Anda di halaman 1dari 3

PERLOMBAAN

BAB l
Hari Perlombaan
Di kota kecil yang terik, cahaya matahari menusuk kulit, namun sentuhan angin yang sepoi
memberikan semangat pada diriku. Dengan tekad bulat, aku menggiring bola panas di
lapangan yang sedeharna, berharap untuk menciptakan keajaiban di tengah-sengit
pertandingan.

Namun, seperti bayangan di tengah panasnya sinar mentari, musuh pemain tiba-tiba
muncul, menghalangi jalanku menuju gawang. Saat itulah, seperti malaikat penjaga, rekan
setimku, Ahmad, muncul di sisi lapangan. Dia mengisyaratkan untuk mengoper bola
padanya dengan senyuman penuh keyakinan.

Tanpa ragu, aku memberikan umpan ke Ahmad. Dia menerima bola dengan gemilang,
menggiringnya melewati musuh seperti air yang melibas bebatuan. Adrenalin memenuhi
lapangan saat Abdul mendekati gawang lawan. Dengan tembakan yang penuh keanggu
nan, bola meluncur ke gawang, dan sukses!

Tim kami berhasil memasuki final dan besok adalah perlombaan final. Saya, Ahmad, dan
rekan tim yang lain tidak sabar untuk masuk perlombaan, dikarenakan ini adalah
pencapaian prestasi yang kami banggakan

Saat perjalanan saya dan Ahmad berbincangan tentang perlombaan final. Suasana semakin
akrab, dan Ahmad menyatakan rasa syukurnya karena menjadi bagian dari tim ini. Ahmad
mengungkapkan betapa pentingnya perlombaan ini baginya.

Dia mempunyai impian besar, bahwa perlombaan ini bukan hanya tentang meraih gelar
juara, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam perjalanan prestasinya. Ahmad berjanji
akan berjuang untuk mencapai prestasi lebih tinggi, bahkan bermimpi menjadi pemain
profesional yang bermain di luar negeri agar negaranya dipandang sebagai negara yang
merdeka.

Setelah berpisah dengan Ahmad di jalan, saya melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Sampai di rumah, saya disambut hangat oleh bapak dan ibu. Ibu saya dengan lembut
menyuruh saya mandi karena melihat badan saya terlihat kotor setelah pertandingan.
Setelah mandi, saya melaksanakan shalat magrib dan bersama keluarga makan malam
walau sedeharna.

Bapak saya, bertanya tentang perlombaan tadi sore. Dengan bangga, saya menceritakan
setiap momen dan prestasi tim kami. Bapak saya tersenyum bangga mendengarkan cerita
tersebut. Setelah semuanya selesai, saya merasakan kelelahan dan memutuskan untuk
istirahat dan tertidur.

Bangun dari tidur, semangat membara menyala di setiap sel-selku, siap menyongsong
perlombaan final yang penuh makna. ketika saya pamit pada ibu, ketegangan menyelinap
dalam senyumnya.
namun saat pertengahan jalan menuju ke lapangan, keheningan terganggu oleh suara yang
begitu keras sehingga merobek ruang dan waktu. Suara itu, seperti dentuman semesta,
membuat hatiku bergetar dan ketakutan merasuk dalam setiap serat. Tiba-tiba ada suara
ledakan yang sangat bising membuat gendang telinga saya pecah, dan saya tersadar roket
misil dari negara seberang muncul dalam cahaya langit, menghentakkan dunia kita dengan
ledakan yang menghancurkan, memulai kembali perlombaan yang penuh kehancuran dan
ketidakpastian.

BAB II
Perlombaan Dimulai
Saat suara ledakan roket yang menggema menghantam langit, reflek ku membawa langkah-
langkah panik menuju perlindungan. Keberuntungan membawa saya ke sebuah bunker,
tempat di mana para warga berhimpun mencari keselamatan dari ancaman yang
mencekam.

Dalam kegelapan bunker, bulu kuduk saya tegang, dan ketakutan merajalela di setiap sudut
hati saya. Suara ledakan demi ledakan menyatu, menciptakan simfoni kekhawatiran yang
menggema di dinding-dinding dingin tempat perlindungan. Terdiam, tidak tahu harus berbuat
apa, saya bersama masyarakat lain berbagi kegelisahan di bawah naungan yang rapuh.

Sudah beberapa jam perang melanda di atas sana. Pikiran saya tidak lagi terpaku pada
perlombaan, melainkan terhanyut dalam kekhawatiran untuk keluarga dan teman-teman
saya. Dalam ketidakpastian yang merayap, doa-doaku kepada Allah SWT. bergema di
dalam hati, memohon keselamatan bagi mereka yang tersayang. Setiap detik berlalu seolah
memanjangkan rasa cemas, dan saya hanya bisa berharap agar langit memberikan
perlindungan kepada orang-orang yang saya cintai.

Setelah beberapa jam di dalam bunker, para pejuang pasukan akhirnya memberitahu bahwa
keadaan di atas sudah aman. Saat saya keluar dari bunker, kaget dan sedih menyergap
saya ketika melihat perumahan-perumahan hancur, tumpukan mayat, dan darah terciprat di
jalanan. Pemandangan yang mencekam itu menciptakan rasa takut yang mendalam.

Dengan hati yang berdebar, saya memutuskan untuk berlari menuju rumah, mencari
keluarga dengan harapan yang gemetar di hati. Jalanan yang dulu ramai dan hangat kini
menjadi saksi bisu kehancuran, dan langkah-langkah saya di tengah reruntuhan
mencerminkan keputusasaan dan ketidakpastian.

Saat saya tiba di rumah, yang saya temui bukanlah rumah yang dulu, melainkan reruntuhan
dan puing-puing yang tidak bersisa. Tanpa daya, saya hanya bisa berlutut di antara
kehancuran itu, meratapi kehilangan dengan tangisan putus asa. Dalam kehampaan yang
menyergap, tanpa tujuan yang jelas, saya memutuskan untuk pergi ke lapangan,
meninggalkan belakang sejarah keluarga dan rumah yang telah hilang

Dengan perasaan ketakutan dan sedih, saya melangkah menuju lapangan, perjalanan yang
membalut emosi dari semangat hingga kesedihan. Saat melihat warga lain, saya menyadari
bahwa kehilangan melanda banyak keluarga, rumah dan orang yang mereka cintai.
Sampai di lapangan, kekagetan melanda saya. Lapangan yang dulu dipenuhi tawa dan
keceriaan sekarang menjadi tempat peristirahatan bagi para korban konflik. Pemandangan
mencekam mengejutkan saya ketika melihat mayat yang sudah di kafan.

Dalam keheningan yang terputus, saya melihat kafan yang menyelimuti salah satu mayat
dan kaget menemukan nama Ahmad di atasnya. Saya berlutut, hati hancur, dan air mata tak
terbendung karena merasa tidak rela kepergian teman saya. Lapangan yang dulu
menyaksikan kisah kebahagiaan sepak bola kami, kini menjadi tempat perpisahan yang
menyayat hati. Perlombaan yang menyakitkan, bukan lagi tentang piala atau kemenangan,
melainkan tentang kehilangan yang memilukan.

BAB III
Ahkir dari perlombaan?

Setelah beberapa hari berada di kamp pengungsi, perang yang terus berlanjut
meninggalkan saya merasa hampa. Rasa kekosongan masih menyelimuti pikiran, dan
kehilangan keluarga serta teman-teman membuat hati ini terasa sangat sepi. Saya
terombang-ambing tanpa arah, tak tahu harus melakukan apa selanjutnya.

Namun, dalam kesunyian yang penuh pertanyaan, teringatlah perkataan Ahmad. Ia bercita-
cita untuk memerdekakan negaranya dengan mengejar impiannya. Namun negara lain tidak
mau mengakui negara kami Karena mereka hanya ingin merebut “tanah yang dijanjikan,”
Ahmad memaafkan saya sebagai teman yang buruk. Dengan tekad yang baru, saya
memutuskan untuk bergabung dengan pasukan pejuang dan ikut serta dalam upaya
memerdekakan negara ini. Inilah perlombaan sesungguhnya, di mana tekad dan semangat
Ahmad menjadi pendorong utama dalam langkah-langkah saya selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai