Anda di halaman 1dari 19

Jejak Penyebaran Islam Kampung Adat Dukuh

Oleh Arief Permadi1

Abstrak

Di tengah gempuran perubahan dalam era globalisasi yang sulit dihindari, masyarakat di
Kampung Dukuh, Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, tetap kokoh
mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang mereka yang kental dengan
pengaruh ajaran Islam. Makalah ini mengulas jejak penyebaran Islam di kampung tersebut:
bagaimana Islam sampai di sana, terus bertahan, dan mewarnai sendi-sendi kehidupan
masyarakatnya.

Kata kunci: kampong adat, dukuh, islam

Pendahuluan
Arus globalisasi mempengaruhi hampir semua sendi kehidupan masyarakat.
Namun,seperti di kampung-kampung adat lainnya yang ada di Jawa Barat, di Kampung Adat
Dukuh, Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, waktu seperti berhenti
berputar. Di Kampung Dukuh rumah-rumah masih berdinding bilik dan beratap ijuk. Baunya
khas, bercampur asap yang sesekali tercium terbawa angin dari hawu di rumah-rumah warga.
Penduduk di Kampung Dukuh Tonggoh, sebagian warga menyebutnya Kampung
Dukuh Dalam, juga masih menggunakan perkakas-perkakas serupa yang digunakan leluhur
mereka saat membangun kampung ini sekitar tahun 1700-an. Seeng,aseupan, cecempeh,
boboko, dan nyiru, yang sudah jarang terlihat di perkotaan, masih dengan mudah ditemukan
di Kampung Dukuh. Begitu juga alat-alat lainnya seperti tetenong, jojodog,, dan lain-lain.
Warga di Kampung Dukuh juga masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan
yang relegio magis2, di mana di dalamnya juga terdapat banyak pantangan. Namun, di sisi
lain, adat istiadat dan budaya masyarakat di sana juga sangat kental dengan pengaruh ajaran
Islam. Inilah yang kemudian membuat kami tertarik melakukan penelusuran, merangkai jejak
penyebaran Islam di kampung tersebut, termasuk bagaimana Islam berkembang dan bertahan
dan terus mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat Kampung Dukuh.
1
Para penulis yang berpartisipasi bisa dilihat di Lampiran
2
Religio magis (senantiasa dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib) adalah salah satu dari
sejumlah ciri historiografi tradisional. Ciri lainnya adalah religio sentris (berpusat pada raja atau keluarga raja),
raja atau pemimpin dianggap punya kekuatan gaib, feodalistis aristoktatis dan regio sentris (kedaerahan).

1|Page
Gambaran Umum Kampung Dukuh
Secara administratif, Kampung Dukuh terletak di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet,
Kabupaten Garut. Lokasinya berada di lereng Gunung Dukuh. Wilayah kampung ini berada
di antara dua aliran sungai, yakni Sungai Cimangke dan Sungai Cipasarangan. Terletak di
antara tiga gunung, yakni Gunung Batu Cupak, Gunung Dukuh, dan Gunung Batu.
Di sebelah utara, Kampung Dukuh bebatasan dengan Desa Talagawangi. Di sebelah
barat berbatasan dengan Desa Kertamukti dan Cigadog, sementara di sebelah timur
berbatasan dengan Desa Lingga Manik dan Cikelet. Di sebelah selatan Kampung Dukuh
membentang Samudera Indonesia yang luas.
Secara keseluruhan luas Kampung Dukuh mencapai sekitar 10 hektare. Tujuh hektare
di antaranya adalah Kampung Dukuh Landeuh, yang juga disebut Kampung Dukuh Luar.
Kampung Dukuh Tonggoh menempati wilayah sekitar satu hektare. Dua hektare lainnya
terbagi lagi menjadi beberapa bagian berdasarkan fungsinya. Yakni lahan produksi dan lahan
kosong, yang kemudian juga dikenal sebagai tanah cadangan, serta kawasan di mana makam
Syekh Abdul Jalil, pendiri Kampung Dukuh, berada yang dikenal sebagai tanah karomah..
Berada di ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut, Kampung Dukuh
berjarak sekitar 100 kilometer ke arah selatan dari pusat Kabupaten Garut. Jarak dari Cikelet
kira-kira 15 kilometer, sementara dari Jalan Raya Cikelet hingga ke batas Kampung
Dukuh,jaraknya hanya sekitar delapan kilometer.
Meski jaraknya hanya delapan kilometer, perlu waktu hingga dua jam untuk mencapai
batas Kampung Dukuh dengan menggunakan kendaraan roda empat. Tapi, itu pun
tergantung siapa yang berada di belakang kemudi. Mereka yang ahli dan sudah terbiasa
melewati jalur ini bisa menempuhnya hanya dalam satu atau satu jam setengah perjalanan.
Sekalipun kondisi jalan dari Jalan Raya Cikelet menuju Kampung Dukuh sebagian
besar sudah beraspal mulus, tak semua kendaraan bisa bisa dipakai untuk mencapai Kampung
Dukuh. Di beberapa bagian antara Jalan raya Cikelet dan batas kampung Dukuh, kondisi
jalan masih sangat buruk. Hanya truk dan kol dolak yang disopiri oleh sopir yang ahli yang
bisa melewatinya. Kol dolak adalah mobil Mitsubishi Coltbak terbuka yang sudah
dimodifikasi agar bisa mengangkut penumpang dan sanggup melewati medan terjal berbatu.
Mobil ini menjadi angkutan umum yang kerap dipergunakan warga Kampung Dukuh,
terutama warga Kampung Dukuh Luar untuk bepergian ke luar kampung. Ada juga elf
jurusan Garut-Cikelet yang masuk hingga ke batas Kampung Dukuh, tapi jarang, hanya
sesekali.

2|Page
Hutan jati milik Perhutani berada di sisi kiri dan kanan jalan di hampir sepanjang
delapan kilometer menuju Kampung Dukuh. Sesekali juga padi huma yang tersebar dalam
petak-petak kecil tak beraturan dan jarang juga terlihat di antara hutan jati. Di sepanjang
jalan juga terdapat beberapa sungai kecil yang airnya dingin dan berwarna sedikit keputihan.
Warna air ini serupa dengan warna air di mata air yang ada di Kampung Dukuh Tonggoh.
Kampung Dukuh Landeuh adalah lokasi yang akan terlewati saat menuju Kampung
Dukuh Tonggoh. Di Kampung Dukuh Landeuh, pengaruh luar sudah banyak mempengaruhi
adat istiadatnya. Meski dinding kayu dan bilik masih mendominasi rumah-rumah di
Kampung Dukuh Landeuh, sebagian warga di Dukuh Landeuh sudah menggunakan tembok
untuk membangun rumah dan genting sebagai atapnya.
Aliran listrik juga sudah masuk di Dukuh Landeuh. Begitu pula peralatan elektronik
seperti lampu, radio, televisi, bahkan parabola.

PARABOLA- Aliran listrik bahkan parabla sudah masuk ke Kampung Dukuh


Landeuh.

Di Kampung Dukuh Landeuh juga sudah terdapat sejumlah warung yang menjual
berbagai kebutuhan warga. Para pedagang dari luar juga kerap berkeliling di Dukuh Landeuh.
Jualannya beragam, mulai dari bakso tusuk yang dibumbui saus tomat dan kecap hingga es
krim aneka rasa yang menggiurkan.
Meski demikian, tingkat kepercayaan warga kepada kuncen masih sangat tinggi.
Begitu pula ketaatan mereka, terutama terhadap apa yang boleh dan tidak boleh mereka
lakukan sebagai warga Kampung Dukuh.

3|Page
Sebelum terbakar untuk keempatkalinya tahun 2011, jumlah bangunan di Kampung
Dukuh Tonggoh sebanyak 42 tonggak, terdiri dari 40 rumah, satu masjid dan satu madrasah.
Jumlah penduduk di sana ketika itu 172 orang. Jumlah ini menyusut setelah kebakaran.
Setelah terbakar, jumlah semua bangunan di Dukuh Tonggoh menjadi 38 tonggak
termasuk satu masjid dan satu madrasah. Ke-36 bangunan rumah itu didiami 36 kepala
keluarga. Jumlah yang tinggal tak lebih dari 165 jiwa dan sebagian besar kepala keluarganya
bekerja sebagai petani.
Kebakaran tahun itu tak hanya menghabiskan bangunan dan harta benda penduduk.
Kebakaran juga membuat barang-barang pusaka milik masyarakat Kampung Dukuh,
termasuk sejumlah catatan lama, hangus.
Sama seperti di Kampung Adat Baduy Dalam di Banten, jumlah keluarga yang tinggal
di Kampung Adat Dukuh Tonggoh juga tak boleh lebih dari 40. Jika jumlah keluarga sudah
mencapai batas yang ditentukan, maka sebagian akan pindah ke Kampung Dukuh Landeuh
hingga jumlahnya tetap 40 keluarga, atau kurang.
Selain menjadi jalan keluar untuk mempertahankan jumlah keluarga yang tinggal di
Dukuh Tonggoh, keberadaan Kampung Dukuh Luar juga menjadi “tameng” sekaligus solusi
warga Dukuh Tonggoh dalam menjaga kemunian adat istiadatnya.
Kampung Dukuh Luar juga menjadi “jembatan” warga Dukuh Tonggoh berinteraksi
dengan “dunia luar” terutama dalam hal jual-beli. Jual-beli masih dianggap tabu dilakukan
di Dukuh Dalam dan semua transaksi dilakukan secara barter, atau dalam istilah warga
Kampung Dukuh dengan nukeuran.
Penduduk Kampung Dukuh dari tahun ke tahun memang relatif berkurang. Beberapa
faktor menjadi penyebab. Pertama akibat perkawinan dengan anggota masyarakat Kampung
Dukuh yang tinggal di luar Kampung Dukuh, atau dengan masyarakat lain. Kedua karena
alasan ekonomi, sehingga dengan pertimbangan yang lebih praktis, mereka memilih tinggal
di luar Kampung Dukuh sebagai tempat usahanya. Ketiga, ketika terjadi pernikahan antara
muda-mudi dari kampung ini bisa jadi pasangan tersebut harus keluar dari Kampung Dukuh
karena tidak tersedianya tempat tinggal (rumah). Rumah di Kampung Dukuh jumlahnya
selalu diperhatikan, yaitu tidak boleh melebihi batas tanah suci Kampung Dukuh. Mereka
bisa membangun rumah di luar kampung Dukuh Luar atau di daerah lainnya.
Hingga 2012, jumlah penduduk Kampung Adat Dukuh mencapai sekitar 500. Kurang
darii sepertiganya tinggal di Kampung Dukuh Tonggoh.
Lahan di Kampung Dukuh yang subur membuat mayoritas warganya, terutama di
Kampung Dukuh Tonggoh, bekerja sebagai petani. Suburnya tanah terlihat dari aneka

4|Page
tanaman yang tumbuh dengan baik terlihat di sisi kiri dan kanan jalan menuju ke Dukuh
Dalam. Suburnya tanah di sana juga membuat warga di sana tak pernah mengalami gagal
panen sekalipun pola dan cara mereka bertani atau berkebun masih tradisional.
Dalam kesehariannya, masyarakat di Kampung Dukuh menggunakan bahasa Sunda.
Ini bisa dipahami karena letak geografisnya, yakni daerah Kampung Dukuh berada atau
termasuk pada daerah kawasan Provinsi Jawa Barat yang mayoritas masyarakatnya berbahasa
daerah Sunda.
Meski bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Sunda, tak sedikit masyarakat Dukuh
yang fasih menggunakan Bahasa Indonesia. Bahkan, saat menerima rombongan, Minggu 12
November 2017, berulangkali Kuncen Mama Uluk terdengar melakukan codeswitching yakni
mencampurkan beberapa kata bahasa Indonesia dalam percakapnnya.
Misalnya, ia kerap menyebut kata “seperti”. Sempat juga terdengar ia menyebut kata
“reformasi”. Sesekali, ia juga terdengar menuturkan kalimat, “Dilarang hidup mewah”. Sekali
waktu ia juga terdengar mengatakan, “PNS ulah ziarah ka makam” (PNS dilarang berziarah
ke makam).
Meski dalam percakapan sehari-hari codeswitching kerap dilakukan, dalam upacara-
upacara ritual, terutama saat berdoa, bahasa tutur yang digunakan masih sepenuhnya dalam
bahasa Sunda. Tak jarang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Sunda buhun (lama) yang
beberapa kosa kata yang sudah sangat jarang didengar.

Sejarah Kampung Dukuh


Jejak Islam di Kampung Dukuh, tak lepas dari nama Syekh Abdul Jalil, seorang
pemuka agama asal Sumedang. Warga Kampung Dukuh percaya, Syekh Abdul Jalil adalah
orang yang mendirikan Kampung Dukuh dan menyebarkan Islam di sana.
Selain sebagai pemuka agama, keturunan Sumedang, nyaris tak ada keterangan lain tentang
siapa sebenarnya Syekh Abdul Jalil ini. Kisah tentang Syekh Abdul Jalil yang tercatat
maupun yang tersebar dari mulut ke mulut semuanya merujuk pada cerita yang dimulai pada
abad 17, tak lama setelah Syekh Abdul Jalil mendirikan padepokan di Mataram sepulang
menuntut ilmu tentang agama Islam di Mekah.
Saat itu, Sumedang, yang masih berada di bawah kekuasaan Mataram, baru saja
kehilangan hakim yang juga bertindak sebagai pemuka agama Islam sekaligus penghulu.
Untuk mengisi kekosongan jabatan itu, Bupati Sumedang, Rangga Gempol II, meminta
petunjuk kepada Raja Mataram. Respons dari permintaan itu, Raja Mataram pun menunjuk
Syekh Abdul Jalil mengisi jabatan tersebut.

5|Page
Mendapat perintah itu, Syekh Abdul Jalil menerima, tapi dengan syarat. Pertama,
bupati dan rakyatnya harus menyatu. Kedua, tak boleh ada pelanggaran hukum syara’ seperti
membunuh, berzina, merampok dan sebagainya. Jika salah satu dari kedua syarat itu
dilanggar maka Syekh Abdul Jalil akan mengundurkan diri dari jabatan penghulu/kepala
agama. Syarat itu disetujui hingga akhirnya Syekh Abdul Jalil pun menjabat sebagai
Penghulu Sumedang.
Selang beberapa tahun setelah menjabat, Syekh Abdul Jalil meminta izin kembali ke
Mekah menemui gurunya. Saat Syekh Abdul Jalil berada di Mekah itulah, dua utusan dari
Kerajaan Banten datang ke Sumedang untuk meminta agar Sumedang tunduk kepada
Kerajaan Banten, bukan pada Mataram.
Mendengar permintaan Kerajaan Banten yang disampaikan oleh kedua utusannya itu,
bukan main marahnya Rangga Gempol II. Tak hanya menolak, Rangga Gempol II bahkan
memerintahkan agar kedua utusan itu dibunuh.
Agar tak mengundang kecurigaan, pembunuhan dilakukan ketika kedua utusan yang
tengah dalam perjalanan pulang itu sampai di tengah hutan di Parakan Muncang. Mayatnya
disembunyikan agar tak diketahui Banten dan tentu saja, Syekh Abdul Jalil.
Tak ada yang tahu kejadian tersebut kecuali Sutawijaya, anak buah Rangga Gempol II
yang juga murid sekaligus teman Syekh Abdul Jalil. Posisi Ki Suta, begitu biasa Sutawijaya
dipanggil, menjadi sangat dilematis. Jika ia memberitahu Syekh Abdul Jalil maka Rangga
Gempol II pasti akan murka. Sebaliknya jika tidak memberitahu Syekh Abdul Jalil, Syekh
Abdul Jalil lah yang akan marah kepadanya.
Setelah lama terombang-ambing dalam keragu-raguan, Ki Suta pun akhirnya
memutuskan untuk memberi tahu kejadian tersebut kepada Syekh Abdul Jalil ketika orang
yang sangat dihormatinya itu kembali dari Mekah.
Mendengar informasi yang sangat mengejutkannya itu, Syekh Abdul Jalil pun
memenuhi janjinya, meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang. Walaupun Rangga
Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi,
Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan Sumedang. Syekh
Abdul Jalil menganggap pembunuhan utusan dari Banten itu adalah pelanggaran terhadap
hukum syara. Menurut Syekh Abdul Jalil, kedua utusan itu tak bersalah karena mereka hanya
menjalankan perintah, mengemban tugas negara dari rajanya.
Sebelum meninggalkan Sumedang, ia sempat berkata bahwa karena pembunuhan itu
Sumedang akan diserang oleh Banten. Perkataannya terbukti. Hari Jumat, bertepatan dengan
Hari Idulfitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara. Menurut

