Anda di halaman 1dari 152

Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

LEVEL MATERI
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online
Ermida Simanjuntak

Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan


Desak Nyoman Arista Retno Dewi

LEVEL INDIVIDU
Konsep Diri: Pada Siswa SMA ‘DB’ Jogyakarta
Elisabet Widyaning Hapsari

Self-compassion dan Well-being Orangtua


Agnes Maria Sumargi

Mindful Parenting
Yettie Wandansari

Tonggak Penting The Near Phase Pensiun, Membangun Sikap Positif


Terhadap Pensiun
Florentina Yuni Apsari

LEVEL KOMUNITAS/ORGANISASI/INSTITUSI
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat
G. Edwi Nugrohadi

Positive Organization: Positive Meaning di Tempat Kerja,


Mengapa Penting?
Nurlaila Effendy

Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi


Karaoke
Sylvia Kurniawati Ngonde

iii
iv
Kata Pengantar

D engan mengucap puji syukur kepada Yang Kuasa, buku Psikologi


Positif yang pertama yang ditulis oleh para dosen Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya akhirnya dapat
terbit. Kehadirannya bertepatan dengan Dies Natalis ke-23 Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya sehingga
menjadi persembahan tersendiri bagi Fakultas yang memiliki visi
sebagai agent of change dengan nuansa keilmuan psikologi positif.

Buku ini berisikan pemikiran dan gagasan para dosen tentang konsep
dan penerapan psikologi positif. Pemikiran tersebut diharapkan dapat
memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi positif,
antara lain dengan memunculkan riset-riset penting dalam bidang
psikologi positif. Sementara itu, paparan mengenai penerapan psikologi
positif diharapkan dapat digunakan oleh para praktisi sebagai bekal
untuk mengatasi persoalan di lapangan. Besar harapan buku Psikologi
Positif ini dapat diterima oleh masyarakat akademik maupun non
akademik.

Pada kesempatan ini, saya mengapresiasi jerih payah para dosen


yang menjadi kontributor buku ini, juga para editor yang meluangkan
waktunya untuk membuat tulisan yang masuk menjadi tertata rapi
dan enak dibaca. Terima kasih. Semoga persembahan buku ini akan
disambung dengan karya-karya berikutnya.

Proficiat, Fakultas Psikologi, proficiat buat kita semua.

Surabaya, 15 November 2021


Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Agnes Maria Sumargi, Ph. D, Psikolog

v
vi
Daftar Isi

KATA PENGANTAR v

SEUNTAI ULASAN EDITOR ix

LEVEL MATERI 1
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong
Secara Online 3
Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan 19

LEVEL INDIVIDU 31
Konsep Diri: Pada Siswa SMA ’DB’ Yogyakarta 33
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua 43
Mindful Parenting 57
Tonggak Penting The Near Phase Pensiun:
”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun” 73

LEVEL KOMUNITAS/ORGANISASI/ INSTITUSI 87


Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran
dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat 89
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja,
Mengapa Penting? 105
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan
di Media Aplikasi Karaoke 123

vii
viii
Seuntai Ulasan Editor

P ada tahun 1998 saat Martin Seligman menjadi presiden APA


(American Psychology Association) bersama beberapa koleganya
mendirikan Psikologi Positif. Tujuan mendirikan Psikologi Positif
adalah menginginkan manusia memiliki: a pleasant life, a good life,
dan a meaningful life. Ketiga tujuan tersebut digambarkan sebagai
flourishing. Tujuan dari Psikologi Positif tersebut adalah kesejahteraan
tertinggi dalam spektrum kesehatan mental.

Pada awalnya Ilmu Psikologi memiliki 3 tujuan utama, yaitu 1)


Menyembuhkan terkait dengan kesehatan mental; 2) Mengidentifikasi
dan memelihara bakat, potensi, dan mengembangkan strengths;
3) Membantu manusia untuk hidup lebih produktif dan bermakna.
Namun, setelah Perang Dunia Kedua, fokus Psikologi hanya pada
fungsi pertama (menyembuhkan terkait dengan kesehatan mental).
Kondisi tersebut berlangsung lama, sehingga tujuan kedua dan
ketiga tidak menjadi perhatian utama. Psikologi hanya berfokus pada
sebagian fungsi manusia.

Psikologi Positif menjembatani perubahan dalam Psikologi agar tidak


hanya memperbaiki hal-hal buruk saja dalam hidup tetapi juga fokus
ke arah membangun kualitas terbaik dalam hidup. Psikologi Positif
adalah studi ilmiah tentang fungsi manusia yang optimal (virtues dan
human strength). Tujuannya untuk menemukan dan mempromosikan
faktor yang memungkinkan individu, komunitas, dan masyarakat
untuk tumbuh dan berkembang. Psikologi Positif menemukan ada

ix
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

kekuatan/strengths pada manusia yang bertindak sebagai buffer


melawan mental illness.

Intervensi pada Psikologi Positif bukan hanya pada terselesaikan


masalah, namun sampai mengoptimalkan fungsi manusia sehingga
menuju flourishing melalui human strengths, yaitu positive trait
yang dikenal dengan character strengths. Kajian Intervensi Psikologi
Positif atau disebut PPI (Positive Psychology Intervention) ada 5
kategori besar yaitu savoring, gratitude, kindness, empathy, optimist,
strengths, dan meaning dengan metode bervariasi (misalnya: book-
based intervention, classroom, self-help berbasis digital, dan lain-
lain). Ada berbedaan konsep intervensi dengan psikologi klinis,
misalnya. Psikologi Positif dapat diterapkan pada berbagai konteks
kehidupan dan level.

Psikologi Positif dalam Berbagai Level


Pada Psikologi Positif juga dapat diterapkan berbagai konteks
kehidupan dan level. Baik pada level pertama (materi, subject matter,
menyangkut emosi positif), pada level individual (mengarah individual
trait yang positif, dan pada level kelompok (kelembagaan positif).

Psikologi Positif juga sebagai scientific vision pada fakultas Psikologi,


Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWM). UKWMS
merupakan pioneer perkembangan Psikologi Positif di Indonesia,
dimulai dengan temu Ilmiah Psikologi Positif I (tahun 2015) dan II
(tahun 2016), juga aktivitas-aktivitas ilmiah (workshop, webinar,
dan lain-lain) untuk dosen dan umum, serta program-program
untuk mahasiswa. Pada penghujung tahun 2021 meluncurkan buku
Psikologi Positif yang membahas berbagai konteks dari perspektif
Psikologi Positif, baik pada level subject matter, level individu, dan
level kelompok. Pembahasan dapat menjadi luas tetapi justru memberi
gambaran konteks dan level dalam Psikologi Positif.

Pembahasan buku ini dibagi tiga, yaitu: pada level subject matter,
yakni pembahasan tentang Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam

x
Seuntai Ulasan Editor

Perilaku Menolong secara Online. Altruisme digital dalam bentuk


perilaku menolong seseorang secara online dapat meningkatkan
subjective well-being dan gratitude pada diri individu yang
memberikan pertolongan. Pembahasan juga mengenai Membangun
Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan. Optimisme dan perilaku
keselamatan akan mampu melalui situasi yang menantang dan dapat
membantu individu menjalankan kehidupan dan beraktivitas.

Pada level individu, pembahasan pada level individu tentang


Konsep Diri: Pada Siswa SMA ‘DB’ Jogyakarta, yaitu kepribadian
yang cenderung menutup diri dan tidak mudah percaya pada orang
lain perlu pendampingan untuk membangun kepercayaan subjek
pada orang lain. Self-Compassion dan Well-Being Orangtua juga
dipaparkan dalam buku ini. Self-compassion yang merupakan sikap
belas kasih terhadap diri sendiri yang dapat digunakan sebagai
strategi untuk mengatasi stres dan meningkatkan well-being. Mindful
parenting adalah pembahasan level individu terkait sebuah proses
pengasuhan yang melibatkan lima aspek utama untuk meningkatkan
perkembangan positif pada anak serta mengurangi perkembangan
negatif pada anak. Pembahasan juga tentang Tonggak Penting The
Near Phase Pensiun, Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun.
Pembahasan tentang mengembangkan kekuatan dan dan sikap positif
pada persiapan masa pensiun.

Pada level kelompok/komunitas/institusi: Pembahasan pada level


ini tentang Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam
Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat, yaitu pembelajaran
berbasis layanan (service learning) dapat menjadi solusi yang patut
dicoba untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan
tinggi dengan dunia kerja. Sedangkan pada organisasi juga dipaparkan
tentang Positive organization: Positive meaning di tempat kerja,
mengapa penting? yaitu membangun positive meaning untuk mencapai
kinerja dan work engagement sehingga memiliki kesehatan mental
ditempat kerja. Pada ranah sosial ada pemaparan tentang Kekuatan
hubungan komunikasi dan pertemanan di media aplikasi karaoke.
Pendekatan personal branding dalam ranah mengembangkan citra

xi
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

positif dan bisa menjadikan sebagai sarana komunikasi merendam


konflik-konflik sosial yang dapat berasal dari perbedaan pemahaman
karakter budaya.

Dengan memahami secara keseluruhan dari buku ini menjadi dapat


pemahaman Psikologi Positif yang memang berjenjang dan berbagai
konteks. Semoga buku ini dapat membawa wawasan baru, insight,
dan ide baru pada penerapan di kehidupan para pembacanya.

Selamat menikmati buku yang penting bagi kehidupan manusia.

Editor
Tim Positive Psychology Center:
Dr. Nurlaila Effendy, M.Si., Dr. Dessi Christanti, M.Si.,
Eli Prasetyo, M.Psi, Psikolog

xii
LEVEL MATERI

1
2
Altruisme Digital: Psikologi
Positif dalam Perilaku
Menolong Secara Online

Ermida Simanjuntak

A ltruisme atau perilaku menolong merupakan hal yang menarik


minat para peneliti Psikologi mengingat altruisme adalah tindakan
menolong yang bertujuan untuk memberikan keuntungan maupun
kesejahteraan kepada orang lain tanpa mengharapkan adanya imbalan
(Myers & Twenge, 2019). Berkaitan dengan perilaku menolong,
Indonesia ditempatkan sebagai negara yang paling dermawan pada
tahun 2021 berdasarkan World Giving Index pada survei yang
dilakukan oleh Charities Aid Foundation (CAF, 2021). Berdasarkan
survei ini disebutkan bahwa 1 dari 8 orang di Indonesia bersedia
mendonasikan uangnya serta terlibat pada kegiatan relawan sebesar
tiga kali dari rata-rata index menolong secara global pada tahun 2020
(CAF, 2021).

Konsep altruisme dalam bentuk perilaku menolong ini pada


perkembangannya juga terjadi secara online. Menolong secara online
atau altruisme digital diartikan sebagai perilaku menolong tanpa
pamrih yang dilakukan oleh seseorang lewat media online (Luo et
al., 2021; Zheng et al., 2016; Zhou et al., 2019). Altruisme digital
ini tidak terlepas dari perkembangan internet dan teknologi ketika

3
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

sebagian besar relasi-relasi sosial antar individu di masa sekarang


dilakukan secara online. Penelitian yang dilakukan oleh Hu (2020)
menyebutkan bahwa situasi online ternyata mendorong seseorang
untuk dapat memberikan pertolongan secara lebih cepat dan sesuai
dengan kebutuhan dari orang yang membutuhkan pertolongan.
Merujuk pada hal ini maka perilaku menolong secara online menarik
untuk dikaji lebih lanjut mengingat perkembangan internet yang pesat
menyebabkan interaksi-interaksi sosial yang terjadi saat ini lebih
banyak bersifat online.

Berkaitan dengan altruisme digital maka perkembangan internet


di Indonesia turut berperan serta dalam membentuk terjadinya
altruisme digital. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa sejumlah
196,71 juta penduduk Indonesia telah menggunakan internet dan
tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Kominfo, 2020b). Selain itu,
situasi pandemi Covid-19 juga turut berpengaruh pada peningkatan
penggunaan internet oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya
pembatasan pergerakan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah
untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 sehingga hampir seluruh
kegiatan dilakukan secara online dari rumah (Kominfo, 2020a).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan internet yang


tinggi sering dikaitkan sebagai sumber masalah dalam relasi sosial
karena menyebabkan kurangnya kemampuan individu dalam interaksi
sosial, munculnya ketergantungan individu pada internet maupun
terjadinya online disinhibition yaitu individu menampilkan perilaku
yang berbeda antara dunia maya dan dan dunia nyata (Suler, 2004;
Turkle, 2011; Young, 2017). Di sisi lain, beberapa penelitian juga
menunjukkan adanya dampak positif dari internet yaitu meningkatkan
keinginan individu untuk memberikan pertolongan kepada orang lain
(Hu, 2020; Lee & Lee, 2010; Zheng et al., 2021).

Tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai altruisme digital,


riset-riset yang membahas mengenai altruisme digital serta keterkaitan
menolong secara online dengan psikologi positif. Dengan demikian,

4
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

tulisan ini dapat memberikan informasi mengenai penggunaan internet


untuk aktivitas menolong secara online (altruisme digital) yang dapat
dioptimalkan untuk mendapatkan efek positif bagi para pengguna
internet.

Telaah Literatur Altruisme Digital


Menolong secara kajian teori dikaitkan dengan istilah perilaku prososial
dan altruisme (Branscombe & Baron, 2017; Myers & Twenge, 2019).
Altruisme dapat digolongkan ke dalam perilaku prososial yaitu perilaku
yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi orang lain atau
kelompok (Myers & Twenge, 2019). Seseorang yang melakukan
altruisme akan melakukan tindakan menolong tanpa memikirkan
keuntungan yang akan diperolehnya. Altruisme didefinisikan sebagai
tindakan menolong tanpa pamrih yang bertujuan untuk memberikan
keuntungan pada orang lain atau kelompok (Branscombe & Baron,
2017; Myers & Twenge, 2019). Altruisme muncul akibat adanya
rasa empati pada individu yang membutuhkan pertolongan sehingga
mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan (Branscombe &
Baron, 2017). Ada 3 komponen empati yang terlibat pada seseorang
yang memutuskan untuk melakukan tindakan menolong yaitu :
komponen emosi berupa merasakan perasaan serta emosi yang dialami
oleh orang lain; komponen kognitif berupa pemahaman akan apa
yang dipikirkan oleh orang lain yang membutuhkan pertolongan dan
komponen pertimbangan berupa pertimbangan akan kesejahteraan
(well-being) orang lain yang membutuhkan bantuan (Branscombe &
Baron, 2017).

Pada perkembangannya, altruisme ini tidak hanya sebatas altruisme


dalam dunia nyata tetapi juga merambah pada dunia maya (online).
Altruisme digital ini muncul seiring dengan maraknya penggunaan
internet pada masa sekarang dan adanya kebutuhan untuk
mendapatkan pertolongan secara cepat. Sebagai contoh pada masa
meningkatnya kasus Covid-19 dan kebutuhan untuk mendapatkan
tabung oksigen maupun donor plasma konvalesen maka warga
saling menolong memberikan informasi lewat komunitas online

5
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

seperti Whatsapp group dan aplikasi internet (Zain, 2021; Zuhad,


2021). Penyebaran informasi secara online mempercepat individu
yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan akses pada tabung
oksigen maupun donor plasma konvalesen. Hal ini membuktikan
bahwa altruisme tidak hanya terjadi pada konteks offline tetapi juga
terjadi secara online.

Konsep altruisme digital dalam beberapa penelitian disebut sebagai


internet altruistic behavior (IAB) yang didefinisikan sebagai perilaku
yang dilakukan secara sukarela untuk menolong orang lain secara
online tanpa adanya paksaan dari pihak luar serta tidak mengharapkan
adanya imbalan (Jiang et al., 2017; Liu et al., 2014; Zheng et al.,
2021). Definisi ini menunjukkan bahwa altruisme digital memiliki
persamaan arti dengan altruisme yang dilakukan seseorang pada
dunia nyata (offline). Namun demikian, ada beberapa perbedaan
kondisi menolong secara online mengingat ada kalanya individu
yang menolong dan individu yang menerima pertolongan seringkali
belum pernah bertemu sebelumnya (Zhou et al., 2019). Hal yang
menarik dari altruisme digital adalah sifat internet yang anonim
justru membuat pertolongan secara online lebih banyak muncul
dibandingkan pertolongan yang sifatnya offline (Zhou et al., 2019).

Amichai-Hamburger (2008) menyebutkan bahwa ada beberapa hal


yang menyebabkan internet merupakan sarana yang berpeluang
menjadi tempat pemberian pertolongan. Peluang tersebut pada
level personal antara lain yaitu : kemudahan akan akses informasi,
kebebasan untuk mencari informasi, kekayaan informasiyang dapat
diakses dan meminimalkan adanya hambatan / disabilitas. Pada
level personal ini seseorang dapat berkontak dengan siapapun serta
memperoleh informasi yang dibutuhkan secara cepat. Ditinjau pada
level kelompok dan interaksi sosial maka internet mampu memberikan
kemudahan untuk setiap orang saling menolong dalam bertukar
informasi serta memungkinkan setiap orang untuk memperoleh
pengetahuan baru (Amichai-Hamburger, 2008). Selain itu, sifat
anonimitas internet membuat seseorang menjadi lebih rileks dalam

6
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

berinteraksi sosial sehingga kemungkinan akan lebih cepat dalam


memberikan pertolongan (Zhou et al., 2019).

Terkait dengan konsep Psikologi Positif, beberapa penelitian altruisme


digital menunjukkan adanya keterkaitan altruisme digital dengan well-
being dan emosi positif. Penelitian yang dilakukan oleh Moynihan
et al., (2015) menyebutkan bahwa altruisme digital mampu
meningkatkan subjective well-being karyawan yang suka membantu
karyawan lain dalam organisasi secara online. Para karyawan yang
memberikan bantuan juga merasakan kebahagiaan ketika dapat
memberikan bantuan secara online kepada karyawan lain sehingga
subjective well-being mereka menjadi meningkat. Penelitian yang
dilakukan oleh Zheng et al. (2018) pada mahasiswa di China juga
menunjukkan adanya self-schemata dan self-belief yang positif ketika
sering melakukan altruisme digital. Penelitian ini juga menyebutkan
bahwa mahasiswa-mahasiswa yang sering memberikan pertolongan
secara online memperoleh kepuasan diri dan memiliki subjective
well-being yang baik. Merujuk pada hal ini maka menolong secara
online terbukti memberikan perasaan dan emosi positif bagi orang
yang memberikan pertolongan sehingga meningkatkan subjective
well-being orang tersebut. Dengan demikian memberikan pertolongan
secara online juga memberikan efek yang sama seperti dalam situasi
nyata (offline) bagi individu yang memberikan pertolongan.

Perkembangan Penelitian Altruisme Digital


Penelitian-penelitian mengenai altruisme digital mulai dilakukan
sejak internet berkembang dengan pesat dan semakin banyaknya
interaksi-interaksi sosial yang dilakukan secara online. Berikut ini
adalah penelitian-penelitian mengenai altruisme digital dalam bentuk
internet altruistic behavior pada beberapa konteks situasi:

A. Penelitian Lee & Lee (2010)


Penelitian ini dilakukan pada situasi dunia kerja ketika perilaku
menolong berhubungan dengan pemanfaatan sistem informasi
(information system) yang ada di perusahaan. Sistem informasi

7
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

perusahaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah


electronic bulletin boards, web communities dan knowledge
management systems. Pada penelitian ini information system
richness (IS richness) merupakan salah satu variabel yang diteliti
keterkaitannya dengan perilaku menolong. IS richness adalah
tingkatan kenyamanan dan kemudahan komunikasi yang dilakukan
seseorang melalui sistem informasi perusahaan. Hal ini didasarkan
pada penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa IS richness
akan berpengaruh pada kelancaran penyampaian informasi dari
sumber informasi menuju target (Kwok & Gao, 2005). Individu
akan memutuskan menolong atau tidak berdasarkan pesan yang
disampaikan dalam situasi online oleh orang lain yang sedang
membutuhkan bantuan. Dengan demikian sistem informasi
akan berfungsi sebagai media yang dapat membantu pemberian
pertolongan oleh orang-orang yang potensial untuk menolong
(potential helpers) pada pihak yang membutuhkan bantuan (help-
seeker). Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah
siapa yang akan membantu orang lain lewat IS dan faktor-faktor
apa yang mempengaruhi seseorang memberikan pertolongan
lewat sistem informasi perusahaan. Partisipan penelitian adalah
167 pekerja profesional di Korea yang berasal dari 34 perusahaan.
Partisipan penelitian terdiri dari 132 pria dan 35 wanita. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa IS richness berpengaruh pada
kecenderungan seseorang untuk menolong secara online pada
sistem informasi perusahaan. Selain itu job autonomy serta
altruistic traits juga berpengaruh pada perilaku menolong pada
sistem informasi perusahaan. Penelitian ini menekankan bahwa
penggunaan internet secara positif dapat terlihat dari adanya
pemanfaatan sistem informasi sebagai media untuk memberikan
pertolongan pada individu yang membutuhkan pertolongan (help-
seekers) di konteks dunia kerja. Pertolongan yang didapatkan
oleh karyawan yang bekerja di perusahaan akan meningkatkan
produktivitas karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

8
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

B. Penelitian Zheng et al. (2016)


Penelitian Zheng et al. (2016) bertujuan untuk mengetahui apakah
ada hubungan antara internet altruistic behavior dengan subjective
well-being (SWB) dengan mediasi variabel self-efficacy. Partisipan
pada penelitian ini adalah 467 siswa sekolah menengah di
Ganzhou Cina. Ada 216 siswa pria dan 251 siswa wanita dengan
rentang usia 12 – 16 tahun yang terlibat pada penelitian ini.
Subjective well-being (SWB) adalah evaluasi individu mengenai
kehidupan mereka yang didasarkan pada dimensi kepuasan
hidup, emosi positif dan emosi negatif. Penelitian ini didasarkan
pada penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa tindakan
menolong akan membuat individu dapat mengalihkan emosi
negatif yang dirasakannya kepada tindakan menolong yang akan
dilakukannya sehingga pada akhirnya individu akan dipenuhi
emosi positif (Moynihan et al., 2015). Hasil penelitian Zheng et al.
(2016) menunjukkan bahwa para siswa yang melakukan tindakan
menolong secara online (internet altruistic behavior) memiliki
SWB yang lebih tinggi daripada siswa yang tidak melakukan
internet altruistic behavior (IAB). Self-efficacy yang dimiliki
oleh siswa yang melakukan IAB akan lebih tinggi daripada siswa
yang tidak melakukan IAB. Self-efficacy sebagai variabel mediasi
terbukti memiliki pengaruh secara tidak langsung pada keterkaitan
IAB dengan SWB. Siswa yang melakukan IAB akan memiliki self-
efficacy yang tinggi sehingga siswa akan merasa kompeten dan
kemudian hal ini akan berdampak pada kenaikan SWB siswa.

C. Penelitian Jiang et al. (2017)


Penelitian ini dilakukan pada 238 partisipan yaitu mahasiswa
di Provinsi Hunan (Cina) yang bertujuan mengungkap mengenai
pengaruh antara belief in a just world (BJW) dan internet
altruistic behavior (IAB) yang dimediasi oleh variabel gratitude
dan self-esteem. BJW merupakan keyakinan bahwa mereka hidup
dalam dunia yang memiliki keadilan, bahwa setiap orang akan
menerima segala sesuatu sesuai dengan perbuatannya. Keyakinan
ini berhubungan dengan perilaku altruisme yaitu seseorang yang

9
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

berlaku altruistik akan menerima balasan yang baik. Berdasarkan


keyakinan ini maka pengguna internet juga beranggapan bahwa
menolong seseorang dalam dunia maya juga akan mendapatkan
balasan yaitu hal-hal yang baik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa BJW berpengaruh pada internet altruistic behavior secara
langsung. Di samping itu, BJW juga berpengaruh pada internet
altruistic behavior melalui mediasi variabel gratitude dan self-
esteem. Orang-orang yang memiliki keyakinan BJW akan memiliki
kebersyukuran (gratitude) dan harga diri (self-esteem) yang lebih
baik daripada orang yang tidak memiliki keyakinan BJW. Adanya
kebersyukuran dan harga diri yang baik akan membuat individu
tersebut akan menunjukkan perilaku menolong yang tinggi di
internet. Selain itu, sifat anonimitas yang menjadi karakteristik
internet membuat orang-orang lebih berminat menolong di internet
karena permintaan tanggungjawab yang dapat dihindari serta
pengeluaran biaya secara ekonomi dan psikologis yang lebih
rendah dibandingkan menolong yang sifatnya offline.

D. Penelitian Hu (2020)
Penelitian ini dilakukan pada 216 relawan yang terlibat pada forum
online situs ”Zhi Ai Jia Yuan” yang berfokus pada penanganan
pengidap HIV/AIDS (Hu, 2020). Para relawan ini membagikan
informasi secara online bagi para pengidap yang bertanya di situs
”Zhi Ai Jia Yuan”. Hal-hal yang dilakukan oleh para relawan di
forum online ini antara lain menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan oleh pengidap HIV/AIDS, menyediakan informasi-
informasi yang dibutuhkan oleh para pengidap HIV/AIDS,
memberikan semangat kepada para pengidap HIV/AIDS dan
memberikan bantuan material yang praktis. Relawan paling aktif
di forum ini telah memberikan respon online sebanyak 10.000
posting dan relawan yang kurang aktif setidaknya pernah melakukan
posting 1 kali di forum ini. Selain posting ada pula relawan yang
telah membuat situs kesehatan yang memberikan informasi
mengenai penanganan AIDS yang terbaru serta informasi-informasi
praktis untuk menjaga kondisi pengidap HIV/AIDS. Penelitian ini

10
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

menunjukkan bahwa altruisme digital yang dilakukan oleh relawan


lewat forum online telah memberikan kesempatan kepada para
pengidap HIV/AIDS untuk lebih terbuka dan dapat memperoleh
bantuan informasi secara cepat tanpa perlu merasa cemas karena
anonimitas yang ada di internet.

E. Penelitian Luo et al. (2021)


Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap keterkaitan antara
internet altruistic behavior (IAB) dengan self-consistency and
congruence (SCC) serta peran variabel mediator self-efficacy dan
variabel moderator self-esteem pada hubungan IAB dan SCC. Self-
consistency and congruence didefinisikan sebagai kondisi harmoni
pada self yang dimiliki individu karena adanya konsistensi antara
self dengan pengalaman yang didapatkan oleh individu. Ketika
individu memberikan pertolongan secara online maka individu
akan mendapatkan perasaan harmoni pada self yang dimilikinya.
Penelitian ini dilakukan pada 1037 mahasiswa dari 4 perguruan
tinggi di provinsi Sichuan Cina. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara internet altruistic behavior (IAB) dengan
self-consistency and congruence (SCC) baik secara langsung
maupun melalui variabel mediasi self-efficacy. Hasil penelitian
ini membuktikan bahwa mahasiswa yang melakukan internet
altruistic behavior akan memiliki kondisi harmoni antara self yang
mereka miliki dengan pengalaman yang mereka rasakan (self-
consistency and congruence). Selain itu mahasiswa yang suka
memberi pertolongan secara online juga memiliki rasa self-efficacy
yang tinggi sehingga mahasiswa-mahasiswa tersebut memiliki rasa
percaya diri yang kuat untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas
mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa self-esteem
dapat memperkuat hubungan antara internet altruistic behavior
(IAB) dengan self-consistency and congruence (SCC). Hal ini
disebabkan karena individu yang menilai dirinya positif akan
memiliki pandangan yang positif mengenai relasi sosial sehingga
akan lebih mudah memberikan pertolongan sehingga merasa lebih
konsisten dan kongruen dengan dirinya.

11
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

F. Penelitian Zheng et al. (2021)


Penelitian ini dilakukan pada 383 mahasiswa di Cina dalam rentang
usia 17 – 22 tahun yang mengungkap mengenai internet altruistic
behavior atau perilaku menolong di internet dengan harga diri
(self-esteem). Pada penelitian ini variabel mediator adalah online
social support (OSS) dan gender yang diasumsikan berpengaruh
pada keterkaitan antara harga diri dan internet altruistic behavior.
OSS adalah perasaan individu bahwa ia memiliki identitas serta
menjadi bagian (belonging) saat individu merasa dipahami dan
dihargai dalam sebuah interaksi interpersonal secara online.
Ditinjau dari gender penelitian ini juga mengasumsikan bahwa
ada perbedaan gender dalam internet altruistic behavior. Hal ini
didasarkan pada penelitian sebelumnya bahwa pria lebih mudah
menolong pada lingkungan online daripada wanita (Ma et al.,
2011). Penelitian yang dilakukan oleh (Zheng et al., 2021) ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara harga diri
dan internet altruistic behavior. Individu dengan harga diri yang
positif akan berpandangan bahwa mereka mampu menolong orang
lain sehingga akan lebih mudah melakukan internet altruistic
behavior. Hal ini berkebalikan dengan individu dengan harga
diri yang rendah negatif akan merasa menghadapi kesulitan
saat melakukan tindakan menolong sehingga mereka cenderung
tidak akan melakukan internet altruistic behavior. Keterkaitan
antara harga diri pada internet altruistic behavior dimediasi oleh
online social support pada pria tetapi tidak pada wanita. Hal
ini disebabkan karena pria memandang lingkungan online lebih
positif dibandingkan wanita sehingga pria merasa mendapatkan
online social support sehingga mendorong pria untuk lebih mudah
menolong dalam lingkungan online.

Implikasi Praktis
Penelitian-penelitian maupun kajian teori mengenai altruisme digital
menunjukkan adanya keterkaitan antara menolong secara online
(internet altruistic behavior) dengan konsep-konsep psikologi positif

12
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

seperti subjective well-being, happiness dan emosi positif baik dalam


konteks individu maupun organisasi. Individu yang memberikan
pertolongan secara online merasakan sebuah kepuasan, kebersyukuran
(gratitude) dan kebahagiaan (happiness). Hal ini kemudian berpotensi
memunculkan emosi-emosi positif sehingga subjective well-being
individu dapat meningkat. Hal ini ditegaskan pula pada penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh Zheng et al. (2016) dan Jiang et al.
(2017) yang menyebutkan adanya peningkatan subjective well-being
serta gratitude pada siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang
melakukan altruisme digital. Post (2005) menyebutkan bahwa orang
yang memberikan pertolongan akan merasa dirinya lebih positif dan
memiliki suasana hati (mood) yang baik. Hal ini sejalan dengan
apa yang dirasakan oleh orang-orang yang memberikan pertolongan
secara online.

Pada level organisasi, altruisme digital juga berdampak dalam


meningkatkan kinerja organisasi karena setiap orang termotivasi
untuk memberikan pertolongan saat ada anggota organisasi yang
mengalami kesulitan dalam pekerjaannya. Ketika seseorang yang
mengalami kesulitan dalam pekerjaan mendapatkan bantuan secara
online maka orang tersebut akan merasa mendapatkan dukungan
sehingga ia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya serta berdampak
pada peningkatan produktivitas kerjanya. Adanya peningkatan
produktivitas ini didukung oleh penelitian Lee & Lee (2010) yang
meneliti karyawan yang melakukan altruisme digital dalam organisasi.

Berdasarkan paparan di atas maka beberapa rekomendasi yang dapat


diberikan penulis terkait altruisme digital antara lain:

a. Mendorong perilaku menolong online (altruisme digital) baik


dalam konteks individu maupun organisasi.
b. Mengembangkan sarana-sarana online (online tools) pada
organisasi untuk membantu terjadinya altruisme digital.
Organisasi juga dapat mengembangkan aplikasi secara online
untuk meningkatkan sarana komunikasi antar individu di

13
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

organisasi sehingga bantuan segera diterima oleh individu


yang membutuhkan bantuan dalam penyelesaian tugasnya.
c. Mengembangkan komunitas-komunitas online dengan tema-
tema tertentu untuk memberikan bantuan pada pihak-pihak
yang membutuhkan. Misalnya: komunitas online peduli lupus
bagi para penderita lupus, komunitas online peduli anak bagi
anak-anak pada kelompok rentan dan jenis tema-tema pada
komunitas online lainnya.
d. Melatih generasi muda untuk bersedia memberikan
pertolongan kepada orang lain meskipun lewat media online.
Hal ini dapat disosialisasikan dalam bentuk materi belajar
di sekolah sehingga para siswa juga dapat mengembangkan
perilaku menolong secara online.
e. Altruisme digital yang dilakukan tidak harus dalam bentuk
materi namun pemberian informasi-informasi untuk mencapai
apa yang dibutuhkan juga merupakan hal yang dapat dilakukan
untuk memberikan pertolongan.
f. Membantu membagikan kembali (reshare) bantuan yang
dibutuhkan oleh seseorang atas ijin orang yang membutuhkan
tersebut dalam komunitas-komunitas online. Hal ini dapat
dilakukan ketika individu belum dapat memberikan bantuan
yang dibutuhkan.

Kesimpulan
Altruisme digital dalam bentuk perilaku menolong seseorang secara
online merupakan hal yang dapat dikembangkan pada konteks
individu dan organisasi. Altruisme digital juga terbukti dapat
meningkatkan subjective well-being dan gratitude pada diri individu
yang memberikan pertolongan. Saat seseorang melakukan altruisme
digital maka akan terbentuk emosi positif pada orang tersebut
yang memberikan efek positif berupa meningkatnya kebersyukuran
(gratitude) dan kesejahteraan subjektif (subjective well-being).
Merujuk pada efek positif yang dirasakan pada individu yang
melakukan altruisme digital maka perilaku menolong secara online

14
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

ini dapat diajarkan kepada pada generasi muda sehingga keterlibatan


generasi muda pada internet menjadi berdampak positif baik bagi
dirinya maupun masyarakat di sekitarnya.

Daftar Pustaka
Amichai-Hamburger, Y. (2008). Potential and promise of online
volunteering. Computers in Human Behavior, 24(2), 544–
562. https://doi.org/10.1016/j.chb.2007.02.004
Branscombe, N. R., & Baron, R. A. (2017). Social Psychology (14th
ed.). Pearson Education Limited.
CAF. (2021). CAF World Giving Index 2021. https://www.
cafonline.org/docs/default-source/about-us-research/
cafworldgivingindex2021_report_web2_100621.pdf
Hu, Y. (2020). Why Do They Help People with AIDS/HIV Online?
Altruistic Motivation and Moral Identity. Journal of Social
Service Research, 46(3), 345–360. https://doi.org/10.108
0/01488376.2019.1575321
Jiang, H., Chen, G., & Wang, T. (2017). Relationship between belief
in a just world and Internet altruistic behavior in a sample of
Chinese undergraduates: Multiple mediating roles of gratitude
and self-esteem. Personality and Individual Differences, 104,
493–498. https://doi.org/10.1016/j.paid.2016.09.005
Kominfo. (2020a). Apa dan Bagaimana PSBB. https://www.kominfo.
go.id/content/detail/25932/apa-dan-bagaimana-psbb/0/
infografis
Kominfo. (2020b). Dirjen PPI: Survei Penetrasi Pengguna Internet di
Indonesia Bagian Penting dari Transformasi Digital. https://
www.kominfo.go.id/content/detail/30653/dirjen-ppi-survei-
penetrasi-pengguna-internet-di-indonesia-bagian-penting-
dari-transformasi-digital/0/berita_satker

15
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Kwok, S. H., & Gao, S. (2005). Attitude towards Knowledge Sharing


Behavior. Journal of Computer Information Systems, 46(2),
45–51.
Lee, G., & Lee, W. J. (2010). Altruistic traits and organizational
conditions in helping online. Computers in Human
Behavior, 26(6), 1574–1580. https://doi.org/10.1016/j.
chb.2010.06.003
Liu, H., Huang, X., Du, B., & Wu, P. (2014). Correlation Study
on Undergraduates’ Internet Altruistic Behavior, Self-
Concept and Inter-Personal Relation. Advances in Applied
Sociology, 04(04), 128–133. https://doi.org/10.4236/
aasoci.2014.44016
Luo, Y., He, X., Zhou, J., Zhang, Y., Ma, X., & Zou, W. (2021). Internet
altruistic behavior and self-consistency and congruence
among college students: A moderated mediation model of
self-efficacy and self-esteem. Current Psychology. https://doi.
org/10.1007/s12144-021-01831-3
Ma, H. K., Li, S. C., & Pow, J. W. C. (2011). The Relation of Internet Use
to Prosocial and Antisocial Behavior in Chinese Adolescents.
Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 14(3),
123–130. https://doi.org/10.1089/cyber.2009.0347
Moynihan, D. P., DeLeire, T., & Enami, K. (2015). A Life Worth Living.
The American Review of Public Administration, 45(3), 311–
326. https://doi.org/10.1177/0275074013493657
Myers, D., & Twenge, J. (2019). Social Psychology (13th ed.).
McGraw-Hill Education.
Post, S. G. (2005). Altruism, happiness, and health: it’s good to be
good. International Journal of Behavioral Medicine, 12(2),
66–77. https://doi.org/10.1207/s15327558ijbm1202_4
Suler, J. (2004). The Online Disinhibition Effect. CyberPsychology
& Behavior, 7(3), 321–326. https://doi.
org/10.1089/1094931041291295

16
Altruisme Digital: Psikologi Positif dalam Perilaku Menolong Secara Online

Turkle, S. (2011). The Tethered Self: Technology Reinvents Intimacy


and Solitude. Continuing Higher Education Review, 75.
Young, K. S. (2017). The evolution of Internet addiction. In Addictive
Behaviors (Vol. 64, pp. 229–230). https://doi.org/10.1016/j.
addbeh.2015.05.016
Zain, F. M. (2021). Cerita Warga Desa di Cilacap Saling Bantu Atasi
Kelangkaan Oksigen bagi Pasien Covid-19. Kompas.Com.
https://regional.kompas.com/read/2021/08/09/071705478/
cerita-warga-desa-di-cilacap-saling-bantu-atasi-kelangkaan-
oksigen-bagi?page=all
Zheng, X., Wang, Y., & Xu, L. (2016). Internet Altruistic Behavior
and Subjective Well-Being: Self-Efficacy as a Mediator. Social
Behavior and Personality: An International Journal, 44(9),
1575–1583. https://doi.org/10.2224/sbp.2016.44.9.1575
Zheng, X., Wang, Z., Chen, H., & Xie, F. (2021). The relationship
between self-esteem and internet altruistic behavior: The
mediating effect of online social support and its gender
differences. Personality and Individual Differences, 172,
110588. https://doi.org/10.1016/j.paid.2020.110588
Zheng, X., Xie, F., & Ding, L. (2018). Mediating Role of Self-
Concordance on the Relationship Between Internet Altruistic
Behaviour and Subjective Wellbeing. Journal of Pacific Rim
Psychology, 12, e1. https://doi.org/10.1017/prp.2017.14
Zhou, C., Li, H., & Bian, Y. (2019). The association of shyness with
individuals’ online and offline altruistic behavior. Social
Behavior and Personality: An International Journal, 47(11),
1–15. https://doi.org/10.2224/sbp.8188
Zuhad, A. (2021). Ajak Masyarakat Saling Bantu Lawan Covid-19,
KG Media Buka Sentra Donor Darah dan Plasma Konvalesen.
Kompas TV. https://www.kompas.tv/article/196764/ajak-
masyarakat-saling-bantu-lawan-covid-19-kg-media-buka-
sentra-donor-darah-dan-plasma-konvalesen

17
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Biodata Penulis
Ermida Simanjuntak adalah dosen tetap Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya sejak tahun 2000. Studi S1 dan S2
Magister Psikologi Profesi ditempuh penulis di
Universitas Airlangga. Pada tahun 2005 penulis
memperoleh beasiswa STUNED dari Pemerintah
Belanda untuk melanjutkan studi S2 bidang
Educational Effectiveness and School Improvement di Rijksuniversiteit
Groningen di Belanda. Penulis menyelesaikan studi S3 di Universitas
Airlangga pada tahun 2020. Bidang minat penelitian penulis adalah
cyberpsychology, perilaku manusia dalam dunia maya dan media
sosial. Tulisan penulis yang telah dipublikasikan di Buku Pemikiran
Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) adalah ”Cyberslacking
: Mahasiswa dan Cerdas Berinternet” dan ”Integrasi Bangsa lewat
Pendidikan Literasi Digital pada Generasi Muda”. Saat ini penulis juga
terlibat sebagai Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Wilayah Jawa Timur periode 2019 – 2023.

18
Membangun Optimisme
dengan Berperilaku
Keselamatan

Desak Nyoman Arista Retno Dewi

O ptimis merupakan kecenderungan untuk mengharapkan hasil


positif dalam situasi yang tidak pasti (Michael F. Scheier et al.,
1994). Optimis berkaitan dengan berbagai kemampuan adaptasi
dalam mengatasi peristiwa kehidupan yang tidak terkendali (Carver
et al., 2010). Pandemi Covid-19 merupakan situasi yang tidak dapat
dihindari dan dikendalikan. Penyebaran virus corona ini membawa
ketidakpastian dalam banyak aspek kehidupan manusia. Dampaknya
memunculkan kecemasan, ketakutan, dan stress yang berpengaruh
terhadap kesehatan fisik dan mental.

Dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19, setiap orang memiliki


respon yang berbeda sesuai dengan cara berpikir masing-masing.
Namun optimisme memiliki peranan penting dalam proses berpikir
dan pembentukan sikap dan perilaku individu dalam berbagai situasi,
termasuk situasi pandemi Covid-19. Salah satu bentuk optimisme
yang dibangun adalah kesiapan memasuki situasi normal baru
dengan menerima keberadaan virus corona dan beradaptasi melalui
penerapan protokol kesehatan dalam berbagai aktivitas kehidupan.
Salah satu bentuk penerapan protokol kesehatan adalah berperilaku

19
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

sehat dan aman sesuai peraturan dan ketentuan yang ditetapkan.


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun
2020, disebutkan bahwa dalam melakukan perubahan pola hidup
dengan tatanan dan adaptasi kebiasaan yang baru (new normal)
diharapkan masyarakat disiplin dalam menerapkan prinsip pola hidup
yang bersih dan sehat (Menteri Kesehatan RI, 2020).

Bentuk pola hidup yang bersih dan sehat itu meliputi penggunaan alat
pelindung diri berupa masker, membersihkan tangan secara teratur,
menjaga jarak minimal 1 meter, dan meningkatkan daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi gizi berimbang, aktivitas fisik dan istirahat yang
cukup (Menteri Kesehatan RI, 2020). Bagian dari upaya agar dapat
hidup produktif dan terhindar dari penularan Covid-19, kemampuan
individu untuk optimis dengan memiliki keyakinan dan pandangan
positif mengenai situasi pandemi dan new normal berperan penting
dalam mendukung penerapan pola kebiasaan baru ini.

Penerapan perilaku yang sehat dan bersih sesuai dengan protokol


kesehatan mengarah pada bentuk perilaku kepatuhan terhadap
peraturan keselamatan dalam upaya pencegahan dan pengendalian
Covid-19. Perilaku kepatuhan pada peraturan merupakan bagian dari
perilaku keselamatan. Perilaku keselamatan (safety behavior) pada
dasarnya merupakan perilaku yang ditampilkan individu di tempat
kerja dalam upaya mendukung keselamatan kerja (Burke et al., 2002;
Yuan et al., 2014). Perilaku ini meliputi perilaku kepatuhan terhadap
peraturan keselamatan dan perilaku partisipatif dalam mendukung
keselamatan (A. Neal et al., 2000). Dalam situasi pandemi Covid-19,
perilaku keselamatan dapat membantu individu untuk menghadapi
situasi pandemi Covid-19 dan beradaptasi dengan tatanan kebiasaan
baru. Dengan demikian melalui optimisme, individu dapat membangun
perilaku keselamatan dalam rangka menghadapi dan beradaptasi
dengan Covid-19.

20
Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan

Hasil Penelitian, Implikasi, dan Penerapan


Optimisme dan Perilaku Keselamatan
Optimisme
Optimisme adalah salah satu sikap individu dalam menanggapi
peristiwa dalam hidup dengan pandangan positif. Optimisme
merupakan keyakinan bahwa seseorang akan mengalami hal yang
baik dalam hidup (M. F. Scheier & Carver, 1985). Optimisme dinilai
sebagai disposisi karakteristik kepribadian yang seimbang dalam
berbagai situasi dan rentang waktu yang mempengaruhi cara pandang
seseorang peristiwa dalam kehidupan saat ini, masa lalu dan masa
depan (Qiu et al., 2020). Menurut teori atribusi, orang yang optimis
membuat atribusi positif, internal, dan stabil tentang kesuksesan
sekarang dan di masa depan, sebaliknya pada orang yang pesimis
(Seligman, 2010). Optimisme memiliki komponen kognitif dan
afektif (Luthans et al., 2007). Optimisme melibatkan keyakinan yang
berorientasi pada tujuan, dimana seseorang akan berhasil dan bisa
menghasilkan hasil yang positif untuk saat ini dan di masa depan.
Optimisme mencakup komponen afektif dimana seseorang cenderung
melihat sesuatu secara positif. Menurut teori social learning,
optimisme secara langsung mencerminkan persepsi individu mengenai
lingkungan dan memandu fokus perilaku berdasarkan persepsi (Avey
et al., 2010).

Beberapa dekade terakhir penelitian tentang penyebab dan


konsekuensi dari optimisme telah menunjukkan bahwa menjadi
optimis berhubungan dengan beragam konsekuensi positif dan
menjadi salah satu aspek yang mendukung kehidupan yang optimal
(Carver et al., 2010; Forgeard & Seligman, 2012). Individu optimis
selain menjadi lebih sehat dan lebih bahagia, juga menjadi lebih
sukses dari pada rata-rata terutama dalam pekerjaan dimana
seseorang sering mengalami kegagalan (Forgeard & Seligman, 2012).
Hal ini dikarenakan individu yang optimis cenderung mau menerima
(tidak menyangkal) suatu permasalahan dan secara aktif mencoba
menangani masalah dan memecahkannya menggunakan strategi
pendekatan (Nes & Segerstrom, 2006).

21
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Optimisme juga berfungsi dalam menjaga kesejahteraan individu yang


mengalami peristiwa menekan karena individu yang optimis memiliki
kecenderungan untuk menampilkan semangat juang (fighting spirit),
mengadopsi strategi pemecahan masalah secara aktif (active problem
solving strategy) atau pun memperhitungkan perilaku koping (coping
behaviors) lainnya (Chang et al., 2020; Forgeard & Seligman, 2012)
Penelitian Kim dkk (2018) menyebutkan bahwa optimisme berfokus
pada keluaran yang berkaitan dengan perilaku sehat seperti beraktivitas
fisik, mengkonsumsi makanan bergizi, dan menjauhi rokok dan
minuman beralkohol. Pada konteks kerja, optimisme berhubungan
positif dengan kinerja, karir, dan kesejahteraan psikologis karyawan
(Luthans et al., 2006).

Hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa sikap optimisme dapat


mendukung kesejahteraan psikologis, kebahagiaan, dan kesehatan
individu ketika menghadapi situasi atau kondisi lingkungan yang
menantang dan menekan melalui fokus pada pemecahan masalah
dengan menanamkan pandangan dan perasaan yang positif. Pada
situasi pandemi Covid-19 yang penuh tekanan dan ketidakpastian,
sikap optimis juga dibutuhkan untuk bisa menerima dan beradaptasi
guna siap memasuki situasi tatanan kebiasaan baru yang juga penuh
tantangan.

Perilaku Keselamatan
Konsep mengenai perilaku keselamatan banyak diteliti untuk menjawab
permasalahan seputar kecelakaan kerja dan perilaku tidak aman di
tempat kerja yang memiliki risiko tinggi seperti industri konstruksi,
penerbangan, rumah sakit dan pertambangan. Data tentang perilaku
kerja tidak aman ini menjadi fokus kajian dalam safety behavior
dalam upaya mendukung keselamatan dan kesehatan di tempat kerja
(Cavazotte et al., 2013; He et al., 2019; Jiang et al., 2010; A. Neal
et al., 2000; Andrew Neal & Griffin, 2006; Tong et al., 2020). Namun
pada penelitian lain, perilaku keselamatan juga diteliti dalam konteks
sosial yaitu terkait dengan gangguan kecemasan sosial dan gejala panik
(Kirk et al., 2019). Dalam hal ini perilaku keselamatan dipandang
sebagai tindakan konseptual yang secara langsung bertujuan untuk

22
Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan

mencegah, melarikan diri, atau meminimalkan konsekuensi yang


menakutkan termasuk distres yang berhubungan dengan kecemasan
tersebut (Blakey & Abramowitz, 2016).

Pandemi Covid-19 merupakan situasi tidak terduga yang memunculkan


kecemasan dan kepanikan akibat dampak yang ditimbulkannya
pada semua aspek kehidupan. Dalam rangka menjaga kesehatan
masyarakat dan mengurangi penyebaran Covid-19, WHO (World
Health Organization) dan Pusat Pengendali Penyakit (Center for
Disease Control - CDC) telah merekomendasikan agar masyarakat
menerapkan sejumlah perilaku keselamatan seperti sering mencuci
tangan, menjaga jarak, memakai masker atau penutup wajah di
tempat umum (Knowles & Olatunji, 2021). Perilaku keselamatan
dianggap sebagai respon yang adaptif terhadap ancaman nyata
dari pandemi terutama pada tahap awal dimana jumlah kasus dan
kematian yang meningkat pesat, tingkat ketidakpastian yang tinggi
mengenai bagaimana dan dimana virus menyebar, belum adanya obat
dan vaksin yang efektif, dan informasi yang gencar tentang bahaya
virus.

Secara umum perilaku keselamatan merupakan perilaku yang


ditampilkan untuk mendukung keselamatan dan kesehatan. Pada
konteks kerja, perilaku keselamatan diterapkan dalam rangka
mendukung keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. Namun
dalam konteks yang luas, perilaku keselamatan bertujuan untuk
menjaga dan melindungi keselamatan dan kesehatan diri dan orang
lain. Pada konteks kerja, perilaku keselamatan meliputi perilaku
kepatuhan terhadap peraturan dan kebijakan mengenai keselamatan,
dan perilaku partisipatif dalam mendukung keselamatan (A. Neal
et al., 2000). Dimana perilaku kepatuhan mengacu pada aktivitas
atau perilaku utama yang dilakukan untuk menjaga keselamatan
kerja, sedangkan perilaku partisipatif mengacu pada perilaku yang
tidak secara langsung akan meningkatkan keselamatan di tempat
kerja dan ditunjukkan melalui perilaku berpartisipasi dalam aktivitas
keselamatan secara sukarela.

23
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Pada konteks pandemi Covid-19, perilaku keselamatan dapat berupa


perilaku kepatuhan pada peraturan atau protokol kesehatan yang
ditetapkan pemerintah (Menteri Kesehatan RI, 2020) mau pun institusi
swasta terkait. Bagian dari upaya untuk juga dapat beradaptasi dengan
tatanan kebiasaan baru (new normal), perilaku keselamatan selain
ditunjukkan dengan kepatuhan pada peraturan perilaku keselamatan
dapat juga ditunjukkan melalui partisipasi aktif dalam aktivitas yang
mendukung keselamatan seperti membuat saran atau informasi yang
konstruktif untuk peningkatan keselamatan terkait Covid-19.

Kesimpulan dan Arah Studi Mendatang


Dalam upaya menghadapi situasi pandemi Covid-19 dan menjalani
tatanan kebiasaan baru secara positif maka penting bagi individu
untuk memiliki sikap dan pola perilaku yang juga positif. Cara pandang
yang positif terhadap situasi pandemi dan penyebaran informasi
mengenai Covid-19, dan keyakinan akan mampu melaluinya dapat
membantu individu menjalankan kehidupan dan beraktivitas secara
normal. Salah satu bentuk optimisme ditunjukkan melalui penerapan
perilaku keselamatan dalam berbagai aktivitas kehidupan sebagai satu
pendekatan untuk menghadapi situasi pandemi dan tatanan baru yang
menantang. Melalui penerapan perilaku keselamatan yang konsisten
dan komitmen, individu dapat menjalani situasi pandemi Covid-19
dan tatanan kebiasaan baru secara sukses, sehat, dan bahagia.

Konsep tentang optimisme dan perilaku keselamatan pada dasarnya


bukan konsep yang baru, namun penelitian yang menghubungkan
sikap optimis dan perilaku keselamatan masih belum ditemukan, baik
yang dikaitan dengan konteks pandemi Covid-19 mau pun situasi
menantang dan menekan lainnya. Sejauh ini penelitian mengenai
optimisme dan perilaku keselamatan masih dilakukan secara
terpisah dalam berbagai konteks situasi. Melihat pentingnya memiliki
optimisme dan perilaku keselamatan terutama ketika dihadapkan
pada situasi menantang dan menekan yang berhubungan dengan
keselamatan dan kehidupan, maka akan menarik untuk mengenai
hubungan diantara keduanya atau pun pengaruh yang dapat diberikan

24
Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan

oleh salah satu diantaranya terhadap yang lain sebagai suatu topik
penelitian kedepan. Mengacu pada konsep psikologi positif, dan
bagian dari upaya untuk mendukung kesejahteraan individu dan
kehidupan yang bahagia, sehat, dan sukses baik dalam konteks sosial
dan pekerjaan maka masih terbuka luas peluang dan ruang eksplorasi
terkait hal tersebut.

Daftar Pustaka
Avey, J. B., Luthans, F., & Youssef, C. M. (2010). The Additive Value
of Positive Psychological Capital in Predicting Work Attitudes
and Behaviors. Journal of Management, 36(2), 430–452.
https://doi.org/10.1177/0149206308329961
Blakey, S. M., & Abramowitz, J. S. (2016). The effects of safety
behaviors during exposure therapy for anxiety: Critical
analysis from an inhibitory learning perspective. Clinical
Psychology Review, 49, 1–15. https://doi.org/10.1016/j.
cpr.2016.07.002
Burke, M. J., Sarpy, A. S., Tesluk, P. E., & Smith-Crowe, K.
(2002). General safety performance: A test of a grounded
theoretical model. Personnel Psychology. https://doi.
org/10.1111/j.1744-6570.2002.tb00116.x
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Segerstrom, S. C. (2010). Optimism.
Clinical Psychology Review, 30(7), 879–889. https://doi.
org/10.1016/j.cpr.2010.01.006
Cavazotte, F. de S. C. N., Duarte, C. J. P., & Gobbo, A. M. C. (2013).
Authentic leader, safe work: the influence of leadership on
safety performance. Brazilian Business Review, 10(2), 95–
119. https://doi.org/10.15728/bbr.2013.10.2.5
Chang, E. C., Yi, S., Liu, J., Kamble, S. V., Zhang, Y., Shi, B., Ye,
Y., Fang, Y., Cheng, K., Xu, J., Shen, J., Li, M., & Chang, O.
D. (2020). Coping Behaviors as Predictors of Hedonic Well-
Being in Asian Indians: Does Being Optimistic Still Make a

25
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Difference? In Journal of Happiness Studies (Vol. 21, Issue


1, pp. 289–304). https://doi.org/10.1007/s10902-019-
00087-w
Forgeard, M. J. C., & Seligman, M. E. P. (2012). Seeing the glass half
full: A review of the causes and consequences of optimism.
Pratiques Psychologiques, 18(2), 107–120. https://doi.
org/10.1016/j.prps.2012.02.002
He, C., Jia, G., McCabe, B., Chen, Y., & Sun, J. (2019). Impact of
psychological capital on construction worker safety behavior:
Communication competence as a mediator. Journal of
Safety Research, 71(November), 231–241. https://doi.
org/10.1016/j.jsr.2019.09.007
Jiang, L., Yu, G., Li, Y., & Li, F. (2010). Perceived colleagues’ safety
knowledge/behavior and safety performance: Safety climate
as a moderator in a multilevel study. Accident Analysis and
Prevention, 42(5), 1468–1476. https://doi.org/10.1016/j.
aap.2009.08.017
Kim, E. S., Jamer, P., Zevon, E. S., Trudel-Fitzgerald, C., Kubzansky,
L. D., & Grodstein, F. (2018). It Sc It Sc. American Journal of
Epidemiology, 187(4), 717–725.
Kirk, A., Meyer, J. M., Whisman, M. A., Deacon, B. J., & Arch, J.
J. (2019). Safety behaviors, experiential avoidance, and
anxiety: A path analysis approach. Journal of Anxiety
Disorders, 64(March), 9–15. https://doi.org/10.1016/j.
janxdis.2019.03.002
Knowles, K. A., & Olatunji, B. O. (2021). Anxiety and safety behavior
usage during the COVID-19 pandemic: The prospective role
of contamination fear. Journal of Anxiety Disorders, 77,
102323. https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2020.102323
Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J., Norman, S. M., & Combs, G.
M. (2006). Psychological capital development: toward a
micro-intervention. Journal of Organizational Behaviour,

26
Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan

27(December 2005), 387–393. https://doi.org/10.1002/


job.373
Luthans, F., Avolio, B. J., Avey, J. B., & Norman, S. M. (2007).
DigitalCommons @ University of Nebraska - Lincoln Positive
Psychological Capital : Measurement and Relationship with
Performance and Satisfaction Positive Psychological Capital :
Measurement and Relationship with Performance and
Satisfaction. Personnel Psychology, 60, 541–572.
Menteri Kesehatan RI. (2020). Keputusan Menteri Kesehata Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang
Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat Di Tempat Dan Fasilitas
Umum Dalam Rangka Pencegahan Dan Pengendalian
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). 1–66.
Neal, A., Griffin, M. A., & Hart, P. M. (2000). The impact of
organizational climate on safety climate and individual
behavior. Safety Science, 34(1–3), 99–109. https://doi.
org/10.1016/S0925-7535(00)00008-4
Neal, Andrew, & Griffin, M. A. (2006). A study of the lagged
relationships among safety climate, safety motivation, safety
behavior, and accidents at the individual and group levels.
Journal of Applied Psychology, 91(4), 946–953. https://doi.
org/10.1037/0021-9010.91.4.946
Nes, L. S., & Segerstrom, S. C. (2006). Dispositional Optimism
and Coping: A Meta-Analysis Review. Personality and
Social Psychology Review, 10(3), 235–251. https://doi.
org/10.1207/s15327957pspr1003
Qiu, J., Shen, B., Zhao, M., Wang, Z., Xie, B., & Xu, Y. (2020). A
nationwide survey of psychological distress among Chinese
people in the COVID-19 epidemic: Implications and policy
recommendations. General Psychiatry, 33(2), 1–4. https://
doi.org/10.1136/gpsych-2020-100213

27
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Scheier, M. F., & Carver, C. S. (1985). Optimism, coping, and


health: assessment and implications of generalized outcome
expectancies. Health Psychology : Official Journal of the
Division of Health Psychology, American Psychological
Association, 4(3), 219–247. https://doi.org/10.1037/0278-
6133.4.3.219
Scheier, Michael F., Carver, C. S., & Bridges, M. W. (1994). Distinguishing
Optimism From Neuroticism (and Trait Anxiety, Self-Mastery,
and Self-Esteem): A Reevaluation of the Life Orientation Test.
Journal of Personality and Social Psychology, 67(6), 1063–
1078. https://doi.org/10.1037/0022-3514.67.6.1063
Tong, R., Yang, X., Parker, T., Zhang, B., & Wang, Q. (2020).
Exploration of relationships between safety performance and
unsafe behavior in the Chinese oil industry. Journal of Loss
Prevention in the Process Industries, 66(February), 104167.
https://doi.org/10.1016/j.jlp.2020.104167
Yuan, Z., Li, Y., & Lin, J. (2014). Linking challenge and hindrance
stress to safety performance: The moderating effect of core
self-evaluation. Personality and Individual Differences, 68,
154–159. https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.04.025

Biodata Penulis
Desak Nyoman Arista Retno Dewi memiliki
pengalaman sebagai akademisi dan praktisi
dibidang Psikologi Industri dan Organisasi. Latar
belakang pendidikan S1, S2, dan S3 pada bidang
Psikologi dengan ketertarikan pada Psikologi Industri
dan Organisasi, Psikologi Positif, dan Psikologi
Kerekayasaan. Memiliki pengalaman sebagai
akademisi sekaligus praktisi selama 11 tahun di Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Pusat Layanan
Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dan Institusi
Independen lainnya.

28
Membangun Optimisme dengan Berperilaku Keselamatan

Sebagai akademisi terlibat dalam berbagai aktivitas ilmiah berupa


penelitian, menulis jurnal ilmiah, mengikuti berbagai konferensi ilmian
nasional dan internasional, menjadi pembicara dengan topik psikologi
positif, keselamatan kerja, persiapan karir. Sebagai praktisi terlibat
menjadi auditor proses audit internal, asesor dalam asessment center
di beberapa BUMN dan swasta, recruitment and selection karyawan,
pelatihan, dan perancangan alat ukur psikologis.

29
30
LEVEL INDIVIDU

31
32
Konsep Diri: Pada Siswa SMA
’DB’ Yogyakarta

Elisabet Widyaning Hapsari

T iap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda menurut


pemikiran, perilaku dan respon-respon yang dikeluarkan
berdasarkan pada situasi dan kondisi yang dihadapi. Masing-masing
dari individu tersebut bahkan memiliki pandangan mengenai siapa
dirinya (Weiten, Dunn, & Hammer, 2014). Allport menjelaskan
kepribadian sebagai organisasi dinamis di dalam diri individu yang
terdiri dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan tingkah laku dan
pikirannya secara karakteristik (Chaplin, 2000). Adler mendefinisikan
kepribadian sebagai gaya hidup individu atau cara yang karakteristik
mereaksinya seseorang terhadap masalah-masalah hidup, termasuk
tujuan-tujuan hidup. Kepribadian lebih condong pada pola-pola
karakteristik individual dan kemampuan menyesuaikan diri. Pola-pola
karakteristik individual akan membentuk dalam suatu konsep, yang
disebut konsep diri (self concept).

Konsep diri meliputi kepercayaan, sikap dan pemikiran mengenai


diri yang menjelaskan tentang diri secara fisik, sosial, dan kualitas
psikologis (Dacey & Kenny, 1997). Calhoun dan Acocella (2002)
menjelaskan bahwa konsep diri adalah pandangan individu terhadap
dirinya yang meliputi tiga dimensi yaitu pengetahuan tentang diri,
pengharapan mengenai diri dan penilaian tentang dirinya. Persepsi

33
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

pribadi mempengaruhi perilaku individu sehingga konsep diri seseorang


dapat digunakan untuk menerangkan dan memprediksikan perilaku
individu tersebut. Selain itu konsep diri yang dimiliki seseorang dapat
dipakai untuk mengevaluasi persepsinya terhadap diri sendiri. Konsep
diri merupakan penilaian seseorang mengenai diri sendiri. Konsep diri
akan mempengaruhi nilai dan pandangan individu mengenai banyak
hal, salah satunya pendidikan atau sekolah.

Konsep Diri: Pada Siswa SMA ’DB’ Jogyakarta


Azwar (1996) menyatakan bahwa keberhasilan dalam belajar
dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam (internal)
maupun dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi faktor fisik
(panca indera dan kondisi fisik umum) dan faktor psikologis (terbagi
dua, variabel nonkognitif, seperti minat, motivasi, dan variabel
kepribadian; dan variabel kognitif, seperti kemampuan khusus/
bakat dan umum/inteligensi). Faktor internal yang mempengaruhi
performansi akademik subjek adalah faktor fisik dan psikologis.
Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor fisik (kondisi tempat dan
lingkungan, sarana dan perlengkapan, serta belajar) dan faktor sosial
(dukungan sosial dan pengaruh budaya).

Selain untuk mengevaluasi persepsi dirinya, konsep diri juga digunakan


untuk membantu orang yang bersangkutan dalam melakukan interaksi
sosial, karena konsep diri mempengaruhi perilaku seseorang. Persepsi
yang dilakukan seseorang dalam memandang dirinya meliputi fisik,
jenis kelamin, kognisi sosial, pekerjaan, motivasi, tujuan hidup dan
emosi (Fuhrman, 1990).

Contoh kasus adalah konsep diri seorang murid kelas XII yang
mempunyai kondisi fisik yang kurang mendukung, yaitu asma dan
sindrom Stephen Jhonson. Kondisi fisik tersebut membuat subjek,
tidak dapat maksimal dalam melakukan aktivitas di sekolah (seperti
olah raga,dll). Penyakit asma juga membuat subjek, selalu memilih
untuk duduk di barisan belakang agar debu kapur dari papan tulis
tidak terhirup. Hal ini sesuai dengan dimensi pertama oleh Calhoun

34
Konsep Diri: Pada Siswa SMA ’DB’ Yogyakarta

dan Acocella (2002) yaitu dimensi pengetahuan yang menyatakan


bahwa deskripsi seseorang mengenai dirinya. Dalam hal ini, subjek
mengetahui mengenai kondisi dirinya yang memiliki penyakit asma
sehingga Ia pun memilih untuk duduk di belakang agar terhindar dari
debu kapur papan tulis.

Kondisi fisiknya yang terbatas tersebut diduga mempengaruhi


konsep diri subjek dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar
di sekolahnya. Fitts (dalam Agustiani, 2006) menyatakan bahwa
konsep diri mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Subjek tidak
termotivasi untuk berinteraksi dengan teman-temannya karena gaya
hidup teman-temannya tidak sesuai dengan pemikirannya. Subjek
sudah memiliki penilaian mengenai dirinya dan memiliki pemikiran
yang mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pandangan Berzonsky (dalam Burns, 2002) dari aspek
sosial yang meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh
individu dan sejauh mana penilaian individu tersebut terhadap orang-
orang di sekitarnya. Berdasarkan pendapat Berzonsky (dalam Burns,
2002) pula, secara moral subjek sudah memiliki penilaian dirinya
dimana hal ini mempengaruhi nilai-nilai dan prinsip hidup yang
sekaligus juga secara sosial mempengaruhinya dalam menjalin relasi
dengan orang-orang di sekitarnya. Subjek menilai bahwa gaya hidup
teman-temannya tidak sesuai dengan gaya hidup yang diajarkan oleh
orangtuanya. Hal tersebut membuatnya menjaga jarak dengan teman-
teman yang ada di kelasnya.

Kepribadian (self concept) terbentuk melalui suatu proses yang tidak


instan, melainkan suatu proses yang panjang. Kepribadian diawali
di dalam sebuah keluarga. Keluarga sebagai lingkungan primer,
terdapat hubungan antar manusia yang paling intensif dan paling
awal terjadi (Sarwono, 1989). Anak akan mempelajari norma dan
nilai di dalam keluarganya sebelum mengenal norma dan nilai dari
masyarakat umum untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya. Hal
ini sesuai dengan salah satu faktor dari konsep diri (Calhoun dan
Acocella, 2002) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsep
diri adalah orangtua, kawan sebaya dan masyarakat. Mehrad (2016)

35
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

pun menambahkan bahwa pembentukan konsep diri dipengaruhi


oleh beberapa faktor salah satunya adalah pendidikan orangtua.
Kehidupan keluarga subjek yang sederhana membuat subjek menjadi
pribadi yang sederhana pula. Gaya hidup teman-teman subjek di
sekolah yang tidak sesuai dengan nilai yang didapat dari keluarganya
mempengaruhi kepribadiannya.

Menurut Calhoun dan Acocela (2002) konsep diri terbagi menjadi dua
konsep, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

1. Konsep diri positif. adalah penerimaan diri bukan sebagai suatu


kebanggaan yang besar tentang dirinya, dapat memahami sejumlah
fakta dan evaluasi yang sangat bermacam-macam tentang dirinya
sendiri secara positif. individu yang memiliki konsep diri positif
adalah orang yang merasa mampu mengatasi masalah, merasa
setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu dan
merasa mampu memperbaiki diri.
2. Konsep diri negatif yang terbagi menjadi dua yaitu:
a. pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak
teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri.
Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan
dan kelemahan atau yang dihargai dalam kehidupannya
b. pandangan tentang dirinya terlalu stabil dan teratur. Hal ini
bisa saja terjadi karena individu dididik dengan cara yang keras
sehingga menciptakan citra diri yang harus sesuai dengan
aturan yang berlaku di lingkungannya. Konsep diri negatif ini
biasanya akan membuat individu akan mengalami hambatan
dalam penyesuaian sosial karena akan kurang disukai oleh
lingkungannya.

Brooks & Emmert (dalam Rahmat,2011) juga menyatakan bahwa


konsep diri terbagi menjadi dua konsep diri yaitu konsep diri positif
dan konsep diri negatif, yakni:

a. seseorang yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat


optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif

36
Konsep Diri: Pada Siswa SMA ’DB’ Yogyakarta

terhadap segala sesuatu. Ciri – ciri seseorang dengan konsep


diri yang positif yaitu mempunyai penerimaan diri yang baik,
mengenai dirinya sendiri, memahami dan menerima fakta-
fakta yang nyata tentang dirinya, mampu menghargai dirinya
sendiri, mampu menerima dan memberikan pujian secara
wajar, mau memperbaiki diri ke arah yang lebih baik, mampu
menempatkan diri di dalam lingkungan.
b. Seseorang dengan konsep diri negatif akan memandang dirinya
lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, merasa
tidak berkompeten, gagal, tidak menarik, pesimis terhadap
apapun.

Konsep diri (self concept) yang ada dalam diri seseorang tentu saja
tidak terbentuk melalui suatu proses yang instan, melainkan melalui
suatu proses yang panjang. Andayani & Afiatin (1996) menjelaskan
bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu dalam
interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut akan
memberikan pengalaman-pengalaman atau umpan balik yang diterima
dari lingkungannya, sehingga individu akan mendapatkan gambaran
tentang dirinya. Sakia (2020) pun sependapat bahwa pembentukan
konsep diri berlangsung selama proses perkembangan individu.
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan
seorang manusia dari kecil hingga dewasa.

Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan


pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.
Sikap atau respon orangtua dan lingkungan akan menjadi bahan
informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Pola asuh orangtua
yang acuh tak acuh, saudara yang mengabaikan, atau keadaan diri
individu tersebut sehingga tidak dihargai oleh kelompok membuat
subjek menilai dirinya secara negatif. Subjek menganggap bahwa
orangtuanya mempunyai ketidakjelasan sikap dalam mendidik anak-
anaknya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan rumah merupakan
hal yang tidak kalah penting terhadap munculnya perilaku di sekolah.
Memang subjek menilai bahwa keluarga merupakan tempat dimana
subjek merasa dicintai dan diterima. Namun hal tersebut tidak

37
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

menjadikan subjek percaya diri ketika berhadapan dengan dunia


luar. Konsep diri negatif (Callahoun dan Acocela, 2003; Brooks &
Emmert (dalam Rahmat,2011) yang dimiliki oleh subjek ditandai
dengan kecenderungan untuk menarik diri dari orang lain, pasif dalam
beradaptasi dengan lingkungan, kurangnya penerimaan dan kurang
percaya diri. Konsep diri yang negatif pada akhirnya menghambat
individu dalam meraih cita-citanya.

Sifat yang menonjol pada diri subjek adalah pendiam dan menutup
diri. Subjek lebih suka menyendiri. Subjek jarang berbicara dengan
orang lain, baik teman dan guru. Komunikasi subjek dengan
orang lain pendek dan singkat. Subjek pun merasa bahwa teman-
temannya selalu mengacuhkan dia. Ketika ada kegiatan sekolah yang
mengharuskan adanya pembentukan kelompok, subjek selalu tidak
dihiraukan dan teman-temannya tidak pernah memasukkan subjek
ke dalam kelompok. Mappiare (1982) menjelaskan lima pola tingkah
laku individu sebagai manifestasi kebutuhan terkuat dan menonjol
dalam dirinya. Pola yang ketiga adalah tingkah laku yang terarah untuk
memperoleh pemenuhan kebutuhan menghindari penolakan orang
lain. Ciri-ciri tingkah laku tersebut, antara lain pemalu, penyendiri,
pemalas, pencemas, dan sukar membuat keputusan. Mappiare (1982)
melanjutkan bahwa pola ini terjadi pada individu yang mempunyai
pengalaman yang membuatnya kecewa, sedih, frustasi, bahkan
mungkin putus asa. Pola asuh yang positif akan membentuk seoarang
individu dalam berpikir positif dan menghargai dirinya secara positif.
namun dijelaskan sebelumnya bahwa individu merasa bahwa pola
asuh yang diberikan orangtuanya cenderung tidak jelas. Individu yang
kecewa ataupun frustasi dalam menjalani kehidupannya akan berpikir
dan merespon secara negatif apapun yang dialaminya termasuk
mengevaluasi dirinya sendiri (Sakia,2020).

Ditambah lagi proses yang dialami subjek saat pertama kali masuk
SMU hingga saat ini sangatlah menentukan terhadap konsep
diri subjek. Pengalaman yang tidak mengenakkan, kekecewaan,
kegagalan terhadap pengharapan subjek yang besar ketika pertama
kali masuk ke sekolah membuat subjek memiliki pandangan yang

38
Konsep Diri: Pada Siswa SMA ’DB’ Yogyakarta

negatif terhadap masa depannya. Lingkungan di sekolah subjek


yang kurang mendukung keadaan subjek dengan berbagai penilaian
terhadap perilakunya menyebabkan subjek semakin tertutup. Adanya
penolakan lingkungan sekolah subjek membuat subjek merasa bahwa
subjek tinggal sendiri di dunia sehingga membuat subjek merasa
rendah diri dan merasa tidak dianggap. Ketika di sekolah, subjek tidak
diterima dan diacuhkan oleh teman-teman sekolahnya. Faktor yang
terpenting yang termasuk didalamnya adalah keterlibatan orangtua
terhadap pendidikan anak (Halawah, 2006). Pola terbentuknya
konsep diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari lahir,
tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan
konsep diri tidak dapat terlepas dari peran keluarga. Sedangkan
subjek merupakan orang yang cenderung tertutup terutama mengenai
masalah pribadi. Jika keluarga merasa bahwa subjek baik-baik saja
asalkan nilai di sekolah tidak menurun maka konsep diri pada diri
subjek tidak akan terbentuk secara sempurna.

Oyserman dan Markus (Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa


remaja yang kurang memiliki pengharapan positif terhadap diri dapat
masuk dalam keadaan tidak produktif dan perilaku antisosial. Konsep
diri merupakan penilaian, sikap, pandangan, dan keyakinan seseorang
terhadap diri yang kemudian akan berpengaruh terhadap perilakunya.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis kemudian akan ditarik suatu kesimpulan terhadap
keadaan subjek. Subjek saat ini seorang murid kelas XII yang sedang
berada dalam tahap remaja. Pada tahap ini subjek mendapatkan
pengalaman yang tidak mengenakkan. Subjek menginginkan adanya
hubungan pertemanan dengan teman-teman sekolah saat ini.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, subjek tidak disukai oleh
teman-temannya. Subjek juga memiliki hubungan yang tidak dekat
dengan keluarganya. Orang tua subjek tidak pernah menanyakan
pada subjek mengenai keadaan subjek maupun kegiatan subjek di
sekolah. Perhatian keluarga merupakan salah satu hal penting dalam
pembentukan kepribadian termasuk konsep diri.

39
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Penolakan dari teman-teman di sekolah dan hubungan yang kurang


akrab dengan keluarga membuat subjek merasa tidak dianggap yang
mempengaruhi perilaku subjek. Subjek menjadi tidak aktif dalam
kegiatan sekolah. Subjek merasa putus asa dan pasrah dengan
kemampuan dirinya (kurangnya penerimaan diri), lebih suka menyendiri
(menarik diri dari orang lain), diam dan jarang bergaul (pasif dalam
beradaptasi dengan lingkungan), memandang suram masa depannya
(kurang percaya diri). Perilaku subjek tersebut dipengaruhi oleh
konsep diri yang kurang terbentuk sempurna. Konsep diri terbentuk
melalui suatu proses yang panjang yaitu melalui suatu proses belajar
individu dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya (Andayani
& Afiatin, 1996).

Adanya perhatian yang besar dari pihak sekolah mengenai


perkembangan murid-muridnya membuat perilaku subjek yang kurang
berinteraksi, menutup diri pada lingkungan sekitar dapat dengan lebih
mudah diatasi. Di samping itu, adanya keterbukaan dan kesadaran
dari orangtua mengenai permasalahan anak, merupakan hal yang
penting dalam mendukung keberhasilan penanganan yang diberikan.

Kepribadian subjek yang cenderung menutup diri dan tidak mudah


percaya pada orang lain yang membuat proses pendampingan
terhambat. Diperlukan upaya yang keras dalam membangun
kepercayaan subjek pada orang lain.

Daftar Pustaka
Andayani, B & Afiatin, T. (1996). Konsep Diri, Harga Diri, dan
Kepercayaan Diri Remaja. Jurnal Psikologi. 23(2), 23-30.
Azwar, S. (1996). Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Calhoun, J. F., dan Acocella, J. R. (2003.) Psikologi tentang
Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Alih bahasa:
Satmoko. Semarang : IKIP Semarang Press.

40
Konsep Diri: Pada Siswa SMA ’DB’ Yogyakarta

Chaplin, J. P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.
Dacey, J., and Kenny, M. (1997). Adolescent Development. Dubuque:
Brown & Benchmark Publisher.
Halawah, I. (2006). The Effect of Motivation, Family Environment, and
Student Characteristics in Academic Achievement. Journal of
Instructional Psychology, 33 (2), 91-98.
Hudha, A. N. (2005). Hubungan antara Komunikasi Interpersonal
Remaja dan Orangtua dengan Kemandirian. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
Hurlock, E. B. (199)0. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Mappiare, A.(1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Rahmat, J.,(2011). Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Sakia, Runjun.(2020), A Study of Self Concept, International
Education & Research Journal, 6(6), 1-2.
Yusuf, S. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Biodata Penulis
Elisabet Widyaning Hapsari, S.Psi., M.Psi., Psikolog
adalah seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS)
sejak tahun 2011 hingga sekarang. Pendidikan
S1 ditempuh di Fakultas Psikologi UKWMS dan
kemudian melanjutkan program Magister Profesi
Psikologi di UGM. Dia merupakan salah satu dosen
dari bidang minat pendidikan yang tertarik dalam bidang positif
psikologi di bidang sekolah dan remaja. Selain mengajar, beliau juga

41
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

aktif di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Salah satunya


adalah penelitian mengenai Penggunaan Metode Pembelajaran
Kooperatif Student Team Achievement Division (STAD) dengan
Motivasi Berprestasi pada Mahasiswa Statistika Praktikum Fakultas
Psikologi.

42
Self-Compassion dan Well-
Being Orangtua

Agnes Maria Sumargi

P andemi COVID-19 membuat banyak perubahan pada kondisi


keluarga. Keluarga mengalami dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung dari pandemi ini, seperti adanya kasus
positif COVID-19 dalam keluarga, orangtua kehilangan pekerjaan,
kondisi finansial dalam keluarga memburuk, dan pembatasan
kegiatan keluar rumah yang dapat menyebabkan timbulnya stres dan
berkurangnya well-being (Prime et al., 2020). Di Indonesia, kebijakan
pembatasan mobilitas masyarakat yang dikeluarkan oleh pemerintah
untuk mengurangi penularan COVID-19 menyebabkan dialihkannya
kegiatan pembelajaran di sekolah ke rumah (school from home). Hal
yang sama juga berlaku bagi kegiatan kerja khususnya dalam bidang
non esensial yang mengharuskan orangtua bekerja dari rumah (work
from home; Gitiyarko, 2021). Akses internet menjadi hal yang penting
karena banyak kegiatan belajar dan kegiatan kerja yang dijalankan
secara daring. Situasi ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi
orangtua karena selain harus beradaptasi dengan situasi kerja yang
baru, orangtua juga harus mendampingi dan mengawasi anak pada
saat mereka bersekolah secara daring dan beraktivitas di rumah.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada masa pandemi,
orangtua rentan mengalami stres yang dapat berdampak pada relasi

43
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

orangtua-anak dan masalah-masalah psikologis pada anak (Fitriyah,


2021; Rachmah, 2021; Rusell et al., 2020; Spinelli et al., 2020).

Selain itu, stres yang dialami orangtua dapat menurunkan kondisi


well-beingnya. Well-being di sini diartikan sebagai keberfungsian
yang optimal secara fisik, mental, dan sosial (Pressman, et al., 2013).
Dalam penelitiannya, Indra et al. (2021) menunjukkan bahwa stres
berhubungan secara langsung dengan well-being dan secara tidak
langsung dengan well-being melalui psychological inflexibility (respon
psikologis yang kaku) dan kesepian. Situasi stres pada masa pandemi
dapat mengurangi berfungsinya orangtua dalam hidup sehari-hari,
antara lain karena sikap reaktif orangtua dan kecenderungannya untuk
menghindari pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan
dengan memberikan penilaian yang subjektif dan negatif terhadap
situasi. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan kesepian
dan berdampak pada menurunnya well-being (Indra et al., 2021).
Lebih jauh, penelitian lain menunjukkan bahwa menurunnya well-
being orangtua berpengaruh negatif terhadap pengasuhan otoritatif
yang diterapkan pada anak dan akhirnya berimbas pada munculnya
masalah emosi dan perilaku anak, sementara itu peningkatan well-
being orangtua cenderung diikuti oleh penerapan pengasuhan otoritatif
yang efektif, yang kemudian menurunkan masalah emosi dan perilaku
anak (Sumargi & Kristi, 2017). Dari sini dapat diambil kesimpulan
bahwa well-being orangtua khususnya pada masa pandemi Covid-19
perlu diperhatikan karena pengaruhnya pada kehidupan keluarga,
khususnya pada pengasuhan dan perilaku anak.

Pandemi COVID-19 dan akibat atau konsekuensi yang menyertainya


merupakan faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan tetapi
besar pengaruhnya terhadap proses yang terjadi dalam keluarga,
termasuk well-being orangtua. Oleh karena itu, penting kiranya untuk
memperkuat faktor internal individu agar well-being tetap terjaga. Hal
ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua
yang mempersepsikan pembatasan mobilitas sebagai hal yang positif
(mendekatkan relasi orangtua-anak) menunjukkan tingkat stres yang
relatif rendah (Cusinato, et al., 2020). Penerimaan terhadap kondisi

44
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua

yang serba sulit dan penderitaan yang dialami juga dapat menurunkan
emosi-emosi negatif individu yang berdampak pada meningkatnya
well-being orangtua (Sirois et al., 2019). Mengingat hal tersebut,
tulisan ini akan membahas self-compassion sebagai salah satu cara
untuk meningkatkan well-being orangtua. Berikut ini akan dibahas
mengenai pengertian dari self-compassion, keterkaitannya dengan
well-being, dan penerapannya untuk meningkatkan well-being
orangtua.

Self-Compassion
Self-compassion adalah belas kasih terhadap diri sendiri. Apabila
biasanya individu mengenali dan tergerak dengan penderitaan orang
lain, maka self-compassion berarti individu peduli dan memahami
penderitaannya sendiri lalu tergerak untuk mengurangi penderitaan
tersebut atau menolong dirinya (Neff, 2012). Terdapat tiga komponen
penting dalam self-compassion yakni self-kindness, common
humanity, dan mindfulness.

Self-kindness diwujudkan dengan sikap hangat dan penuh pengertian


pada diri sendiri saat individu mengalami penderitaan dan kegagalan
(Neff & Dahm, 2015). Daripada mengkritik dan menyalahkan diri
sendiri (self-judgement), self-kindness muncul untuk mendukung
dan menenangkan yang mendorong individu untuk menerima realita
yang ada (Neff, 2012).

Common humanity berarti memahami bahwa kegagalan dan


penderitaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang pernah
dialami oleh semua orang (Neff & Dahm, 2015). Pergolakan dan
ketidaksempurnaan dalam hidup adalah hal yang wajar. Dengan
menggunakan sudut pandang ini, perasaan terisolasi (terasing) dari
orang lain pada saat mengalami kesulitan dan kegagalan cenderung
berkurang (Neff, 2012). Individu akan melihat penderitaan atau
kesulitan yang dialaminya dalam perspektif sosial yang lebih luas,
bahwa orang lain pun mengalami penderitaan seperti halnya dirinya,
sehingga individu tidak merasa sendiri menjalaninya.

45
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Mindfulness diartikan sebagai kesadaran atau keterbukaan terhadap


kondisi saat ini, termasuk pemikiran dan emosi negatif yang muncul,
tanpa menghakimi, menyangkal ataupun menghindarinya (Neff,
2012). Mindfulness diperlukan agar individu menyadari secara
objektif segala sesuatu yang terjadi, termasuk pemikiran dan
perasaannya, sebelum akhirnya ia dapat berempati pada dirinya
sendiri (Neff & Dahm, 2015). Hal ini tidak berarti bahwa individu
mengidentifikasi secara berlebihan pemikiran atau perasaan negatif
yang dimilikinya (over-identification), namun melihat pemikiran dan
perasaan itu hanyalah sebagai suatu pemikiran dan perasaan yang
tidak terkait dengan diri yang kurang berharga atau diri negatif lainnya
(Neff, 2012).

Ketiga komponen self-compassion ini secara konseptual berbeda


namun saling mendukung satu sama lain (Neff, 2012). Misalnya,
penerimaan pada konsep mindfulness mengurangi terjadinya self-
judgement yang merupakan lawan dari self-kindness. Kesadaran
bahwa penderitaan juga dialami oleh orang lain (common humanity)
mengurangi sikap menyalahkan diri sendiri sekaligus menghentikan
identifikasi berlebihan (overidentification) terhadap pemikiran
atau perasaan yang negatif (Neff, 2012). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa self-compassion yang mencakup ketiga
komponen di atas dapat membantu individu, khususnya orangtua,
untuk menghadapi situasi-situasi sulit dan penderitaan yang terjadi
pada masa pandemi Covid-19.

Self-Compassion dan Well-Being


Banyak penelitian menunjukkan keterkaitan yang erat antara self-
compassion dengan well-being. Hasil reviu meta-analisis oleh
MacBeth dan Gumley (2012) menunjukkan asosiasi negatif yang
kuat antara self-compassion dengan psikopatologi, dengan kata
lain meningkatnya self-compassion diikuti dengan menurunnya
gejala-gejala psikopatologis seperti depresi dan kecemasan, dan
meningkatnya daya tahan terhadap stres. Hal ini dapat dipahami
karena individu dengan self-compassion yang tinggi jarang ataupun

46
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua

tidak pernah mengkritik diri sendiri, sementara itu kritik pada diri
sendiri merupakan prediktor dari depresi (Neff, 2012). Penelitian
selanjutnya membuktikan bahwa self-compassion menjadi faktor
proteksi bagi individu dari depresi dan kecemasan bahkan sewaktu
kritik pada diri (self-judgement) dikendalikan (Neff & Dahm, 2015).
Individu dengan self-compassion yang tinggi cenderung menerima
ketidaksempurnaan hidup dengan sikap belas kasih dan hal inilah
yang membantunya untuk melepaskan diri dari pemikiran negatif
yang berulang-ulang sehingga mengurangi gejala-gejala depresi dan
kecemasan (rumination; Neff & Dahm, 2015).

Lebih jauh, self-compassion diketahui dapat meningkatkan perasaan


bahagia, optimisme, rasa ingin tahu, dan perasaan-perasaan positif
seperti antusiasme, inspirasi, dan suka cita (Neff, 2012). Dengan
memandang penderitaan sebagai hal yang wajar yang dalam hidup
manusia, individu dengan self-compassion yang tinggi cenderung
menerima penderitaan tersebut dan tidak menyalahkan diri (Neff &
Dahm, 2015). Hal inilah yang kemudian memunculkan perasaan-
perasaan positif sebagai penyeimbang dari perasaan negatif (Neff,
2012). Perlu dicatat bahwa pemikiran dan emosi negatif tidak
ditekan atau dihilangkan, tetapi diterima. Self-compassion tidak
bermaksud menggantikan perasaan negatif dengan perasaan positif,
tetapi perasaan positif justru muncul saat perasaan negatif ini diakui
keberadaannya. Oleh karena itu self-compassion berhubungan
dengan banyak variabel psikologi positif seperti kecerdasan emosi,
kepuasan hidup, kebijaksanaan, dan keterhubungan dengan orang
lain yang merupakan bagian penting dari kebermaknaan hidup (Neff
& Dahm, 2015).

Selaras dengan hasil-hasil penelitian di atas, penelitian self-


compassion dan well-being pada orangtua menunjukkan pentingnya
peran self-compassion dalam meningkatkan well-being orangtua.
Sirois dan kolega (2019) menemukan bahwa self-compassion dapat
mengurangi emosi-emosi negatif yang dirasakan orangtua, seperti
perasaan bersalah dan malu, saat menjalankan pengasuhan pada
anak (Sirois et al., 2019). Pada penelitian ini, 167 orangtua yang

47
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

memiliki anak berusia 12 tahun ke bawah diminta untuk mengingat


kejadian mengasuh anak yang menimbulkan perasaan bersalah atau
malu, kemudian para orangtua ini dibagi secara random ke dalam
kelompok eksperimen yang mendapatkan arahan untuk melakukan
self-compassion (menuliskan respon yang penuh belas kasih atas
kejadian yang dialami) dan kelompok kontrol yang melakukan sesuatu
yang bersifat netral (menuliskan hari dan tanggal kejadian dan detail
lainnya). Hasil analisis data menunjukkan orangtua pada kelompok
eksperimen memiliki tingkat self-compassion yang lebih tinggi dan
melaporkan perasaan bersalah atau malu yang cenderung kurang
dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Selain hasil penelitian di atas, penelitian lainnya pada orangtua dari


anak berkebutuhan khusus juga mendukung keterkaitan antara self-
compassion dan well-being orangtua. Penerapan self-compassion
oleh orangtua dari anak yang mengalami autisma terbukti membantu
orangtua mengatasi stres yang dirasakan (psychological distress) dan
stres saat menjalankan pengasuhan (parenting stress; Torbet et al.,
2019). Self-compassion juga berhubungan positif dengan subjective
well-being (Torbet et al., 2019), kepuasan hidup, pengharapan,
dan resiliensi dalam mencapai tujuan (Neff & Faso, 2015). Selain
menimbulkan emosi-emosi yang positif, sikap mendukung dan rasa
percaya diri yang dibentuk oleh self-compassion membuat orangtua
dari anak yang mengalami autisma menjadi optimis, tidak larut dalam
pemikiran dan emosi yang negatif, dan terus mencoba hal yang baru
di saat mengalami kegagalan (Neff & Faso, 2015).

Akhirnya, meta-analisis penelitian self-compassion dengan sampel


orangtua (Gammer, 2017) semakin memperkuat kesimpulan bahwa
self-compassion memang senyatanya berhubungan dengan well-
being. Berdasarkan 11 studi yang terseleksi, diketahui bahwa self-
compassion memiliki asosiasi yang kuat dengan depresi dan stres
yang dialami orangtua, tetapi asosiasi antara self-compassion dengan
kecemasan orangtua cenderung lemah. Sebagai catatan, desain
penelitian pada mayoritas studi masih bersifat korelasional dan
cross-sectional, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan mengenai

48
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua

hubungan kausal (sebab akibat) antara self-compassion dengan


well-being (Gammer, 2017). Selanjutnya, penelitian-penelitian
intervensi maupun longitudinal, khususnya pada orangtua, perlu lebih
dipergencar lagi.

Intervensi yang Menggunakan Self-Compassion


Karena self-compassion berhubungan dengan well-being, maka
pertanyaan selanjutnya adalah apakah self-compassion dapat
digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan well-being? Untuk
menjawab pertanyaan ini, maka akan dibahas beberapa penelitian
intervensi mengenai self-compassion.

Salah satu jenis intervensi yang menggunakan prinsip self-compassion


adalah Compassionate Mind Training (CMT; Gilbert & Procter, 2006).
CMT dikembangkan untuk membantu individu yang suka mengkritik
diri sendiri, sulit bersikap hangat dan menerima diri. Pada prinsipnya
melalui CMT, individu mengenali perasaan-perasaan yang berasosiasi
dengan peristiwa traumatis, memahami strategi pertahanan diri yang
muncul, menerima dan berempati dengan strategi tersebut, bersikap
belas kasih terhadap ketakutan dan strategi pertahanan diri dengan
menampilkan gambaran (imagery) penuh belas kasih dan membingkai
ulang kritik pada diri (Gilbert & Procter, 2006). Individu dapat memiliki
kesadaran baru setelah melalui diskusi pribadi atau kelompok, serta
melakukan latihan mandiri. Contoh kesadaran yang muncul: ”Saya
membenci diri saya karena saya mudah cemas atau marah, perasaan
ini membuat saya rapuh, tapi sekarang saya menyadari perasaan
ini menyakitkan dan merupakan pertahanan diri saya. Saya bisa
memahami perasaan ini, memiliki perasaan seperti ini tidak berarti
bahwa saya itu buruk atau lemah (Gilbert & Procter, 2006). Teknik
imagery juga digunakan untuk membangkitkan belas kasih, yakni
dengan mengingat belas kasih yang dapat dikirimkan ke orang lain atau
menggunakan belas kasih dari orang lain tersebut untuk mengasihi diri
sendiri (Gilbert & Procter, 2006). Selain itu, individu dapat menulis
surat kepada dirinya sendiri yang memancarkan kehangatan (belas
kasih). Berdasarkan penelitian, CMT terbukti menurunkan tingkat

49
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

depresi, kecemasan, kritik pada diri, rasa malu, dan inferior, serta
meningkatkan kemampuan untuk menenangkan diri dan rasa percaya
diri (Gilbert & Procter, 2006). Selain itu, CMT selama 2 minggu dapat
meningkatkan emosi positif termasuk perasaan tenang, rileks, aman,
dan puas berdasarkan jawaban kuesioner maupun alat ukur detak
jantung (Matos et al., 2017).

Bentuk intervensi lainnya yang melibatkan self-compassion adalah


Mindful Self-Compassion (MSC). Sesuai namanya intervensi ini
menggabungkan pelatihan mindfulness dengan self-compassion
(Germer & Neff, 2019). Mindfulness diperlukan agar individu
menyadari kapan ia merasakan penderitaan sehingga kemudian dapat
memunculkan belas kasih pada diri sendiri (self-compassion). MSC
biasanya dilakukan dalam kelas terdiri dari 10-25 orang dalam 8
sesi atau 8 minggu @ 2 ¾ jam, ditambah dengan 4 jam masuk
dalam ketenangan (silent retreat; Germer & Neff, 2019). Partisipan
diajarkan berbagai meditasi dan latihan-latihan informal yang
kemudian diterapkan dalam hidup sehari-hari. Sebagai contoh, Self-
Compassion Break dilakukan sewaktu individu merasakan stres, ia
berbicara kepada diri sendiri secara perlahan dan penuh cinta sambil
menyentuh bagian tubuh yang dirasakan tidak nyaman: ”Saat ini
saya sedang merasakan penderitaan” (mindfulness), ”Penderitaan
itu bagian dari kehidupan” (common humanity), ”Semoga saya
bisa mengasihi/menerima diri saya” (self-kindness; Germer & Neff,
2019). Latihan lainnya adalah menulis surat belas kasih pada diri
sendiri (Self-Compassion Letter), yakni dengan membayangkan
perkataan yang disampaikan oleh teman imajiner yang penuh cinta
dan penerimaan saat melihat individu sedang mengalami penderitaan
atau kegagalan (Neff, 2012). Penelitian menunjukkan MSC efektif
meningkatkan self-compassion, mindfulness, kepuasan hidup, dan
kebahagiaan, serta menurunkan tingkat depresi, kecemasan, dan
stres. Efektivitas ini bertahan hingga 6 bulan bahkan 1 tahun setelah
pelatihan MSC (Neff & Germer, 2012).

Sementara itu, penerapan self-compassion pada intervensi parenting


pada orangtua menunjukkan hasil yang baik pula. Hal ini terbukti

50
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua

dari hasil meta-analisis terhadap penelitian-penelitian intervensi


parenting yang menggunakan komponen self-compassion (Jefferson
et al., 2020). Intervensi tersebut terbukti dapat meningkatkan self-
compassion dan mindfulness orangtua, menurunkan tingkat depresi,
kecemasan, dan stres yang dirasakan orangtua. Sekalipun mayoritas
penelitian ini menggunakan intervensi berbasis mindfulness, namun
dampaknya positif pada self-compassion orangtua dan membantu
orangtua menghadapi masalah sehari-hari. Sebagai contoh, meditasi
loving kindness yang intinya mengharapkan diri sendiri, orang yang
dicintai, kenalan, orang asing hingga semua orang di komunitas untuk
hidup tenang dan bahagia terbukti dapat memotivasi orangtua untuk
bersikap welas asih pada dirinya sendiri dan lebih menunjukkan
reaksi positif (tenang dan simpatik) daripada reaksi negatif (frustrasi
dan marah) saat menghadapi perilaku anak yang bermasalah (Kirby
& Baldwin, 2018). Intervensi berbasis self-compassion juga dapat
diterapkan secara daring melalui video dan lembar tips kepada ibu-ibu
yang baru melahirkan dan menyusui. Dengan intervensi ini, para ibu
berhasil melewati masa-masa sulit sebelum dan sesudah kelahiran
anak yang antara lain terlihat dari menurunnya stres traumatis setelah
melahirkan dan meningkatnya kepuasan menyusui anak serta self-
compassion (Mitchell et al., 2018).

Kesimpulan
Pandemi COVID-19 mempengaruhi kehidupan keluarga sehingga
orangtua rentan mengalami stres yang menurunkan well-being
mereka. Self-compassion yang merupakan sikap belas kasih terhadap
diri sendiri yang dapat digunakan sebagai strategi untuk mengatasi
stres dan meningkatkan well-being. Dengan menyadari kesulitan
dan penderitaan yang dialami, merespon kesulitan dan penderitaan
tersebut dengan belas kasih, dan mengingat penderitaan sebagai
bagian dari kehidupan, orangtua dapat menghadapi tantangan-
tantangan hidup dengan lebih mudah.

Berbagai penelitian korelasional dan intervensi menunjukkan


dampak positif dari self-compassion terhadap well-being. Beberapa

51
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

penelitian ini diterapkan pada orangtua dan memberikan dampak


yang serupa, antara lain meningkatnya emosi positif seperti
ketenangan dan kepuasan, serta menurunnya emosi negatif seperti
kemarahan dan stres. Perlu dicatat bahwa tidak banyak penelitian,
khususnya penelitian intervensi, yang mengungkap peran dari self-
compassion dalam konteks pengasuhan terlebih lagi pada masa
pandemi COVID-19. Padahal orangtua yang mengalami masa-masa
sulit rentan mengalami stres bahkan depresi yang dapat menganggu
praktek pengasuhannya dan menimbulkan perilaku bermasalah pada
anak (Sumargi et al., 2018). Diharapkan penelitian selanjutnya
dapat mengkaji masalah ini khususnya penerapan self-compassion
yang efektif dan efisien (misal: intervensi singkat secara daring)
sehingga lebih banyak orangtua akan terbantu dan menerapkan self-
compassion untuk meningkatkan well-being-nya.

Daftar Pustaka
Cusinato, M., Iannattone, S., Spoto, A., Poli, M., Moretti, C., Gatta, M.,
& Miscioscia, M. (2020). Stress, resilience, and well-being
in Italian children and their parents during the COVID-19
pandemic. International Journal of Environmental Research
and Public Health, 17(22), 8297. https://doi.org/10.3390/
ijerph17228297
Fitriyah, L. (2021). Stres orangtua pada pembelajaran anak di
rumah (daring) saat pandemi Covid-19. Dalam I. Setyawan
& Salma, Prosiding seminar nasional Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro: Optomalisasi peran keluarga dalam
pembangunan berkelanjutan masyarakat Indonesia yang
adaptif dan tangguh di era perubahan (pp.58-63). Fakultas
Psikologi, Universitas Diponegoro.
Gammer, I. K. E (2017). Self-compassion and well-being in
parenthood [Doctoral Dissertation, Canterbury Christ Church
University]. Canterbury Christ Church University’s repository
of research outputs, http://create.canterbury.ac.uk

52
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua

Gilbert, P., & Procter, S. (2006). Compassionate mind training for


people with high shame and self–criticism: Overview and
pilot study of a group therapy approach. Clinical Psychology
& Psychotherapy: An International Journal of Theory &
Practice, 13(6), 353-379. https://doi.org/10.1002/cpp.507
Gitiyarko, V. (2021, Agustus). PSBB hingga PPKM, kebijakan
pemerintah menekan laju penularan Covid-19. Kompaspedia.
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/
psbb-hingga-ppkm-kebijakan-pemerintah-menekan-laju-
penularan-covid-19
Jefferson, F. A., Shires, A., & McAloon, J. (2020). Parenting self-
compassion: A systematic review and meta-analysis.
Mindfulness, 11(9), 2067-2088. https://doi.org/10.1007/
s12671-020-01401-x
Kirby, J. N., & Baldwin, S. (2018). A randomized micro-trial of a
loving-kindness meditation to help parents respond to difficult
child behavior vignettes. Journal of Child and Family Studies,
27(5), 1614-1628. https://doi.org/10.1007/s10826-017-
0989-9
MacBeth, A., & Gumley, A. (2012). Exploring compassion: A meta-
analysis of the association between self-compassion and
psychopathology. Clinical Psychology Review, 32(6), 545-
552. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2012.06.003
Matos, M., Duarte, C., Duarte, J., Pinto-Gouveia, J., Petrocchi,
N., Basran, J., & Gilbert, P. (2017). Psychological and
physiological effects of compassionate mind training: a pilot
randomised controlled study. Mindfulness, 8(6), 1699-
1712. https://doi.org/10.1007/s12671-017-0745-7
Mitchell, A. E., Whittingham, K., Steindl, S., & Kirby, J. (2018).
Feasibility and acceptability of a brief online self-compassion
intervention for mothers of infants. Archives of Women’s
Mental Health, 21(5), 553–561. https://doi.org/10.1007/
s00737-018-0829-y

53
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Neff, K. D. (2012). The science of self-compassion. Dalam C. Germer


& R. Siegel (Eds.), Compassion and wisdom in psychotherapy
(pp. 79-92). Guilford Press.
Neff, K. D., & Dahm, K. A. (2015). Self-compassion: What it is,
what it does, and how it relates to mindfulness. Dalam B.
D. Ostafin, M. D. Robinson, & B. P. Meier (Eds.), Handbook
of mindfulness and self-regulation (pp. 121-137). Springer.
Neff, K. D., & Faso, D. J. (2015). Self-compassion and well-being
in parents of children with autism. Mindfulness, 6(4), 938-
947. https://doi.org/10.1007/s12671-014-0359-2
Neff, K. D., & Germer, C. K. (2013). A pilot study and randomized
controlled trial of the mindful self–compassion program.
Journal of Clinical Psychology, 69(1), 28-44. https://doi.
org/10.1002/jclp.21923
Pressman, S. D., Kraft, T., & Bowlin, S. (2013). Well-being: Physical,
psychological, social. Dalam Gellman M.D., Turner J.R. (Eds.)
Encyclopedia of behavioral medicine. Springer. https://doi.
org/10.1007/978-1-4419-1005-9_75
Prime, H., Wade, M., & Browne, D. T. (2020). Risk and resilience in
family well-being during the COVID-19 pandemic. American
Psychologist, 75(5), 631–643. https://doi.org/10.1037/
amp0000660
Rachmah, E.N. (2021). Studi kasus dampak kekerasan verbal
oleh orang tua terhadap kesejahteraan psikologis. Dalam
I. Setyawan & Salma, Prosiding seminar nasional Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro: Optomalisasi peran
keluarga dalam pembangunan berkelanjutan masyarakat
Indonesia yang adaptif dan tangguh di era perubahan
(pp.28-33). Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro.
Russell, B.S., Hutchison, M., Tambling, R. et al. (2020). Initial
challenges of caregiving during COVID-19: Caregiver burden,
mental health, and the parent–child relationship. Child

54
Self-Compassion dan Well-Being Orangtua

Psychiatry and Human Development, 51, 671–682. https://


doi.org/10.1007/s10578-020-01037-x
Sumargi, A., Filus, A., Morawska, A., & Sofronoff, K. (2018). The
Parenting and family adjustment scales (PAFAS): An Indonesian
validation study. Journal of Child and Family Studies, 27(3),
756-770. http://dx.doi.org/10.1007/s10826-017-0926-y
Sirois, F. M., Bögels, S., & Emerson, L-M. (2019). Self compassion
improves parental well-being in response to challenging
parenting events, The Journal of Psychology, 153(3), 327-
341, https://doi.org/10.1080/00223980.2018.1523123
Spinelli, M., Lionetti, F., Pastore, M., & Fasolo, M. (2020). Parents’
stress and children’s psychological problems in families facing
the COVID-19 outbreak in Italy. Frontiers in Psychology, 11,
1713. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.01713
Torbet, S., Proeve, M., & Roberts, R. M. (2019). Self-compassion: a
protective factor for parents of children with autism spectrum
disorder. Mindfulness, 10(12), 2492-2506. https://doi.
org/10.1007/s12671-019-01224-5

Biodata Penulis
Agnes Maria Sumargi adalah dosen tetap di
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya dan tergabung dalam bidang
minat Psikologi Perkembangan. Ia tertarik untuk
mengembangkan penelitian dan kegiatan abdimas
dalam ranah perkembangan anak dan parenting.
Setelah menyelesaikan studi S1 Psikologi (1996) di
Universitas Airlangga, Agnes menimba ilmu psikologi perkembangan
dan pendidikan di Australia dan berhasil meraih gelar Master of
Psychology (Applied Developmental) sekaligus Graduate Diploma
of Education dari University of Western Australia (2002). Agnes
melakukan mengenai penerapan Triple P (Positive Parenting Program)
pada masyarakat Indonesia saat ia menempuh pendidikan doktornya

55
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

di University of Queensland, Australia (2010-2014). Beberapa


penelitiannya dipublikasikan di jurnal internasional dan nasional,
seperti Journal of Child and Family Studies, Child Psychiatry and
Human Development, dan Anima.

56
Mindful Parenting

Yettie Wandansari

S etiap orangtua tentunya ingin menjalankan tanggungjawab


pengasuhan anak dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, dalam
proses pengasuhan anak, tidak jarang orangtua mengalami berbagai
tantangan dan kendala. Terlebih lagi pada usia dewasa, individu
diharapkan mampu beradaptasi dengan berbagai peran dan
tanggungjawab, seperti bekerja, menikah, berkeluarga, menjaga
keseimbangan antara keluarga dan karir, serta mengatasi berbagai
permasalahan lainnya dalam keluarga. Hal ini dapat menimbulkan
kelelahan secara fisik maupun psikologis pada orangtua. Apabila
terus berlanjut, maka kondisi ini akan berpengaruh pada menurunnya
kualitas pengasuhan, serta berisiko memunculkan perilaku bermasalah
pada anak.

Salah satu pendekatan pengasuhan yang relevan untuk membantu


orangtua menjalani proses pengasuhan anak dengan tenang adalah
mindful parenting, atau pengasuhan berkesadaran. Mindful
parenting tidak bertujuan untuk menjadikan anak maupun orangtua
menjadi ”lebih baik” atau ”optimal”, melainkan untuk meningkatkan
kesadaran orangtua pada setiap momen pengasuhan anak, sehingga
dapat tercipta relasi yang berkualitas dalam keluarga. Relasi tersebut
pada akhirnya akan menjadi katalisator bagi berkembangnya kapasitas
terbaik pada setiap orang (Kabat-Zinn & Kabat-Zinn, 2021).

57
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Dalam mindful parenting, orangtua secara sadar dan sebaik mungkin


mengembangkan kesadaran tanpa menghakimi, pada setiap momen.
Hal ini mencakup kesadaran terhadap pemikiran, emosi, dan
sensasi tubuh yang dialami oleh diri sendiri maupun yang dialami
oleh anak. Pertumbuhan yang terjadi meliputi 1) berkembangnya
kesadaran terhadap diri anak, perasaan serta kebutuhannya, 2)
meningkatnya kemampuan untuk hadir dan mendengarkan dengan
penuh atensi, 3) mengenali dan menerima berbagai hal sebagaimana
adanya pada setiap momen, baik yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan, 4) mengenal dorongan reaktif pada diri sendiri dan
belajar untuk merespon dengan lebih tepat, lebih jelas, dan dengan
sepenuh hati (Kabat-Zinn & Kabat-Zinn, 2021).

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan konsep teoritik mindful


parenting. Selain itu, akan dibahas juga peran mindful parenting
terhadap orangtua dan anak, serta cara meningkatkan mindful
parenting, berdasarkan berbagai hasil penelitian.

Konsep Mindful Parenting


Mindfulness merupakan sebuah konstruk yang berasal dari filosofi
agama Budha. Mindfulness didefinisikan oleh Kabat-Zinn (2003)
sebagai ”kesadaran yang muncul melalui perhatian penuh, bertujuan,
pada momen saat ini, dan tidak menilai apapun terhadap pengalaman
pada tiap momen”. Lima aspek yang terkait dengan mindfulness
adalah mengamati pengalaman internal maupun eksternal, melabel
pengalaman yang sedang dialami, bertindak dengan kesadaran penuh,
bersikap tidak menghakimi pengalaman yang terjadi, dan menerapkan
non-reaktivitas terhadap pengalaman tersebut (Baer et al., 2006).

Selanjutnya, konsep dan praktik mindfulness dikembangkan oleh


para peneliti pada konteks sosial, yaitu konteks relasi antara orangtua
dan anak. Dengan demikian, konsep mindful parenting merupakan
perluasan dari konsep mindfulness, yaitu dari karakteristik intrapersonal
menjadi relasi interpersonal, terutama dalam pengasuhan anak yang
dilakukan dengan penuh kesadaran.

58
Mindful Parenting

Konsep mindful parenting pertama kali dicetuskan oleh Kabat-Zinn


& Kabat-Zinn (1997) dalam buku yang berjudul Everyday blessings,
the inner work of mindful parenting. Mindful parenting dinyatakan
sebagai sebagai sebuah proses pertumbuhan yang bersifat kreatif
dan praktis, yang dilakukan oleh orangtua secara sadar, hadir pada
momen saat ini, dan tidak menghakimi (Kabat-Zinn & Kabat-Zinn,
1997, 2014).

Duncan dkk. (2009) lebih lanjut menjelaskan lima komponen


mindful parenting. Pertama, mendengarkan dengan penuh perhatian,
yaitu orangtua memberikan perhatian penuh terhadap pengalaman
pengasuhan, serta mendengarkan anak, baik terhadap pesan yang
disampaikan oleh anak, nada suara, ekspresi wajah, maupun bahasa
tubuhnya. Kedua, penerimaan tanpa menghakimi terhadap diri sendiri
dan terhadap anak, yaitu orangtua memahami dan menerima perilaku
diri sendiri maupun perilaku anak, relasi antara orangtua dan anak,
serta pengalaman pengasuhan yang sedang terjadi, sedemikian rupa
sehingga pemikiran dan perilaku orangtua tidak dipengaruhi oleh pola
pikir otomatis. Ketiga, kesadaran emosi diri sendiri dan anak, yaitu
orangtua dapat mengenali emosinya maupun emosi anak, sehingga
mereka dapat merespon secara tepat dengan penuh kesadaran, bukan
merespon secara otomatis atau tanpa berpikir. Keempat, regulasi diri
dalam pengasuhan, yaitu orangtua mengendalikan respon emosi
sehingga berada dalam kondisi seimbang, terutama ketika menghadapi
emosi negatif. Kelima, welas asih terhadap diri sendiri maupun
anak, yaitu orangtua menghargai usaha yang telah mereka lakukan
dalam mengasuh anak, menghindari kritik yang berlebihan terhadap
diri sendiri, serta menenangkan dan mendukung anak yang sedang
merasa tertekan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam
mindful parenting terkandung dua proses, yaitu proses internal yang
berfokus pada orangtua, dan proses interpersonal yang berfokus pada
anak dan pada interaksi antara orangtua dengan anak (Townshend,
2016).

59
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Mindful


Parenting
Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat
dua faktor yang turut mempengaruhi mindful parenting, yaitu faktor
internal (orangtua) dan faktor eksternal (anak). Faktor internal pertama
adalah emotional availability, yaitu karakteristik emosi yang ada
dalam relasi antara orangtua dan anak, mencakup lima aspek, yaitu
1) kepekaan orangtua untuk menciptakan lingkungan yang positif
dan respon yang tepat terhadap ekspresi emosi anak, 2) struktur,
yaitu bimbingan, pengajaran, dan penetapan batasan oleh orangtua
kepada anak, dengan tetap memfasilitasi otonomi pada anak, 3) non-
kekerasan, yaitu tidak adanya kekerasan dalam interaksi orangtua
dan anak, baik kekerasan yang tampak maupun yang tidak tampak,
termasuk di dalamnya adalah perasaan frustrasi, marah, atau tidak
sabar, dan 4) non-intrusif, yaitu orangtua menghindari tindakan yang
terlalu mengarahkan, menstimulasi secara berlebihan, atau terlalu
protektif (Biringen dkk., 2014).

Semakin baik relasi ibu dan anak remajanya, semakin baik pula
mindful parenting yang diterapkan. Ibu yang terampil mengelola
emosi ternyata memiliki emotional availability yang tinggi pula,
yaitu lebih peka dan tidak menunjukkan kekerasan pada anak.
Semakin baik emotional availability pada ibu, semakin baik pula
mindful parenting yang dilakukan. Hal ini menegaskan bahwa dalam
menerapkan mindful parenting, penting bagi orangtua untuk hadir
secara emosi dalam relasinya dengan anak (Benton, Coatsworth, &
Biringen, 2019).

Faktor internal kedua adalah kecenderungan mindfulness dan


welas asih terhadap diri sendiri (self-compassion). Kecenderungan
mindfulness yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan
atensi terhadap pengalaman dan peristiwa yang terjadi pada momen
saat ini (Brown dkk., 2007). Welas asih terhadap diri sendiri adalah
sebuah cara adaptif dalam berelasi dengan diri sendiri, yang mencakup
kebaikan hati terhadap diri sendiri (self-kindness), rasa kemanusiaan

60
Mindful Parenting

(sense of humanity), dan mindfulness (Neff 2012). Welas asih


terhadap diri sendiri memungkinkan seorang individu untuk bersikap
terbuka terhadap aspek-aspek negatif pada diri sendiri maupun pada
peristiwa yang dialami, yang memfasilitasi sikap memaafkan, berbaik
hati, dan berempati terhadap orang lain (Neff, 2012).

Hasil penelitian Gouveia dkk. (2016) menyatakan bahwa ketika


kecenderungan mindfulness dan welas asih pada diri sendiri
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula tingkat mindful parenting,
yang selanjutnya berhubungan dengan semakin menurunnya stres
pengasuhan, semakin meningkatnya gaya pengasuhan otoritatif, serta
semakin rendahnya gaya pengasuhan otoriter dan permisif.

Faktor internal ketiga adalah self-critical rumination, yaitu pola


pikir berulang tentang kritik terhadap diri sendiri. Semakin sering
seseorang memikirkan secara berulang kritik terhadap dirinya sendiri,
maka semakin rendah kualitas mindful parentingnya, sehingga
stres pengasuhan yang dirasakan semakin kuat (Moreira, Caiado, &
Canavarro (2018).

Faktor internal keempat adalah kelekatan orangtua. Orangtua dengan


kelekatan tipe menghindar mengalami kesulitan dalam menjalankan
peran pengasuhan anak, sebab cenderung menjaga jarak secara
emosi dan merasa tidak nyaman ketika menghadapi seseorang yang
membutuhkan dukungan. Akibatnya, dalam berelasi dengan anak,
mereka mengalami ”konflik mendekat-menjauh”, di satu sisi ingin
responsif terhadap anak, namun di sisi lain ingin menjaga jarak,
sehingga memiliki tingkat mindful parenting yang rendah. Sementara
itu, orangtua dengan kelekatan tipe cemas lebih berfokus pada
kecemasannya sendiri dan kebutuhannya akan kelekatan, sehingga
menghambat kemampuannya untuk peka dan memahami kebutuhan
anak. Oleh karena itu, kelekatan cemas juga berhubungan dengan
rendahnya tingkat mindful parenting. Dengan demikian, kelekatan
berperan penting pada kemampuan orangtua untuk berkesadaran
dalam relasi dengan anak, walaupun tipe kelekatan yang berbeda

61
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

memiliki jalur mekanisme yang berbeda pula (Moreira & Canavarro,


2015).

Faktor internal kelima adalah rasa syukur. Orangtua yang memiliki


welas asih terhadap diri sendiri akan mengapresiasi setiap momen
dalam kehidupan dan menyadari hidup sebagai sebuah anugerah.
Mereka juga menyadari koneksi antara kehidupannya dengan
kehidupan orang lain, sehingga mampu membandingkan dirinya
dengan orang lain secara positif (Lurder & Latipun, 2019). Mindfulness
membantu orangtua untuk menyadari dan menerima emosi negatif
dan rasa sakit tanpa terikat secara berlebihan pada emosi tersebut.
Hal ini membantu mereka untuk menyadari bahwa hidup ini memiliki
berbagai hal baik di samping penderitaan. Pada akhirnya, sikap
ini membantu orangtua untuk menjadi lebih mensyukuri hidupnya
(Lurder & Latipun, 2019). Orangtua yang memiliki rasa syukur yang
tinggi juga memiliki kesadaran yang baik terhadap emosinya dan
terampil mengelola emosinya dalam pengasuhan anak sehari-hari.
Rasa syukur juga membuat orangtua mampu memikirkan perasaan
anak dan mampu menunjukkan cinta dan apresiasi kepada anak. Rasa
syukur berperan penting dalam membangun dan memperkuat relasi
antara orangtua dan anak, sebab dapat meningkatkan kesadaran dan
keterampilan untuk melaksanakan mindful parenting (Nguyen, Bui,
Ziao, & Le, 2020).

Selain faktor internal, terdapat dua faktor eksternal (anak). Faktor


eksternal pertama adalah kecenderungan mindfulness pada anak.
Dampak mindful parenting terlihat lebih jelas pada anak dengan
kapasitas mindfulness yang rendah. Bila dibandingkan dengan
anak dengan mindfulness tinggi, maka ketika orangtua menerapkan
mindful parenting, anak dengan mindfulness rendah berkemungkinan
lebih besar untuk mengalami penurunan masalah psikologis (Calvete,
Gomez-Odriozola, & Orue, 2021). Hal ini dikenal sebagai model
differential susceptibility to parenting, yaitu bahwa pengasuhan
positif bermanfaat lebih besar pada anak dengan temperamen yang
lebih sulit (Slagt dkk., 2016).

62
Mindful Parenting

Faktor eksternal kedua adalah kecenderungan anak untuk mengalami


emosi negatif. Kecenderungan anak untuk mengalami emosi negatif
terbukti berhubungan dengan rendahnya tingkat mindful parenting
oleh orangtua. Semakin kuat dan semakin seringnya anak mengalami
emosi negatif berkontribusi pada tindakan orangtua untuk melindungi
anak secara berlebihan (over protektif) dan untuk memberikan
dukungan terhadap perilaku coping anak. Selain itu, anak dengan
reaktivitas emosi negatif sering mengekspresikan perasaan takut,
cemas, atau merasa terganggu. Orangtua yang memiliki anak dengan
temperamen sulit seperti ini lebih sering mengkritik fungsi pengasuhan
mereka sendiri, dan menyalahkan diri atas tindakan negatif anak. Oleh
karena itu, reaktivitas negatif anak dapat memicu pengasuhan yang
lebih reaktif dan mindful parenting yang rendah (Moreira, Caiado, &
Canavarro, 2021).

Peran Mindful Parenting Terhadap Orangtua dan


Anak
Berdasarkan model teoritis yang dikemukakan oleh Duncan dkk.
(2009), dijelaskan bahwa mindful parenting dapat meningkatkan
kualitas pengasuhan maupun well-being orangtua. Hal ini menciptakan
relasi positif antara orangtua dan anak, serta mendukung orangtua
untuk dapat mengelola perilaku anak. Relasi yang positif tersebut
pada akhirnya meningkatkan perkembangan positif pada anak.

Lebih lanjut, Duncan dkk. (2009) menjelaskan bahwa dampak


tersebut terjadi melalui mekanisme berikut ini. Pertama, memberi
perhatian dan mendengarkan anak secara penuh dapat meningkatkan
kesediaan anak untuk menampilkan dirinya di depan orangtua,
sehingga orangtua dapat semakin memahami anak, memenuhi
kebutuhan anak, serta membangun koneksi emosi antara orangtua
dan anak. Kedua, penerimaan tanpa penilaian dapat meminimalkan
pola pikir otomatis pada orangtua, mencegah cara pandang dan
ekspektasi yang tidak realistis, merumuskan aturan pengasuhan
yang sesuai dengan perkembangan anak, serta meningkatkan
pemahaman orangtua terhadap diri sendiri, anak, dan relasi antara

63
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

orangtua dan anak. Ketiga, menyadari dan mengenali emosi dapat


membantu orangtua untuk memahami proses perkembangan emosi
diri sendiri maupun anak, dan menurunkan respon emosi yang
bersifat over-reaktif. Keempat, regulasi diri memungkinkan orangtua
untuk mengelola respon emosi, sehingga mereka dapat memilih
strategi coping, ekspresi emosi, maupun strategi pengasuhan yang
tepat. Kelima, melalui welas asih, orangtua dapat lebih memahami
anak dan memberikan kenyamanan pada anak, serta mengurangi
tekanan dan menyalahkan diri sendiri dalam proses mengasuh anak.
Melalui proses ini, mindful parenting dapat mendukung kesehatan
mental orangtua, gaya pengasuhan yang tepat, relasi positif antara
orangtua dan anak, serta perkembangan positif pada anak (Duncan
dkk., 2009).

Ditinjau dari sisi kualitas pengasuhan anak, mindful parenting


terbukti terkait dengan kemampuan orangtua yang lebih baik
dalam mengelola emosi dan dalam menerapkan pengasuhan secara
konsisten (Parent dkk., 2016). Orangtua yang menerapkan mindful
parenting ternyata juga menerapkan gaya pengasuhan positif, seperti
pengasuhan otoritatif, memberikan dukungan, kehangatan dan respon
positif (Duncan dkk, 2015; Parent dkk., 2016). Mindful parenting
juga berkaitan dengan rendahnya tindakan pendisiplinan yang bersifat
memaksa anak, serta meningkatnya komunikasi antara anak dan
orangtua (Lippold dkk, 2015).

Sejumlah studi menunjukkan pula keterkaitan antara mindful


parenting dan orangtua. Semakin baik mindful parenting dilakukan
oleh orangtua, maka tingkat depresi dan kecemasan orangtua juga
semakin rendah (Corthorn & Milicic, 2016; Medeiros dkk., 2016; Tak
dkk., 2015), demikian juga stres pengasuhan yang dialami orangtua
juga semakin rendah (Corthorn & Milicic, 2016; Moreira & Canavarro,
2018). Di samping itu, mindful parenting terbukti berjalan seiring
dengan optimisme (de Bruin dkk., 2014), mindfulness (Corthorn &
Milicic, 2016, Parent dkk., 2016), welas asih terhadap diri sendiri
(Moreira & Canavarro, 2017), maupun ekspresi emosi (Turpyn &
Chaplin, 2016).

64
Mindful Parenting

Di samping itu, semakin baik mindful parenting maka relasi orangtua


dan anak menjadi semakin berkualitas, diantaranya adalah adanya
emosi positif antara orangtua dan anak, serta adanya interaksi positif
orangtua dan anak (Turpyn & Chaplin, 2016). Sebaliknya, orangtua
yang tidak atau jarang menerapkan mindful parenting ternyata
memiliki gaya pengasuhan negatif, seperti pengasuhan otoriter,
kendali yang berlebihan, atau dengan kekerasan (Duncan dkk., 2015;
Parent dkk., 2016).

Selain terkait dengan orangtua, mindful parenting juga berhubungan


dengan perkembangan anak. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
mindful parenting berkorelasi positif dengan perkembangan positif
anak dan berkorelasi negatif dengan perkembangan negatif anak.
Mindful parenting berkorelasi positif dengan goal setting pada remaja
(Duncan, 2007), mindfulness (Moreira dkk., 2018), welas asih pada
diri sendiri (Moreira dkk., 2018), kesehatan mental dan fisik (Medeiros
dkk., 2016; Moreira dkk., 2018). Di sisi sebaliknya, mindful parenting
dilaporkan berkorelasi negatif dengan perilaku bermasalah pada anak
dan remaja (Han dkk., 2021; Parent dkk., 2015), penyalahgunaan
obat pada anak dan remaja (Turpyn & Chaplin, 2016), serta depresi
dan kecemasan (Geurtzen dkk., 2015).

Implikasi Praktis
Mindful parenting dapat dikembangkan melalui program intervensi
tertentu. Salah satu program yang terbukti efektif untuk meningkatkan
mindfulness parenting adalah Mindful Parenting Program (MPP) oleh
Bogels & Restifo (2014). Program ini bertujuan untuk meningkatkan
mindfulness pada orangtua yang memiliki anak dengan gangguan
klinis. Orangtua maupun anak berpartisipasi dalam program
tersebut. Materi mencakup dua bagian. Bagian pertama adalah
pelatihan mindfulness regular. Bagian kedua berfokus pada interaksi
antara orangtua dan anak, meliputi 1) memahami peran reaktivitas
orangtua, 2) peduli terhadap diri sendiri sebagai orangtua, 3) atensi
yang tidak menghakimi terhadap anak, 4) penerimaan terhadap
anak dan kesulitan yang dialami, 5) memperbaiki komunikasi dalam

65
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

pengasuhan. MPP juga terbukti dapat menurunkan masalah perilaku


pada anak, serta dapat mengurangi stress pengasuhan (Meppelink
dkk., 2016). Program ini juga terbukti dapat meningkatkan well-
being anak, baik pada konteks klinis maupun non-klinis (Potharst
dkk., 2021).

Selain MPP, terdapat program Mindfulness-based Parenting Programs


(MBP) yang sering digunakan untuk menurunkan stres orangtua dan
meningkatkan interaksi dua arah antara orangtua dana anak. Studi
meta-analisis yang dilakukan oleh Anand dkk. (2021) terhadap 21
penelitian. Hasil analisis menunjukkan bahwa dampak MBP tergolong
sedang terhadap stres orangtua, masalah psikologis, dan well-being.
Selain itu, well-being pada orangtua lebih meningkat bila orangtua
dan anak terlibat dalam program pelatihan tersebut. Hasil ini
menunjukkan keberhasilan MBP dalam meningkatkan intrapersonal
maupun interpersonal pada orangtua. Adanya variasi dalam masing-
masing program kemungkinan berkontribusi terhadap efektif-tidaknya
program mindful parenting, oleh karena itu studi lanjutan sebaiknya
menggunakan program yang lebih terstandard.

Arah Studi Mendatang


Mindful parenting merupakan konsep yang relatif baru, namun
berkembang dengan baik dan terbukti berdampak positif bagi orangtua
maupun anak, khususnya dalam membangun relasi yang positif
antara orangtua dan anak. Konsep ini dapat dieksplorasi lebih jauh
melalui penelitian maupun program intervensi lanjutan, antara lain
dengan mempertimbangkan pengaruh budaya terhadap efektivitas
intervensi, maupun menerapkan metode longitudinal dan terstandard
untuk memastikan efektivitas program.

Kesimpulan
Mindful parenting merupakan sebuah proses pengasuhan yang
melibatkan lima aspek utama, yaitu memberikan atensi secara
penuh, menyadari pikiran, emosi maupun tindakan, menerima

66
Mindful Parenting

tanpa menghakimi, welas asih, dan pengelolaan diri, baik pada diri
sendiri maupun pada anak, dalam setiap momen interaksi dengan
anak. Melalui integrasi kelima aspek tersebut dalam interaksi sehari-
hari dengan anak, maka orangtua dapat meningkatkan kualitas
pengasuhan, membangun suasana dan relasi positif dalam keluarga,
serta pada akhirnya meningkatkan perkembangan positif pada anak
serta mengurangi perkembangan negatif pada anak. Konsep ini perlu
dieksplorasi lebih jauh melalui penelitian dan pengembangan program
intervensi.

Daftar Pustaka
Anand, L., Sadowski, I., Per, M., & Khoury, B. (2021). Mindful
parenting: a meta-analytic review of intrapersonal and
interpersonal parental outcomes. Current Psychology. https://
doi.org/10.1007/s12144-021-02111-w.
Baer, R. A., Smith, G. T., Hopkins, J., Krietemeyer, J., & Toney, L.
(2006). Using self-report assessment methods to explore
facets of mindfulness. Assessment, 13 (1), 27–45. https://
doi.org/10.1177/ 1073191105283504.
Benton, J., Coatsworth, D., & Biringen, Z. (2019). Examining the
association between emotional availability and mindful
parenting. Journal of Child and Family Studies 28, 1650–
1663. https://doi.org/10.1007/s10826-019-01384-x.
Biringen, Z., Derscheid, D., Vliegen, N., Closson, L., & Easterbrooks,
M. A. (2014). Emotional availability (EA): theoretical
background, empirical research using the EA Scales, and
clinical applications. Developmental Review, 34, 114–167.
https://doi. org/10.1016/j.dr.2014.01.002
Bogels, S., & Restifo, K. (2014). Mindful parenting, a guide for
mental health practitioners. New York: Springer.

67
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D. (2007). Mindfulness:


theoretical foundations and evidence for its salutary effects.
Psychological Inquiry, 18, 211 –237. Doi: 10.1080/
10478400701598298.
Calvete, E., Gomez-Odriozola, J., & Orue, I. (2021). Differential
susceptibility to the benefit of mindful parenting depending
on child dispositional mindfulness. Mindfulness, 12, 405-
418. https://doi.org/10.1007/s12671-020-01467-7.
Corthorn, C., Milicic, N. (2016). Mindfulness and parenting: A
correlational study of non-meditating mothers of preschool
children. Journal of Child and Family Studies, 25, 1672–
1683. Doi: 10.1007/s10826-015-0319-z
Duncan, L. G., Coatsworth, J. D., & Greenberg, M. T. (2009). A
model of mindful parenting: Implications for parent–child
relationships and prevention research. Clinical Child and
Family Psychology Review, 12, 255–270. Doi: 10.1007/
s10567-009-0046-3.
Geurtzen, N., Scholte, R. H. J., Engels, R. C. M. E., Tak, Y. R., &
Van Zundert, R. M. P. (2015). Association between mindful
parenting and adolescents’ internalizing problems: non-
judgmental acceptance of parenting as core element. Journal
of Child and Family Studies, 24, 1117–1128. Doi: 10.1007/
s10826-014-9920-9.
Gouveia, M.J., Carona, C., Canavarro, M.C., & Moreira, H. (2016).
Self-compassion and dispositional mindfulness are associated
with parenting styles and parenting stress: the mediating
role of mindful parenting. Mindfulness, 7, 700-712. Doi:
10.1007/s12671-016-0507-y.
Han, Z. R., Ahemaitijiang, N., Yan, J., Hu, X., Parent, J., & Dale,
C., DiMarzio, K, Singh, N. N. (2021). Parent mindfulness,
parenting, and child psychopathology in China. Mindfulness,
12, 334–343. Doi: 10.1007/s12671-019-01111-z.

68
Mindful Parenting

Kabat-Zinn, J., & Kabat-Zinn, M. (1997). Everyday blessings, the


inner work of mindful parenting. New York: Hachette Books.
Kabat-Zinn, J. (2003). Mindfulness-based interventions in context:
Past, present, and future. Clinical Psychology: Science and
Practice, 10, 144–156. Doi: 10.1093/clipsy. bpg016.
Kabat-Zinn, J., & Kabat-Zinn, M. (2014). Everyday blessings, the
inner work of mindful parenting. Revised and updated
edition. New York: Hachette Books.
Kabat-Zinn, J., & Kabat-Zinn, M. (2021). Mindfulness parenting:
perspectives on the heart of the matter. Mindfulness 12,
266–268. https://doi.org/10/1007/s12671-020-01564-7.
Kil, H., & Antonacci, R. (2020). Mindful parenting programs in non-
clinical contexts: a qualitative review of child outcomes and
programs, and recommendations for future research. Journal
of Child and Family Studies, 29, 1887-1898. https://doi.
org/10.1007/s10826-020-01714-4.
Lippold, M. A., Duncan, L. G., Coatsworth, J. D., Nix, R. L., & Greenberg,
M. T. (2015). Understanding how mindful parenting may
be linked to mother–adolescent communication. Journal of
Youth and Adolescence, 44, 1663–1673. Doi: 10.1007/
s10964-015-0325-x.
Lippold, M.A., Jensen, T.M., Duncan, L.G., Nix, R.L., Coatsworth,
J.D., & Greenberg, M.T. (2021). Mindful parenting, parenting
cognitions, and parent-youth communication: bidirectional
linkages and mediational processes. Mindfulness, 12, 381-
391. https://doi.org/10.1007/s12671-019-01119-5.
Lurdes, A. D. S. B., & Latipun, L. (2019). Correlation self-compassion
and happiness among university students in Timor-Leste:
gratitude as moderation variable. International Journal of
Psychological Studies, 11(2). https://doi.org/10.5539/ijps.
v11n2p1.

69
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Medeiros, C., Gouveia, M.J., Canavarro, M.C., & Moreira, H. (2016).


The indirect effect of the mindful parenting of mothers and
fathers on the child’s perceived well-being through the child’s
attachment to parents. Mindfulness, 7, 916–927. Doi:
10.1007/s12671-016-0530-z.
Meppelink, R., de Bruin, E. I., Wanders-Mulder, F. H., Vennik, C. J.,
& Bogels, S. M. (2016). Mindful parenting training in child
psychiatric settings: Heightened parental mindfulness reduces
parents’ and children’s psychopathology. Mindfulness, 7,
680–689. Doi: 10.1007/s12671-016- 0504-1.
Moreira, H., Caiado, B., & Canavarro, M,C. (2018). The association
between self-critical rumination and parenting stress: the
mediating role of mindful parenting. Journal of Child and
Family Studies, 27, 2265–227.5. https://doi.org/10.1007/
s10826-018-1072-x.
Moreira, H., Caiado, B., & Canavarro, M,C. (2021). Is mindful
parenting a mechanism that links parents’ and children’s
tendency to experience negatif affect to overprotective and
supportive behaviors? Mindfulness, 12, 319-333. https://
doi.org/10.1007/s12671-020-01468-6.
Moreira, H., & Canavarro, M.C. (2015). Individual and gender
differences in mindful parenting: the role of attachment
and caregiving representation. Personality and Individual
Differences, 87, 13-19. http://dx.doi.org/10.1016/j.
paid/2015/07/021.
Moreira, H., Gouveia, M. J., & Canavarro, M. C. (2018). Is mindful
parenting associated with adolescents’ well-being in
early and middle/late adolescence? the mediating role of
adolescents’ attachment representations, self-compassion
and mindfulness. Journal of Youth and Adolescence, 47,
1771–1788. Doi: 10.1007/s10964-018- 0808-7.
Neff, K. D. (2012). The science of self-compassion. Dalam C. Germer
& R. Siegel (Eds.), Compassion and wisdom in psychotherapy.

70
Mindful Parenting

New York: Guilford Press.


Nguyen, T.M., Bui, T.T.H., Ziao, Z., & Le, V.H. (2020). The influence
of self-compassion on mindful parenting: a mediation
model of gratitude. The Family Journal: Counseling
and Therapy for Couples and Families, 1-8. Doi:
10.1177/1066480720950421.
Parent, J., McKee, L. G., N Rough, J., & Forehand, R. (2015). The
association of parent mindfulness with parenting and youth
psychopathology across three developmental stages. Journal
of Abnormal Child Psychology, 44, 191–202. Doi: 10.1007/
s10802-015-9978-x.
Potharst, E. S., Baartmans, J. M. D., & Bogels, S. M. (2021). Mindful
Parenting Training in clinical versus non-clinical setting: an
explorative study. Mindfulness, 12, 504–518. Doi: 10.1007/
s12671-018-1021-1.
Slagt, M., Dubas, J. S., Deković, M., & van Aken, M. A. G.
(2016). Differences in sensitivity to parenting depending
on child temperament: a meta-analysis. Psychological
Bulletin, 142(10), 1068–1110. https://doi.org/10.1037/
bul0000061.
Shorey, S., & Debby Ng, E. (2021). The efficacy of mindful parenting
interventions: a systematic review and meta-analysis.
International Journal of Nursing Studies . Doi: https://doi.
org/10.1016/j.ijnurstu.2021.103996.
Tak, Y. R., Van Zundert, R. M. P., Kleinjan, M., & Engels, R. C. M.
E. (2015). Mindful parenting and adolescent depressive
symptoms: The few associations are moderated by adolescent
gender and parental depressive symptoms. Mindfulness, 6,
812–823. doi: 10.1007/s12671-014-0324-0.
Townshend, K. (2016). Conceptualizing the key processes of
Mindful Parenting and its application to youth mental
health. Australasian Psychiatry, 24(6), 575–577. Doi:
10.1177/1039856216654392

71
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Turpyn, C. C., & Chaplin, T. M. (2016). Mindful parenting and parents’


emotion expression: effects on adolescent risk behaviors.
Mindfulness, 7, 246–254. Doi: 10.1007/ s12671-015-
0440-5.

Biodata Penulis
Dr. Yettie Wandansari, M.Si., Psikolog memiliki
pengalaman sebagai akademisi dan praktisi sejak
tahun 1998-sekarang. Latar belakang pendidikan
S1 Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, S2
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, dan S3
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Peminatan
utama di bidang psikologi perkembangan, khususnya
perkembangan anak usia dini, kompetensi emosi, perkembangan
sosio-emosi, dan pengasuhan anak.

72
Tonggak Penting
The Near Phase Pensiun:
”Membangun Sikap Positif
Terhadap Pensiun”

Florentina Yuni Apsari

P ensiun merupakan bagian dari rentang kehidupan manusia yang


hanya akan dialami oleh seseorang yang memiliki aktivitas kerja di
sebuah institusi atau organisasi. Pada tahap perkembangan manusia
masa pensiun akan dialami seseorang pada masa dewasa madya.
Salah satu tugas perkembangan dewasa madya adalah menyiapkan
masa pensiun, baik menyiapkan secara ekonomi-keuangan maupun
secara psikologis sehingga pensiun dapat dihadapi dan pensiunan
dapat beralih dari masa dewasa madya ke masa dewasa akhir dengan
terbebas dari rasa tekanan atau menjadi bahagia (Santrock WJ,
1995).

Masa pensiun merupakan masa purna tugas atau masa berakhirnya


peran seseorang dalam menjalankan pekerjaan dan tugasnya di sebuah
institusi atau organisasi. Pensiun merupakan tahap akhir seseorang
untuk meninggalkan pekerjaan dan karirnya sehingga situasi ini
menjadi rentan terhadap munculnya permasalahan akibat transisi dari
masa bekerja menjadi masa yang sudah tidak memiliki aktivitas kerja
lagi. Masa transisi ini memungkinkan adanya berbagai perubahan

73
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

kehidupan seseorang yang biasanya bekerja menjadi tidak bekerja.


Perubahan pada beberapa aspek kehidupan seorang setelah pensiun
memiliki dampak pada berbagai aktivitas, misanya terjadi perubahan
peran sosial, perubahan kehidupan ekonomi diantaranya pendapatan,
kondisi kesehatan bisa jadi menurun karena usia, perubahan kondisi
psikologis diantanyanya sindrom sarang kosong atau post power
syndrom dsb. Saat menjalani masa pensiun maka seseorang akan
mengalami beberapa perubahan yang tidak terduga karena transisi
masa pensiun (dalam Santrock WJ, 1995).

Menghadapi beberapa perubahan ini maka penting untuk


mengembangkan sikap positif terhadap pensiun sehingga ketika
pensiun tiba seseorang sudah siap dengan cara pandang yang tepat
terhadap masa pensiun. Melalui pengembangan sikap positif terhadap
pensiun maka akan membantu seorang untuk beradaptasi dan memiliki
respon yang tepat atas perubahan di masa pensiun atau purna tugas.
Hasil penelitian yang dilakukan Apsari Y & Susilo DJ (2008) program
persiapan pensiun yang dibuat berdasarkan kebutuhan akan memiliki
dampak yang signifikan untuk membangun sikap positif karyawan
dalam menghadapi pensiun, dengan demikian pensiun perlu disiapkan
terutama dalam mempersiapan transisi perubahan yang akan terjadi
sebagai konsekuensi dari pensiun.

Fase Pensiun
Masa transisi pensiun secara lebih mendalam dapat ditinjau melalui
pemahaman fase pensiun yang dikemukakan oleh Robert A (dalam
Santrock WJ, 1995). Adapun 7 (tujuh) fase pensiun yang dilalui oleh
orang dewasa madya digambarkan sebagai berikut:

a) The remote phase atau fase jauh, pada fase ini seseorang
melakukan kegiatan untuk mempersiapkan masa pensiun. Kesadaran
bahwa seseorang yang bekerja pada institusi atau organisasi ada
masa kerja atau batasan waktu kerja menjadi hal yang penting pada
fase ini. Melalui kesadaran ini maka seseorang yang bekerja akan
memanfaatkan masa kerjanya untuk berkontribusi pada organisasi

74
Tonggak PentingThe Near Phase Pensiun: ”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun”

sampai dengan masa purna tugas atau masa pensiun. Kesadaran ini
juga akan mengarah pada aktivitas yang mengarah pada kegiatan
yang mendukung kesiapan saat pensiun. Beberapa pandangan
menyampaikan bahwa persiapan pensiun seharusnya sudah dimulai
sejak awal seseorang bekerja disuatu institusi, misalnya persiapan
finansial, membangun karir, persiapan kesehatan fisik dan psikologis
serta kehidupan sosial.

b) The near phase atau fase dekat, pada fase ini seorang karyawan
yang akan pensiun mulai berpartisipasi dalam program pra pensiun.
Seseorang mulai melibatkan diri dalam diskusi komprehensif seputar
persiapan pensiun seperti kesehatan fisik dan mental, persiapan
kehidupan sosial serta perencanaan keuangan. Pada fase ini seseorang
mulai mengikuti program-program persiapan pensiun, memulai
menjalankan aktivitas sosial untuk membangun jejaring setelah
pensiun, membangun usaha atau kegiatan baru untuk menyiapkan
income baru setelah pensiun, dsb. Perdebatan kapan pensiun
disiapkan masih menjadi diskusi, namun demikian dibeberapa diskusi
menyatakan 5-10 tahun sebelum pensiun sebaiknya sudah memulai
melakukan aktivitas dalam mempersiapkan masa pensiunnya.

c) The honeymoon phase atau fase bulan madu, merupakan fase


terawal pensiun dan seseorang baru saja mendapatkan masa purna
tugas atau sudah terjadi pensiun. Seseorang pada awal pensiun
masih merasa bahagia karena memiliki banyak waktu luang yang
lebih banyak, tidak lagi dikerjar target kerja atau kesibukan dalam
aktivitas kerja, dapat melakukan aktivitas untuk mengerjakan
hobby, banyak waktu bertemu dengan keluarga, teman dan dapat
merawat cucu, dsb. Aktivitas-aktivitas santai biasnya menjadi sulit
untuk dilakukan saat masih bekerja sehingga ketika banyak waktu
luang setelah pensiuan ada kebahagiaan tersendiri. Masa bulan
madu bagi setiap orang akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi
dan kesiapannya dalam menghadapi pensiun. Penelitian Apsari Y &
Susilo DJ (2008) menyatakan bahwa masa bulan madu pensiun bisa
berlangsung dalam hitungan minggu atau bulan dikarenakan setelah
mengalami masa bahagia ini seseorang mulai berpikir akan kehidupan

75
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

kedepan, seperti bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi/finansial


dan aktivitas serta peran sosial ke depan. Namun demikian aspek
positif dari fase bulan madu ini bisa jadi tidak dialami oleh orang yang
terkena permasalahan PHK atau pensiun karena ketidaknyamanan.

d) The disenchantment phase atau fase kekecewaan, fase dimana


seseorang menyadari bahwa bayangan saat pra-pensiun tentang fase
pensiun ternyata tidak realistis, hal ini bisa jadi karena ketidaksiapan
dalam memasuki masa pensiun sehingga terjadi kesulitan atau
kegagalan dalam beradaptasi dengan transisi perubahan yang terjadi
sesudah pensiun. Selain itu, bisa jadi fase kekecewaan akan terjadi
karena adanya sikap negatif terhadap pensiun. Fase ini tidak akan
terjadi atau berlangsung lama jika penyesuaian terhadap fase pensiun
berhasil dilalui. Jika adaptasi atas transisi pensiun dapat dilalui maka
kegiatan setelah pensiun akan menjadi menyenangkan yang berarti
fase ini tidak dialami seseorang setelah pensiun.

e) Re-orientation phase, pada fase ini pensiunan mengembangkan


alternatif-alternatif kehidupan yang lebih realistis. Mulai beradaptasi
dengan kehidupan baru setelah pensiun dan mengevaluasi jenis-jenis
kegiatan atau gaya hidup yang memungkinkan mereka menikmati
hidup setelah pensiun. Pada fase ini para pensiunan mengembangkan
kehidupan baru mereka setelah pensiun.

f) The stability phase atau stabil, pada fase ini seseorang memutuskan
pilihan berdasar kriteria dari alternatif yang ada pada masa pensiun
dan bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah
dibuat. Masa ini terjadi ketika seseorang sudah melalui masa transisi
dan berproses dengan perubahan secara tepat sehingga kehidupan
baru setelah pensiun dapat dilalui. Stabilitas dalam beberapa aspek
kehidupan sudah berjalan seperti semula atau ada kehidupan baru
setelah pensiun.

g) The termination phase fase akhir, peranan fase pensiun digantikan


oleh peran tergantung karena faktor usia dan ketebatasan untuk
berfungsi secara mandiri dan mencukupi kebutuhannya sendiri.

76
Tonggak PentingThe Near Phase Pensiun: ”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun”

Fase ini merupakan fase dimana usia dewasa akhir dihadapi


dengan kehidupan yang bermakna dan menyenangkan sampai akhir
kehidupan.

Gambar 1. Tujuh fase pensiun (Santrock WJ, 1995).

Sikap Positif
Ditinjau dari beberapa fase yang ada maka the near phase merupakan
tonggak penting seseorang mulai membangun sikap positif untuk
menyiapkan masa transisi perubahan yang akan dialami. Loudon &
Bitta (1993) menyatakan ada tiga konsep definisi tentang sikap yaitu
perasaan, pemikiran/kognitif dan kehendak atau perilaku. Pertama,
sikap adalah sejauhmana perasaan seseorang terhadap suatu obyek
dalam hal ini obyek sikap adalah pensiun. Sikap sebagai suatu
perasaan atau suatu reaksi penilaian terhadap suatu obyek negatif
atau positif, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Kedua,
pandangan yang berorientasi kognitif, sikap adalah organisasi yang
berlangsung terus menerus dari persepsi, dan proses kognitif dalam

77
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

menanggapi sejumlah aspek kehidupan, dalam hal ini adalah masa


pensiun. Ketiga sikap di definisi sebagai keseluruhan perilaku atau
kehendak seseorang terhadap suatu obyek dilihat sebagai fungsi
kekuatan keyakinan yang dipegang seseorang terhadap bermacam-
macam obyek dan evaluasi terhadap keyakinan yang berhubungan
dengan obyek tersebut.

Sikap terhadap pensiun menjadi kajian bagaimana seseorang dapat


menyiapkan dengan menatakelola kognisi/pikiran, afeksi dan perilaku
atau kehendaknya dimasa pensiun. Melalui sikap positif terhadap
masa pensiun maka diharapkan akan membantu seseorang dalam
beradaptasi dengan perubahan pada saat pensiun. Sikap positif
terhadap masa pensiun perlu dibangun karena pada masa transisi
dari bekerja menjadi tidak bekerja maka seseorang menghadapi
perubahan pada beberapa aspek kehidupan. Misalnya perubahan
peran sosial, perubahan keterlibatan kerja, perubahan pendapatan,
kondisi kesehatan dan perubahan ini dapat pula mempengaruhi kondisi
psikologis, dsb. Menghadapi beberapa perubahan ini seseorang perlu
mempersiapkan diri untuk beradaptasi dan memiliki respon yang tepat
atas perubahan di masa pensiun atau purna tugas diawali dengan
mengembangkan sikap positif terhadap pensiun. Saat menjalani masa
pensiun maka seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang
tidak terduga karena transisi masa pensiun dan sikap positif akan
membantu seseorang dalam merespon kondisi perubahan yang ada,
melalui pengelolaan pola pikir, pola rasa dan pola perilaku. Selain
itu sikap positif terhadap pensiun mengarah pada perilaku konstruktif
terhadap pensiun dan mendukung seseorang berespon tepat atas
permasalahan atau penyebab stres yang bisa jadi muncul.

Berdasar data pelatihan persiapan pensiun untuk membangun sikap


positif terhadap pensiun digambarkan beberapa aspek yang harus
disiapkan untuk persiapan pensiun antara yaitu pada Tabel 1(Apsari
Y & Susilo DJ, 2008):

78
Tonggak PentingThe Near Phase Pensiun: ”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun”

Tabel 1. Matrik Sikap Positif Persiapan Pensiun


Sikap-Persiapan Kognisi Afeksi Konasi/perilaku
Pensiun
Aspek Kesehatan Fisik -Memiliki pengetahuan Kesehatan fisik Mampu menentukan
Olah Raga bagi dan pemahanan terkait membuat emosi positif pilihan aktivitas
Dewasa awal dengan kesehatan fisik akan berkembang menjaga kesehatan
Pemahaman di usia pensiun, cara (bahagia, senang, fisik
Kesehatan pada Usia menjaga kesehatan antusias, kepuasan, Berolahraga
50 tahun keatas dan mewawatnya. etc) Mengatur pola makan
Pengaturan Pola -Kesehatan fisik Kegiatan olah fisik Cek kesehatan
Makan mendukung terjaganya yang dilakukan sesuai Menjaga kesehatan
fungsi kognitif dengan minat akan atas penyakit yang
(misalnya kreatifitas, memunculkan emosi akan muncul diusia
inovasi, pengambilan positif (bahagia, 50tahun ke atas.
keputusan dan senang, antusias,
kemampuan belajar kepuasan, etc)
hal baru), etc
Aspek Kesehatan -Memiliki pengetahuan -Kesehatan mental/ Melakukan kegiatan
Psikologis tentang dinamika psikologis mendukung untuk mengembangkan
psikologis seseorang emosi positif akan kesehatan mental
yang akan mengalami berkembang (bahagia, -Relaksasi, Yoga
masa pensiun. senang, antusias, -Mengembangkan
Memahami titik kritis kepuasan, ketenangan, kebersyukuran
ganguan psikologis kebermaknaan hidup, -Mengakses informasi
yang muncul ketika etc) dan kegiatan yang
seorang memasuki -Kesehatan mental mendukung kesehatan
masa pensiun mengarah pada mental
-Kesehatan psikologis kebebasan dari rasa -Menjalankan kegiatan
atau kesehatan mental tertekan, stress, etc yang mendukung
mendukung terjaganya berkembangnya minat
keberfungsian kognitif
(misalnya kreatifitas,
inovasi, pengambilan
keputusan dan
kemampuan belajar
hal baru), etc

Aspek Ekonomi -memiliki cara Aspek ekonomi yang -Mulai melakukan


Tatakelola keuangan pandang dan informasi baik akan membuat tatakelola keuangan
Kewirausahaan bagi pengelolaan keuangan seseorang merasa dan memilih gaya
pemula (persiapan yang tepat menjelang aman, nyaman dan hidup yang lebih
income baru) pensiun tenang,etc. realistis dengan
-Memiliki pengetahuan pendapatan
bagaimana -Melakukan aktivitas
menjalankan usaha yang menghasilkan
atau aktivitas untuk untuk income baru
income baru setelah setelah pensiun
pensiun -Melakukan Investasi
keuangan atau
managemen aset
Aspek Sosial -Memahami ketika Peran sosial yang Mengikuti kegiatan
Relasi keluarga pensiun maka masih dapat atau aktivitas sosial
Relasi sosial untuk lingkungan sosial berjalan dengan atau komunitas
membangun jejaring juga akan ada baik mendukung -komunitas hobby
dan aktivitas sosial perubahan sehingga berkembangnya -komunitas keagamaan
setelah pensiun perlu disiapkan relasi emosi positif -kegiatan sosial
atau jejaring setelah (kepedulian, semangat, kemasyarakatan dan
pensiun. optimisme,etc) kegiatan di lingkungan
RT, RW, kelurahan, etc

79
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Perlunya perubahan cara pandang terhadap pensiun dan pemaknaan


terhadap pekerjaan saat ini. Pemaknaan positif akan pekerjaan dan
tugas yang dilakukan akan mendukung adanya cara pandang yang
positif saat pensiun. Selain itu, cara pandang bahwa pensiun adalah
merupakan masa yang akan dilalui sebagai pergantian aktivitas bukan
sebagai berhentinya aktivitas. Pada tahapan ini pula diharapkan dapat
menghantar karyawan yang belum mempersiapkan pensiun karena
masih berada pada fase jauh (The remote phase) beralih ke fase
mendekat (The near phase). Mereka mulai untuk mengikuti aktifitas
atau alternatif kegiatan untuk dapat menghadapi masa transisi
ketika pensiun tiba. Cara pandang yang tepat terhadap pensiun
sebagai transisi perubahan aktivitas dan kehidupan akan mendukung
kesejahteraan pensiunan dikarenakan akan mengarah pada tindakan
yang kontruktif dan produktif di masa pensiun.

Beberapa area yang perlu disiapkan menjelang masa pensiun guna


mengembangkan sikap positif serta membantu adaptasi pada transisi
masa pensiun yaitu:

(1) Aspek ekonomi, pembahasan aspek ekonomi berkaitan dengan


pengelolaan keuangan serta kewirausahaan atau aktivitas untuk
income baru. Sikap positif terkait dengan tatakelola keuangan lebih
mengarah pada bagaimana sebaiknya keuangan mulai ditatakelola
secara positif. Hal ini termasuk menatakelola gaya hidup, misalnya
mulai memikirkan dan merencanakan bahwa saat pensiun nanti
sudah tidak ada hutang, mulai melihat peluang investasi yang
benar dan tabungan untuk hari tua. Mulai mengakses berbagai
informasi pengelolaan keuangan yang sehat dan menatakelola aset
yang dimiliki dengan baik. Termasuk informasi jika nantinya ada
pesangon maka penggunaan dan pengelolaannya dapat dipergunakan
secara tepat, misalnya jika akan dipergunakan untuk modal usaha
maka tidak dihabiskan semuanya, jika akan dibelikan barang maka
dibelikan barang yang sifatnya aset. Menatakelola keuangan erat
kaitannya dengan bagaimana mulai menatakelola gaya hidup yang
tepat menjelang pensiun dan mengelola aset yang dimiliki dengan
tepat. Berkaitan dengan pengelolaan aset maka sebelum pensiun

80
Tonggak PentingThe Near Phase Pensiun: ”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun”

sudah mengelola apa saja barang yang merupakan aset dan bukan
sehingga bisa memanfaatkan keuangan berdasar kebutuhan dan
menambah asset daripada untuk keperluan yang sesaat dan berdasar
keinginan semata. Berkaitan dengan mempersiapkan aktivitas untuk
mendapatkan income baru diantaranya mulai belajar kewirausahaan
bagi pemula dan memulai aktivitas yang menghasilkan income baru.
Misalnya dengan mulai membangun usaha dari hobby atau minat
dan kemampuan yang dimiliki. Belajar membangun usaha dengan
mencari mentor atau magang dengan pelaku usaha, hal ini tentunya
dengan melihat kondisi dan kemampuan yang realistis bagi diri kita.

(2) Aspek psikologis yaitu mempersiapkan mental untuk menghadapi


perubahan pada saat pensiun. Pada saat pensiun tiba maka akan ada
beberapa perubahan yang terjadi sehingga perlu disiapkan sehingga
tidak menjadi stresor atau penyebab stres. Perubahan yang terjadi
diantaranya berkaitan dengan keuangan maka akan ada penurunan,
lingkungan sosial juga akan berubah dan relasi yang hilang, dst.
Seseorang yang mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada
maka kesehatan mental atau psikologisnya dapat terjaga. Kegiatan
preventif kesehatan psikologis ini penting untuk diperkenalkan bagi
seseorang yang akan memasuki masa pensiun, antara lain dengan
tatakelola kesehatan psikis atau tatakelola stres yang mungkin akan
timbul dari dampak perubahan dimasa transisi pensiun. Sikap positif
yang mendukung dapat dibiasakan diantaranya mulai membiasakan
diri untuk bersyukur, jika ada masalah fokus pada solusi, tatakelola
emosi, misalnya dengan relaksasi, yoga, latihan pernapasan,
senam otak dst. Kegiatan dan latihan ini akan melatih seseorang
mengelola pola pikir, pola rasa dan pola perilaku ketika didapatkan
pada permasalahan atau situasi yang kurang nyaman. Pada saat
pensiun masa kritis yang perlu diperhatikan adalah pada saat terjadi
transisi dari bekerja menjadi tidak bekerja karena akan ada beberapa
perubahan. Perubahan yang terjadi ini berpotensi berdampak pada
ketidaknyamanan psikologis atau kesehatan psikologis jika tidak
disiapkan. Selain itu, aspek psikologis yang perlu dipahami ketika
seseorang menghadapi masa pensiun adalah adanya potensi adanya

81
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

fenomena post power syndrome. Post power syndrome kebanyakan


dialami oleh seseorang yang menjalani pensiun dimana hal ini
merupakan tanda kurang berhasilnya seseorang kurang berhasil
menyesuaian diri dari masa transisi. Masa pensiun menyebabkan
seseorang kehilangan peran, status dan identitas dimasyarakat yang
berubah sehingga hal ini berpotensi adanya dinamika psikologis.
Post power syndrome merupakan serangkaian gejala psikologis
yang terjadi ketika seseorang purna tugas diantaranya adanya rasa
kecewa, khawatir, takut, putus ada, kesepian, ketergantungan, harga
diri menjadi menurun, merasa tidak punya power dan dihargai,
dimana gejala ini bisa jadi kurang disadari ketika seseorang tidak
lagi memiliki jabatan dalam pekerjaan. Melalui pemahaman adanya
potensi fenomena post power syndrome ini bisa terjadi, maka penting
menjelang pensiun mulai mengenali dan membangun sikap positif
dalam mempersiapkan pensiun (Santrock, 1995).

Mengembangkan sikap positif pada the near phase antara lain dengan
mengelola pola pikir, pola rasa dan pola perilaku di antaranya:

a. Mengelola Pola Pikir b. Mengelola Pola Rasa c. Mengelola Pola Perilaku


Menghidupi pemaknaan positif Mengenali gelisah dan Memulai hari dengan aktivitas
atas pekerjaan dan pengalaman mengurangi sumber stress atau positif untuk mendukung
kerja serta mengembangkan ketidaknyamanan sehingga kesehatan fisik dan mental,
kebersyukuran atas pekerjaan mendukung tatakelola emosi misal dengan berdoa,
yang selama ini ditekuni. Menghidupi emosi positif bersyukur, apresiasi dan
Membangun cara pandang dengan memandang sapaan kepada orang lain,
positif terhadap pensiun permasalahan berlangsung dst dalam kegiatan yang
dengan berpikir positif tentang sementara dan fokus pada berkaitan dengan persiapan
pensiun dan saat menjalani solusi serta mengembangkan dan menjalani transisi masa
masa pensiun kebersyukuran perubahan pensiun.
Mencari sumber-sumber Melatih tatakelola emosi Meningkatkan hubungan
informasi positif dan inspiratif dengan berapa latihan, interpersonal dan membangun
tentang persiapan, menjalani misalnya latihan relaksasi, oleh relasi dan jejaring yang positif
transisi pensiun dan saat napas, senam otak, yoga, dll. dan mendukung adaptasi
pensiun Latihan ini akan membantu perubahan dimasa pensiun
Mengembangkan pikiran positif membiasakan untuk mengubah Membangun dukungan sosial
melalui kebersyukuran, framing ketegangan, stres atau yang dibutuhkan diantaranya
positif, dll. ketidaknyamanan menjadi melalui mulai aktif dalam
lebih rileks dan tenang komunitas minat, komunitas
agama dan komunitas yang
mendukung aktivitas menjelang
dan setelah pensiun

Tabel 2. Menatakelola pola pikir, pola rasa dan pola perilaku untuk menghadapi
pensiun. (Apsari, 2012 & Apsari, 2015)

82
Tonggak PentingThe Near Phase Pensiun: ”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun”

(3) Aspek sosial disiapkan dengan maksud ketika nantinya masa


pensiun dan terutama pada masa transisinya maka seseorang tetap
memiliki peran sosial dan mendapatkan dukungan sosial ketika
pensiun. Penting aktivitas sosial mulai dibangun sebelum pensiun
tiba sehingga ketika nanti kehilangan lingkungan sosial di pekerjaan
maka seseorang tetap memiliki aktivitas dan lingkungan sosial diluar
pekerjaan. Diantaranya dapat mulai mengikuti kegiatan keagamaan
maupun kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Kegiatan sosial dan
membangun jejaring sosial memungkinkan seseorang memiliki relasi
sosial yang luas dan hal ini akan mendukung persiapan kegiatan sosial
saat pensiun dikarenakan dengan aktivitas yang sosial seorang yang
telah pensiun masih dapat menjalankan peran sosial dan kontribusi
sosialnya. Berkaitan dengan aspek sosial maka penting pula mulai
mempersiapkan anggota keluarga dalam hal ini pasangan maupun
anak-anak mereka untuk memahami perubahan yang akan dihadapi
ketika pensiun tiba. Dukungan keluarga sebagai lingkungan sosial
terdekat akan memberikan pengaruh yang berarti ketika seseorang
mengadapi pensiun. Pasangan dapat mendukung dengan secara
bersama-sama mengelola aspek ekonomi yang bisa saja muncul
permasalah baru, sehingga perlu kerjasama dengan pasangan dalam
melakukan pengambilan keputusan setelah pensiun. Dukungan dari
anak menjadi hal penting selain menyiapkan anak untuk menghadapi
perubahan yang akan terjadi. Selain itu dukungan dari institusi dimana
karyawan bekerja menjadi hal yang penting di bangun. Hal ini terkait
dengan informasi dari institusi kebijakan pensiun yang ditetapkan oleh
institusi. Dengan demikian karyawan pra pensiun akan mendapatkan
kejelasan mengenai apa yang masih diterima dan difasilitasi apa yang
tidak diterima lagi setelah pensiun. Kejelasan hak dan kewajiban ini
akan membantu rencana karyawan dalam mempersiapkan masa
pensiunnya.

(4) Aspek fisik berkaitan dengan kesehatan fisik, diantaranya dalam


rangka membangun perilaku preventif untuk menjaga kesehatan dan
mengatur pola makan. Pengetahuan dan pemahaman terkait dengan
menjaga kesehatan dan resiko penyakit yang bisa jadi muncul di usia

83
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

pensiun dapat memunculkan sikap positif dalam menjaga kesehatan


dan memunculkan tindakan preventif. Upaya preventif sebagai sikap
positif menjaga kesehatan dilakukan melalui menjaga pola makan
dan olah raga yang sesuai untuk usia pensiun.

Kesimpulan
The near phase merupakan tahap dimana sesorang mulai
mempersiapkan masa pensiun yang akan segera tiba. Dalam aktivitas
persiapan ini perlu mengembangkan sikap positif terhadap pensiun
sehingga ketika masa transisi memasuki masa pensiun tiba maka
seseorang mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Pensiun memiliki konsekuensi perubahan seseorang pada berbagai
bidang kehidupan yaitu perubahan ekonomi diantaranya perubahan
pendapatan dan perubahan kehidupan sosial diantaranya adanya
aktivitas kerja dan relasi kerja yang hilang. Sejalan dengan perubahan
ini usia pensiun merupakan usia dengan potensi gangguan kesehatan
fisik dan kondisi psikologis karena adanya perubahan kehidupan.
Ketika masa transisi pensiun bisa dihadapi maka seseorang akan
mampu beradaptasi dan segera dapat menginjak ke kehidupan normal
baru atau masa stabil, sebaliknya ketika adaptasi pensiun mengalami
kegagalan maka seseorang berpotensi ke tahapan kekecewaan masa
pensiun. Pentingnya sikap positif terhadap pensiun perlu untuk
ditumbuhkan perutama pada masa the near phase, diantaranya:
Mengelola pola pikir, pola rasa dan pola perilaku mempersiapkan
pensiun tiba. Mengelola pola pikir, pola rasa dan perilaku dengan mulai
mengakses informasi positif terkait dengan persiapan pensiun. Mulai
mencari informasi sampai dengan penerapkan mengenai tatakkelola
keuangan dan managemen aset, kesehatan fisik dan pola makan
untuk menjaga kesehatan fisik, kegiatan yang membangun kesehatan
mental dan kegiatan sosial atau komunitas yang memperluas relasi.
Melalui sikap positif terhadap pensiun diharapkan seseorang dapat
beradaptasi dengan masa transisi perubahan yang terjadi dan menuju
pada tahap kehidupan baru yang positif di masa pensiun.

84
Tonggak PentingThe Near Phase Pensiun: ”Membangun Sikap Positif Terhadap Pensiun”

Daftar Pustaka
Abel, J.B & Hayslip, B. (2001). Locus of Control And Attitudes Toward
Work and Retirement. The Journal of Psychology, 120(5),
479-488.
Apsari & Susilo (2008). The Impact of Retirement Preparation Training
toward the Positive Attitude of Employee in Facing the
Retirement Priod. Proceedings. Surabaya : Widya Mandala
Catholic University.
Apsari Y (2012). Holistik Model Program Persiapan Pensiun, Konas
Ikatan Psikologi Perkembangan, UGM Yogyakarta.
Apsari Y (2015). Persiapan Psikologis Menghadapi Pensiun, prosiding
Konferensi Nasional IPK III, Surakarta.
Loudon, L. D., & Bitta, D. J. A. (1993). Consumer Behavior, Concepts
and Application (Fourth Edition). New York : McGraw-Hill.
Inc.
Santrock WJ. 1995. Life Span Development : Perkembangan Masa
Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta : Erlangga.

Biodata Penulis
Florentina Yuni Apsari, M.Si., Psikolog memiliki
pengalaman sebagai peneliti dalam ruang lingkup
psikologi industri, diantaranya penelitian bertema
persiapan pensiun, wellbeing pekerja dan pensiunan,
psychological capital, excellence service dan
pengembagan modul pelatihan. Latar belakang
pendidikan S1 dan S2 pada bidang psikologi,
dengan area of interest Psikologi Industri dan Organisasi. Memiliki
pengalaman sebagai praktisi selama 20 tahun dalam pelaksanaan
rekrutmen dan seleksi, design pelatihan dan pengembangan,
pengembangan organisasi dan konseling psikologi.

85
86
LEVEL KOMUNITAS/ORGANISASI/
INSTITUSI

87
88
Service Learning sebagai
Strategi Pembelajaran
dalam Konteks Kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat

G. Edwi Nugrohadi

S etelah fakultas menjadikan psikologi positif sebagai scientific


vision – nya, tim bidang minat psikologi sosial, Fakultas Psikologi,
Unika Widya Mandala Surabaya memutuskan untuk berkonsentrasi
pada model pendekatan yang berbasis komunitas (dan bukan
berbasis individu) dalam keseluruhan kegiatan pendidikan dan
pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat.
Konsentrasi pendekatan berbasis komunitas tersebut dirancang dan
diwujudkan dalam kegiatan intervensi yang mengarah pada proses
pemberdayaan. Maka dari itu, kegiatan intervensi yang mengarah
pada proses pemberdayaan sejatinya menjadi nafas bagi tim bidang
minat psikologi sosial dalam menjalankan ativitas tri dharma – nya.
Dengan latar belakang itu pulalah maka tagline yang kemudian
dikembangkan dalam bidang minat psikologi sosial adalah community-
based empowerment and intervention (intervensi dan pemberdayaan
berbasis komunitas).

Artikulasi dari tagline tersebut di bidang pendidikan dan pengajaran


mewujud pada berbagai kegiatan tri dharma. Dalam konteks dharma

89
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

ke satu, salah satu implementasinya muncul dalam bentuk pemilahan


proses pembelajaran, di mana untuk tengah semester pertama,
para pembelajar diajak beraktivitas di dalam kelas (memahami
dan mengkritisi konsep/teori beserta dengan perkembangan-
perkembangannya) dan untuk tengah semester kedua, para
pembelajar diajak untuk berkativitas di luar kelas (dengan berdasar
pada konsep/teori - yang dipelajari di tengah semester pertama - yang
menjadi cara pandangnya, merancang intervensi berbasis komunitas
dan mengimplementasikannya serta melakukan monitoring dan
mengevaluasi kegiatan tersebut).

Secara regular, implementasi tagline tersebut perlulah mendapatkan


penyegaran, agar apa yang sudah dirumuskan tetap menjadi dasar
yang menggerakkan. Dalam kerangka memberikan penyegaran itulah
maka naskah ini hadir di hadapan pembaca sekalian. Artinya adalah
secara pedagogis, melalui uraian ini penulis bertujuan memberikan
beberapa poin atau bahkan ide yang agak berbeda dari yang selama ini
sudah dilakukan, agar tagline yang sudah dibuat dapat diartikulasikan
(dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran) secara lebih efektif dan
efisien.

Jika merujuk pada berbagai perkembangan dan perubahan yang


terjadi di sekitar kehidupan masyarakat kita, yang saat ini sedang
menghayati era disrupsi, salah satu keprihatinan lama yang perlu
untuk diangkat dan didiskusikan adalah adanya kesenjangan antara
proses pembelajaran dengan dunia kerja riil yang nantinya akan
menyerap tenaga mereka. Proses pembelajaran lebih condong ke
upaya pengembangan hard skills daripada soft skills. Padahal, dunia
kerja membutuhkan keduanya (Manara, 2014). Beberapa institusi
mungkin ada yang melangkah lebih dengan menyeimbangkan antara
dua ketrampilan tersebut, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
DIKTI dalam keputusan mereka No. 43/DIKTI/Kep/2006 mengenai
penguasaan nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan
mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-
hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis: bersikap
rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap

90
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

demokratis yang berkeadaban. Menghadapi kondisi tersebut, salah


satu upaya solutif untuk mengatasinya adalah dengan mengkaitkan
antara dunia kerja riil dengan proses pembelajaran. Dengan kata lain,
usaha pengembangan soft skills sejatinya dapat dilakukan (didisain
secara bertanggung jawab) di dalam proses pembelajaran.

Sejauh dicermati dalam berbagai kajian pedagogis, ada berbagai


istilah yang muncul yang merepresentasikan upaya mengembangkan
soft skills dalam konteks pembelajaran. Beberapa di antaranya
adalah problem-based learning atau pembelajaran berbasis pada
penyelesaian masalah, experiential learning atau pembelajaran
berbasis pengalaman, dan service learning atau pembelajaran
berbasis layanan. Dengan mengakomodasi pengembangan kedua
skills tersebut, harapan yang dibangun adalah adanya jembatan yang
menghubungkan antara dunia kerja riil dengan proses pembelajaran,
sehingga kesenjangan yang selama ini terbentuk akan semakin
terpangkas. Sekali lagi, dalam kerangka untuk mengatasi keprihatinan
itulah maka tulisan ini hadir di hadapan para pembaca.

Konsep Service Learning (Pembelajaran Berbasis


Layanan)
Mengikuti konsep Ehrlich (1996), service learning dipahami sebagai
proses pembelajaran yang mengkaitkan antara layanan komunitas
dengan proses akademik yang bertujuan untuk saling memperkuat
kedua komponen tersebut. Konsepsi tersebut dibangun dengan
berdasar pada gagasan John Dewey tentang kunci pembelajaran
yang terletak pada interaksi antara pengetahuan dan ketrampilan
dengan pengalaman. Dalam kerangka pemikiran Dewey tersebut,
proses pembelajaran yang terbaik bukanlah membaca referensi dalam
sebuah ruang kelas yang tertutup, melainkan dengan membuka pintu
dan jendela pengalaman.

Gagasan tersebut di atas dipertajam oleh Weigert (1998). Menurutnya,


pemahaman tentang service learning sangat bervariasi. Karena variasi
pemahaman yang beragam, maka dia mengidentifikasi adanya enam

91
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

elemen pokok yang mengkonstruksi pemahaman tentang service


learning. Keenam elemen tersebut harus dicakup secara bersamaan
dan dapat dipilah menjadi dua bagian besar, yakni: tiga elemen
merupakan wilayah komunitas (adanya pelayanan yang bermakna,
yang berdasar pada analisa kebutuhan, di mana analisis itu dibuat
oleh warga komunitas itu sendiri) dan tiga elemen sisanya berada
di wilayah peserta (aktivitas layanan bersumber dan mengarah
pada tujuan pembelajaran, yang dilakukan secara integratif dengan
keseluruhan pembelajaran, dan yang dievaluasi berdasarkan proses
tersebut) yang menjalankan kegiatan service learning.

Hal yang senada juga ditekankan oleh Corporation for National and
Community Service pada saat mempublikasikan Standards and
Indicators for Effective Service Learning Practices (2014). Publikasi
tersebut berdasar pada RMC Research Corporation yang diterbitkan
pada Juli 2008. Dalam teks tersebut dimuat bahwa proses service
learning melibatkan dua komponen utama yakni: komunitas yang
dilayani dan aktivitas peserta didik. Dua komponen tersebut berproses
bersama di mana dalam proses itu dimuat adanya aktivitas pelayanan
dan keterkaitan aktivitas pelayanan yang dijalankan dengan kurikulum
pembelajaran.

Dalam konteks Indonesia, Supratiknya (2002) mengidentifikasi


berbagai hal pokok yang dimuat dalam sebuah pembelajaran berbasis
layanan, yakni: (1) harus dilaksanakan sebagai bagian dari kurikulum
akademik suatu mata kuliah tertentu dalam suatu program studi,
(2) aneka kebutuhan atau problem yang dicoba diatasi dirumuskan
sendiri oleh komunitas atau masyarakat yang dilayani, bukan oleh
pihak kampus, (3) harus dilengkapi dengan refleksi kritis yang terarah
(bahkan proses refleksinya harus mengarah pada sebelum kegiatan
dilakukan, pada saat kegiatan dilakukan, dan setelah kegiatan
dilakukan), dan (4) harus memberdayakan baik pembelajar maupun
warga masyarakat yang dilayani.

Secara skematis, berdasar pada berbagai uraian yang sudah


dijelaskan di atas dan dengan mengadopsi kerangka konseptual

92
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

aktivitas service learning sebagaimana digagas oleh Felten &


Clayton (2011), aktivitas service learning dapat disarikan dalam
sebuah kerangka konseptual tertentu (Lihat Gambar 1). Jika dikaji
berdasar pada tujuan pembelajarannya, aktivitas service learning
akan melibatkan tiga unsur pokok, yakni: adanya personal growth,
academic enhancement, dan civic learning. Sementara itu, jika dikaji
dari sisi partnership-nya, aktivitas service learning akan melibatkan
tiga pihak, yakni: warga komunitas yang dilayani, para mahasiswa,
dan para staff pengajar yang terlibat dalam kegiatan tersebut; dan
jika dicermati berdasar pada komponennya, aktivitas service learning
akan melibatkan tiga aktivitas, yakni: adanya pelayanan yang tepat
berdasar pada kebutuhan komunitas, refleksi kritis, dan adanya materi
pembelajaran.

Gambar 2. Bagan Elemen Service Learning (Sumber: Felten & Clayton, 2011)

Hal yang juga harus dicermati terkait model pembelajaran berbasis


layanan adalah garis singgungnya yang tebal dengan model
pembelajaran lain (misalnya: problem-based learning, atau project-

93
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

based learning, atau experiential learning) yang juga mengintegrasikan


proses pembelajaran dengan kehidupan riil. Sebagaimana dinyatakan
oleh Supratiknya (2002) yang merujuk pada argumentasi Eyler
(2002), service learning idealnya memang diselenggarakan
dengan menggunakan pendekatan problem-based learning atau
pembelajaran berbasis problem. Dalam konteks ini, permasalahan
yang dicoba untuk dicari solusinya itu ditemukan oleh si pembelajar
manakala si pembelajar terjun dan terlibat langsung dengan entitas
sosial dalam kehidupan riil. Dalam kerangka berpikir itu pulalah maka
uraian tersebut juga menyinggung model experiential learning atau
pembelajaran berbasis pengalaman dan juga project-based learning
atau pembelajaran berbasis proyek). Artinya adalah bahwa melalui
proses layanan yang dimanifestasikan oleh si pembelajar, maka si
pembelajaran tersebut mempraktekkan sekaligus problem-based
learning, juga project-based learning, dan juga experiential learning.

Artikulasi Service Learning (Pembelajaran


Berbasis Layanan) sebagai Strategi Pembelajaran
dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Berbasis
Komunitas
Pada tataran implementasi, kegiatan service learning dilaksanakan
dengan mengedepankan proses pembelajaran yang kontekstual
dan reflektif (reflective and contextual learning process). Untuk
mewujudkan hal tersebut, ada beberapa tahapan yang sebaiknya
dilalui. Secara garis besar, tahapan tersebut dipilah dalam tiga
langkah, yakni: tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi.

a. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini ada dua hal pokok yang paling tidak harus
menjadi perhatian untuk menerapkan model pembelajaran berbasis
layanan. Pertama adalah penentuan mata kuliah dan yang kedua
adalah kontak dengan pihak yang akan dilibatkan dalam proses
pembelajaran. Terkait dengan kedua hal tersebut, maka fokus
utamanya adalah pada bagaimana menentukan mata kuliah yang

94
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

cocok untuk diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran


berbasis layanan?

Dalam menentukan mata kuliah yang akan mengadaptasi model


pembelajaran berbasis layanan, hal pokok yang harus dipertimbangkan
adalah tujuan mata kuliah itu sendiri beserta dengan kompetensi
yang akan ditanamkan melalui pembelajaran di mata kuliah tersebut.
Indikator utama yang dapat dipakai adalah jika tujuan pembelajaran
mencakup wilayah yang menurut Bloom dirumuskan sebagai kognisi
(pola pikir), afeksi (pola sikap), dan psikomotor (pola perilaku), maka
sebetulnya proses perkuliahan tersebut dapat mengadaptasi model
ini.

Pembelajaran yang bertujuan untuk menanamkan sikap dan perilaku


tertentu tidak cukup bila hanya dilakukan di dalam kelas (melalui
ceramah atau diskusi atau role play). Apa yang diberikan di kelas
melalui perkuliahan formal biasanya lebih banyak muatan kognisinya.
Sikap dan perilaku tidaklah cukup kalau hanya diajarkan. Aspek ini
membutuhkan aplikasi pada tataran praktis dengan dipandu oleh
keteladanan yang memadai. Nasehat Konfusius (450 SM) yang
menyatakan ”Tell me and I will forget, show me and I may remember,
involve me and i will understand” menemukan kebenarannya dalam
konteks ini.

Demikian halnya jika kompetensi yang akan dibangun mencakup


penumbuhkembangan soft skills. Kompetensi-kompetensi soft
(misalnya: kemandirian, tanggung jawab, pengelolaan waktu,
kemampuan membangun relasi sosial, kepedulian, komitmen, dan
empati) juga tidak akan cukup kalau hanya diajarkan secara klasikal.
Kompetensi ini membutuhkan media implementasi yang tepat
sehingga akan lebih membantu untuk menilai (sudah dimiliki oleh
mahasiswa ataukah belum) ketercapaiannya.

Berpijak pada asumsi itu, maka para mahasiswa diajak untuk terjun
langsung di lapangan, di tempat di mana berbagai persoalan hadir
dalam sebuah peristiwa konkrit. Melalui beberapa kali pertemuan,

95
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

mahasiswa diajak untuk belajar secara langsung (melalui observasi


dan partisipasi aktif) dari berbagai peristiwa dan para actor yang
terlibat dalam peristiwa tersebut. Di tempat itu mahasiswa melakukan
analisis kebutuhan, analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman (SWOT), dan berdasarkan analisis tersebut mahasiswa juga
membuat rancangan intervensi sebagai upaya solusi atas persoalan
yang dihadapi. Hasil dari semua proses itu nanti akan dipresentasikan
di hadapan pengajar dan para aktor eksternal yang dilibatkan.
Berdasarkan pada pengalaman yang sudah terjadi, diskusi hangat
biasanya akan berkembang.

Aktivitas semacam itu, di satu sisi akan merupakan proses


pembelajaran yang efektif bagi para mahasiswa, dan di sisi lain
juga akan menjadi masukan evaluatif dan konstruktif dari para actor
yang dilibatkan. Sampai pada titik itu, diskusi solutif yang terarah
akan menghasilkan sebuah masukan yang bisa ditindaklanjuti, baik
oleh para actor yang dilibatkan dan/atau juga oleh pihak universitas
melalui kegiatan pemberdayaan. Selain itu, melalui kegiatan tersebut,
berbagai ketrampilan soft sebagaimana diuraikan di atas, akan lebih
dikembangkan. Di situlah nantinya akan terbangun sinergi yang saling
mengembangkan antara mahasiswa yang belajar dengan para aktor
tempat di mana mahasiswa tersebut belajar.

Selain melakukan persiapan yang bersifat administratif-akademik,


pelaku juga harus melakukan kontak dengan masyarakat yang
akan menjadi mitra dalam kegiatan service learning. Hal penting
yang juga perlu didiskusikan dalam konteks ini adalah bagaimana
menentukan pihak eksternal yang akan dilibatkan. Berdasarkan
pada apa yang sudah dialami oleh penulis, konsep wilayah binaan
adalah sasaran yang terbaik. Dengan adanya wilayah binaan maka
tim yang akan mengimplementasikan model pembelajaran ini tidak
harus bersusah payah melakukan analisis (utamanya adalah peluang
pelaksanaan model) karena berbagai data sudah dimiliki terlebih
dahulu sebelumnya.

96
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

Jika wilayah binaan belum dikembangkan, maka hal yang harus


dibuat oleh pelaku adalah melakukan kajian pendahuluan (semacam
analisis sosial kemasyarakatan) terlebih dahulu. Itulah kontak
awalnya. Tujuannya adalah untuk mengkaji berbagai peluang dan
hambatan dalam pelaksanaan model pembelajaran berbasis layanan.
Selain itu, kontak awal ini juga memuat penyampaian informasi
awal dan permohonan ijin (”kula nuwun”) untuk melakukan kegiatan
pembelajaran bersama mereka.

b. Tahap Pelaksanaan
Berdasar pada berbagai persiapan pokok yang sudah diuraikan di atas,
dalam pelaksanaannya, pembelajaran berbasis layanan sebaiknya
dimulai dari pihak internal dulu, yakni pada mahasiswa (termasuk juga
dosen-dosen yang dilibatkan dalam kegiatan ini). Dalam konteks ini,
penyelenggara harus mempersiapkan terlebih dahulu sebuah kegiatan
pembekalan yang sistematis untuk para mahasiswa (dan dosen yang
terlibat) agar mereka memahami secara tepat model pembelajaran
berbasis layanan.

Berdasarkan pengalaman penulis, pembekalan internal dilakukan


secara klasikal seperti layaknya sebuah perkuliahan biasa. Dosen
pendamping yang sudah ditunjuk memberi penjelasan tentang
pembelajaran berbasis layanan, mulai dari pengertiannya, hakekatnya,
model-model yang berkembang, tahap-tahap pelaksanaanya, sampai
pada evaluasi efektivitas pelaksanaan model tersebut dengan berbasis
pada berbagai kajian ilmiah. Setelah semua hal tersebut dijelaskan,
dosen pendamping berkewajiban mengkaitkan pelaksanaan model
pembelajaran berbasis layanan dengan mata kuliah, visi-misi fakultas
dan universitas. Dengan melakukan semua aktivitas itu maka para
mahasiswa tidak hanya diajak untuk melihat gambaran detil dari
kegiatan ini tetapi juga gambaran besarnya.

Di luar itu, penyelenggara juga harus mempersiapkan pihak eksternal


yang dilibatkan agar mereka nantinya bisa berproses dalam model
pembelajaran tersebut. Setelah entitas yang akan dilibatkan sudah
ditemukan, maka dosen pendamping sebaiknya mengajak entitas untuk

97
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

berkumpul dan menjelaskan berbagai kegiatan yang akan dilakukan.


Pada titik ini dosen pendamping menjelaskan tujuan kegiatan dan
bagaimana kegiatan itu harus diimplementasikan, tentunya dengan
menitikberatkan pada kemaslahatan kedua belah pihak.

Upaya menekankan pada kemaslahatan kedua belah pihak menjadi


hal yang krusial. Alasannya adalah karena pola yang selama ini
berkembang adalah adanya relasi yang tidak seimbang antara
mahasiswa (universitas) dengan entitas yang dilibatkan, di mana salah
satu pihak menjadi lebih dominan. Pengalaman sudah memberikan
bukti bahwa relasi yang tidak seimbang justru akan memunculkan
pola objektivasi di mana pihak yang satu menjadikan pihak yang lain
sebagai objek, sementara dirinya sendiri adalah subjek.

Jika kedua pihak (mahasiswa dan masyarakat yang dilibatkan) sudah


relatif memahami kegiatan ini beserta dengan kemaslahatannya, maka
langkah berikutnya adalah pelaksanaan kegiatan pembelajaran itu
sendiri. Berdasarkan pada apa yang pernah dijalankan oleh penulis,
pelaksanaan kegiatan bisa diwujudkan dalam satu semester penuh
atau setengah semester. Tolok ukurnya adalah dikembalikan lagi pada
tujuan pembelajaran dari mata kuliah yang dipilih beserta dengan
kompetensi yang akan dibangun.

Terlepas dari perwujudannya yang satu semester atau setengah


semester, penulis mencatat dua hal yang semestinya dipertimbangkan.
Hal pertama adalah mempertemukan entitas dengan para mahasiswa.
Pertemuan tersebut idealnya dilakukan dalam kelompok besar
dan kecil. Pertemuan dalam kelompok besar dimaksudkan untuk
menyamakan persepsi (apakah kedua pihak sudah sepaham dengan
keseluruhan agenda kegiatan), sementara pertemuan dalam kelompok
kecil dimaksudkan untuk saling mengenal satu sama lain. Tahap ini
biasanya diakhiri dengan kesepakatan tindak lanjut tentang kapan
mahasiswa bisa mendatangi entitas.

Hal kedua adalah kegiatan analisis kebutuhan (need assessment).


Dalam kegiatan ini, mahasiswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan

98
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

entitas sembari melakukan wawancara dan observasi. Proses awal


dalam kelompok kecil ini sebaiknya didampingi oleh dosen dan/atau
para asisten dosen. Kehadiran dosen dan/atau para asisten dosen
dalam tahap ini lebih menjalankan peran fasilitatif, sembari melakukan
asesmen atas kompetensi mahasiswa. Akhir dari kegiatan ini ditandai
dengan pengumpulan dokumen proposal yang berisi rencana aktivitas
pembelajaran berbasis layanan yang akan dilakukan oleh masing-
masing kelompok mahasiswa. Dengan tujuan untuk mempermudah,
penyelenggara idealnya menyediakan template yang berisi butir-butir
minimal yang harus ada dalam sebuah proposal rencana kegiatan.

Setelah proposal rencana kegiatan disetujui oleh dosen pendamping,


pada tahap berikutnya, mahasiswa mengimplementasikan apa yang
sudah direncanakan dalam proposal. Aktivitas ini juga berada dalam
pendampingan dosen dan/atau para asistennya untuk menghindari
hal-hal yang tidak tepat dan tidak diinginkan. Di tahap inilah para
mahasiswa akan terlibat secara intens dengan kegiatan entitas.
Akhir dari kegiatan ini ditandai dengan pengumpulan dokumen
laporan hasil kegiatan pembelajaran berbasis layanan yang disertai
dengan dokumen refleksi kelompok dan refleksi masing-masing
mahasiswa. Sama seperti tahapan sebelumnya, dengan tujuan untuk
mempermudah, penyelenggara sebaiknya menyediakan template
yang berisi butir-butir minimal yang harus ada dalam sebuah laporan
kegiatan beserta dengan refleksinya (individu dan kelompok).

Dokumen-dokumen yang dilaporkan oleh mahasiswa (proposal


kegiatan, laporan kegiatan, refleksi kelompok, dan refleksi pribadi),
pada tahapan berikutnya, akan dipresentasikan (di-sharing-kan) di
hadapan dosen pendamping dan juga entitas yang dilibatkan. Secara
teknis, kegiatan tahap ini disebut selebrasi pembelajaran berbasis
layanan. Setiap kelompok diberi jatah waktu tertentu (biasanya
sekitar 30-40 menit) untuk membagikan berbagai pengalaman dan
solusi yang disusun. Selebrasi tersebut diikuti oleh semua mahasiswa
yang terlibat dalam service learning beserta para dosen dan asisten
dosen. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan kegiatan proses
pembelajaran ini juga diundang, misalnya para wakil/pembantu dekan

99
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

bidang akademik dan perwakilan masyarakat yang menjadi partner


dalam service learning. Dengan adanya selebrasi ini, maka tahap
pelaksanaan kegiatan pembelajaran berbasis masyarakat dinyatakan
selesai.

c. Tahap Evaluasi
Selesainya tahap pelaksanaan kegiatan pembelajaran berbasis
masyarakat bukan berarti selesai juga kegiatan service learning.
Perancang dan pelaksana kegiatan juga harus melakukan proses
evaluasi. Artinya, setelah proses pembelajaran berbasis layanan
terlaksana, penyelenggara berkewajiban untuk melakukan evaluasi
tentang aktivitas pembelajaran yang sudah dilakukan. Isi evaluasinya
sendiri adalah seputar masalah efektivitas pembelajaran: apakah
tujuan pembelajaran dan kompetensi yang akan dibangun tercapai,
apakah mahasiswa terbantu dengan proses ini, apakah pihak
masyarakat yang dijadikan sebagai partner juga memperoleh manfaat
dari kegiatan ini, dan apa tindak lanjut berikutnya.

Berdasar pada apa yang sudah dilakukan oleh penulis, kegiatan


evaluasi dilakukan dalam tiga model. Pertama adalah evaluasi
berbasis dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam konteks ini adalah
proposal kegiatan, laporan kelompok setelah proses pembelajaran,
refleksi kelompok, dan juga refleksi individual. Secara teknis, kegiatan
ini diaktualisasikan dengan memberi nilai pada berbagai dokumen
yang sudah dibuat mahasiswa. Nilai dokumen tersebut, setelah
digabung dengan nilai presentasi kelompok, akan menjadi skor tengan
semester (STS) dan skor akhir semester (SAS), di mana berdasarkan
pada kedua skor tersebut akan ditentukan nilai akhir emester (NAS).

Model evaluasi kedua dilakukan dengan berbasis entitas. Secara


teknis, proses ini diaktualkan dengan meminta feedback dari entitas
terkait dengan kegiatan pembelajaran yang sudah dilakukan beserta
dengan partisipasi mereka. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk
mewujudkannya. Pertama adalah pada saat selebrasi kegiatan service
learning. Setelah mahasiswa selesai presentasi, entitas masyarakat
yang dilibatkan dalam pembelajaran diminta memberikan masukan,

100
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

komentar, atau pertanyaan, baik terkait dengan laporan kegiatan yang


baru saja dipresentasikan maupun terkait dengan proses keterlibatan
mahasiswa di lapangan.

Cara yang kedua adalah dengan mendatangi dan mengumpulkan


entitas yang dilibatkan dalam pembelajaran berbasis layanan, setelah
seluruh kegiatan selesai diadakan. Dalam konteks ini, entitas diajak
untuk melakukan evaluasi kegiatan. Cakupan evaluasinya cukup luas,
mulai dari keterlibatan mahasiswa, gagasan-gagasan yang solutif yang
disarankan, sampai pada efektivitas kegiatan ini untuk masyarakat
yang dilibatkan.

Model evaluasi yang ketiga dilakukan dengan berbasis mahasiswa.


Dalam hal ini mahasiswa ditanyai terkait dengan tindak lanjut
kegiatan pembelajaran. Tujuannya adalah mencoba membangun
keterikatan mahasiswa dengan entitas yang dilibatkan. Secara teknis,
hal ini dilakukan dengan cara menanyai mahasiswa (yang sudah
menjalankan servicce learning) tentang keberlanjutan dari kegiatan
service learning yang sudah dilakukan. Berdasarkan pengalaman
yang dimiliki penulis, banyak mahasiswa yang menjawab bahwa
mereka masih kontak dengan entitas. Keberlanjutan dengan entitas
menjadi salah satu indikator penilaian yang dapat diterapkan.

Peluang dan Tantangan Service Learning


(Pembelajaran Berbasis Layanan) sebagai
Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan
Pemberdayaan Berbasis Komunitas
Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis layanan bukanlah
sebuah usaha yang sekali jadi. Berbagai hambatan muncul dan
menuntut pemecahan secepatnya. Berdasarkan pada pengalaman
mempraktekkannya, ada beberapa persoalan yang kalau dikelompokkan
dapat dipilah menjadi dua, yakni secara internal (dari sisi pembelajar
beserta dengan lembaganya) dan secara eksternal (dari sisi entitas
masyarakat yang dilibatkan dalam proses pembelajaran tersebut).

101
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Secara internal, persoalan pertama adalah koordinasi dengan


dekan, kajur, dan dosen pendamping/pengampu mata kuliah. Upaya
koordinatif kadang bukan merupakan hal yang mudah karena berbagai
alasan, baik yang sifatnya individual, komunal, maupun organisasional.
Untuk mengatasi hal tersebut, sebaiknya rancangan pembelajaran
model service learning disepakati oleh semua pihak sejak awal (sejak
sebelum dimulainya pembelajaran tersebut) sehingga semua kegiatan
bisa tetap terlaksana secara efektif, tanpa ada gangguan internalyang
berarti.

Secara eksternal, hambatan pelaksanaan service learning lebih


mengerucut pada upaya menentukan entitas sosial yang akan dipilih
untuk dilibatkan. Itu sebabnya, jika universitas sudah memiliki wilayah
binaan, maka entitas yang akan dilibatkan dalam pembelajaran
bukanlah merupakan hambatan. Bila entitas masyarakat sudah
ditemukan, persoalan berikutnya adalah melakukan koordinasi dengan
entitas tersebut. Kadang terjadi bahwa entitas masyarakat agak sulit
untuk diajak berpartner untuk mendukung pembelajaran. Dalam
konteks itu, berdasarkan pada apa yang sudah dialami penulis, solusi
lebih bergantung pada kemampuan penyelenggara untuk melakukan
negosiasi dengan entitas masyarakat (utamanya para pemangku
wilayahnya).

Persoalan eksternal kedua adalah melakukan monitoring kegiatan


pembelajaran berbasis layanan. Jika ada satu kelas yang dilibatkan,
maka dosen pendamping harus memonitor pelaksanaan kegiatan dari
para mahasiswa dalam kelas tersebut. Tentu ini bukan hal yang mudah
karena keterbatasan waktu dan resources lainnya. Berdasarkan apa
yang sudah dilakukan oleh penulis, upaya solutif yang kami tempuh
adalah dengan melibatkan mahasiswa yang lebih senior. Dalam hal
ini mereka berperan sebagai asisten dosen. Dengan asisten dosen
inilah nanti para dosen pendamping akan berbagi tugas, sehingga
upaya memonitoring kegiatan dapat terlaksana dengan efektif.

Lebih jauh lagi dengan mempertimbangkan situasi pandemi yang


sedang dihadapi oleh semua pihak saat ini, merancang pembelajaran

102
Service Learning sebagai Strategi Pembelajaran dalam Konteks Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

berbasis layanan secara daring merupakan persoalan tersendiri dan


menantang untuk diujicobakan. Persoalan ini, sebagai sebuah contoh,
diidentifikasi secara tepat oleh McWhorter, Delello, & Robert (2016).
Kemendesakkannya bukan hanya terjadi karena situasi pandemi,
melainkan juga karena berkembangnya berbagai platform digital,
termasuk salah satunya dalam proses pembelajaran.

Kesimpulan
Berdasarkan pada berbagai uraian yang sudah dijelaskan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis layanan (service
learning) dapat menjadi solusi yang patut dicoba untuk menjembatani
kesenjangan antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Tentu
tidak mudah dan pasti akan ada hambatan yang muncul karena konsep
service learning belum terlalu banyak dikenal. Kendati demikian,
berdasarkan pengalaman penulis, berbagai ketidakmudahan dan
hambatan tersebut akan terbayar lunas manakala menikmati proses
pembelajaran berbasis layanan sampai pada kesudahannya. Semoga.

Daftar Pustaka
Corporation for National and Community Service (2014). Standards
and Indicators for Effective Service Learning Practices.
Online Published. Download version: https://cdn.ymaws.
com/www.nylc.org/resource/resmgr/k-12_sl_standards_for_
qualit.pdf
Ehrlich, T (1996). Foreward. In: Barbara Jacoby & Associates. Service
Learning in Higher Education: Concepts and Practices. San
Francisco, CA: Jossey-Bass Publisher.
Eyler, J (2002). Reflection: Linking Service and Learning - Linking
Students and Communities. Journal of Social Issues, Vil. 58,
No. 3.

103
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Felten, P. & Clayton, P.H (2011). ”Service Learning”. New Directions


for Teaching and Learning, No. 128.
Manara, M.U. (2014). ”Hard Skills Dan Soft Skills Pada Bagian
Sumber Daya Manusia Di Organisasi Industri”. Jurnal
Psikologi Tabularasa. Vol. 9, No. 1.
McWhorter, R.R., Delello, J.A., & Robert, P.B (2016). ”Giving
Back: Exploring Service Learning in an Online Learning
Environment”. Journal of Interactive Online Learning. Vol.
14, No. 2.
Supratiknya, A. (2002). Service Learning, Belajar Dari Konteks
Kehidupan Masyarakat: Paradigma Pembelajaran Berbasis
Problem, Mempertemukan Jean Piaget dan Lev Vygotsky.
Naskah Pidato Dies Natalis Ke-47, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
Weigert, K.M (1998). ”Academic Service Learning: It’s Meaning and
Relevance”. New Directions for Teaching and Learning, No.
73.

Biodata Penulis
G. Edwi Nugrohadi. Penulis adalah dosen Fakultas
Psikologi, Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya. Bidang peminatan penulis adalah
psikologi sosial, dengan fokus kajian pada masalah
kearifan lokal dan intervensi serta pemberdayaan
berbasis komunitas. Karya dalam bentuk buku
yang sudah dibuat bersama dengan tim antara lain
adalah ”Menjadi Pribadi Humanis & Religius” dan ”Menjadi Manusia
Otentik”. Penulis dapat dihubungi secara daring melalui surel dengan
alamat edwi-nugrohadi@ukwms.ac.id

104
Positive Organization:
Meaning di Tempat Kerja,
Mengapa Penting?

Nurlaila Effendy

B ank Dunia atau World Bank baru saja menerbitkan laporan ”The
Human Capital Index 2020 Update: The Human Capital in the
Time of COVID-19”. HCI merupakan salah satu program Bank Dunia
yang didesain untuk menjelaskan bagaimana kondisi kesehatan dan
pendidikan dapat mendukung produktivitas generasi yang akan datang.
Dalam laporan tersebut, nilai HCI atau Indeks Sumber Daya Manusia
Indonesia 2020 sebesar 0,54, naik dari 0,53 pada tahun 2018. Skor
HCI 2020 diolah berdasarkan data baru dan diperluas untuk masing-
masing komponennya hingga Maret 2020. Dengan demikian, laporan
tersebut belum memperhitungkan dampak COVID-19 pada Sumber
Daya Manusia (SDM) (Kemenku, 2020). Selain itu HCI tersebut juga
belum mengukur kualitas SDM dari kinerja dan kompetensi. Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi perhatian bukan hanya dari
segi hard competency (knowledge & skills), tetapi juga dari soft
competency (self concept, trait, dan motive), serta bagaimana
dengan kompetensi dapat memberikan kontribusi kepada Organisasi
dan karyawan mencapai kesejahteraan (well-being). Adanya tatanan
dunia baru merupakan tantangan bagi semua agar dapat meningkatkan
kualitas SDM dengan tetap memberi iklim positif dalam bekerja.

105
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Ada pendapat yang menarik dari Gavin dan Manson (2004) tentang
bekerja dan kebahagiaan. Bekerja dengan sendirinya tidak dapat
membuat seseorang bahagia, tetapi seseorang tidak dapat benar-benar
bahagia jika dia tidak bahagia di tempat kerja (Gavin dan Mason,
2004). Dampak lain dari adanya kebahagiaan di tempat kerja adalah
rendahnya intensi turnover, hal tersebut dikarenakan adanya perasaan
puas (high pleasure) dan keamanan di tempat kerja (Warr,2007).
Produktivitas suatu organisasi terjadi apabila adanya produktivitas
individu dan tim-tim dalam perusahaan. Produktivitas yang kuat jika
individu–individu dalam perusahaan sesuai dengan iklim di tempat
kerja (Neal et al., 2000). Kelekatan karyawan dengan organisasi
menjadi penting untuk peningkatan produktivitas. Kelekatan atau
engagement terjadi apabila emosi karyawan didominasi emosi positif
yang kategori aktivitas tinggi (misal semangat, bahagia, dll) seperti
pada Gambar 1.

Gambar 3. Modifikasi dari Russel (1980 dan 2003) oleh Bakker dan Oerlemans
(2012: a two dimensional view of subjective well being (Cameron dan Spreitzer,
2012)
Pada emosi positif, misalnya kebahagiaan di tempat kerja akan
membuat karyawan menjadi engage/terlibat dan produktif. Survei
dari Universum Global Workforce Happiness Index 2016 (Helliwell,
2017) menunjukan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 45 dari
57 negara. Angkatan kerja Indonesia dikategorikan dalam kelompok

106
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

seeker. Kelompok seeker merupakan kelompok angkatan kerja yang


tidak puas di tempat kerja dan mencari perubahan, yaitu dengan keluar
dari perusahaan untuk mencari perusahaan baru. Survei tersebut juga
menunjukan bahwa keinginan para pekerja di Indonesia adalah gaji
yang tinggi, resign untuk pekerjaan baru, dan tanggung jawab baru.
Hal ini tentu membuat perusahaan kesulitan mengelola tim untuk
tetap memiliki kinerja optimal.

Pada laporan Employee Job Happiness Index 2017 (Helliwell, 2018)


menunjukkan indeks kebahagiaan pekerja di Indonesia pada tahun
2017 adalah 5.27 dan diprediksikan 6 bulan setelah survei akan
turun menjadi 5.05. Survei tersebut sejalan dengan hasil survei
yang dilakukan oleh Effendy dan Bulut (2018) menunjukkan bahwa
flourishing dari Generasi Y di Jakarta adalah 28% dan di Istanbul 11%.
Dimensi flourishing pada survei tersebut adalah Positive emotion,
engagement, positive relationship, meaning dan achievement.
Menjadi pertanyaan bersama, bagaimana tingkat kebahagiaan di
tempat kerja pada tatanan dunia baru, new normal.

Adanya program Work From Home (WFH) dan Work From Office
(WFO) di perusahaan sebagai respon tatanan dunia baru akibat
munculnya Covid-19. Kondisi ini menyadarkan bahwa sebagian
pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Era Teknologi Informasi selama
ini belum dioptimalkan fungsinya bagi kehidupan sehari-hari, sekolah,
bisnis, dan pekerjaan. Tidak tertutup kemungkinan terjadi perubahan
dalam melaksanakan aktivitas maupun melaksanakan pekerjaan.
Media virtual akan menjadi style dalam bekerja. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi manajemen dan pemimpin organisasi dalam
membuat strategi bagaimana karyawan tetap terlibat dengan emosi
positif (engage) dan memberikan kontribusi optimal. Karyawan yang
memiliki work engagement cenderung menjadi karyawan yang kreatif,
produktif, dan lebih ingin terlibat (Bekker dan Demerouti, 2008).

Work engagement dipengaruhi oleh faktor-faktor, yaitu job resources


dan personal resources, dan job demand (Bakker & Leiter, 2010),
artinya faktor individu dan organisasi mempengaruhi terbangunnya job

107
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

engagement. Meaningful work memberi sumbangan yang besar pada


work engagement pada beberapa penelitian (Hobfoll, 2001; Stringer
& Boverie, 2007; May et. al (2004)). Meaningful work dapat berperan
sebagai aspek dari pekerjaan yang menstimulasi pertumbuhan,
pembelajaran, dan perkembangan dari individu. Karyawan yang
memiliki meaning dalam pekerjaan individu dapat lebih siap dan
resilien dalam menghadapi situasi yang penuh perubahan dan tidak
menentu seperti masa pandemi ini dan bahkan mengembangkan
psychological capital (Effendy & Widianingtanti, 2020). Meaning
dapat dikembangkan oleh individu sebagai salah satu golden rules
yang disampaikan Schaufeli pada presentasinya di workshop APIO
pada 12 Nopember 2021 secara online. Meaning menjadi penting
untuk karyawan dapat menikamti pekerjaan, berkontribusi, dan
mengembangkan diri.

Meaning
Mengapa perlu meaning pada kehidupan kerja dan kehidupan sehari-
hari? Pembahasan meaning jarang diangkat sebagai dasar dalam
berorganisasi maupun kehidupan pribadi. Manusia sebagai makluk
reflektif untuk hidup di dunia membutuhkan tiga hal: mereka perlu
memahami dunia di sekitar mereka, mereka perlu menemukan arah
untuk tindakan mereka, dan mereka perlu menemukan nilai dalam
hidup mereka (Martela & Steger, 2016). Kebermaknaan hidup
(meaning of life) akan membawa seseorang merasa bahwa hidupnya
penting dan perlu diperjuangkan. Selain itu akan melakukan refleksi
tentang hidupnya dan menentukan tujuan yang lebih luas untuk
hidupnya (Steger, 2012). Hal ini membantu dalam menghadapi
situasi yang selalu berubah dan akan berkembang dengan perubahan.

Kata meaning berasal dari kata Jerman Tinggi Kuno meinenn (Klinger,
2012). Ini sudah mengungkapkan bahwa makna terikat dengan
kapasitas unik pikiran manusia untuk pemikiran reflektif dan linieristik.
Meaning didasarkan pada kapasitas pikiran untuk membentuk
representasi mental tentang dunia dan mengembangkan hubungan
antara representasi tersebut.

108
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

Seperti yang didefinisikan Baumeister (1991) meaning adalah


representasi mental bersama dari kemungkinan hubungan antara hal-
hal, peristiwa, dan relasi. Ketika kita bertanya apa arti sesuatu, kita
akan mencoba untuk menemukan sesuatu itu di dalam representasi
mental kita. Jadi meaning menghubungkan berbagai hal secara
mental. Meaning tentang kehidupan yang ditafsirkan individu dengan
kemampuan reflektifnya. Jadi misalnya, pada proses mencapai
goal yang sudah dibuat sebagai resolusi terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan atau mengalami kendala yang cukup berat. Maka, jika
memiliki meaning akan membantu dalam refleksi. Mencari hikmah
dan membuat alternatif solusi dengan fokus apa yang dapat dikerjakan.
Secara tidak langsung juga akan membangun optimis pada dirinya.

Lebih jauh dijelaskan oleh Steger (2009) bahwa makna dalam


hidup (meaning of life) harus melibatkan: 1) orang yang merasa
bahwa hidup mereka penting, 2) memahami hidup mereka, dan 3)
menentukan tujuan yang lebih luas untuk hidup mereka (Steger, 2012)
sehingga ada komponen tujuan (purpose), koherensi (coherence),
dan signifikansi (significance). Komponen koherensi adalah deskriptif,
sedang tujuan dan signifikasi adalah evaluatif seperti pada tabel 1
dari Steger (Effendy & Widhianingtanti, 2020).

Tabel 3. Membedakan tiga segi meaning

Koherensi Tujuan Signifikansi


Difinisi: Menyadari dapat Menyadari tujuan-tujuan Menyadari nilai hidup
dipahami dan kehidupan inti, sasaran, dan arah yang melekat dan memiliki
yang masuk akal hidup hidup yang layak dijalani
Berlawanan: Ketidakpastian dan Ketidakberesan dan Tidak adanya nilai-nilai
ketidakpahaman kehilangan arah
Normativitas: Deskriptif Normatif Normatif
Domain: Pemahaman motivasi evaluasi

Coherence as meaning in life. Hidup menjadi koheren ketika


seseorang mampu melihat pola yang dapat dipahami di dalamnya
untuk membuat pemahaman yang komprehensif. Meaning sebagai
koherensi dipandang sebagai ‘perasaan bahwa pengalaman seseorang
atau kehidupan itu sendiri masuk akal’ (Heintzelman & King, 2014).

109
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Hal ini sering disebut sebagai komponen kognitif dari makna dalam
hidup, yaitu tentang pengalaman hidup yang masuk akal pada Reker
dan Wong (1988). Koherensi telah diidentifikasi sebagai salah satu
aspek penting dan berpotensi terpisah dalam makna kehidupan
(meaning in life).

Purpose as meaning in life. Penafsiran makna paling umum bahwa


makna muncul ketika orang memiliki tujuan seperti yang disampaikan
Victor Frankl. Mcknight dan Kashdan (2009), mendefinisikan tujuan
pada tingkat lebih luas sebagai ‘tujuan utama kehidupan yang
mengatur diri sendiri dan menstimulasi tujuan, mengelola perilaku,
dan memberikan rasa makna’. Lebih lanjut, mereka menghubungkan
tujuan dengan penelitian tentang manfaat mengejar tujuan yang
sangat berharga/valueable (Carver & Scheier, 1998). Secara empiris
langsung, meaning dan tujuan/purpose in life adalah konstruksi
yang berbeda. Terlepas dari beberapa perbedaan dalam definisi,
para peneliti terkait tentang tujuan hidup/purpose in life tampaknya
sepakat bahwa pada dasarnya tentang tujuan-tujuan dan sasaran-
sasaran yang berorientasi masa depan yang memberikan arah pada
kehidupan.

Significance as meaning in life. Kehidupan yang layak dijalani pada


segi significance berhubungan erat dengan gagasan eudaimonia,
sebuah kata Yunani kuno yang kadang-kadang diterjemahkan sebagai
kebahagiaan, tetapi lebih tepatnya tentang hidup dengan baik, berhasil,
dan bertanggung jawab (Annas, 1995; McMahon, 2006; Steger,
Shin, Shim, & Fitch-Martin, 2013). Eudaimonia dikonseptualisasikan
sebagai cara hidup yang secara intrinsik berharga (Ryan, Curren, &
Deci, 2013).

Konsep ini sama pengertian tentang IKIGAI di Jepang, didefinisikan


sebagai ‘yang paling membuat hidup seseorang tampak layak untuk
dijalani’ (Tanno & Sakata, 2007) dan sebagai pengertian ‘hidup layak
dijalani’ (Sone et.al., 2008). Meskipun konstruksi IKIGAI bersifat
spesifik secara budaya, temuan ini menarik apabila di Indonesia
memiliki konsep seperti itu sesuai budaya masing-masing (misal:

110
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

Jawa, Melayu, dll). Hal ini dapat sebagai panduan bagaimana


menjalani kehidupan yang berharga. Konsep ini dapat dikombinasikan
dengan agama karena hasil survei menunjukkan orang yang beragama
memiliki meaning yang lebih baik.

Meaning di Tempat Kerja


Selain kehidupan pribadi, seseorang juga memiliki pekerjaan di suatu
organisasi. Penerapan meaning dalam organisasi harus diselaraskan
dengan organisasinya dan apa yang menjadi pekerjaannya. Meaning
dalam organisasi menurut Pratt & Ashforth (2003) adalah perasaan
subjektif seseorang akan pekerjaan yang telah dilakukan. Meaning
menurut Baumeister dan Vohs (2002; dalam Cameron, Dutton & Quinn,
2003) adalah alat yang digunakan individu untuk menjaga stabilitas
hidup. Lebih jauh meaningfulness dalam bekerja berpengaruh pada
work engagement dan juga positive commitment (Geldenhuys et. al,
2014).

Steger et.al (2021) menjelaskan meaningful work memiliki tiga


dimensi yaitu (1) Positive Meaning, (2) Meaning Making through
Work, (3) Greater Good Motivation. Ketiga dimensi ini tersusun dalam
suatu model berlapis. Dimensi pertama berada di lapisan paling
dalam, dimensi kedua di lapisan tengah, dan dimensi ketiga berada
di lapisan terluar. Meaningful work tercapai ketika seseorang memiliki
pekerjaan yang mengandung makna dan layak untuk dipertahankan,
mendukung tercapainya kehidupan yang bermakna, dan memberikan
kesempatan untuk berkarya dalam level yang lebih luas dengan tujuan
akhir adalah transendensi. Positive meaning sebagai lapisan paling
dalam merupakan dasar membangun positive organisation baik oleh
individu dalam perusahaan maupun seorang leader, positive leaders.

Dalam kehidupan pekerjaan, individu berusaha untuk memenuhi


kebutuhan nilai, keyakinan diri, tujuan hidup dan perasaan berharga.
Positive meaning dalam pekerjaan berarti pekerjaan yang dilakukan
fokus pada manfaat pada orang lain. Hal ini bukan berarti positive
meaning mengarahkan pada keadaan positif di organisasi, tetapi

111
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

memiliki pengaruh yang positif (Cameron, Dutton & Quinn, 2003).


Orientasi ini membantu menentukan pikiran, perasaan dan perilaku
seseorang terhadap pekerjaan. Orientasi ini membantu melihat
pekerjaan yang dilakukan dan lebih jauh lagi membantu menciptakan
pekerjaan mereka sendiri.

Bellah dkk. (dalam Cameron, Dutton & Quinn, 2003) membagi


orientasi kerja : 1) Job orientation work: berfokus pada keuntungan
material dan mengesampingkan makna pekerjaan dan pemenuhan lain
sebagainya. Pekerjaan sebagai sarana untuk mencukupi kebutuhan
finansial; 2) Career orientation work: berfokus pada penghargaan,
kemajuan dalam organisasi. Fokus dominan terletak pada kenaikan
promosi, status, prestise, dan tentunya gaji. Jadi peningkatan harga
diri, kedudukan sosial dan kekuasaan adalah orientasinya; 3) Calling
orientation work: bekerja tidak untuk mendapatkan finansial atau
kemajuan. Pekerjaan dimaknai bahwa karya yang dilakukan akan
membawa kebaikan lebih besar dan membuat dunia menjadi lebih
baik.

Tiga orientasi kerja mencerminkan berbagai jenis hubungan untuk


bekerja. Hubungan ini cenderung bervariasi tergantung dari fokus
intrinsik seseorang dan berdampak pula pada kehidupan mereka.
Mereka yang berorientasi pada keuntungan materiil tidak mungkin
memiliki hubungan yang mendalam dengan pekerjaan mereka karena
pekerjaan tersebut hanya sarana untuk mencapai tujuan. Mereka yang
berorientasi pada karir mungkin lebih terlibat dalam pekerjaan mereka
karena pekerjaan merupakan sumber pencapaian dalam penghargaan,
posisi, dan kekuatan yang dihasilkannya. Hanya untuk orang-orang
yang berorientasi pada panggilan (calling) yang bekerja sepenuhnya
untuk memperkaya dan bermakna bagi kehidupan yang lebih luas.

Orientasi kerja juga akan terkait kenyamanan dalam bekerja. Pada job
orientation karena fokusnya pada materi, maka ketika ada perubahan
kebijakan terhadap pendapatan, maka akan mempengaruhi mereka
dalam bekerja, karena hal yang menjadi orientasinya tidak terpenuhi.
Berbeda dengan career orientation, apabila ada penurunan materi

112
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

tetapi masih melihat ada peluang untuk mengembangkan diri (misal,


mendapat pelatihan, menjadi tim dalam projek tertentu) maka dia
akan tetap termotivasi. Kecenderungan orang yang memiliki career
orientation, maka materi juga akan mengikuti, misalnya karena
kenaikan jabatan, maka kompensasi dan benefit juga akan meningkat.

Pada orientasi job dan career masih berfokus pada diri pribadi,
sedang pada orientasi calling di atas kepentingan pribadi. Perusahaan
pada situasi krisis memerlukan pemimpin dan para karyawan yang
berorientasi calling agar perusahaan dapat terselamatkan. Calling
dan passion memiliki arti yang berbeda. Calling biasanya melibatkan
perasaan bahwa pekerjaan berkontribusi pada dunia secara penuh
(Bunderson & Tompson, 2009; Wrzesniewski, at.al., 1997), sedangkan
passion tidak selalu memiliki komponen sosial bagi mereka. Apabila
orang pada orientasi calling, maka kecenderungan juga karier dan
materi akan mendapatkan juga.

Conley (2007) membedakan meaning at work (makna di tempat


kerja) dan meaning in work (makna dalam pekerjaan). Pada makna di
tempat kerja, karyawan menyukai organisasinya, sedangkan makna
dalam pekerjaan, karyawan menikmati pekerjaannya. Karyawan dapat
saja mengalami makna di tempat kerja yang tinggi tetapi mengalami
makna dalam pekerjaan yang rendah, atau sebaliknya. Begitu pula,
karyawan dapat mengalami makna di tempat kerja tinggi dan makna
dalam pekerjaan juga tinggi, atau keduanya rendah. Karyawan akan
produktif dan nyaman apabila mengalami makna di tempat kerja dan
makna dalam pekerjaan yang tinggi. Penjelasan tersebut dapat dilihat
pada tabel 4.

113
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Tabel 4. Makna di tempat kerja dan makna dalam pekerjaan


Rendah Makna dalam pekerjaan
Tinggi
Tinggi Karyawan menyukai organisasi/ Karyawan yang sepenuhnya
Makna di tempat perusahaan, tetapi tidak terinspirasi dengan mencintai
kerja terinspirasi apa yang mereka perusahaan dan apa yang mereka
lakukan setiap hari. lakukan secara pribadi

Rendah Karyawan yang sama sekali Karyawan menikmati tugas


tidak terinspirasi fungsional, tetapi tidak dilibatkan
dalam misi organisasi/perusahaan

Pada situasi krisis seperti pandemi Covid-19, perusahaan yang banyak


memiliki karyawan pada meaning at work tinggi dan meaning in work
tinggi akan lebih mudah dalam mengatasi krisis maupun memberi
kontribusi optimal. Oleh karena itu perlu dibangun meaning di tempat
kerja. Meaning di tempat kerja harus menyelaraskan individu dan
organisasinya seperti pada gambar 2, yaitu memahami pekerjaan dan
tujuan pekerjaan antara organisasi dan karyawan menjadi selaras.
Komponen meaning, yaitu purpose in life atau work purpose adalah
tujuan pada pekerjaan dan kehidupan pribadi. Tujuan tersebut dapat
baru sesuai situasi yang dihadapi seseorang atau periode kehidupan
seseorang yang mengalami perubahan sesuai proses yang berjalan.
Jadi perlu memiliki purpose in life sesuai keadaan individu dan situasi
eksternal yang terjadi.

Gambar 4. A model of work as meaning (Steger & Dik, 2010)

114
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

Pemimpin pada organisasi, bagian rekrutmen, maupun individu yang


bekerja diperusahaan perlu membangun meaning di organisasi, agar
target departemen, tujuan organisasi, dan visi organisasi tercapai.

Meningkatkan Meaning
Meaning dapat dikembangkan dengan program-program tertentu.
Salah satu yang mengembangkan program meaning adalah Peggy Kern
dan Michele Mc Quaid (2017) yang disebut ”Finding more meaning
toolkit”. Mereka membuat berdasar konsep meaning dengan 5 sub
program, yaitu investing in belonging, creating purpose, practising
storytelling, allowing transcendence, making passion harmonies
dengan aktivitas-aktivitasnya.

Gambar 5. Finding more meaning toolkit dari: Mcquaid, M, and Kern, P (2017)

Program tersebut dapat diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari


maupun di tempat kerja. Sub program dapat dilihat pada gambar
4. Program ini dapat diaplikasikan sesuai kondisi seseorang dalam
organisasi. Meaning dibangun dengan membuat program Investing
in Belonging berdasar sub program yang pertama dengan toolkit
meaning tersebut. Rasa memiliki organisasi/perusahaan merupakan
hal terpenting dalam mendorong munculnya meaning. Aktivitas
yang dapat dilakukan pada program tersebut misalnya: 1) Give at

115
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

work, yaitu terlibat pada program charity perusahaan atau di luar


perusahaan secara regular; 2) Find your Tribe, yaitu menemukan
grup yang memiliki aktivitas positif dan dapat membawa keluar
dari comfort zone sehingga dapat melakukan aktivitas baru; 3) See
others, yaitu bertemu dengan orang lain dalam perusahaan yang
berbeda jenis pekerjaan untuk mendapat perspektif baru. Aktivitas
dapat berupa makan siang bersama, coffee morning atau aktivitas
lain; 4) coffee date, yaitu membuat jadwal tertentu untu berbicara
santai pada minggu pertama, minggu kedua, minggu ketiga, dan
seterusnya dengan orang-orang tertentu dari berbagai departemen
di perusahaan (Effendy & Widianingtanti, 2020). Program tersebut
dapat dikembangkan sendiri sesuai kondisi perusahaan/organisasi.

Program tersebut maupun program-program lain dapat dikembangkan


dari buku Blueprint feeling good and doing well at work yang di
keluarkan oleh Michelle Mcquaid dan Peggy Kern pada 5th World
Congress on Positive Psychology di Montreal pada tahun 2017. Buku
tersebut tidak dipublikasi secara luas sampai sekarang. Program
aplikatif di ranah Psikologi Positif ini akan dapat memberi manfaat
membangun meaning. Penulis juga sedang mengembangkan meaning
di organisasi baik dalam seminar, workshop, maupun modul berdasar
modifikasi toolkit dari Michelle Mcquaid dan Peggy Kern (Effendy &
Widianingtanti, 2020).

Kesimpulan
Tatanan dunia baru yang menghasilkan kenormalan baru akibat
pandemi Covid-19 di dunia membuat perubahan yang cepat dan
harus direspon dengan adaptasi dan sikap positif untuk berkembang
ke depan sebagai harapan dan optimis. Dunia selalu berubah,
namun perubahan yang cepat ini membutuhkan kesiapan psikologis.
Pendekatan Psikologi Positif dengan Meaning yang berkontribusi
pada work engagement akan membawa pada produktivitas kerja
dan pencapian. Manajemen dalam organisasi maupun individu dapat
mengembangkan meaning dengan berbagai cara sesuai kondisi masing-
masing, maupun mengikuti program-program khusus. Kesiapan ini

116
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

akan membuat karyawan berkembang dengan perubahan. Dengan


demikian organisasi juga dapat berkembang.

Indonesia perlu mengembangkan konsep sesuai budaya Indonesia


mirip IKIGAI di Jepang, ‘yang paling membuat hidup seseorang tampak
layak untuk dijalani’ dan sebagai pengertian ‘hidup layak dijalani’.
Hal ini akan sebagai panduan bagaimana menjalani kehidupan yang
dapat dikombinasi dengan agama karena hasil survei menunjukkan
orang yang beragama memiliki meaning yang lebih baik. Selain itu
perlu menjadi perhatian top manajemen untuk membuat strategi
pengembangan meaning di tempat kerja, agar karyawan memberikan
kontribusi optimal dengan proses yang menikmati sehingga well-being
karyawan juga tercapai.

Daftar Pustaka
Annas, J. (1995). The morality of happiness. Oxford: Oxford University
Press.
Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2008). Towards a model of work
engagement. Career Development International, 13(3), 209–
223. https://doi.org/10.1108/13620430810870476
Bakker, A. B., Emmerik, H. van, & Euwema, M. C. (2006).
Crossover of Burnout and Engagement in Work Teams.
Work and Occupations, 33(4), 464–489. https://doi.
org/10.1177/0730888406291310
Bakker, A. B., & Leiter, M. P. (2010). Work Engagement A Handbook
of Essential Theory and Research (A. B. Bakker & M. P. Leiter
(eds.)). Psychology Press
Baumeister, R. F. (1991). Meanings of life. New York: Guilford Press
Badan Pusat Statistik (2020). Ekonomi Indonesia. BPS.go.id. Diambil
dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/08/05/1737/-
ekonomi-indonesia-triwulan-ii-2020-turun-5-32-persen.html

117
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Bunderson, J. S., & Thompson, J. A. (2009). The call of the wild:


Zookeepers, callings, and the dual edges of deeply meaningful
work. Administrative Science Quarterly, 54, 32–57
Cameron, K. S., Dutton, J. E., & Quinn, R. E. (2003) Positive
Organizational Scholarship. San Francisco: Berrett-Koehler.
Carver, C. S., & Scheier, M. F. (1998). On the self-regulation of
behavior. Cambridge: Cambridge University Press.
Conley, D. T. (2007). Redefining college readiness. Eugene, OR:
Educational Policy Improvement Center.
Effendy, N., & Widianingtanti, L. T. (2020). Peran Meaning dan
Personal Growth Initiative (PGI) pada Pandemi Covid-19
(Tatanan Dunia Baru). Buletin Psikologi, 28(2), 166. https://
doi.org/10.22146/buletinpsikologi.60210
Effendy, N, & Bulut, S, (2018). Generation Y’s Flourishing in Turkey
and Indonesia. Dipresentasikan pada 8th Europen Conference
on Positive Psychology di Budapest, Hungary.
Heintzelman, S. J., & King, L. A. (2014). Life is pretty meaningful.
American Psychologist, 69, 561–574.
Hobfoll, S. E. (2001). The influence of culture, community, and the
nested-self in the stress process: Advancing conservation
of resources theory. Applied Psychology, 50(3), 337–421.
https://doi.org/10.1111/1464-0597.00062
Gavin, JH & Mason, RO 2004, The Virtuous Organization: The Value
of Happiness in the Workplace‘, Organizational Dynamics,
Vol.33, No. 4, pp. 379-392.
Geldenhuys, M., Łaba, K., & Venter, C.M. (2014). Meaningful work,
work engagement and organisational commitment. SA
Journal of Industrial Psychology, 40 (1-10), /SA Tydskrif vir
Bedryfsielkunde, 40(1), Art. #1098, 10 pages. http://dx.doi.
org/10.4102/sajip.v40i1.1098

118
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

Kemenkeu (2020). Sumber Daya Manusia Indonesia tahun 2020.


https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/indeks-
sumber-daya-manusia-indonesia-tahun-2020-membaik-
dari-2018/21/09/2020
Kahn, W. A. (1990). Psychological Conditions of Personal Engagement
and Disengagement At Work. Academy of Management
Journal, 33(4), 692–724. https://doi.org/10.2307/256287
Klinger, E. (2012). The search for meaning in evolutionary goal-theory
perspective and its clinical implications. In P. T. P. Wong
(Ed.), The human quest for meaning: Theories, research, and
applications (2nd ed.) (pp. 23–56). Abingdon: Routledge.
Martela,F. & Steger, M.F. (2016) The three meanings of meaning in
life: Distinguishing coherence, purpose, and significance,
The Journal of Positive Psychology, 11(5), 531-545, DOI:
10.1080/17439760.2015.1137623
May, D. R., Gilson, R. L., & Harter, L. M. (2004). The psychological
conditions of meaningfulness, safety and availability and
the engagement of the human spirit at work. Journal of
Occupational and Organizational Psychology, 77(1), 11–37.
https://doi.org/10.1348/096317904322915
Mcquaid, M, and Kern,P (2017). Your wellbeing llue print: Feeling
good and doing well at work. Melbourne: Michelle McQuaid
published.
Mcknight, P. E., & Kashdan, T. B. (2009). Purpose in life as a
system that creates and sustains health and well-being: An
integrative, testable theory. Review of General Psychology,
13, 242–251.
McMahon, D. M. (2006). The pursuit of happiness: A history from
the Greeks to the present. City of Westminster: Allen Lane.

119
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Neff, K.D, Kirkpatrick, K.L, & Rude, S.S. (2007) Self-compassion and
adaptive psychological functioning. Journal of Research in
Personality, 41,139–154
Pratt, M. G., & Ashforth, B. E. (2003). Fostering meaningful- ness
in working and at work. In K. S. Cameron, J. E. Dut- ton,
& R. E. Quinn (Eds.), Positive organizational scholarship:
Foundations of a new discipline (pp. 309– 327). San
Francisco, CA: Berrett-Koehler.
Reker, G. T., & Wong, P. T. P. (1988). Aging as an individual process:
Toward a theory of personal meaning. In J. E. Birren & V. L.
Bengtson (Eds.), Emergent theories of aging (pp. 214–246).
Berlin: Springer.
Reker, G. T., & Wong, P. T. P. (2012). Personal meaning in life and
psychosocial adaptation in the later years. In P. T. P. Wong
(Ed.), The human quest for meaning: Theories, research, and
applications (2nd ed.) (pp. 433–456). Abingdon: Routledge
Ryan, R. M., Curren, R. R., & Deci, E. L. (2013). What humans
need: Flourishing in Aristotelian philosophy and self-
determination theory. In A. S. Waterman (Ed.), The best
within us: Positive psychology perspectives on eudaimonia
(p. 57–75). American Psychological Association. https://doi.
org/10.1037/14092-004
Sone, T., Nakaya, N., Ohmori, K., Shimazu, T., Higashiguchi, M.,
Kakizaki, M., … Tsuji, I. (2008). Sense of life worth living
(ikigai) and mortality in Japan: Ohsaki study. Psychosomatic
Medicine, 70, 709–715.
Steger, M. F., Kashdan, T. B., & Oishi, S. (2008). Being good by doing
good: Eudaimonic activity and daily well‐being correlates,
mediators, and temporal relations. Journal of Research in
Personality, 42, 22–42.
Steger, M. F. (2009). Meaning in life. In S. J. Lopez (Ed.), Oxford
handbook of positive psychology (2nd ed.) (pp. 679–687).
Oxford: Oxford University Press.

120
Positive Organization: Meaning di Tempat Kerja, Mengapa Penting?

Steger, M. F. (2012). Experiencing meaning in life: Optimal functioning


at the nexus of spirituality, psychopathology, and well-being. In
P. T. P. Wong (Eds.), The human quest for meaning: Theories,
research, and applications (2nd ed., pp. 165–184). New
York, NY: Routledge/Taylor & Francis Group.
Steger, M. F., & Dik, B. J. (2010). Work as meaning. In P. A. Linley,
S. Harrington, & N. Page, (Eds.), Oxford handbook of positive
psychology and work (pp. 131–142). Oxford, UK: Oxford
University Press
Steger, M. F., Shin, J. Y., Shim, Y., & Fitch-Martin, A. (2013). Is
meaning in life a flagship indicator of well-being? In A.S.
Waterman (Ed.), The best within us: Positive psychology
perspectives on eudaimonia (pp. 159–182). Washington,
DC: APA Press.
Stringer, C., & Boverie, B. (2007). The role of meaning in work: A
study of the transformational power of meaningful work.
Transformative Learning: Issues of Dif erence and Diversity,
305–309.
Tanno, K., & Sakata, K. (2007). Psychological factors and mortality
in the Japan Collaborative Cohort Study for Evaluation of
Cancer (JACC). Asian Pacific Journal of Cancer Prevention,
8 (Suppl), 113–122.
Worldometer (2020). Corona cases, 5th November 2020. Diambil
dari https://www.worldometers.info/coronavirus/
Wrzesniewski, A., McCauley, C. R., Rozin, P., & Schwartz, B. (1997).
Jobs, careers, and callings: People’s relations to their work.
Journal of Research in Personality, 31, 21–33.
Wrzesniewski, A. (2003). Finding positive meaning at work. In
K. Cameron, J.E. Dutton, & R.E. Quinn (Eds.), Positive
organizational scholarship, (pp. 296–308). San Francisco:
Berrett-Koehler.

121
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Biodata Penulis
Nurlaila Effendy (Laila EH) memiliki pengalaman
sebagai praktisi, konsultan, dan akademisi. Latar
belakang Pendidikan S1, S2, dan S3 pada bidang
Psikologi, dimana area of interest-nya adalah
Psikologi Industri/Organisasi, Psikologi Positif, dan
Psikologi Integral. Memiliki pengalaman sebagi
praktisi selama 15 tahun sebagai Area Manager/
Regional Manager pada beberapa perusahaan PMA (MERCK
Indonesia, Merck & Co.Inc, Fournier, dan PT. Pfizer Group/Pfidex).

Selama lebih 20 tahun sebagai konsultan (Corporate Culture dan


Performance Management System) dan memiliki beberapa sertifikasi,
CPHRM (Certified Professional Human Resourch Management),
CBSC (Certified Balanced Score Card), CPC (Certified Professional
Coach. Sejak tahun 2013 mulai aktif sebagai akademisi di Universitas
Katolik Widya Mandala dan aktif juga sebagai dosen tamu di berbagai
universitas di Indonesia, aktif melakukan riset , menulis book chapter,
jurnal ilmiah, pembicara dengan topik-topik Psikologi Positif dan
mengikuti berbagai international conference tentang Psikologi Positif.

Sejak tahun 2017 bersama beberapa kolega mendirikan Asosiasi


Psikologi Positif Indonesia (AP2I) dan sebagai Ketua Umum periode
2017-2021.

122
Kekuatan Hubungan
Komunikasi dan Pertemanan
di Media Aplikasi Karaoke

Sylvia Kurniawati Ngonde

K ekuatan media sosial di internet memiliki keberagaman dan


daya tarik tersendiri. Individu yang bergabung dalam aktivitas
dunia media sosial seperti Facebook, Instragram, Twitter dan Tiktok,
sebenarnya merupakan bentuk ekspresi diri untuk bukan hanya
mencari pertemanan baru atau melacak pertemanan yang lama,
melainkan sarana untuk menampilkan sebuah karakter yang belum
tentu bisa diekspresikan dalam kehidupan kesehariannya. Pada jaman
sekarang, melakukan kegiatan yang beragam melalui kekuatan media
sosial, mampu menampilkan sebuah aktivitas yang memiliki nilai
tambah yang kuat. Media sosial dapat dimanfaatkan menampilkan
aktivitas bisnis yang beragam dan memiliki segmen pasar yang kuat.
Segmen pasar yang bisa berasal dari lapisan sosial dan pendidikan
yang heterogen, tetapi menjangkau ke seluruh pelosok wilayah bahkan
lintas batas negara.

Di luar empat media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter dan


Tiktok yang memiliki jutaan penggunanya, yaitu penggunaan Youtube.
Konten Youtube yang bisa mengunggah aneka aktivitas dengan konten
yang bervariasi mulai dari film, musik, tutorial aneka pembelajaran

123
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

atau kursus yang bisa mudah dilakukan dan diuji coba langsung.
Pembuatan konten di ranah Youtube, mampu menarik jutaan pengikut
atau penggemar, sesuai dengan pemaknaan konten Youtube yang
disesuaikan dengan selera pasar. Konten Youtube dapat dijadikan
sebagai sarana untuk melaksanakan ibadah di masa pandemi Covid
19 yang melarang atau membatasi jumlah umat yang bisa beribadah
bebas di rumah ibadah.

Ada juga media sosial yang bisa digunakan untuk membagi dan
membuat koleksi album foto yaitu Pinterest. Pinterest sebenarnya
adalah album foto digital yang bisa mengunggah aneka kenangan,
peristiwa yang ingin dibagi oleh pembuatnya menjadi ranah public.
Membuka aplikasi Pinterest, penggunanya diajak masuk dalam dunia
imajinasi dan sekaligus dunia nyata dari sebuah peristiwa. Selain
itu, media sosial LinkedIn yang merupakan jaringan pertemanan
yang arahnya untuk bisnis, sehingga memiliki pengguna yang lebih
terbatas. Selain media sosial tersebut, ada konten Snapchat, sebagai
media sosial untuk saling berbagi foto dan video yang membawa
penggunanya ke ruang kenangan, berbagi cerita dan peristiwa,
sehingga tiap individu memiliki pemaknaan yang heterogen, sesuai
dengan cerita dan peristiwa yang diunggah.

Berbagai ragam media sosial yang sudah dijabarkan di atas, masih


ada konten aplikasi karaoke yang sebenarnya merupakan wadah
berelasi menjadi dekat, sarana hiburan dan mengasah talenta
bernyanyi, yaitu aplikasi karaoke yang disediakan di dunia internet.
Aplikasi karaoke yang popular dengan ragam penggunanya adalah
Smule, Joox dan Starmaker. Aplikasi karaoke tersebut, memiliki
masing-masing pengguna dengan kenyamanan yang heterogen untuk
memutuskan masuk sebagai penggunanya. Fasilitas yang diberikan
di aplikasi karaoke daring, menyajikan imajinasi dan kreativitas.
Seseorang dapat bernyanyi selayaknya sebagai seorang penyanyi yang
sudah popular dan dapat bernyanyi bersama-sama dengan penyanyi
favoritnya. Bahasan yang akan disajikan penulis dalam ranah aplikasi
karaoke daring ini, sebenarnya adalah kekuatan jalinan pertemanan
yang terbina dan menjadi kekuatan yang saling mendukung untuk

124
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi Karaoke

bernyanyi secara nyaman, gembira dan memiliki kesamaan minat


tentang lagu tertentu. Pertemanan yang diawali dari kebebasan
untuk menggunakan nama asli atau nama panggung, bukan menjadi
halangan untuk menjadi dekat secara emosi bagi penggunanya.
Panggung live yang ditampilkan oleh pemilik konten dari pengguna
karaoke daring, menjadi realitas keseharian untuk berinteraksi secara
langsung dan berbicara dengan para penggemarnya atau pengikutnya,
Situasinya masing-masing pihak yaitu pemilik acara live dengan para
penggemarnya saling berinteraksi untuk melihat langsung dan bahkan
mengetahui di mana lokasinya, misalnya di dalam kamar tidur, kamar
mandi, di ruang makan atau arena makan bersama yang berlokasi di
ruang terbuka umum.

Panggung live dalam dunia karaoke daring, seperti memindahkan


aktivitas sehari-hari pemilik dan penggemarnya untuk bersama-sama
menikmati perbincangan tentang kota asal, kesukaan, mengenalkan
kebiasaan sampai ke perbincangan yang lebih bersifat pribadi,
misalnya nama asli dan bukan nama panggung. Perbincangan
menjadi bersifat intimate dalam percakapan kirim pesan pribadi atau
istilahnya mengirim direct message atau disingkat dm. Kekuatan
komunikasi dalam bingkai personal, memiliki kohesivitas yang
membuat para pelakunya merasa lekat, satu sama lain. Konteks ini
yang menjadi bahasan yang menarik, karena mengulik tentang situasi
dunia maya yang berperan maksimal dalam jalinan komunikasi antar
individu dengan bingkai teori self yang dibahas detil oleh Stevens
(1996) tentang lima aspek dalam teori self yang saling berhubungan
dalam konteks berelasi yaitu:

Pertama: menjadi pribadi yang mewujud dalam kesatuan dalam


konsep fisik dan jiwa.

Kedua: menjadi pribadi yang membentuk jati dirinya dari seluruh


pengalaman hidupnya, secara kognitif, memaknai pengalaman
hidupnya dalam konteks mengerti tentang alur pemikiran dan
bersikap.

125
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Ketiga: menjadi pribadi yang memiliki kedalaman pemaknaan


terhadap relasinya dengan orang lain, dalam konteksnya
pemahaman makna sosial dan kebiasaan-kebiasan yang selama
ini dilakukan.

Keempat: menjadi pribadi yang terlibat langsung dalam proses


rasa di bawah alam sadarnya, memiliki sense yang dalam terhadap
situasi perasaannya, terhadap lingkungan sekitarnya yang sudah
menjadi bagian dari kehidupannya.

Kelima: menjadi pribadi yang mampu berelasi secara kompleks


dengan orang lain dalam konteks memaknai kedalaman berelasi.

Situasi relasi dalam konteks di dunia maya, sebenarnya mampu


membuka kohesivitas yang nyata berelasi di kesehariannya. Teori self
dari Steven (1996) yang dipakai oleh penulis dalam konteks bahasan
ini untuk mendiskusikan tentang segi kognitif pribadi dengan seluruh
kekompleksan dalam berpikir, bersikap dan mengambil keputusan
dengan bingkai pendekatan perilaku yang menghasilkan kebaikan
dalam konteks psikologi positif, yaitu mampu melihat pribadi lain,
sebagai keunikan dan kekuatan yang bisa saling mendukung, sehingga
mampu mengelola konflik personal dengan harmonis. Kemampuan
mengelola konflik yang bisa berasal dari diri sendiri dalam memaknai
hubungan dengan pihak lain, atau pihak lain yang bisa dimaknai
sebagai salah satu pemicu akar konflik, sebenarnya bisa dipahami
dari konteks self. Proses tersebut yang penulis jabarkan detil dengan
bingkai relasi di media sosial, khususnya di aplikasi karaoke yang
sebenarnya memiliki segmen yang lebih spesifik dengan aturan-aturan
cara berkomunikasi yang unik, karena pihak pemilik dan pengguna
akun sama-sama dituntut untuk memahami aturan mainnya dan
alur pemahamannya. Keunikan yang membuat seseorang sebelum
bergabung dalam aplikasi karaoke daring ini, harus memahami
etiket berelasi, karena ada sanksi pribadi seperti pemblokiran dari
pemilik akunnya, atau sanksi sosial yang berupa teguran langsung
yang diketahui public, yaitu berupa teguran halus dari admin atau
pengelola jalannya acara pementasan atau live atau konteks party

126
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi Karaoke

room yang menghimpun banyak orang untuk bernyanyi, menyapa


dan berbincang dalam kolom chat box public atau bisa langsung juga
menggunakan dm atau direct message. Admin yang dipercaya oleh
pemilik akun, menjadi seperti teman dekat yang punya keterlibatan
komunikasi yang lebih intens dengan pemilik akun. Kedekatan yang
intens ini, tidak selalu didasari jalinan pertemanan yang sudah
berlangsung lama dan berinteraksi dalam kesehariannya atau sudah
pernah berjumpa langsung. Kohesivitas yang terjadi antara admin
dan pemilik akun, bisa terjadi bagi pribadi yang belum pernah jumpa
langsung, tetapi memiliki trust dan intimate yang relatif kuat, sehingga
keunikannya dalam relasi ini yang menjadi salah satu bahasan di
artikel ini. Penulis menyajikan secara detil keragaman relasi antara
pemilik akun dan pengguna akun dan kohesivitas dalam bingkai
teori self untuk mendeskripsikan dan mendiskusikan tentang konteks
positif yang bisa dimaknai dari sebuah hubungan di dunia maya yang
sebenarnya bersifat cair dan belum tentu bersifat langgeng.

Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media


Aplikasi Karaoke
Aplikasi karaoke daring, yaitu Smule, Joox dan Starmaker, masing-
masing menawarkan keunikan yang beragam untuk menggaet
penggunanya. Ragam bonus yang berasal dari poin yang berhasil
dihimpun adalah salah satu daya peminat yang kuat bagi para
penggunanya. Bonus berupa uang yang dikonversi dari mata uang
digital yang awalnya bisa berupa nilai U$, lalu dihitung ke dalam
kurs nilai mata uang IDR (Indonesia Rupiah), selanjutnya dikirimkan
ke rekening pemilik akun. Bonus berupa poin dan keleluasaan
mengunggah lagu yang disukai, termasuk pengecekan jumlah viewer
atau pengunjung yang ada dalam pemilik akun, menjadi daya tarik
sendiri, karena berpengaruh pada peringkat pemilik akun dan bisa
meningkatkan kepopuleran yang berimplikasi pada aneka ragam
bonus yang diperoleh.

Setiap lagu yang berhasil dinyanyikan oleh pemilik akun dengan


penampilan dan keramahan yang ditampilkan oleh pemilik akun,

127
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

sebenarnya adalah bagian dari menyajikan sebuah dunia persepsi.


Dunia persepsi yang dibingkai dari media dengan mengikuti tren
yang sedang ada, mulai dari cara bicara, dialek yang digunakan,
fashion, yaitu mulai dari potongan rambut, cat warna rambut,
keserasian busana yang digunakan, tampilan wajah dan gaya yang
menarik, seperti yang biasa ditampilkan oleh para artis penyanyi
sesungguhnya di panggung nyata, merupakan salah satu kekuatan
dari pemilik akun. Persoalan suara yang merdu atau tidak bagi para
tamu atau pengunjung yang datang ke akun seseorang, lebih pada
persepsi yang disajikan. Suara nyanyian yang merdu atau tidak, bisa
jadi bukan menjadi tolak ukur yang krusial dari pemilik akun untuk
mampu menarik tamu atau pengunjung dan membuat kenyamanan
berelasi atau menjadi betah berlama-lama dalam berinteraksi di akun
seseorang. Sebuah lagu bisa jadi tidak dinyanyikan sampai selesai, tapi
hanya bagian pembuka atau bagian refrainnya saja, tetapi pemikat
dari wajah dan tampilan yang ramah dari pemilik akun, menjadi
kekuatan yang menjadi pemicu utama, seseorang memutuskan untuk
menjadi salah satu penggemar setianya. Di sinilah konteks media
di dunia maya, memainkan dunia imajinasi yang kuat. Situasi ini,
seperti dijelaskan oleh James (Goodyear &Armour, 2019:45) bahwa
pernyataan like atau suka, adalah bagian personifikasi individu dan
pengukuhan individu yang diperlukan dari pemilik akun, sebagai
bagian proses penerimaan jati diri dan bisa menimbulkan rasa
nyaman dan tenang bagi pemilik akun. James (Goodyear &Armour,
2019:46) mendeskripsikan lebih lanjut bahwa citra yang ditampilkan
individu dalam konteks ranah sosial, memiliki peran yang penting
untuk menjadikan seseorang merasa diterima secara luas oleh
pihak lain dan well being. Penampilan yang menarik, segar, cantik
atau gagah, sebenarnya adalah kontruksi media yang ditanamkan
dan disepakati umum menjadi personifikasi diri yang ideal. Situasi
ini yang berpengaruh penting dalam penampilan individu di acara
livenya di acara konten karaoke daring. Self yang ditampilkan adalah
bagian kesadaran individu untuk menampilkan imajinasi sempurna,
seperti yang dijelaskan oleh Steven (1996:29) bahwa aspek self yang
ditampilkan dari hubungan interrelationship dalam konteks ini adalah

128
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi Karaoke

hubungan yang dijalin dari kedekatan personal yang dianggap ideal


sesuai imajinasi pelakunya dan memiliki kesadaran untuk melakukan
reaksi positif dan humanis untuk bertahan dalam hubungannya.
Diskusi yang dideskripsikan oleh Steven (1996) James (2019) bahwa
realitas self membongkar persepsi seseorang untuk bisa tampil di luar
kesehariannya dan proses ini dinikmati sebagai menjadi seseorang
yang memuaskan umum dan menampilkan citra yang ideal. Kekuatan
personal yang ditampilkan selalu dijaga konsistensinya, untuk tetap
mampu menampilkan luaran yang bisa memberikan impresi emosi
yang mengasyikkan, indah, sempurna, hangat dan ceria. Situasi ini
yang ditampilkan dalam dunia karaoke daring dari program livenya.
Konteks ini yang kemudian membuka peluang terjadinya intimate
dan kohesivitas yang kuat antara penggemar atau pengunjung dengan
pemilik akun. Kondisi yang selanjutnya, bisa berlanjut di sesi party
room yaitu ajang bernyanyi secara bergiliran yang diatur oleh pemilik
akun atau asistennya yang disebut admin. Di dalam ajang party room
ini, tidak ditampilkan wajah dari para peserta dan diijinkan bebas
menggunakan nama panggungnya, tetapi bisa langsung dikenali
oleh para peserta lainnya, karena sudah menjadi masing-masing
penggemar. Kohesivitas yang dibangun sudah terjadi sejak keikut
sertaan di live room, sehingga suara penyanyi peserta party room,
bisa langsung dikenali. Situasi emosi yang dibangun secara personal
dari penyanyi dan pemilik akun, menimbulkan kekuatan berkolaborasi
untuk mewujudkan pertemanan yang dekat dan intimate, di media
komunikasi selanjutnya, yaitu menyampaikan pesan pribadi secara
daring dalam konten whatsapp atau yang disingkat WA. Kondisi emosi
dari self yang dijelaskan oleh James (2019:46) sebagai bagian dari
proses kedekatan emosi dan fisik dalam konteks imajinasi yang sudah
pernah dilihat dan disukai, sehingga membuat seseorang bisa merasa
sangat tergantung secara emosi dan intens melakukan komunikasi
pribadi, tanpa merasa perlu untuk bertemu langsung dan mengetahui
secara detil tentang karakter masing-masing pribadi, yaitu pemilik
akunnya dengan peserta atau tamunya atau pihak admin yang menjadi
asisten pengelola akun. Proses hubungan yang erat ini, menjadikan
model penemuan self yang dikonstruksikan oleh Steven (1996:86),

129
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

sebagai alur kekompleksan interaksi. Ada rasa suka dan mengagumi


seseorang, dalam konteks ini adalah pemilik akun yang belum dikenal
secara detil tentang perwujudan kesehariannya, tetapi interaksi
yang dibangun memberikan kenyamanan di masing-masing pihak
untuk menjadi bagian personal dalam kehidupan pribadi. Pertemuan
yang dilakukan dalam dunia komunikasi maya, bisa memberikan
ketergantungan rasa suka dan nikmat, seperti yang dijelaskan oleh
Steven (1996) layaknya seorang yang menyukai nikmatnya alkohol.
Konteks ini, berarti ketergantungan terhadap rasa yang digambarkan
Steven (1996) situasi semu atau tidak nyata. Keadaan ini, sebenarnya
disadari oleh pemilik akun dan penggemarnya, tetapi sulit untuk
memisahkan dunia realitas dan dunia semu. Kondisi emosi yang
tergantung menyebabkan teori self menjadi bagian dari kontruksi
sosial yang ingin dibentuk oleh media dunia maya. Konstruksi sosial
yang memerlukan pengakuan diri dan dinamika aktif berkoheren
dengan empat atribut dari personifikasi seseorang. Empat atribut yang
dijelaskan oleh Wethrell dan Maybin (dalam Steven, 1996:221) yang
berperan penting dalam personifikasi individu adalah:

Pertama: seseorang dipandang memiliki keunikan dari pola pikir


dan kesadarannya untuk berperilaku dan menjadi bagian dalam
kehidupan orang lain.

Kedua: setiap individu memiliki kepribadian atau konsistensi dari


karakter yang sudah dibentuk, preferensi dan kemampuannya dari
sifat individu yang bisa dideskripsikan dan diwujudkan.

Ketiga: setiap individu memiliki pemikiran dan perasaan. Situasi


ini bisa bersifat pribadi, mudah digeneralisasikan sebagai karakter
pada umumnya dan bisa diorganisasikan dalam pribadinya. Sikap
yang dapat diekspresikan langsung dari gaya bertuturnya, gaya
menulis dan mengungkapkan perasaannya, beserta emoticon
atau aneka simbol yang disediakan dalam konten percakapan
pribadi secara daring, merupakan refleksi tentang situasi hati dan
pikirannya yang mampu dipahami secara transparan.

130
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi Karaoke

Keempat: setiap pribadi sebenarnya adalah proses perjalanan


hidupnya yang memiliki pusat dan sumber dari pengalaman
kesehariannya pada saat berelasi dengan pihak lainnya. Konteksnya
adalah proses pengalaman dari nilai-nilai kehidupan yang
diperolehnya, rencana-rencana yang atau cita-citanya yang ingin
diwujudkan, termasuk cara pandangnya tentang situasi hidupnya.

Wethrell dan Maybin (dalam Steven, 1996:221) menyimpulkan


bahwa empat atribut dalam personifikasi individu inilah yang pada
akhirnya membentuk self separate, self-contained, kemandirian,
konsistensi, keunikan dan bentuk pribadi yang khusus. Di dalam
konten karaoke daring, atribut personifikasi ini mengakar kuat dan
bisa menjadi bentuk lain dari keseharian pemilik akun. Konteksnya
akan bisa menampilkan sisi self dari pemilik akun yang bisa berbeda
dari perilaku di kehidupan nyatanya, karena ada kesepakatan nilai-
nilai yang dikontruksikan secara sosial dan memenuhi gambaran ideal
secara umum.

Implikasi Praktis
Pertanyaan yang menarik adalah apakah menjadi kebutuhan dalam
dunia interaksi sosial dan pribadi adanya konten karaoke daring
di ranah media sosial yang semakin heterogen? Apa keuntungan
dari seseorang yang memiliki ratusan bahkan jutaan penggemar
atau pengikut atau yang dikenal dengan istilah follower? Nilai-nilai
kebaikan apa yang bisa diuniversalkan menjadi suatu perilaku dalam
konteks dunia maya ? Suatu tantangan yang menarik di abad ke-21
tentang dunia komunikasi interrelationship yang membuat hubungan
seseorang menjadi dekat dan merasa didukung, tetapi bisa juga
situasinya akan berbalik arah, menjadi tekanan yang mengharuskan
seseorang menjadi tampil sempurna dan selalu ramah dan kelihatan
bahagia. Di sinilah tantangan kontrol diri yang kuat, untuk mampu
memahami ranah panggung dunia maya menjadi salah satu media
yang relevan dan cukup ampuh untuk menyembunyikan kegelisahan
atau ketidaknyamanan psikologis seseorang.

131
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Manusia yang memiliki kebutuhan untuk berkomunikasi dan


berjejaring secara sosial dan luas, menjadi makin terbantu dengan
adanya komunikasi di aneka konten di media sosial, salah satunya
menyalurkan minatnya dalam dunia tarik suara. Konten karaoke
daring, sebenarnya adalah media mendekatkan penyanyi kesukaannya
dengan segala atribut personal yang dikagumi penggemarnya,
sehingga menampilkan kepuasaan yang mampu menekan rasa
sedih, rasa cemas, rasa tidak nyaman. Hiburan di konten karaoke
daring menawarkan salah satu jenis model menemukan sisi positif
dan sisi kebanggaan dari pribadi seseorang yang bisa jadi selama ini
hanya dikenal secara terbatas ruang lingkupnya. Penampilan yang
ceria, menarik, gagah atau cantik walaupun bersuara tidak persis
sama seperti penyanyi aslinya, sebenarnya adalah sarana refleksi
diri dari konteks self untuk menumbuhkan sisi positif dari dirinya.
Keterhubungan pribadi dengan pihak lain yang tanpa batas wilayah,
karena bisa lintas negara, menawarkan proses praktik belajar adaptif
kultural yang dinamis dan selalu menyesuaikan konteks dan aturan
mainnya. Bahasa yang digunakan termasuk dialek akan menjadi salah
satu bagian dari proses belajar self yang membongkar kekakuan dalam
berkomunikasi. Hubungan pertemanan yang dibina dalam konteks
pemilik akun dan pengikutnya, menjadi bagian dari satu keluarga
besar, walaupun semu dan sangat terbuka untuk berubah, tetapi cara
menjaga keharmonisan hubungan yang menyebabkan pihak pemilik
akun harus mampu memiliki dinamika salah satunya tentang self
control yang kuat. Konteks pemilik akun yang adaptif dan selalu bisa
berkomunikasi dengan baik dan mengatur durasi percakapan dan
tampilan nyanyiannya, memberikan satu bagian dari proses personal
branding yang menjadi pembelajaran yang berkesimbungan. Situasi
ini yang tidak ditemukan dalam konteks karaoke konvensional yang
hanya terbatas lingkupnya dengan keluarga atau teman-temannya di
suatu lokasi karaoke. Kontrol sosial pun bisa dikembangkan dengan
adanya keleluasaan membuka party room atau keleluasaan bernyanyi
bersama pada anggota tertentu yang sudah dianggap kenal dan
memiliki kohesivitas yang kuat. Situasi ini merupakan cara belajar
yang efektif, seseorang mengelola konflik dengan penggemarnya, bila

132
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi Karaoke

dirasakan oleh pemilik akun menganggu privacynya, tanpa bermaksud


memutus hubungan secara frontal dengan penggemarnya. Namun,
kekuatan penggemar pula yang bisa menjadi sarana positif bagi pemilik
akun untuk selalu berkreasi dalam menampilkan gaya, jenis lagu dan
percakapan dengan topik-topik yang menarik tanpa menyinggung
sensitifitas masalah-masalah yang berhubungan dengan agama atau
kepercayaan, etnis atau topik yang mengarah ke pornografi.

Arah Studi Mendatang


Dunia interaksi maya, salah satunya karaoke daring, diprediksikan
oleh penulis menjadi tren di masa datang, sebagai pilihan untuk
menemukan jejaring sosial, dinamika sosial dan budaya yang dinamis
melalui kegemaran bernyanyi tetapi sekaligus bersosialisasi secara
luas. Dunia yang hidup walaupun semu, karena menawarkan realitas
yang bisa bertolak belakang dalam kesehariannya. Penelitian yang
mengangkat interaksi dalam konteks psikologi media yang menjadi
bagian dari entertainment psychology di Indonesia, masih belum
banyak kajiannya. Penelitian di bidang ini, akan menjadi tantangan
yang menarik dan juga peluang positif untuk memetakan kekuatan
budaya Indonesia yang beragam dari 34 propinsi. Peserta yang
bernyanyi dengan aneka latar belakang budaya, bisa dijadikan ajang
untuk mengenalkan proses karakter budaya masing-masing, sehinggga
situasi ini dapat menjadi salah satu jalan pemecahan konflik sosial
yang dipicu dari keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tentang
self dan budaya. Konteks teori self bisa dikolaborasikan dengan teori
psikologi media, karena berangkat dari pemahaman tentang dirinya
kemudian menjadi bagian dari subkultur media yang dibangun secara
sosial. Keuntungan kajian dari penelitian di dunia entertainment
psychology dengan konteks self adalah kemampuan merancang
dinamika percakapan yang dinamis dan memilik kohesivitas yang
tinggi, untuk sebagai salah satu sarana meminimalkan konflik sosial
yang sebenarnya berangkat dari pemahaman pribadi terhadap ideologi
atau situasi sosial, budaya dan ekonomi dengan menggunakan pola
pandang pribadinya.

133
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Konteks karaoke daring yang menjadi sarana hiburan yang berkarakter


umum, menjangkau aneka lapisan masyarakat dari segmen usia,
agama, kepercayaan, pendidikan dan pekerjaaan, tetapi sudah
memiliki ketersambungan dalam cara berkomunikasi yang sama.
Konteks ini menjadi kekuatan dan tantangan para peneliti dan praktisi
di bidang psikologi dan komunikasi, untuk bersama-sama merancang
satu konten yang menarik di dunia hiburan maya yang memiliki
kekuatan kohesivitas dan proses belajar adaptasi budaya yang runtun
dilakukan. Dunia hiburan maya, bukan sekedar konteks bersenang-
senang, tetapi mampu memberikan energi positif, semangat dan
tren yang edukatif dari para pemilik akun dan penggemarnya, untuk
selalu menyajikan suatu bahan cerita, diskusi, peluang yang baru.
Penggemar atau pengikut atau follower memiliki keleluasaan untuk
mengkritik atau sekaligus meninggalkan pemilik konten, jika dirasakan
membosankan dan tidak menarik lagi. Di sinilah dunia hiburan maya,
menjadi tantangan menarik bagi penulis untuk terlibat dalam proses
desain isi kontennya agar bisa memberikan edukasi dan pesan tentang
nilai-nilai kebaikan dari suatu hubungan manusia.

Kesimpulan
Dunia komunikasi di media sosial yang salah satunya aplikasi karaoke
daring menyajikan dunia imajinasi yang reprensif sebagai bagian dari
proses perwujudan self. Sisi kebaikan dan nilai-nilai yang pantas dan
mampu memberikan kegembiraan, kedekatan dan rasa akrab yang
mengarah ke intimate, menjadi kekuatan kohesivitas antara pemilik
akun dengan penggemarnya. Diskusi yang ditampilkan dari teori self
dengan psikologi media menjadi pengungkapan yang bukan hanya
ekspresi diri, tetapi personifikasi yang diusahakan selalu baik dan
nyaman diterima dalam kontruksi sosial masyarakat.

Percakapan yang dinamis dalam dunia karaoke daring, sebenarnya


bukan menampilkan kepiawaian seseorang bernyanyi seperti penyanyi
aslinya, tetapi lebih menampilkan gaya komunikasi atau gaya bertutur
dalam bahasa yang mudah diterima dan kemudian menjadi merasa
dekat, walaupun antara para pelakunya belum tentu sudah pernah

134
Kekuatan Hubungan Komunikasi dan Pertemanan di Media Aplikasi Karaoke

jumpa dan mengetahui kesehariannya. Di sinilah, konteks teori self


memberikan pemaknaan yang dalam tentang atribut emosi seseorang
ketika berelasi, sehingga merasa menjadi bagian dari kehidupannya.

Diskusi dengan pendekatan teori self dalam bingkai psikologi


media, bisa menjadi arah positif seseorang untuk mau belajar dan
beradaptasi terhadap lingkungannya, lentur terhadap tren tetapi tetap
mempertahankan kekhasannya. Keunikan yang dinamis dalam bingkai
teori self , bisa menjadi bahan kajian yang menarik untuk merancang
pendekatan personal branding dalam ranah mengembangkan citra
positif dan bisa menjadikan sebagai sarana komunikasi merendam
konflik-konflik sosial yang dapat berasal dari perbedaan pemahaman
karakter budaya. Komunikasi di media sosial dalam konten karaoke
daring, bisa menampilkan sisi yang berbeda, bukan sebagai sarana
hiburan atau pertemanan lintas negara atau lintas territorial, tetapi bisa
menjadi bagian personal adaptif kultural yang memberikan gambaran
tentang nilai-nilai dan kebiasaan seseorang di suatu wilayah.

Daftar Pustaka
James.(2019).Likes in Goodyear, Victoria A and Armour, Kathleen, M.
Young People, Social Media and Health. London, New York,
Routledge Taylor and Francis Group.
Stevens,Richard.(1996). Understanding The Self. London, Sage
Publications/The Open University.
Wetherell, Margaret, & Mayben, J. (1996).The Distributed Self:
A Social Constructionist Perspective in Stevens,Richard.
Understanding The Self. London, Sage Publications/The
Open University.

135
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Biodata Penulis
Sylvia Kurniawati Ngonde, M.Si, menempuh S1
di FISIP, program studi Antropologi di Universitas
Airlangga, Surabaya, S2 di FISIP, program studi
Antropologi di Universitas Indonesia, Jakarta, S2 di
Fakultas Psikologi, program magister sains psikologi
komunitas di Universitas Airlangga, Surabaya.

Bekerja sebagai dosen di Fakultas Psikologi UNIKA


Widya Mandala Surabaya, di bidang minat psikologi sosial sejak
1998. Kajian penelitian: psikologi lintas budaya, psikologi komunitas
dan psikologi komunikasi dan psikologi antropologi.

136
Biodata Editor
Nurlaila Effendy (Laila EH) memiliki pengalaman
sebagai praktisi, konsultan, dan akademisi. Latar
belakang Pendidikan S1, S2, dan S3 pada bidang
Psikologi, dimana area of interest-nya adalah
Psikologi Industri/Organisasi, Psikologi Positif, dan
Psikologi Integral.

Memiliki pengalaman sebagi praktisi selama 15


tahun sebagai Area Manager/Regional Manager pada beberapa
perusahaan PMA (MERCK Indonesia, Merck & Co. Inc, Fournier, dan
PT. Pfizer Group/Pfidex).

Selama lebih 20 tahun sebagai konsultan (Corporate Culture dan


Performance Management System) dan memiliki beberapa sertifikasi,
CPHRM (Certified Professional Human Resourch Management),
CBSC (Certified Balanced Score Card), CPC (Certified Professional
Coach). Sejak tahun 2013 mulai aktif sebagai akademisi di Universitas
Katolik Widya MandalaSurabaya dan aktif juga sebagai dosen tamu di
berbagai universitas di Indonesia, aktif melakukan riset, menulis book
chapter, jurnal ilmiah, pembicara dengan topik-topik Psikologi Positif
dan mengikuti berbagai international conference tentang Psikologi
Positif.

Sejak tahun 2017 bersama beberapa kolega mendirikan Asosiasi


Psikologi Positif Indonesia (AP2I) dan sebagai Ketua Umum periode
2017-2021.

Dr. Dessi Christanti, S.Psi., M.Si, lahir di Mojokerto,


Jawa Timur, 11 Desember 1972. Pendidikan
sarjana Psikologi diperoleh di Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1997. Pendidikan S2 di bidang
Psikologi Sosial di tempuh di Universitas Indonesia.

137
PSIKOLOGI POSITIF • Penerapan Psikologi Positif dalam Kehidupan

Gelar Doktor di bidang yang sama diselesaikan pada tahun 2020 di


Universitas Airlangga Surabaya.

Dr. Dessi Christanti, S.Psi., M.Si merupakan staf pengajar di Fakultas


Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya sejak tahun
1998 hingga sekarang.

Beliau juga menulis buku Aku Anak Hebat Karakter Positif bersama
Srisiuni Sugoto, M.Si.,Ph.D. dan H. Mohammad Iqbal, M.Si. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan adalah Psikodinamika Moral
Disengagement Remaja Pelaku Pencabulan, Pengaruh Kecemasan
Terhadap Persepsi Informasi Covid 19 yang Dimediasi Kemampuan
Berpikir Kritis, dan Pendidikan Anti Korupsi Pada Siswa Kelas IV SD.
Saat ini beliau juga aktif sebagai kakak pendamping Remaja Katolik
di salah satu paroki di Sidoarjo.

Eli Prasetyo, M.Psi., Psikolog, lahir di Solo, Jawa


Tengah. Sarjana Psikologi ditempuh di Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya pada tahun 2000.
Gelar Magister Profesi di bidang Psikologi Pendidikan
diperoleh di Universitas Airlangga Surabaya pada
tahun 2018. Saat ini, Eli Prasetyo, M.Psi., Psikolog
adalah staf pengajar di Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya sejak tahun 2009. Dalam menjalankan peran
sebagai praktisi psikolog, ia lebih banyak berkecimpung di bidang
psikologi anak dan keluarga serta anak berkebutuhan khusus sejak
tahun 2008.

138
139
140

Anda mungkin juga menyukai