pembelajaran cenderung hanya mengedepankan

kemampuan baca, tulis, dan menghitung (calistung) dibandingkan kemampuan berbicara.

Pendekatan yang digunakan pada umumnya masih menggunakan pendekatan yang

berpusat pada guru, sehingga dalam pembelajaran anak terlihat jenuh dan kurang
bersemangat. Selain itu posisi belajar siswa tidak berubah-ubah. Semua siswa duduk

menghadap kedepan papan tulis sehingga pembelajaran cenderung monoton dan kurang

memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan teman-temannya.

Metode yang digunakan guru pun lebih banyak ceramah sehingga anak lebih

banyak distimulus kemampuan

mendengarnya saja. Akibatnya adalah perkembangan bahasa pada siswa tidak

terstimulus dengan baik. Hal ini dapat terlihat dengan jelas ketika siswa

diminta mengemukakan pendapat, hanya siswa tertentu saja yang berani berbicara.

Demikian halnya dengan bertanya, hanya siswa tertentu saja yang bertanya. Hal yang sama

ketika dalam diskusi kelompok, ada siswa yang hanya diam, ada yang asyik dengan

kesibukan sendiri, ia tidak mengambil bagian dalam diskusi teman-temannya. Bahkan lebih

parah lagi masih ada siswa kelas III yang tidak berani berbicara sama sekali.

Pembelajaran dalam kelas masih terdapat guru yang menggunakan pendekatan yang

konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung monoton dan

membosankan. Guru cenderung hanya menggunakan pendekatan dan metode yang kurang

melibatkan siswa untuk mengoptialisasi kemampuan mereka untuk berbicara. Fakta di

lapangan, dalam setiap pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar sering dijumpai

para guru mengajarkan bahasa Indonesia dengan tidak melibatkan keempat komponen

penting bahasa Indoensia yaitu menyimak, bebicara, membaca, dan menulis.

Keempat komponen ini cenderung diajarkan secara terpisah-pisah. Artinya guru tidak

mengembangkan suatu desain pembelajaran bahasa Indonesia yang secara utuh yang

memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bahasa secara utuh (berbicara,

menyimak, membaca, dan menulis). Hasilnya kita masih melihat di lapangan bahwa siswa

diajarkan keempat kompenen bahasa secara terpisah dan tidak ada kombinasi yang utuh,

contohnya siswa hanya diajarkan untuk mendengar/menyimak ceramah dari guru, anak

hanya diajarkan menulis/mencatat materi dari guru saja. Siswa tidak diajak untuk belajar

berbahasa tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa.

Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara

sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara.

Akibatnya keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu

yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini
artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk

menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.

Hal ini tentu merugikan bagi masa depan siswa karena kemampuan berbicara siswa

yang telah dibawa sejak usia dini dari lingkungan keluarga ternyata tidak berkembang

dengan baik dalam lingkungan sekolah. Tentunya jika siswa tidak dibiasakan untuk

mengembangkan kemampuan berbicaranya sejak dini, hal ini bisa saja menyebabkan

kesulitan bagi siswa untuk bersosialisasi dengan sesamanya ketika dewasa nanti.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian guna mengatasi permasalahan yang ada di SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta

Timur dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang merangkul semua

keterampilan dalam mempelajari bahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan

menulis. Pendekatan pembelajaran yang peneliti anggap cocok untuk mengatasi masalah

ini adalah dengan menerapkan pendekatan bahasa terintegrasi (whole language).

Pendekatan bahasa terintegrasi (whole language) yaitu suatu pendekatan yang

menyajikan pembelajaran bahasa secara utuh atau tidak terpisah-pisah antara keterampilan

membaca, menulis, mendengar, dan berbicara. Pendekatan whole language berangkat dari

paham konstruktivis yang menyatakan bahwa siswa membentuk sendiri pengetahuannya

melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh dan menyeluruh. Belajar bahasa lebih

mudah terjadi jika disajikan secara holistik, nyata, relevan, serta fungsional.

Melalui pendekatan ini, selain siswa dapat mengintegrasikan seluruh keterampilan

bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) secara utuh, siswa juga dapat

mengembangkan komponen kebahasaan (tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, dan tata

makna). Dalam pendekatan whole language peran guru sebagai fasilitator pendidikan

diharapkan dapat memberikan pengajaran yang menyenangkan, bermakna, dan

terintegrasi.

Sehubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui

apakah pendekatan whole language dapat mengatasi masalah yang ada di SDN

Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur yaitu keterampilan berbicara anak dapat meningkat.

B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa fokus permasalahan

sebagai berikut:

1. Guru kurang menggunakan pendekatan dan metode yang efektif dalam pembelajaran

dikelas.

2. Guru kurang menstimulasi siswa untuk mengembangkan keterampilan bicara

3. Pembelajaran yang dirancang guru cenderung satu arah sehingga siswa mudah jenuh.

4. Siswa akan mengalami kesulitan dalam jenjang yang lebih tinggi jika keterampilan berbicara

mereka tidak distimulus dengan baik dalam lingkungan sekolah.

C. Pembatasan Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi area dan fokus penelitian di atas,

maka peneliti membatasi beberapa topik masalah yang akan diteliti sebagai fokus penelitian,

yaitu: kemampuan berbicara siswa kelas III SD dan pendekatan whole language.

D. Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan pembatasan fokus penelitian di atas, maka dapat dirumusan masalah

penelitian sebagai berikut: “Bagaimana meningkatkan kemampuan berbicara melalui

pendekatan whole language pada siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta

Timur ? Apakah dengan menerapkan pendekatan whole language dapat meningkatkan

kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur?

E. Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah

khususnya, dan bagi dunia pendidikan pada umumnya. Manfaat penelitian meliputi manfaat

teoretis dan manfaat praktis. Manfaat penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

a. Mendapatkan pengetahuan baru tentang cara meningkatkan kemampuan siswa dalam

menemukan pengetahuan sendiri melalui Pendekatan Whole Language.

b. Memberikan wawasan yang lebih luas tentang penggunaan pendekatan Whole

Language untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian yang relevan.
2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

1) Mencari dan menemukan kegiatan yang tepat dalam mengembangkan kemampuan

berbicara siswa SD kelas III

2) Menambah wawasan serta meningkatkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian

ilmiah serta penulisan laporan karya ilmiah

b. Bagi siswa

1) Meningkatkan kemampuan siswa dalam menemukan pengetahuan sendiri.

2) Meningkatkan kemampuan siswa dalam penguasaan keempat kompetensi bahasa secara

utuh yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

3) Meningkatkan hasil belajar siswa.

4) Meningkatkan perhatian dan konsentrasi siswa dalam pembelajaran.

c. Bagi Guru

1) Memperbaiki kualitas/mutu kegiatan pembelajaran yang dikelolanya.

2) Sebagai sarana perbaikan kinerja guru untuk dapat mengembangkan

penggunaan pendekatan yang bervariasi dalam pembelajaran.

3) Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman bagi guru.

4) Memberikan solusi kepada guru lain dalam memecahkan masalah pembelajaran bahasa

Indonesia.

5) Meningkatkan profesionalisme guru.

d. Bagi Sekolah

1) Memberi masukan kepada penyelenggara sekolah dalam upaya memperbaiki dan

merumuskan program sekolah ke depan.

2) Membantu sekolah untuk maju dan berkembang.

3) Meningkatkan kualitas belajar secara umum.

e. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa lain yang melakukan penelitian yang relevan.

f. Bagi Masyarakat

Menambah wawasan masyarakat tentang pentingnya perkembangan kemampuan berbicara

bagi anak khususnya anak usia sekolah dasar.


BAB II

ACUAN TEORETIK

A. Acuan Teori Area dan Fokus yang Diteliti

1. Pengertian Kemampuan Berbicara

Berbicara secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide,

pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga

maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Pengertian berbicara secara khusus

banyak dikemukakan oleh para pakar. Tarigan mengemukakan bahwa berbicara adalah

kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,

menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.[1] Dari kutipan ini dapat

dideskripsikan bahwa berbicara merupakan sebuah aktivitas yang tidak hanya melibatkan

organ bicara anak melainkan juga psikologi anak karena ketika seorang anak berbicara

maka secara tidak langsung ia sedang mengekspresikan dirinya seperti imajinasinya

tentang suatu hal.

Menurut Brooks dalam Tarigan, berbicara pada hakikatnya merupakan suatu proses

berkomunikasi sebab didalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat

lain. Dalam proses komunikasi terjadi pemindahan pesan dari komunikator (pembicara)

kepada komunikan (pendengar).

Gambar 2.1.
Bagan proses komunikasi menurut Brooks dikutip oleh Tarigan.[2]

Bagan komunikasi di atas menunjukan bahwa komunikasi tidak hanya melibatkan

kemampuan berbicara saja tetapi juga melibatkan kemampuan alat indera yang lain yang

bekerja secara utuh, seperti kemampuan menyimak untuk menangkap pesan dari seorang

pembicara yang menyampaikan maksud berupa penyandian yang disampaikan dalam

pengucapan. Selanjutnya perlu kemampuan kognitif juga untuk mengolah pesan yang

diterima. Hasilnya adalah pendengar dapat merespon komunikasi tersebut dan memberikan

tanggapan.
Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran
secara efektif, maka seyogyanyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu
yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap
(para) pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala
situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.[3]

Berdarkan kutipan ini dapat dideskripsikan bahwa dalam berbicara, seorang

komunikator harus mengontrol dirinya agar dapat mengkonsepkan maksud pembicaraan

dengan baik sebelum ia berbicara. Dalam pembejalaran di kelas, siswa tidak hanya dilatih

untuk berani berbicara, namun perlu dibina untuk menata kalimat yang ia gunakan.

Kemampuan seperti inilah yang perlu dilatih kepada siswa di dunia sekolah karena selain

siswa berbicara, ia juga harus dilatih untuk mempertanggung jawabkan apa yang ia katakan.

Pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum,

yaitu: memberitahukan, menghibur, mengajak, dan meyakinkan.[4]

Berdasarkan pendapat tersebut, jika dideskripsikan secara sederhana, memperoleh

kemampuan untuk memberitahukan (to inform), menghibur (to entertain), menyakinkan (to

persuade), semuanya dimulai dari penguasaan kemampuan berbicara atau berbahasa.

Setiap orang memiliki kemampuan untuk berbahasa, hanya saja untuk mengoptimalkan

kemampuan itu tidak banyak orang yang begitu peduli. Hal ini terbukti dengan masih banyak

orang yang merasa malu atau rag-ragu jika ditunjuk untuk berbicara. Namun sebaliknya ada

orang yang memiliki kemampuan berbicara yang baik untuk menginformasikan, menghibur

maupun meyakinkan, seperti wartawan, guru, reporter dan sebagainya.

Dalam pembelajaran di kelas, siswa tidak perlu menjadi reporter ataupun wartawan.

Siswa hanya perlu dilatih untuk mau dan berani berbicara, mengemukakan pendapatnya.

Jika siswa terlatih memiliki kemampuan berbicara atau kemampuan berbahasa yang baik
dan benar, maka kedepannya kemampuan itu akan terus berkembang dan bermanfaat bagi

anak baik untuk menginformasikan, menghibur atau meyakinkan.

Linguis berkata “speaking is language”. Berbicara adalah suatu keterampilan

berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh

keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar

dipelajari.[5] Jika dideskripsikan secara sederhana maka kemampuan berbicara adalah

kemampuan seorang anak yang berkembang ketika seorang anak sudah dapat menyimak

suatu informasi dan pada masa ini seorang anak sudah dapat mengembangkan

keterampilan tersebut, seperti merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat yang dapat

digunakan anak dalam menyampaikan berbagai ekspresi dirinya seperti keinginan, ide,

perasaan, maupun pengalamannya tentang banyak hal. Dengan bicara maka semua itu

dapat tersampaikan kepada orang-orang disekitarnya dan anak pun dapat berinteraksi

dengan orang-orang di sekitarnya.

Agar menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain harus harus

memberikan kesan bahwa dirinya menguasai masalah yang dibicarakan, maka seorang

pembicara juga memerlukan keberanian untuk berbicara. Ada beberapa faktor yang harus

diperhatikan oleh si pembicara untuk keefektifan berbicara, yaitu faktor kebahasaan dan

faktor non kebahasaan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara

secara langsung menurut Maidar adalah sebagai berikut: pelafalan, intonasi, pilihan kata

dan kalimat, struktur kata dan kalimat, kelancaran, sikap berbicara, gerak-gerik dan mimik

muka.[6]

Berdasarkan pemaparan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara di

atas, dapat dikelompok menjadi 2 aspek utama yang perlu diperhatikan ketika seseorang

berbicara, yaitu aspek kebahasaan yang meliputi kelancaran berbicara, intonasi, serta

penggunaan kalimat. Sedangkan aspek non kebahasaan yang meliputi percaya diri atau

keberanian untuk berbicara, serta ekspresi.

2. Pentingnya Kemampuan Berbicara

Keterampilan berbicara penting dikuasai peserta didik agar mampu mengembangkan

kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Dalam hal ini, seorang pakar

sosiolinguistik mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik lisan

maupun tulisan. Namun, fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar yang menurut
Kinneavy dikutip oleh Abdul Chaer, fungsi tersebut disebut fungsi ekspresi, fungsi informasi,

fungsi eksplorasi, fungsi persuasi, dan fungsi entertainment.[7]

Jika dideskripsikan, fungsi ekspresi adalah fungsi bahasa untuk mengungkapkan

perasaan seperti benci, senang, kesal, marah yang dialami penutur kepada yang orang lain.

Fungsi informasi adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan pesan kepada orang lain.

Fungsi persuasi adalah fungsi bahasa untuk mengajak seseorang untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu secara lisan. Terakhir adalah fungsi entertainment, fungsi bahasa

ini adalah untuk menghibur seseorang atau membuat orang lain senang.

Berbicara membantu seseorang untuk mengekspresikan banyak hal. Selain penutur

yang mendapatkan manfaat, bahasa juga dapat memberi manfaat kepada orang lain,

seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari,

misalnya ketika seorang anak menginginkan sesuatu seperti makanan dan anak tersebut

mengungkapkannya dengan berbicara maka orang tua akan mengetahui bahwa anaknya

menginginkan makanan tersebut sehingga orang tua dapat mengambilkan makanan yang

disukai anaknya. Contoh lainnya adalah ketika seorang anak dikasari oleh temannya, ia

akan menyampaikan hal tersebut kepada orang tuanya. Dengan kata-kata, anak

menyampaikan perasaan sedih, marah, dan senang dengan bahasanya yang polos

seorang kepada orang tua.

Penguasaan ilmu kemampuan berbicara akan menunjang atau membantu kemahiran

serta keberhasilan dalam praktek berbicara, oleh karena itulah diperlukan pendidikan

berbicara.[8] Kutipan ini menggambarkan betapa pentingnya kemampuan berbicara.

Kemampuan berbicara anak akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan,

mengonsepkan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara

lisan. Pemberian pendidikan berbicara secara tepat kepada anak, akan menunjang atau

membantu kemahiran serta keberhasilan anak dalam praktik berbicara. Oleh karena itu

diperlukan pendidikan berbicara dengan menggunakan pendekatan yang efektif.

3. Aspek-aspek Perkembangan Berbicara

Pada saat anak masuk sekolah dasar keragaman kemampuan anak masih menonjol.

Keragaman tersebut berupa keragaman kemampuan berbahasa, keragaman pengetahuan

dan pengalaman berbahasa ibu maupun keragaman dalam berbahasa Indonesia.[9] Jika
dilihat dari kutipan ini tentunya pada saat itu seorang anak sudah memiliki kosakata yang

banyak dan sebagai dasar yang baik untuk berkomunikasi.

Menurut Chaer, setiap tata bahasa menurut generatif transformatif dibangun oleh

tiga buah komponen, yaitu 1) Komponen sintaksis, 2) Komponen sematik, dan 3) Komponen

fonologi. Jika dilihat dari artinya sintaksis adalah urutan dan organisasi kata-kata (leksikon)

yang membentuk frase atau kalimat menurut aturan atau rumus dalam bahasa itu,

sedangkan semantik adalah makna suatu kalimat dan fonologi adalah system bunyi suatu

bahasa.[10] Jika dideskripsikan, kutipan ini menyebutkan bahwa kemampuan bahasa

seoarang anak dibagun atas tiga komponen yaitu sintaksis, fonologi, dan semantik.

Sintaksis merupakan kemampuan anak dalam merangkai kata menjadi sebuah kalimat,

sedangkan fonologi adalah kemampuan anak dalam mengeluarkan bunyi-bunyi dan

semantik adalah kemampuan anak dalam memahami makna dari bunyi-bunyi yang

diucapkannya tersebut. Ketiga komponen ini saling terkait satu dengan lainnya karena

ketiganya berkembang secara bertahap kemudian menjadi pondasi dasar bagi

perkembangan bahasa anak.

Hal ini sesuai dengan pendapat Waterson dalam Chaer, yang mengemukakan

bahwa pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantik dan

fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.[11] Jadi, ketiga komponen ini saling

berkaitan dan merupakan pondasi yang dapat mendukung perkembangan bicara anak

karena ketika anak mendengar maka ia akan mempelajari setiap kata yang didengarnya,

lalu anak menirukan kata tersebut. Dengan kosakata yang dimilikinya tersebut seorang anak

dapat berkomunikasi dengan orang lain serta mengekpresikan dirinya. Selama anak

melakukan interaksi dengan lingkungannya maka selama itulah anak belajar akan makna

dari kata-kata yang didengarnya tersebut.

Kemampuan bahasa anak terus berkembang. Ketika memasuki tingkat yang lebih

tinggi dalam pendidikan sekolah dasar (kelas 3-6), anak akan mengalami perkembangan

yang paling penting dalam pertumbuhan bahasa, yaitu perkembangan pragmatik

(penggunaan bahasa).[12] Pendapat ini berati bahwa pada masa sebelumnya (masa pra

sekolah maupun SD kelas rendah) anak belum memiliki kemampuan berbicara yang tertata

dengan baik. Bahasa yang digunakan oleh anak adalah bahasa yang seadanya sebagai

bentuk ungkapan pikirannya. Namun seiring dengan meningkatnya kemampuan berpikir


anak, sehingga hal ini memungkinkan anak untuk berbicara lebih baik. Anak sudah bisa

menatah kalimat dengan baik, anak termasuk menggunakan bahasa yang benar.

4. Metode Pembelajaran Berbicara yang Baik Dalam Membantu Perkembangan Bahasa

Anak

Ngalimun dan Alfulaila menyatakan bahwa Prinsip penyusunan bahan bahasa dan

sastra adalah keterpaduan.[13] Artinya, keempat keterampilan berbahasa (menyimak,

berbicara, membaca, dan menulis) dikembangkan secara bersama dan terpadu. Hal ini

berarti pemebelajaran bahasa harus disajikan dengan pendekatan yang utuh (whole).

Tujuan dari prinsip keterpaduan dalam bahasa ini tidak lain karena masing-masing

keterampilan berbahasa adalah saling berkaitan satu dengan yang lain. Misalnya

keterampilan membaca dikaitkan dengan berbicara. Dalam penyajiannya, bisa dilakukan

dengan siswa diminta untuk membaca bahan bacaan sederhana, kemudian siswa diminta

untuk menceritakan kembali isi bacaan tersebut. Hal ini tidak saja melatih perkembangan

kosa kata dan perkembangan pragmatik anak, namun juga melatih keberanian anak dalam

berbicara.

Selain penyampaian pembelajaran bahasa secara utuh, diperlukan metode yang

tepat untuk menyampaikan bahan pembelajaran bahasa agar efektif. Beberapa metode

yang baik untuk pembelajaran keterampilan berbicara menurut Ngalimun dan Alfulaila

adalah:
Metode ulang-ucap, metode lihat-ucap, metode memerikan, metode menjawab
pertanyaan, metode bertanya, metode pertanyaan menggali, metode melanjutkan, metode
menceritakan kembali, metode percakapan, metode parafrasa, metode reka cerita gambar,
metode bercerita, metode memberi petunjuk, metode melaporkan, wawancara, bermain
peran, metode diskusi, bertelepon, dan metode dramatisasi.[14]

Berikut penjelasan singkat mengenai metode-metode tersebut:

Metode ulang ucap maksdunya dimana guru berbicara, kemudian siswa diminta

untuk menyimak dan mengucapkan kembali. Ini bisa dilakukan juga dengan memberikan

rekaman suara yang didengar oleh siswa kemudian siswa menirukan kembali bunyi

rekaman tersebut.

Metode lihat-ucap, dalam pelaksanaannya guru memperlihatkan sebuah gambar

atau benda kemudian siswa diminta untuk mengucapkan nama gambar atau benda

tersebut. Contoh: guru menunjukan sebuah buku, kemudian siswa menjawab “itu buku”.
Metode memerikan atau mendeskripsikan, caranya siswa diminta untuk mengamati

gambar, benda atau sebuah aktifitas. Setelah itu siswa diminta untuk mendeskripsikan

gambar atau benda yang dilihat. contohnya: guru menunjuk meja dan guru bertanya kepada

siswa apa saja bagian-bagian meja, siswa menjawab: ada taplak meja, ada kaki meja, dan

sebagainya.

Metode menjawab pertanyaan, metode ini sangat mudah diprakrikan dalam

membantu anak untuk berbicara. Pelaksanaanya, guru mengajukan pertanyaan yang

kemudian dijawab oleh siswa. contoh: guru bertanya “siapa yang sudah sarapan tadi pagi?”

Metode pertanyaan menggali yaitu guru merangsang anak untuk mengemukakan

pendapatnya melalui pertanyaan mendalam tentang suatu objek yang diberikan kepada

siswa. contoh: guru memperlihatkan sebuah tas kepada siswa, kemudia guru memberikan

pertanyaan terkait tas itu, seperti namanya, warnanya, gunanya, terbuat dari apa,

bagaimana membuatnya, dan sebagainya.

Metode melanjutkan maksudnya adalah siswa dan guru membuat sebuah cerita

yang disepakati bersama, kemudian guru atau seorang siswa memulai cerita yang akan

dilanjutkan oleh siswa selanjutnya. pada akhir kegiatan, cerita akan diperiksa apakah sudah

benar atau tidak.

Metode menceritakan kembali, pelaksanaannya siswa diberikan sebuah cerita atau

bacaan. Kemudian setelah siswa mendengar cerita atau membaca bacaan, selanjutnya guru

meminta siswa untuk menceritakan kembali apa yang telah dibaca dengan kata-kata sendiri.

Metode percakapan adalah metode yang dalam pelaksanaannya, guru membagi

peran kepada siswa. Masing-masing siswa diberikan topik percakapan misalanya tentang

“berangkat ke sekolah” kemudian siswa diminta secara berpasangan (bisa dua orang atau

lebih) untuk melakukan percakapan tentang topik tersebut.

Metode reka cerita gambar dilakukan dengan guru memberikan sebuah gambar

yang berisikan aktivitas tertentu. Kemudian siswa diminta untuk menghayati dan

memberikan pendapat tentang latar belakang cerita yang ada dalam gambar tersebut.

Metode memberi petunjuk dilakukan dengan cara siswa menjelaskan cara membuat

sesuatu, arah, proses, tempat, dan sebagainya. Dengan cara ini siswa akan semakin

terampil dalam berbahasa lisan.


Metode wawancara bisa dilakukan dengan siswa bermain peran (ada siswa yang

berperan sebagai narasumber dan siswa lain sebagai pewawancara). Selain itu untuk

melatih keberanian siswa untuk berbicara, guru melatih siswa untuk mewancarai guru-guru

dan kepala sekolah.

Metode bermain peran biasanya dilakukan dengan cara siswa diberikan peran

masing-masing, kemudian siswa mempraktikkan peran masing-masing sesuai dengan

karakter tokoh yang dibawakan. Hal ini selain membantu siswa dalam berbicara, juga

membantu siswa dalam berimajinasi.

Metode diskusi dilakukan dengan cara siswa dibagi dalam kelompok, kemudian

masing-masing siswa dalam kelompok diberikan materi atau sebuah persoalan yang

diselesaikan dengan berdiskusi. Metode diskusi cukup efektif dalam melatih anak untuk

mengemukakan pendapatnya karena biasanya anak lebih terbuka untuk berbicara dengan

teman sebayanya.

Berdasarkan teori-teori para ahli yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan

bahwa kemampuan beribicara adalah kemampuan mengungkapkan maksud, ide, gagasan,

pikiran secara lisan sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Agar penyampaian pesan

dapat dipahami oleh orang lain, maka pembicara harus memperhatikan aspek kebahasaan

dan aspek non kebahasaan.

B. Acuan Teori Rancangan-rancangan Alternatif atau Disain-disain Alternatif Intervensi

Tindakan yang Dipilih

1. Hakikat Pendekatan Whole Language

a. Pengertian pendekatan whole language

Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar,

salah satunya adalah pendekatan whole language. Brown mengatakan “a teacher must

integrate the four language groups of listening, speaking, reading and writing as well as all

content areas that extend learning”.[15] Guru harus dapat memadukan keempat

keterampilan berbahasa yang digunakan anak agar dapat belajar dengan baik. Konsep

pembelajaran bahasa secara utuh akan memudahkan anak dalam belajar bahasa.

Pembelajaran yang utuh menumbuhkan keempat kompetensi bahasa (menyimak,

membaca, menulis, berbicara) secara bersamaan dan sesuai dengan perkembangan anak.
Hal ini lebih efektif dan memberikan arti bagi anak dibandingan dengan anak hanya belajar

bahasa secara terpisah. Tugas guru sebagai perancang pembelajaran akan sangat

menentukan bagi perkembagan anak. Tidak saja dalam penguasaan konsep, tetapi

pemilihan metode dan pendekatan yang tepat juga harus diperhatikan oleh guru.

Menurut Weaver, whole language merupakan hasil penelitian dari berbagai macam

disiplin ilmu diantaranya adalah teori pemerolehan bahasa, budaya keaksaraan,

psikolinguistik, psikologi perkembangan dan kognitif, antropologi dan ilmu pendidikan.

[16] Dari berbagai disiplin ilmu ini lahirlah pendekatan whole language yang memberikan
pemahaman baru dalam mengajarkan bahasa yang lebih utuh kepada anak karena anak

diajarkan bagaimana memahami bahasa secara lebih bermakna dan mengembangkan

seluruh kemampuan bahasa anak seperti mendengar, berbicara, membaca dan menulis

dengan cara yang lebih menyenangkan.

Pendekatan whole language merupakan sebuah pendekatan yang memberikan

pembelajaran berbahasa secara lebih menyeluruh dengan mengintegrasikan segala aspek

dalam pembelajaran bahasa (membaca, menulis, menyimak, berbicara). Hal ini dikarenakan

dalam pendekatan whole language antara satu kemampuan dengan kemampuan lainnya

saling terkait dan membentuk sebuah fondasi yang membangun sebuah kemampuan yang

utuh. Seperti antara kemampuan mendengar dan kemampuan berbicara saling berkaitan

karena ketika anak mendengar maka ia pun tengah menyimpan kosakata yang akan ia

gunakan untuk berbicara.

b. Karakteristik Pendekatan Whole Language

Ada beberapa karakteristik pendekatan whole language menurut para ahli antara

lain : 1) Whole language adalah sebuah pandangan positif tentang pembelajar, 2) Whole

language memberikan penegasan tentang peran guru dalam proses pembelajaran,

3) Whole language memandang bahasa sebagai pusat pembelajaran, 4) Whole

language menerapakan kurikulum ganda.[17] Berikut ini penjelasan singkat mengenai

karakteristik tersebut:

Pertama, whole language adalah sebuah pandangan positif tentang pembelajar. Para

penganut whole language berpendapat bahwa pembelajar memilki kekuatan, kesanggupan,

dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah peribadi yang kreatif. Para penganut whole
language mengakui adanya perbedaan di antara pembelajar, dilihat dari segi budaya,

sistem nilai, pengalaman, kebutuhan, minat, dan bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut

bersifat personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, bisa juga bersifat sosial

sebagai refleksi dari suku-suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial di mana

pembelajar berada. Oleh karena itu, guru-guru di kelas whole language menghargai

perbedaan di antara para pembelajar.

Kedua, whole language memberikan penegasan tentang peran guru dalam proses

pembelajaran. Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru

sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada pembelajar dalam melaksanakan

transaksi dengan dunia luar. Meskipun para guru di kelas-kelas whole language adalah

yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para pembelajar, namun mereka tetap

memiliki kewenangan dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan memilih sumber-

sumber belajar yang diperlukan oleh pembelajar. Di kelas-kelas whole language, guru juga

bersama-sama dengan pembelajar memecahkan berbagai persoalan dan mencari jawaban

terhadap pertanyaan-pertanyaan.

Ketiga, whole language memandang bahasa sebagai pusat pembelajaran. Bahasa

bagi manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Baik di dalam maupun di luar

lingkungan sekolah, bahasa lisan dan tulis akan lebih baik dan mudah dipelajari dalam

akivitas berbahasa yang otentik dan dalam peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi

bahasa yang sesungguhnya. Dengan alasan ini maka whole language program menolak

pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini

berlaku juga untuk aktivitas membaca dan menulis permulaan. Selain itu, pengajaran

membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak terpisah tetapi terpadu.

Keempat, whole language menerapakan kurikulum ganda. Setiap aktivitas,

pengalaman, atau unit memiliki kesepakatan dalam pengembangan linguistik dan sekaligus

kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada saat yang bersamaan pengetahuan

dan konsep dikembangkan sementara skema dibangun. Para guru penganut whole

language menggunakan unit tematik untuk menerapakan penggunaan kurikulum ganda.

Mereka bertindak sebagai “pengamat anak-anak”, memonitor perkembangan bahasa anak-

anak pada saat anak-anak atau pembelajar memecahkan persoalan atau menjawab

berbagai pertanyaan.
c. Ciri-ciri Kelas yang Menerapkan Pendekatan Whole Langauge

Ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language diantaranya adalah: Kelas

yang menerapkan whole language penuh dengan barang cetakan, siswa belajar melalui

model atau contoh, siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat

perkembangannya, siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran, siswa terlibat

secara aktif dalam pembelajaran bermakna, siswa berani mengambil risiko dan bebas

bereksperimen, siswa mendapat balikan (feed back) positif baik dari guru maupun

temannya.[18]

Pertama, kelas yang menerapkan whole language penuh dengan

barang cetakan. Barang-barang tersebut bisa saja berupa poster hasil kerja siswa yang

ditempel dinding dan bulletin board. Karya tulis siswa dan chart yang dibuat siswa

menggantikan bulletin board yang dibuat oleh guru. Salah satu sudut kelas diubah menjadi

perpustakaan yang dilengkapi berbagai jenis buku (tidak hanya buku teks), majalah, koran,

kamus, buku petunjuk dan berbagai barang cetak lainnya.

Kedua, siswa belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama

melakukan kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara.

Ketiga, siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Artinya

dalam pembelajaran whole language, materi yang diberikan difokuskan pada siswa dengan

memperhatikan tingkat kesulitan materi disesuaikan dengan kemampuan siswa. Adapun

siswa diberikan kebebasan untuk bereksplorasi mengembangkan kemampuannya,

sedangkan guru hanya sebagai fasilitator.

Keempat, siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran.

Peran guru di kelas whole language hanya sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih

beberapa tanggung jawab yang biasanya dilakukan oleh guru, mulai dari tanggung jawab

dalam kelompok, sampai mngurus kelas.

Kelima, siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran bermakna. Dalam hal ini

interaksi guru adalah multiarah. Siswa dilibatkan dalam kegiatan yang menstimulus siswa

untuk belajar dengan bebas dan menyenangkan.


Keenam, siswa berani mengambil risiko dan bebas bereksperimen. Guru tidak

mengharapkan kesempurnaan, yang penting adalah respon atau jawaban yang diberikan

siswa dapat diterima.

Ketujuh, siswa mendapat balikan (feed back) positif baik dari guru maupun

temannya. Konferensi antara guru dan siswa memberi kesempatan pada siswa untuk

melakukan penilaian diri dan melihat perkembangan diri. Siswa yang mempresentasikan

hasil tulisannya mendapatkan respon positif dari temannya. Hal ini dapat membangkitkan

rasa percaya diri. Dari ketujuh ciri tersebut dapat terlihat bahwa siswa berperan aktif dalam

pembelajaran. Guru tidak perlu berdiri lagi di depan kelas meyampaikan materi. Sebagai

fasilitator guru berkeliling kelas mengamati dan mencatat kegiatan siswa. Dalam hal ini guru

menilai siswa secara informal.

d. Penilaian dalam Kelas Whole Language

Dalam kelas whole language, guru senantiasa memperhatikan kegiatan yang

dilakukan oleh siswa. Secara informal selama pembelajaran berlangsung guru

memperhatikan siswa menulis, mendengarkan siswa berdiskusi baik dalam kelompok

maupun diskusi kelas. Ketika siswa bercakap-cakap dengan temannya atau dengan guru,

penilaian juga dilakukan.[19]

Walaupun guru tidak terlihat membawa-bawa buku, guru menggunakan alat penilaian

seperti lembar observasi dan catatan anekdot. Dengan kata lain, dalam kelas whole

language guru memberikan penilaian pada siswa selama proses pembelajaran

berlangsung. Selain penilaian informal, penilaian juga dilakukan dengan menggunakan

portofolio. Portofolio adalah kumpulan hasil kerja selama kegiatan pembelajaran. Dengan

portofolio perkembangan siswa dapat terlihat secara autentik.

e. Strategi Pembelajaran Dengan Menggunakan Pendekatan Whole Language

Setiap pendekatan memiliki ciri khas masing-masing karena hal ini berkaitan dengan

tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Berikut beberapa strategi dalam penerapan

pendekatan whole language yang mendukung kondisi belajar sehingga siswa dapat

mengembangkan kemampuan bahasanya secara utuh menurut Cambourne, 1) Immertion,


2) Demonstration, 3) Expectation, 4) Responsibility, 5) Employment,

6) Approximation, 7) Feedback. [20]

Berikut deskripsi secara sederhana tentang komponen-komponen tersebut:

Pertama, immertion (ketenggelaman) adalah kondisi dimana siswa berada dalam

lingkungan yang dipenuhi oleh pembelajaran bahasa di dalamnya. Ada tulisan dan

percakapan tentang banyak hal yang terjadi di lingkungan sekitar anak, namun dengan

suasana yang menyenangkan sehingga siswa tidak merasa sedang belajar karena ia

menikmati proses pembelajaran yang dilakukannya. Dengan kelas yang kaya akan

tulisan, siswa akan melihat dan mulai memahami kata-kata tersebut memiliki sebuah makna

dan sering didengarnya baik dalam percakapan sehari-hari dengan temannya maupun

dengan gurunya. Kata-kata ini pun semakin diperkaya guru dengan sering mengadakan

percakapan ataupun diskusi kecil dengan anak-anak, baik membicarakan tentang tema

maupun peristiwa yang pernah dialami oleh siswa. Pembelajaran ini dapat dilakukan antara

lain dengan berbagi cerita (anak bercerita), mendengarkan cerita dari guru, bercakap-cakap

tentang tema, dan bernyanyi.

Kedua, demonstration (demonstrasi atau pemberian contoh)

merupakan kondisi dimana guru memberikan contoh atau anak mendengar dan

menyaksikan contoh dari media lain seperti VCD. Disini siswa mendapat contoh yang baik

dan nyata tentang bunyi berupa kata-kata kemudian kata-kata tersebut disertai pemberian

contoh melalui benda nyata yang ada di sekitar anak.

Tentunya pemberian contoh ini dapat berupa benda nyata atau gambar yang dapat

mewakili benda tersebut sehingga siswa mendapat gambaran nyata tentang kata-kata yang

diucapkannya dan makna dari kata tersebut. Misalnya: seorang siswa menceritakan tentang

pengalamannya tentang sepeda barunya maka guru dapat mengenalkan kepada anak

bahwa “sepeda” merupakan contoh benda yang berawalan huruf “s”, lalu guru dapat

meminta siswa untuk menunjukkan atau mengucapkan benda lain yang berawalan huruf “s”.

Contoh demonstrasi tersebut tentunya lebih bermakna dan menyenangkan

bagi siswa daripada anak harus menghafal kata-kata yang banyak tanpa mengerti makna

kata yang diucapkannya tersebut sehingga siswa cepat merasa bosan dan mendapatkan

kesan tidak menyenangkan ketika mempelajari bahasa.


Ketiga, Expectation (harapan) merupakan dukungan dan harapan dari lingkungan

sekitar yang diberikan kepada siswa dalam mencapai sesuatu. Hal ini merupakan hal yang

sangat penting bagi anak karena dengan dorongan atau dukungan positif yang diperoleh

maka anak akan merasa lebih bersemangat dalam belajar.

Keempat, responsibility (tanggung jawab) maksdunya adalah siswa sebagai

seorang individu maupun makhluk sosial juga memiliki tanggung jawab tentang segala

sesuatu yang telah dilakukannya. Dalam proses pembelajaran, rasa tanggung jawab ini

dapat ditanamkan siswa secara perlahan seperti membuat peraturan bersama

dengan siswa seperti merapihkan kembali tempat duduknya dan sebagainya.

Kelima,employment (kesempatan) siswa akan dapat mengembangkan segala

potensi dirinya jika ia diberi kesempatan. Kesempatan untuk berbicara atau mengemukakan

pendapat merupakan hal yang penting bagi siswa karena dengan memberi kesempatan

kepada siswa untuk berbicara atau mengemukakan pendapatnya maka siswa akan belajar

mengembangkan kemampuan berbicaranya. Mulai dari memilih kata untuk diucapkan,

merangkai kata demi kata sehingga menjadi kalimat yang dapat dipahami orang lain hingga

anak dapat bereksplorasi dengan kata-kata baru yang mungkin baru diperoleh siswa.

Namun perlu diingat bahwa pendidik hendaknya bersabar dalam memberi kesempatan

kepada siswa karena setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda.

Keenam, approximation (Pendekatan ucapan) ketika seorang anak belajar untuk

berbicara maka ia biasanya akan meniru kata-kata yang diucapkan oleh orang dewasa

namun mereka terkadang masih kurang sempurna mengucapkannya. Untuk itu seorang

pendidik harus memahaminya dengan menghargai ucapan siswa dan bukan mencela

karena ketika mereka berbicara lalu dicela, maka seorang siswa akan merasa tidak dihargai

atau mereka akan merasa takut sehingga siswa tidak akan berani mencoba untuk berbicara

atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu hal.

Selain itu, mengikuti ucapan anak yang masih kurang sempurna pun bukanlah hal

yang baik karena siswa akan merasa kata yang diucapkannya sudah benar

sehingga siswa akan terus berbicara seperti itu. Untuk itu, ketika di dalam proses kegiatan

belajar mengajar seorang anak melakukan hal tersebut, maka seorang guru dapat

melakukan tindakan yang benar untuk meresponnya, yaitu dengan mendengarkan terlebih

dahulu ucapan siswa dan guru mencoba memperbaiki ucapan anak yang kurang sempurna
tanpa harus menyalahkan siswa sehingga akan tumbuh keberanian dalam diri anak untuk

terus belajar berbicara tanpa harus takut salah dalam berbicara.

Ketujuh, feedback (umpan balik) adalah pemberian umpan balik berupa respon positif

kepada siswa seperti: menjawab pertanyaan yang diajukan siswa, menanggapi

pendapat siswa tentang suatu hal, hingga memberi penghargaan ketika siswa dapat

menjawab pertanyaan. Ini merupakan hal yang penting bagi perkembangan

berbicara siswa karena dengan umpan balik ini seorang siswa akan merasa termotivasi

untuk terus belajar mengembangkan kemampuan berbicaranya.

Selain itu, dengan mendapat motivasi dari orang-orang di sekitarnya, siswa akan

merasa lebih berharga karena apa yang telah dilakukannya dihargai oleh orang lain. Contoh

dari kondisi belajar ini adalah ketika seorang anak dapat menjawab pertanyaan guru, berani

bercerita di depan kelas, atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu hal maka guru

langsung meresponnya dengan memberikan pujian atau reward bintang

sehingga siswa akan merasa belajar mengemukakan pendapat atau berbicara bukanlah

sesuatu yang menakutkan atau sulit dilakukan.

2. Karakteristik Perkembangan Anak Kelas III SD (usia 9-10 tahun)

a) Perkembangan kognitif anak kelas III SD (usia 9-10 tahun)

Sebelum membahas tentang karakteristik bahasa anak usia 9-10 tahun (kelas III SD),

perlu terlebih dahulu kita simak beberapa fase perkembangan kognitif pada anak. Jean

Piaget (1896 – 1980) dalam Fudyartanta, membagi masa perkembangan kognitif anak

menjadi tiga masa, yakni: 1) masa sensorimotor (dari bayi lahir - umur dua tahun), 2 ) masa

pra-operasional (umur 2 tahun - 7 tahun), 3) masa operasional kongkret (umur 7 – 12

tahun), 4) masa operasional formal (umur 12 tahun ke atas).[21]

Masa sensorimotor (dari bayi lahir sampai umur dua tahun): Setiap manusia pasti

dilengkapi oleh anugerah dari Tuhan yang maha kuasa. Manusia dilengkapi dengan

berbagai kemampuan yang mulia yang dibawa sejak lahir. Sejak bayi, sebenarnya semua

kemampuan itu mulai ditunjukan, termasuk kemampuan untuk berkomunikasi. Pada masa

bayi, naluri untuk berbicara atau berkomunikasi mulai ditunjukan. Misalnya saja ketika

seorang bayi merasa lapar, ia akan mengkomunikasikan apa yang ia rasakan melalui suara

tangisan sebagai suatu isyarat pengganti kata-kata yang kemudian dimengerti oleh ibunya
bahwa dirinya sedang lapar. Fase isi terus berkembang, hingga mencapai puncak

perubahan yaitu pada usia 2 tahun. Ketika memasuki usia dua tahun, anak tidak lagi hanya

menggunakan suara tangisan, namun anak mulai bisa mengucapkan kata-kata sederhana

untuk berkomukasi. Contohnya ketika anak merasa lapar, ia berusaha untuk menyampaikan

apa yang ia rasakan dengan mengucapkan kata “am”, “mam”, atau “makan”.

Masa pra-operasional : umur 2 - 7 tahun. Seiring bertambahnya usia anak,

kemampuan anakpun akan meningkat. Dari hanya bisa menangis, berubah menjadi anak

bisa mengucapkan kata-kata sederhana, kemudian memasuki tahap pra-operasional. Pada

tahap ini anak mulai belajar banyak kata-kata baru yang ia dengar dari orang-orang

sekitarnya. Anak pada usia 2-7 tahun masih sangat polos, ditandai dengan anak belajar

untuk mengucapkan setiap kata-kata yang ia dengar tanpa mengerti apa arti dari kata

tersebut. Dengan polosnya anak belajar dari orang-orang sekitarnya untuk berkomunikasi.

Anak juga sudah bisa berkomunikasi dengan teman sebayanya walaupun secara emosional

cenderung anak usia ini masih berfikir egosentris.

Masa operasional konkret, umur 7 – 12 tahun. Ketika anak melewati masa pra-

operasional, selanjutnya kemampuan anak akan meningkat dan memasuki masa

operasional kongkrit. Tahap ini merupakan tahap perkembangan lanjutan dari masa

sebelumnya. Anak mulai belajar banyak hal, tidak hanya dilingkungan keluarga namun juga

dilingkungan sekolah dan masyarakat. Banyak pakar psikologi yang mengatakan bahwa

masa ini adalah masa keemasan bagi anak untuk mengembangkan bahasanya. Hal ini

dikarenakan secara kognitif, anak sudah dapat berpikir kongkrit dan logis.

Masa operasional formal, umur 12 tahun ke atas. Pada masa ini, anak mulai

memasuki tahap berpikir abstrak dan logis. Secara perlahan kamampuan bahasa dan

kemampuan berpikir anak terus berkembang hingga menuju tahap sempurnah. Demikian

seterusnya hingga anak menjadi dewasa.

Berdasarkan paparan singkat tentang teori perkembangan perkembangan kognitif ini,

anak usia sekolah dasar khususnya kelas 3 (usia 9-10 tahun) berada pada rentang masa

operasional konkret. Masa ini ditandai dengan anak sudah mampu berpikir logis, menguasai

konversasi jumlah serta dapat menggolongkan objek menurut dimensi dan ukuran. Dengan

rentang usia yang masih muda dan tingkat pemikiran yang berada dalam tahap operasional

kongkret, merupakan masa keemasan bagi anak untuk menyerap informasi sebanyak
mungkin termasuk mengembangkan kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara,

membaca, dan menulis.

b) Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Kelas 3 SD (usia 9-10 tahun)

Usia sekolah dasar meruapakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal

dan menguasai perbendaharaan kata (vocabulari). Pada tahap usia sekolah,

perkembangan bahasa anak yang paling jelas tampak ialah perkembangan semantik dan

pragmatik. Disamping anak memahami bentuk-bentuk baru, anak belajar menggunakannya

untuk berkomunikasi dengan lebih efektif termasuk bagaimana perkembangan komunikasi

awal. Perkembangan bahasa anak lainnya berupa perkembangan morfologis,

perkembangan sintaksis, dan perkembangan fonologis.[22]

Dari kutipan di atas, perkembangan kemampuan berbahasa anak, baik figuratif dan

pragmatik sangat penting untuk diketahui oleh guru sebagai fasilitator. Usia sekolah dasar

khususnya kelas III merupakan masa panting dimana bahasa anak akan dikembangkan di

lingkungan sekolah. Apa bila kemampuan anak terus dibina, diharapkan kemampuan

berbahasa verbal anak-anak akan menjadi semakin baik, lebih dari itu mereka akan melatih

mengeskresikan pikiran dan perasaanya secara sistematis dan santun.

Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan kemampuan

berbicaranya secara vertikal tidak secara horisontal.[23] Maksudnya, mereka sudah dapat

mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Semakin lama

kemampuan berbicaranya semakin sempurna dalam arti strukturnya menjadi benar, pilihan

katanya menjadi tepat, serta kalimat-kalimatnya bervariasi.

Pada awal sekolah dasar, khusunya anak kelas rendah (kelas 1-3) mereka sudah

mengenal sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir (kelas 4-6) anak sudah menguasai

50.000 kata.[24] Berdasarkan keterangan ini, siswa kelas III SD tentu sudah memiliki

kemampuan yang memadai untuk berbicara secara baik. Mereka dapat berdiskusi,

menyampaikan pendapat dengan baik, berargumen serta menguasai berbagai percakapan

formal dalam sekolah maupun masyarakat. Dengan dikuasainya keterampilan membaca

dan berkomunikasi dengan orang lain, anak usia kelas 3 SD sudah gemar membaca dan

mendengar cerita yang bersifat kritis (tentang perjalanan, petualangan, riwayat para

pahlawan, dan sebagainya).


Mengingat anak kelas III berada pada masa peralihan menuju kelas tinggi, pada masa

ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju, mereka lebih banyak menanyakan soal waktu dan

sebab akibat. Oleh sebab itu, kata tanya yang dipergunakan mereka yang semula hanya

“apa”, sekarang sudah diikuti dengan “dimana”, “dari mana”, “ mengapa”, dan “bagaimana”.

Pembelajaran bahasa di sekolah diberikan yang dengan sengaja kepada anak untuk

menambah perbendaharaan kata yang dimiliki anak, belajar menyusun struktur kalimat,

peribahasa, kesusastraan, dan keterampilan mengarang. Dengan dibekali pelajaran bahasa

disekolah dasar, diharapkan anak dapat menguasai dan mempergunakannya sebagai alat

untuk: 1) berkomunikasi dengan orang lain, 2) menyatakan isi hati atau perasaannya, 3)

memahami keterampilan mengolah informasi yang diterimanya, 4) berpikir, berbicara

(menyampaikan gagasan atau pendapat) 5) mengembangkan kepribadiannya, seperti

menyatakan sikap dan keyakinannya.[25] Artinya ketika memasuki dunia sekolah, anak

sudah memiliki kemampuan dasar untuk terampil berbicara. Pembelajaran bahasa yang

diberikan untuk anak diharapkan tidak hanya mampu menambah perbendaharaan kata yang

dimiliki anak, namum selain itu mampu meningkatkan percaya diri anak untuk berbahasa.

Mengingat siswa kelas III berada pada masa transisi menuju kelas tinggi. Untuk mencapai

hal ini, guru tentu saja harus mengemas pembelajaran bahasa secara baik sehingga benar-

benar menstimulasi perkembangan bahasa anak, bukan justru menghambat kemampuan

anak untuk berkembang. Untuk itu pemilihan pendekatan dan metode pembelajaran bahasa

yang tepat oleh guru sangatlah penting.

C. Bahasan Hasil Penelitian yang Relevan

Walaupun kesimpulan observasi dan teori mengatakan bahwa pendekatan whole

language cenderung berpengaruh positif pada kemampuan berbicara siswa, peneliti

memerlukan hasil penelitian yang relevan dari beberapa penelti yang sudah menggunakan

pendekatan whole language, diantaranya sebagai sebagai berikut :

Deni Widjayatri,[26] seorang mahasiswa jurusan PGSD UNJ, melakukan penelitian

tentang “upaya meningkatkan minat belajar bahasa Indonesia siswa kelas II sekolah dasar

melalui pendekatan whole language”. Penelitian ini dilakukan di SDN Menteng Atas 14 Pagi,

Jakarta Selatan. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk meningkatkan minat belajar

bahasa Indonesia siswa kelas II dengan menggunakan penelitian tinndakan kelas. Hasil dari
penelitian ini membuktikan bahwa 84,3% hasil yang dicapai sesuai dengan indikator

penelitian yang telah ditentukan sebagai stardar keberhasilan dengan menggunakan

pendekatan whole language. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah penggunaan

pendekatan whole language dapat meningkatkan minat belajar bahasa indonesia siswa

kelas II sekolah dasar.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Susanti Surnia Tama,[27]mahasiswa

jurusan PGSD FIP UNJ. Penelitian yang dilakukan yaitu meningkatkan reading

comprehension skills melalui pendekatan whole language pada siswa kelas IV SDN

Cempaka Putih Barat 3 Pagi Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dengan jumlah

siswa kelas IV sebanyak 36 siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui apakah

terdapat peningkatan kemampuan reading comprehension skills siswa melalui

pendekatan whole language. Pada siklus I, hasil penelitian ini membuktikan bahwa

kemampuan reading comprehension siswa mencapai skor 61,2%. Kemudian berkembang

pada siklus ke II yaitu mencapai skor 91,7%. Dengan hasil ini, maka penelitian tersebut telah

mencapai target yang telah ditetapkan sehingga penelitian dianggap berhasil.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Susanti, seorang mahasiswa Universitas

Negeri Jakarta Jurusan PAUD. Peneliatan yang dilakukan Susanti dengan judul

“Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Pendekatan Whole Language Pada Anak

Usia 4-5 Tahun (Penelitian Tindakan Kelas di TKIT ALFIDA Perumnas Klender. Penelitian

ini bertujuan untuk mengatahui apakah terdapat peningkatan kemampuan bericara pada

siswa usia 4-5 tahun melalui pendekatan whole language. Hasil akhir dari

penelitian membuktikan bahwa kemampuan berbicara anak meningkat dengan rata-rata

mencapai target 81%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian tersebut

berhasil.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan, membuktikan bahwa

pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa sekolah

dasar.

