PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan penyalahgunaan zat (substance use disorder) saat ini sudah menjadi
permasalahan global (Khalily, 2009). Berdasarkan data World Drug Report 2016,
diperkirakan bahwa 1 di antara 20 orang dewasa yang berusia 15-64 tahun menggunakan
minimal satu zat adiktif selama tahun 2014 dari total populasi penduduk dunia sekitar 7
miliar. Satu di antara mereka yang menggunakan zat, ternyata mengalami ganggun
penyalahgunaan zat. Sedangkan hampir separuh dari penyalahguna yang menggunakan
jarum suntik menderita HIV. Oleh karena itu, UNODC mengkategorikan Gangguan
penyalahgunaan zat sebagai masalah kesehatan yang utama dalam skala internasional.
Dalam skala internasional, penyalahgunaan zat merupakan salah satu target penyelesaian
isu global yang secara terintegrasi harus ditangani bersama. Target ketiga yaitu mencapai
tingkat kesehatan yang ideal dan promosi kesejahteraan yang setara bagi semua kalangan
dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) menjadi
landasan berpijak dalam penyelesaian masalah ketergantungan zat.
Menurut United Nation on Drug and Crime telah terjadi pergeseran tren zat yang
disalahgunakan, dimana sebelumnya heroin dan kokain merupakan narkotika yang menjadi
perhatian utama di berbagai negara (UNODC, 2014). Pergeseran tren terjadi sejak tahun
2010, dimana terjadi peningkatan penggunaan ATS (UNODC, 2011). ATS atau Amphetamine
Type Stimulants merupakan jenis narkotika terbanyak kedua yang disalahgunakan setelah
ganja.
Secara global, dilaporkan bahwa penyitaan ATS pada tahun 2010 meningkat sampai 80%
dibanding tahun 2012 (UNODC, 2014). Secara nasional di Indonesia, dilaporkan bahwa ada
peningkatan penyitaan metamfetamin kristal (shabu) dari 649,1 kg di tahun 2010 menjadi
2.050,6 kg di tahun 2012 serta peningkatan penyitaan pil ekstasi dari 434.660 butir tahun
2010 menjadi 4.272.228 butir tahun 2012 (BNN, 2013; UNODC, 2013). Angka penangkapan
(supply) seringkali dianggap merefleksikan besaran permintaan kebutuhan (demand) (Willis,
Anderson & Homel, 2011).
Dampak yang signifikan tersebut terjadi pada skala individu maupun keluarga. Selain itu,
dampak yang signifikan juga dialami hingga ke taraf masyarakat, antara lain kehilangan
produktivitas, resiko keamanan, kejahatan dan kesadaran hukum yang lemah, dan
peningkatan anggaran kesehatan. Merehabilitasi mereka yang memiliki masalah kecanduan
seperti memindahkan beban yang berat ke dalam sistem kesehatan masyarakat. Oleh
karena itu, memperbaiki sistem rawatan atau rehabilitasi, dan meningkatkan kualitas
layanan dengan sebaik-baiknya, pasti akan berdampak pada peningkatan kualitas individu,
keluarga, maupun masyarakat.
Perbaikan sistem layanan rehabilitasi ternyata tidaklah cukup karena benturan selanjutnya
adalah mengenai persepsi masyarakat mengenai orang dengan masalah kecanduan.
Persepsi yang dibangun di masyarakat mengenai orang dengan masalah kecanduan
sangatlah beragam, antara lain mereka dilabel sebagai masalah sosial, sampah masyarakat,
kejahatan moral yang harus dihukum, penyakit sosial masyarakat, dan aib keluarga. Stigma
dan diskriminasi merupakan hal yang sering dialami oleh orang dengan masalah kecanduan.
Hal tersebut diakibatkan karena data yang kurang akurat di masa lalu, dimana belum
diketahui bahwa penyalahgunaan narkotika akan berdampak pada mekanisme otak yang
memiliki peran utama dalam perkembangan kehidupan manusia. Setelah bertahun-tahun
penelitian, dunia memahami bahwa penyalahgunaan narkotika akan berdampak luas pada
gangguan biopsikososial seseorang.
Sehubungan dengan tantangan dalam dunia rehabilitasi dimana terjadi peningkatan jumlah
penyalahguna narkoba dan kebutuhan akan layanan rehabilitasi yang lebih tepat, maka BNN
akan membangun layanan rehabiitasi rawat inap di setiap propinsi. Sejauh ini, BNN sudah
memiliki 6 layanan rehabilitasi rawat inap, yaitu Balai Besar Rehabilitasi, Balai Rehabilitasi
Baddoka, Balai Rehabilitasi Tanah Merah, Balai Rehabiitasi Batam, Loka Rehabilitasi
Kalianda, dan Loka Rehabilitasi Deli Serdang. BNN akan memproyeksikan Balai Besar
Rehabilitasi BNN sebagai center of excellence.
Kebutuhan akan center of excellence merupakan keniscayaan bagi BNN. Hal tersebut
dikarenakan BNN memiliki BNNK, BNNP, dan layanan rawat inap yang tersebar di 33
propinsi. Jumlah yang sedemikian banyak mengharuskan BNN memiliki standar sehingga
pelaksanaannya perlu terus dimonitor, dievaluasi, dan disupervisi. Selain itu ukuran akan
standar tersebut perlu dimanifestasikan dalam model rehabilitasi yang tepat dan memenuhi
kaidah ilmiah. Untuk itu, Balai Besar Rehabilitasi BNN sebagai center of excellence akan
akan menjadi pusat dimana fungsi pelayanan dan rehabilitasi, supervisi dan monitoring,
penelitian dan pengembangan, serta pelatihan dan pendidikan bagi petugas rehabilitasi
akan dilakukan.
Tersedianya suatu pusat layanan rehabilitasi yang komprehensif dalam metode layanan
pendidikan profesional dan penelitian.
Tujuan umum :
Pusat layanan ini bertujuan untuk memberikan percontohan dan peningkatan kapasitas
dalam pengembangan program terapi dan rehabilitasi bagi korban dan penyalahguna
narkoba.
C. DASAR HUKUM