Anda di halaman 1dari 25

KESEJAHTERAAN DALAM

PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF


Buku ini merupakan buku kedua dari Seri Psikologi Positif Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang ditulis oleh para dosen
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus
Surabaya dan Kampus PSDKU Madiun. Buku ini merupakan salah satu upaya
kolaborasi kedua kampus Psikologi yaitu Kampus Surabaya dan Kampus
PSDKU Madiun dalam merumuskan implementasi Psikologi Positif dalam
kehidupan sehari‐hari. Buku ini terdiri dari sebelas tulisan yang dapat dibagi
menjadi empat subtema yaitu perspektif kesejahteraan, kesejahteraan di
KESEJAHTERAAN DALAM
tempat kerja, kesejahteraan di komunitas dan kesejahteraan pada konteks
PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF


pendidikan serta pengasuhan.
Subtema pertama yaitu perspektif kesejahteraan membahas mengenai
konsep dan tinjauan kriris pada kesejahteraan dengan tiga tulisan berjudul
”Bahagia dalam Kekurangan, Keterbatasan, Bahkan Penderitaan: Belajar
dari Viktor Frankl”, ”Berpegang pada Kekuatan Diri untuk Menggapai
Kesejahteraan” dan ”Flourishing: Feeling Good and Doing Well”.
Subtema kedua mengenai kesejahteraan di tempat kerja yang membahas
mengenai konteks kesejahteraan pada lingkup lingkungan pekerjaan
dengan dua tulisan yaitu ”Happiness at Work: Kerja yang Happy atau Happy
Bekerja?” dan ”Kesejahteraan di Tempat Kerja (Well‐Being at Work): Peran
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja”.
Subtema ketiga di buku ini adalah kesejahteraan di komunitas yang terdiri
dari dua tulisan berjudul ”Gaya Hidup dan Solidaritas Komunitas Sepeda
Lipat di Kota Madiun” dan ”Mengembangkan Kampung Sehat, Aman dan
Hijau Melalui Komunitas Anak dan Remaja”.
Editor:
Subtema keempat adalah kesejahteraan pada konteks pendidikan dan
pengasuhan yang terdiri dari empat tulisan dengan judul ”Mindful Parenting: Dr. Ermida Simanjuntak, M.Sc., M.Psi., Psikolog
Solusi dalam Mengatasi Stress Pengasuhan”, ”School Well‐Being Anak Detricia Tedjawidjaja, M.Psi., Psikolog
Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi”, ”Academic Engagement: Sarana
Optimalisasi Kesejahteraan Siswa” dan ”Hidup itu Bukanlah Hidup Jika Tidak
Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa”.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan sesuatu yang positif bagi
para pembaca serta memberikan inspirasi bagi pembaca dalam proses
mencapai kesejahteraan (well‐being) pada kehidupan sehari‐hari.

Universitas Katolik Widya Mandala


Surabaya
Kesejahteraan dalam PersPeKtif
PsiKologi Positif

PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN
Bahagia Dalam Kekurangan, Keterbatasan, Bahkan Penderitaan:
Belajar dari Viktor Frankl
Michael Seno Rahardanto
Berpegang pada Kekuatan Diri untuk Menggapai Kesejahteraan
Agnes Maria Sumargi
Flourishing: Feeling Good and Doing Well
Nurlaila Effendy

KESEJAHTERAAN DI TEMPAT KERJA


Happiness At Work: ”Kerja yang Happy atau Happy Bekerja?”
Yonathan Setyawan
Kesejahteraan di Tempat Kerja (Well-Being at Work):
Peran Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Desak Nyoman Arista Retno Dewi

KESEJAHTERAAN DI KOMUNITAS
Gaya Hidup dan Solidaritas Komunitas Sepeda Lipat
di Kota Madiun
David Ary Wicaksono
Mengembangkan Kampung Sehat, Aman dan Hijau Melalui
Komunitas Anak dan Remaja
Sylvia Kurniawati Ngonde

KESEJAHTERAAN PADA KONTEKS PENDIDIKAN


DAN PENGASUHAN
Mindful Parenting: Solusi dalam Mengatasi Stress Pengasuhan
Andy Cahyadi
School Well-Being Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi
Herdina Tyas Leylasari

iii
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

Academic Engagement: Sarana Optimalisasi Kesejahteraan Siswa


Angelina Kartini
Hidup itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia:
Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa
Dessi Christanti

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v

ULASAN EDITOR vii

PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN 1
Bahagia dalam Kekurangan, Keterbatasan,
Bahkan Penderitaan: Belajar dari Viktor Frankl 3
Berpegang pada Kekuatan Diri untuk Menggapai Kesejahteraan 17
Flourishing: Feeling Good and Doing Well 35

KESEJAHTERAAN DI TEMPAT KERJA 53


Happines At Work: ”Kerja yang Happy atau Happy Bekerja?” 55
Kesejahteraan di Tempat Kerja (Well-Being at Work):
Peran Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja 73