6|Page
buku Babad Pasundan (diterbitkan 1960), penyerangan Cilikwidara ini terjadi pada tahun
1678. Serangan itu menimbulkan banyak sekali korban dari pihak Sumedang. Sejak saat
itulah di Sumedang muncul cadu untuk merayakan Lebaran pada hari Jumat.
Setelah meninggalkan Sumedang, Syekh Abdul Jalil kemudian menetap di
Batuwangi yang ada di daerah Cikajang, Garut. Di sana ia menetap selama 3,5 tahun,
kemudian pindah ke Kampung Tonjong-Cisangiri dan menetap selama 1,5 tahun.
Di setiap tempat yang disinggahinya, Syekh Abdul Jalil selalu bermunajat kepada
Allah,agar ditunjukkan tempat yang cocok untuk ia tinggal dan mengajarkan ilmu agama
dengan tenang. Saat bertafakur di Kampung Tonjong inilah ia melihat sebuah cahaya yang
dari sebelah barat sebesar pohon aren. Karena penasaran, Syekh Abdul Jalil pun mengikuti ke
mana cahaya itu bergerak. Ia terus mengejar hingga cahaya itu menghilang di antara Sungai
Cimangke dan Sungai Cipasarangan.
Menurut cerita Mama Lukmanul Hakim (Mama Uluk), yang kini menjadi Kuncen
Kampung Dukuh, tempat di mana cahaya itu menghilang ternyata telah dihuni oleh suami-
istri Aki dan Nini Candradiwangsa. Kepada mereka berdua, Syekh Abdul Jalil lantas
menceritakan maksud dan tujuannya datang ke tempat itu. Singkat cerita, Aki dan Nini
Candradiwangsa pun menyerahkan tanah yang mereka tempati itu kepada Syekh Abdul Jalil.
Tempat inilah yang hingga sekarang dikenal sebagai Kampung Dukuh.
Dalam naskah tua Kampung Dukuh, pengembaraan Syekh Abdul Jalil ini memakan
waktu sekitar tujuh tahun. Sayang saat terjadi kebakaran 2011 silam, naskah tersebut ikut
musnah. ”Tapi, kami masih menyimpan fotokopiannya karena naskah itu memang sempat
difotokopi sebelum kampung ini terbakar. Jadi isinya masih ada,” kata Mama Uluk.
Berdasar naskah tua itu, kata Mama Uluk, wilayah Kampung Dukuh di sebelah
selatan dibatasi oleh Pantai Selatan, sebelah utara oleh Gunung Papandayan, sebelah timur
Sungai Cipasarangan, dan sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cidamar.

Nama Kampung Dukuh


Menurut Mama Uluk, istilah dukuh dalam Kampung Dukuh berasal dari kata dukuh
atau calik , yang dalam bahasa Indonesia berarti duduk. Jadi padukuhan sama dengan
pacalikan atau tempat bermukim. amun, ujarnya, dukuh juga berarti tukuh (kukuh, patuh,
teguh) dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, taat dan sangat patuh
menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya.
Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami empat kali
kebakaran. Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2,

7|Page
perkampungan dibakar sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua,
pada masa terjadinya pembrontakan DI/TII. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena
khawatir Kampung Dukuh yang subur dijadikan basis oleh pasukan DI/TII. Peristiwa ketiga
terjadi tahun 2006 yang menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis. Peristiwa
keempat terjadi tahun 2011.

Sembah Dalem Lebe Warta


Syekh Abdul Jalil juga dipercaya memiliki hubungan keluarga Pesantren Gentur di
Cianjur. Soal hubungan kenasaban ini ditulis Dedi E Kusmayadi dan dipublikasikan di blog
pribadinya3, Minggu 4 September 2017. Menurutnya, salah satu keturunan Mama Ajengan
Gentur, yakni Mama Haji Abdul Haq Nuh, yang juga dikenal sebagai Mama Aang Nuh, rutin
berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil di Kampung Dukuh. Dedi mengatakan, berdasarkan
penelusurannya, kegiatan rutin Mama Aang Nuh berziarah ke Kampung Dukuh berkaitan
dengan keyakinan Mama Aang Nuh bahwa Syekh Abdul Jalil sebenarnya adalah Sembah
Dalem Lebe Warta Kusumah, yang tak lain adalah ayah dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
Dalam tulisannya, Dedi juga menyertakan silsilah Mama Aang Nuh Gentur secara lengkap,
mulai dari ayahnya yakni Mama Haji Ahmad Syathibi, lalu kakeknya yakni Mama Haji
Muhammad Sa’id, dilanjutkan buyutnya, Mama Haji Abdul Qodir, Ciawi; bao-nya, Syekh
Nur Hajid, Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya; jangawareng-nya, Syekh Nur Katim,
Selakopi, Cianjur; udeng-udeng-nya, Syekh Dalem Bojong,Pamijahan, Bantarkalong; kakait
siwur-nya, Syekh Abdul Muhyi bin Sembah Dalem Warta alias Syekh Abdul Jalil.
Meski demikian, sejauh ini, belum diperoleh data lainnya yang bisa mengonfirmasi
kebenaran hubungan kenasaban ini. Yayan Hermawan, tokoh masyarakat Kampung Dukuh
Dalam, mengaku mengetahui adanya keyakinan dari keluarga Pesantren Gentur perihal
hubungan kenasaban ini. Namun, ujarnya, ia tak bisa memastikan kebenarannya.

Sunda dan Keislaman


Ekadjati (1995)4 mendefinisikan orang Sunda sebagai seseorang yang pengakuannya
sebagai orang Sunda diakui oleh orang lain.Orang lain itu, ujarnya, bisa orang- orang Sunda
sendiri, akan tetapi bisa juga orang-orang yang bukan orang Sunda.

3
www.cipakudarmaraja.blogspot.com/2017/09/membuka-sejarah-siapakah-syekh-abdul-html?m=1 , diakses
Rabu 27 Desember 2017, pukul 22.16.
4
Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah . Pustaka Jaya. Bandung.

8|Page
Karena itu, menurut Ekajati, Sunda bukan semata seseorang atau sekelompok orang
yang orang tuanya baik dari pihak ayah atau ibu ataupun keduanya adalah orang Sunda, tapi
bisa pula orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya
Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta menjalankan norma- norma dan nilai- nilai
budaya Sunda, sekalipun secara biologis, ayah atau ibunya, atau keduanya bukan orang
Sunda.
Sejak lama, masyarakat Sunda juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
budaya religius. Jacob Sumardjo dalam bukunya, Simbol- simbol Artifak Budaya Sunda,
bahkan menhatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan pada masyarakat Sunda,
sejatinya sudah terlihat sejak zaman purba, sekalipun konsepsi mereka tentang teologi ketika
itu masih sangat terbatas. Pengetahuan mereka tentang ketuhanan tumbuh seiring datangnya
agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Agama Islam dapat diterima oleh orang Sunda
karena karakter agama Islam sejatinya tak jauh berbeda dengan karakter budaya masyarakat
Sunda.
H Dadang Kahmad (2008)5 mengatakan, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan
agama Islam mudah dianut oleh orang Sunda. Pertama, ajaran Islam itu sederhana, mudah
diterima oleh kebudayaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah, ibadah,
terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa orang Sunda yang dinamis
danfeminis. Kedua, kata Kahmad, kebudayaan asal yang menjadi “bungkus‟ agama Islam
adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi orang Sunda. Oleh karena itu, ketika orang
Sunda membentuk dirinya berbarengan dengan proses islamisasi, agama Islam menjadi
bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas mereka.
Pemikiran Kahmad tentang Sunda dan Islam ini sejalan dengan penelusuran Dedi E
Kusmayadi tentang Eyang Dukuh. Berdasar penelusuran Dedi, sosok yang dikenal sebagai
Eyang Dukuh adalah warga Pajajaran yang mengungsi ke Kampung Dukuh sewaktu
Pajajaran burak (sirna ing bhumi). Saat itu, seperti umumnya warga Pajajaran, Eyang Dukuh
juga menganut Sunda Wiwitan (ageman Sunda Pajajaran). Di Kampung Dukuh inilah, Eyang
Dukuh bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, lalu memeluk agama Islam dan berguru
kepadanya. Karena pada dasarnya ajaran Agama Islam dan Sunda Wiwitan sama-sama
mengajarkan untuk menyembah Tuhan Yang Esa, tak sulit bagi Eyang Dukuh untuk
memahami dan menerima Islam sebagai agamanya.

5
Kahmad, H.Dadang, 2008. Agama Islam Dalam Perkembangan Rakyat Sunda.
(www.google.co.id/amp/s/sundaislam/wordpress.com/2008/01/11/agama-islam-dalam-perkembangan-
budaya-sunda/amp/ - Diunduh Kamis 28 Desember 2017 pukul 00.29

9|Page
Dedi mencatat bahwa setelah Syekh Abdul Jalil wafat, Eyang Dukuh-lah yang
mengurus makamnya. Berikutnya, tugas mengurus makam Syekh Abdul Jalil ini dilakukan
turun-temurun. Mama Uluk yang kini menjadi kuncen Kampung Dukuh, menurut Dedi
adalah keturunan dariEyang Dukuh generasi ke-14.

Islam di Kampung Dukuh


Masyarakat tradisional Kampung Dukuh menganut agama Islam yang kuat. Mereka
menjalani kehidupan agama Islamnya dengan cara bertasawuf. Karena itu dalam menjalani
kesehariannya mereka membatasi diri dengan pengaruh luar yang dapat mendatangkan dosa
terhadap Allah SWT.

MUSALA – Musala di Kampung Adat Dukuh, lengkap dengan beduk penanda


waktu salat telah tiba.

Mazhab yang mereka pegang adalah mazhab Imam Syafi’i. Mereka bertasawuf
seperti yang diajarkan leluhur mereka, yang juga pendiri Kampung Dukuh, Syekh Abdul
Jalil.
Ajaran tasawuf ini masih dijalankan dengan kuat di Dukuh Tonggoh. Hal itu
dibuktikan dengan tidak terdapatnya benda-bendayang sifatnya modern seperti listrik, alat-
alat elektronik dan sebagainya, yang dapat mengganggu kekhusuan mereka dalam
menjalankan ajaran agamanya.
Namun, ketaatan yang kuat terhadap adat dan perintah leluhur, membuat kegiatan
beribadah yang mereka lakukan, kerap juga diwarnai kepercayaan dan hal-hal yang dirasa
tabu dan mistis. Misalnya, perempuan yang akan berziarah ke makam kerapat di sana harus

