PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL
Ameilia Serlinur Latifa
Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta
Email: ameilianew917@gmail.com
Abstract
The development of students in a social and emotional context is becoming
increasingly relevant research in the world of education. In this case, students and the social
environment are of course very closely related. Because the environment also has a
significant impact on the development of a student's thinking, moral and emotional patterns.
The method used in this research is a qualitative method using studies in the form of books,
journals and previously existing scientific articles with relevant discussions. The research
results show that the social environment influences student development (Brofenbrenner)
and children's psychosocial development is influenced by developmental stages (Erikson).
These two theories can complement each other to help us understand student development,
and both relate that social interactions ranging from family, peers, or teachers are factors that
also influence student development. In essence, the social environment can also shape self-
development and moral development in students, where the social environment is a place
where students see and imitate what other people do. If students are able to correctly apply
what they learn in their social environment, then they will grow into moral students. So in
essence, success in student development requires support from people close to them, namely
people who interact with these students on a daily basis. The people in question are primarily
parents, caregivers and teachers, where these three things are someone who students trust
most in the truth for them to follow as an example.
Keywords: Students,Social Environment, Social Emotional Development.
Abstrak
Perkembangan pada peserta didik dalam konteks sosial dan emosional
menjadi penelitian yang semakin relevan dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini,
peserta didik dan lingkungan sosial tentu saja sangat berhubungan. Sebab
lingkungan juga memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan pola pikir,
moral serta emosional seorang peserta didik. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan kajian berupa buku,
jurnal, dan artikel ilmiah yang telah ada sebelumnya dengan pembahasan yang
relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial mempengaruhi
perkembangan peserta didik (Brofenbrenner) serta perkembangan psikososial anak
dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembangan (Erikson). Kedua teori ini dapat saling
melengkapi untuk membantu kita memahami perkembangan peserta didik, dan
keduanya mengaitkan bahwa interaksi sosial mulai dari keluarga, teman sebaya,
atau guru adalah faktor yang juga mempengaruhi perkembangan peserta didik.
Adapun lingkungan sosial pada hakikatnya juga dapat membentuk perkembangan
diri serta perkembangan moral pada peserta didik, dimana lingkungan sosial adalah
tempat peserta didik melihat dan meniru apa yang orang lain lakukan. Jika peserta
didik mampu menerapkan dengan benar mengenai apa yang mereka dapat di
lingkungan sosialnya, maka mereka akan tumbuh menjadi peserta didik yang
bermoral. Sehingga pada hakikatnya, keberhasilan dalam perkembangan pada
peserta didik perlu sokongan dari orang-orang yang dekat dengannya yaitu orang
yang kesehariannya menjalin interaksi dengan peserta didik tersebut. Orang yang
dimaksud adalah terutama orang tua, pengasuh dan guru, dimana ketiga hal ini
adalah seseorang yang menjadi paling dipercaya oleh peserta didik dalam
kebenaran untuk dapat mereka contoh.
Kata Kunci: Peserta didik, Lingkungan Sosial, Perkembangan Sosial Emosional.
Pendahuluan
Metode Penelitian
Peserta didik merupakan istilah yang tidak asing bagi masyarakat terlebih
bagi mereka yang bergelut pada dunia pendidikan. Istilah peserta didik memiliki
definisi yang beragam pada setiap kajiannya.
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa istilah peserta didik
merujuk pada seseorang yang aktif terlibat pada proses pendidikan pada suatu
institusi pendidikan tertentu, melalui pendidikan formal maupun non-formal
dimana peserta didik dapat berada di berbagai tingkat pendidikan mulai tingkat
prasekolah, pendidikan tinggi bahkan pendidikan sepanjang hayat. Peserta didik
dapat berbagai usia serta beragam latar belakang , namun pada hakikatnya mereka
memiliki tujuan yang sama dalam mengikuti pembelajaran yakni guna
meningkatkan pemahaman akan materi yang dipelajari dan mengembangkan
keterampilan serta potensi yang mereka miliki, bahkan proses pembelajaran dapat
1
(Djoko Sumanto, Sri Utaminingsih, Amelia haryanti, cetakan 1 2020. PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK.
Tangerang Selatan: UNPAM PRESS. Hal 18)
2
(Desmita, Psikologi Perkembangna Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012. Hal 39).
