PENDAHULUAN
Bahasa memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dengan
bertanya, bercerita, meminta pertolongan, berpidato dan sebagainya. Sejak lahir, manusia
telah memiliki naluri untuk berkomunikasi. Banyak tahapan dan cara yang dilalui seorang
bayi untuk berkomunikasi mulai dari hanya menggunakan gerakan, suara tangisan, sampai
bisa mengucapkan kata-kata. kemampuan bahasa anak berkembang terus menerus dengan
mempelajari dan menyimak kosa kata baru yang didengar serta belajar untuk
keluarga, kemampuan bahasa anak terus berkembang hingga anak dapat berbicara secara
Ketika berusia 3-6 tahun anak sudah bisa berbicara dengan lancar. Hal ini dapat dilihat
dalam pergaulan anak dengan teman sebayanya. Anak-anak bermain, bercerita, bahkan
saling mengejek. Kemampuan berbicara ini akan terus berkembang tahap demi tahap.
Ketika memasuki lingkungan sekolah, kemampuan berbahasa yang sudah dimiliki anak dari
lingkungan sekolahnya. Kemampuan berbicara ini sangat menentukan siswa untuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang akan memudahkan siswa untuk berkomunikasi dengan
orang-orang di sekitar.
Kemampuan berbicara yang telah dimiliki anak sejak dalam lingkungan keluarga belum
tentu seutuhnya memenuhi standar kebahasaan yang baik dan benar. Dalam dunia
pendidikan formal, tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar harus diperhatikan.
Pada dasarnya dalam berbahasa, kemampuan sisw akan berkembang secara optimal
berbicara, membaca, menulis dan menyimak. Setiap keterampilan ini sangat berkaitan erat
dengan cara yang beraneka ragam. Keempat keterampilan ini merupakan suatu kesatuan
atau catur tunggal. Keempat keterampilan ini merupakan pilar pokok berbahasa yang harus
pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan
banyak latihan. Melatih keterampilan berbahasa siswa berarti pula melatih keterampilan
berpikir.[1] Pendapat ini sejalan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah,
yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulis, menghargai dan bangga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, memahami
bahasa Indonesia dan dapat menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk
Bahasa Indonesia tidak lepas dari empat kompetensi yang sangat penting yang harus
dimiliki, yaitu berbicara, menyimak, membaca dan menulis. Untuk memperoleh pengalaman
berbahasa yang seoptimal mungkin perlu dilatihkan semua kompetensi bahasa yaitu
pengalaman melahirkan bahasa tulis.[2] Salah satu yang perlu diperhatikan dari keempat
berbahasa yang harus dilatihkan kepada siswa sedini mungkin. Komunikasi yang lebih
informasi, bertanya, menyampaikan ide, bercerita serta berkomunikasi dengan orang lain
meningkat jika ditunjang oleh keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak,
Seseorang siswa yang terampil berbicara cenderung berani tampil di depan kelas. Dia juga
cenderung memiliki keberanian untuk tampil menjadi pemimpin pada kelompoknya. Jika
dilihat dalam lingkungan sekolah, banyak guru yang mengatakan bahwa siswa yang pandai
berbicara umumnya mudah bergaul, memiliki rasa percaya diri. Hal ini membuktikan
Itu artinya peran seorang guru juga sangat penting, karena gurulah yang mendesain
kepada orang lain secara lisan. Siswa akan terbiasa dengan hal-hal kecil yang diajarkan
gurunya, termasuk gaya berbicara. Tidak jarang di kelas siswa sering meniru apa yang
diucapkan oleh gurunya, atau meniru gaya bicar gurunya. Hal ini membuktikan bahwa dalam
tahap perkembangannya berbicaranya, siswa belajar melalui model. Tentunya seorang guru
harus memberikan pedoman yang benar. Keberhasilan belajar peserta didik dalam
penting diajarkan karena dengan keterampilan itu seorang peserta didik akan mampu
Anak usia sekolah dasar, khusunya kelas III telah memiliki dasar untuk berbicara
dengan baik. Hal ini dilihat dengan anak sudah bisa mengemukakan pendapat, bertanya,
Timur, peneliti menemukan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kelas tidak
berpusat pada guru, sehingga dalam pembelajaran anak terlihat jenuh dan kurang
bersemangat. Selain itu posisi belajar siswa tidak berubah-ubah. Semua siswa duduk
menghadap kedepan papan tulis sehingga pembelajaran cenderung monoton dan kurang
Metode yang digunakan guru pun lebih banyak ceramah sehingga anak lebih
terstimulus dengan baik. Hal ini dapat terlihat dengan jelas ketika siswa
diminta mengemukakan pendapat, hanya siswa tertentu saja yang berani berbicara.
Demikian halnya dengan bertanya, hanya siswa tertentu saja yang bertanya. Hal yang sama
ketika dalam diskusi kelompok, ada siswa yang hanya diam, ada yang asyik dengan
kesibukan sendiri, ia tidak mengambil bagian dalam diskusi teman-temannya. Bahkan lebih
parah lagi masih ada siswa kelas III yang tidak berani berbicara sama sekali.
Pembelajaran dalam kelas masih terdapat guru yang menggunakan pendekatan yang
konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung monoton dan
membosankan. Guru cenderung hanya menggunakan pendekatan dan metode yang kurang
lapangan, dalam setiap pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar sering dijumpai
para guru mengajarkan bahasa Indonesia dengan tidak melibatkan keempat komponen
Keempat komponen ini cenderung diajarkan secara terpisah-pisah. Artinya guru tidak
mengembangkan suatu desain pembelajaran bahasa Indonesia yang secara utuh yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bahasa secara utuh (berbicara,
menyimak, membaca, dan menulis). Hasilnya kita masih melihat di lapangan bahwa siswa
diajarkan keempat kompenen bahasa secara terpisah dan tidak ada kombinasi yang utuh,
contohnya siswa hanya diajarkan untuk mendengar/menyimak ceramah dari guru, anak
hanya diajarkan menulis/mencatat materi dari guru saja. Siswa tidak diajak untuk belajar
Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara
sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara.
Akibatnya keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu
yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini
artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk
Hal ini tentu merugikan bagi masa depan siswa karena kemampuan berbicara siswa
yang telah dibawa sejak usia dini dari lingkungan keluarga ternyata tidak berkembang
dengan baik dalam lingkungan sekolah. Tentunya jika siswa tidak dibiasakan untuk
mengembangkan kemampuan berbicaranya sejak dini, hal ini bisa saja menyebabkan
kesulitan bagi siswa untuk bersosialisasi dengan sesamanya ketika dewasa nanti.
penelitian guna mengatasi permasalahan yang ada di SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta
Timur dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang merangkul semua
menulis. Pendekatan pembelajaran yang peneliti anggap cocok untuk mengatasi masalah
menyajikan pembelajaran bahasa secara utuh atau tidak terpisah-pisah antara keterampilan
membaca, menulis, mendengar, dan berbicara. Pendekatan whole language berangkat dari
melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh dan menyeluruh. Belajar bahasa lebih
mudah terjadi jika disajikan secara holistik, nyata, relevan, serta fungsional.
bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) secara utuh, siswa juga dapat
mengembangkan komponen kebahasaan (tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, dan tata
makna). Dalam pendekatan whole language peran guru sebagai fasilitator pendidikan
terintegrasi.
Sehubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui
apakah pendekatan whole language dapat mengatasi masalah yang ada di SDN
Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur yaitu keterampilan berbicara anak dapat meningkat.
sebagai berikut:
1. Guru kurang menggunakan pendekatan dan metode yang efektif dalam pembelajaran
dikelas.
3. Pembelajaran yang dirancang guru cenderung satu arah sehingga siswa mudah jenuh.
4. Siswa akan mengalami kesulitan dalam jenjang yang lebih tinggi jika keterampilan berbicara
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi area dan fokus penelitian di atas,
maka peneliti membatasi beberapa topik masalah yang akan diteliti sebagai fokus penelitian,
yaitu: kemampuan berbicara siswa kelas III SD dan pendekatan whole language.
pendekatan whole language pada siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta
kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur?
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah
khususnya, dan bagi dunia pendidikan pada umumnya. Manfaat penelitian meliputi manfaat
teoretis dan manfaat praktis. Manfaat penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian yang relevan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
b. Bagi siswa
c. Bagi Guru
4) Memberikan solusi kepada guru lain dalam memecahkan masalah pembelajaran bahasa
Indonesia.
d. Bagi Sekolah
Sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa lain yang melakukan penelitian yang relevan.
f. Bagi Masyarakat
ACUAN TEORETIK
Berbicara secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide,
pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga
maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Pengertian berbicara secara khusus
banyak dikemukakan oleh para pakar. Tarigan mengemukakan bahwa berbicara adalah
menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.[1] Dari kutipan ini dapat
dideskripsikan bahwa berbicara merupakan sebuah aktivitas yang tidak hanya melibatkan
organ bicara anak melainkan juga psikologi anak karena ketika seorang anak berbicara
Menurut Brooks dalam Tarigan, berbicara pada hakikatnya merupakan suatu proses
berkomunikasi sebab didalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat
lain. Dalam proses komunikasi terjadi pemindahan pesan dari komunikator (pembicara)
Gambar 2.1.
Bagan proses komunikasi menurut Brooks dikutip oleh Tarigan.[2]
kemampuan berbicara saja tetapi juga melibatkan kemampuan alat indera yang lain yang
bekerja secara utuh, seperti kemampuan menyimak untuk menangkap pesan dari seorang
pengucapan. Selanjutnya perlu kemampuan kognitif juga untuk mengolah pesan yang
diterima. Hasilnya adalah pendengar dapat merespon komunikasi tersebut dan memberikan
tanggapan.
Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran
secara efektif, maka seyogyanyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu
yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap
(para) pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala
situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.[3]
dengan baik sebelum ia berbicara. Dalam pembejalaran di kelas, siswa tidak hanya dilatih
untuk berani berbicara, namun perlu dibina untuk menata kalimat yang ia gunakan.
Kemampuan seperti inilah yang perlu dilatih kepada siswa di dunia sekolah karena selain
siswa berbicara, ia juga harus dilatih untuk mempertanggung jawabkan apa yang ia katakan.
kemampuan untuk memberitahukan (to inform), menghibur (to entertain), menyakinkan (to
Setiap orang memiliki kemampuan untuk berbahasa, hanya saja untuk mengoptimalkan
kemampuan itu tidak banyak orang yang begitu peduli. Hal ini terbukti dengan masih banyak
orang yang merasa malu atau rag-ragu jika ditunjuk untuk berbicara. Namun sebaliknya ada
orang yang memiliki kemampuan berbicara yang baik untuk menginformasikan, menghibur
Dalam pembelajaran di kelas, siswa tidak perlu menjadi reporter ataupun wartawan.
Siswa hanya perlu dilatih untuk mau dan berani berbicara, mengemukakan pendapatnya.
Jika siswa terlatih memiliki kemampuan berbicara atau kemampuan berbahasa yang baik
dan benar, maka kedepannya kemampuan itu akan terus berkembang dan bermanfaat bagi
berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh
keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar
kemampuan seorang anak yang berkembang ketika seorang anak sudah dapat menyimak
suatu informasi dan pada masa ini seorang anak sudah dapat mengembangkan
keterampilan tersebut, seperti merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat yang dapat
digunakan anak dalam menyampaikan berbagai ekspresi dirinya seperti keinginan, ide,
perasaan, maupun pengalamannya tentang banyak hal. Dengan bicara maka semua itu
dapat tersampaikan kepada orang-orang disekitarnya dan anak pun dapat berinteraksi
Agar menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain harus harus
memberikan kesan bahwa dirinya menguasai masalah yang dibicarakan, maka seorang
pembicara juga memerlukan keberanian untuk berbicara. Ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan oleh si pembicara untuk keefektifan berbicara, yaitu faktor kebahasaan dan
faktor non kebahasaan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara
secara langsung menurut Maidar adalah sebagai berikut: pelafalan, intonasi, pilihan kata
dan kalimat, struktur kata dan kalimat, kelancaran, sikap berbicara, gerak-gerik dan mimik
muka.[6]
atas, dapat dikelompok menjadi 2 aspek utama yang perlu diperhatikan ketika seseorang
berbicara, yaitu aspek kebahasaan yang meliputi kelancaran berbicara, intonasi, serta
penggunaan kalimat. Sedangkan aspek non kebahasaan yang meliputi percaya diri atau
kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Dalam hal ini, seorang pakar
sosiolinguistik mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik lisan
maupun tulisan. Namun, fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar yang menurut
Kinneavy dikutip oleh Abdul Chaer, fungsi tersebut disebut fungsi ekspresi, fungsi informasi,
perasaan seperti benci, senang, kesal, marah yang dialami penutur kepada yang orang lain.
Fungsi informasi adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan pesan kepada orang lain.
Fungsi persuasi adalah fungsi bahasa untuk mengajak seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu secara lisan. Terakhir adalah fungsi entertainment, fungsi bahasa
ini adalah untuk menghibur seseorang atau membuat orang lain senang.
yang mendapatkan manfaat, bahasa juga dapat memberi manfaat kepada orang lain,
seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya ketika seorang anak menginginkan sesuatu seperti makanan dan anak tersebut
mengungkapkannya dengan berbicara maka orang tua akan mengetahui bahwa anaknya
menginginkan makanan tersebut sehingga orang tua dapat mengambilkan makanan yang
disukai anaknya. Contoh lainnya adalah ketika seorang anak dikasari oleh temannya, ia
akan menyampaikan hal tersebut kepada orang tuanya. Dengan kata-kata, anak
menyampaikan perasaan sedih, marah, dan senang dengan bahasanya yang polos
serta keberhasilan dalam praktek berbicara, oleh karena itulah diperlukan pendidikan
mengonsepkan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara
lisan. Pemberian pendidikan berbicara secara tepat kepada anak, akan menunjang atau
membantu kemahiran serta keberhasilan anak dalam praktik berbicara. Oleh karena itu
Pada saat anak masuk sekolah dasar keragaman kemampuan anak masih menonjol.
dan pengalaman berbahasa ibu maupun keragaman dalam berbahasa Indonesia.[9] Jika
dilihat dari kutipan ini tentunya pada saat itu seorang anak sudah memiliki kosakata yang
Menurut Chaer, setiap tata bahasa menurut generatif transformatif dibangun oleh
tiga buah komponen, yaitu 1) Komponen sintaksis, 2) Komponen sematik, dan 3) Komponen
fonologi. Jika dilihat dari artinya sintaksis adalah urutan dan organisasi kata-kata (leksikon)
yang membentuk frase atau kalimat menurut aturan atau rumus dalam bahasa itu,
sedangkan semantik adalah makna suatu kalimat dan fonologi adalah system bunyi suatu
seoarang anak dibagun atas tiga komponen yaitu sintaksis, fonologi, dan semantik.
Sintaksis merupakan kemampuan anak dalam merangkai kata menjadi sebuah kalimat,
semantik adalah kemampuan anak dalam memahami makna dari bunyi-bunyi yang
diucapkannya tersebut. Ketiga komponen ini saling terkait satu dengan lainnya karena
Hal ini sesuai dengan pendapat Waterson dalam Chaer, yang mengemukakan
bahwa pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantik dan
fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.[11] Jadi, ketiga komponen ini saling
berkaitan dan merupakan pondasi yang dapat mendukung perkembangan bicara anak
karena ketika anak mendengar maka ia akan mempelajari setiap kata yang didengarnya,
lalu anak menirukan kata tersebut. Dengan kosakata yang dimilikinya tersebut seorang anak
dapat berkomunikasi dengan orang lain serta mengekpresikan dirinya. Selama anak
melakukan interaksi dengan lingkungannya maka selama itulah anak belajar akan makna
Kemampuan bahasa anak terus berkembang. Ketika memasuki tingkat yang lebih
tinggi dalam pendidikan sekolah dasar (kelas 3-6), anak akan mengalami perkembangan
(penggunaan bahasa).[12] Pendapat ini berati bahwa pada masa sebelumnya (masa pra
sekolah maupun SD kelas rendah) anak belum memiliki kemampuan berbicara yang tertata
dengan baik. Bahasa yang digunakan oleh anak adalah bahasa yang seadanya sebagai
menatah kalimat dengan baik, anak termasuk menggunakan bahasa yang benar.
Anak
Ngalimun dan Alfulaila menyatakan bahwa Prinsip penyusunan bahan bahasa dan
berbicara, membaca, dan menulis) dikembangkan secara bersama dan terpadu. Hal ini
berarti pemebelajaran bahasa harus disajikan dengan pendekatan yang utuh (whole).
Tujuan dari prinsip keterpaduan dalam bahasa ini tidak lain karena masing-masing
keterampilan berbahasa adalah saling berkaitan satu dengan yang lain. Misalnya
dengan siswa diminta untuk membaca bahan bacaan sederhana, kemudian siswa diminta
untuk menceritakan kembali isi bacaan tersebut. Hal ini tidak saja melatih perkembangan
kosa kata dan perkembangan pragmatik anak, namun juga melatih keberanian anak dalam
berbicara.
tepat untuk menyampaikan bahan pembelajaran bahasa agar efektif. Beberapa metode
yang baik untuk pembelajaran keterampilan berbicara menurut Ngalimun dan Alfulaila
adalah:
Metode ulang-ucap, metode lihat-ucap, metode memerikan, metode menjawab
pertanyaan, metode bertanya, metode pertanyaan menggali, metode melanjutkan, metode
menceritakan kembali, metode percakapan, metode parafrasa, metode reka cerita gambar,
metode bercerita, metode memberi petunjuk, metode melaporkan, wawancara, bermain
peran, metode diskusi, bertelepon, dan metode dramatisasi.[14]
Metode ulang ucap maksdunya dimana guru berbicara, kemudian siswa diminta
untuk menyimak dan mengucapkan kembali. Ini bisa dilakukan juga dengan memberikan
rekaman suara yang didengar oleh siswa kemudian siswa menirukan kembali bunyi
rekaman tersebut.
atau benda kemudian siswa diminta untuk mengucapkan nama gambar atau benda
tersebut. Contoh: guru menunjukan sebuah buku, kemudian siswa menjawab “itu buku”.
Metode memerikan atau mendeskripsikan, caranya siswa diminta untuk mengamati
gambar, benda atau sebuah aktifitas. Setelah itu siswa diminta untuk mendeskripsikan
gambar atau benda yang dilihat. contohnya: guru menunjuk meja dan guru bertanya kepada
siswa apa saja bagian-bagian meja, siswa menjawab: ada taplak meja, ada kaki meja, dan
sebagainya.
kemudian dijawab oleh siswa. contoh: guru bertanya “siapa yang sudah sarapan tadi pagi?”
pendapatnya melalui pertanyaan mendalam tentang suatu objek yang diberikan kepada
siswa. contoh: guru memperlihatkan sebuah tas kepada siswa, kemudia guru memberikan
pertanyaan terkait tas itu, seperti namanya, warnanya, gunanya, terbuat dari apa,
Metode melanjutkan maksudnya adalah siswa dan guru membuat sebuah cerita
yang disepakati bersama, kemudian guru atau seorang siswa memulai cerita yang akan
dilanjutkan oleh siswa selanjutnya. pada akhir kegiatan, cerita akan diperiksa apakah sudah
bacaan. Kemudian setelah siswa mendengar cerita atau membaca bacaan, selanjutnya guru
meminta siswa untuk menceritakan kembali apa yang telah dibaca dengan kata-kata sendiri.
peran kepada siswa. Masing-masing siswa diberikan topik percakapan misalanya tentang
“berangkat ke sekolah” kemudian siswa diminta secara berpasangan (bisa dua orang atau
Metode reka cerita gambar dilakukan dengan guru memberikan sebuah gambar
yang berisikan aktivitas tertentu. Kemudian siswa diminta untuk menghayati dan
memberikan pendapat tentang latar belakang cerita yang ada dalam gambar tersebut.
