Laporan Kasus Psikiatri
Laporan Kasus Psikiatri
GANGGUAN PANIK
DISUSUN OLEH:
Muhammad Dymas Novalovianto (2017L50035)
Student ID : 2017L50035
Telah menyelesaikan tugas akhir di stase psikiatri sebagai Mahasiswa Koas di Rumah Sakit
Stella Maris.
Supervisor Pembimbing I
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I LAPORAN KASUS 2
I. IDENTITAS PASIEN 2
II. ANAMNESIS 2
III. PEMERIKSAAN MENTAL 3
IV. ASESMEN 6
V. TATALAKSANA 6
VI. PROGNOSIS 6
VII. RESUME 7
BAB II TINJUAN PUSTAKA 8
A. SERANGAN DAN GANGGUAN PANIK 8
I. PENDAHULUAN 9
II. PREVALENSI 9
III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI 10
IV. GEJALA KLINIS 10
V. DIAGNOSIS BANDING 10
VI. PENATALAKSANAAN 11
VII. KOMPLIKASI 12
VIII. PROGNOSIS 12
BAB III KESIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14
iii
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Kelvin Phoa
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usian : 29 tahun
Agama : Kristen
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 Agustus 2022 di Rumah
Sakit Stella Maris Makassar pukul 13:10 WITA.
● Keluhan Utama :
Keram ekstremitas, sesak napas “seperti mau mati”, sensasi tegang pada leher,
keringat dingin, jantung berdebar-debar yang datang tiba-tiba, tanpa faktor pencetus/trigger
dan dirasakan selama 7-10 menit setiap serangan.
● Riwayat Penyakit Sekarang :
Pertama dirasa pada 2020 di hari kematian adiknya, keluhan makin sering berulang
semenjak 2021 dan pasien telah dilarikan ke IGD sebanyak 9 kali, namun hasil pemeriksaan
fisik dan laboratorium tidak mengindikasikan penyakit apa pun. Pasien mulai berobat di Poli
Jiwa RS Stella Maris dengan dr. Agus Japari, Sp.KJ semenjak Januari 2022.
● Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat TBC, terdiagnosis pada tahun 2018. Pasien juga merupakan perokok aktif
semenjak 2008 dan sudah berhenti mulai 2018.
● Riwayat Pengobatan Sebelumnya :
o Riwayat Operasi : Tidak Ada
o Riwayat Alergi : Tidak Ada
o Riwayat Transfusi : Tidak Pernah
● Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit serupa dalam keluarga tidak ada, riwayat DM (-), hipertensi (-),
penyakit jantung (-), riwayat penyakit autoimun (-).
iii
Agustus 2022, dengan cara wawancara antara pemeriksa - pasien.
iii
datang ke poli jiwa, dan lain-lain.
Daya ingat jangka panjang Pasien mampu mengingat dan menjabarkan
kejadian-kejadian masa lalunya– pasien ingat
tentang keadaan anggota keluarganya, kematian
adiknya pada 2020, masa SMA dan kuliahnya,
riwayat penyakit TBC-nya, riwayat pengobatan
jiwanya, riwayat merokok beratnya, dan lain-lain.
20 Konsentrasi dan perhatian Pasien mampu menjawab pertanyaan pemeriksa
tanpa berpikir panjang dan langsung terhubung
dengan alur percakapan. Kontak mata pasien baik
dan tidak terganggu atau teralihkan sekali pun.
21 Pikiran abstrak Pasien mampu berpikir abstrak– saat saya
memberikan peribahasa "sudah jatuh tertimpa
tangga" untuk mendeskripsikan kematian adiknya,
pasien mengerti tanpa menggunakan peribahasa
tersebut kepada sesuatu yang konkret.
22 Intelegensi dan kemampuan informasi Meskipun pasien putus kuliah, namun pasien
(tingkat pengetahuan) masih mengikuti info-info terkini seputar dunia IT
dan memiliki tingkat intelegensi yang cukup untuk
menopang pembicaraan sehari-hari.
23 Bakat kreatif Bakat kreatif: Pasien mengaku tidak memiliki
bakat kreatif tertentu/khusus
24 Kemampuan menolong diri sendiri Kemampuan menolong diri sendiri: Terlihat baik,
pasien mampu beraktivitas mandiri tanpa bantuan
dan gangguan
VII Pengendalian Impuls
25 Pengendalian impuls
Baik (+) Pengendalian impuls pasien terlihat baik.
Tidak terlihat ada tindakan impulsif selama
pemeriksaan. Pasien pun mengaku bahwa dia
mampu menahan diri dari tindakan-tindakan
impulsif yang merugikan (merokok, luapan emosi,
impulsive eating, impulsive shopping, dan lain-
lain)
Terganggu (-)
iii
membantu, tapi karena saya tidak punya skill
bengkel, maka saya akan mencarikan pekerja lain
yang menganggur untuk membantunya"
IX. Tilikan
29 Tilikan Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu
yang tidak diketahui pada dirinya.
X. Taraf Dapat Dipercaya
30 Taraf dapat dipercaya
a.Dapat dipercaya (+)
b.Tidak dapat dipercaya (-)
IV. ASESMEN
1. Diagnosis: Gangguan panik
2. Diagnosis banding: Gangguan anxietas fobik
V. TATALAKSANA
1. Medicamentosa:
- Fluoxetine 20 mg / 1x1
- Alprazolam 1 mg / 1x1 sebelum tidur
2. Edukasi:
- Menjelaskan kepada pasien tentang keluhan yang dideritanya– kemungkinan
diagnosis dan tatalaksana ke depannya.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit mental membutuhkan kemauan dan
konsistensi pasien untuk mengubah keadaannya sendiri dan obat hanya memberikan
bantuan untuk menstabilkan keadaan pasien sehari-hari saja.
- Menjelaskan bahwa pasien akan melalui proses pengobatan dan terapi yang cukup
panjang ke depannya.
VI. PROGNOSIS
Dubia ad bonam dengan pengobatan yang cepat dan tepat
iii
VII. RESUME
Tn. Kelvin (29 tahun) mengeluh keram ekstremitas, sesak napas “seperti mau mati”,
sensasi tegang pada leher, keringat dingin, jantung berdebar-debar yang datang tiba-tiba dan
dirasakan selama 7-10 menit setiap serangan. Keluhan tersebut pertama dirasakan pada 2020
di hari kematian adiknya, keluhan makin sering berulang semenjak 2021 dan pasien telah
dilarikan ke IGD sebanyak 9 kali, namun hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak
mengindikasikan penyakit apa pun. Pasien mulai berobat di Poli Jiwa RS Stella Maris
dengan dr. Agus Japari, Sp.KJ semenjak Januari 2022.
Pasien mengatakan bahwa pemeriksaan fisik dan laboratorium di IGD Stella Maris
tidak mengindikasikan adanya penyakit fisik apa pun yang diderita pasien. Saat dilakukan
pemeriksaan mental, pasien merasa bahwa keluhan-keluhannya kemungkinan timbul karena
banyak faktor penyebab stres; kematian adiknya, proses berhenti merokok, drop-out dari
kuliah dan masih pengangguran. Namun meskipun begitu, pasien yakin bahwa setiap dia
mengalami serangan panik, serangan tersebut selalu datang tanpa adanya faktor
pencetus/trigger.
Diagnosis sementara adalah gangguan panik dengan diagnosis banding gangguan
anxietas fobik. Usul pengobatan; SSRI - Fluoxetine dan alprazolam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
iii
A. SERANGAN DAN GANGGUAN PANIK
I. PENDAHULUAN
Serangan panik adalah ketakutan yang tiba-tiba terjadi yang mungkin meliputi
palpitasi, berkeringat, gemetar, dispnea, mati rasa, atau perasaan bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi.[3][1] Tingkat gejala maksimal terjadi dalam hitungan menit. [1] Biasanya gejala ini
bertahan sekitar 30 menit, namun durasinya bisa bervariasi dari detik ke jam. [4] Mungkin ada
rasa takut untuk kehilangan kontrol atau nyeri dada.[1] Serangan panik sendiri tidak
berbahaya.[6]
Serangan panik dapat terjadi karena beberapa kelainan, seperti: gangguan panik, gangguan
kecemasan sosial, gangguan stres pasca trauma, penggunaan narkoba, depresi, dan masalah
medis.[1][2] Serangan panik dapat dipicu atau terjadi secara tidak terduga. Faktor risiko
meliputi merokok dan stres psikologis. Diagnosis harus mengesampingkan kondisi lain yang
dapat menghasilkan gejala serupa, seperti: hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, penyakit
jantung, penyakit paru-paru, dan penggunaan narkoba.[1]
Pengobatan serangan panik harus diarahkan pada penyebab yang mendasarinya. [6] Pada
penderita yang sering mengalami serangan, konseling atau pengobatan dapat digunakan.[5]
Latihan pernapasan dan teknik relaksasi otot juga bisa membantu. [7] Penderita yang terkena
dampak berisiko tinggi untuk melakukan bunuh diri.[1]
Di Eropa sekitar 3% populasi memiliki serangan panik pada tahun tertentu. Sementara itu, di
Amerika Serikat serangan panik mempengaruhi sekitar 11% populasi. Serangan panik dapat
ditangani dengan psikoterapi atau pemberian obat-obatan yang bertujuan untuk meredakan
gejala dan meningkatkan kualitas hidup penderitanya.
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik secara spontan dan tidak
terduga, yang frekuensinya dapat bervariasi dari beberapa serangan per hari hingga hanya
beberapa serangan per tahun. Meskipun serangan panik dapat terjadi pada gangguan
kecemasan lainnya, serangan ini sering terjadi tanpa pencetus yang dapat diprediksi pada
gangguan panik. Gangguan panik lebih sering dialami oleh wanita daripada laki-laki.
Umumnya, kondisi ini terjadi pada orang yang baru menginjak usia dewasa atau pada orang
yang sedang dalam tekanan. Beberapa kriteria yang menunjukkan pasien mengalami
gangguan panik adalah (berdasarkan DSM-5):
- Serangan panik terjadi secara tiba-tiba tanpa alasan pasti dalam kurun waktu 1 bulan,
hingga membuat penderita mengalami perubahan perilaku, termasuk menghindari
situasi pemicu kepanikan.
- Serangan panik sering terjadi tanpa sebab yang jelas.
- Serangan panik tidak disebabkan oleh penggunaan NAPZA atau pengobatan kondisi
medis tertentu.
- Serangan panik bukan merupakan gejala dari gangguan mental lain, seperti post-
traumatic stress disorder atau gangguan obsesif kompulsif.
II. PREVALENSI
Perkiraan prevalensi seumur hidup untuk gangguan panik pada orang dewasa AS
berkisar dari 2,0% hingga 6,0%. Prevalensi 12 bulan pada orang dewasa adalah 2,7%.
Gangguan panik sering muncul bersamaan dengan gangguan mood, dan gejala mood
berpotensi mengikuti serangan panik. Tingkat prevalensi seumur hidup depresi berat pada
gangguan panik dapat mencapai 50-60%. Gangguan kejiwaan lain yang ber-komorbiditas
dengan gangguan panik termasuk skizofrenia, gangguan obsesif-kompulsif, fobia spesifik,
fobia sosial, dan agorafobia.
iii
Ada beberapa kondisi medis yang tampaknya memiliki komorbiditas yang signifikan dengan
gangguan panik, seperti PPOK, sindrom iritasi usus dan sakit kepala migrain. Gangguan
kardiovaskular (misalnya, prolaps katup mitral, hipertensi, kardiomiopati, stroke) juga
merupakan faktor komorbiditas.
Penderita asma juga dikaitkan dengan peningkatan 4,5 kali lipat dalam risiko komplikasi
gangguan panik, dan penderita gangguan panik juga 6 kali lebih mungkin untuk menderita
asma dibandingkan mereka yang tidak menderita gangguan tersebut.
Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya gangguan panik,
yaitu:
- Memiliki keluarga yang menderita gangguan panik
- Menderita penyakit mental, seperti depresi dan gangguan kecemasan
- Mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan
- Mengalami kejadian traumatis, seperti kecelakaan, kekerasan fisik, atau kekerasan
seksual
- Mengalami perubahan drastis dalam hidup, seperti perceraian, kehilangan orang
tercinta, atau kehilangan pekerjaan
iii
- Selama serangan tersebut, pasien memiliki keinginan untuk melarikan diri
dan/atau memiliki perasaan akan datangnya malapetaka (seolah-olah mereka
sekarat karena serangan jantung atau mati lemas).
Pasien dengan gangguan panik memiliki episode serangan panik yang berulang,
dengan ketakutan akan serangan berulang yang mengakibatkan perubahan perilaku yang
signifikan (misalnya, menghindari situasi atau lokasi tertentu) dan khawatir tentang
implikasi atau konsekuensi dari serangan tersebut (misalnya, kehilangan kendali, menjadi
gila, sekarat). Gangguan panik dapat mengakibatkan perubahan sifat kepribadian, ditandai
dengan pasien menjadi lebih pasif, tergantung, atau mengucilkan diri dari lingkungan
sekitar.
V. DIAGNOSIS BANDING
Pemahaman tentang gangguan panik sangat penting bagi dokter umum, karena
pasien dengan kondisi ini sering datang ke IGD dengan berbagai keluhan somatik. Banyak
gejala serangan kecemasan sama dengan gejala yang ditemukan pada gangguan medis yang
mengancam jiwa, seperti infark miokard (MI) dan emboli paru, yang dapat bermanifestasi
dengan kecemasan sebagai gejala utama. Sekitar 25% pasien yang datang ke unit gawat
darurat dengan nyeri dada memiliki gangguan kecemasan panik.[13]
Saat membuat diagnosis, perlu diingat gejala kondisi medis seperti berikut:
- Angina dan infark miokard (mis., Dispnea, nyeri dada, palpitasi, diaforesis)
- Disritmia jantung (misalnya, palpitasi, dispnea, sinkop)
- Emboli paru (mis., Dispnea, hiperpnea, nyeri dada)
- Asma (mis., Dispnea, mengi)
- Hipertiroidisme (misalnya, palpitasi, diaforesis, takikardia, intoleransi panas)
- Hipoglikemia
- Feokromositoma (mis., Sakit kepala, diaforesis, hipertensi)
- Hipoparatiroidisme (misalnya, kram otot, parestesia)
- Serangan iskemik transien (TIA)
- Penyakit kejang
Telusuri juga kemungkinan gejala penyakit jantung koroner akut pada pasien dengan data-
data faktor risiko, riwayat pasien dan hasil EKG sebelum memberi label gejala-gejala
tersebut sebagai gangguan panik. Pasien dengan takikardia supraventrikular berpotensi salah
didiagnosis dengan gangguan panik pada lebih dari 50% kasus; gangguan panik mungkin
terlewatkan jika pemeriksaan jantung tidak dilaksanakan.[14]
VI. PENATALAKSANAAN
Farmakoterapi, Cognitive-behavioral therapy (CBT), dan modalitas perawatan
psikologis lainnya biasa digunakan untuk penatalaksanaan gangguan panik. The American
Psychiatric Association (APA) merekomendasikan merawat pasien dengan gangguan panik
ketika gejala menyebabkan disfungsi (misalnya, pekerjaan, keluarga, sosial, kegiatan
rekreasi) atau penderitaan yang signifikan. Tujuan pengobatan termasuk yang berikut[15] :
- Menyesuaikan rencana pengobatan untuk setiap individu
- Mengurangi frekuensi dan intensitas serangan panik
- Mengurangi kecemasan antisipatif dan penghindaran agorafobia
iii
- Mengobati gangguan kejiwaan yang terjadi bersamaan
- Kembali ke tingkat fungsi sedia kala
VII. KOMPLIKASI
Gangguan panik yang tidak ditangani dengan tepat dapat memengaruhi kualitas
hidup penderitanya dan menimbulkan gangguan lain, seperti:
- Depresi
- Enggan bersosialisasi
- Masalah di sekolah atau tempat kerja
- Penyalahgunaan NAPZA atau kecanduan alkohol
- Keinginan untuk bunuh diri
- Agorafobia, yaitu takut berlebihan pada tempat atau situasi yang menyebabkan panik
- Fobia
VIII. PROGNOSIS
Gangguan panik adalah gangguan kronis dengan prognosis yang bervariasi. Terapi
farmakologis yang tepat dan CBT, secara individual atau dalam kombinasi, efektif pada
lebih dari 85% kasus. Pasien dengan fungsi premorbid yang baik dan durasi gejala yang
singkat cenderung memiliki prognosis yang baik. [16] Sekitar 10-20% pasien terus mengalami
gejala gangguan panik yang signifikan bahkan setelah terapi. [16] Secara keseluruhan,
prognosis jangka panjang biasanya baik, dengan hampir 65% pasien dengan gangguan panik
mencapai remisi, biasanya dalam 6 bulan.[17]
Namun, risiko penyakit arteri koroner pada pasien dengan gangguan panik hampir dua kali
lipat. Pada pasien dengan penyakit koroner, panik dapat menyebabkan iskemia miokard. [18]
iii
Risiko kematian mendadak juga secara teoritis dapat meningkat karena penurunan
variabilitas denyut jantung dan peningkatan variabilitas interval QT.[18]
Tingkat bunuh diri pada individu dengan gangguan panik juga berkali-kali lebih tinggi
daripada populasi umum.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Serangan panik adalah ketakutan yang tiba-tiba terjadi yang mungkin meliputi palpitasi,
berkeringat, gemetar, dispnea, mati rasa, atau perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik secara spontan dan tidak terduga, yang
frekuensinya dapat bervariasi dari beberapa serangan per hari hingga hanya beberapa serangan per
tahun. Meskipun serangan panik dapat terjadi pada gangguan kecemasan lainnya, serangan ini
sering terjadi tanpa pencetus yang dapat diprediksi pada gangguan panik. Perkiraan prevalensi
seumur hidup untuk gangguan panik pada orang dewasa AS berkisar dari 2,0% hingga 6,0%.
Prevalensi 12 bulan pada orang dewasa adalah 2,7%. Hingga saat ini, penyebab gangguan panik
belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi ini diduga terjadi karena ada bagian otak dan sistem
saraf yang keliru dalam menerjemahkan gerakan atau sensasi di tubuh. Akibatnya, gerakan atau
sensasi tersebut dianggap sebagai suatu ancaman. Pasien dengan gangguan panik memiliki episode
serangan panik yang berulang, dengan ketakutan akan serangan berulang yang mengakibatkan
perubahan perilaku yang signifikan (misalnya, menghindari situasi atau lokasi tertentu) dan
khawatir tentang implikasi atau konsekuensi dari serangan tersebut (misalnya, kehilangan kendali,
menjadi gila, sekarat).
Gangguan panik dapat mengakibatkan perubahan sifat kepribadian, ditandai dengan pasien
menjadi lebih pasif, tergantung, atau mengucilkan diri dari lingkungan sekitar. Pemahaman
tentang gangguan panik sangat penting bagi dokter umum, karena pasien dengan kondisi ini sering
datang ke IGD dengan berbagai keluhan somatik. Banyak gejala serangan kecemasan sama dengan
gejala yang ditemukan pada gangguan medis yang mengancam jiwa, seperti infark miokard (MI)
dan emboli paru, yang dapat bermanifestasi dengan kecemasan sebagai gejala utama. Sekitar 25%
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan nyeri dada memiliki gangguan kecemasan panik.
Farmakoterapi, Cognitive-behavioral therapy (CBT), dan modalitas perawatan psikologis lainnya
biasa digunakan untuk penatalaksanaan gangguan panik. The American Psychiatric Association
(APA) merekomendasikan merawat pasien dengan gangguan panik ketika gejala menyebabkan
disfungsi. Obat antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), seperti
fluoxetine dan sertraline, atau golongan serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI),
seperti venlafaxine. Benzodiazepine, seperti alprazolam dan clonazepam, untuk mengatasi
gangguan panik dalam jangka pendek. Terapi farmakologis yang tepat dan CBT, secara individual
atau dalam kombinasi, efektif pada lebih dari 85% kasus.
iii
DAFTAR PUSTAKA
1. American Psychiatric Association (2013), Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(5th ed.), Arlington: American Psychiatric Publishing, hlm. 214–217, ISBN 978-0-89042-555-8
2. Craske, MG; Stein, MB (24 Juni 2016). "Anxiety". Lancet (London, England). doi:10.1016/S0140-
6736(16)30381-6. PMID 27349358.
3. "Anxiety Disorders". NIMH. Maret 2016.
4. Bandelow, Borwin; Domschke, Katharina; Baldwin, David (2013). Panic Disorder and Agoraphobia
(dalam bahasa Inggris). OUP Oxford. hlm. Chapter 1. ISBN 9780191004261.
5. "Panic Disorder: When Fear Overwhelms". NIMH. 2013.
6. Geddes, John; Price, Jonathan; McKnight, Rebecca (2012). Psychiatry (dalam bahasa Inggris). OUP
Oxford. hlm. 298. ISBN 9780199233960.
7. Roth, WT (2010). "Diversity of effective treatments of panic attacks: what do they have in
common?". Depression and anxiety. 27 (1): 5–11. doi:10.1002/da.20601. PMID 20049938.
8. Zwanzger P, Eser D, Nothdurfter C, Baghai TC, Möller HJ, Padberg F, et al. Effects of the GABA-
reuptake inhibitor tiagabine on panic and anxiety in patients with panic disorder.
Pharmacopsychiatry. Nov 2009. 42(6):266-9.
9. Wedekind D, Bandelow B, Broocks A, Hajak G, Rüther E. Salivary, total plasma and plasma free
cortisol in panic disorder. J Neural Transm. 2000. 107(7):831-7.
10. Neumeister A, Bain E, Nugent AC, Carson RE, Bonne O, Luckenbaugh DA, et al. Reduced
serotonin type 1A receptor binding in panic disorder. J Neurosci. Jan 21 2004. 24(3):589-91.
11. Lonsdorf TB, Rück C, Bergström J, Andersson G, Ohman A, Schalling M, et al. The symptomatic
profile of panic disorder is shaped by the 5-HTTLPR polymorphism. Prog Neuropsychopharmacol
Biol Psychiatry. Nov 13 2009. 33(8):1479-83.
12. Strug LJ, Suresh R, Fyer AJ, Talati A, Adams PB, Li W, et al. Panic disorder is associated with the
serotonin transporter gene (SLC6A4) but not the promoter region (5-HTTLPR). Mol Psychiatry. Feb
2010. 15(2):166-76.
13. Fleet RP, Marchand A, Dupuis G, Kaczorowski J, Beitman BD. Comparing emergency department
and psychiatric setting patients with panic disorder. Psychosomatics. 1998 Nov-Dec. 39(6):512-8.
14. Fleet RP, Dupuis G, Marchand A, Burelle D, Arsenault A, Beitman BD. Panic disorder in
emergency department chest pain patients: prevalence, comorbidity, suicidal ideation, and physician
recognition. Am J Med. Oct 1996. 101(4):371-80.
15. American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with panic
disorder. 2nd ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2009.
16. Kaplan HI, Sadock BJ. Panic disorder and agoraphobia. In: Millet KC, ed. Kaplan and Sadock's
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 8th ed. Baltimore, Md: Williams &
Wilkins; 1998. 594-603.
17. Tellez-Zenteno JF, Patten SB, Jette N, Williams J, Wiebe S. Psychiatric comorbidity in epilepsy: a
population-based analysis. Epilepsia. 2007 Dec. 48(12):2336-44.
18. Beghi E, Allais G, Cortelli P, et al. Headache and anxiety-depressive disorder comorbidity: the
HADAS study. Neurol Sci. 2007 May. 28 suppl 2:28 suppl 2.
iii