KESEJAHTERAAN DI KOMUNITAS 87
Gaya Hidup dan Solidaritas Komunitas Sepeda Lipat
di Kota Madiun 89
Mengembangkan Kampung Sehat, Aman, dan Hijau Melalui
Komunitas Anak dan Remaja 103

xiii
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

KESEJAHTERAAN PADA KONTEKS PENDIDIKAN


DAN PENGASUHAN 115
Mindful Parenting: Solusi dalam Mengatasi Stres Pengasuhan 117
School Well-Being Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi 133
Academic Engagement: Sarana Optimalisasi Kesejahteraan Siswa 149
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia-Bahagia:
Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa 159

TENTANG EDITOR 177

xiv
HIDUP ITU BUKANLAH HIDUP
JIKA TIDAK BAHAGIA: STUDI
DESKRIPTIF MAKNA BAHAGIA
MAHASISWA

Dessi Christanti

Pendahuluan

M ahasiswa sebagai individu yang sedang menempuh pendidikan


rentan mengalami stres dan depresi. Hal yang dapat membuat
mahasiswa menjadi stres antara lain tuntutan akademik (Dianovinina,
2018), relasi dengan teman (Saputri), dan menyesuaikan diri
dengan kehidupan kampus (Musabiq & Karimah, 2018). Belum lagi
apabila mahasiswa berasal dari kota yang berbeda, tentu juga harus
beradaptasi dengan budaya dan kebiasaan baru. Penyesuaian diri yang
baik tentu diperlukan mahasiswa perantau agar tidak mengalami stres
(Saniskoro & Akmal, 2020). Kemajuan teknologi saat ini membuat
media sosial menjadi bagian dari hidup individu. Isi media sosial yang
bersifat negatif berpotensi membuat mahasiswa stres dan depresi
(Akram & Kumar, 2017; Mahmood et al., 2020).

Kondisi dan stimulus negatif dapat membuat mahasiswa merasa


stres dan depresi. Meskipun demikian, mahasiswa juga merasakan
kebahagiaan selama dalam momen-momen tertentu. Hasil penelitian
di salah satu perguruan tinggi Indonesia di Jawa Barat menunjukkan

159
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

rata-rata tingkat kebahagiaan mahasiswa sebesar 64,88 yang artinya


berada di atas rata rata (Permatasari et al., 2018). Hasil penelitian
yang senada adalah tingkat kebahagiaan mahasiswa di Padang yang
berada pada tingkat tinggi dan sedang (Nursal, 2021). Dua hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki tingkat
bahagia yang tinggi dalam kesehariannya.

Bahagia merupakan kondisi yang diinginkan oleh manusia. Banyak


filsuf dan tokoh yang berusaha merumuskan makna bahagia. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebahagian merupakan kesenangan
dan ketentraman hidup lahir dan batin (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2016).

Salah satu filsuf terkemuka Yunani, yaitu Aristoteles, menjelaskan


bahwa bahagia berarti berbicara mengenai sesuatu yang diinginkan
oleh manusia sebagai tujuan hidup dan bagaimana proses mendapat
kebahagiaan (Kencana, 2022). Tujuan hidup yang dimaksud oleh
Aristoteles adalah melakukan sesuatu yang dianggap berharga oleh
individu (Haris, 2016). Arti bahagia menurut Aristoteles ini sesuai
dengan kata eudaimonia dalam Bahasa Yunani yang berarti bahagia.
Kata eudaimonia berasal dari dua kata, yaitu Eu yang artinya baik
dan daimon yang dapat diartikan sebagai roh, dewa, atau kekuatan
baik. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia yang dimaknai sebagai
memiliki dewa atau tujuan yang baik merupakan suatu kesempurnaan
(Nugroho, 2022).

Dari sudut pandang hedonisme, individu akan merasakan kebahagiaan


bila mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin (Haris, 2016).
Menurut Bentham, hal yang baik (good) adalah yang menyenangkan
(pleasurable), dan yang buruk (bad) adalah yang menyakitkan (pain).
Bentham menyamakan kebahagiaan dan kesenangan (Ryan & Deci,
2001). Teori Bentham ini disebut dengan hedonis intrinsik. Nilai
utama dari teori ini adalah kebahagiaan atau kesenangan. Individu
akan merasa bahagia jika mengumpulkan hal-hal yang menyenangkan
dan menjauhi hal yang menyakitkan (van der Deijl, 2016). Apapun

160
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

yang membantu individu mencapai kesenangan dan menghindari


penderitaan merupakan nilai instrumental (Ryan & Deci, 2001).

Kebahagiaan juga bisa dikaitkan dengan emosi individu. Menurut


Kauppinen (2013), kebahagiaan merupakan kondisi afeksi
multidimensi yang terdiri dari afek dominan positif (suasana hati,
emosi, dan kualitas hedonis) serta tidak terdapat ruang untuk
pengaruh negatif (Kauppinen, 2013). Individu mampu atau tidak
mampu merasakan kebahagiaan bergantung dari perspektif individu
terhadap situasi yang dialaminya.

Tokoh yang mengembangkan psikologi positif, yaitu Seligman (2005),


mengatakan bahwa kebahagiaan terjadi bila individu merasakan
emosi positif dalam melakukan aktivitas positif yang disukainya.
Emosi positif ini bisa meliputi emosi positif yang berhubungan dengan
masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Emosi positif yang
berkaitan dengan masa lalu, antara lain kepuasan, merasa terpenuhi,
kebanggaan, dan ketenangan. Emosi positif pada masa sekarang
adalah kesenangan. Emosi positif yang terhubung dengan masa depan
mencakup optimisme, keyakinan, harapan, dan kepercayaan.

Penelitian tentang makna bahagia pun telah banyak dilakukan pada


populasi yang berbeda. Bagi perempuan di wilayah Jabodetabek
sumber kebahagiaan terbesar adalah keluarga (Patnani, 2012).
Sementara bagi wanita yang berperan ganda sebagai ibu dan wanita
karir, kebahagiaan adalah mampu menjalani kedua peran ini sekaligus
(Sari, 2021).

Beberapa peneliti juga melakukan studi mengenai bahagia pada


mahasiswa. Penelitian pada mahasiswa perempuan menunjukkan
bahwa bahagia berhubungan dengan pengalaman yang memiliki
nilai kebermanfaatan, religiusitas, kesuksesan, keluarga,
kenyamanan, perasaan dicintai, dan kesehatan (Ariska et al.,
2020). Bagi mahasiswa perantau, makna bahagia diartikan dengan
memiliki hubungan positif, bersyukur atas apa yang dihasilkan, dan
memiliki kesehatan yang baik (Jannah et al., 2019). Bagi mahasiswa

161
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

di Yogyakarta, keikhlasan memiliki korelasi positif dengan bahagia


(Nabila et al., 2021).

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bagi mahasiswa


makna bahagia beragam. Hal ini karena setiap individu memiliki
subjektivitas dalam memaknai arti bahagia, tergantung pada
latar belakang setiap mahasiswa (Kapoor et al., 2018). Penelitian
sebelumnya juga menunjukkan bahwa makna bahagia bisa berbeda
di tiap negara (Fave et al., 2016). Dengan demikian, masih terdapat
ruang untuk terus mengeksplorasi makna bahagia pada mahasiswa.
Artikel ini bertujuan menggambarkan makna bahagia dan alasan
mengapa menjadi bahagia itu penting.

Penulis menyebarkan kuesioner terbuka pada 104 orang mahasiswa


Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
(UKWMS) dengan laki-laki berjumlah 28 orang dan perempuan
berjumlah 76 orang). Data kemudian dianalisis menggunakan statistik
distribusi frekuensi dan analisis tematik. Langkah-langkah melakukan
analisis tematik adalah memahami data, melakukan coding dengan
cara menemukan kata kunci terlebih dahulu, dan membuat tema.

Arti Kebahagiaan pada Mahasiswa


Hasil analisis data mengenai frekuensi perasaan bahagia dapat dilihat
pada Gambar 1. Sebagian besar mahasiswa yang menjadi partisipan
(61,5%) sering merasa bahagia dalam hidupnya, sedangkan 31,7%
partisipan jarang merasakan bahagia dalam hidupnya. Sebagai
manusia, tentunya mahasiswa pernah mengalami hal-hal yang
menyenangkan sehingga menimbulkan emosi positif yang bahagia
dan ada pula peristiwa tidak menyenangkan yang bisa menimbulkan
kesedihan dan stres. Hasil analisis data pada Gambar 1 menunjukkan
bahwa ada sebagian kecil partisipan (6,8%) yang mengaku selalu
merasa bahagia. Faktor internal, yaitu persepsi individu, ditengarai
menjadi penentu individu merasa bahagia atau tidak. Individu akan
mengevaluasi apa yang telah dialami atau telah dicapai. Memang
terdapat korelasi positif antara persepsi diri dengan bahagia. Semakin

162
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

positif persepsi individu akan dirinya maka akan semakin tinggi


kebahagiaan yang dirasakan (Rina et al., 2022). Individu memaknai
dan kemudian mengevaluasi semua peristiwa dalam hidupnya secara
positif sehingga individu dapat merasa bahagia (Seligman, 2002).

Gambar 1. Hasil Analisis Data Frekuensi Bahagia yang Dirasakan Partisipan

Gambar 2 merupakan respon partisipan terhadap pertanyaan apakah


mudah menjadi bahagia. Hasil analisis data menunjukkan bahwa
sebanyak 66,4% partisipan sepakat bahwa menjadi bahagia kadang
susah, tetapi bisa juga mudah. Pada saat mengalami peristiwa
yang negatif, individu tentu sulit merasa bahagia. Evaluasi diri
individu akan dirinya bersifat fluktuatif (Diener et al., 2003). Hal
ini bergantung pada banyak faktor, misalnya situasi yang dihadapi
saat itu dan kondisi internal individu. Dengan demikian, wajar jika
suatu saat individu merasa bahagia itu mudah, tetapi di momen yang
berbeda menganggap bahagia itu sulit dicapai. Sebagai contoh,
tingkat kebahagiaan mahasiswa sebelum dan saat pandemi Covid-19
berbeda. Kebahagiaan mahasiswa saat masa pandemi Covid-19
disinyalir menurun dibandingkan sebelum Covid-19 karena ketika
Covid-19 melanda seluruh dunia, semua orang termasuk mahasiswa
merasa takut ketularan Covid-19 (Rayan, 2020). Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa bahagia bersifat temporer dan bergantung pada
situasi saat itu.

163
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

Hal yang menarik dari hasil ini adalah terdapat 12,5% partisipan
yang berpendapat bahwa meraih kebahagiaan merupakan hal yang
sulit. Individu akan merasa sulit bahagia jika selalu memiliki pola
pikir negatif dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akibat
perubahan sosial, individu akan selalu dihadapkan pada tuntutan dan
situasi yang baru. Individu yang tidak mampu menyesuaikan diri akan
merasa stres karena tidak bisa memenuhi tuntutan dan situasi yang
baru tersebut. Kondisi stres ini membuat individu tidak bahagia.

Gambar 2. Hasil Analisis Data Mengenai Apakah Mudah Menjadi Bahagia

Makna bahagia bisa jadi berbeda bagi setiap individu. Bagi mahasiswa
Fakultas Psikologi UKWMS tahun pertama, bahagia memiliki beberapa
makna, yaitu:

1. Emosi positif
2. Mencapai tujuan
3. Menerima diri
4. Kebebasan bertindak
5. Kebersyukuran

164
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

Emosi Positif
Bahagia adalah sesuatu yang positif. Sejalan dengan teori yang
mengatakan bahagia adalah kondisi emosi atau afeksi individu
(Kauppinen, 2013; Seligman, 2002. Tentunya emosi yang
berhubungan dengan bahagia adalah emosi yang positif. Berdasarkan
jawaban para partisipan, bahagia yang merupakan emosi positif
berasal dari tiga sumber, yaitu:

1. Pikiran yang positif


2. Pengalaman yang positif
3. Relasi interpersonal yang positif

Pikiran yang positif akan membuat individu mampu mengelola


emosinya menjadi lebih positif. Elemen emosi positif ini sesuai dengan
pendapat sebelumnya bahwa kebahagiaan merupakan emosi positif
dan individu dikatakan merasakan kebahagiaan yang sempurna jika
memenuhi empat prototype komponen emosi yaitu kognisi, afeksi,
fisik, dan perilaku (Goldman, 2017).

Beberapa partisipan menuliskan bahwa bahagia berasal dari


pengalaman yang positif. Hal ini benar karena pengalaman yang
positif akan membuat individu merasakan emosi yang positif juga.
Kebahagiaan terjadi ketika individu mengenang peristiwa atau
pengalaman yang menyenangkan (Seligman, 2005). Dengan
demikian, individu akan dapat melupakan peristiwa yang menyakitkan.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa individu akan
merasa bahagia bila mengalami peristiwa yang positif, antara lain
peristiwa mendapat kasih sayang dari lawan jenis, peristiwa yang
berkaitan dengan prestasi, dan peristiwa positif yang berhubungan
dengan orang terdekat (Harmaini & Yulianti, 2014).

Relasi interpersonal yang positif tentu akan berdampak positif pula


bagi individu. Relasi interpersonal yang positif dapat berfungsi sebagai
dukungan sosial bagi individu bila menghadapi masalah. Melalui
dukungan sosial tersebut individu dapat mengatasi masalahnya dan
kembali bahagia. Pada penelitian pada lansia, ternyata dukungan

165
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

sosial yang dirasakan oleh lansia dapat meningkatkan rasa bahagia


(Hidayah, 2016). Berkumpul bersama keluarga atau teman-teman
dapat menjadi sumber kebahagiaan bagi individu (Ahuvia et al.,
2015). Salah satu aspek bahagia adalah memiliki hubungan yang
positif dengan orang lain (Rina et al., 2022). Bagi Generasi Y, relasi
yang positif dengan orangtua, teman, dan pacar akan membawa
kebahagiaan bagi individu (Ariska et al., 2020).

Mencapai Tujuan
Bagi sebagian partisipan, makna bahagia adalah mencapai tujuan.
Individu akan merasa bahagia jika tujuan yang telah ditetapkan
tercapai. Makna bahagia ini sesuai dengan pendapat bahwa individu
akan merasa bahagia jika berhasil mencapai tujuan yang dianggap
berharga (Diener et al., 2003). Pencapaian tujuan juga dapat
diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan individu dari segi fisiologis
(material), psikologis (emosional), kebutuhan sosial, dan kebutuhan
spiritual (Fuad, 2017). Jika individu mampu makan saat ia lapar,
ia akan merasa bahagia. Individu yang merasa aman dan nyaman
karena berhasil mengatasi stres kerja juga akan merasa bahagia.
Individu yang memiliki relasi interpersonal yang hangat dengan
keluarganya akan merasa bahagia juga. Demikian pula bila individu
merasa terpenuhi hidupnya karena dekat dengan Tuhannya, ia akan
merasakan kebahagiaan.

Menerima Diri
Makna bahagia juga bisa berkaitan dengan penerimaan diri. Setiap
individu memiliki sisi kekuatan dan kelemahan. Kadang-kadang
individu tidak siap menerima kelemahannya. Masalah timbul ketika
individu terlalu fokus pada sisi kelemahannya dan menilainya sebagai
hal yang buruk. Individu menjadi tidak percaya diri ketika memikirkan
kelemahannya. Ketidakpercayaan diri ini dapat berlanjut ke stres dan
depresi. Hasil penelitian memang menunjukkan bahwa ada korelasi
positif antara penerimaan diri dan kebahagiaan baik pada mereka
yang sudah lanjut usia (Uraningsari & Djalali, 2016).

166
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

Individu seharusnya belajar menerima semua aspek dalam dirinya, baik


itu sisi kelemahan maupun kekuatan. Individu juga seharusnya belajar
bersikap wajar terhadap kelemahannya. Mengakui dan menerima
kedua sisi dalam dirinya dapat membuat individu menghargai dirinya.
Individu dapat melihat dan mengeksplorasi kekuatannya. Penerimaan
diri apa adanya merupakan makna kebahagiaan. Salah satu indikator
orang yang berbahagia adalah mampu menghargai dirinya sendiri
(Myers, 2010).

Kebebasan Bertindak
Bahagia juga bermakna kebebasan pribadi untuk melakukan apa yang
disenangi oleh individu. Makna ini sesuai dengan pendapat Mill bahwa
individu seharusnya memiliki kebebasan mengembangkan daya-
dayanya sesuai dengan kehendak, keputusan dan penilaiannya sendiri
sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan orang lain (van der
Deijl, 2016). Penelitian mengenai kebahagiaan pada anak-anak yang
tinggal di jalanan, panti asuhan, dan pondok pesantren menunjukkan
bahwa bagi mereka konsep kebahagiaan adalah memiliki kebebasan
untuk berpikir dan bertindak. Konsep kebahagiaan merupakan hasil
introspeksi mereka akan pengalaman yang telah mereka lalui ketika
mereka merasa terkekang dan ketika merasakan kebebasan dalam
berpikir dan bertindak (Dewi, 2014).

Kebersyukuran
Partisipan juga meyakini bahwa bahagia adalah bersyukur.
Kebersyukuran memang memiliki korelasi positif dengan bahagia.
Semakin sering orang bersyukur maka semakin tinggi rasa bahagia
yang dialami (Prabowo & Laksmiwati, 2020). Individu dapat
merasakan kebahagiaan jika ia mampu mensyukuri hal-hal yang
baik dalam hidupnya (Myers, 2010). Kebersyukuran bagi individu
yang tinggal di Indonesia berkaitan dengan tingkat religiositas. Ajaran
agama mengajarkan agar pemeluknya senantiasa mensyukuri nikmat
yang diberikan Tuhan. Ketika bersyukur, individu dapat melepaskan

167
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

stres yang dialami karena individu disadarkan bahwa ia masih


memiliki banyak hal di dunia ini (Safaria, 2014).

Pentingnya Kebahagiaan bagi Mahasiswa


Bahagia merupakan hal yang penting yang seharusnya dirasakan oleh
semua orang. Individu yang bahagia akan lebih bisa menikmati hidup
dan menjalani dengan baik (Nabila et al., 2021). Demikian pula bagi
partisipan penelitian ini, menjadi bahagia merupakan hal yang penting
bagi mereka. Terdapat beberapa alasan mengapa bahagia menjadi
sesuatu yang penting untuk dirasakan.

1. Manusia memiliki tujuan yang ingin dicapai.


Menjadi bahagia merupakan hal yang penting karena individu
memiliki tujuan hidup. Bahagia menjadi tujuan hidup yang dicapai
individu. Individu yang memiliki tujuan hidup, alih-alih menjadi
hampa, individu akan merasa bergairah untuk mewujudkan
tujuan hidupnya (Kencana, 2022).
2. Hidup lebih bermakna.
Berbahagia membuat hidup lebih bermakna. Salah satu partisipan
menuliskan bahwa hidup bukanlah hidup jika tidak bahagia.
Individu dapat meraih kebahagiaan bila menjalani kehidupan
yang menyenangkan dan bermakna dengan memanfaatkan
kekuatan positif yang dimilikinya (Seligman, 2005). Hidup
menjadi bermakna bila individu berbahagia karena terpenuhinya
tujuan hidup individu (Bastaman, 2007). Menurut Frankl dalam
teori logoterapi, hidup menjadi bermakna jika individu memenuhi
nilai kreatif atau berkarya, nilai penghayatan, dan nilai bersikap
(Fuad, 2017).
3. Menjadi energi positif bagi diri sendiri dan orang lain.
Bahagia menjadi sesuatu yang penting karena bahagia dapat
menjadi energi positif bagi individu dan bagi orang lain. Merasa
berbahagia membuat individu menjadi bersemangat menjalani
kegiatannya sehari-hari. Energi positif ini membuat individu merasa
bersemangat dan optimis. Salah satu karakteristik individu yang
bahagia adalah optimisme (Myers, 2010). Orang yang optimis

168
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

percaya bahwa penyebab peristiwa yang baik bersifat permanen


dan penyebab peristiwa buruk bersifat sementara. Itu sebabnya
orang optimis berusaha agar mengalami kembali peristiwa yang
baik (Klausen, 2016). Individu yang berbahagia dapat membagi
energi positif ini kepada orang lain sehingga sehingga orang
lain juga menjadi semangat. Hasil ini sejalan dengan penelitian
terdahulu mengenai makna kebahagiaan pada mahasiswa
perempuan menunjukkan bahwa mereka merasa bahagia jika
bermanfaat bagi orang lain. Ketika membantu orang lain, mereka
merasakan kepuasan dan kebanggaan. Hal ini membuat mereka
merasa berbahagia (Ariska et al., 2020). Membantu orang lain
akan membuat orang lain menjadi semangat atau bahagia.
Kebahagiaan orang lain tersebut akan membuat individu yang
membantu juga merasa kebahagiaan.
4. Indikasi kesehatan mental individu.
Bahagia berkaitan dengan kesehatan mental. Seperti yang
dipaparkan dari hasil analisis data, salah satu makna bahagia
adalah memiliki emosi yang positif. Individu merasa senang,
tentram, jauh dari kesulitan. Suasana emosi yang positif ini
membuat individu akan merasa sehat secara mental. Penelitian
sebelumnya juga menunjukkan bahwa kesehatan mental yang
buruk ditandai dengan depresi dan sebaliknya, kesehatan mental
yang baik ditandai dengan bahagia (Makky & Mohanty, 2019).
Salah satu indikator individu memiliki kesehatan mental yang
baik adalah merasa bahagia. Individu dengan kesehatan mental
yang baik akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya sehingga
individu akan memiliki persepsi diri bahwa ia berguna, berharga,
dan mampu menggunakan segala potensi dan bakat semaksimal
mungkin (Zulkarnain, 2019).
5. Sedih itu capek.
Sedih merupakan salah satu emosi negatif yang tentunya
berdampak negatif bagi individu secara fisik. Kesedihan karena
suatu masalah dapat menyebabkan individu merasa depresi.
Terdapat gejala fisiologis yang menyertai bila individu mengalami
stres dan depresi. Rasa sakit, nyeri yang tidak jelas asalnya, nyeri

169
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

sendi, nyeri tungkai, nyeri punggung, merasa lelah, dan sulit


tidur merupakan gejala yang muncul pada individu yang depresi
(Trivedi, 2004). Sebaliknya, kebahagiaan juga membuat individu
lebih sehat. Bahagia membuat tubuh melepaskan hormon
dopamin, oksitosin, serotonin, dan endorfin. Keempat hormone
tersebut akan memberi efek menenangkan sehingga sel dalam
tubuh akan bekerja lebih baik (Farhud et al., 2014). Ketika sel-
sel tubuh bekerja dengan baik, tubuh pun akan menjadi rileks dan
tidak akan capek.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada banyak cara yang


dilakukan oleh partisipan ketika merasa sedih agar bisa kembali
bahagia. Cara yang dilakukan partisipan tersebut antara lain berdoa,
menangis, melakukan sesuatu yang disenangi, pergi bersama teman,
mencari waktu untuk menenangkan diri, dan melepaskan rasa sedih
karena tidak ada gunanya. Individu memang harus melakukan
sesuatu (coping) agar tidak berlarut dalam kesedihan. Individu yang
mampu melakukan coping akan semakin baik kesehatan mentalnya
(Mawarpury, 2013). Tentu saja, bentuk dan cara coping bergantung
pada masalah yang dihadapi dan pilihan individu itu sendiri.

Penutup
Jadi, apakah Anda memilih bahagia?. Kebahagiaan memang
seharusnya menjadi milik individu. Seperti roda berputar, hidup
kadang memiliki masalah kadang berjalan dengan mulus. Ketika hidup
berjalan tanpa halangan, individu akan bahagia. Ketika menghadapi
rintangan, individu dapat memilih untuk mengatasi rintangan dan
kembali bahagia.

Agar tetap dapat merasakan bahagia, individu dapat melakukan


beberapa hal, antara lain berpikir positif, menjalin relasi yang baik
dengan orang terdekat, selalu mensyukuri apa yang sudah dimiliki,
melakukan hobi dan mencintai diri sendiri apa adanya. Selain itu,
tidak ada salahnya individu dapat melakukan olahraga yang rutin,
menyantap makanan yang sehat, dan mendekatkan diri pada Tuhan.

