Identitas Kultural Dan Interaksi Sosial
Identitas Kultural Dan Interaksi Sosial
di Tengah Modernisasi
(Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul)
Abdul Malik
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Serang Raya
Jalan Raya Cilegon-Serang Km. 5 Drangong, Kota Serang, Banten
Email: kangdoel2002@gmail.com
Abstrak
Komunitas adat Kasepuhan Banten Kidul adalah entitas masyarakat yang masih ketat
mempertahankan tradisi Sunda masa lalu, tetapi cukup terbuka dan adaptif terhadap
perkembangan zaman. Kondisi tersebut tercermin dari sikap akomodatif mereka terhadap
segala perubahan sosial yang terjadi akibat modernisasi. Namun demikian, kondisi ini tidak
membuat mereka kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat kasepuhan yang
dicirikan oleh ketaatannya terhadap aturan adat. Dalam interaksi sosialnya, identitas kultural
itu senantiasa melekat dalam diri mereka, baik dalam cara bersikap, bertindak, maupun yang
disimbolkan melalui pakaian dan asesoris yang dikenakan. Kondisi ini terjadi tidak lepas
dari keberadaan lembaga adat yang memiliki peran yang begitu sentral dalam menegakkan
aturan adat, sehingga seluruh anggota masyarakat kasepuhan memiliki ikatan begitu kuat
terhadap identitas kulturalnya. Karena itu pula, meskipun dalam situasi sosial yang terus
berubah, mereka mampu beradaptasi bahkan mengadopsi perubahan tersebut dengan tidak
kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat yang tetap tunduk dan patuh
terhadap petuah maupun pikukuh adat (norma dan aturan adat).
Kata Kunci: Komunitas Adat, Kasepuhan Banten Kidul, Identitas Kultural, Interaksi
Sosial
LATAR BELAKANG
Perubahan sosial merupakan bagian dari dinamika yang terjadi di masyarakat. Karena
itu tidak ada komunitas masyarakat yang tidak mengalami perubahan. Terkait dengan hal
tersebut, sedikitnya terdapat dua klasifikasi masyarakat, yakni masyarakat statis dan
masyarakat dinamis. Masyarakat statis adalah masyarakat yang sedikit sekali mengalami
perubahan dan cenderung berjalan lambat. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat
yang mengalami berbagai perubahan yang cepat. Dalam konteks ini, berbagai perubahan
yang terjadi di masyarakat itu bisa berbentuk kemajuan (progress) dan dapat pula berarti
kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu (Soekanto, 2009: 260). Samuel Koenig
(dalam Soekanto, 2009: 263) menyatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-
modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab
intern maupun sebab-sebab ekstern.
Berdasarkan definisi tersebut, maka perubahan sosial merupakan sesuatu yang tak bisa
ditolak, termasuk pula oleh masyarakat adat. Demikian halnya dengan masyarakat adat
Kasepuhan Banten Kidul tinggal dan tersebar di wilayah Kabupaten Lebak di Provinsi
Banten, Sukabumi, dan Bogor di Provinsi Jawa Barat. Mereka adalah komunitas adat yang
menamakan diri Kesatuan Adat Kasepuhan atau disebut juga Kaolotan Banten Kidul. Mereka
memiliki kesamaan, antara lain pada aspek kesejarahan, berasal dari suku dan budaya yang
sama, yakni suku dan budaya Sunda, termasuk keturunan yang sama (incu putu). Komunitas
adat Kasepuhan Banten Kidul juga memiliki budaya sendiri, meliputi seluruh perangkat tata
nilai dan perilaku yang unik. Mereka memiliki atribut dan identitasnya yang khas baik melalui
bahasa verbal maupun nonverbal, termasuk simbol-simbol tertentu, bahkan memiliki ritual
seperti upacara adat, dan sebagainya.
Istilah ‘kasepuhan’ berasal dari kata sepuh dengan berawalan ka dan berakhiran an.
Sepuh adalah sinonim dengan kata kolot dalam bahasa Sunda, yang berarti tua. Maka sebutan
kasepuhan atau kaolotan merujuk pada sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau
kelompok sosial di mana semua aktivitas anggotanya barasaskan kepada adat kebiasaan para
orang tua. Dengan demikian, makna kasepuhan di sini berarti adat kebiasaan tua atau adat
kebiasaan nenek moyang. Adat kebiasaan inilah yang melandasi mereka untuk tetap
memperkuat ikatan kekerabatan dengan keturunannya dan menyebut dirinya sebagai warga
Kesatuan Adat Banten Kidul yang dalam bahasa Sunda disebut tatali paranti karuhun (Ruby
dan Wachyudi: 130).
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai
kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di
negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian
maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya (http://yancearizona.net/tag/masyarakat-
adat/).
Sedangkan berdasarkan realitas sosial-budaya di Indonesia, entitas masyarakat adat
dapat dikelompokkan ke dalam empat tipologi. Pertama, kelompok masyarakat lokal yang
masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara
hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Mereka tetap eksis
dengan tidak berhubungan dengan pihak luar. Mereka juga memilih menjaga kelestarian
sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan lokalnya. Kedua, kelompok
masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi
masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan transaksional dengan pihak luar.
Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut,
dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi
tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman
jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Keempat,
entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam
yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun ( dalam
Siradjudin, 2010).
Komunitas adat Kasepuhan Banten Kidul termasuk dalam tipologi kelompok entitas
masyarakat adat yang kedua, yakni sebagai komunitas masyarakat yang masih ketat
mempertahankan tradisi Sunda masa lalu, tetapi mereka cukup terbuka dan adaptif terhadap
perkembangan zaman. Sesuai tipologi tersebut, maka perubahan sosial pada masyarakat
kasepuhan Banten Kidul berlangsung cukup dinamis, dan karenanya, dalam berbagai aktivitas
kehidupan sosialnya persentuhan mereka dengan hal-hal berbau modernisasi tidak bisa
terhindarkan.
Dalam penggunaan alat pertanian, masyarakat kasepuhan kini telah terbiasa
menggunakan traktor. Demikian pula dalam aktivitas kehidupan sosial, mereka terbiasa
memanfaatkan berbagai teknologi. Sebagai contoh, hampir di tiap rumah di wilayah
kasepuhan terdapat parabola yang memungkinkan mereka mengakses berbagai siaran televisi
dalam maupun luar negeri. Demikian juga dalam hal interaksi sosial, mereka terbiasa
memanfaatkan teknologi komunikasi seperti telepon genggam untuk kepentingan
berkomunikasi. Termasuk dalam hal berpakaian dan pergaulan sosial, mereka dikenal sebagai
masyarakat adat yang fashionable karena biasa mengenakan pakaian yang dikenakan oleh
masyarakat urban atau perkotaan. Dalam konteks ini modernisasi merupakan bentuk dari
perubahan sosial yang dimaknai sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari
keadaan yang tradisional atau pra-modern menuju masyarakat modern.
Namun demikian, kondisi ini tidak membuat mereka kehilangan identitas kulturalnya
sebagai masyarakat kasepuhan yang dicirikan oleh ketaatannya terhadap berbagai aturan adat.
Mereka juga masih memelihara berbagai tradisi dan ritual adat yang telah berlangsung sejak
berabad-abad silam.
Demikian pula dalam interaksi sosial yang mereka jalin, identitas kultural itu
senantiasa melekat dalam diri mereka, baik dalam cara bersikap, bertindak, maupun yang
disimbolkan melalui pakaian dan asesoris yang dikenakan. Padahal, perubahan sosial akibat
modernisasi kerap berimplikasi terhadap tergerusnya identitas kultural suatu masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Wega Dwi Rafika dan Bambang Samsu tentang Perubahan
Sosial dalam Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan (2013), misalnya, menunjukkan
bahwa akibat arus deras pembangunan pariwisata di Bali, masyarakat adat mulai kehilangan
nilai-nilai kulturalnya yang dicirikan dengan perubahan gaya hidup, pola pikir, dan migrasi
pekerjaan dari masyarakat yang bekerja bidang di pertanian menjadi masyarakat yang bekerja
di bidang pariwisata.
Terkait dengan persoalan tersebut, penelitian ini difokuskan untuk mengkaji; Pertama,
bagaimana masyarakat kasepuhan memelihara identitas kulturalnya di tengah arus deras
perubahan sosial akibat modernisasi. Kedua, bagaimana masyarakat kasepuhan menjalin
interaksi dengan masyarakat luar kasepuhan.
LANDASAN KONSEPTUAL
Identitas Kultural
Identitas kultural atau identitas budaya dapat didefinisikan sebagai rincian karakteristik
atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui
batas-batasnya (bonded), tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan
orang lain (Liliweri, 2005: 41-42). Dengan demikian, ketika kita hendak mengetahui dan
memahami, bahkan menetapkan identitas budaya seseorang, kita tidak dapat sekadar
menentukan karakteristik atau ciri-ciri fisik/biologis orang dimaksud, melainkan perlu
mengkaji identitas kebudayaan orang tersebut melalui tatanan berpikir, perasaan, dan cara
bertindak. Sedangkan Kenneth Burke (dalam Liliweri, 2005: 42) secara simpel mengatakan
bahwa untuk menentukan identitas budaya seseorang sangat bergantung pada bahasa. Sebab,
representasi bahasa dapat menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang dirinci
kemudian dibandingkan.
Terkait dengan persoalan identitas budaya ini, Marry Jane Collier berhasil
mengembangkan sebuah teori bernama Teori Identitas Budaya atau Cultural Identity Theory.
Teori ini dikembangkan untuk memahami bagaimana proses komunikasi dilakukan untuk
membangun dan menegosiasikan identitas kelompok budaya dan hubungan dalam konteks
tertentu.
Dengan demikian, ketika seseorang menilai atau melihat seseorang atau kelompok
berdasarkan identitas budayanya, ia harus memahami bahwa yang menjadi identitas
kelompok tersebut pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dari individu–individu dalam
kelompok tersebut. Selain itu, seseorang yang berinteraksi juga harus memahami bahwa
setiap individu bisa memiliki lebih dari satu identitas. Hal ini bergantung pada peran yang
sedang dilakoninya. Karena adanya identitas budaya yang kompleks ini, ada potensi konflik
yang dapat terjadi, sehingga jika seseorang ingin terhindar dari sebuah masalah dalam
berinteraksi, sebaiknya ia meningkatkan kemampuannya dalam komunikasi antarbudaya.
Interaksi Sosial
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa dilepaskan dari hubungan
relasional dengan manusia lainnya yang mewujud dalam interaksi sosial. Gillin dan Gillin
(dalam Soekanto, 2009: 55) menyebut interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial
yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang per orang, antar kelompok manusia,
maupun antara orang per orang dengan kelompok manusia.
Atas dasar pengertian tersebut, maka interaksi sosial hanya akan terjalin jika memenuhi
dua syarat, yakni adanya kontak sosial dan komunikasi. Yang dimaksud dengan kontak sosial
tindakan awal yang mengakibatkan terjadinya komunikasi, baik melalui kontak secara fisik
maupun kontak yang termediasi dengan teknologi komunikasi dan yang lainnya. Dengan
terjalinnya kontak sosial ini maka komunikasi dimungkinkan akan berlangsung.
Dalam perspektif interaksi sosial, komunikasi yang dapat terjalin begitu rupa hingga
membawa konsekuensi terjadinya upaya saling memengaruhi satu sama lain. Hakekat
komunikasi sendiri adalah antara pihak yang menjalin interaksi akan saling bereaksi dengan
memberi tafsir atas apa yang mereka komunikasikan (bicarakan). Dengan adanya
komunikasi, maka sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang
perseorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau-orang-orang lainnya.
Dalam perspektif perubahan sosial, komunikasi yang terjalin sebagi bentuk dari
interaksi sosial, akan membawa pengaruh terhadap perubahan sosial di masyarakat, baik
dampak yang bersifat positif maupun negatif. Sebab, di dalam proses komunikasi itu
dimungkinkan terjadinya tindakan-tindakan bersifat asosiatif maupun disosiatif (Soekanto,
2009: 65-97).
METODOLOGI
Metode yang digunakan adalah metode studi kasus dalam bentuk desain kasus tunggal,
yakni peneliti mengumpulkan data terarah berdasarkan pertanyaan yang terlebih dahulu
ditentukan (Yin, 2006). Dalam pendekatan rumpun kualitatif, langkah-langkah studi kasus
untuk pengumpulan data tidak terlepas dari ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian
kualitatif. Data dalam konteks penelitian ini terbagi atas sumber data primer dan sekunder.
Sumber primer adalah suatu objek ataupun dokumen asli yang berupa material mentah dari
pelaku utamanya yang disebut sebagai first-hand information. Data-data yang dikumpulkan
di sumber primer ini berasal dari situasi langsung yang aktual ketika suatu peristiwa itu
terjadi (Silalahi, 2006:266), baik berdasarkan hasil wawancara maupun observasi.
Sumber data yang kedua adalah sumber data sekunder dimana data yang dikumpulkan
ini berasal dari tangan kedua atau sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian
dilakukan (Silalahi, 2006:266). Untuk penentuan informan dalam penelitian ini maka teknik
yang digunakan adalah purposive sampling, yakni berdasarkan tujuan yang hendak dicapai
oleh peneliti. Kemudian, untuk memperoleh data dalam penelitian ini dimulai dengan
menentukan informan kunci, yang memahami betul permasalahan yang akan diteliti serta
dapat memberikan berbagai informasi maupun data yang dibutuhkan. Informan yang baik
adalah informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan peneliti.
Karena itu, ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara,
bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan sekaligus memiliki pengetahuan
yang luas terhadap berbagai persoalan yang diteliti (Sudikan, 2001: 91).
Tiga perpaduan itu terangkum dalam istilah mereka yang disebut “Tilu sapamilu, dua
sakarupa, hiji eta keneh”. Ungkapan ini dimaknai sebagai “tiga sewajah atau berbarengan,
dua serupa, yang satu itu juga”, yang artinya, walaupun terdapat banyak keinginan dan
bermacam–macam sifat, sikap pada hakekatnya manusia berasal dari satu asal yang hakiki,
yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ungkapan tersebut dapat pula diartikan sebagai berikut;
“Tilu Sapamilu” adalah agama, tradisi, dan pemerintahan yang harus berjalan beriringan.
“Dua Sakarupa” yaitu tradisi dan agama harus berjalan sejajar. Sedangakan “Nu Hiji Eta
Keneh” artinya semuanya harus mengacu pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ungkapan inilah kemudian yang mengajarkan masyarakat adat akan konsep keseimbangan
atau harmoni dalam menjalani hidup, yaitu antara agama, tradisi, dan kewajiban sebagai
warga negara.
Mempertahankan identitas kultural sebagai masyarakat yang masih memegang teguh
tradisi leluhur bukanlah tanpa tantangan. Terlebih di tengah arus deras perubahan sosial, yang
memungkinkan tergerusnya identitas mereka. Sebagai masyarakat adat yang hidup dinamis
dan adaptif dengan perkembangan zaman, mereka juga berinteraksi dengan masyarakat di luar
komunitas mereka sehingga memungkinkan masuknya pengaruh negatif dari modernisasi ke
komunitasnya. Penggunaan berbagai alat elektronik dan teknologi komunikasi, adalah sesuatu
yang tidak bisa mereka tolak sebagai konsekuensi dari interaksi yang terbuka tadi.
Kondisi demikian, cukup disadari oleh masyarakat kasepuhan. Mereka sadar bahwa
arus deras modernisasi jika tidak diantisipasi dapat mengancam identitas kulturalnya sebagai
masyarakat adat. Dalam kaitan itu, masyarakat kasepuhan memiliki pranata adat yang
berfungsi untuk mengingatkan, meneguhkan, sekaligus memelihara identitas kultural mereka.
Pranata adat itu adalah kearifan lokal (local wisdom) berupa petuah dan pikukuh adat (norma
dan aturan adat), baik berbentuk larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar, upacara
adat, serta ketaatan dan ketundukan kepada ketua adat.
Karena itu, dalam kehidupan sehari–hari masyarakat adat Banten Kidul amat
berpegang teguh pada tradisi karuhun yang diturunkan melalui olot atau ketua adat. Dalam
tradisi mereka, misalnya, ada beberapa hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh incu putu
(anak cucu), seperti kewajiban pulang kampung saat seren taun. Ketetapan tentang kewajiban
pulang kampung pada kegiatan adat ini dibuat sebagai upaya adat untuk mempererat
silaturahmi antar keluarga komunitas sekaligus meneguhkan kembali identitas kulturalnya.
Melalui kegiatan upacara adat seren taun itulah mereka diingatkan kembali tentang
hakikat kedirian sebagai masyarakat kasepuhan yang meyakini bahwa kehidupan merupakan
sebuah proses lahir-hidup-mati yang kemudian pada akhirnya menuju pada sebuah fase yang
abadi. Hal ini sesuai dengan pepatah masyarakatnya yaitu dug hulu pet nyawa conggeang
balik aseupan, artinya orang harus sadar akan kemustahilan dalam kehidupan yang fana.
Maksudnya bahwa pada dasarnya kehidupan manusia tidak terlepas dari pemenuhan
kebutuhan duniawi, yang walaupun pada akhirnya akan ditinggalkan ketika mati. Pemenuhan
kebutuhan yang dimaksud di sini tidak jauh dari pemenuhan akan sandang, pangan dan papan,
yang kesemuanya berasal dari bumi/tanah. Karenanya, mereka sangat menghormati tanah,
sebagai tempat tumbuhnya padi, sumber makanan manusia. Bersumber pada hal ini pula,
masyarakat adat selalu berusaha menjaga harmoni antara manusia, alam dan Tuhan yang
diungkapkan dalam berbagai bentuk acara atau yang disebut upacara adat sebagai bentuk rasa
syukur.
Di sisi lain, sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada adat dan tradisi Sunda
masa lalu, mereka juga harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap segala pituah ketua adat.
Dalam kosmologi masyarakat kasepuhan, ketua adat jabatan yang dianggap sakral karena
hanya diturunkan berdasarkan hubungan genealogis dan berdasarkan wangsit. Karena itu,
sosok ketua adat dalam konsep masyarakat setempat adalah sosok manusia pilihan dengan
segala kelebihannya, baik secara kasat mata maupun di luar akal pikiran orang kebanyakan.
Dalam kaitan itu, maka semua hal apa pun harus selalu dikonsultasikan kepada ketua adat,
mulai dari waktu bercocok tanam, pemberian nama anak yang baru lahir, ketika akan
menikahkan anak, dan sebagainya.
Ketaatan masyarakat terhadap apa yang menjadi aturan adat yang termanifestasikan
melalui ketundukan dan kepatuhan pada ketua adat karena adanya keyakinan tentang mamala
atau dalam istilah lain adalah pamali atau pantangan, yang jika dialanggar bisa terkena
musibah seperti kecelakaan, terkena penyakit, dan musibah lain yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa. “Di sini ada istilahnya mamala, takut kalau tidak mentaati apa yang
disampaikan Abah,” kata partisipan bernama Henriana Hatra (wawancara pada 13 September
2013).
Berbeda dengan komunitas adat lain seperti masyarakat Baduy yang cenderung
mengisolasi diri, komunitas adat di Banten Kidul adalah komunitas adat yang terbuka dan
dinamis. Mereka adalah kaum yang adaptif terhadap perkembangan zaman maupun
perubahan sosial. Bukti betapa adaptifnya mereka terlihat dari gaya hidup yang cukup
mengikuti perkembangan zaman. Demikian pula dengan interaksi sosial yang mereka jalin,
sangat dinamis dan bahkan mampu melintasi batas-batas struktur dan kultur masyarakat
kasepuhan itu sendiri.
Dari segi berbahasa, meskipun bahasa yang biasa digunakan masyarakat adalah bahasa
Sunda, mereka cukup lancar berbahasa Indonesia, bahkan tidak jarang di antara anak
mudanya yang menggunakan bahasa gaul sebagaimana anak-anak muda pada umumnya.
Mereka cukup mampu beradaptasi dalam berinteraksi maupun berkomunikasi dengan
masyarakat luar.
Pengaruh lain dari interaksi yang terjadi adalah pada cara berpakaian. Dalam interaksi
sosialnya, baik dengan sesama masyarakat kasepuhan maupun dengan masyarakat luar
kasepuhan, mereka umumnya mengenakan pakaian modern seperti pada umumnya, bahkan
jenis dan merek pakaian yang digunakan tidak kalah modern dengan masyarakat di perkotaan.
Namun, meskipun berpakaian modern mereka tidak meninggalkan identitas kulturalnya
sebagai warga masyarakat adat. Identitas itu antara lain dapat dilihat dari penggunaan kain
bermotif batik sebagai ikat kepala.
Sedangkan dalam kegiatan adat, mereka senantiasa mengenakan pakaian adat lengkap
yang disebut pula sebagai tikim. Pakaian adat mereka terdiri dari dua warna, hitam dan putih,
yang mereka sebut tikim hideung dan tikim bodas. Hideung (hitam) mengandung arti cerdas,
cepat, dan mengerti. Sedangkan bodas (putih) mengandung arti suci dan bersih. Tikim,
mereka padukan dengan penggunaan ikat kepala dari kain batik. Mereka menyebutnya iket,
yang mengandung arti terikat, telah terikat sebagai warga kesatuan. Bagi masyarakat
kasepuhan ikat kepala tersebut memiliki makna bahwa manusia yang menggunakan iket
adalah manusia yang berhati-hati dalam bertindak. “Caricing pageuh kancing, saringset
pageuh iket” yang artinya waspada dan siap siaga (Yoki Yusanto dkk., 2014: 91-92).
Meski terbuka dan sangat adaptif dengan segala perkembangan zaman dan perubahan
sosial, di dalam interaksi sosialnya masyarakat kasepuhan tetap tidak meninggalkan identitas
kultural mereka sebagai masyarakat adat. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Kasepuhan
Cisungsang Henriana Hatra. Menurutnya, “Hidup itu boleh gaya, tapi gaya hidup harus tetap
sesuai aturan adat. Itu prinsip anak muda sini, di kasepuhan. Jadi kita tetep gak ketinggalan
zaman. Tapi tradisi adat tetap harus terjaga.” (wawancara pada 19 September 2014)
Tentang sikap adat yang akomodatif dalam interaksi sosial dan dampak terjadinya
perubahan sosial tersebut ditegaskan oleh ketua adat. Menurutnya, perkembangan zaman dan
teknologi komunikasi yang semakin canggih, tidak bisa dibendung oleh adat, kecuali dengan
cara bersikap adaptif dan akomodatif. Karenanya, ia tidak merasa khawatir kondisi tersebut
akan membawa dampak negatif bagi terkikisnya identitas kultural masyarakat kasepuhan,
sebab hingga saat ini norma dan aturan adat masih dijalankan oleh masyarakatnya.
Dalam hal ini, adat memiliki cara tersendiri dalam mengantisipasi dampak dari
hubungan relasional masyarakat kasepuhan dengan masyarakat luar. Antara lain melalui
berbagai aturan dan norma adat yang harus tetap diikuti dan dijalankan. Termasuk pula
melalui berbagai jenis ritual adat yang berfungsi untuk mengikat kesadaran masyarakat
kasepuhan terhadap identitas kulturalnya. Oleh karenanya ketaatan dan ketundukan
masyarakat kasepuhan terhadap aturan adat adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar. “Apa
artinya aturan adat kalau tidak dipatuhi dan dilaksanakan.”
Bagi adat, selama masih dalam batas-batas kewajaran dan tidak melanggar aturan adat,
maka segala perubahan yang terjadi dan interaksi sosial yang dijalin, masih memungkinkan
diterima. Namun demikian, melalui pranata yang dimiliki, adat senantiasa mengingatkan
tentang batas dan kewajaran itu, serta konsekuensi yang bakal diterima jika terjadi
pelanggaran, berupa musibah yang dapat menyebabkan kematian. Adapun bagi yang
melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan harus melakukan lukun (semacam
pengakuan dosa) yang telah diatur oleh adat. Lukun terbagi dalam 3 (tiga) tahapan sesuai
dengan hukum adat adat yang dilanggarnya, yaitu (1) Lukun Lima, yaitu apabila seseorang
melakukan perbuatan dosa kecil (sebagaimana aturan adat), maka yang bersangkutan harus
menyembah ketua adat/abah sebanyak lima kali yang disertai doa-doa; (2) Lukun Tujuh, yaitu
apabila seseorang melakukan perbuatan/dosa sedang (sebagaimana aturan adat), yang
bersangkutan harus menyembah ketua adat/abah sebanyak tujuh kali yang disertai dengan
doa-doa; (3) Lukun Salapan, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan/dosa besar
(sebagaimana aturan adat), yang bersangkutan akan memperoleh hukuman begitu berat
bahkan sampai meninggal dunia jika tidak segera melakukan lukun salapan.
KESIMPULAN
Di tengah arus deras perubahan sosial akibat modernisasi, masyarakat adat Kasepuhan
Banten Kidul masih mampu mempertahankan dan memelihara identitas kulturalnya. Kondisi
ini terjadi tidak lepas dari keberadaan lembaga adat yang memiliki peran yang begitu sentral
dalam menegakkan aturan adat, sehingga seluruh anggota masyarakat kasepuhan memiliki
ikatan begitu kuat terhadap identitas kulturalnya. Karena itu pula, meskipun dalam situasi
sosial yang terus berubah, mereka mampu beradaptasi bahkan mengadopsi perubahan
tersebut dengan tidak kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat yang tetap
tunduk dan patuh terhadap petuah maupun pikukuh adat (norma dan aturan adat). Bahkan
dalam menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di luar kasepuhan pun mereka mampu
menjaga identitas kulturalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baedhawy, Ruby A. dan N. Wachyudin. 2013. Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Pelestarian
Lingkungan Hidup Masyarakat Baduy dan Kasepuhan Cisungsang. Serang: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten.
Gudykunst, William B. 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication. London:
Sage Publications.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS.
Siradjudin, Azmi. 2010. Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional.
Sulawesi Tengah: Yayasan Merah Putih.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana.
Suwarsono, Alvin Y.SO. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Wega Dwi Rafika dan Bambang Samsu. 2013. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Adat
Tenganan Pegringsingan. Wega Dwi Rafika dan Bambang Samsu. 2013.
Perubahan Sosial dalam Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan. Diakses dari
repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/.../Wega%20Dwi%20Rafika.pdf?.
pada 10 Agustus 2017.
Yusanto, Yoki, dkk. 2014. Kasepuhan Cisungsang, Komunikasi Intrabudaya. Serang:
Pustaka Getok Tular. 2014.