3
(Abu Ahmadi. 1991. Psikologi belajar. Jakarta:PT Rineka Cipta. Hal 251)
juga menjadikan alasan peserta didik untuk dapat mengenali jati diri mereka, yang
tanpa disadari proses belajar seseorang dapat membuka pikiran atau juga
membentuk kreativitas melalui motivasi dari seorang pendidik.
Perkembangan Sosio-Emosional
Di sisi lain, pengertian emosi menurut E. Mulyasa (2012) ialah keadaan atau
perasaan yang bergejolak dalam diri seseorang yang mana dirasakan secara sadar
serta diungkapkan lewat raut wajah atau perilaku, dengan fungsinya yaitu sebagai
inner adjustment (penyesuaian dari dalam) kepada lingkungannya untuk
memperoleh kesejahteraan serta keselamatan pribadi. 7 Sehingga, menurut Shapiro
(1999), kecerdasan emosional merupakan hal a yang perlu diajarkan sedini mungkin
supaya anak dapat menjadi pribadi yang dewasa, bertanggung jawab serta mampu
menyelesaikan masalah yang ia hadapi dalam kehidupannya. Disamping hal
tersebut, anak yang memiliki kecerdasan yang tinggi dalam emosionalnya akan
terlihat lebih bahagia, percaya diri dan berprestasi di sekolah. 8 Kecerdasan
emosional tersebut mempunyai dua peran penting. Pertama, peran substansi yaitu
berkaitan tentang bagaimana menjadikan anak dan kehidupannya menjadi lebih
manusiawi. Kedua, peran fungsional yaitu berkaitan dengan bagaimana
menggunakan kecerdasan emosional dalam kehidupan sehari-hari.
4
(Novi Mulyani 2014, Upaya Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini. Raushan Fikr, Vol
3 (2) hal 145)
5
(Farida Mayar, 2013, PerkembanganSosial Anak Usia Dini Sebagai Bibit Untuk Masa Depan Bangsa. Jurnal Al-
Ta’lim. Vol. 1 (6) hal 459)
6
Zainal Aqib. 2009. Belajar dan Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak. Bandung: CV.
Yrama Widya. Hal 40-41
7
Dewi Ginawati. 2017. Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini
melalui Metode Bermain Peran (Role Playing). STKIP Siliwangi Bandung
8
Nusa Putra dan Ninin Dwilestari. 2013. Penelitian Kualitatif Pendidikan Anak Usia Dini.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 50
Perkembangan sosial emosional menjadi salah satu ranah khusus terhadap
perkembangan anak. Dimana perkembangan sosio-emosional ini meliputi hal-hal
seperti memahami, mengatur, mengungkapkan emosi, membangun, memelihara,
serta mengembangkan ikatan yang sehat bersama teman sebayanya ataupun orang
dewasa. Perkembangan sosio-emosional mendasari keterlibatan peserta didik dalam
menjalankan tugas-tugas perkembangan lainnya. Perkembangan sosial emosional
berkaitan serta bergantung pada domain perkembangan-perkembangan yang lain.
Seperti peserta didik yang memiliki keterlambatan dalam perkembangan bahasa
atau peserta didik yang memiliki gangguan pada perkembangan sosial dan
mentalnya. Sehingga pada hakikatnya, perkembangan sosial emosional ini
berdampak pada pencapaian akademik serta kesehatan mental peserta didik. Meski
sering tidak disadari, perkembangan ini berpengaruh pada proses pesera didik
dalam melaksanakan kegiatan belajar.9
1. Mikrosistem
Sistem mikro merupakan sistem dimana lingkungan terkecil sebagai tempat
anak tersebut tinggal dan menghabiskan banyak waktu. Hal ini meliputi;
rumah sehari-hari, sekolah atau tempat untuk menitipkan anak, kelompok
kawan yang sebaya dan komunitas anak-anak. Dalam sistem mikro terdapat
9
Fadhilah Suralaga, PSIKOLOGI PENDIDIKAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN, (Depok: Rajawali Press, PT
Raja Grafindo Persada, cet-1 2021) hal 39-40
interaksi pribadi antara anggota keluarga, teman sekelas, guru atau
pengasuh. Cara individu lain atau kelompok tersebut melakukan interaksi
kepada anak akan mempengaruhi bagaimana anak tersebut tumbuh.
Begitupula, reaksi anak tersebut terhadap orang-orang yang tergolong pada
sistem mikro juga berpengaruh tentang bagaimana tindakan atau sikap yang
perlu diperlihatkan sebagai balasannya. Sehingga, interaksi serta hubungan
yang lebih menjaga dan mendukung dapat menyokong perkembangan anak-
anak menjadi lebih baik. Penemuan Urie Bronfenbrenner mengenai studi
terkait sistem ekologi berupa kemungkinan saudara kandung meskipun
memiliki sistem ekologi sama akan mengalami lingkungan yang berbeda.
Walaupun kedua saudara tersebut berasal dari mikrosistem yang sama,
kemungkinan perkembangan anak tersebut dapat juga berkembang dengan
cara yang berbeda. Kepribadian tertentu yang dimiliki oleh anak seperti
tempramen akibat pengaruh faktor genetik atau biologis yang unik, pada
dasarnya menjadi turut andil terhadap cara orang lain memperlakukan anak
tersebut.
2. Mesosistem
Mesosistem mencakup interaksi antar sistem mikro satu dengan mikro yang
lain. Hal ini melibatkan hubungan rumah dan sekolah, antara kelompok
sebaya dengan keluarga, dan antara keluarga dengan komunitas. Contohnya,
menurut teori Bronfenbrenner, kondisi dimana orang tua yang terlibat pada
pertemanan anaknya seperti mereka mengundang teman dari anak mereka
agar dapat menghabiskan waktu bersama di rumah mereka. Hal ini dapat
mempengaruhi perkembangan anak menjadi positif melihat terciptanya
keharmonisan serta kesamaan cara berpikir. Namun kondisi terbalik, orang
tua yang tidak senang terhadap teman anaknya, kemudian anak dan
temannya dikritik secara terbuka dapat membentuk anak yang mengalami
ketidakseimbangan serta memiliki konfllik emosi sehingga akan mengacu
pada perkembangan anak yang menjadi negatif.
3. Ekosiostem
Sistem ini merupakan sistem sosial yang lebih luas, anak tidak terlibat dalam
interaksi sosial tersebut secara langsung, akan tetapi hal tersebut tetap
mempengaruhi perkembangan pribadi anak. Urie Bronfenbrenner dalam
penemuannya, tempat serta orang yang tidak berinteraksi secara langsung di
depan anak, masih memungkinkan dalam mempengaruhi kehidupan anak.
Sub sistemnya termasuk tempat kerja orang tua, anggota keluarga besar,
lingkungan anak-anak tinggal. Contohnya pada kondisi seorang ayah yang
tidak mendapat promosi dan diacuhkan oleh atasan di tempat kerjanya dapat
memungkinkan ayah tersebut melampiaskan kekesalannya terhadap anaknya
kemudian menganiaya anaknya ketika di rumah.
4. Makrosistem
Sistem makro merupakan sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Sistem
ekologi meliputi pola serta nilai budaya anak-anak, khususnya agama serta
gagasan dominan mereka, serta sistem politik dan ekonomi. Contohnya, anak
yang tinggal di daerah yang dilanda perang, maka jenis perkembangannya
akan berbeda dengan anak-anak yang tinggal di lingkungan yang damai.
5. Kronosistem
Brofenbrenner menganjurkan, kronosistem meningkatkan dimensi waktu
yang berguna, dimana itu menunjukkan pengaruh perubahan serta
keteguhan di lingkungan anak-anak tinggal. Maksudnya, kronosistem
menyoroti peran waktu yang mempengaruhi perubahan serta perkembangan
individu. Kronosistem bisa meliputi perubahan struktur keluarga, alamat,
status pekerjaan orang tua, dan perubahan besar masyarakat seperti siklus
ekonomi dan perang.
11
Emi Fahrudi, JURNAL PENDIDIKAN AKHLAKUL KARIMAH BERBASIS KARAKTER MELALUI PENDEKATAN TEORI
EKOLOGI BRONFENBRENNER, Premiere Vol 3 No 2 th 2021 hal 43-50
lingkungan yang tidak terkendali dapat membuahkan anak tersebut memiliki
rasa malu dan selalu meragukan kemampuan diri mereka dalam mengurus
dirinya. Adapun yang dimaksud dalam keterampilan anak pada usia-usia ini
ialah seperti kemampuan mengenakan pakaian, memilih makanan,
permainan toilet training, menyikat gigi, atau keterampilan fisik berupa berlari
atau melompat.
3. Tahap inisiatif vs rasa bersalah (usia 4 tahun)
Tahap perkembangan psikososial yang ketiga terjadi selama anak menginjak
usia prasekolah. Tahap ini anak belajar berinteraksi sosial terhadap anak yang
lain atau anak tersebut melakukan aktivitas bermain bersama dengan teman-
temannya. Tahap ini, anak juga mulai banyak bertanya. Apabila tahap ini
berhasil, anak dapat lebih inisiatif serta mereka dapat merasa bisa memimpin
orang lain. Tetapi bagi yang gagal sebab mereka menjadi anak yang terlalu
dikendalikan, atau pertanyaan mereka yang dibuat seakan mengganggu
dapat menjadikan anak tersebut memiliki sikap ragu atas dirinya, menutup
diri serta minim inisiatif karena merasa kurang diterima.
4. Tahap industry vs inferiority/ ketekunan vs rendah diri (5-12 tahun)
Dengan berinteraksi terhadap sosial, anak mulai mengembangkan rasa
bangga atas kemampuan dan prestasi yang dimiliki. Pada masa ini, anak
perlu mengatasi tuntutan sosial serta akademik yang baru. Bila berhasil
melewati tahap ini, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tekun dan
memiliki rasa kompetensi yang baik. Sebaliknya, apabila tidak berhasil anak
dapat tumbuh menjadi anak yang selalu merasa rendah atas dirinya.
5. Tahap identity vs confusion/ identitas vs kebingungan (usia 12-18 tahun)
Tahap ini memiliki peran yang cukup penting dalam mengembangkan rasa
identitas yang melekat pada diri mereka, dimana hal itu akan mempengaruhi
perilaku perkembangan selama sisa hidup mereka. Seseorang yang mendapat
sokongan serta kekuatan yang tepat melalui eksplorasi pribadi akan
mempunyai identitas diri yang kuat, rasa mandiri serta kemampuan
menerapkan kontrol. Akan tetapi jika tidak berhasil melalui tahap ini, anak
dapa tumbuh dengan rasa tidak aman serta kebingungan terhadap dirinya
dan masa depan mereka.
6. Keintiman vs Isolasi (usia 18-40 tahun)
Tahap ini mencakup fase awal seseorang dewasa saat mengeksplorasi
hubungan dirinya dengan orang lain. Usia ini, seseorang perlu menciptakan
ikatan yang intim dan penuh kasih terhadap orang lain. Keberhasilan
seseorang oada tahap ini akan mengarah pada seseorang yang memiliki
hubungan yang kuat. Di balik itu seseorang yang gagal akan memiliki rasa
kesepian serta isolasi.
7. Generativitas vs stagnasi (usia 40-65 tahun)
Pada tahap ini seseorang kembali menentukan prioritas di hidup mereka.
Seperti prioritas membesarkan anaknya, produktif di tempat kerjanya atau
juga aktif dalam kegiatan organisasi di masyarakat. Berhasilnya tahap ini
dapat membentuk seseorang memiliki perasaan bahwa mereka berguna dan
mempunyai rasa atas pencapaian. Namun, kegagalan membuahkan perasaan
tidak produktif serta merasa tidak terlibat di dunia.
8. Tahap integritas vs keputusasaan (usia lebih dari 66 tahun)
Terakhir dalam tahap Erikson terjadi pada usia lebih dari 66 tahun dan
berlanjut selama sisa hidupnya. Tahap ini sseorang akan merefleksikan
kehidupan mereka serta pencapaian mereka. Mereka juga menerima
kenyataan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak dapt dihindari.
Menurut Erikson ketidak produktifan seseorang atau perasaan bersalah
seseorang terhadap sesuatu yang terjadi di masa lalu dapat menimbulkan
keputus asaan, namun seseorang yang berhasil pada tahap ini akan memiliki
perasaan yang puas serta merasa bahwa mereka telah menjadi bijaksana.12
Kedua teori di atas dapat dipahami bahwa lingkungan, keluarga, adat di suatu
daerah berpengaruh pada perkembangan sosial emosional anak dalam mendorong
mereka membentuk tindakan untuk mengerjakan sesuatu dalam kemajuan atau
kemunduran yang akan mereka ciptakan pada kehidupan mereka sendiri. Sehingga
peran diri sendiri yang kuat dalam perkembangannya akan membawa
keberuntungan yang dapat dirasakan di hari tua, sebaliknya peran diri sendiri yang
lemah dalam proses perkembangannya, akan membawa rasa penyesalan serta
keputus asaan di hari tua mereka.
12
Nurul Aulia Ahmad, 2022, 8 Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Teori Erik Erikson, Mulai dari Bsyi
hingga Lansia, https://www.orami.co.id/magazine/perkembangan-psikososial, diakses pada Jum’at 29
September 2023 pukul 21.59 WIB
13
Dina Khairah, Jurnal Assesmen Perkembangan Sosio-emosional Anak Usia Dini, Al Athfal, Vol 1, N o 1, Juli-
Desember, 2018. Hal 7
Kedua teori di atas dianggap komprehensif pada pembahasannya tentang
konteks sosial yang menjadi tempat anak berkembang (Brofenbrenner) serta
perubahan yang terjadi pada anak dalam perkembangan sosial emosional anak
(Erikson).14
Perkembangan Moral
14
Jhon W Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua diterjemahkan Educational Psychology, 2
Edition McGraw Hill Company, Inc, terj. Tri Wibowo Bs, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 84
Dengan merasakan emosi positif misalnya perasaan syukur serta terimakasih
atas sesuatu, atau merasakan emosi negatif misalnya perasaan bersalah atau
malu adalah hal pokok di dalam perkembangan moral, sedangkan perasaan
seperti simpati serta empati adalah hal yang mendasari perkembanga
perilaku prososial anak. Sehingga untuk mendukung perkembangan moral
pada pesera didik, diperlukan pendidik untuk dapat memupuk dasar-dasar
perkembangan moral serta prososial peserta didik agar mereka dapat tumbuh
menjadi seseorang yang memiliki moral serta prososial yang baik.15
Terdapat tiga dimensi pada aspek pengembangan diri yang bisa diamati serta
diintervensi pada proses pendidikan serta pembelajaran yaitu:
15
Fadhilah Suralaga, PSIKOLOGI PENDIDIKAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN, (Depok: Rajawali Press, PT
Raja Grafindo Persada, cet-1 2021) hal 52-53
16
PPM School of Management, Manfaat Pengembangan Diri, https://ppmschool.ac.id/manfaat-
pengembangan-diri/, 2023 diakses pada Minggu 1 Oktober 2023 pukul 10.48 WIB
pembelajarannya dengan cara memberikan umpan positif terhadap perilaku
dan proses belajar setiap peserta didik yang terkait.
2. Harga diri (Self esteem)
Harga diri dan konsep diri merupakan konsep yang berdekatan. Secara
teoritis konsep diri dan harga diri merupakan dua cara yang berbeda dalam
mengevaluasi diri. Dalam konsep diri, seseorang menciptakan penilaian
deskriptif dan kognitif (dimana telah dipikirkan secara mendalam) terkait
kompetensi dalam domain ykhusus pada kehidupannya. Misalkan: “saya
pandai menulis cerita”, sedang harga diri merupakan penilaian yang bersifat
evaluasi atau afektif (berhubungan dengan mood, perasaan atau sikap)
mengenai wilayah kehidupan seseorang tersebut (“saya senang katika
menulis cerita”). Baik konsep atau harga diri ini dipengaruhi oleh
keberhasilan pribadi, serta dipengaruhi oleh penghargaan orang lain
terutama orang tua dan guru. Harga diri tinggi yang dimiliki, akan membuat
anak tersebut lebih mudah untuk dapat meraih keberhasilan selanjutnya.
3. Keyakinan diri (self efficiacy)
Berkaitan pada kepercayaan seseorang terkait kemampuan mereka untuk
berhasil dalam melakukan pekerjaan. Keyakinan diri menurut Bandura (1997)
mempengaruhi tentang bagaimana individu merasa, berpikir, serta bertindak.
Seseorang dapat memiliki self efficiacy dalam hal olahraga namun self efficiacy-
nya rendah dalam sains atau matematika. Dimensi ini berdasar pada konsep
human agency (hak manusia dalam memilih), bahwa seseorang dapat sengaja
mempengaruhi, mengontrol, dan mengarahkan tindakan untuk membuat
sesuatu dapat terjadi. Melalui kepercayaan bahwa seseorang bisa mengontrol
tindakan kita serta berhasil melaksanakan pekerjaan, maka self efficiacy akan
muncul. Adapun empat faktor yang membentuk dimensi ini;
1. Memiliki pengalaman pencapaian yang aktif: pengalaman keberhasilan
dalam melakukan pekerjaan akan membentuk perasaan sukses yang
nantinya akan memberikan seseorang tersebut sikap mampu
melakukan dan menghadapi setiap pekerjaan yang akan datang di
masa depan. Namun, pengalaman kegagalan dalam suatu pekerjaan
akan mengurangi perasaan seperti ini.