170
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

Daftar Pustaka
Ahuvia, A., Thin, N., Haybron, D. M., Biswas-Diener, R., Ricard, M.,
& Timsit, J. (2015). Happiness: An interactionist perspective.
International Journal of Wellbeing, 5(1), 1–18. https://doi.
org/10.5502/ijw.v5i1.1
Akram, W., & Kumar, R. (2017). A Study on Positive and Negative
Effects of Social Media on Society. International Journal
of Computer Sciences and Engineering, 5(10), 351–354.
https://doi.org/10.26438/ijcse/v5i10.351354
Ariska, D., Situmorang, N. Z., Hanif, M., & Sulistiawan, A. (2020).
Makna Kebahagiaan Pada Mahasiswa Perempuan Di Era
Millennials. Psikoislamedia : Jurnal Psikologi, 5(1), 66–74.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Kebahagiaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. https://kbbi.
kemdikbud.go.id/entri/kebahagiaan
Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi : Psikologi Untuk Menemukan
Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Dewi, E. M. P. (2014). Konsep Kebahagiaan pada Remaja yang Tinggal
di Jalanan, Panti Asuhan dan Pesantren. Intuisi. (JURNAL
ILMIAH PSIKOLOGI), 6(1), 28–33.
Diananda, E. (2016). Makna Kebahagiaan dalam Pernikahan Pada
Remaja Awal yang Melakukan Pernikahan Siri. Psikoborneo:
Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2), 263–268. https://doi.
org/10.30872/psikoborneo.v4i2.4011
Dianovinina, K. (2018). Depresi pada Remaja: Gejala dan
Permasalahannya. Journal Psikogenesis, 6(1), 69–78.
https://doi.org/10.24854/jps.v6i1.634
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, Culture, and
Subjective Well-being: Emotional and Cognitive Evaluations of
Life. Annual Review of Psychology, 54(February), 403–425.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.54.101601.145056

171
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

Farhud, D. D., Malmir, M., & Khanahmadi, M. (2014). Happiness


& health: The biological factors- systematic review article.
Iranian Journal of Public Health, 43(11), 1468–1477.
Fave, A. D., Brdar, I., Wissing, M. P., Araujo, U., Solano, A. C.,
Freire, T., Hernández-Pozo, M. D. R., Jose, P., Martos, T.,
Nafstad, H. E., Nakamura, J., Singh, K., & Soosai-Nathan,
L. (2016). Lay definitions of happiness across nations: The
primacy of inner harmony and relational connectedness.
Frontiers in Psychology, 7(JAN). https://doi.org/10.3389/
fpsyg.2016.00030
Fuad, M. (2017). Psikologi Kebahagiaan Manusia. KOMUNIKA: Jurnal
Dakwah Dan Komunikasi, 9(1), 114.
Goldman, A. H. (2017). Happiness is an Emotion. Journal of Ethics,
21(1), 1–16. https://doi.org/10.1007/s10892-016-9240-y
Haris, M. (2016). Kebahagiaan menurut para filsuf. Tasamuh: Jurnal
Studi Islam, 8(Volume 8, Nomor 2, September 2016, 243-
264), 1–14.
Harmaini, H., & Yulianti, A. (2014). Peristiwa-Peristiwa Yang Membuat
Bahagia. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 109–
119. https://doi.org/10.15575/psy.v1i2.472
Hidayah, S. (2016). Dukungan Sosial dan Kebahagiaan Pada Lansia
yang Tinggal di UPTD Panti Sosial. Psikoborneo: Jurnal
Ilmiah Psikologi, 4(3), 334–340. https://doi.org/10.30872/
psikoborneo.v4i3.4091
Jannah, R., Psikologi, M., Dahlan, A., Putra, M. S., & Situmorang, N.
Z. (2019). Makna kebahagiaan mahasiswa perantau. Jurnal
Psikologi Terapan Dan Pendidikan, 1(1), 22–29.
Kapoor, N., Rahman, S., & Kaur, T. (2018). Meaning of happiness:
A qualitative inquiry among adolescents. Indian Journal
of Positive Psychology, 9(01), 178–183. https://doi.
org/10.15614/ijpp.v9i01.11768

172
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

Kauppinen, A. (2013). Meaning and happiness. Philosophical


Topics, 41(1), 161–185. https://doi.org/10.5840/
philtopics20134118
Kencana, J. P. (2022). Konsep Bahagia Dalam Paradigma Aristoteles.
Forum, 51(1), 63–71. https://doi.org/10.35312/forum.
v51i1.407
Klausen, S. H. (2016). Happiness, Dispositions and the Self. Journal
of Happiness Studies, 17(3), 995–1013. https://doi.
org/10.1007/s10902-015-9628-6
Mahmood, R., Nawaz, M., & Meer, A. (2020). Influence of Social
Media on Psychological Distress Among Youth: A Case Study
of Instagram. Global Sociological Review, 5(3), 124–129.
https://doi.org/10.31703/gsr.2020(v-iii).14
Makki, N., & Mohanty, M. S. (2019). Mental Health and Happiness:
Evidence From the U.S. Data. The American Economist, 64(2),
197–215. https://doi.org/10.1177/0569434518822266
Mawarpury, M. (2013). Coping sebagai Prediktor Kesejahteraan
Psikologis : Studi Meta Analisis. Psycho Idea, 11(1), 38–47.
https://doi.org/10.30595/psychoidea.v11i1.254
Musabiq, S., & Karimah, I. (2018). Gambaran Stress dan Dampaknya
Pada Mahasiswa. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 20(2), 74.
https://doi.org/10.26486/psikologi.v20i2.240
Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed). McGraw-Hill.
Nabila, A., Putri, A. P., Nafsah, S., & Nashori, F. (2021). Sincerity
and Happiness of Students in Yogyakarta: Keikhlasan dan
Kebahagiaan Mahasiswa di Yogyakarta. Proceding of Inter-
Islamic University Conference on Psychology, 1(1), 1–10.
Nugroho, B. C. (2022). Eudaimonia: Elaborasi Filosofis Konsep
Kebahagiaan Aristoteles dan Yuval Noah Harari. Focus, 1(1),
8–14. https://doi.org/10.26593/focus.v1i1.4086