10 | P a g e
menggunakan pakaian khusus dan tanpa menganakan pakaian dalam. Dalam kacamata
masyarakat Dukuh, hal ini dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, kegiatan
menziarahi kubur dengan tujuan berdoa merupakan salah satu langkah mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Kedua, berziarah tanpa mengenakan pakaian dalam dianggap sebagai
titik tolak agar tubuh kita bersih dan suci dari nazis. Masyarakat Dukuh percaya, apabila
ketentuan itu dilanggar maka akan muncul azab dari leluhur.
Selain kedua hal diatas tadi, adat istiadat juga mewarnai ritual keagamaan yang
kental dengan warna Islam, yakni Muharraman, Rajaban, Nisfu Sya’ban, Idulfitri, Iduladha
dan Maulid Nabi. Pada perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan dari tanggal 12-14
Rabiul Awal, misalnya, selain melaksanakan peringatan kelahiran Rasulullah SAW, mereka
juga melaksanakan kegiatan kebudayaan khas masyarakat Kampung Dukuh yaitu
melaksanakan upacara adat memperingati hari diletakkannya tanah suci dan air suci
Kampung Dukuh yang dilaksanakan pada tanggal 14 Maulud.
Adat lainnya yang hingga kini masih dijalankan di Kampung Dukuh adalah adat
nyanggakeun (menyerahkan), yakni kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada
kuncen untuk diberkahi. Diberkahi yang dimaksud di sini adalah didoakan supaya berkah.
Sebab, selain pemimpin adat, kuncen di Kampung Dukuh juga berperan sebagai pemuka
agama. Itu pula sebabnya, di Kampung Dukuh kuncen diberi gelar Mama, gelar yang biasa
disematkan kepada ajengan. Sesuai adat, masyarakat tak boleh memakan hasil panennya itu
sebelum melakukan kegiatan nyanggakeun.
Selain nyanggakeun, di Kampung Dukuh juga dikenal ritual adat tilu waktos (tiga
waktu). Ritual ini dilakukan kuncen. Dalam ritual ini, kuncen membawa makanan ke bumi
alit atau bumi lebet (rumah kecil atau rumah dalam) untuk tawasul, Kuncen membawa
sebagian makanan ke bumi alit lalu berdoa. Ini biasanya dilakukan pada 1 Syawal, 10
Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam.
Ritual serupa juga dilakukan warga Kampung Dukuh pada hari Idulfitri dan Iduladha.
Pada kedua hari raya itu warga menyerahkan bahan makanan hasil bumi kepada kuncen
untuk diberkati. Penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada kuncen untuk diberkati pada
perayaan Idulfitri dan Iduladha dikenal dengan sebutan ritual manuja.
Warga Kampung Dukuh juga teguh menjalankan adat moros.Morosadalah kebiasaan
untuk menyerahkan sebagian hasil-hasil bumi yang mereka miliki kepada aparat pemerintah
seperti lurah dan camat. Ini menjadi simbol ketaatan mereka pada umaro (pemerintah).

11 | P a g e
PANCURAN – Di tempat inilah warga melaksanakan ritual cebor opat puluh.6

Ritual adat lainnya adalah cebor opat puluh.Seperti namanya, pada ritual ini
wargamenyiram tubuh mereka dengan 40 kali siraman. Air yang dipakai untuk menyiram
berasal dari pancuran yang sudah dicamur dengan air khusus yang telah diberi doa-doa.
Ritual ini dilakukan sebelum warga melakukan jaroh, yakni berziarah ke makam Syekh
Abdul Jalil. Sebelum berziarah, masyarakat juga diharuskan berwudu, menanggalkan semua
perhiasan, dan tidak menggunakan pakaian yang bercorak.
Mereka yang melakukan jaroh, akan lebih dahulu memasuki pagar pertama untuk
memasuki tanah larangan (kawasan makam Syeh Abdul Jalil), dipimpin oleh kuncen. Setelah
itu peziarah akan berjalan sedikit kearah pagar kedua. Kewat pagar kedua, peziarah akan
diminta untuk mengikuti kuncen membaca doa-doa dan membasuh kaki.
Ritual kemudian berlanjut dengan menaiki beberapa anak tangga. Pada setiap anak
tangga, peziarah berhenti sejenak dan memanjatkan doadipimpin oleh kuncen. Sesampainya
di makam, kuncen kembali memimpin membaca salawat dan doa, Setelah itu, kuncen akan
memberi kesempatan kepada para peziarah untuk berdoa sendiri-sendiri, sebelum kembali
pulang dengan tertib.
.Warna Islam yang pekat juga terlihat dari ritual salawatan yangdilakukan pada hari
Jumat di rumah kuncen. Salawatan yang dilakukan adalah salawatan Karmilah 4.444 kali
dan dihitung dengan menggunakan batu.

6
Foto reproduksi dari buku Pemetaan warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Garut, Seri Kecamatan Cikelet –
Disbudpar Kabupaten Garut - 2015

12 | P a g e
Setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam, warga Kampung Dukuh juga
menggelar sabelasan. Kegiatan ini dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan
Islam. Kegiatan ini dilakukan oleh para orang tua Kampung Dukuh.
Di Kampung Dukuh juga dikenal kesenian terbang sejak, yakni kesenian yang biasa
ditampilkan pada perayaan khitanan dan pernikahan.
Nilai-nilai keislaman juga tercermin dari cara pandang warga Kampung Dukuh
terhadap tempat yang kini mereka tinggali. Mereka menganggap tanah dan air tempat mereka
tinggal sebagai tempat yang diberkahi serperti Mekkah. Pandangan ini bukan tanpa alasan,
mengingat dalam kisah yang mereka percayai, dahulu, Syekh Abdul Jalil pun membawa
tanah dan air dari Mekkah untuk ditabur dan disebar di Kampung Dukuh dengan harapan
tanah dan air mereka ikut terberkahi sebagaimana Mekkah.
Berawal dari situlah masyarakat sekitar Kampung Dukuh sering mengambil tanah dan
air dari kampung ini sebagai “tirakat” agar tanah di daerah mereka juga menjadi subur dan
tidak kekurangan air. Dan itu masih berlangsung hingga kini.
Pandangan hidup masyarakat Dukuh terhadap semesta juga tergambar dari sistem adat
mereka yang membagi kawasan pedukuhan yang mereka tinggali dalam lima wilayah
kekuasaan berdasarkan fungsinya. Yaitu apa yang kemudian dikenal dengan sebutan tanah
tutupan, tanah garapan, tanah titipan, tanah larangan, dan tanah cadangan.
Mama Uluk mengatakan, tanah tutupan, adalah wilayah hutan yang berada di sebelah
utara Kampung Dukuh di sekitar bukit. Hutan ini ditutup darI berbagai usaha penebangan
pohon, karena hutan ini merupakan daerah sumber mata air bagi Kampung Dukuh.
Wilayah kedua, kata Mama Uluk, adalah tanah garapan, yakni lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk beternak dan bercocok tanam sebagai mata pencaharian utama
masyarakat Kampung Dukuh.
Ketiga, tanah titipan. Yakni semua tanah yang ada di Kampung Dukuh. Masyarakat
adat Kampung Dukuh menganggap semua tanah yang mereka kuasai itu sejatinya adalah
tanah titipan yang harus dijaga agar lestari dan bermanfaat.
Keempat, tanah cadangan. Menurut Mama Uluk, tanah cadangan adalah wilayah
hutan yang berada di berada di sekitar Kampung Dukuh yang senganya mereka siapkan untuk
kebutuhan masyarakat di masa datang. Di sanalah, kata Mama Uluk, generasi Kampung
Dukuh selanjutnya yang berada di Kampung Dukuh Luar akan tinggal.
Tanah Larangan, merupakan wilayah kekuasaan yang dimulai dari pagar kampung
sebelah selatan hingga hutan di wilayah utara yang diikat oleh berbagai pantangan dan tabu.

13 | P a g e
Seperti disebut di mula, tanah larangan ini terdiri dari tiga bagian, yakni larangan kampung,
larangan maqam, dan larangan gunung.

Mitologi Kampung Dukuh


Mitologi di Kampung Dukuh tergambar dari sejumlah pantrangan atau larangan yang
hingga kini masih dipegang teguh masyarakatnya, terutama yang tinggal di Dukuh Tonggoh.
Aneka larangan ini, secara garis besar dibagi tiga, yakni larangan kampung, larangan
maqom, dan larangan gunung.
a. Larangan Kampung
Yakni sejumlah hal yang tak boleh dilakukan saat berada di Kampung Dukuh. Misalnya,
tidak boleh hidup mewah, tidak boleh makan sambil berdiri apalagi sambil berjalan,
diam atau duduk di pintu, tidak boleh menulurkan kaki ke arah utara karena terdapat
makam keramat Syekh Abdul Jalil, tidak boleh kencing atau buang hajat kecuali
menghadap ke barat, rumah-rumah tidak boleh mengahadap ke utara, tidak diperkenankan
ada listrik, televisi, atau radio karena sekalipun mendatangkan manfaat yang banyak, juga
bisa mendatangkan banyak kemudaratan.
b. Larangan Maqom
Yakni sejumlah larangan yang berlaku saat berada di areal makam keramat Syekh Abdul
Jalil. Antara lain, dilarang memakai alas kaki, bukan seorang PNS, bagi wanita tak boleh
menenakan pakaian dalam atau sedang mentruasi, tidak mengenakan peci, tak boleh
mengenakan baju batik, dan harus memakai baju khusus yang telah disediakan yang
berbentuk gamis dengan warna putih polos.
a. Larangan Gunung
Yakni larangan merusak lindung , baik itu menebang pohon-pohonnya, mengambil kayu-
kayunya maupun merusak mata airnya

Sistem Pendidikan
Di Kampung Dukuh tidak terdapat sekolah formal seperti SD, SMP apalagi SMA.
Akan tetapi, di sana terdapat madrasah yang untuk belajar agama baik anak-anak maupun
orang dewasa.
Di madrasah inilah warga Kampung Dukuh biasa belajar ilmu-lmu agama termasuk
belajar mengaji. Pada hari Minggu, anak-anak biasanya mengaji sore hari, sementara pada
pahi harinya, pengajian di madrasah dilakukan ibu-ibu.

14 | P a g e
Meski di Kampung Dukuh tidak terdapat sekolah formal, bahnyak juga anak-anak
dari Kampung Dukuh yang bersekolah di sekolah yang ada di dekat kantor Desa Ciroyom. Ini
adalah sekolah dasar terdekat, jaraknya dari Kampung Dukuh sekitar dua kilometer.
Unyuk menuju sekolah, tak jarang anak-anak berjalan kali. Namun, sering juga
menumpang kol dolak.

Sistem Sosial dan Organisasi Kemasyarakatan


Sistem politik di Kampung Dukuh berkaitan kuat dengan adat dan hukum adat yang
berlaku secara turun temurun. Di Kampung Dukuh juga terdapat struktur pemerintahan yang
bersifat tradisional, yang ditandai adanya kepala adat (kuncen) dan wakilnya dikenal dangan
nama panglawang. Tapi, di sana juga terdapat RW yang bukan keturunan langsung dari
pendiri kampung Dukuh.

