Anda di halaman 1dari 3

Untuk drama dengan 10.000 kata, saya akan menyajikan potongan pertama dari drama tersebut.

---

*Judul: Terang di Balik Bayangan*

*Tokoh:*

1. *Maya* (Pelin)- Seorang mahasiswa kedokteran yang berjuang dengan kecemasan sosial.

2. *Riza* (Pion)- Seorang manajer proyek yang mengalami kelelahan emosional.

3. *Dini*(Chesi) – Seorang remaja yang mengalami gangguan makan.

4. *Eko* (Lois)- Seorang veteran perang yang mengalami PTSD.

5. *Nina*(Jes) - Seorang remaja yang mengalami depresi karena tekanan dari orang tua.

6. *Bu Ani*(ricat) - Seorang psikolog yang membantu orang-orang mengatasi masalah kesehatan
mental mereka.

*Potongan Pertama:*

Suasana terang dan tenang di ruang tunggu klinik psikolog Bu Ani terganggu oleh gerutuan kecil dan
tatapan cemas dari Maya yang duduk di sudut ruangan. Maya memegang ponselnya, tetapi matanya
terus melirik ke sekeliling, seperti mencari sesuatu atau seseorang.

*Maya*: (berbisik pada dirinya sendiri) Aku tidak bisa melakukannya. Mereka semua akan
melihatku.

Di kursi seberang, Riza duduk dengan wajah yang lelah, menatap kosong ke langit-langit klinik. Dia
menggosok pelan pelipisnya, tampak terlalu khawatir.

*Riza*: (dalam hati) Bagaimana aku bisa terjebak dalam situasi ini lagi? Apakah aku benar-benar
mampu mengatasinya?

Di ruang tunggu yang lain, Dini duduk dengan tubuhnya yang tegang, memeluk tasnya erat-erat. Dia
melihat sekeliling dengan pandangan gelisah, merasa terisolasi di tengah keramaian.

*Dini*: (menggigil) Aku tidak bisa menghadapinya sendirian. Bagaimana aku bisa mengatasi
semuanya?

Di sudut ruang tunggu, Eko duduk dengan tubuh yang tegang, pandangannya kosong ke dinding di
depannya. Dia menahan napas dan tampak merasakan getaran tak terlihat dari masa lalunya.

*Eko*: (dalam keheningan) Mereka datang lagi. Saya harus bertahan.

Di samping Eko, Nina duduk dengan mata terpejam, seperti berada dalam dunianya sendiri yang
suram. Wajahnya pucat dan lesu, menunjukkan beban pikiran yang berat.

*Nina*: (berbisik pada dirinya sendiri) Semuanya terasa begitu berat. Tidak ada yang mengerti.

Pintu klinik terbuka, dan Bu Ani keluar, senyuman hangatnya menyala di wajahnya saat dia melihat
para pasiennya.
*Bu Ani*: Selamat pagi, semuanya. Mari masuk ke ruangan saya. Kita akan membicarakan semua
yang ada di pikiran kalian.

*Bu Ani* mengundang mereka masuk ke dalam ruangannya yang nyaman dan tenang. Mereka
duduk di sekitar meja bundar, menatap Bu Ani dengan campuran harapan dan kecemasan di wajah
mereka.

*Bu Ani*: Selamat datang, semuanya. Saya senang kalian semua berada di sini. Mari kita mulai
dengan memperkenalkan diri dan mengungkapkan apa yang membawa kalian ke sini hari ini.

Setiap tokoh secara bergantian memperkenalkan diri mereka dan membagikan beberapa kata
tentang alasan mereka datang ke klinik.

*Maya*: Saya Maya, mahasiswa kedokteran. Saya mengalami kecemasan sosial yang membuat sulit
bagi saya untuk berinteraksi dengan orang lain di lingkungan kampus.

*Riza*: Riza nama saya. Saya seorang manajer proyek dan kelelahan emosional membuat saya
merasa terjebak dalam siklus stres dan kekhawatiran yang tak berujung.

*Dini*: Saya Dini. Kehidupan yang sibuk dan merasa terisolasi membuat saya merasa cemas dan
kehilangan arah.

*Eko*: Saya Eko. Saya seorang veteran perang yang mengalami PTSD. Kilas balik masa lalu selalu
menghantuiku, membuat hidup ini seperti neraka yang tak berujung.

*Nina*: Nama saya Nina. Saya remaja yang mengalami depresi karena tekanan dari orang tua yang
selalu memaksakan ekspektasi mereka padaku.