173
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

Nursal, V. (2021). Tingkat Kebahagiaan Mahasiswa Rantau yang


Pulang Kampung Halaman Akibat Pandemi Covid 19. Socio
Humanus, 3(3), 265–271.
Patnani, M. (2012). Kebahagiaan Pada Perempuan. Jurnal
Psikogenesis, 1(1), 56–64.
Permatasari, A., Notodiputro, K. A., & Sadik, K. (2018). Mengukur
Indeks Kebahagiaan Mahasiswa IPB Menggunakan Analisis
Faktor. Xplore: Journal of Statistics, 2(1), 1–8. https://doi.
org/10.29244/xplore.v2i1.69
Prabowo, R. B., & Laksmiwati, H. (2020). Hubungan antara Rasa
Syukur dengan Kebahagiaan pada Mahasiswa Jurusan
Psikologi Universitas Negeri Surabaya. Character: Jurnal
Penelitian Psikologi, 7(1), 1–7.
Rayan, M. D. N. (2020). Menurunnya Tingkat Kebahagiaan Mahasiswa
di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Psikologi, 4(1), 18–26.
Rina, A. P., Pratikto, H., Martin, R. A., & Dewa, R. Z. A. (2022).
Hubungan Antara Persepsi Diri Dengan Kebahagiaan Pada
Remaja. Brilliant: Jurnal Riset Dan Konseptual, 7(1), 288–
298.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials:
A review of research on hedonic and eudaimonic well-being.
Annual Review of Psychology, 52(February), 141–166.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.52.1.141
Safaria, T. (2014). Forgiveness, Gratitude, and Happiness among
College Students. International Journal of Public Health
Science (IJPHS), 3(4), 241. https://doi.org/10.11591/ijphs.
v3i4.4698
Saniskoro, B. S. R., & Akmal, S. Z. (2020). Peranan penyesuaian diri
di perguruan tinggi terhadap stres akademik pada mahasiswa
perantau di Jakarta. Jurnal Psikologi Ulayat, 4(1), 96–106.
https://doi.org/10.24854/jpu67

174
Hidup Itu Bukanlah Hidup Jika Tidak Bahagia: Studi Deskriptif Makna Bahagia Mahasiswa

Sari, D. P. (2021). Makna Kebahagiaan bagi Wanita Karir yang


Berkeluarga. Jurnal Penelitian Dan Ilmu Perilaku, 1(Juni),
62–73.
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic Happiness. In Https://Medium.
Com/. The Free Press.
Seligman, M. E. P . (2005). Positive psychology progress: empirical
validation of interventions. American Psychologist,
60 (5). Diakses dari http://sppc.sas.upenn.edu/
positivepsychologyresearch
Trivedi, M. H. (2004). The link between depression and physical
symptoms. Primary Care Companion to the Journal of
Clinical Psychiatry, 6(Suppl 1), 12–16.
Uraningsari, F., & Djalali. (2016). Penerimaan Diri, Dukungan
Sosial dan Kebahagiaan Pada Lanjut Usia. Jurnal Psikologi
Indonesia, 5(01), 15–27.
van der Deijl, W. (2016). What happiness science can learn from
John Stuart Mill. International Journal of Wellbeing, 6(1),
164–179. https://doi.org/10.5502/ijw.v6i1.464
Zulkarnain, Z. (2019). Kesehatan Mental dan Kebahagiaan. Mawa’Izh:
Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan,
10(1), 18–38. https://doi.org/10.32923/maw.v10i1.715

Biodata Penulis
Dr. Dessi Christanti, M.Si. lahir di Mojokerto, Jawa
Timur, 11 Desember 1972. Pendidikan sarjana
Psikologi diperoleh di Universitas Gadjah Mada pada
tahun 1997. Pendidikan S2 di bidang Psikologi Sosial
ditempuh di Universitas Indonesia. Gelar Doktor di
bidang yang sama diselesaikan pada tahun 2020 di
Universitas Airlangga Surabaya. Dr. Dessi Christanti,
S.Psi., M.Si merupakan staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya sejak tahun 1998 hingga sekarang.

175
KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF

Beliau juga menulis buku Aku Anak Hebat Karakter Positif bersama
Srisiuni Sugoto, M.Si.,Ph.D. dan H. Mohammad Iqbal, M.Si. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan adalah Psikodinamika Moral
Disengagement Remaja Pelaku Pencabulan, Pengaruh Kecemasan
Terhadap Persepsi Informasi Covid 19 yang Dimediasi Kemampuan
Berpikir Kritis, dan Pendidikan Anti Korupsi Pada Siswa Kelas IV SD.
Saat ini beliau juga aktif sebagai kakak pendamping Remaja Katolik
di salah satu paroki di Sidoarjo.

176

Anda mungkin juga menyukai