KUNCEN – Kuncen Kampung Dukuh, Mama Lukmanul Hakim membahas


naskah kuno bersama mahasiswa pascasarjana program studi Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) Universitas Sunan Gunung Djati yang berkunjung ke
Kampung Dukuh, Minggu 12 November 2017.

Kuncen Kampung Dukuh dipilih berdasarkan nasab. Ini berarti, hanya keturunan dari
Syekh Abdul Jalil yang bisa menjadi kuncen. Mama Lukmanul Hakim, yang juga dikenal
dengan sebutan Mama Uluk, adalah kuncen generasi ke-14.
Kuncen memegang peranan sentral di Kampung Dukuh. Selain sebagai pemimpin
adat, ia juga bertindak sebagai pemuka agama.

15 | P a g e
Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni:
1. Jejak Islam di Kampung Adat Dukuh bisa dilihat dari hampir semua aspek kehidupan
masyarakat di kampung tersebut
2. Masyarakat Kampung Dukuh adalah masyarakat yang Islami, bermazhab Imam
Syafi’i dan menjalankan praktik tasawuf seperti yang diajarkan leluhur mereka secara
turun temurun.
3. Adat istiadat, mitologi, dan kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang berbau mistis,
masih kental mewarnai keseharian mereka, termasuk dalam menjalankan syariat
agamanya.
4. Masih kentalnya mitologi dan kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang berbau
mistis, serta ketaatan mereka pada kuncen, menjadi faktor yang membuat masyarakat
Kampung Adat Dukuh Tonggoh masih bisa mempertahankan adat istiadat dan budaya
warisan leluhur .
5. Kondisi lainnya yang mendukung adalah letak Kampung Dukuh yang berada jauh
dari keramaian. Untuk mencapai Kampung Dukuh, harus menempuh sekitar delapan
kilometer dari Jalan Raya Cikelet, melewati jalan berbatu yang diaping hutan jati.
Dengan menggunakan kendaraan roda empat, perlu waktu sekitar dua jam untuk
menempuhnya.
6. Faktor lainnya adalah pembagian Kampung Dukuh menjadi Kampung Dukuh
Tonggoh dan Kampung Dukuh Landeuh. Selain menjadi jalan keluar untuk
mempertahankan jumlah keluarga yang tinggal di Dukuh Tonggoh, keberadaan
Kampung Dukuh Luar juga menjadi “tameng” sekaligus solusi warga Dukuh
Tonggoh dalam menjaga kemunian adat istiadatnya.
7. Kampung Dukuh Luar juga menjadi “jembatan” warga Dukuh Tonggoh berinteraksi
dengan “dunia luar” terutama dalam hal jual-beli yang masih dianggap tabu dilakukan
di Dukuh Dalam . Di Dukuh Dalam, semua transaksi masih dilakukan secara barter,
atau dalam istilah setempat disebut nukeuran.

16 | P a g e
Rujukan

1. Ekadjati, Edi S
1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah . Pustaka Jaya. Bandung.
2. Sumardjo, Jakob
2003Simbol- simbol Artifak Budaya Sunda . Bandung: Kelir Taum
3. Disbudpar Kabupaten Garut
2015 Pemetaan Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Garut, Seri Kecamatan
Cikelet

Sumber Lain
4. Penuturan Kuncen Kampung Dukuh, Mama Lukmanul Hakim, di Kampung Dukuh,
Minggu 12 November 2017.
5. Penuturan Yayan Hermawan, tokoh warga Kampung Dukuh Tonggoh.
6. Dedi E Kusmayadi
2017 Membuka Sejarah Siapakah Syekh Abdul Jalil
www.cipakudarmaraja.blogspot.com/2017/09/membuka-sejarah-siapakah-syekh-
abdul-html?m=1 , diakses Rabu 27 Desember 2017, pukul 22.16
7. Kahmad, H.Dadang
2008. Agama Islam Dalam Perkembangan Rakyat Sunda.
(www.google.co.id/amp/s/sundaislam/wordpress.com/2008/01/11/agama-islam-
dalam-perkembangan-budaya-sunda/amp/ - Diunduh Kamis 28 Desember 2017
pukul 00.29)

17 | P a g e
LAMPIRAN

Penulis Utama
Arief Permadi

Penulis yang Berpartisipasi


1. Abdul Aziz Ramdani
2. Acep Iqbal Hidayatulloh
3. Ahmad Taufik
4. Ahmad Sanusi
5. Aisi Nur Albar
6. Ajeng L Trijayanti
7. Aji Taufik
8. Algamar Arif Safitra
9. Ali Ramdhani Sujana
10. 10 Asep Kamil Astori
11. Asep Nuryaman
12. Auliansyah Afrianthoni
13. Bahrul Hayat
14. Dedi Kurnaedi
15. Dea Andriyawan
16. Eva Mustapa
17. Galih Gumilar
18. Gunawan Syam
19. Hadri Wiria
20. Holis
21. Karmilah
22. M Ahdali
23. Mia Nurjanah

18 | P a g e
Daftar Istilah

1. Aseupan, wadah dari anyaman bamboo yang biasa dipergunakan untuk menanak
nasi.
2. Boboko, tempat nasi terbuat dari anyaman bambu
3. Cecempeh, nyiru kecil yang digunakan untuk menyimpan bumbu dapur
4. Hawu, semacam tungku tradisional yang terbuat dari tanah liat
5. Maqam, makam
6. Tetenong, tempat makanan dari anyaman bambu
7. Seeng, (dandang) adalah suatu tempat untuk memasak nasi yang sudah diaroni
8. Jojodog, tempat duduk kecil, biasa digunakan di dapur.

19 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai