Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. JUDUL MINI RISERT


TRADISI KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA KARANGBAYAT KAB-
JEMBER
B. LATAR BELAKANG
Masyarakat Indonesia sangat kaya dengan masalah budaya dan tradisi setempat.
Budaya maupun tradisi lokal pada masyarakat Indonesia tidak hanya memberikan
warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan
praktek- praktek keagamaan masyarakat.
Islam, sebagai sebuah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia,
memiliki hubungan erat dengan kebudayaan atau tradisi-tradisi lokal yang ada di
nusantara. Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak
pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam
yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk
setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak
bersentuhan dengan keanekaragaman konteks budaya setempat. Dalam ungkapan lain
dapat dikatakan bahwa Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu masa yang
hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal
mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang
turun-temurun lintas generasi, demikian juga gambaran pertautan yang terjadi antara
Islam dengan muatan-muatan lokal di nusantara.
Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling
mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya,
akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan
budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di
tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-
temurun. Mau tidak mau dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu
mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian
ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan budaya dan tradisi
yang melekat erat pada masyarakat Indonesia. Sama seperti Islam di kawasan Arab,
Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah
sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana
yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah
(wama yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyun yuha1 ), dengan cukup cerdik
(fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau
dengan menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai
salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah
di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan
thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Dalam artikel ini penulis akan mencoba menguraikan tradisi keagamaan di desa
karangbayat kabupaten jember dengan salah satu contoh studi kasus pada tradisi Pelet
Betteng dll
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan penulis dapat memberikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Sebutkan 4 tradisi keagamaan yang masih di pertahankan didesa karangabyat
kabupaten jember?
2. Jelaskan 4 tradisi keagamaan yang terjadi di didesa karangabyat kabupaten jember?
D. TUJUAN
Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut
Yang pertama yaitu agar para pemuda-pemudi sekitar lebih mengenal tradisi agama
dan paham akan manfaat-manfaat yang diberikan
Kedua yaitu dari penjelasan yang dijabarkan para pemuda-pemudi bisa lebih paham
tentang tradisi-tradisi keagamaan disekitar daerah mereka
E. KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN
F. TEORI YANG RELEVAN
Teori Kualitatif
Penelitian ini biasanya diwalai dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dan konsep-
konsep yang dihubungkan dari satu ke yang lainnya melalui konsep hipotesis. Ide-ide
atau konsep untuk penelitian ini biasanya dapat bersumber dari gagasan atau temuan
peneliti sendiri yang biasanya dapat bersumber dari sejumlah data atau sekumpulan
dari pengetahuan hasil kerja sebelumnya yang biasanya dikenal dengan kajian literatul
yang memicu pada jurnal-jurnal atau biasa juga disebut kajian pustaka.

METODE PENELITIAN
G. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dipakai oleh penulis adalah penelitian kualitatif adalah sebuah
proses dan tentang pemahaman yang berdasarkan metode untuk menyelidiki suatu
fenomena atau suatu masalah social dan masalah manusia, landasan teori yang
dimanfaatkan sebagai suatu pemandu atau tokoh utama agar yang diteliti oleh penulis
ini biasa sesuai fakta. Selain itu landasan teori itu sendiri juga memberikan suatu
manfaat untuk memberikan suatu gambaran untuk latar belakang dan sebagai suatu
wadah untuk bahan pembahasan hasil akhir penelitian yang dikaji.
Sifat dari Penelitian Kualitatif ini adalah deskriptif yaitu menganalis atau mengoreksi
data yang bersifat penjelasan yang di jabari atau uraian yang telah di analisis,
deskriptif itu sendiri adalah menganalisa atau mengoreksi data yang berupa penjelasan
dan informasi yang kemudian dikaitkan dengan sebuah konsep-konsep yang banyak
mendukung pembahasan yang relevan dimana penelitian kualitatif ini di peroleh dari
kesimpulan dalam penelitian yang dilakukan ini.
H. RENCANA PENELITIAN
1. Cara yang pertama yaitu survey pustaka dengan memperoleh data yang ada
kaitannya dengan permasalah yang peneliti lakukan dapat dilihat dari jurnal-
jurnal, hasil seminar yang berkaitan tentang potensi pasar dalam meningkatkan
ekonomi masyarakat juga skripsi-skripsi yang berkaitan terhadap penelitian
tersebut.
2. Observasi yaitu cara kedua yaitu turun ke lapangan langsung untuk melihat
kondisi yang terjadi di sekitar pasar rakyat tersebut yang memiliki tujuan agar
mendapatkan gambaran.Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam rangka
menjawab semua pertanyaan tentang rumusan masalh yang telah ditetapkan oleh
penulis maka analisis data diperlukan dan sangat berguna untuk menjawab
permasalahn ini juga menjadi acuan pada beberapa tahapan yang telah ditetapkan.
1. Yang paling pertama adalah pengumpulan data yang bisa melalui observasi di
lapamgan kemudikan membuat panduan wawancara untuk memperoleh bahan
bahan yang sesuai untuk melengkapi data dengan menelaah secara rinci
literature-literature yang sangat berkaitan satu sama lain dengan penelitian
2. Yang kedua ialah reduksi data yaitu menyeleksi data yang telah dikumpulkan
dilapangan observasi agar memperoleh data yang lebih efisienn
3. Poin yang ketiga adalah penyajian data yaitu suatu kegiatan untuk mengumpulkan
beberapa informasi yang berbentuk teks naratif yang mempunyai tujuan agar
lebih paham terhadap informasi yang dikaji sehingga para peneliti lebih mudah
dikaji dan dipahami.
4. Tahap yang paling akhir adalah penarikan kesimpulan yaitu harus dilakukan
dengan teliti dan cermat pada point-ponit catatan yang telah ditulis dan disusun
dengan sedemikian rupa. Didalam penarikan kesimpulan harus berkaitan dengan
konsep-konsep yang mengacu pada analisis deskriktif kualitatif yang berupa
penguraian data yang dikaitkan dengan konsep-konsep yang sangat mengarah
pada pembahasan sehingga memberikan kesimpulan dari permasalahan yang
dikaji.
I. WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN

N JENIS KEGIATAN TEMPAT KEGIATAN WAKTU KEGIATAN


O
.
1. Pengumpulan Data Kampus UIN Khas Selasa, 11 April 2023
Jember
2. Reduksi data Kampus UIN Khas Minggu, 23 April 2023
Jember
3. Penyajian data Kampus UIN Khas Minggu, 30 April 2023
Jember
4. Penarikan Kesimpulan Kampus UIN Khas Rabu, 03 Mei 2023
Jember
5. Pembuatan Mini Risert Kampus UIN Khas Sabtu, 06 Mei 2023
Jember

J. HASIL DAN TEMUAN PENELITIAN


TRADISI
Manusia pada dasarnya berupaya dalam memenuhi keperluan dalam hidup. Biasanya
dalam mewujudkan hal tersebut mengandalkan kemampuannya sendiri dengan
menjadikan alam sebagai objeknya. Tradisi secara bahasa dalam Kamus Cerdas
Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan. 1 Tradisi
menurut C.A. van menerjemahakan bahwasanya tradisi merupakan proses regenerasi
atau pewarisan dalam bentuk norma, adat istiadat, kaidah, maupun harta. Tradisi

1
Tim Bahasa Pustaka Dua, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia... , 543.
dapat diubah, diangkat, bahkan ditolak serta dipadukan dengan berbagai macam
tingkah laku manusia.2 Hal yang paling dasar terhadap tradisi adalah adalah
regenerasi atau penerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan sehingga tidak mengalami kepunahan. Tradisi yang melahirkan
suatu budaya masyarakat dapat diketahui dari wujud tradisi itu sendiri. Berpedoman
pada pendapat Koentjaraningarat menyatakan bahwa kebudayaan itu memiliki
setidaknya tiga wujud, yakni sebagai berikut. a) Wujud kebudayaan berupa ide,
gagasan, nilai, norma, serta peraturan dan lainnya yang sifatnya kompleks. b)
Berwujud aktivitas kelakuan manusia yang berpola dalam masyarakat yang kegiatan
tersebut telah kompleks. c) Wujud yang berupa benda-benda dari hasil dari karya
manusia.3
Mengenai akar dasar dari terciptanya suatu tradisi budaya dalam suatu masyarakat
pernah dipaparkan oleh UU Hamidi, yakni seorang ahli budaya Riau. Ia mengatakan
bahwa potensi manusia ketika tidak dapat menjelaskan perisitwa yang terjadi, maka
manusia akan membuat kekuatan dari imajinasinya. Hal ini akan mengakibatkan
tercipatnya pemahaman akan alam dan perisitwa hidupnya. 4
AGAMA
Terminologi keberagamaan perlu dibedakan dengan term agama atau keagamaan. Di
satu sisi, keagamaan berasal dari akar kata agama yang menunjuk pada seperangkat
wahyuketuhanan agar menjadi petunjuk kehidupan orang yang beriman untuk
mewujudkan kebahagiaan dunia dan akherat. Di sisi lain, term keberagamaan
merupakan kata benda dari akar kata beragama. Kata kerja beragama, menunjuk pada
produk kegiatan berikut segala aktifitas melaksanakansubstansi ajaran agama oleh
orang-orang yang beriman sesuai dengan materi ajaran tersebut.5
agama bukanlah kebudayaan maupun tradisi, karena agama itu diciptakan Tuhan,
bukan hasil olah pikir dan karya manusia. Tetapi kelompok-kelompok orang
beragama membentuk kebudayaan dan juga tradisi mereka masing-masing sebab
mereka mempunyai budi daya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara terus
menerus dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, menurut Siradjuddin Abbas (2012:
291) pada hakikatnya tidak ada kebudayaan Islam atau tradisi Islam, namun yang ada

2
Kurniadi Adha, “Kepercayaan Masyarakat terhadap Ritual Memindahkan Hujan…, 11
3
Kurniadi Adha, “Kepercayaan Masyarakat terhadap Ritual Memindahkan Hujan…, 4 yang dikutip dari Kuncoro
Ningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rine Cipta, 1990), 379.
4
Kurniadi Adha, “Kepercayaan Masyarakat terhadap Ritual Memindahkan Hujan…, 5.
5
Muslim A. Kadir, Dasar-Dasar KeberagamaanDalam Islam, (Yoyakarta: PustakaPelajar,2011),56
adalah kebudayaan dan tradisi orang Islam, karna Islam itu bukan kebudayaan dan
tradisi melainkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Kebiasaan yang diwariskan secara
turun-temurun oleh orang Islam sebagai kelompok masyarakat, dan berlanjut serta
dilestarikan hingga saat ini kemudian melembaga di tengah masyarakat itulah yang
kemudian dikenal dengan sebutan kebudayaan atau tradisi Islam, yang berarti
kebudayaan dan tradisi orang Islam.6
Agama merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan
kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera dengan aturan, nilai, atau norma yang
mengatur kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci
yang harus diikuti dan ditaati. Aturan itupun tumbuh dan berkembang bersama
dengan kehidupan manusia, masyarakat dan budaya. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, agama berarti suatu system, prinsip kepercayaan terhadap Tuhan
dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian denga kepercayaan
tersebut.Budaya yang memiliki hubungan yang erat sekali dalam suatu tatanan
masyarakat. Sedangkan budaya merupakan nilai sosial dan norma sosial yang
kemudian memberi pengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan juga merupakan hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan
bersifat abstrak akan tetapi perwujudannya telah dapat terlihat dari lahirnya suatu
bahasa, ataupun pola perilaku yang semuanya ditujukan untuk kelangsungan
kehidupan masyarakat.7
K. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1. TRADISI KHATAMAN AL QUR AN
Tradisi Hataman Qur’an di desa karangbayat memiliki banyak ragam
dengan menyesuaikan aspek motif dan tujuan. Bagi masyarakat yang
ingin membangun rumah agar mendapat keselamatan, biasanya mengadakan
kegiatan Hataman Qur’an dengan istilah muqaddam. Hataman Qur’an juga
dijadikan ritual dalam rutinitas kompolan-kompolan masyarakat di pedesaan,
Hataman Qur’an Pelet Kandung,Hataman Qur’an Jum’at Manis, Hataman
Qur’ankifayah, dan sebagainya. Karena itulah, tradisi Hataman Qur’an telah
merambah ke dalam ruang-ruang kegiatan sosial masyarakat dan menjadi sumber
kebertahanan tradisi ini di kalangan masyarakat desa Karangbayat. Tradisi ini

6
ISLAM DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA (Telaah Kritis Terhadap Tradisi Pelet Betteng Pada Masyarakat
Madura dalam Perspektif Hukum Islam) Buhori IAIN Pontianak
7
Amsal Bakhtiar, Filslafat Agama, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2015. Hlm. 35
senantiasa dijaga, dirawat, dipertahankan, dan dikembangkan agar tetap relevan
dengan tuntutan dan tuntunan era revolusi industri. Praktik Hataman Qur’an
bermula dari pusat kegiatan keagamaan masyarakat, yaitu di langgar-langgar
yang berada di setiap sudut rumah yang ada di desa karangbayat. Terminologi
langgar dipakai untuk menunjuk bangunan kecil—biasanya berbentuk segi
empat seperti bangunan masjid namun lebih kecil--yang berdiri di sekitar rumah-
rumah komunitas muslim yang digunakan sebagai tempat ibadah salat (selain salat
Jumat) (Kosim, 2009: 237) dan institusi pendidikan belajar Al-Qur’an. Dengan
demikian, langgar adalah institusi pendidikan Islam di Madura yang menjadi
cikal bakal terbentuknya tradisi Hataman Qur’an. Sebab, di dalam langgar ini
terdapat seorang kiai atau ghuru ngajih (ustaz) yang menjadi teladan (top figure)
yang senantiasa dipuja, dipuji, dan bahkan diagungkan eksistensinya oleh
masyarakat Madura. Namun demikian, berkaitan dengan beragam tradisi Hataman
Qur’andi atas, tulisan ini fokus pada Hataman Qur’an sebagai bentuk inaugurasi dan
wujud ekspresi rasa syukur masyarakat desa karangbayat bagi putra-putrinya
yang berusia sekitar 5-8 tahun karena telah berhasil menyelesaikan
pembelajaran Al-Qur’an dan mengkhatamkannya sampai juz 30. Tentu saja,
bagi masyarakat desa karangbayat, prestasi anak yang berhasil menyelesaikan
pembelajaran baca Al-Qur’an dengan tuntas dan fasih adalah prestise yang luar
biasa di mata orang lain. Karena itu, orang tua rela berkorban mengadakan
kegiatan Hataman Qur’an sebagai bentuk inaugurasi dan wujud ekspresi rasa
sykur kepada Allah atas prestasi anak-anaknya.
Waktu pelaksanaan Hataman Qur’an ini tidak terpaku pada waktu-waktu tertentu.
Artinya, ketika ada seorang anak baru saja mengkhatamkan Al-Qur’an, maka pada
saat itu akan segera diadakan tasyakuran. sebagaimana penuturan K.
Abdul Baqi, Pengasuh Musala Al-Ma’arif, berikut:“Manabi bhedeh settong
mored khatam Qur’an 30 juz ngangguy Tajwid, makah oreng towanah bhekal
langsung epentaeh kaangguy asalamettan.” (Wawancara dengan K. Abdul Baqi,
Pamekasan, 16/06/2021)“Jika ada satu anak didik atau murid telah selesai
mengkhatamkan kemampuan membaca Al-Qur’an sampai pada juz 30 sesuai
dengan ilmu tajwid, maka kami langsung meminta kepada orang tuanya agar segera
mengadakan tasyakkuran.”
2. TRADISI PELET BETTENG
Salah satu tradisi lokal yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia
adalah Pelet Betteng, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan
sebutanTingkebanyang mengandung makna “seng dienti-enti wis mathuk
jangkep” (yang dinanti-nanti sudah hampir sempurna). Selain itu, juga dikenal
beberapa istilah lain sepertiNgupati dan Mitoni. Pelet Betteng, ngupati dan mitoni
merupakan tradisi atau upacara selamatan yang dilakukan dengan cara
pembacaan do`a-do`a dan sedekah, ketika seorang wanita tengah mengandung
pada usia kandungan 4 bulan (ngupati) atau tujuh bulan (mitoni). Dalam upacara
inibiasanya dibacakan surah Yusuf, Maryam dan Muhammad, dengan maksud
tabarrukan (mengambil berkah) dari kisah-kisah Nabi yang dikisahkan dalam
surat-surat tersebut.
Tradisi Tingkeban (Bahasa Madura: Pelet Betteng) ini berkembang luas di tengah
masyarakat dan lazim dilakukan, khususnya oleh masyarakat Jawa dan Madura
yang notabenenya mayoritas kaum Nahdliyin. Upacara ini dilakukan dengan
harapan agar bayi yang berada dalam kandungan diberikan keselamatan, lahir
dengan selamat dan menjadi anak yang saleh dan ditakdirkan dalam kebaikan
kelak ketika lahir ke dunia.
IstilahPelet Bettengsendiri berasal dari bahasa Madura yang secara harfiah
mempunyai arti pijat kandungan. Di kalangan masyarakat Maduratradisi ini juga
sering dikenal dengan sebutan Pelet Kandhung atau Peret Kandung atau
Salameddhen Kandhungan.Sebenarnya upacara pelet betteng ini mirip dengan
tradisi yang biasa dilaksanakan oleh beberapa tempat di nusantara ketika masa
kehamilan telah mencapai usia 7 bulan. Tapi seperti halnya pepatah lama yang
berbunyi lain lubuk lain belalang, maka meskipun upacara ini sama-sama
dilakukan oleh orang yang sedang hamil, tapi tentu saja cara dan prosesi yang
dilakukan berbeda-beda. Upacara Pelet Betteng ini lazim dilakukan hanya pada
saat hamil pertama seorang Istri.Sedangkan untuk kehamilan berikutnya,
biasanyaupacara yang dilaksanakan tidak semeriah pada kehamilan pertama,
namun tetap dilaksanakan dengan sederhana, yaitu yang umumnya berupa
salameddhan (selamatan) dengan cara mengundang beberapa tokoh agama
(ustadz) dan masyarakat sekitar untuk membaca ayat-ayat Al-Qur`an dan do`a
untuk keselamatan calon bayi serta ibunya serta mendo`akan agar anak yang
dilahirkan kelak menjadi anak yang solih/solihah. Cara lainnya terkadang
dilakukan dalam bentuk arebbha (hantaran nasi kepada kiyai, tokoh agama atau
kerabat terdekat untuk diminintakan do`anya atas keselamatan janin dalam
rahim).Upacara ini dilakukan pada saat kandungan berusia tujuh bulan (Madura:
petong bulen), dan biasanya diawali dengan upacara selamatan pada usia
kandungan empat bulan (Madura; pak bulen). Pada masa itu merupakan masa
pembentukan janin yang wajib dirawat dan diruwat. Perawatan dilakukan dengan
menjaga calon ibu agar kondisinya tetap sehat, terjaga dan janin yang
dikandungnya juga sehat. Sedangkan meruwat nya dilakukan dengan cara
mendo`akan janin yang dikandungnya serta calon ibu agar diberi keselamatan dan
diberikan kemudahan dalam proses persalinan. Secara tradisional masyarakat
Madura cenderung tahap demi tahap melakukan Pelet Betteng sebagai bentuk
pencegahandan penghindaran agar bayi yang dikandungnya tidak mengalami
masalah sehingga ketika bayi dilahirkan berjalan lancar dan aman. Oleh karena
masa-masa tersebut dianggap sebagai masa yang penuh dengan ancaman dan
bahaya, maka diperlukan adanya suatu usaha untuk menetralkannya, sehingga
dapat dilalui dengan selamat. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara
yang kemudian dikenal sebagai upacara lingkaran hidup individu yang meliputi:
kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Upacara adat ini
biasanya dilakukan dari pihak keluarga perempuan atau orang tua dari anak yang
hamil. Ada pula dilaksanakan oleh pihak mertua, orang tua suami. Hal ini
tergantung kesepakatan, dan umumnya untuk wilayah Madura Timur, pihak
keluarga laki-laki meminta agar dilaksanakan di rumah si suami mengingat
berbagai pertimbangan.Upacara ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al-
Quran (Surat Yusuf, Maryam, dan beberapa surat lainnya dalam Al-Qur`an) oleh
para undangan laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kyaeh/kiyai atau bhindereh/
ustadz. Pada prosesi ini akan diakhiri dengan acara makan bersama sajian yang
telah disediakan oleh tuan rumah. Sajian khas yang lazim diberikan oleh tuan
rumah adalah rujak yang terbuat dari buah nanas, mentimun dan kacang tanah.
Selagi para lelaki itu membaca Al-quran dan do`a di ruang tamu, di dalam bilik
perempuan yang mengandung itu mulai dilaksanakan prosesi pelet kandhung atau
memijit/mengurut si calon ibu. Dalam proses ini dukon beji’ (dukun bayi)
berperan penting, yang nantinya akan memimpin proses upacara adat. Dukon
beji` mulai memelet atau memijat bagian perut perempuan tersebut dengan
menggunakan minyak kelapa. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengatur
posisi bayi di dalam kandungan. Pada saat Dukon beji` itu memijit perut
perempuan hamil itu, secara bergiliran sanak kerabat akan masuk kedalam bilik
untuk mengusap perut si perempuan hamil itu sembari memanjatkan do`a agar si
calon ibu dan bayinya selalu dilindungi Tuhan sampai proses melahirkan kelak.
Prosesi berikutnya dilanjutkan dengan penyepakan ayam. Sang dukon beji`akan
membimbing si ibu hamil menuju ayam yang diikat di kaki ranjang untuk di
sepak sampai menimbulkan bunyi “keok”. Ayam yang telah disepak ini nantinya
setelah upacara selesai akan diberikan kepada dukun bayi sebagai ucapan terima
kasih sekaligus sebagai pengurip. Setelah tahap penyepakan ayam dilewati maka
sang dukun bayipun kembali membimbing si ibu hamil tadi menuju prosesi
berikutnya yakni upacara penginjakan telur dan kelapa muda. Dalam prosesi ini si
ibu hamil terlebih dahulu diminta untuk memakai kain putih untuk kemudian
disuruh kaki kanannya menginjak kelapa muda, dan kaki kiri menginjak telur.
Yang unik dari prosesi ini adalah apabila telur yang diinjak itu berhasil
dipecahkan maka mereka meyakini bahwa anak yang bakal lahir nanti berjenis
kelamin laki-laki. Tapi bila tak berhasil dipecahkan maka si dukun bayi akan
memungut telur tersebut untuk digelindingkan ke perut sang ibu hingga
menggelinding menyentuh tanah. Begitu telur itu pecah maka para undangan
yang hadir pun akan berseru “Jebbing! Jebbing!” yang berarti bahwa bayi yang
akan lahir kelak berjenis kelamin perempuan.
3. TRADISI ONTALAN
Tradisi Ontalan berasal dari kata ontal yang artinya melontar atau melempar,
ia merupakan saweran dalam acara perkawinan dengan cara melempar uang
kepada kedua mempelai dikala mereka duduk bersandingan. Tradisi ini
dilaksanakan ketika proses en-maen (nguduh mantu) yaitu kala kedua
mempelai di arak ke tempat kediaman laki-laki, tepatnya setelah proses akad
nikah di kediaman mempelai perempuan selesai.
Tradisi ontalan merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat
desa karangbayat pada saat mengadakan resepsi perkawinan, berbentuk
sedekah yang disakralkan menjadi sebuah tradisi. Istilahnya sedekah dari
keluarga pihak laki-laki kepada mempelai perempuan. Tidak ada kejelasan
tentang sejarah ontalan ini, karena belum diketemukan catatan yang tersirat
tentang asal mula ontalan.
Dahulu, masyarakat di Desa Sen Asen menamakan tradisi tersebut dengan
sebutan tek-tek (bunyi nampan saat dipukul), yaitu memberi uang untuk kedua
mempelai, baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan, namun
pada umumnya uang itu diberikan kepada mempelai perempuan dengan proses
saweran dari para keluarga dan kerabat pihak mempelai laki-laki. Sebagian
masyarakat ada yang menganggap bahwa tradisi ini sebagai bentuk transaksi
hutang piutang, karena pada saat berpartisipasi dalam tradisi ini (meng-ontal
uang), ada yang berharap adanya timbal balik yang serupa atau lebih saat
orang yang berpartisipasi itu melaksanakan tradisi ontalan pada perkawinan di
kemudian hari.
Pengertian ini dipertegas oleh Hanafi yang mengatakan bahwa, tradisi ontalan
sebagai sumbangan dari pihak laki-laki kepada mempelai perempuan, tetapi
beberapa orang diantaranya ada yang mengharapkan balasan yang lebih atau
serupa yang dikembalikan pada saat orang itu mengadakan acara pernikahan
juga.4 Namun Arsyad membantah bila tradisi ini dianggap sebagai tradisi
yang mengandung transaksi hutang piutang, karena di dalamnya tidak ada
akad ijab dan qobul. Beliau mengatakan bahwa tradisi ontalan memang
mengakar dan sudah menjadi sebuah kebiasaan yang melekat di Desa Sen
Asen khususnya di kampung Menurut Abdul Ghani selaku sesepuh dan tokoh
adat di Desa Sen Asen, ontalan merupakan tradisi yang baik untuk mempelai
perempuan, karena dengan tradisi tersebut perempuan dapat mengetahui
seberapa besar kepedulian dan penghargaan yang diberikan keluarga serta
kerabat dari pihak mempelai laki-laki kepadanya. Bila uang yang didapat dari
tradisi ini banyak akan menjadi sebuah kebanggaan bagi pihak perempuan dan
keluarganya, serta membuat mempelai perempuan itu semakin cinta dengan
suaminya. Namun bila yang didapat itu sedikit akan menjadi aib bagi
mempelai perempuan dan keluarganya bahkan sampai membuat mempelai
perempuan itu tidak cinta dan menjadi kecewa terhadap suaminya.Angsanah,
namun ada juga sebagian masyarakat yang menganggap tradisi ini hanya
sebagai pelengkap saja atau untuk mengundang keramaian.
4. Tradisi bhubuwan
Tradisi Bhubuwân, terutama, di desa karangbayat pada awalnya merupakan
wujud tolong meno-long di antara masyarakat.Ada sebuah keyakinan di
masyarakat bahwa ketika seseorang diberi sesuatu maka senantiasa dibalas
dengan yang serupa atau lebih baik.Seiring dengan kebutu-han masyarakat
yang kian kompleks,maka wujud yang awalnya merupakan pemberian
untuk menolongseseorang yang mempunyai hajat berubah
menjadiperjanjian rapi antara pemberi bhubuwândengan penerima
bhubuwân.
Bhubuwân erat kaitannya dengan konsep pemberian yang biasa dikenal
dengan hadiah. Ha-diah dipahami sebgai tamlȋk bi ghayr
‘iwadl(memiliki tanpa membayar).Jika pemberian itu murni tanpa
mengharap-kan apapun atau imbalan apapan,maka ia dinamakan shadaqah.
Akan tetapi jika tujuannya untuk penghormatan,makaiadisebut dengan
hadiah.Sebagai sebuah hadiah tentunya sudah sangat dipahami bagaimana
dina-mika yang mengelinginya. Namun sebuah tradisi tersebut di
masyarakat ti-dak semulus yang dikatakan. Artinya dibalik pemberian
bhubuwânterdapat sebuah keinginan yang tersembunyai yaitu adanya
harapan pada saat nanti jika ia mempunyai hajatan maka orang yang ia
beri akan mengembalikan dengan memberi hadiah yang serupa Memang
harapan itu tidak menyeluruh bagi setiap orang, namun itu telah
menjadi fenomena umum dan sedikit sekali pihak yang memberi
bhubuwânitu telah mengalir begitu saja tanpa sebuah harapan.9Sehingga
ada pergeseran pemi-kiran bhubuwândari hadiah atau sedekah menjadi sebuah
hutang.10Memang, secara tersirat,prinsip dasar bhubuwânerat kaitannya
dengan hutang. Hal tersebut didasarkan atas pengertian secara umum
dari bhubuwânyang bermaksud bahwa uang yang dibe-rikan kepada tuan
rumah dapat dikem-balikan lagi pada saat si pemberi menga-dakan hajatan.
Ketika tidak mengem-balikan,maka mereka akan dita-gih oleh ketua
bhubuwân. Dalam konsep bhubuwânjuga terdapat pengertian yang
senadadengan konsephutang yaitu mem-berikan sesuatu (harta) kepada
orang lain untuk jangka waktu tertentu. Hal initentunya berbeda dengan
konsep hibah,yaitu pemberian harta milik sese-orang kepada orang lain di
waktu dia masih hidup tanpa adanya imbalan. 11Dari pengertian tersebut
membe-rikan pemahaman bahwa konsep bhubu-wânyang mengharuskan
dikembalikan-nya uang yang telah diberikan kepada tuanrumah, sama
ketika dianalogikan dengan konsep hutang, yaknitransaksi antara dua
pihak, yang satu menye-rahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela
untuk dikembalikan lagi kepa-danya oleh pihak kedua dengan halyang
serupa atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk
dimanfa-atkan dan kemudian orang ini mengem-balikan
penggantinya.Konsep ini tidak terdapat dalam konsep hibah, yang
menurut bebe-rapa madzâhib al-arba’ah13adalahmemberikan hak suatu
materi tanpa mengaharap imbalan atau ganti. Jadi illatnya adalah adalah ada
kesamaan untuk menarik kembali uang yang telah dikeluarkan.
5. TRADISI ROKATAN

Anda mungkin juga menyukai