Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Indonesia Kontemporer Periode Demokrasi Parlementer (percobaan demokrasi 1050-

1957) Analisis Kabinet-Kabinet


Tahun-tahun 1950-1959 merupakan masa yang menjadi awal bangsa indonesia untuk
mandiri dan berdikari bagi rakyat dan bangsa. Ketidaksiapan dalam mengurus dan mengolah
sumber daya yang ada di Indonesia menjadi salah satu kendala yang dialami pada masa-masa
tersebut. Kendala yang dialami tidaklah sedikit, mulai dari kemiskinan, krisis politik, pendidikan
yang rendah serta pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat. M.C Ricklefs (2005),
menjelaskan dalam bukunya, bahwa bangsa Indonesia belum merdeka secara ekonomi. Pada
masa tersebut, Indonesia juga masih mengombang ambingkan militer. Para mantan gerilyawan
atau laskar-laskar di daerah banyak yang pangkas atau tidak di masukan dalam kesatuan militer
Indonesia karena tingkat pendidikan yang rendah dan buta huruf. Disisi lain Hatta dan Nasution
ingin mengembangkan militer yang tangguh dan profesional dalam tugasnya.

Pada tahun 1950, para pemimpin di pusat berusaha membuat suatu gagasan atau sistem
pemerintahan yang mengikuti cara Belanda. Sistem Parlementer dibentuk sebagai adopsi dari
Belanda sebagai demokrasi yang multi partai. Kabinet pertama yang dibentuk pada september
1950-maret 1951) yang diberi nama kabinet Natsir karena dibentuk olehnya. Koalasi dari kabinet
ini antara Masyumi dan PSI. Dalam kabinet ini, Natsir menggagaskan kebijakan luar negeri yang
dalam artinya netral terhadap negara-negara barat. Disisi lain pada masa yang sama, bangsa
indonesia diterima menjadi anggota perserikatan bangsa-bangsa pada september 1950.
Permasalahan dalam kabinet ini mulai terjadi ketika secara bersamaan pemberontakan
Kartosuwirjo, pemberontakan Ambon, masalah Papua, penolakan mobilisasi militer di Ambon
dan banyak para politisi yang berkuasa secara semena-mena menggunakan kekuasaan untuk
kepentingan ekonomi. Disatu sisi Kabinet Natsir mulai membatasi gerak dari Sukarno yang
terlalu yang bersikeras merebut Papua. Akhirnya Kabinet Natsir meletakkan jabatannya pada
maret 1951 dan bertahan kurang lebih 7 bulan.

Kabinet kedua dibentuk oleh Sukiman Wirjosandjojo pada April 1951- Februari 1952
yang berhasil membentuk koalisi antara Masyumi dan PNI. Pada masa kabinet ini, terjadi
berbagai masalah. Utamanya kebijakan Muh. Yamin sebagai menteri kehakiman yang
membebaskan 950 tahanan yang terlibat dalam kelompok pemberontak dan termasuk kaum kiri.
Kebijakan ini ditentang oleh pihak tentara yang kemudian menangkap kembali orang-orang itu.
Kabinet Sukiman menerapkan ideologi anti PKI. Hal ini banyak ditentang oleh kaum komunis
dan segara melakukan aksi dan pemogokan kerja. Parahnya lagi terjadi penyerangan di pos polisi
dan pelemparan granat di kumpulan massa di Bogor, tentara dan polisi segera merespon dengan
melakukan penangkapan secara besar-besaran. Masalah baru kini muncul ketika masalah
keamanan mulai terganggu oleh gerakan pemberontakan yakni DI/TII Kartosuwirjo dan Kahar
Muzakkar di Sulawesi Selatan. Kabinet Sukiman mulai jatuh ketika terjadi krisis kebijakan luar
negeri yang menganut pro-barat. Puncaknya pada 1952 ketika menteri luar negeri
menandatangani persetujuan bantuan Amerika. Dan pada bulan Februari kabinet Sukiman jatuh.

Koalisi terbentuk lagi antara PNI-Masyumi menjadi kabinet Wilopo, seoarang perdana
menteri dari PNI. Koalisi ini sebenarnya tidak tentram akibat kecurigaan PNI terhadap Masyumi
yang menganggap adanya gerakan islam yang berkaitan dengan DI/TII. Segeralah PNI mencari
dukungan lain termasuk kepada PKI. Di satu sisi, Masyumi terpecah menjadi dua yakni
golongan NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik sendiri akibat dari doktrin dan
ajaran dasar yang beda serta perselisihan yang akan memegang menteri agama. Puncak dari
permasalahan dalam masa kabinet Wilopo mulai terjadi ketika krisis ekonomi mulai terjadi
sejalan dengan meredanya perang Korea. Nilai ekspor karet menurun dan begitu juga dengan
barang ekspor lainnya. Sehinggah, penghasilan pemerintah merosot drastis. Kebijakan pun mulai
diambil dalam kabinet Wilopo, kebijakan ini terkait dengan perbaikan ekonomi dengan
mengenakan bea tambahan terhadap barang-barang mewah serta mengurangi pengeluaran
pemerintah. Masalah ekonomi mulai terselesaikan namun, masalah baru mulai timbul lagi ketika
rencana sentralisasi dan mobilisasi untuk mengurangi tentara dari 200.000 menjadi 100.000
tentara. Ditambah lagi, DPR menginginkan dibubarkannya kepemimpinan tentara dipusat
dibubarkan dan kementerian pertahanan di reorganisasikan. Masalah-masalah ini semakin
memuncak ketika pada 17 Oktober tentara pusat dan Nasution bergerak ke istana presiden
dengan alat perang yang ingin menuntut agar membubarkan DPR dan pada akhrinya demonstran
dapat dibubarkan oleh presiden Sukarno. Banyak pimpinan tentara pusat dan pendukungnya
dicopot dari jabatannya termasuk Nasution yang di non-aktifkan. Masalah silih berganti dalam
periode kabinet Wilopo, banyak tuntutan dari partai keagamaan yang ingin negara didasarkan
pada hukum islam serta banyaknya kekerasan yang terjadi. Salah satunya pembunuhan petani di
Medan serta adanya tuntutan dari PNI di dalam DPR untuk menuntut agar kabinet mundur.
Pada Juli 1953-Juli 1955 Kabinet dibentuk oleh Ali Sastroamidjojo yang terbentuk dari
koalisi PNI-NU dan partai-partai kecil. Kabinet Ali dihadapkan masalah perkonomian negara
juga sama seperti kabinet-kabinet sebelumnya. Kebijakan Indonesianisasi diambil sebagai
langkah meningkatkan ekonomi para pengusaha di Indonesia. Namun kenyataan yang ada,
perusahaan-perusahaan asing yang meningkat dan menjadi lahan korupsi dan skandal dalam
kabinet Ali. Di tahun 1953 terjadi lonjakan inflasi dimana nilai mata uang Rupiah menurun
ditambahkan adanya masalah tentara atau laskar yang berada di daerah yang melakukan
penyelundupan yang mengakibatkan persentase eksportir menurun. Ditahun 1953-4 terjadi
pemberontakan di Sumatera Utara ketika para ulama, guru dan kaum santri menginginkan negara
yang berbasis islam. Mereka berpendapat bahwa pemerintahan di pusat tidak kompeten, tidak
religius dan tidak cakap. Ditambah lagi ketika Aceh yang sebelumnya otonom kemudian
disatukan dengan Sumatera Utara. Gabungan militan ini bernama PUSA (persatuan ulama
seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Daud Beureu’eh yang menjalin hubungan dengan
Kartosuwirdjo. Hal ini kemudian direspon pemerintah dengan mengerahkan militer untuk
menghentikan pemberontakan. Selain itu, pemberontakan DI/TII semakin meningkat utamanya
di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi tantangan bagi kabinet Ali. Disisi
lain PKI sebagai partai politik mulai meningkat pengaruhnya dalam pemerintah pusat. Mereka
masuk dalam desa-desa dan banyak membantu masyarakat dalam hal menghapus buta huruf dan
mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini, PKI mendapatkan dukungan dari masyarkat sehinggah
keanggotaan PKI meningkat drastis. Dimasa-masa ini menjadi titik krisis politik antara PKI dan
tentara serta permasalahan yang tak kunjung terselesaikan. Pihak NU yang merasa tidak puas
akan kebijakan dalam kabinet mengajukan tuntutan agar kabinet segera mengundurkan diri.

Segeralah dibentuk suatu kabinet yang berkoalisi antara Masyumi-NU-PSI yang diusung
oleh Burhanuddin Harahap Agustus 1955-Maret 1956. Dalam kabinet ini sudah mendapatkan
tuntutan dari tentara yang menganggap bahwa kabinet Burhanuddin sama halnya dengan
kabinet-kabinet sebelumnya yang hanya melakukan korupsi. Namun masa kabinet ini, pemilihan
umum yang selama ini ditunda akhirnya bisa terlaksana yang memperebutkan 232 kursi dalam
DPR. Hasil dari pemilu sama sekali tidak menimbulkan solusi permasalahan politik yang ada.
Hanya saja DPR dengan kursi terbanyak dipegang oleh PNI menjalin kerja sama kembali dengan
tentara sehingga pejabat atau pimpinan tentara yang dicopot serta di non-aktifkan kembali
ditugaskan termasuk Nasution yang kemudian dinaikan pangkatnya menjadi mayor jendral.
Kebinet Burhanuddin mencapai puncaknya ketika perundingan dengan Belanda dalam
pembubaran Uni-Belanda serta NU menarik dukungannya terhadap kabinet sehinggah kabinet
Burhanuddin melepaskan mandatnya.

Pada Maret 1956 – Maret 1957 terbentuk kabinet Ali sekali lagi dengan koalisi PNI-
Masyumi- NU. Dalam kabinet ini mengalami permasalahan yang sama dengan kabinet-kabinet
sebelumnya. Dalam tubuh kabinet terpecah-pecah antara kubu Masyumi dan PNI. Kebijakan luar
negeri diambil oleh kabinet ini terutama dalam permasalahan Papua ketika pihak Belanda
menolak perundingan penyerahan Papua. Kabinet Ali juga menolak mengakui hutang negara
kepada Belanda. Disisi lain masalah ekonomi semakin mencuat ketika penyelundupan yang
dilakukan oleh kalangan tentara. Ditambah lagi krisis sosial dalam lingkup politik di pusat,
dimana didorong perbedaan suku-suku. Pemerintahan pusat dominan dipegang oleh suku Jawa,
puncaknya pada orang-orang Sumatera Utara yang kecewa atas nilai rupiah yang diberi nilai
terlalu tinggi. Salah satu dari kalangan tentara yang menentang adalah Kolonel Maludin
Simbolon dan wakil kepada staf letnal Kolonel Zulkifli Lubis yang menjadi cikal bakal
pemerontakan tahun1958.

Krisis kemudian semakin berlanjut ketika Nasution merencanakan pemindahan para


perwira tentara dan gerakan dari pendukung Simbolon yang menangkap kementerian luar negeri
atas dugaan korupsi dan segeralah Nasution bergerak menangkap para pendukung Simbolon
serta mencopot jabatan Lubis. Di sisi lain terdapat seruan agar kabinet Ali mundur dan didirikan
Kabinet Hatta namun hal ini tidak kunjung terjadi karena hubungan antara Sukarno dan Hatta
sudah renggang. Krisis di Aceh juga menjadi salah satu alasan tuntutan atas seruan agar
mundurnya kabinet Ali. Krisis politik dan parlemen semakin melunjak dan disadari oleh
Sukarno, ia mulai merancang sebuah sistem pemerintahan yang dimana dipegang mutlak oleh
presiden yang diberi nama Demokrasi Terpimpin. Tekanan demi tekanan dihadapi kabinet Ali,
apalagi ketika konsep yang dijabarkan Sukarno mendapat penolakan dari Masyumi. Situasi ini
semakin meningkat ketika adanya laporan darurat perang diwilayah Indonesia bagian timur
akibat meletusnya pemberontakan Permesta. Berbagai pihak berusaha meyakinkan Sukarno agar
membentuk kabinet Hatta dan akhirnya hanya mendapatkan penolakan. Di satu sisi, kabinet Ali
mengalami perpecahan akibat banyak partai politik yang terpolarisasi dan pada akhirnya kabinet
Ali harus tumbang untuk kedua kalinya beriringan pengumuman Sukarno atas darurat perang.

Anda mungkin juga menyukai