Metode memberi petunjuk dilakukan dengan cara siswa menjelaskan cara membuat
sesuatu, arah, proses, tempat, dan sebagainya. Dengan cara ini siswa akan semakin
berperan sebagai narasumber dan siswa lain sebagai pewawancara). Selain itu untuk
melatih keberanian siswa untuk berbicara, guru melatih siswa untuk mewancarai guru-guru
Metode bermain peran biasanya dilakukan dengan cara siswa diberikan peran
karakter tokoh yang dibawakan. Hal ini selain membantu siswa dalam berbicara, juga
Metode diskusi dilakukan dengan cara siswa dibagi dalam kelompok, kemudian
masing-masing siswa dalam kelompok diberikan materi atau sebuah persoalan yang
diselesaikan dengan berdiskusi. Metode diskusi cukup efektif dalam melatih anak untuk
mengemukakan pendapatnya karena biasanya anak lebih terbuka untuk berbicara dengan
teman sebayanya.
Berdasarkan teori-teori para ahli yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan
pikiran secara lisan sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Agar penyampaian pesan
dapat dipahami oleh orang lain, maka pembicara harus memperhatikan aspek kebahasaan
salah satunya adalah pendekatan whole language. Brown mengatakan “a teacher must
integrate the four language groups of listening, speaking, reading and writing as well as all
content areas that extend learning”.[15] Guru harus dapat memadukan keempat
keterampilan berbahasa yang digunakan anak agar dapat belajar dengan baik. Konsep
pembelajaran bahasa secara utuh akan memudahkan anak dalam belajar bahasa.
membaca, menulis, berbicara) secara bersamaan dan sesuai dengan perkembangan anak.
Hal ini lebih efektif dan memberikan arti bagi anak dibandingan dengan anak hanya belajar
bahasa secara terpisah. Tugas guru sebagai perancang pembelajaran akan sangat
menentukan bagi perkembagan anak. Tidak saja dalam penguasaan konsep, tetapi
pemilihan metode dan pendekatan yang tepat juga harus diperhatikan oleh guru.
Menurut Weaver, whole language merupakan hasil penelitian dari berbagai macam
[16] Dari berbagai disiplin ilmu ini lahirlah pendekatan whole language yang memberikan
pemahaman baru dalam mengajarkan bahasa yang lebih utuh kepada anak karena anak
seluruh kemampuan bahasa anak seperti mendengar, berbicara, membaca dan menulis
dalam pembelajaran bahasa (membaca, menulis, menyimak, berbicara). Hal ini dikarenakan
dalam pendekatan whole language antara satu kemampuan dengan kemampuan lainnya
saling terkait dan membentuk sebuah fondasi yang membangun sebuah kemampuan yang
utuh. Seperti antara kemampuan mendengar dan kemampuan berbicara saling berkaitan
karena ketika anak mendengar maka ia pun tengah menyimpan kosakata yang akan ia
Ada beberapa karakteristik pendekatan whole language menurut para ahli antara
lain : 1) Whole language adalah sebuah pandangan positif tentang pembelajar, 2) Whole
karakteristik tersebut:
Pertama, whole language adalah sebuah pandangan positif tentang pembelajar. Para
dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah peribadi yang kreatif. Para penganut whole
language mengakui adanya perbedaan di antara pembelajar, dilihat dari segi budaya,
bersifat personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, bisa juga bersifat sosial
sebagai refleksi dari suku-suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial di mana
pembelajar berada. Oleh karena itu, guru-guru di kelas whole language menghargai
Kedua, whole language memberikan penegasan tentang peran guru dalam proses
pembelajaran. Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru
transaksi dengan dunia luar. Meskipun para guru di kelas-kelas whole language adalah
yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para pembelajar, namun mereka tetap
sumber belajar yang diperlukan oleh pembelajar. Di kelas-kelas whole language, guru juga
terhadap pertanyaan-pertanyaan.
bagi manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Baik di dalam maupun di luar
lingkungan sekolah, bahasa lisan dan tulis akan lebih baik dan mudah dipelajari dalam
akivitas berbahasa yang otentik dan dalam peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi
bahasa yang sesungguhnya. Dengan alasan ini maka whole language program menolak
pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini
berlaku juga untuk aktivitas membaca dan menulis permulaan. Selain itu, pengajaran
pengalaman, atau unit memiliki kesepakatan dalam pengembangan linguistik dan sekaligus
kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada saat yang bersamaan pengetahuan
dan konsep dikembangkan sementara skema dibangun. Para guru penganut whole
anak pada saat anak-anak atau pembelajar memecahkan persoalan atau menjawab
berbagai pertanyaan.
c. Ciri-ciri Kelas yang Menerapkan Pendekatan Whole Langauge
Ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language diantaranya adalah: Kelas
yang menerapkan whole language penuh dengan barang cetakan, siswa belajar melalui
model atau contoh, siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat
secara aktif dalam pembelajaran bermakna, siswa berani mengambil risiko dan bebas
bereksperimen, siswa mendapat balikan (feed back) positif baik dari guru maupun
temannya.[18]
barang cetakan. Barang-barang tersebut bisa saja berupa poster hasil kerja siswa yang
ditempel dinding dan bulletin board. Karya tulis siswa dan chart yang dibuat siswa
menggantikan bulletin board yang dibuat oleh guru. Salah satu sudut kelas diubah menjadi
perpustakaan yang dilengkapi berbagai jenis buku (tidak hanya buku teks), majalah, koran,
Kedua, siswa belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama
Ketiga, siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Artinya
dalam pembelajaran whole language, materi yang diberikan difokuskan pada siswa dengan
Peran guru di kelas whole language hanya sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih
beberapa tanggung jawab yang biasanya dilakukan oleh guru, mulai dari tanggung jawab
Kelima, siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran bermakna. Dalam hal ini
interaksi guru adalah multiarah. Siswa dilibatkan dalam kegiatan yang menstimulus siswa
mengharapkan kesempurnaan, yang penting adalah respon atau jawaban yang diberikan
Ketujuh, siswa mendapat balikan (feed back) positif baik dari guru maupun
temannya. Konferensi antara guru dan siswa memberi kesempatan pada siswa untuk
melakukan penilaian diri dan melihat perkembangan diri. Siswa yang mempresentasikan
hasil tulisannya mendapatkan respon positif dari temannya. Hal ini dapat membangkitkan
rasa percaya diri. Dari ketujuh ciri tersebut dapat terlihat bahwa siswa berperan aktif dalam
pembelajaran. Guru tidak perlu berdiri lagi di depan kelas meyampaikan materi. Sebagai
fasilitator guru berkeliling kelas mengamati dan mencatat kegiatan siswa. Dalam hal ini guru
maupun diskusi kelas. Ketika siswa bercakap-cakap dengan temannya atau dengan guru,
Walaupun guru tidak terlihat membawa-bawa buku, guru menggunakan alat penilaian
seperti lembar observasi dan catatan anekdot. Dengan kata lain, dalam kelas whole
portofolio. Portofolio adalah kumpulan hasil kerja selama kegiatan pembelajaran. Dengan
Setiap pendekatan memiliki ciri khas masing-masing karena hal ini berkaitan dengan
tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Berikut beberapa strategi dalam penerapan
pendekatan whole language yang mendukung kondisi belajar sehingga siswa dapat
lingkungan yang dipenuhi oleh pembelajaran bahasa di dalamnya. Ada tulisan dan
percakapan tentang banyak hal yang terjadi di lingkungan sekitar anak, namun dengan
suasana yang menyenangkan sehingga siswa tidak merasa sedang belajar karena ia
menikmati proses pembelajaran yang dilakukannya. Dengan kelas yang kaya akan
tulisan, siswa akan melihat dan mulai memahami kata-kata tersebut memiliki sebuah makna
dan sering didengarnya baik dalam percakapan sehari-hari dengan temannya maupun
dengan gurunya. Kata-kata ini pun semakin diperkaya guru dengan sering mengadakan
percakapan ataupun diskusi kecil dengan anak-anak, baik membicarakan tentang tema
maupun peristiwa yang pernah dialami oleh siswa. Pembelajaran ini dapat dilakukan antara
lain dengan berbagi cerita (anak bercerita), mendengarkan cerita dari guru, bercakap-cakap
merupakan kondisi dimana guru memberikan contoh atau anak mendengar dan
menyaksikan contoh dari media lain seperti VCD. Disini siswa mendapat contoh yang baik
dan nyata tentang bunyi berupa kata-kata kemudian kata-kata tersebut disertai pemberian
Tentunya pemberian contoh ini dapat berupa benda nyata atau gambar yang dapat
mewakili benda tersebut sehingga siswa mendapat gambaran nyata tentang kata-kata yang
diucapkannya dan makna dari kata tersebut. Misalnya: seorang siswa menceritakan tentang
pengalamannya tentang sepeda barunya maka guru dapat mengenalkan kepada anak
bahwa “sepeda” merupakan contoh benda yang berawalan huruf “s”, lalu guru dapat
meminta siswa untuk menunjukkan atau mengucapkan benda lain yang berawalan huruf “s”.
bagi siswa daripada anak harus menghafal kata-kata yang banyak tanpa mengerti makna
kata yang diucapkannya tersebut sehingga siswa cepat merasa bosan dan mendapatkan
sekitar yang diberikan kepada siswa dalam mencapai sesuatu. Hal ini merupakan hal yang
sangat penting bagi anak karena dengan dorongan atau dukungan positif yang diperoleh
seorang individu maupun makhluk sosial juga memiliki tanggung jawab tentang segala
sesuatu yang telah dilakukannya. Dalam proses pembelajaran, rasa tanggung jawab ini
potensi dirinya jika ia diberi kesempatan. Kesempatan untuk berbicara atau mengemukakan
pendapat merupakan hal yang penting bagi siswa karena dengan memberi kesempatan
kepada siswa untuk berbicara atau mengemukakan pendapatnya maka siswa akan belajar
merangkai kata demi kata sehingga menjadi kalimat yang dapat dipahami orang lain hingga
anak dapat bereksplorasi dengan kata-kata baru yang mungkin baru diperoleh siswa.
Namun perlu diingat bahwa pendidik hendaknya bersabar dalam memberi kesempatan
berbicara maka ia biasanya akan meniru kata-kata yang diucapkan oleh orang dewasa
namun mereka terkadang masih kurang sempurna mengucapkannya. Untuk itu seorang
pendidik harus memahaminya dengan menghargai ucapan siswa dan bukan mencela
karena ketika mereka berbicara lalu dicela, maka seorang siswa akan merasa tidak dihargai
atau mereka akan merasa takut sehingga siswa tidak akan berani mencoba untuk berbicara
Selain itu, mengikuti ucapan anak yang masih kurang sempurna pun bukanlah hal
yang baik karena siswa akan merasa kata yang diucapkannya sudah benar
sehingga siswa akan terus berbicara seperti itu. Untuk itu, ketika di dalam proses kegiatan
belajar mengajar seorang anak melakukan hal tersebut, maka seorang guru dapat
melakukan tindakan yang benar untuk meresponnya, yaitu dengan mendengarkan terlebih
dahulu ucapan siswa dan guru mencoba memperbaiki ucapan anak yang kurang sempurna
tanpa harus menyalahkan siswa sehingga akan tumbuh keberanian dalam diri anak untuk
Ketujuh, feedback (umpan balik) adalah pemberian umpan balik berupa respon positif
pendapat siswa tentang suatu hal, hingga memberi penghargaan ketika siswa dapat
berbicara siswa karena dengan umpan balik ini seorang siswa akan merasa termotivasi
Selain itu, dengan mendapat motivasi dari orang-orang di sekitarnya, siswa akan
merasa lebih berharga karena apa yang telah dilakukannya dihargai oleh orang lain. Contoh
dari kondisi belajar ini adalah ketika seorang anak dapat menjawab pertanyaan guru, berani
bercerita di depan kelas, atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu hal maka guru
sehingga siswa akan merasa belajar mengemukakan pendapat atau berbicara bukanlah
Sebelum membahas tentang karakteristik bahasa anak usia 9-10 tahun (kelas III SD),
perlu terlebih dahulu kita simak beberapa fase perkembangan kognitif pada anak. Jean
Piaget (1896 – 1980) dalam Fudyartanta, membagi masa perkembangan kognitif anak
menjadi tiga masa, yakni: 1) masa sensorimotor (dari bayi lahir - umur dua tahun), 2 ) masa
Masa sensorimotor (dari bayi lahir sampai umur dua tahun): Setiap manusia pasti
dilengkapi oleh anugerah dari Tuhan yang maha kuasa. Manusia dilengkapi dengan
berbagai kemampuan yang mulia yang dibawa sejak lahir. Sejak bayi, sebenarnya semua
kemampuan itu mulai ditunjukan, termasuk kemampuan untuk berkomunikasi. Pada masa
bayi, naluri untuk berbicara atau berkomunikasi mulai ditunjukan. Misalnya saja ketika
seorang bayi merasa lapar, ia akan mengkomunikasikan apa yang ia rasakan melalui suara
tangisan sebagai suatu isyarat pengganti kata-kata yang kemudian dimengerti oleh ibunya
bahwa dirinya sedang lapar. Fase isi terus berkembang, hingga mencapai puncak
perubahan yaitu pada usia 2 tahun. Ketika memasuki usia dua tahun, anak tidak lagi hanya
menggunakan suara tangisan, namun anak mulai bisa mengucapkan kata-kata sederhana
untuk berkomukasi. Contohnya ketika anak merasa lapar, ia berusaha untuk menyampaikan
apa yang ia rasakan dengan mengucapkan kata “am”, “mam”, atau “makan”.
kemampuan anakpun akan meningkat. Dari hanya bisa menangis, berubah menjadi anak
tahap ini anak mulai belajar banyak kata-kata baru yang ia dengar dari orang-orang
sekitarnya. Anak pada usia 2-7 tahun masih sangat polos, ditandai dengan anak belajar
untuk mengucapkan setiap kata-kata yang ia dengar tanpa mengerti apa arti dari kata
tersebut. Dengan polosnya anak belajar dari orang-orang sekitarnya untuk berkomunikasi.
Anak juga sudah bisa berkomunikasi dengan teman sebayanya walaupun secara emosional
Masa operasional konkret, umur 7 – 12 tahun. Ketika anak melewati masa pra-
operasional kongkrit. Tahap ini merupakan tahap perkembangan lanjutan dari masa
sebelumnya. Anak mulai belajar banyak hal, tidak hanya dilingkungan keluarga namun juga
dilingkungan sekolah dan masyarakat. Banyak pakar psikologi yang mengatakan bahwa
masa ini adalah masa keemasan bagi anak untuk mengembangkan bahasanya. Hal ini
dikarenakan secara kognitif, anak sudah dapat berpikir kongkrit dan logis.
Masa operasional formal, umur 12 tahun ke atas. Pada masa ini, anak mulai
memasuki tahap berpikir abstrak dan logis. Secara perlahan kamampuan bahasa dan
kemampuan berpikir anak terus berkembang hingga menuju tahap sempurnah. Demikian
anak usia sekolah dasar khususnya kelas 3 (usia 9-10 tahun) berada pada rentang masa
operasional konkret. Masa ini ditandai dengan anak sudah mampu berpikir logis, menguasai
konversasi jumlah serta dapat menggolongkan objek menurut dimensi dan ukuran. Dengan
rentang usia yang masih muda dan tingkat pemikiran yang berada dalam tahap operasional
kongkret, merupakan masa keemasan bagi anak untuk menyerap informasi sebanyak
mungkin termasuk mengembangkan kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara,
perkembangan bahasa anak yang paling jelas tampak ialah perkembangan semantik dan
Dari kutipan di atas, perkembangan kemampuan berbahasa anak, baik figuratif dan
pragmatik sangat penting untuk diketahui oleh guru sebagai fasilitator. Usia sekolah dasar
khususnya kelas III merupakan masa panting dimana bahasa anak akan dikembangkan di
lingkungan sekolah. Apa bila kemampuan anak terus dibina, diharapkan kemampuan
berbahasa verbal anak-anak akan menjadi semakin baik, lebih dari itu mereka akan melatih
berbicaranya secara vertikal tidak secara horisontal.[23] Maksudnya, mereka sudah dapat
kemampuan berbicaranya semakin sempurna dalam arti strukturnya menjadi benar, pilihan
Pada awal sekolah dasar, khusunya anak kelas rendah (kelas 1-3) mereka sudah
mengenal sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir (kelas 4-6) anak sudah menguasai
50.000 kata.[24] Berdasarkan keterangan ini, siswa kelas III SD tentu sudah memiliki
kemampuan yang memadai untuk berbicara secara baik. Mereka dapat berdiskusi,
dan berkomunikasi dengan orang lain, anak usia kelas 3 SD sudah gemar membaca dan
mendengar cerita yang bersifat kritis (tentang perjalanan, petualangan, riwayat para
ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju, mereka lebih banyak menanyakan soal waktu dan
sebab akibat. Oleh sebab itu, kata tanya yang dipergunakan mereka yang semula hanya
“apa”, sekarang sudah diikuti dengan “dimana”, “dari mana”, “ mengapa”, dan “bagaimana”.
Pembelajaran bahasa di sekolah diberikan yang dengan sengaja kepada anak untuk
menambah perbendaharaan kata yang dimiliki anak, belajar menyusun struktur kalimat,
disekolah dasar, diharapkan anak dapat menguasai dan mempergunakannya sebagai alat
untuk: 1) berkomunikasi dengan orang lain, 2) menyatakan isi hati atau perasaannya, 3)
menyatakan sikap dan keyakinannya.[25] Artinya ketika memasuki dunia sekolah, anak
sudah memiliki kemampuan dasar untuk terampil berbicara. Pembelajaran bahasa yang
diberikan untuk anak diharapkan tidak hanya mampu menambah perbendaharaan kata yang
dimiliki anak, namum selain itu mampu meningkatkan percaya diri anak untuk berbahasa.
Mengingat siswa kelas III berada pada masa transisi menuju kelas tinggi. Untuk mencapai
hal ini, guru tentu saja harus mengemas pembelajaran bahasa secara baik sehingga benar-
anak untuk berkembang. Untuk itu pemilihan pendekatan dan metode pembelajaran bahasa
memerlukan hasil penelitian yang relevan dari beberapa penelti yang sudah menggunakan
tentang “upaya meningkatkan minat belajar bahasa Indonesia siswa kelas II sekolah dasar
melalui pendekatan whole language”. Penelitian ini dilakukan di SDN Menteng Atas 14 Pagi,
Jakarta Selatan. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk meningkatkan minat belajar
bahasa Indonesia siswa kelas II dengan menggunakan penelitian tinndakan kelas. Hasil dari
penelitian ini membuktikan bahwa 84,3% hasil yang dicapai sesuai dengan indikator
pendekatan whole language. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah penggunaan
pendekatan whole language dapat meningkatkan minat belajar bahasa indonesia siswa
jurusan PGSD FIP UNJ. Penelitian yang dilakukan yaitu meningkatkan reading
comprehension skills melalui pendekatan whole language pada siswa kelas IV SDN
Cempaka Putih Barat 3 Pagi Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dengan jumlah
siswa kelas IV sebanyak 36 siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui apakah
pendekatan whole language. Pada siklus I, hasil penelitian ini membuktikan bahwa
pada siklus ke II yaitu mencapai skor 91,7%. Dengan hasil ini, maka penelitian tersebut telah
Negeri Jakarta Jurusan PAUD. Peneliatan yang dilakukan Susanti dengan judul
Usia 4-5 Tahun (Penelitian Tindakan Kelas di TKIT ALFIDA Perumnas Klender. Penelitian
ini bertujuan untuk mengatahui apakah terdapat peningkatan kemampuan bericara pada
siswa usia 4-5 tahun melalui pendekatan whole language. Hasil akhir dari
mencapai target 81%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian tersebut
berhasil.
dasar.
Berdasarkan analisis teori yang telah dipaparkan maka dapat dideskripsikan bahwa
kemampuan berbicara adalah sebuah aktivitas yang dilakukan seorang siswa, untuk
menyampaikan pendapatnya secara lisan, yang mana tidak hanya melibatkan alat bicaranya
melainkan juga melibatkan kemampuan kognitif dan emosi. Kemampuan kognitif siswa
dalam berbicara meliputi kelancaran dalam berbicara, intonasi yang tepat serta penataan
kosakata yang dimilikinya untuk kemudian dirangkai menjadi sebuah kalimat yang dapat
stimulasi yang tepat. Untuk dapat memberikan stimulasi yang tepat dalam mengembangkan
kemampuan berbicara anak, diperlukan sebuah pedekatan yang dapat digunakan oleh para
pendidik dalam memberikan dan menyediakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi anak
melalui: penataan lingkungan yang kaya akan bahasa, pemberian kegiatan yang
berbicaranya, serta pemberian respon yang positif dari orang-orang terdekat anak seperti
kemampuan bahasa anak seperti mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Dalam
pendekatan ini seorang anak diharapkan menikmati proses pembelajaran karena anak
prinsip dasar,
dback.
akan menghasilkan beragam kegiatan yang menarik bagi anak sehingga anak mendapat
pembelajaran bahasa secara lebih bermakna karena anak memperlajari bahasa dengan
suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang dilakukan mengacu pada
kurikulum yang terdapat di sekolah dengan tema-tema yang telah ditentukan namun tetap
menghadirkan suasana pembelajaran yang lebih bermakna bagi anak juga menyenangkan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dengan menggunakan metode ini peneliti dapat melihat lebih jauh bagaimana
penerapan pendekatan whole language sebagai salah satu upaya yang dapat
meningkatkan kemampuan berbicara anak. Hal ini tentunya dengan melakukan
pengamatan terlebih dahulu proses kegiatan belajar yang terjadi kemudian peneliti
bersama kolaborator dan partisipan berdiskusi untuk merancang tindakan yang
harus dilakukan selanjutnya.
D. Subjek / Partisipan dalam Penelitian
Subjek penelitian ini adalah anak kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi yang
berjumlah 22 orang yang tediri dari 11 anak perempuan dan 11 anak laki-laki.
Partisipan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan teman sejawat, sementara
guru kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi sebagai kolaborator yang dinilai
memahami karakteristik siswa serta pembelajaran bahasa Indonesia agar penelitian
ini mencapai tujuannya yaitu meningkatkan kemampuan berbicara anak.
E. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian
Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai pemimpin perencanaan (plane
leader). Sebagai pemimpin perencanaan tindakan dalam penelitian ini, maka peneliti
membuat perencanaan tindakan yang didiskusikan dengan teman sejawat juga seorang
Adapun posisi peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai guru atau pelaksana
penelitian ini. Peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru wali kelas III SDN Rawamangun
11 Pagi, teman sejawat, dan siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta
timur sebanyak 22 siswa. Data diambil pada semester 1 tahun ajaran 2014-2015.
b. Devinisi Operasional
Dalam penelitian ini didefinisikan bahwa kemampuan berbicara adalah skor
yang diperoleh siswa dari kemampuannya dalam berbicara yang dilihat dari aspek
kebahasaan dan non kebahasaan yang meliputi kelancaran berbicara, keberanian
untuk berbicara, intonasi yang tepat, serta penataan kalimat yang baik. Dalam
penilaianya, semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula
kemampuan berbicara anak.
3. Menciptakan suasana 16
pembelajaran yang
menantang bagi siswa.
4. Menciptakan pembelajaran 17
yang didalamnya
melibatkan siswa belajar
sambil bermain.
6 2
2 Demonstration (pemberian1. Mengajarkan bagaimana
contoh) bercerita dan mengajukan
pertanyaan.
4
2. Menyediakan media dan
alat yang dapat mendukung
kegiatan belajar siswa.
3 Expectation (harapan) 7 3
1. Memberikan
penghargaan kepada
anak dengan kata-kata
seperti “ baik, bagus,
hebat, dan sebagainya”.
2. Memotivasi siswa agar 8
semangat mengikuti
pembelajaran.
3. Memberikan kesempatan 9
kepada siswa untuk
memajang hasil
karyanya di kelas
4 10
Responsibility (tanggung 1. Mengajarkan kepada siswa 4
jawab) untuk membuat peraturan
dalam setiap pembelajaran.
11
2. Membiasakan siswa untuk
belajar mandiri dalam
mengerjakan tugas.
12
3. Mengajarkan kepada siswa
untuk selalu bertanggung
jawab dalam kelas, seperti ;
merapihkan peralatan yang
telah digunakan dalam
pelajaran, merapihkan
tempat duduk dan
sebagainya.
19
4. Memberikan pesan moral
kepada siswa
13
2. Memberikan tugas
kepada siswa untuk
dikerjakan.
14
3. Memberikan kebebasan
kepada siswa untuk
berkreasi, mengerjakan
tugas, bertanya, serta
memberikan pendapat
atau saran.
1
6 Approximation (kedekatan1. Memberikan penjelasan 2
ulang jika siswa kurang
ucapan) memahami materi yang
disampaikan.
2. Memberikan penjelasan 15
dengan menggunakan
kata-kata sederhana
yang dapat dipahami
oleh siswa.
Feedback (umpan balik) 1. Memberikan umpan balik 2
7 18
2. Mengajarkan kepada 20
siswa untuk bekerja
kelompok
Jumlah 20
20
B. Aktivitas Siswa
1 Immersion (ketenggelaman)
1. Membaca buku yang ada di 2 4
perpustakaan kelas.
2. Memajang hasil karyanya di 3
tempat yang disediakan
guru.
3. Belajar dalam suasana yang 16
menantang.
2. Mengikuti pembelajaran 8
dengan penuh motivasi.
3. Memajang hasil 9
karyanya di kelas
4
Responsibility (tanggung1. Menunjukkan perilaku taat 10 4
terhadap setiap aturan
jawab) pembelajaran.
2. Belajar mandiri dalam 11
mengerjakan tugas.
3. Bertanggung jawab dalam 12
kelas, seperti ; merapihkan
peralatan yang telah
digunakan dalam pelajaran,
merapihkan tempat duduk
dan sebagainya.
2
7 Feedback (umpan balik) 1. Bertanya jawab dengan 18
guru
2. Saling bekerja kelompok 20
Jumlah 20 20
1. Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa
kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur. Oleh sebab itu diperlukan
data yang diperoleh dari hasil penelitian. Teknik yang digunakan dalam
persentase baik pada data pemantau tindakan maupun hasil penelitian. Kedua
data tersebut digunakan untuk mengetahui hasil sebelum dan sesudah tindakan
interpretasi hasil analisis. Interpretasi hasil analisis disajikan tidak hanya dalam
bentuk foto melainkan juga pada akhir setiap siklus, peneliti dan kolaborator
dirumuskan sebelumnya.
Krteria keberhasilan dalam penelitian ini adalah 80% dari jumlah siswa
Pada tindak lanjut ini peneliti dibantu teman sejawat akan terlebih dahulu
Kegiatan tindak lanjut ini pun dilakukan evaluasi secara keseluruhan mulai
dari penataan kelas, metode, media, dan penyampaian materi. Hal ini dilakukan
BAB IV
A. Deskripsi Data
mengadakan wawancara dengan guru wali kelas III, serta observasi langsung untuk
mengumpulkan data sejauhmana kemampuan awal berbicara siswa. Kegiatan pra penelitian
ini dilakukan selama tiga kali pertemuan yang dimulai pada tanggal 5-7 November 2014.
Dari hasil pengamatan tersebut, maka diperoleh data pra penelitian berupa kemampuan
Jakarta Timur, peneliti mencatat aktifitas yang ada sebagai sebagai berikut: kedatangan
siswa dimulai pukul 06.30, kemudian siswa bersosialisasi dengan bermain di luar ruangan
sambil menunggu bel masuk berbunyi. Pada pukul 07.00 WIB bel tanda masuk kelas
berbunyi, siswa berbaris dan masuk kelas. Setelah di kelas, siswa dikondisikan untuk
berdoa. Setelah berdoa, guru mengabsen kehadiran siswa. Setelah itu, guru mulai
menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa pada hari itu. Selama 3 hari pengamatan,
terlihat keadaan yang sama yaitu guru memulai pelajaran dengan menyuruh siswa untuk
membuka buku pegangan siswa kemudian dilanjutkan dengan ceramah setelah itu siswa
mengerjakan tugas. Siswa menyelesaikan semua kegiatan sampai bel isitrahat berbunyi,
setelah itu siswa diberi kesempatan untuk beristirahat, bermain di dalam atau di luar kelas.
Selanjutnya pada pukul 10.00 WIB siswa masuk ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.
terlihat aktifitas yang berbeda selain siswa mencatat, mendengar penjelasan guru, serta
Gambar 4.1. Siswa terlihat jenuh dan kurang bersemangat dalam mengikuti
pelajaran.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada pra penelitian
diketahui bahwa pembelajaran kemampuan berbicara pada siswa kelas III SDN
Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur belum dikembangkan dengan baik. Hal ini
cenderung memberi lembar kerja (LK) yang harus dilakukan siswa setiap harinya. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan pun kurang menarik karena guru jarang menggunakan media.
Selain itu, metode yang dipakai pun lebih didominasi oleh ceramah sehingga siswa lebih
Beberapa fakta yang telah disebutkan tadi maka yang terjadi adalah beberapa siswa
menjadi pasif dan malu ketika berbicara di depan kelas akibatnya adalah siswa mengalami
kesulitan dalam merangkai kata menjadi kalimat khususnya ketika mereka mengemukakan
pendapat atau menceritakan kembali kegiatan yang telah dilakukan. Padahal jika dilihat
dalam keseharian diluar kelas, rata-rata semua siswa bericara dengan lancar dan suaranya
lantang (berteriak, berbicara secara lancar dengan teman, serta bercerita) namun hal ini
tidak terlihat didalam kelas. Peneliti mencatat bahwa di dalam kelas ketika siswa diberikan
kesempatan oleh guru untuk bertanya, hampir tidak ada yang berani bertanya.
mengganggu temannya sehingga proses kegiatan belajar menjadi terganggu. Ada pula
siswa terlihat pasif dan kurang bersemangat dalam mengikuti kegiatan karena kegiatan yang
diberikan kurang menarik minat siswa. Dari hasil observasi tersebut peneliti memperolah
kali pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 24 November 2014 dan tanggal 26
Novembar 2014. Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang diinginkan, peneliti
yang akan diambil sesuai dengan permasalahan. Adapun rencana pelaksanaan penelitian
1) Membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan. Kegiatan akan diberikan sebanyak 2
kali pertemuan, meliputi: pertemuan pertama mengomentari tokoh dalam cerita, menyusun
puzzel dan menceritakan latar belakang cerita dari gambar yang telah disusun. Pada
pertemuan kedua kegiatan yang dilakukan adalah menceritakan kembali dengan kata-kata
2) Mengubah setting kelas sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan karena sebelum
dilakukan penelitian, siswa duduk di kursi dan posisi duduk semua siswa mengahadap ke
papan tulis sedangkan guru berada di depan siswa (satu arah) sehingga proses
pembelajaran menjadi kurang bervariasi dan membosankan siswa. untuk itu, peneliti dibantu
3) Memilih metode yang akan digunakan. Beberapa metode yang digunakan adalah metode
bercerita, diskusi, menceritakan kembali, percakapan, tanya jawab, ceramah, reka cerita
4) Menyiapkan media yang akan digunakan, diantaranya adalah buku cerita bergambar, alat
5) Menyiapkan alat pengumpul data seperti lembar pengamatan, catatan lapangan dan
kamera.
setting kelas seperti membuat sebuah perpustakaan mini dikelas atau pojok baca yang
terdapat bahan bacaan untuk siswa seperti buku cerita bergambar, buku-buku ilmu
pengetahuan, majalah anak-anak dan buku encyclopedia anak. Peneliti juga meyediakan
tempat untuk pajangan hasil karya siswa yang di tempatkan di dinding kelas agar anak
mudah menempelkan karyanya sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 4.2. Keadaan Kelas Sebelum diseting.
Gambar 4.3. Keadaan Kelas Setelah diseting (pojok baca, perpustakaan mini, display
karya siswa).
Sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati oleh peneliti dan kolaborator, pada
pertemuan pertama ini, kegiatan diawali dengan berdoa, setelah itu guru mengkondisikan
kelas dan menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari yaitu tentang
mengomentari tokoh dalam cerita. Kegiatan dilanjutkan dengan siswa diminta untuk duduk
membentuk kelompok. Karena jumlah siswa adalah 22 orang, maka siswa terbagi dalam 5
kelompok dengan jumlah anggota 4 orang per kelompok, ada 2 kelompok yang beranggota
5 orang.
Gambar 4.4 Siswa Membentuk Kelompok
Guru dan siswa membuat peraturan yang harus disepakati bersama untuk setiap
kelompok. Adapun peraturan dalam kelompok tersebut antara lain: semua anggota saling
bekerjasama, tidak boleh menggangu kelompok lain, masing kelompok harus menunjuk
salah seorang sebagai ketua, jangan lupa semua harus bertanggung jawab dalam
kelompok.
sebuah cerita bergambar tentang “persahabatan Ruri dan Ayu”. Guru memberikan waktu 10
bergiliran dan teman-teman yang lain menyimak cerita tersebut. Hal ini dilakukan guru agar
semua siswa berar-benar paham tentang cerita tersebut dan semua siswa mendapatkan
giliran membaca.
Gambar 4.5. Siswa dalam Kelompok Membacakan Cerita yang diberikan.
tokoh dalam cerita yang telah dibacakan. Ada beberapa pertanyaan yang diberikan untuk
menstimulus siswa agar berbicara, diantaranya adalah “bagaimana pendapat kalian tentang
karakter tokoh yang ada dalam cerita”. Beberapa siswa memberikan pendapat mereka
tentang cerita tersebut. Selanjutnya guru memberikan sebuah pertanyaan lagi untuk semua
kelompok, pertanyaannya adalah: “Jika kamu berada pada posisi sebagai sahabat Ayu, apa
yang akan kamu lakukan ketika Ayu meminta PR kepada kamu?”. Guru menggunakan
Gambar 4.6. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengomentari cerita.
tentang cerita yang telah dibaca. Sebelum bermain puzzsel, guru meminta siswa untuk
mengamati dengan seksama gambar-gambar seri yang adalah dalam cerita tersebut (ada 7
gambar dengan latar cerita yang berbeda-beda). Guru meminta siswa untuk memperhatikan
dengan baik dan menghafal latar cerita dari masing-masing gambar tersebut karena
permainan puzzel berkaitan dengan menceritakan kembali latar cerita dari gambar yang ada
dalam cerita.
Guru menjelaskan cara bermain puzzel kepada siswa dan memastikan semua siswa
menyusun potongan gambar tepat seperti gambar aslinya, setelah itu harus menceritakan
dengan tepat latar belakang cerita dari gambar tersebut. Guru membagikan kepada semua
kelompok masing-masing mendapatkan sebuah gambar utuh yang berbeda-beda, serta
Guru meminta agar semua kelompok membuat yel-yel terlebih dahulu. Semua
kelompok diberikan waktu 3 menit untuk membuat yel-yel. Untuk mempermudah siswa, guru
membatasi yel-yel kelompok cukup 2 sampai 5 kata saja, contohnya kelompok 1, pasti
menang”. Karena siswa sangat antusis, akhirnya yel-yel kelompokpun diselesaikan dan
Kegiatan menyusun puzzel pun dimulai, guru meminta siswa untuk menutup buku
cerita yang meraka baca, kemudian guru memimpin kegiatan bermain menyusun
puzzel. Masing-masing kelompok harus bekerja sama untuk menyusun puzzel, setelah itu
setiap kelompok harus menceritakan kembali latar belakang cerita dari gambar yang telah
tersusun utuh. Adapun dalam menceritakan latar belakang gambar, siswa dapat bekerja
sama dengan teman kelompoknya untuk saling melengkapi cerita agar cerita menjadi utuh.
Sementara itu, kelompok lain bertugas untuk menilai kelengkapan cerita dan memberikan
saran maupun komentar. Adapun waktu yang diberikan untuk masing-masing kelompok
Kelompok 1 Kelompok 2
Kelompok 3 Kelomok 4
Kegiatan menyusun puzzel pun selesai, semua kelompok telah berhasil menyusun
potongan puzzel menjadi sebuah gambar yang utuh. Guru melanjutkan kegiatan dengan
gambar yang telah mereka susun sedangkan kelompok yang lain diberikan kesempatan
untuk memberikan komentar terhadap kelengkapan cerita dari kelompok yang bercerita.
Gambar 4.8. Siswa menceritakan latar belakang gambar yang telah disusun.
mempersilahkan siswa menulis nama kelompok mereka pada potongan gambar yang telah
disusun, kemudian menempelkan gambar tersebut pada tempat pajangan karya siswa yang
Kegiatan diakhiri dengan guru memberikan pesan moral kepada siswa untuk saling
menutup pelajaran.
Pertemuan kedua ini seperti biasa kegiatan awali dengan berdoa kemudian
guru mengkondisikan kelas untuk siap belajar. Setelah itu guru menyampaikan
tujuan pembelajaran yang akan dipelajari yaitu tentang “menceritakan kembali isi
bacaan yang telah dibaca”. Kegiatan dimulai dengan guru mempersilahkan masing-
masing siswa untuk memilih salah satu buku yang ia sukai yang tersedia di pojok
baca yang ada di dalam kelas.
Adapun buku-buku yang disediakan dipojok baca berisikan berbagai macam
buku-buku seperti: (buku IPA, IPS, Matematika, PKn, kesenian, kamus dan buku
ilmu pengetahuan lainnya).
Gambar 4.10. Siswa memilih buku bacaan pada pojok baca
Guru memberikan petunjuk kepada siswa untuk memilih salah satu topik
ataupun sub topik bacaan yang ada dalam buku yang ia pilih, dengan syarat bacaan
tersebut tidak boleh lebih dari 1 halaman. Guru memberikan waktu kepada siswa
selama 10 menit untuk membaca dan memahami isi bacaan yang telah ia pilih.
Siswa diminta untuk menulis ringkasan isi bacaan mereka di sebuah kertas
untuk memudahkan siswa dalam mengigat bacaan yang ia baca.
Siswa diminta untuk memberikan tepuk tangan kepada setiap siswa yang
telah bersedia untuk maju. Demikian selanjutnya masing-masing siswa secara
bergiliran berdasarkan absen, maju ke depan untuk bercerita.
Pembelajaran diakhiri dengan guru mereview kembali kegiatan yang telah
dilakukan melalui tanya jawab dengan siswa terkait kegiatan bercerita. Disini guru
memberikan pemahaman kepada siswa untuk menghargai setiap teman yang
bercerita atau menyampaikan pendapat. Selanjutnya guru meminta siswa untuk
merapihkan kembali buku-buku yang telah digunakan pada pojok baca, setelah itu
guru menutup pelajaran dan siswa istirahat.
kegiatan. Refleksi ini dilakukan dengan tujuan agar peneliti dapat melihat apakah kegiatan
yang dilakukan telah sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan apakah kegiatan
yang dilakukan dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa, khususnya siswa kelas III
Pada siklus I ini, terlihat beberapa hal positif diantaranya adalah siswa terlihat
antusias dan semangat dalam mengikuti pelajaran, siswa juga mulai menunjukan
perkembangan dalam berbicara walaupun masih banyak yang belum berani. Namun masih
ada beberapa kekurangan, yaitu siswa terlihat belum berani untuk berbicara. Terkadang
siswa masih banyak dibantu oleh peneliti dan kolaborator seperti ketika menceritakan
kembali isi bacaan, mendeskripsikan gambar, mengomentari tokoh dalam cerita serta ragu
untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, guru juga belum memberikan pembelajaran yang
language. Ada beberapa hal yang masih perlu diperhatikan, diantaranya adalah guru kurang
dan benar-benar membawa siswa tenggelam dalam pembelajaran sesuai dengan ciri khas
pendekatan whole language yang ditandai dengan ciri khas seperti: immertion,
semuanya telah terangkum dalam seluruh aspek pengamatan, namun pada siklus I ini guru
language. Dapat disimpulkan bahwa pertemuan pertama dan kedua pada siklus I,
aspek imertion, employment dan responsibelity. Siswa perlu diberikan kesempatan yang
Artinya masih terdapat beberapa hal yang harus direvisi terkait dengan penerapan
diantaranya masih banyak siswa yang pasif dan tidak berani berbicara. Kemampuan
berbicara siswa sudah terlihat cukup baik dalam aspek intonasi dan penggunaan kalimat,
tetapi pada aspek kelancaran dan keberanian, masih banyak siswa yang ragu-ragu dan
Berdasarkan data dan hasil reflaksi yang telah dilakukan oleh peneliti dan
kolaborator, maka dapat diketahui belum terjadi peningkatan yang sesuai dengan hipotesis
penelitian, dimana 80% dari jumlah siswa belum mencapai peningkatan dalam kemampuan
Untuk itu peneliti dan kolaborator sepakat untuk melanjutkan penelitian ini menuju
tahap selanjutnya yaitu siklus II dengan perencanaan yang disusun sebagai persiapan untuk
menutupi kekurangan pada siklus I. Hal ini dilakukan agar penelitian ini dapat mencapai
tujuannya yaitu meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11
Setelah peneliti dan kolaborator mengadakan refleksi dari siklus I, maka peneliti
bersama kolaborator membuat perencanaan kegiatan yang akan dilaksanakan pada siklus II
guna meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi,
Jakarta Timur.
Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan fokus kegiatan memperbaiki kekurangan disiklus
I, yaitu memberikan banyak peluang kepada siswa untuk berani berbicara di depan kelas
language khusus pada aspek imertion dan responsibelity. Berikut pemaparan tentang
a. Perencanaan (Planning)
pertemuan pertama diisi dengan siswa memberikan contoh kalimat perintah, bermain kuda
bisik tentang kalimat perintah, dan bermain peran tentang kalimat perintah. Pertemuan
kedua, siswa akan membuat bingkai foto, setelah itu siswa akan maju ke depan kelas untuk
atau kalimat perintah, kotak untuk mengisi potongan kertas, peralatan dan perlengakapan
untuk membuat bingkai foto seperti: gunting, lem, kertas warna, isolasi, serta potongan
kardus.
3) Memilih metode yang akan digunakan. Beberapa metode yang digunakan adalah metode
bercerita, tanya jawab, ceramah, bermain, diskusi, demonstrasi, serta bermain peran
sederhana.
4) Menyiapkan alat pengumpul data seperti lembar observasi, catatan lapangan, dan kamera.
5) Memberikan kegiatan berbicara secara berpasangan sehingga siswa lebih berani tampil
untuk berbicara
Pada pertemuan pertama siklus II ini, kegiatan diawali dengan berdoa kemudian guru
mengkondisikan kelas untuk siap belajar yaitu merapihkan tempat duduk, serta memeriksa
kehadiran siswa. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari
yaitu tentang “penggunaan kalimat perintah”. Kegiatan dilaksanakan dengan siswa diminta
untuk membacakan sederet kalimat perintah yang ada di dalam buku pegangan siswa.
Kemudian guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang kalimat perintah (ciri-ciri
Guru memberikan beberapa contoh kalimat perintah beserta contohnya agar siswa lebih
paham. Setelah siswa memahami tentang kalimat perintah, guru membagi siswa dalam 4
kelompok untuk bermain kuda bisik. dengan dengan jumlah masing-masing anggota
kelompok 5 orang, ada 2 kelompok berjumlah 6 orang. Guru menjelaskan kepada siswa
tentang aturan bermain kuda bisik. Setelah siswa memahami aturan bermain, selanjutnya
Gambar 4.15. Siswa bermain kuda bisik dan mencari kata dalam kotak.
guru memberikan kepada kepada masing-masing 2 orang siswa mendapat 1 kata tentang
kalimat perintah, yang nantinya kedua siswa harus membuat kalimat tentang kata tersebut
dan mempraktikannya dalam bentuk dialog. (hal ini dilakukan oleh masing-masing siswa
bermain peran sederhana (seorang berperan sebagai yang memberi perintah dan yang
Setelah kegiatan mempraktikan kalimat perintah ini selesai, siswa dan guru
merapihkan perlengkapan yang telah digunakan. Guru memberikan umpan balik berupa
tanya jawab tentang kegiatan yang telah dilakukan, selanjutnya guru menutup pelajaran dan
siswa isitrahat.
Adapun foto yang dipakai untuk membuat dibingkai adalah foto diri masing-
masing siswa di dalam kelas yang sengaja telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh
guru. Setelah guru membagi foto dan perlengkapan yang diperlukan kepada masing-
masing siswa. Siswa diberikan kebebasan untuk berkreasi membuat bingkai foto
kemudian menghias bingkai yang berisikan foto mereka masing-masing dengan
pernak-pernik yang ada sesuka hati. Adapun alokasi waktu yang diberikan untuk
membuat bingkai adalah selama 10 menit.
Satu demi satu siswa maju ke depan untuk menceritakan kembali langkah-
langkah kegiatan yang apa saja yang telah ia lakukan dalam mengkreasikan bingkai
foto miliknya. Sambil bercerita, siswa yang lain menyimak cerita temannya. Setelah
siswa selesai menceritakan langkah-langkah membuat bingkai, guru meminta siswa
lainnya untuk memberikan tepuk tangan kepada siswa yang telah bercerita.
Gambar 4.20. Bingkai foto hasil karya siswa dipajang di depan kelas.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi
peningkatan kemampuan berbicara siswa melalui pendekatan whole language yang
diterapkan pada kegiatan yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
hasil kemampuan berbicara siswa dari siklus I dan siklus II mengalami penigkatan.
Pertemuan sebelumnya beberapa siswa masih banyak memerlukan motivasi
dan bantuan peneliti dan kolaborator seperti ketika menceritakan kembali cerita
sederhana, mengajukan pertanyaan, dan mengemukakan pendapat. Berdasarkan
pengamatan setelah dilakukan tindakan pada siklus II, mulai dari pertemuan
pertama bermain kuda bisik, membuat kalimat perintah, serta mempraktikan dialog
tentang kalimat perintah. Pertemuan kedua diisi dengan menceritakan cara
membuat bingkai foto, terlihat adanya peningkatan yang cukup singnifikan dalam 4
aspek yang dinilai yaitu aspek kelancaran, intonasi, penggunaan kalimat, serta
keberanian.
Jika dilihat pada lembar pengamatan (lampiran 11), siswa mengalami peningkatan
yang sesuai dengan target, bahkan ada siswa yang mendapatkan skor lebih dari 75.
Terdapat 2 orang siswa yang masih memiliki skor dibawah target yang telah ditentukan.
Sedangkan pelaksanaan pendekatan whole language pun mendapatkan skor yang cukup
triangulasi yang dilakukan melalui obervasi, tes, dan lembar pengamatan. Pemeriksaan
keabsahan data dilakuan pada setiap siklus dan dicatat melalui instrumen aktifitas guru dan
siswa. instrumen-instrumen yang digunakan diperiksa dan disetuji oleh para ahli melalui
Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu memeriksa dan mencocokan data yang
diperoleh dari hasil observasi berupa catatan lapangan dan lembar pengamatan
pembelajaran dengan pendekatan whole language, dokumentasi berupa foto, dan lembar
pengamatan kemampuan berbicara siswa, sehingga terjaring data yang lengkap dan
Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh peneliti siklus I hingga siklus II. Proses dalam
pengujian hipotesa tindakan dengan membandingkan persentase kenaikan pada akhir siklus
Berikut data pelaksanaan pendekatan whole language selama siklus I dan siklus II :
Tabel 4.2. Pengamatan Proses Pembelajaran Berbicara dengan Menggunakan
Pendekatan Whole Language pada siklus I dan siklus II.
Siklus II
NO Siklus I
peningkatan yang cukup signifikan antara siklus I dan silus II. Jika dilihat pada lembar
pengamatan siklus I (lampiran 9), 59% jumlah siswa telah memenuhi terget yang ditentukan
yaitu memperoleh skor >75. Adapun siswa lainya masih di bawah standar 75.
Data selanjutnya adalah siklus II, dimana pada siklus II ini terlihat penigkatan yang
cukup singnifikan pada kemampuan berbicara siswa. Jika pada siklus I, siswa yang
memperoleh skor >75 hanya sebesar 59%, hal ini berbeda dengan siklus II yang mana
siswa yang memperoleh skor >75 mencapai 90%. Sedangkan siswa yang mendapat skor
Hasil analisis dan interpretasi hasil analisis telah diperoleh data-data selama
pelaksanaan siklus I dan siklus II. Data-data ini selanjutnya akan dibandingkan dengan taget
yang telah ditentukan dalam penelitan ini untuk mengetahui apakah hasil penelitan telah
peroleh skor kemampuan berbicara siswa pada siklus I dan siklus II.
Tebel 4.6.
Perbandingan target skor keberhasilan yang ditentukan dengan peroleh skor
kemampuan berbicara siswa pada siklus I dan siklus II
Target keberhasilan yang ditentukan Siklus I Siklus II
dalam penelitian
> 75 = 80% > 75 = 59% > 75 = 90%
(Target keberhasil = 80% dari jumlah
siswa mendapat skor > 75) (belum berhasil) (berhasil)
Berdasarkan perbandingan data yang disajikan dalam diagram, maka dapat terlihat
dengan jelas bahwa hasil penelitian yang diperoleh pada siklus I belum memenuhi target
yang ditentukan yaitu 80% dari jumlah siswa memperoleh skor kemampuan berbicara
sebesar 75. Selanjutnya pada siklus kedua, terlihat jelas bahwa hasil yang diperoleh sangat
memuaskan bahkan melebihi angka yang ditargetkan, untuk itu dapat dikatakan bahwa
penelitian ini berhasil memenuhi target pada siklus kedua sehingga hipotesis diterima.
Penelitian ini telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan
oleh peneliti dan kolaborator. Semua perlengkapan pengamatan serta kegiatan penelitian
telah dilaksanakan selama dua siklus dengan fokus yang telah ditetapkan yaitu
pertama, kegiatan disajikan dalam berntuk berkelompok, hal ini bertujuan agar siswa tidak
kedua.
puzzel dan menceritakan latar belakang gambar. Kegiatan-kegiatan ini dirancang untuk
menstimulus siswa agar berani berbicara. Selama kegiatan pada siklus I ini dilakukan,
terlihat beberapa hasil positif, diantaranya siswa sangat antusias dalam mengikuti pelajaran,
hal ini terbukti ketika dalam bermain puzzel, siswa saling bekerja sama dan berlomba-lomba
untuk menyelesaikan puzzel. Hasil positif lainnya adalah ada beberapa siswa terlihat berani
Selain hasil positif di atas, ada juga beberapa kekurangan yang muncul dalam
pertemuan pertama, yaitu masih ada banyak siswa cenderung pasif ketika diminta untuk
menceritakan latar belakang gambar yang telah disusun, sehingga cerita hanya diwakili oleh
perwakilan kelompok. Ada juga kekurangan lainnya yaitu guru belum menghadirkan aspek
employment dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara secara individu
karena keterbatasan waktu. Oleh karena itu kegiatan dilanjutkan pada pertemuan kedua.
Dalam pertemuan kedua, kegiatan yang dilakukan adalah menceritakan kembali isi
bacaan yang telah dibaca. Siswa antusias ketika diberikan kesempatan untuk memilih
sendiri bahan bacaan yang ia sukai. Selajutnya siswa diberikan alokasi waktu selama 10
menit untuk membaca dan memahami bacaan yang ia pilih, kemudian siswa diminta untuk
menulis bacaannya dalam sebuah catatan kecil untuk membantu siswa untuk mengingat
ringkasan bacaannya.
Ada 4 aspek yang dinilai dalam kemampuan berbicara, yaitu aspek kelancaran,
kegiatan berbicara (menceritakan kembali isi bacaan yang telah dibaca), mulai terlihat ada
signifikan. Kebanyakan siswa sudah masih belum bekembang dalam aspek kelancaran dan
penggunaan kalimat, sedangkan dalam aspek keberanian dan intonasi, ada beberapa siswa
ke siklus II. Dalam siklus II, kegiatan dikemas dengan bertumpu pada 7 aspek
kegiatan yang diberikan adalah belajar sambil bermain,bercarita dan membuat kerajinan.
kemampuan berbicara siswa. Tentunya hal ini dapat terjadi karena pembelajaran yang
pembelajaran yang lebih bermakna dan menyeluruh, serta menciptakan lingkungan yang
kaya akan literatur namun tetap menyenangkan bagi siswa sehingga pembelajaran dapat
dikemas dalam kegiatan bermain (belajar sambil bermain) sehingga siswa tenggelam dalam
suasana belajar yang menyenangkan dan kaya akan tulisan, buku sumber, pajangan siswa
berbicara.
Pemberian motivasi dari guru dan teman-temannya membuat siswa menjadi lebih
percaya diri dalam mengekspresikan keinginan dan imajinasinya melalui berbicara. Selain
itu, pemberian kesempatan kepada anak untuk berbicara merupakan sebuah cara yang
dapat membuat siswa lebih terlatih kemampuan berbicaranya. Tidak hanya itu, pemilihan
metode yang tepat untuk mendukung pendekatan whole langauge pun sangat penting
siklus I dan siklus II, ternyata memberikan hasil yang positif. Berdasarkan hasil yang telah
dicapai, maka peneliti dan kolaborator menyimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas ini
telah mencapai target yang ditetapkan yaitu 80% dari jumlah siswa mengalami peningkatan
kemampuan berbicara dengan memperoleh skor sebesar <75. Artinya bahwa kemampuan
berbicara siswa SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur dapat ditingkatkan melalui
pendekatan whole language yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi guru dalam
memberikan berbagai kegiatan berbahasa yang kaya akan literatur dan membuat anak
E. Keterbatasan Penelitian
BAB V
A. Kesimpulan
Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada siklus I kemampuan
berbicara siswa belum meningkat, dalam hal ini siswa yang mencapai skor >75 hanya
sebesar 59%. Hal ini membuat peneliti dan kolaborator melanjutkan penelitian menuju siklus
II. Setelah dilakukan perlakuan pada siklus II, ternyata kemampuan berbicara siswa
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 90% jumlah siswa mencapai
persentase skor >75. Hasil ini telah memenuhi target penelitian yang telah ditentukan, yaitu
80% dari jumlah siswa memperoleh persentase skor kemampuan berbicara sebesar >75.
Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti dan kolaborator sepakat untuk menghentikan
penelitian cukup sampai siklus II saja, karena telah berhasil memenuhi target.
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif serta pembelajaran yang menarik sehingga
siswa tenggelam dalam pembelajaran yang dilakukan (immertion), siswa belajar meniru
contoh yang baik (demonstration), guru memberi kesempatan berbagai kegiatan yang
kebersamaan dan tanggung jawab pada siswa (responsibility), memberikan reward atau
respon positif terhadap anak ketika berbicara, baik bercerita, bertanya, mengajukan
pendapat atau idenya tentang suatu hal (employment), dan mengulas kembali materi yang
meningkatkan kemampuan beribcara siswa kelas III SDN Rawamangun 11 Pagi, Jakarta
Timur.
B. Implikasi
Implikasi hasil penelitian ini adalah dalam pembelajaran berbicara untuk siswa
kelas III SD, perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembalajaran yang mengacu pada
perkembangan siswa, dan mengintegrasikan keempat kemampuan berbahasa yang
dipelajari siswa, menekankan pembelajaran yang bermakna bagi siswa serta
menyenangkan agar siswa dapat menikmati pembelajaran yang diberikan.
Pendekatan whole language tidak hanya dapat digunakan untuk menigkatkan
kemampuan menulis, membaca dan menyimak tetapi juga dapat meningkatkan
kemampuan berbicara siswa. Penigkatan kemampuan berbicara siswa melalui
pendekatan whole language ini bertujuan agar siswa sekolah dapat menjadi pribadi
yang berani untuk berbicara menjadi komunikator yang baik, serta kaku di dalam
kelas. Hal ini tentu saja akan memberikan manfaat jangka panjang bagi siswa ketika
siswa telah dewasa, siswa tidak mengalami kesulitan ketika diberikan kesempatan
untuk berbicara di depan publik karena siswa telah dibiasakan sejak dini.
C. Saran
2. Bagi Guru
Pemilihan pendekatan dan metode yang tepat sangat diperlukan untuk dapat
mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak didiknya. Dengan menggunakan
pendekatan whole language, guru dapat mengembangkan kemampuan berbicara
siswa dengan lebih menyenangkan dan lebih alami karena disini siswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya melalui kegiatan
bermain. Penciptaan kondisi kelas yang kondusif, kaya akan tulisan, dan
menyenangkan sehingga merangsang minat belajar dalam mengembangkan
kemampuan berbicara siswa
3. Bagi Orang tua dan Masyarakat
Mengingat pentingnya peran orang tua dan masyarakat dalam
mengembangkan kemampuan berbicara anak, maka pemberian sarana dan
dukungan berupa kesempatan untuk anak mengekspresikan diri, menyampaikan
keinginan, ide atau pendapatnya melalui berbicara sangat diperlukan agar anak
tidak merasa malu atau takut untuk belajar berbicara dan mengembangkan
kemampuannya tersebut.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya hendaknya dapat mengembangkan penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan pengembangan kemampuan berbicara dan pendekatan whole
language dengan menerapkan prinsip-prinsipnya serta tidak menutup kemungkinan
untuk mencoba menemukan berbagai kegiatan menarik lainnya dalam
mengembangkan kemampuan berbicara anak.