2. Pengalaman orang lain: melihat pengalaman keberhasilan yang
dilakukan orang lain dapat memunculkan kepercayaan seseorang
bahwa apabila orang lain bisa melakukan pekerjaan tersebut maka
kitapun juga bisa. Ini paling kuat apabila pelakunya adalah seseorang
yang berhubungan dengan individu tersebut seperti teman.
3. Persuasi verbal: umpan balik yang diberikan seseorang memiliki
kekuatan persuasi yang baik, namun hal ini perlu dilakukan dengan
hati-hati serta realistis disesuaikan dengan kapabilitas individu.
4. Kondisi afektif dan psikologis seseorang: perasaan stres dan gelisah
memberikan iinformasi penting terhadap kepercayaan diri, dimana
perasaan atau reaksi yang kuat merupakan suatu petunjuk terkait
perasaan individu melakukan pekerjaan, apakah pekerjaan tersebut
nanti akan sukses atau gagal.
Agar dapat membangun keyakinan diri yang kuat pada peserta didik,
seorang pendidik baik orang tua atau guru perlu memberi umpan balik
positif kepada setiap anak serta hasil belajar yang didapat oleh anak, tahap
demi tahap. Peserta didik perlu diberikan pengalaman keberhasilan
pencapaian serta tujuan belajar mulai dari yang terendah atau tugas
sederhana sampai ke tahap yang tinggi. Bila kepercayaan atau keyakinan
pada diri anak sudah meningkat, barulah mereka dapat diberikan tugas yang
lebih berat serta menantang. Sehingga perlakuan bijaksana dan sabar dari
orang tua dan guru yang efektif dapat mendukung perkembangan tiga self
anak sekaligus.17
17
Fadhilah Suralaga, PSIKOLOGI PENDIDIKAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN, (Depok: Rajawali Press, PT
Raja Grafindo Persada, cet-1 2021) hal 52-56
Kesimpulan
Hubungan antara peserta didik dalam konteks sosial memiliki dampak yang
signifikan terhadap perkembangan sosial-emosional mereka. Interaksi positif
dengan teman sebaya dan lingkungan sosial yang mendukung dapat meningkatkan
keterampilan sosial dan perkembangan emosional peserta didik. Teori Ekologi
Bronfenbrenner serta Teori Erikson dapat dijadikan dasar untuk kita dapat
memahami pengetahuan terkait perkembangan peserta didik. Teori Ekologi
Bronfenbrenner menekankan pentingnya berbagai tingkat lingkungan yang
mempengaruhi individu, mulai dari mikro lingkungan (keluarga, teman, sekolah)
hingga makro lingkungan (budaya, masyarakat). Sementara itu, Teori Life Span
Erikson fokus pada tahapan perkembangan sosio-emosional sepanjang siklus hidup
individu, dengan menyoroti konflik dan pencapaian kunci pada setiap tahapnya.
Dalam upaya pengembangan ini ditekankan bahwa pendidik memegang peran
penting dalam membentuk hubungan sosial peserta didik. Baik orang tua atau guru
memiliki peran yang krusial dalam menciptakan lingkungan yang mendukung
perkembangan sosial-emosional anak-anak. Disamping itu, diperlukan perhatian
khusus terhadap peserta didik yang mungkin mengalami masalah dalam hubungan
sosial mereka. Intervensi yang tepat dapat membantu mereka mengatasi kesulitan
sosial dan emosional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nurul Aulia. 2022. 8 Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Teori Erik
Erikson, Mulai dari Bayi hingga Lansia.
https://www.orami.co.id/magazine/perkembangan-psikososial. Diakses pada
Jum’at 29 September 2023 pukul 21.59 WIB.
Aqib, Zainal. 2009. Belajar dan Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak. Bandung: CV.
Yrama Widya.
Mayar, Farida. 2013. PerkembanganSosial Anak Usia Dini Sebagai Bibit Untuk Masa
Depan Bangsa. Jurnal Al-Ta’lim. Vol. 1 (6)
Putra, Nusa dan Ninin Dwilestari. 2013. Penelitian Kualitatif Pendidikan Anak Usia
Dini. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.