D. Pengembangan Konseptual Perencanaan Tindakan

Berdasarkan analisis teori yang telah dipaparkan maka dapat dideskripsikan bahwa

kemampuan berbicara adalah sebuah aktivitas yang dilakukan seorang siswa, untuk
menyampaikan pendapatnya secara lisan, yang mana tidak hanya melibatkan alat bicaranya

melainkan juga melibatkan kemampuan kognitif dan emosi. Kemampuan kognitif siswa

dalam berbicara meliputi kelancaran dalam berbicara, intonasi yang tepat serta penataan

kalimat yang baik. Kemampuan emosional mencakup keberanian siswa dalam

berbicara. Untuk berbicara, seorang siswa memerlukan kemampuan dalam mengolah

kosakata yang dimilikinya untuk kemudian dirangkai menjadi sebuah kalimat yang dapat

dimengerti oleh orang lain.

Untuk dapat mengembangkan kemampuan berbicara, seorang anak membutuhkan

stimulasi yang tepat. Untuk dapat memberikan stimulasi yang tepat dalam mengembangkan

kemampuan berbicara anak, diperlukan sebuah pedekatan yang dapat digunakan oleh para

pendidik dalam memberikan dan menyediakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi anak

dalam mengembangkan kemampuan berbicaranya. Hal ini dapat dilaksanakan

melalui: penataan lingkungan yang kaya akan bahasa, pemberian kegiatan yang

menyenangkan bagi anak dalam mengembangkan kemampuan

berbicaranya, serta pemberian respon yang positif dari orang-orang terdekat anak seperti

orangtua, guru maupun teman sebayanya. Pendekatan tersebut juga memberikan

pembelajaran tentang bahasa secara utuh, yaitu mengembangkan berbagai kemampuan

bahasa anak seperti: mendengar, berbicara, membaca dan menulis.

Semua hal tersebut terdapat dalam pendekatan bahasa terintegrasi (whole

language). Pendekatan whole language merupakan sebuah pendekatan yang

mengembangkan kemampuan bahasa anak secara utuh, karena mengembangkan berbagai

kemampuan bahasa anak seperti mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Dalam

pendekatan ini seorang anak diharapkan menikmati proses pembelajaran karena anak

mempelajari bahasa secara menyenangkan sesuai dengan tingkat

perkembangannya. Dalam pelaksanaan pendekatan whole language tidak terlepas dari 7

prinsip dasar,

yaitu Immertion, demonstration, expectation, responsibility, employment, approximation, fee

dback.

Melalui pelaksanaan pendekatan whole langauge sesuai dengan prinsip-prinsipnya

akan menghasilkan beragam kegiatan yang menarik bagi anak sehingga anak mendapat

pembelajaran bahasa secara lebih bermakna karena anak memperlajari bahasa dengan
suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang dilakukan mengacu pada

kurikulum yang terdapat di sekolah dengan tema-tema yang telah ditentukan namun tetap

menghadirkan suasana pembelajaran yang lebih bermakna bagi anak juga menyenangkan

sehingga anak benar-benar menikmati pembelajaran yang diberikan.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Khusus Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa
kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur, dengan menggunakan
pendekatan whole language sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajarannya pada
mata pelajaran bahasa Indonesia.

B. Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SDN Rawamangun 11 Pagi, yang bertempat di
Jln. Pemuda No. 10, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Pemilihan tempat ini
dikarenakan peneliti pernah melakukan observasi magang di sekolah ini dan peneliti
menemukan beberapa masalah dalam kelas, terutama masalah yang berkaitan
dengan kemampuan anak dalam berbicara. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada
semester pertama tahun ajaran 2014-2015, dengan waktu penelitian dimulai
pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2014. Pemilihan waktu ini
dikarenakan pada bulan ini anak-anak masih belajar aktif dan belum memasuki
tahap ulangan sehingga tidak akan membebani konsentrasi siswa dalam belajar.

C. Metode dan Disain intervensi Tindakan / Rancangan siklus Penelitian


1. Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas. Menurut Carr
dan Kemmis dalam Kusuma, mengemukakan bahwa penelitian kelas adalah suatu
bentuk penelitian refleksi diri yang dilakukan oleh partisipan dalam situasi sosial
untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran.[1] Maksud dari kutipan ini adalah
penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh orang yang aktif didalam
sebuah institusi yang ada di masyarakat dan penelitian ini bertujuan memperbaiki
situasi yang terjadi di lapangan dan menyeimbangkan antara teori dan praktik yang
terjadi di lapangan.
Hal serupa dikemukakan oleh Hopkins dalam Muslich, bahwa penelitian
tindakan kelas adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh
pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakannya
dalam melaksanakan tugas dan memperdalam pemahaman terhadap kondisi dalam
praktik pembelajaran.[2] Jadi pelaku tindakan merupakan orang yang mengetahui
situasi dan kondisi di kelas dan ia ingin memperbaiki atau meningkatkan mutu
pembelajaran di kelasnya tersebut.
Pelaku tindakan dari penelitian ini tidak lain adalah guru yang berusaha
memperbaiki proses kegiatan belajar yang terjadi di kelasnya. Hal ini dikarenakan
hanya guru yang mengetahui kondisi yang sebenarnya di kelas dan tidak ada yang
lebih memahaminya kecuali guru. Untuk itu, masalah dalam penelitian tindakan
kelas harus berasal dari guru. Namun dalam melakukan penelitian ini, seorang guru
memerlukan bantuan dari beberapa orang yang membantunya melakukan kegiatan
penelitian. Untuk itu, penelitian ini disebut penelitian kolaborator, yaitu penelitian
yang melibatkan orang lain selain peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh
guru dan kolaborator yang berusaha mencari solusi dari permasalahan yang terjadi
di kelas dimana penelitian dilakukan.
2. Desain Intervensi Tindakan/Rancangan Siklus Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian tindakan
kelas dengan menggunakan model Kemmis dan Taggart. Adapun prosedur kerja
dalam penelitian tindakan kelas menurut Kemmis dan Taggart seperti yang dikutip
Kusuma pada dasarnya merupakan suatu siklus yang meliputi tahap-tahap: (a)
perencanaan (planning), (b) tindakan (action), (c) pengamatan (observation), (d)
refleksi (reflection), kemudian dilanjutkan dengan perencanaan ulang, tindakan
ulang, pengamatan ulang, dan refleksi ulang. Keempat fase dari suatu siklus PTK
digambarkan dengan sebuah spiral PTK seperti gambar berikut:
Gambar 3.1. Model Spiral Kemmis dan Taggart dikutip oleh Kusuma [3]

Dengan menggunakan metode ini peneliti dapat melihat lebih jauh bagaimana
penerapan pendekatan whole language sebagai salah satu upaya yang dapat
meningkatkan kemampuan berbicara anak. Hal ini tentunya dengan melakukan
pengamatan terlebih dahulu proses kegiatan belajar yang terjadi kemudian peneliti
bersama kolaborator dan partisipan berdiskusi untuk merancang tindakan yang
harus dilakukan selanjutnya.
D. Subjek / Partisipan dalam Penelitian
Subjek penelitian ini adalah anak kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi yang
berjumlah 22 orang yang tediri dari 11 anak perempuan dan 11 anak laki-laki.
Partisipan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan teman sejawat, sementara
guru kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi sebagai kolaborator yang dinilai
memahami karakteristik siswa serta pembelajaran bahasa Indonesia agar penelitian
ini mencapai tujuannya yaitu meningkatkan kemampuan berbicara anak.
E. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian

Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai pemimpin perencanaan (plane

leader). Sebagai pemimpin perencanaan tindakan dalam penelitian ini, maka peneliti

membuat perencanaan tindakan yang didiskusikan dengan teman sejawat juga seorang

guru SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur sebagai kolaborator.

Adapun posisi peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai guru atau pelaksana

utama yang mengembangkan kemampuan berbicara siswa melalui pendekatan whole

language. Peneliti juga melibatkan kolaborator dan partisipan dalam melaksanakan

penelitian ini. Peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha

mengumpulkan data sebanyak mungkin sesuai fokus penelitian, sehingga dapat

memperoleh data yang akurat.

F. Tahapan Intervensi Tindakan


1. Tahap perencanaan (planning)
Sebelum tahapan intervensi dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan
pengamatan atau observasi. Kagiatan ini dimaksudkan untuk mengambil data awal
kemampuan berbicara anak dan berbagai masalah yang menjadi kendala dalam
upaya meningkatkan kemampuan tersebut. Peneliti juga mengamati situasi dan
kondisi kelas sehingga ketika merancang tindakan perbaikan dalam penelitian ini
dapat sesuai dengan kebutuhan anak dan situasi kondisi kelas dimana penelitian ini
dilaksanakan. Peneliti juga melakukan beberapa persiapan sebelum penelitian
dilakukan, persiapan tersebut sebagai berikut :
a. Meminta izin kepada kepala sekolah
b. Mencari dan mengumpulkan data-data awal siswa yang akan diteliti.
Data tersebut diperoleh dari hasil observasi terhadap aktifitas anak yang akan diteliti.
Pengambilan data awal dilakukan sebanyak dua kali pertemuan.
c. Menentukan waktu pelaksanaan penelitian yang dimulai pada bulan November,
penelitian ini terdiri dari 2 siklus. Siklus pertama terdiri dari 2 kali pertemuan, siklus
kedua terdiri dari 2 kali pertemuan. Masing-masing pertemuan dilakukan selama 3 x
35 menit disesuaikan dengan waktu belajar yang sudah ditentukan sekolah.
Adapun penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a) Membuat rencana pembelajaran yang mengacu pada kurikulum KTSP untuk
pelaksanaan tindakan pada siklus 1 (RPP terlampir). Rencana tindakan yang
dilakukan adalah meliputi mata pelajaran bahasa Indonesia. Fokus materi dalam
bahasa Indonesia adalah adalah dalam aspek berbicara di kelas III SD dengan
menggunakan pendekatan whole language. Pembelajaran ini dilaksanakan dalam 2
kali pertemuan. Setiap pertemuan membutuhkan waktu 3 jam pelajaran yaitu 3 X 35
menit pada setiap pembelajarannya.
b) Memilih media berupa gambar, lembar wacana serta alat peraga lainnya.
c) Membuat pemantauan tindakan dan pengumpulan data penelitian serta menyiapkan
perlengakapan seperti kamera dan menyiapkan buku catatan lapangan.
d) Melakukan sosialisasi dengan sekolah mitra.

2. Tahap Pelaksanaan Tindakan (action)


Peneliti melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan rencana
pembelajaran yang telah disusun dalam skenario pembelajaran, dengan materi yang
telah direncanakan yang disesuaikan dengan kurikulum sekolah tempat penelitian.
Dalam melaksanakan tindakan ini peneliti mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah
disusun dalam skenario pembelajaran (RPP terlampir). Dalam tahap
pelaksanaannya di kelas, selain menfokuskan pada keterampilan berbicara, materi
akan disajikan bengan memadukan antara 4 keterampilan berbahasa (membaca,
menulis, menyimak, dan berbicara) dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan
menggunakan pendekatan whole language. Pelaksanaan tindakan dilakukan dalam
suatu siklus, dan setiap siklus direncanakan selesai dalam dua kali pertemuan, jika
hasil dicapai belum memenuhi target, maka peneliti akan melakukan penajaman
pada bagian yang kurang.
3. Tahap Pengamatan Tindakan (observing)
Dalam tahap ini, observer mengamati pelaksanaan pembelajaran dengan
menggunakan lembar pengamatan obervasi. Selain itu, perilaku siswa juga diamati
seperti antusias, keaktifan, kemampuan menyampaikan pendapat, kemampuan
berbicara siswa, serta keberanian siswa untuk berbicara. Dalam observasi ini semua
kegiatan bertujuan untuk mengenali, merekam, mendokumentasi setiap indikator
dari proses dan hasil yang dicapai baik yang ditimbulkan oleh tindakan terencana
maupun tindakan lain yang muncul sebagai efek samping dari tindakan terencana.
Obervasi ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan tindakan
dengan rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya, serta untuk mengetahui
sejauh mana pelaksanaan tindakan yang sedang berlangsung dapat menghasilkan
perubahan yang diharapkan yakni meningkatkan kemampuan menyimak siswa.
Pendekatan pengamatan tindakan (obeserving) yang digunakan adalah
observasi pengalaman sejawat, yakni observasi yang dilakukan oleh kolaborator
terhadap pembelajaran.
4. Tahap Refleksi (Reflecting)
Setelah peneliti melakukan pengamatan terhadap proses belajar mengajar,
peneliti mengumpulkan dan menganalisis data hasil observer, baik peneliti maupun
tim peneliti, sehingga akan diperoleh data-data yang sama dan tepat antara peneliti
dan tim peneliti.
G. Hasil Intervensi Tindakan yang diharapkan
Pencapaian keberhasilan dari setiap tindakan yang dilaksanakan dalam
kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
berbicara dengan menggunakan pendekatan whole language adalah adanya
peningkatan kemampuan berbicara siswa secara bertahap yang dapat dilihat dari 4
indikator, yaitu kelancaran berbicara, penggunaan kalimat, intonasi, serta
keberanian/percaya diri. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan terhadap
tindakan yang diberikan kepada siswa adalah sikap positif siswa dan guru terhadap
kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan whole
language yang diniai melalui instrumen pengamatan.
Tindakan dalam penelitian dianggap berhasil apabila 75% dari jumlah siswa
menunjukkan peningkatan kemampuan berbicara dengan mencapai persentase skor
80%. Sedangkan keberhasilan penggunaan pendekatan whole language ditunjukan
dengan lembar pengamatan aktifitas guru dan siswa. Pendekatan whole
language berhasil apabila aktifitas guru dan siswa telah memenuhi 80% dari seluruh
butir-butir pengamatan yang ada dalam instrumen pangamatan.

H. Data dan Sumber Data


1. Data
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penelitian ini merupakan tindakan
yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan berbicara siswa, data penelitian
adalah data tentang variabel penelitan yaitu kemampuan berbicara siswa dalam
pembelajaran bahasa Indonesia melalui pendekatan whole language. Data ini
digunakan untuk keperluan analisis data penelitian sehingga diperoleh gambaran
tentang kemampuan berbicara siswa.

2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru wali kelas III SDN Rawamangun
11 Pagi, teman sejawat, dan siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta
timur sebanyak 22 siswa. Data diambil pada semester 1 tahun ajaran 2014-2015.

I. Instrumen-instrumen Pengumpulan Data yang Digunakan


1. Instrumen Kemampuan Berbicara
a. Devinisi konseptual
Berbicara adalah sebuah aktivitas yang dilakukan seorang siswa untuk
menyampaikan pendapatnya secara lisan sehingga dimengerti oleh orang lain. Agar
penyampaian pesan dapat dimengerti oleh orang lain, dalam berbicara perlu
diperhatikan aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan. Aspek kebahasan
meliputi: penggunaan kalimat, intonasi, dan kelancaran. Sedangakan aspek non
kebahasaan meliputi percaya diri atau keberanian untuk bericara. Dalam
menyampaikan pesan secara lisan, seorang siswa memadukan kedua aspek ini
agar pesan disampaikan dengan baik dan dapat dimengerti oleh orang lain.

b. Devinisi Operasional
Dalam penelitian ini didefinisikan bahwa kemampuan berbicara adalah skor
yang diperoleh siswa dari kemampuannya dalam berbicara yang dilihat dari aspek
kebahasaan dan non kebahasaan yang meliputi kelancaran berbicara, keberanian
untuk berbicara, intonasi yang tepat, serta penataan kalimat yang baik. Dalam
penilaianya, semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula
kemampuan berbicara anak.

c. Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Berbicara


Untuk mengetahui keberhasilan penelitian ini, yaitu meningkatkan
kemampuan berbicara siswa melalui pendekatan whole language, maka dibutuhkan
instrumen untuk mengukur keberhasilan dari penelitian ini yang meliputi berbagai
aspek dari kemampuan berbicara siswa yang telah ditentukan.
Untuk mendapatkan data-data yang akurat mengenai kemampuan berbicara
siswa, peneliti menggunakan lembar pengamatan dan rubrik yang berisi penilaian
aspek-aspek kemampuan berbicara siswa. Sementara instrument yang digunakan
untuk pengamatan tindakan dalam penelitian ini berbentuk catatan lapangan,
instrument pedoman pembelajaran whole language, dan penilaian yang dilihat dari
hasil observasi yang dilakukan selama melakukan penelitian.

Adapun kisi-kisi instrumen kemampuan berbicara adalah sebagai berikut:


Tabel 3.1
Kisi-Kisi Instrumen Pengamatan Keterampilan Berbicara
Aspek Komponen Indikator Skor
Penilaian
1. Kebahasaan 1. Kelancaran Berbicara 4 = Sangat baik
Berbicara dengan lancar 3 = Baik
dan
menggunakan 2 = Cukup
kata-kata yang 1 = Kurang
tepat.

2. Penggunaan Berbicara 4 = Sangat baik


kalimat dengan 3 = Baik
menggunakan
kalimat yang 2 = Cukup
tertata dengan 1 = Kurang
baik dan dapat
dimengerti.

3. Intonasi Berbicara 4 = Sangat baik


dengan intonas 3 = Baik
i yang tepat
sesuai dengan 2 = Cukup
konteks 1 = Kurang
kalimat.
2. Non- 1. Keberanian Berbicara 4 = Sangat baik
kebahasaan (percaya diri) dengan berani 3 = Baik
dan percaya
diri 2 = Cukup
1 = Kurang

Penilaian kemampuan berbicara dilakukan dengan menggunakan lembar


pengamatan yang dilengkapi dengan rubrik untuk memantau perkembangan
kemampuan berbicara siswa.
2. Instrumen pendekatan whole language
a. Definis Konseptual
Pendekatan Whole language adalah sebuah pendekatan yang
mengembangkan kemampuan berbahasa secara utuh, dengan menciptakan
suasana pembelajaran yang menarik yang ditandai dengan prinsip-prinsp
seperti: Immertion, demonstration,
expectation, responsibility, employment, approximation, feedback, sehingga
membuat siswa merasa senang dalam mempelajari bahasa.
b. Devinisi Operasional
Pendekatan whole language adalah proses penggunaan data yang diperoleh
hasil observasi pembelajaran kemampuan berbahasa pada siswa yang menekankan
pada pembelajaran yang menyenangkan dalam rangka mengembangkan
kemampuan berbicara yang ditandai dengan prinsip-
prinsip: Immertion, demonstration,
expectation, responsibility, employment, approximation, feedback.

c. Kisi-kisi Instrumen Pendekatan Whole Language


Tabel 3.2.
Kisi-kisi Lembar Pengamatan Pembelajaran Pendekatan Whole Language.
NO A. Aktivitas Guru
Nomor Jumlah
Dimensi
Indikator Butir

1 Immersion (ketenggelaman1. Menyediakan perpustakaan 2 4


kelas.
)
2. Menyediakan tempat 3
pajangan hasil karya siswa

3. Menciptakan suasana 16
pembelajaran yang
menantang bagi siswa.

4. Menciptakan pembelajaran 17
yang didalamnya
melibatkan siswa belajar
sambil bermain.

6 2
2 Demonstration (pemberian1. Mengajarkan bagaimana
contoh) bercerita dan mengajukan
pertanyaan.

4
2. Menyediakan media dan
alat yang dapat mendukung
kegiatan belajar siswa.

3 Expectation (harapan) 7 3
1. Memberikan
penghargaan kepada
anak dengan kata-kata
seperti “ baik, bagus,
hebat, dan sebagainya”.
2. Memotivasi siswa agar 8
semangat mengikuti
pembelajaran.

3. Memberikan kesempatan 9
kepada siswa untuk
memajang hasil
karyanya di kelas

4 10
Responsibility (tanggung 1. Mengajarkan kepada siswa 4
jawab) untuk membuat peraturan
dalam setiap pembelajaran.

11
2. Membiasakan siswa untuk
belajar mandiri dalam
mengerjakan tugas.

12
3. Mengajarkan kepada siswa
untuk selalu bertanggung
jawab dalam kelas, seperti ;
merapihkan peralatan yang
telah digunakan dalam
pelajaran, merapihkan
tempat duduk dan
sebagainya.
19
4. Memberikan pesan moral
kepada siswa

5 Employment (kesempatan)1. Memberikan kesempatan 5 3


kepada siswa untuk
berbicara di depan kelas.

13
2. Memberikan tugas
kepada siswa untuk
dikerjakan.
14
3. Memberikan kebebasan
kepada siswa untuk
berkreasi, mengerjakan
tugas, bertanya, serta
memberikan pendapat
atau saran.

1
6 Approximation (kedekatan1. Memberikan penjelasan 2
ulang jika siswa kurang
ucapan) memahami materi yang
disampaikan.
2. Memberikan penjelasan 15
dengan menggunakan
kata-kata sederhana
yang dapat dipahami
oleh siswa.
Feedback (umpan balik) 1. Memberikan umpan balik 2
7 18

2. Mengajarkan kepada 20
siswa untuk bekerja
kelompok

Jumlah 20
20

B. Aktivitas Siswa
1 Immersion (ketenggelaman)
1. Membaca buku yang ada di 2 4
perpustakaan kelas.
2. Memajang hasil karyanya di 3
tempat yang disediakan
guru.
3. Belajar dalam suasana yang 16
menantang.

4. Belajar sambil bermain 17

2 Demonstration (pemberian1. Antusias dalam 4 2


mengikuti pelajaran
contoh) ketika guru
menggunakan media
gambar.
2. Bercerita dan 6
mengajukan pertanyaan.

3 Expectation (harapan) 1. Memberikan respon 7 3


positif atas setiap
ucapan dari guru.

2. Mengikuti pembelajaran 8
dengan penuh motivasi.
3. Memajang hasil 9
karyanya di kelas

4
Responsibility (tanggung1. Menunjukkan perilaku taat 10 4
terhadap setiap aturan
jawab) pembelajaran.
2. Belajar mandiri dalam 11
mengerjakan tugas.
3. Bertanggung jawab dalam 12
kelas, seperti ; merapihkan
peralatan yang telah
digunakan dalam pelajaran,
merapihkan tempat duduk
dan sebagainya.

4. Mendengarkan pesan moral 19


yang disampaikan oleh
guru.
5 Employment 1. Berbicara di depan kelas 5 3
(kesempatan) 2. Mengerjakan tugas. 13
3. Bebas berkreasi, 14
mengerjakan tugas,
bertanya, serta memberikan
pendapat atau saran.

6 Approximation (kedekatan1. Menyimak penjelasan ulang 1 2


yang disampaikan guru.
ucapan)
2. Menyimak penjelasan dari 15
guru

2
7 Feedback (umpan balik) 1. Bertanya jawab dengan 18
guru
2. Saling bekerja kelompok 20

Jumlah 20 20

J. Teknik Pengumpulan Data


Peneliti menggunakan tehnik triangulasi, yaitu dengan menggabungkan
berbagai tehnik pengumpulan data seperti melakukan observasi, pembuatan catatan
lapangan, dan dokumentasi. Jika dilihat dari jenisnya, peneliti menggunakan
observasi partisipatif karena peneliti terlibat langsung dalam penelitian dan
merupakan bagian yang diamati. Disini peneliti melakukan pengamatan terstruktur,
penelitian ini dilakukan dengan berbagai persiapan seperti menentukan waktu,
tempat penelitian serta rancangan kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian
ini. Hal ini bertujuan agar penelitian ini dapat lebih terarah dan pencatatan yang
dilakukan dapat lebih teliti.
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti juga membuat catatan lapangan yang
disingkat (CL) yang dillengkapi dengan foto-foto. Catatan lapangan ditulis pada
setiap pertemuan. Sedangkan untuk pengamatan, penelti menggunakan lembar
pengamatan yang terdiri dari rubrik dan butir-butir indikator untuk menilai
kemampuan berbicara siswa dengan pendekatan whole language. Peneliti meminta
bantuan teman sejawat dan kolaborator untuk mendokumentasi aktifitas siswa
dengan kamera dan lembar pengamatan. Hal ini bertujuan untuk mencatat segala
yang terjadi ketika proses kegiatan pembelajaran berbicara diterapkan melalui
pendekatan whole language sehingga diperoleh data yang lengkap tentang
peningkatan kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi,
Jakarta Timur.
K. Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan
Untuk pengecekan keabsahan data, instrumen-instrumen yang digunakan
dalam penelitian terlebih dahulu diuji dan dinyatakan valid oleh pakar penelitian di
bidang bahasa Indonesia. Uji validasi ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan
serta keterandalan data agar penelitian memperoleh hasil yang diinginkan. Adapun
teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik triangulasi yang merupakan
teknik pengumpulan data yang didukung dengan lembar pengamatan, catatan
lapangan, serta dokumentasi. Data yang diperoleh dari lembar pengamatan, catatan
lapangan serta dokumentasi, akan dijadikan sebagai pedoman perbandingan untuk
mengetahui perkembangan tindakan dari satu siklus ke siklus lainnya.
L. Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis

1. Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa

kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur. Oleh sebab itu diperlukan

data yang diperoleh dari hasil penelitian. Teknik yang digunakan dalam

menganalisis data yang dikumpul adalah dengan melakukan perhitungan

persentase baik pada data pemantau tindakan maupun hasil penelitian. Kedua

data tersebut digunakan untuk mengetahui hasil sebelum dan sesudah tindakan

diberikan. Apabila tindakan pertama belulm berhasil, maka akan diteruskan ke

tindakan berikutnya, sampai penelitian mencapai hasil yang diinginkan.

2. Intepretasi Hasil Analisis


Setelah seluruh tindakan dilakukan, peneliti dan kolaborator malakukan

interpretasi hasil analisis. Interpretasi hasil analisis disajikan tidak hanya dalam
bentuk foto melainkan juga pada akhir setiap siklus, peneliti dan kolaborator

menghitung persentase pencapaian dengan kriteria keberhasilan yang telah

dirumuskan sebelumnya.

Krteria keberhasilan dalam penelitian ini adalah 80% dari jumlah siswa

memperoleh skor kemampuan berbicara sebesar 75, sebagai indikasi bahwa

pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa

SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur. Jika kemampuan berbicara siswa

belum mengalami peningkatan pada satu siklus, maka penelitian akan

dilanjutkan dengan siklus berikutnya sampai mencapai target yang ditentukan.

M. Tindak Lanjut / Pengembangan Perencanaan Tindakan.

Tindak lanjut/pengembangan perencanaan tindakan akan dilakukan apabila

setelah siklus I belum menunjukkan peningkatan kemampuan berbicara siswa.

Pada tindak lanjut ini peneliti dibantu teman sejawat akan terlebih dahulu

mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan. Ketika ditemukan

kekurangan-kekurangan dalam tindakan-tindakan tersebut, maka peneliti dan

teman sejawat akan merancang tindakan selanjutnya dengan menyempurnakan

kekurangan yang terjadi tentunya dengan tetap berpedoman pada 4 komponen

bahasa dan tujuh komponen pembelajaran whole language.

Kegiatan tindak lanjut ini pun dilakukan evaluasi secara keseluruhan mulai

dari penataan kelas, metode, media, dan penyampaian materi. Hal ini dilakukan

dengan harapan penelitian ini dapat menemukan berbagai cara dalam

meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III di SDN Rawamangun 11

Pagi, Jakarta Timur.

BAB IV

DESKRIPSI, ANALISIS DATA, INTERPRETASI HASIL ANALISIS DAN


PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Deskripsi Data Pra Penelitian


Sebelum melaksanakan siklus I, peneliti melakukan persiapan pra penelitian yaitu

mengadakan wawancara dengan guru wali kelas III, serta observasi langsung untuk

mengumpulkan data sejauhmana kemampuan awal berbicara siswa. Kegiatan pra penelitian

ini dilakukan selama tiga kali pertemuan yang dimulai pada tanggal 5-7 November 2014.

Dari hasil pengamatan tersebut, maka diperoleh data pra penelitian berupa kemampuan

berbicara siswa sebelum dilakukannya tindakan serta data responden.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama di SDN Rawamangun 11 Pagi,

Jakarta Timur, peneliti mencatat aktifitas yang ada sebagai sebagai berikut: kedatangan

siswa dimulai pukul 06.30, kemudian siswa bersosialisasi dengan bermain di luar ruangan

sambil menunggu bel masuk berbunyi. Pada pukul 07.00 WIB bel tanda masuk kelas

berbunyi, siswa berbaris dan masuk kelas. Setelah di kelas, siswa dikondisikan untuk

berdoa. Setelah berdoa, guru mengabsen kehadiran siswa. Setelah itu, guru mulai

menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa pada hari itu. Selama 3 hari pengamatan,

terlihat keadaan yang sama yaitu guru memulai pelajaran dengan menyuruh siswa untuk

membuka buku pegangan siswa kemudian dilanjutkan dengan ceramah setelah itu siswa

mengerjakan tugas. Siswa menyelesaikan semua kegiatan sampai bel isitrahat berbunyi,

setelah itu siswa diberi kesempatan untuk beristirahat, bermain di dalam atau di luar kelas.

Selanjutnya pada pukul 10.00 WIB siswa masuk ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.

Kegiatan pembelajaran akan dilanjutkan dengan mata pelajaran selanjutnya. Tidak

terlihat aktifitas yang berbeda selain siswa mencatat, mendengar penjelasan guru, serta

mengerjakan tugas dibuku. Begitu seterusnya sampai jam pembelajaran selesai.

Gambar 4.1. Siswa terlihat jenuh dan kurang bersemangat dalam mengikuti
pelajaran.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada pra penelitian

diketahui bahwa pembelajaran kemampuan berbicara pada siswa kelas III SDN

Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur belum dikembangkan dengan baik. Hal ini

dikarenakan pembelajaran yang dilakukan kurang menstimulus kemampuan siswa. Guru

cenderung memberi lembar kerja (LK) yang harus dilakukan siswa setiap harinya. Kegiatan

pembelajaran yang dilakukan pun kurang menarik karena guru jarang menggunakan media.

Selain itu, metode yang dipakai pun lebih didominasi oleh ceramah sehingga siswa lebih

banyak mendengar daripada berbicara.

Beberapa fakta yang telah disebutkan tadi maka yang terjadi adalah beberapa siswa

menjadi pasif dan malu ketika berbicara di depan kelas akibatnya adalah siswa mengalami

kesulitan dalam merangkai kata menjadi kalimat khususnya ketika mereka mengemukakan

pendapat atau menceritakan kembali kegiatan yang telah dilakukan. Padahal jika dilihat

dalam keseharian diluar kelas, rata-rata semua siswa bericara dengan lancar dan suaranya

lantang (berteriak, berbicara secara lancar dengan teman, serta bercerita) namun hal ini

tidak terlihat didalam kelas. Peneliti mencatat bahwa di dalam kelas ketika siswa diberikan

kesempatan oleh guru untuk bertanya, hampir tidak ada yang berani bertanya.

Ada siswa yang mengekspresikan keinginannya melalui tingkah laku yang

mengganggu temannya sehingga proses kegiatan belajar menjadi terganggu. Ada pula

siswa terlihat pasif dan kurang bersemangat dalam mengikuti kegiatan karena kegiatan yang

diberikan kurang menarik minat siswa. Dari hasil observasi tersebut peneliti memperolah

data kemampuan siswa sebelum dilakukannya tindakan penelitian. Adapun data

kemampuan berbicara siswa tersebut adalah sebagai berikut :


Kriteria Persentase siswa Tabel
Skor >75 0% 4.1.
Skor <75 100%
Kemampuan Berbicara Siswa Pra Penelitian

Berdasarkan hasil pengataman, kemampuan siswa jika dibandingkan dengan


target yang telah ditentukan yaitu 75, maka disini belum ada siswa yang mencapai
target tersebut. Artinya kemampuan berbicara siswa pada pra penelitian ini masih di
bawah skor yang ditentukan peneliti. (Untuk data yang lebih jelas dapat lihat pada
lampiran nomor 7).
2. Deskripsi Data Siklus I
a. Perencanaan (Planning)

Peneliti merencakana pelaksanaan tindakan pada siklus I yang dilakukan sebanyak 2

kali pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 24 November 2014 dan tanggal 26

Novembar 2014. Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang diinginkan, peneliti

mempersiapkan berbagai perangkat yang diperlukan untuk mendukung tindakan penelitian

yang akan diambil sesuai dengan permasalahan. Adapun rencana pelaksanaan penelitian

pada siklus I deskripsikan sebagai berikut:

1) Membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan. Kegiatan akan diberikan sebanyak 2

kali pertemuan, meliputi: pertemuan pertama mengomentari tokoh dalam cerita, menyusun

puzzel dan menceritakan latar belakang cerita dari gambar yang telah disusun. Pada

pertemuan kedua kegiatan yang dilakukan adalah menceritakan kembali dengan kata-kata

sendiri tentang isi buku yang dibaca.

2) Mengubah setting kelas sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan karena sebelum

dilakukan penelitian, siswa duduk di kursi dan posisi duduk semua siswa mengahadap ke

papan tulis sedangkan guru berada di depan siswa (satu arah) sehingga proses

pembelajaran menjadi kurang bervariasi dan membosankan siswa. untuk itu, peneliti dibantu

kolaborator mengubah setting kelas agar lebih menarik dan bervariasi.

3) Memilih metode yang akan digunakan. Beberapa metode yang digunakan adalah metode

bercerita, diskusi, menceritakan kembali, percakapan, tanya jawab, ceramah, reka cerita

gambar, pemberian tugas, dan demonstrasi.

4) Menyiapkan media yang akan digunakan, diantaranya adalah buku cerita bergambar, alat

tulis, kertas karton, potongan gambar puzzel.

5) Menyiapkan alat pengumpul data seperti lembar pengamatan, catatan lapangan dan

kamera.

Sebelum melakukan pertemuan pertama, peneliti juga terlebih dahulu mengubah

setting kelas seperti membuat sebuah perpustakaan mini dikelas atau pojok baca yang

terdapat bahan bacaan untuk siswa seperti buku cerita bergambar, buku-buku ilmu

pengetahuan, majalah anak-anak dan buku encyclopedia anak. Peneliti juga meyediakan

tempat untuk pajangan hasil karya siswa yang di tempatkan di dinding kelas agar anak

mudah menempelkan karyanya sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar

berikut:
Gambar 4.2. Keadaan Kelas Sebelum diseting.

Gambar 4.3. Keadaan Kelas Setelah diseting (pojok baca, perpustakaan mini, display
karya siswa).

b. Pelaksanaan Tindakan (Action)

Siklus I pertemuan pertama, Senin 24 November 2014

Sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati oleh peneliti dan kolaborator, pada

pertemuan pertama ini, kegiatan diawali dengan berdoa, setelah itu guru mengkondisikan

kelas dan menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari yaitu tentang

mengomentari tokoh dalam cerita. Kegiatan dilanjutkan dengan siswa diminta untuk duduk

membentuk kelompok. Karena jumlah siswa adalah 22 orang, maka siswa terbagi dalam 5

kelompok dengan jumlah anggota 4 orang per kelompok, ada 2 kelompok yang beranggota

5 orang.
Gambar 4.4 Siswa Membentuk Kelompok

Guru dan siswa membuat peraturan yang harus disepakati bersama untuk setiap

kelompok. Adapun peraturan dalam kelompok tersebut antara lain: semua anggota saling

bekerjasama, tidak boleh menggangu kelompok lain, masing kelompok harus menunjuk

salah seorang sebagai ketua, jangan lupa semua harus bertanggung jawab dalam

kelompok.

Guru mendemonstrasikan dan memberikan kepada masing-masing kelompok

sebuah cerita bergambar tentang “persahabatan Ruri dan Ayu”. Guru memberikan waktu 10

menit untuk masing-masing anggota kelompok membacakan cerita tersebut secara

bergiliran dan teman-teman yang lain menyimak cerita tersebut. Hal ini dilakukan guru agar

semua siswa berar-benar paham tentang cerita tersebut dan semua siswa mendapatkan

giliran membaca.
Gambar 4.5. Siswa dalam Kelompok Membacakan Cerita yang diberikan.

Berikutnya guru mempersilahkan siswa untuk memberikan komentar tentang sikap

tokoh dalam cerita yang telah dibacakan. Ada beberapa pertanyaan yang diberikan untuk

menstimulus siswa agar berbicara, diantaranya adalah “bagaimana pendapat kalian tentang

karakter tokoh yang ada dalam cerita”. Beberapa siswa memberikan pendapat mereka

tentang cerita tersebut. Selanjutnya guru memberikan sebuah pertanyaan lagi untuk semua

kelompok, pertanyaannya adalah: “Jika kamu berada pada posisi sebagai sahabat Ayu, apa

yang akan kamu lakukan ketika Ayu meminta PR kepada kamu?”. Guru menggunakan

pertanyaan yang menantang agar siswa terstimulus untuk berbicara.

Gambar 4.6. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengomentari cerita.

Kegiatan dilanjutkan dengan bermain games memasang puzzel potongan gambar

tentang cerita yang telah dibaca. Sebelum bermain puzzsel, guru meminta siswa untuk

mengamati dengan seksama gambar-gambar seri yang adalah dalam cerita tersebut (ada 7

gambar dengan latar cerita yang berbeda-beda). Guru meminta siswa untuk memperhatikan

dengan baik dan menghafal latar cerita dari masing-masing gambar tersebut karena

permainan puzzel berkaitan dengan menceritakan kembali latar cerita dari gambar yang ada

dalam cerita.

Guru menjelaskan cara bermain puzzel kepada siswa dan memastikan semua siswa

memahami peraturannya. Kelompok yang menang adalah kelompok yang berhasil

menyusun potongan gambar tepat seperti gambar aslinya, setelah itu harus menceritakan

dengan tepat latar belakang cerita dari gambar tersebut. Guru membagikan kepada semua
kelompok masing-masing mendapatkan sebuah gambar utuh yang berbeda-beda, serta

potongan puzzel yang akan mereka susun membentuk gambar asli.

Guru meminta agar semua kelompok membuat yel-yel terlebih dahulu. Semua

kelompok diberikan waktu 3 menit untuk membuat yel-yel. Untuk mempermudah siswa, guru

membatasi yel-yel kelompok cukup 2 sampai 5 kata saja, contohnya kelompok 1, pasti

menang”. Karena siswa sangat antusis, akhirnya yel-yel kelompokpun diselesaikan dan

dipresenstasikan sebelum kegiatan dimulai.

Kegiatan menyusun puzzel pun dimulai, guru meminta siswa untuk menutup buku

cerita yang meraka baca, kemudian guru memimpin kegiatan bermain menyusun

puzzel. Masing-masing kelompok harus bekerja sama untuk menyusun puzzel, setelah itu

setiap kelompok harus menceritakan kembali latar belakang cerita dari gambar yang telah

tersusun utuh. Adapun dalam menceritakan latar belakang gambar, siswa dapat bekerja

sama dengan teman kelompoknya untuk saling melengkapi cerita agar cerita menjadi utuh.

Sementara itu, kelompok lain bertugas untuk menilai kelengkapan cerita dan memberikan

saran maupun komentar. Adapun waktu yang diberikan untuk masing-masing kelompok

dalam menyusun puzzel adalah 10 menit.

Kelompok 1 Kelompok 2
Kelompok 3 Kelomok 4

Gambar 4.7 Siswa menyusun puzzel

Kegiatan menyusun puzzel pun selesai, semua kelompok telah berhasil menyusun

potongan puzzel menjadi sebuah gambar yang utuh. Guru melanjutkan kegiatan dengan

memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk menceritakan latar belakang

gambar yang telah mereka susun sedangkan kelompok yang lain diberikan kesempatan

untuk memberikan komentar terhadap kelengkapan cerita dari kelompok yang bercerita.

Gambar 4.8. Siswa menceritakan latar belakang gambar yang telah disusun.

Masing-masing kelompok selesai menceritakan latar belakang gambar, guru

mempersilahkan siswa menulis nama kelompok mereka pada potongan gambar yang telah

disusun, kemudian menempelkan gambar tersebut pada tempat pajangan karya siswa yang

disediakan oleh guru.


Gambar 4.9. Siswa menempelkan hasil kerjanya pada pajangan karya siswa

Kegiatan diakhiri dengan guru memberikan pesan moral kepada siswa untuk saling

menghargai pendapat temannya. Selanjutnya guru memberikan kesimpulan materi serta

menutup pelajaran.

Siklus I pertemuan ke 2, Rabu 26 November 2014

Pertemuan kedua ini seperti biasa kegiatan awali dengan berdoa kemudian
guru mengkondisikan kelas untuk siap belajar. Setelah itu guru menyampaikan
tujuan pembelajaran yang akan dipelajari yaitu tentang “menceritakan kembali isi
bacaan yang telah dibaca”. Kegiatan dimulai dengan guru mempersilahkan masing-
masing siswa untuk memilih salah satu buku yang ia sukai yang tersedia di pojok
baca yang ada di dalam kelas.
Adapun buku-buku yang disediakan dipojok baca berisikan berbagai macam
buku-buku seperti: (buku IPA, IPS, Matematika, PKn, kesenian, kamus dan buku
ilmu pengetahuan lainnya).
Gambar 4.10. Siswa memilih buku bacaan pada pojok baca

Guru memberikan petunjuk kepada siswa untuk memilih salah satu topik
ataupun sub topik bacaan yang ada dalam buku yang ia pilih, dengan syarat bacaan
tersebut tidak boleh lebih dari 1 halaman. Guru memberikan waktu kepada siswa
selama 10 menit untuk membaca dan memahami isi bacaan yang telah ia pilih.
Siswa diminta untuk menulis ringkasan isi bacaan mereka di sebuah kertas
untuk memudahkan siswa dalam mengigat bacaan yang ia baca.

Gambar 4.11. Siswa membaca buku yang ia sukai

Guru memberikan kekebasan kepada siswa untuk membaca dan memahami


topik yang ia sukai. Setelah 10 menit, guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menceritakan kembali isi bacaannya dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Dalam kegiatan menceritakan kembali isi bacaan, guru akan mengamati aspek
keberanian siswa untuk mencari tahu siapa saja siswa yang berani untuk berbicara.
Hal ini dilakukan dengan cara guru meminta kesediaan bagi siapa saja yang ingin
maju terlebih dahulu untuk menceritakan kembali isi bacaannya di depan kelas.
Setiap siswa diberikan kesempatan yang sama untuk menceritakan kembali isi
bacaannya dengan batas waktu paling lama yaitu 5 menit.
Gambar 4.12. Guru meminta kesediaan siswa untuk bercerita

Semua siswa diberikan kesempatan untuk maju dan bercerita. Sebelum


bercerita, setiap siswa yang maju ke depan harus terlebih dahulu menyampaikan
topik, sub topik, serta nomor halaman yang akan ia ceritakan. Selan itu juga siswa
harus memberikan catatan kecil dan buku yang ia baca kepada guru, barulah ia
mulai bercerita. Siswa yang lain diminta untuk menghargai dan merespon cerita
temannya dengan menyimak, dan selanjutnya mereka boleh memberikan masukan,
pertanyaan maupun komentar terhadap cerita yang disampaikan temannya.

Gambar 4.13. Siswa menceritakan kembali bacaan yang ia baca.

Siswa diminta untuk memberikan tepuk tangan kepada setiap siswa yang
telah bersedia untuk maju. Demikian selanjutnya masing-masing siswa secara
bergiliran berdasarkan absen, maju ke depan untuk bercerita.
Pembelajaran diakhiri dengan guru mereview kembali kegiatan yang telah
dilakukan melalui tanya jawab dengan siswa terkait kegiatan bercerita. Disini guru
memberikan pemahaman kepada siswa untuk menghargai setiap teman yang
bercerita atau menyampaikan pendapat. Selanjutnya guru meminta siswa untuk
merapihkan kembali buku-buku yang telah digunakan pada pojok baca, setelah itu
guru menutup pelajaran dan siswa istirahat.

c. Pengamatan Tindakan (Observing)

Pengamatan dilaksanakan selama tindakan dilakukan. Dalam hal ini peneliti


meminta bantuan teman sejawat yang bertindak sebagai observer. Pengamatan
dilakukan melalui lembar pengamatan yang merupakan sebuah cara yang dilakukan
peneliti dalam memonitoring pelaksanaan kegiatan pada siklus I ini. Lembar
pemantau tindakan dan catatan lapangan digunakan untuk mencata data proses
pelaksaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan whole language serta
mencatat perkembangan kemampuan berbicara siswa. Catatan lapangan digunakan
untuk memperoleh data lain yang tidak tercatat dalam lembar pemantau tindakan.
Pengamatan ini dilakukan untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan telah
sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. (Untuk data hasil
pengamatan yang lengkap, terlampir pada lampiran nomor 13,14,15 dan 16)
Berdasarkan hasil pengamatan tindakan siklus I, diketahui bahwa tindakan
penelitian yang dilakukan dengan pendekatan whole langauge mencapai 77%.
Persentase ini diperoleh dari data pemantau tindakan yang menunjukan bahwa
pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan whole language hanya mencapai 31
poin dari 40 kriteria (lampiran nomor 6) Sedangkan data tentang perkembangan
kemampuan berbicara siswa setelah diberikan perlakuan pada siklus I mencapai 67
%. Perolehan ini belum memenuhi target keberhasilan dalam penelitian (Lampiran
nomor 8).
d. Refleksi (Reflecting)

Peneliti bersama kolaborator mengadakan refleksi setiap selesai melaksanakan

kegiatan. Refleksi ini dilakukan dengan tujuan agar peneliti dapat melihat apakah kegiatan

yang dilakukan telah sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan apakah kegiatan
yang dilakukan dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa, khususnya siswa kelas III

SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur.

Pada siklus I ini, terlihat beberapa hal positif diantaranya adalah siswa terlihat

antusias dan semangat dalam mengikuti pelajaran, siswa juga mulai menunjukan

perkembangan dalam berbicara walaupun masih banyak yang belum berani. Namun masih

ada beberapa kekurangan, yaitu siswa terlihat belum berani untuk berbicara. Terkadang

siswa masih banyak dibantu oleh peneliti dan kolaborator seperti ketika menceritakan

kembali isi bacaan, mendeskripsikan gambar, mengomentari tokoh dalam cerita serta ragu

untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, guru juga belum memberikan pembelajaran yang

memenuhi keseluruhan aspek pengamatan pembelajaran dengan pendekatan whole

language. Ada beberapa hal yang masih perlu diperhatikan, diantaranya adalah guru kurang

menciptakan suasana immertion, yaitu suasana belajar yang menyenangkan, menantang

dan benar-benar membawa siswa tenggelam dalam pembelajaran sesuai dengan ciri khas

pendekatan whole language.

Pelaksanaan pendekatan whole language belum begitu maksimal,

pendekatan whole language yang ditandai dengan ciri khas seperti: immertion,

demonstration, expectation, responsibelity, employment, approximation, serta feedback,

semuanya telah terangkum dalam seluruh aspek pengamatan, namun pada siklus I ini guru

belum memenuhi keseluruhan aspek dalam lembar pengamatan pendekatan whole

language. Dapat disimpulkan bahwa pertemuan pertama dan kedua pada siklus I,

penerapan pendekatan whole language belum maksimal, khususnya dalam

aspek imertion, employment dan responsibelity. Siswa perlu diberikan kesempatan yang

lebih untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya.

Artinya masih terdapat beberapa hal yang harus direvisi terkait dengan penerapan

pendekatan whole language. Beberapa kekurangan selama pelaksanaan siklus I,

diantaranya masih banyak siswa yang pasif dan tidak berani berbicara. Kemampuan

berbicara siswa sudah terlihat cukup baik dalam aspek intonasi dan penggunaan kalimat,

tetapi pada aspek kelancaran dan keberanian, masih banyak siswa yang ragu-ragu dan

malu-malu untuk tampil di depan kelas.

Berdasarkan data dan hasil reflaksi yang telah dilakukan oleh peneliti dan

kolaborator, maka dapat diketahui belum terjadi peningkatan yang sesuai dengan hipotesis
penelitian, dimana 80% dari jumlah siswa belum mencapai peningkatan dalam kemampuan

berbicara sebesar 80%.

Untuk itu peneliti dan kolaborator sepakat untuk melanjutkan penelitian ini menuju

tahap selanjutnya yaitu siklus II dengan perencanaan yang disusun sebagai persiapan untuk

menutupi kekurangan pada siklus I. Hal ini dilakukan agar penelitian ini dapat mencapai

tujuannya yaitu meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11

Pagi, Jakarta Timur.

3. Deskripsi Data Siklus II

Setelah peneliti dan kolaborator mengadakan refleksi dari siklus I, maka peneliti

bersama kolaborator membuat perencanaan kegiatan yang akan dilaksanakan pada siklus II

guna meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi,

Jakarta Timur.

Adapun pelaksanaan kegiatan pada siklus II dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan.

Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan fokus kegiatan memperbaiki kekurangan disiklus

I, yaitu memberikan banyak peluang kepada siswa untuk berani berbicara di depan kelas

dengan memaksimalkan penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan whole

language khusus pada aspek imertion dan responsibelity. Berikut pemaparan tentang

kegiatan pada siklus II.

a. Perencanaan (Planning)

Adapun perencanaan yang dilakukan peneliti pada siklus II ini adalah:

1) Membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan.

Kegiatan akan diberikan sebanyak 2 kali pertemuan yaitu:

pertemuan pertama diisi dengan siswa memberikan contoh kalimat perintah, bermain kuda

bisik tentang kalimat perintah, dan bermain peran tentang kalimat perintah. Pertemuan

kedua, siswa akan membuat bingkai foto, setelah itu siswa akan maju ke depan kelas untuk

menceritakan kembali cara membuat bingkai foto tersebut.


2) Menyiapkan media yang akan digunakan diantaranya: potongan kertas yang berisi kata-kata

atau kalimat perintah, kotak untuk mengisi potongan kertas, peralatan dan perlengakapan

untuk membuat bingkai foto seperti: gunting, lem, kertas warna, isolasi, serta potongan

kardus.

3) Memilih metode yang akan digunakan. Beberapa metode yang digunakan adalah metode

bercerita, tanya jawab, ceramah, bermain, diskusi, demonstrasi, serta bermain peran

sederhana.

4) Menyiapkan alat pengumpul data seperti lembar observasi, catatan lapangan, dan kamera.

5) Memberikan kegiatan berbicara secara berpasangan sehingga siswa lebih berani tampil

untuk berbicara

6) Menghadirkan suasana imertion dan employment dengan menyajikan permainan dalam

pelajaran sehingga siswa lebih nyaman dan berani.

b. Pelaksanaan Tindakan (Action)

1) Siklus II Pertemuan ke-1, Senin, 1 Desember 2014

Pada pertemuan pertama siklus II ini, kegiatan diawali dengan berdoa kemudian guru

mengkondisikan kelas untuk siap belajar yaitu merapihkan tempat duduk, serta memeriksa

kehadiran siswa. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari

yaitu tentang “penggunaan kalimat perintah”. Kegiatan dilaksanakan dengan siswa diminta

untuk membacakan sederet kalimat perintah yang ada di dalam buku pegangan siswa.

Kemudian guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang kalimat perintah (ciri-ciri

kalimat perintah, dan penggunaan kalimat perintah).


Gambar 4.14. Guru memberikan penjelasan tentang kalimat perintah.

Guru memberikan beberapa contoh kalimat perintah beserta contohnya agar siswa lebih

paham. Setelah siswa memahami tentang kalimat perintah, guru membagi siswa dalam 4

kelompok untuk bermain kuda bisik. dengan dengan jumlah masing-masing anggota

kelompok 5 orang, ada 2 kelompok berjumlah 6 orang. Guru menjelaskan kepada siswa

tentang aturan bermain kuda bisik. Setelah siswa memahami aturan bermain, selanjutnya

siswa bermain kuda bisik tentang kalimat perintah.

Gambar 4.15. Siswa bermain kuda bisik dan mencari kata dalam kotak.

Guru mempersilahkan siswa duduk kembali pada tempat masing-masing, kemudian

guru memberikan kepada kepada masing-masing 2 orang siswa mendapat 1 kata tentang

kalimat perintah, yang nantinya kedua siswa harus membuat kalimat tentang kata tersebut

dan mempraktikannya dalam bentuk dialog. (hal ini dilakukan oleh masing-masing siswa

dengan teman sebangkunya).

Gambar 4.16. Siswa mempraktikan kalimat perintah.


Siswa membuat kalimat perintah dan mempraktikannya di depan kelas dengan

bermain peran sederhana (seorang berperan sebagai yang memberi perintah dan yang

seorang sebagai pelaksana).

Setelah kegiatan mempraktikan kalimat perintah ini selesai, siswa dan guru

merapihkan perlengkapan yang telah digunakan. Guru memberikan umpan balik berupa

tanya jawab tentang kegiatan yang telah dilakukan, selanjutnya guru menutup pelajaran dan

siswa isitrahat.

2) Siklus II Pertemuan ke-2, Rabu 3 Desember 2014

Dalam pertemuan ini, siswa akan membuat kerajinan sederahan yaitu


membuat bingkai foto, kemudian masing-masing siswa diminta untuk menceritakan
kembali langkah-langkah membuat bingkai foto tersebut. Seperti biasa sebelum
memulai kegiatan, guru mengawali dengan berdoa, kemudian guru mengkondisikan
kelas untuk siap belajar. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran
yang akan dipelajari yaitu tentang “menjelaskan petunjuk membuat bingkai foto”.
Guru memulai kegiatan dengan membagi siswa dalam 5 kolompok dengan
jumlah anggota kelompok 4-5 orang. Selanjutnya guru mendemonstrasikan kepada
siswa beberapa peralatan dan bahan yang digunakan dalam membuat bingkai foto,
seperti: gunting, lem, kertas berwarna, potongan kardus, isolasi, dan foto. Kemudian
guru menjelaskan sekali lagi kepada siswa bahwa kegiatan yang kita lakukan hari ini
adalah “menceritakan langka-langkah membuat bingkai foto”. Guru mengingatkan
kepada siswa untuk memperhatikan dengan baik demonstrasi yang dilakukan guru
di depan kelas, yaitu membuat bingkai foto.
Guru mendemonstrasikan dan menjelaskan kepada siswa tentang langkah-
langkah membuat bingkai foto dengan menggunakan peralatan yang telah
disediakan. Setelah guru memastikan bahwa semua siswa telah memahami
petunjuk untuk membuat bingkai foto, selanjutnya guru mulai membagikan peralatan
dan perlengkapan yang diperlukan kepada siswa untuk membuat bingkai foto.
Gambar 4.17. Guru mendemonstrasikan cara membuat bingkai foto.

Adapun foto yang dipakai untuk membuat dibingkai adalah foto diri masing-
masing siswa di dalam kelas yang sengaja telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh
guru. Setelah guru membagi foto dan perlengkapan yang diperlukan kepada masing-
masing siswa. Siswa diberikan kebebasan untuk berkreasi membuat bingkai foto
kemudian menghias bingkai yang berisikan foto mereka masing-masing dengan
pernak-pernik yang ada sesuka hati. Adapun alokasi waktu yang diberikan untuk
membuat bingkai adalah selama 10 menit.

Gambar 4.18. Siswa membuat bingkai foto


Akhirnya semua siswa selesai membuat bingkai foto mereka dengan baik.
Guru memperingatkan kepada siswa untuk menempelkan nama mereka pada
bingkai foto yang telah mereka buat. Selanjutnya guru mempersilahkan masing-
masing siswa untuk maju ke depan untuk menceritakan kembali dengan kata-kata
sendiri tentang kegiatan yang baru saja ia lakukan, yaitu menceritakan kembali
langkah-langkah membuat bingkai foto.

Gambar 4.19. Siswa menceritakan cara membuat bingkai foto.

Satu demi satu siswa maju ke depan untuk menceritakan kembali langkah-
langkah kegiatan yang apa saja yang telah ia lakukan dalam mengkreasikan bingkai
foto miliknya. Sambil bercerita, siswa yang lain menyimak cerita temannya. Setelah
siswa selesai menceritakan langkah-langkah membuat bingkai, guru meminta siswa
lainnya untuk memberikan tepuk tangan kepada siswa yang telah bercerita.
Gambar 4.20. Bingkai foto hasil karya siswa dipajang di depan kelas.

Guru mempersilahkan siswa untuk memasang bingkai foto hasil karya


mereka di depan kelas. Setelah itu guru memberikan kesimpulan, kemudian siswa
dan guru bekerjasama untuk merapihkan perlengkapan yang telah digunakan.
Setelah semua telah rapih, guru menyimpulkan dan menutup pelajaran.
c. Pengamatan Tindakan (Observing)
Peneliti dan observer terus mengadakan pengamatan kegiatan yang
dilakukan. Pelaksanaan siklus II ini, peneliti dan observer memonitoring pelaksanaan
kegiatan dengan menggunakan lembar pemantau tindakan dan catatan lapangan
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
instrumen pemantau tindakan (lampiran 6) yang dinilai oleh observer. Selain
instrumen, pengamatan juga dilakukan melalui dokumentasi foto (lampiran 17) serta
catatan lapangan (lampiran 13-16) yang berisi tentang kekurangan dan kelebihan
pada saat proses pembelajaran. Semua perangkat yang digunakan seperti
instrumen, lembar pengamatan dan catatan lapangan dijadikan sebagai dasar
pertimbangan untuk dapat mengetahui perbandingan hasil antara siklus yang satu
dan siklus lainnya yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi.
Jika dilihat pada data pemantau tindakan, pelaksanaan pembelajaran dengan
pendekatan whole language pada pertemuan siklus II mencapai 98% (Lampiran
6). Persentase yang cukup tinggi dibandingkan pertemuan sebelumnya. Hal ini
sebanding dengan peningkatan kamampuan berbicara siswa yang mencapai skor di
atas 75 (data terlampir pada lampiran 11).
d. Refleksi (Reflecting)

Berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi
peningkatan kemampuan berbicara siswa melalui pendekatan whole language yang
diterapkan pada kegiatan yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
hasil kemampuan berbicara siswa dari siklus I dan siklus II mengalami penigkatan.
Pertemuan sebelumnya beberapa siswa masih banyak memerlukan motivasi
dan bantuan peneliti dan kolaborator seperti ketika menceritakan kembali cerita
sederhana, mengajukan pertanyaan, dan mengemukakan pendapat. Berdasarkan
pengamatan setelah dilakukan tindakan pada siklus II, mulai dari pertemuan
pertama bermain kuda bisik, membuat kalimat perintah, serta mempraktikan dialog
tentang kalimat perintah. Pertemuan kedua diisi dengan menceritakan cara
membuat bingkai foto, terlihat adanya peningkatan yang cukup singnifikan dalam 4
aspek yang dinilai yaitu aspek kelancaran, intonasi, penggunaan kalimat, serta
keberanian.
Jika dilihat pada lembar pengamatan (lampiran 11), siswa mengalami peningkatan

yang sesuai dengan target, bahkan ada siswa yang mendapatkan skor lebih dari 75.

Terdapat 2 orang siswa yang masih memiliki skor dibawah target yang telah ditentukan.

Sedangkan pelaksanaan pendekatan whole language pun mendapatkan skor yang cukup

tinggi (lampiran 6).

B. Pemeriksaan Keabsahan Data


Untuk menguji keabsahan data dan keterpercayaan data dilakukan dengan teknik

triangulasi yang dilakukan melalui obervasi, tes, dan lembar pengamatan. Pemeriksaan

keabsahan data dilakuan pada setiap siklus dan dicatat melalui instrumen aktifitas guru dan

siswa. instrumen-instrumen yang digunakan diperiksa dan disetuji oleh para ahli melalui

lembar persetujuan (lampiran 5).

Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu memeriksa dan mencocokan data yang

diperoleh dari hasil observasi berupa catatan lapangan dan lembar pengamatan

pembelajaran dengan pendekatan whole language, dokumentasi berupa foto, dan lembar

pengamatan kemampuan berbicara siswa, sehingga terjaring data yang lengkap dan

memiliki validitas serta realibilitas yang dapat dipercaya.

C. Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis

1. Analisi Data Proses

Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh peneliti siklus I hingga siklus II. Proses dalam

penelitian ini bersumber pada pelaksanaan pendekatan whole language berdasarkan

prinsip-prinsipnya yaitu imertion, responsibelity, employment, approximation, demonstration,


expectation, serta feedback, semuanya terangkum dalam lembar pengamatan proses yang

terdiri dari 40 butir yang mengindikasikan penerapan pendekatan whole language.

Hasil pengamatan yang dirangkum kemudian dilakukan analisis sebagai bentuk

pengujian hipotesa tindakan dengan membandingkan persentase kenaikan pada akhir siklus

untuk melihat apakah pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan

berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur.

Berikut data pelaksanaan pendekatan whole language selama siklus I dan siklus II :
Tabel 4.2. Pengamatan Proses Pembelajaran Berbicara dengan Menggunakan
Pendekatan Whole Language pada siklus I dan siklus II.
Siklus II
NO Siklus I

Persentase Proses Pembelajaran Berbicara 77% 98%


dengan Menggunakan Pendekatan Whole
Language

Data di atas dapat ditampilkan dalam grafik sebagai berikut:

Gambar 4.21. Diagram Histogram Hasil Pengamatan Proses Pembelajaran Menyimak


dengan Menggunakan Pendekatan Whole Language
2. Interpretasi hasil analisis data proses
Berdasakan analisis data yang tersaji diatas ditemukan bahwa kegiatan
penelitan yang sudah terlaksana mulai dari silkus I dan siklus II memiliki perbedaan
yang cukup signifikan. Persentase penerapan pendekatan whole language pada
siklus I hanya sebesar 77%. Masih terdapat beberapa kekurangan pada aspek-
aspek dalam pendekatan whole language, khusus aspek imertion dan employment.
Presentase ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada siklus II
yang mencapai 98%. Hal ini terbukti pada lembar pengamatan proses (lampiran
11). Hasil ini bisa tercapai karena peneliti telah melakukan reflesi dari pertemuan
sebelumnya seperti menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, memberikan
suasana imertion dan employment yang lebih banyak kepada siswa untuk berbicara
sehingga penerapan proses pembelajaran dengan pendekatan whole
language mampu menutupi kekurangan pada siklus sebelumnya. Hasilnya
persentase pelaksanaan pendekatan whole language mendekati tahap sempurna
yaitu mencapai 98%.
3. Analisi data hasil kemampuan berbicara siswa.
Pengukuran hasil kemampuan berbicara dilakukan dengan menyiapkan
lembar pengamatan serta rubrik yang telah dipersiapkan untuk mengukur 4 aspek
yang akan dinilai ketika siswa berbicara, yaitu aspek kelancaran, intonasi,
penggunaan kalimat, serta keberanian. Data yang diperoleh setelah perlakuan yang
diberikan selama siklus I dan siklus II terangkum dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.3.
Data kemampuan berbicara siswa pada siklus I dan siklus II.
Siklus I Siklus II
NO Kriteria

1 Skor > 75 59% 90%

2 Skor < 75 41% 10%

Data di atas dapat disajikan dalam bentuk diagram sebagai berikut:


Gambar 4.22. Diagram histogram kemampuan berbicara siswa pada siklus I dan siklus II

4. Interpretasi Hasil Analisis Kemampuan Berbicara

Berdasarkan analisis data, terlihat bahwa kemampuan berbicara siswa mengalami

peningkatan yang cukup signifikan antara siklus I dan silus II. Jika dilihat pada lembar

pengamatan siklus I (lampiran 9), 59% jumlah siswa telah memenuhi terget yang ditentukan

yaitu memperoleh skor >75. Adapun siswa lainya masih di bawah standar 75.

Data selanjutnya adalah siklus II, dimana pada siklus II ini terlihat penigkatan yang

cukup singnifikan pada kemampuan berbicara siswa. Jika pada siklus I, siswa yang

memperoleh skor >75 hanya sebesar 59%, hal ini berbeda dengan siklus II yang mana

siswa yang memperoleh skor >75 mencapai 90%. Sedangkan siswa yang mendapat skor

<75 hanya sebesar 10% (lampiran 11).

Hasil analisis dan interpretasi hasil analisis telah diperoleh data-data selama

pelaksanaan siklus I dan siklus II. Data-data ini selanjutnya akan dibandingkan dengan taget

yang telah ditentukan dalam penelitan ini untuk mengetahui apakah hasil penelitan telah

memenuhi target yang ditentukan atau belum.


Berikut tabel perbandingan target skor yang ditentukan dalam penelitian dengan

peroleh skor kemampuan berbicara siswa pada siklus I dan siklus II.

Tebel 4.6.
Perbandingan target skor keberhasilan yang ditentukan dengan peroleh skor
kemampuan berbicara siswa pada siklus I dan siklus II
Target keberhasilan yang ditentukan Siklus I Siklus II
dalam penelitian
> 75 = 80% > 75 = 59% > 75 = 90%
(Target keberhasil = 80% dari jumlah
siswa mendapat skor > 75) (belum berhasil) (berhasil)

Data di atas jika disajikan dalam bentuk diagram sebagai berikut:


Gambar 4.23. Diagram historgram perbandingan target keberhasilan penelitan dengan
hasil siklus I dan siklus II

Berdasarkan perbandingan data yang disajikan dalam diagram, maka dapat terlihat

dengan jelas bahwa hasil penelitian yang diperoleh pada siklus I belum memenuhi target

yang ditentukan yaitu 80% dari jumlah siswa memperoleh skor kemampuan berbicara

sebesar 75. Selanjutnya pada siklus kedua, terlihat jelas bahwa hasil yang diperoleh sangat

memuaskan bahkan melebihi angka yang ditargetkan, untuk itu dapat dikatakan bahwa

penelitian ini berhasil memenuhi target pada siklus kedua sehingga hipotesis diterima.

D. Pembahasan Temuan Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan

oleh peneliti dan kolaborator. Semua perlengkapan pengamatan serta kegiatan penelitian

telah dilaksanakan selama dua siklus dengan fokus yang telah ditetapkan yaitu

meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui pendekatan whole language. Adapun

pembahasan mengenai pelaksanaan penelitian ini sebagai berikut:

1. Pembahasan Temuan pada Siklus I

Kegiatan siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Dalam pertemuan

pertama, kegiatan disajikan dalam berntuk berkelompok, hal ini bertujuan agar siswa tidak

merasa nyaman dan menikmati suasana belajar secara kelompok.


Dalam kegiatan pertemuan pertama, aspek pendekatan whole language yang lebih

ditekankan adalah aspek imertion, resposibelity, approximatioin, feedback, serta expecation.

Sedangkan aspek employment dan demonstration akan dilaksanakan pada pertemuan

kedua.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah mengomentari tokoh dalam cerita, bermain

puzzel dan menceritakan latar belakang gambar. Kegiatan-kegiatan ini dirancang untuk

menstimulus siswa agar berani berbicara. Selama kegiatan pada siklus I ini dilakukan,

terlihat beberapa hasil positif, diantaranya siswa sangat antusias dalam mengikuti pelajaran,

hal ini terbukti ketika dalam bermain puzzel, siswa saling bekerja sama dan berlomba-lomba

untuk menyelesaikan puzzel. Hasil positif lainnya adalah ada beberapa siswa terlihat berani

untuk mengemukakan pendapat dalam kegiatan mengomentari tokoh dalam cerita.

Selain hasil positif di atas, ada juga beberapa kekurangan yang muncul dalam

pertemuan pertama, yaitu masih ada banyak siswa cenderung pasif ketika diminta untuk

menceritakan latar belakang gambar yang telah disusun, sehingga cerita hanya diwakili oleh

perwakilan kelompok. Ada juga kekurangan lainnya yaitu guru belum menghadirkan aspek

employment dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara secara individu

karena keterbatasan waktu. Oleh karena itu kegiatan dilanjutkan pada pertemuan kedua.

Dalam pertemuan kedua, kegiatan yang dilakukan adalah menceritakan kembali isi

bacaan yang telah dibaca. Siswa antusias ketika diberikan kesempatan untuk memilih

sendiri bahan bacaan yang ia sukai. Selajutnya siswa diberikan alokasi waktu selama 10

menit untuk membaca dan memahami bacaan yang ia pilih, kemudian siswa diminta untuk

menulis bacaannya dalam sebuah catatan kecil untuk membantu siswa untuk mengingat

ringkasan bacaannya.

Ada 4 aspek yang dinilai dalam kemampuan berbicara, yaitu aspek kelancaran,

intonasi, penggunaan kalimat, serta keberanian/percaya diri. Berdasarkan pengamatan

kegiatan berbicara (menceritakan kembali isi bacaan yang telah dibaca), mulai terlihat ada

perkembangan dalam kemampuan berbicara siswa walaupun hasilnya belum begitu

signifikan. Kebanyakan siswa sudah masih belum bekembang dalam aspek kelancaran dan

penggunaan kalimat, sedangkan dalam aspek keberanian dan intonasi, ada beberapa siswa

yang terlihat cukup bagus.

2. Pembahasan Temuan pada Siklus II


Hasil tindakan pada siklus I belum mememenuhi target, sehingga penelitian berlanjut

ke siklus II. Dalam siklus II, kegiatan dikemas dengan bertumpu pada 7 aspek

pendekatan whole language untuk menigkatkan kemampuan beribcara siswa. Adapun

kegiatan yang diberikan adalah belajar sambil bermain,bercarita dan membuat kerajinan.

Berdasarkan hasil analisis data pada siklus II membuktikan bahwa pemberian

tindakan berupa pendekatan pembelajaran whole language dapat meningkatkan

kemampuan berbicara siswa. Tentunya hal ini dapat terjadi karena pembelajaran yang

dilakukan menerapkan prinsip-prinsip pendekatan whole language yang memberikan

pembelajaran yang lebih bermakna dan menyeluruh, serta menciptakan lingkungan yang

kaya akan literatur namun tetap menyenangkan bagi siswa sehingga pembelajaran dapat

mencapai hasil yang lebih optimal.

Kegiatan-kegiatan yang diberikan pun lebih menekankan proses pembelajaran yang

dikemas dalam kegiatan bermain (belajar sambil bermain) sehingga siswa tenggelam dalam

suasana belajar yang menyenangkan dan kaya akan tulisan, buku sumber, pajangan siswa

serta aktivitas yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasa khususnya kemampuan

berbicara.

Pemberian motivasi dari guru dan teman-temannya membuat siswa menjadi lebih

percaya diri dalam mengekspresikan keinginan dan imajinasinya melalui berbicara. Selain

itu, pemberian kesempatan kepada anak untuk berbicara merupakan sebuah cara yang

dapat membuat siswa lebih terlatih kemampuan berbicaranya. Tidak hanya itu, pemilihan

metode yang tepat untuk mendukung pendekatan whole langauge pun sangat penting

sehingga membelajaran lebih menarik bagi siswa.

Pelaksaan pembelajaran dengan pendekatan whole language selama siklus I


dan siklus II tidak lepas dari prinsip-prinsip dalam pendekatan whole language yang
diterapkan seperti: immertion, demonstration,
expectation, responsibility, employment, approximation, dan feed back.
Peneliti menerapkan prinsip immertion (ketenggelaman) dengan menciptakan
lingkungan belajar bagi siswa, dalam hal ini peneliti menyediakan perpustakaan kecil
di dalam kelas (lampiran 17). Perpustakaan mini yang disediakan peneliti ini,
berisikan buku bacaan seperti: buku mata pelajaran IPA, IPS, Matematika, Bahasa
Indonesia, PKn, Buku Seni Budaya, serta Buku Cerita Anak. Tidak hanya itu,
penerapan prinsip immertion juga terlihat ketika peneliti menyeting kelas dengan
memberikan label-label kalimat motivasi di dalam kelas dan menyediakan display
hasil karya siswa. Selain menyeting kelas, peneliti juga menghadirkan
suasan immertion dengan menyajikan games agar siswa larut dalam pembelajaran,
hal ini dapat dilihat pada siklus I pertemuan pertama, ada games puzzel, bermain
kuda bisik pada siklus II pertemuan pertama, serta keterampilan membuat bingkai
foto pada kegiatan siklus II pertemuan kedua.
Prinsip demonstration (pemberian contoh) diterapkan oleh peneliti selama kegiatan
siklus I dan siklus II berlangsung, hal ini dapat dilihat pada siklus I pertemuan
pertama, dalam kegiatan mengomentari tokoh dalam cerita, peneliti memberikan
contoh ucapan yang baik dan benar, memberi contoh bagaimana bercerita,
mengajukan pertanyaan, mengomentari tokoh. Selanjutnya dalam pertemuan kedua,
ketika siswa diminta untuk menceritakan kembali isi bacaan, peneliti terlebih dahulu
memberikan petunjuk bagaimana menceritakan kembali isi bacaan yang dibaca.
Prinsip demonstration juga diterapkan pada siklus II, hal ini dilihat ketika peneliti
mendemonstrasikan petunjuk cara membuat bingkai foto.
Prinsip expectation (harapan), diterapkan oleh peneliti selama setiap kegiatan siklus
I dan siklus II berlangsung. Penerapannya dapat dilihat ketika peneliti memberikan
ucapan baik, bagus, hebat, ketika siswa bercerita di depan kelas. Tidak hanya itu,
peneliti juga menghadirkan prinsip expectation dengan mengapresiasi karya siswa,
hal ini dapat dilihat pada siklus I pertemuan pertama, disini peneliti mempersilahkan
siswa untuk memajang sususan puzzel kelompok mereka pada display karya siswa
yang telah disediakan. Demikian pula pada kegiatan siklus II pertemuan kedua,
dalam kegiatan membuat bingkai foto, peneliti mempersilahkan siswa untuk
memajang hasil karyanya di dalam kelas.
Prinsip responsibility (tanggung jawab) diterapkan oleh peneliti ketikai siswa
berdiskusi kelompok pada siklus I pertemuan pertama dan kedua, serta siklus II
pertemuan pertama dan kedua. Selama diskusi kelompok, peneliti memberikan
tanggung jawab untuk manaati aturan dalam kelompok. Selain itu, peneliti juga
selalu mengajarkan siswa untuk bertanggung jawab merapihkan setiap
perlengkapan yang telah digunakan dalam hal ini ketika kegiatan menyusun puzzel
selesai, siswa merapihkan kelas. Demikian halnya dengan kegiatan membuat
bingkai, siswa diajarkan untuk merapihkan perlengkapan yang telah digunakan.
Peneliti juga mengajarkan prinsip responsibility dengan mengajarkan siswa untuk
bertanggung jawab terhadap tugas dan bertanggung jawab terhadap kata-kata yang
diucapkan.
Prinsip employment (pemberian kesempatan), diterapkan oleh peneliti
dengan memberi kesempatan siswa untuk bertanya, menjawab pertanyaan,
berbicara mengemukakan ide atau imajinasinya hal ini dapat dilihat ketika kegiatan
mengomentari tokoh dalam cerita, kegiatan siklus I pertemuan kedua yaitu siswa
menceritakan kembali bacaan yang dibaca. Selain itu, siswa juga diberi kesempatan
untuk mempresentasikan karyanya di depan kelas.
Prinsip approximation (pendekatan ucapan), peneliti menerapkan prinsip ini dalam
kegiatan siklus I dan siklus II, antara lain: siswa menceritakan kembali pengalaman
atau bacaan dengan bahasanya sendiri (siklus I pertemuan kedua), siswa berdiskusi
kelompok, siswa berbagi cerita dengan teman. Selanjutnya pada kegiatan siklus II
pertemuan kedua peneliti menerapkan pendekatan ucapan (approximation) dengan
cara siswa menceritakan urutan membuat bingkai foto.
Prinsip feed back (umpan balik) diterapkan oleh peneliti dalam semua kegiatan
siklus I dan siklus II. Hal ini terlihat ketika peneliti memberikan respon positif atas
ucapan siswa, peneliti menjawab pertanyaan siswa, dan disetiap akhir kegiatan,
peneliti selalu memberikan review setiap kegiatan yang telah dilakukan. Selain itu,
peneliti juga memberi motivasi agar siswa bersemangat dalam mengikuti
pembelajaran.
Semua prinsip-prinsip pendekatan whole language yang telah diterapkan selama

siklus I dan siklus II, ternyata memberikan hasil yang positif. Berdasarkan hasil yang telah

dicapai, maka peneliti dan kolaborator menyimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas ini

telah mencapai target yang ditetapkan yaitu 80% dari jumlah siswa mengalami peningkatan

kemampuan berbicara dengan memperoleh skor sebesar <75. Artinya bahwa kemampuan

berbicara siswa SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur dapat ditingkatkan melalui

pendekatan whole language yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi guru dalam
memberikan berbagai kegiatan berbahasa yang kaya akan literatur dan membuat anak

tenggelam dalam pembelajaran berbahasa yang diberikan.

E. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan semaksimal mungkin berdasarkan kemampuan


peneliti, masukan dan evaluasi dari kolaborator. Walaupun telah berusaha
semaksimal mungkin dan mendapat bantuan dari berbagai pihak, namun hasil
penelitian ini masih ada beberapa keterbatasan. Peneliti menyadari bahwa penelitian
tindakan kelas ini masih jauh dari sempurnah. Beberapa keterbatasan hasil
penelitian ini adalah:
1. Waktu penelitian yang terbatas karena menjelang ujian semester I, dimana
pengambilan data yang begitu singkat sehingga mengharuskan peneliti mengatur
waktu dengan tapat agar apa yang telah menjadi tujuan dapat tercapai.
2. Penelitian ini hanya dilakukan dalam satu kelas yang mungkin tidak menggambarkan
keseluruhan siswa kelas III sekolah dasar apalagi keseluruhan siswa sekolah dasar.
3. Keterbatasan peneliti, baik pengetahuan dan keterampilan dalam penilaian proses
pembelajaran maupun dalam penyusunan laporannya.
4. Penelitian ini hanya dilakukan di SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur,
sehingga hasil dalam penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan ke sekolah lain,
namun hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai sebuah refensi dan memberikan
masukan-masukan bagi sekolah lain agar menerapkan pendekatan pembelajaran
berbicara dengan baik.

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada siklus I kemampuan

berbicara siswa belum meningkat, dalam hal ini siswa yang mencapai skor >75 hanya

sebesar 59%. Hal ini membuat peneliti dan kolaborator melanjutkan penelitian menuju siklus
II. Setelah dilakukan perlakuan pada siklus II, ternyata kemampuan berbicara siswa

mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 90% jumlah siswa mencapai

persentase skor >75. Hasil ini telah memenuhi target penelitian yang telah ditentukan, yaitu

80% dari jumlah siswa memperoleh persentase skor kemampuan berbicara sebesar >75.

Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti dan kolaborator sepakat untuk menghentikan

penelitian cukup sampai siklus II saja, karena telah berhasil memenuhi target.

Kemampuan berbicara siswa mengalami perkembangan setelah dilakukannya tindakan

dengan menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran whole language yaitu dengan

menciptakan lingkungan belajar yang kondusif serta pembelajaran yang menarik sehingga

siswa tenggelam dalam pembelajaran yang dilakukan (immertion), siswa belajar meniru

contoh yang baik (demonstration), guru memberi kesempatan berbagai kegiatan yang

menumbuhkan keberanian siswa untuk berbicara (approximation), menanamkan rasa

kebersamaan dan tanggung jawab pada siswa (responsibility), memberikan reward atau

respon positif terhadap anak ketika berbicara, baik bercerita, bertanya, mengajukan

pendapat atau idenya tentang suatu hal (employment), dan mengulas kembali materi yang

telah diberikan dan kegiatan yang dilakukan siswa (feedback)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan whole language dapat

meningkatkan kemampuan beribcara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta

Timur.

B. Implikasi
Implikasi hasil penelitian ini adalah dalam pembelajaran berbicara untuk siswa
kelas III SD, perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembalajaran yang mengacu pada
perkembangan siswa, dan mengintegrasikan keempat kemampuan berbahasa yang
dipelajari siswa, menekankan pembelajaran yang bermakna bagi siswa serta
menyenangkan agar siswa dapat menikmati pembelajaran yang diberikan.
Pendekatan whole language tidak hanya dapat digunakan untuk menigkatkan
kemampuan menulis, membaca dan menyimak tetapi juga dapat meningkatkan
kemampuan berbicara siswa. Penigkatan kemampuan berbicara siswa melalui
pendekatan whole language ini bertujuan agar siswa sekolah dapat menjadi pribadi
yang berani untuk berbicara menjadi komunikator yang baik, serta kaku di dalam
kelas. Hal ini tentu saja akan memberikan manfaat jangka panjang bagi siswa ketika
siswa telah dewasa, siswa tidak mengalami kesulitan ketika diberikan kesempatan
untuk berbicara di depan publik karena siswa telah dibiasakan sejak dini.

C. Saran

1. Bagi Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar

Lembaga pendidikan sekolah dasar diharapkan juga dapat menerapkan


pendekatan whole language dengan prinsip-prinsip pembelajarannya untuk
mengembangkan kemampuan berbicara siswa, baik siswa kelas rendah maupun
kelas tinggi. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan whole language ini tidak
hanya kemampuan berbicara saja yang dapat berkembang, tetapi keterampilan
berbahasa seperti membaca, menulis dan menyimak juga dapat diajar karena
pendekatan whole langauge adalah pendekatan yang utuh. Dengan meningkatkan
kemampuan berbicara siswa di dalam kelas, secara tidak langsung kemampuan
bersosialisasi siswa pun akan ikut berkembang karena berbicara dapat
memudahkan siswa untuk berkomunikasi dengan teman dan orang-orang
disekitarnya. Melalui pendekatan whole language, siswa dapat belajar
mengembangkan kemampuan bahasanya dengan lebih alami dan menyenangkan
karena dikemas melalui kegiatan bermain sehingga sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan siswa.

2. Bagi Guru
Pemilihan pendekatan dan metode yang tepat sangat diperlukan untuk dapat
mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak didiknya. Dengan menggunakan
pendekatan whole language, guru dapat mengembangkan kemampuan berbicara
siswa dengan lebih menyenangkan dan lebih alami karena disini siswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya melalui kegiatan
bermain. Penciptaan kondisi kelas yang kondusif, kaya akan tulisan, dan
menyenangkan sehingga merangsang minat belajar dalam mengembangkan
kemampuan berbicara siswa
3. Bagi Orang tua dan Masyarakat
Mengingat pentingnya peran orang tua dan masyarakat dalam
mengembangkan kemampuan berbicara anak, maka pemberian sarana dan
dukungan berupa kesempatan untuk anak mengekspresikan diri, menyampaikan
keinginan, ide atau pendapatnya melalui berbicara sangat diperlukan agar anak
tidak merasa malu atau takut untuk belajar berbicara dan mengembangkan
kemampuannya tersebut.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya hendaknya dapat mengembangkan penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan pengembangan kemampuan berbicara dan pendekatan whole
language dengan menerapkan prinsip-prinsipnya serta tidak menutup kemungkinan
untuk mencoba menemukan berbagai kegiatan menarik lainnya dalam
mengembangkan kemampuan berbicara anak.

Anda mungkin juga menyukai