*Bu Ani*: Terima kasih sudah berbagi, semuanya. Yang kalian alami adalah hal yang serius, tetapi
kalian tidak sendirian. Kita akan bekerja sama untuk menemukan cara untuk mengatasi tantangan
ini. Mari kita mulai dengan mendengarkan satu sama lain dan menawarkan dukungan.

Selama sesi, Bu Ani mendengarkan dengan penuh perhatian cerita dan pengalaman masing-masing
tokoh. Dia memberikan pandangan dan saran yang bijaksana, serta memberikan latihan-latihan
kognitif dan teknik relaksasi untuk membantu mereka mengelola kecemasan, stres, dan depresi
mereka.

*Bu Ani*: Ingatlah, perjalanan menuju kesehatan mental tidaklah mudah, tetapi itu adalah langkah
yang sangat penting untuk dilakukan. Kita akan melalui ini bersama-sama. Saya ada di sini untuk
mendukung kalian setiap langkahnya.

Setelah sesi berakhir, para tokoh keluar dari ruangan Bu Ani dengan sedikit lebih ringan di hati
mereka. Meskipun tantangan mereka belum selesai, mereka merasa lebih siap untuk
menghadapinya dengan dukungan yang mereka dapatkan.

*Maya*: (sambil tersenyum kepada Riza) Terima kasih atas dukunganmu tadi. Rasanya bagian dari
sebuah komunitas yang peduli sangat membantu.

*Riza*: (mengangguk) Sama-sama, Maya. Kita bisa saling mendukung dalam perjalanan ini.

Para tokoh melangkah keluar dari klinik, menatap masa depan dengan sedikit lebih banyak harapan
dan keyakinan bahwa mereka bisa mengatasi bayangan yang mengganggu kesehatan mental
mereka.
Keesokan harinya, Maya duduk di perpustakaan kampus, menatap tumpukan buku dengan ekspresi
tegang. Dia mencoba untuk fokus pada studinya, tetapi kecemasan sosialnya membuatnya sulit
untuk berkonsentrasi. Di sebelahnya, Riza duduk dengan laptopnya, tetapi matanya terlihat lelah
dan pikirannya melayang jauh.

*Maya*: (berbisik pada dirinya sendiri) Aku harus tetap fokus. Aku tidak boleh membiarkan
kecemasanku menguasai.

*Riza*: (menggeleng-gelengkan kepala) Bagaimana aku bisa menyelesaikan proyek ini jika pikiranku
tidak bisa diam?

Di rumahnya, Dini menatap layar ponselnya dengan cemas, menunggu pesan dari teman-temannya.
Namun, layar tetap kosong, dan rasa kesepian mulai merayapinya.

*Dini*: (berbisik pada dirinya sendiri) Aku mencoba untuk terhubung, tetapi mengapa aku masih
merasa sendirian?

Eko duduk di teras rumahnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri setelah serangkaian kilas balik
yang mengganggu. Dia bernapas dalam-dalam, mencoba untuk menghadapi masa lalunya dengan
kepala tegak.

*Eko*: (dalam hati) Saya tidak boleh membiarkan masa lalu menghantuiku. Saya harus bertahan.

Di kamarnya, Nina menatap langit-langit dengan mata kosong, pikirannya terperangkap dalam siklus
gelap dari pikiran negatif.

*Nina*: (berbisik pada dirinya sendiri) Mengapa aku merasa begitu lemah? Mengapa aku tidak bisa
menjadi cukup baik?

Setiap tokoh merasa terjebak dalam bayangan mereka sendiri, tetapi kemudian mereka mengingat
kata-kata Bu Ani tentang dukungan dan perjuangan bersama.

*Maya*: (memikirkan kata-kata Bu Ani) Kita akan melalui ini bersama-sama.

*Riza*: (mengingat nasihat Bu Ani) Kita bisa saling mendukung dalam perjalanan ini.

*Dini*: (membayangkan senyuman Bu Ani) Saya tidak sendirian. Saya punya dukungan.

*Eko*: (menarik napas dalam-dalam) Saya harus bertahan. Ada cahaya di ujung terowongan.

*Nina*: (menghela napas) Saya harus percaya pada diri sendiri. Saya punya kekuatan untuk
melaluinya.

Para tokoh mengambil napas dalam-dalam, memperkuat tekad mereka untuk melawan bayangan
yang mengganggu. Dengan perlahan, mereka mulai melangkah maju, satu langkah demi satu
langkah, menuju cahaya yang menggoda di kejauhan.

Anda mungkin juga menyukai