Anda di halaman 1dari 18

COV

MAKALAH FARMAKOTERAPI KARDIO, SARAF, ONKOLOGI,


RENAL DAN ENDOKRIN
FARMAKOTERAPI PENYAKIT STROKE
Dosen pengampu : apt. Maya Arfania, M.Sc

Oleh :

Erisa Mindawati 21416248201004


Siti Solihat 21416248201015
Nurhalimah 21416248201005
Wida Nurhamidah 21416248201030

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG
2023
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul "Farmakoterapi Penyakit Stroke”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi
syarat penilaian mata kuliah Farmakoterapi Kardio, Saraf, Onkologi, Renal dan
Endokrin yang diampu oleh ibu apt. Maya arfania, M.Sc.
Kami mengucapkan terimakasih kepada apt. Maya Arfania, M.Sc selaku
dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi Kardio, Saraf, Onkologi, Renal dan
Endokrin. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu hingga selesainya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah yang kami susun ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Karawang, Maret 2023

Tim Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stroke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan
gangguan neurologis yang disebabkan oleh gangguan suplai darah ke bagian
tubuh otak. Dua jenis utama stroke adalah non-hemoragik dan hemoragik. Stroke
non-hemoragik disebabkan oleh penyumbatan yang disebabkan oleh gumpalan
darah, baik oleh trombosis (gumpalan darah yang menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah) maupun emboli (pecahan gumpalan darah/udara/benda asing
yang berada di dalam pembuluh darah sehingga dapat menyumbat pembuluh
darah di otak. Pendarahan ke jarringan otak atau ruang subarakhnoid adalah
penyebab stroke hemoragik (Joyce M. Black, et al, 2014).
Menurut hasil riset Riskesdas 2013, prevalensi stroke di Indonesia
meningkatkan seiring bertambahnya usia. Kasus stroke yang didiagnosis tenaga
kesehatan tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (43,1%) dan terendah
pada kelompok umur 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi stroke berdasarkan jenis
kelamin laki-laki lebih banyak (7,1%) dibandingkan perempuan (6,8%). Menurut
tempat tinggal prevalensi stroke lebih tinggi diperkotaan (8,2%) dibandingkan
diperdesaan (5,7%). Prevalensi kasus berdasarkan data 10 besar penyakit
terbanyak di Indonesia tahun 2013. Angka stroke di Indonesia adalah 7,0/mil,
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan untuk orang yang didiagnosis dengan
gejala stroke 12,1/mil. Prevalensi kasus stroke terrtinggi di Sulawesi Utara
(10,8%), terendah di Papua (2,3%) dan Jawa Tengah (7,7%) (Kemenkes, 2013).
Menurut studi oleh (Fenny et al ,2014), angka kejadian stroke non
hemoragik di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan stroke hemoragik,
masing-masing sebesar 67,1% dan 32,9% stroke non hemoragik. Selain itu, stroke
diperkirakan menjadi penyebab utama 15% kematian di rumah sakit dan setinggi
65% kecacatan. Hemiparesis (kelemahan otot pada salah satu sisi tubuh) terjadi
pada 70-80% penderita stroke, dimana 20% mengalami peningkatan fungsi
motorik, dan sekitar 50% mengalami gejala sisa berupa gangguan fungsi
motorik/kelemahan otot pada ekstremitas, bila tidak mendapatkan terapi yang baik
dalam intervensi keperawatan maupun rehabilitasi pasca stroke. 30-60% pasien
hemiplegia yang tidak tertangani secara optimal akan mengalami kehilangan
fungsi ekstremitas secara total dalam waktu 6 bulan pasca stroke (Heriyanto dan
Anna, 2015).

1.2. Rumusan Masalah


Berikut ini merupakan rumusan masalah mengenai penyakit stroke,
sebagai berikut :
1. Bagaimana epidemiologi penyakit stroke di Indonesia?
2. Bagaimana patofisiologi pada pasien stroke?
3. Bagaimana tanda dan gejala penyakit stroke?
4. Bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium pasien penyakit stroke?
5. Bagaimana terapi non farmakologi untuk pasien stroke?
6. Bagaimana terapi farmakoogi untuk pasien stroke?

1.3. Tujuan
Berikut ini merupakan tujuan dibuatnya makalah mengenai farmakoterapi
pada penyakit stroke, sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami bagaimana epidemiologi penyakit stroke di
Indonesia.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana patofisiologi pada pasien stroke.
3. Mengetahui dan memahami bagaimana tanda dan gejala penyakit stroke.
4. Mengetahui dan memahami bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium
pasien penyakit stroke.
5. Mengetahui dan memahami bagaimana terapi non farmakologi untuk
pasien stroke.
6. Mengetahui dan memahami bagaimana terapi farmakoogi untuk pasien
stroke.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.Stroke
Gangguan fungsi otak yang dikenal sebagai stroke ditandai dengan onset
tiba-tiba gejala klinis lokal atau gejala umum yang bertahan selama lebih dari 24
jam tanpa bukti penyebab non-vaskular, seperti tanda-tanda perdarahan
subarachnoid, pendarahan intraserebral, iskemia, atau infark serebral (Mutiarasari,
2019).
Menurut (Hariyanti et al., 2020) stroke yang juga dikenal dengan CVA
(Cerebro Vascular Accident) adalah gangguan fungsi saraf yang berkembang
dengan sendirinya dan disebabkan oleh terhentinya suplai darah secara tiba-tiba
ke otak. oleh karena itu, stroke adalah perubahan mendadak fungsi neuron otak
yang disertai dengan gejala kondisi klinis yang berkembang pesat akibat
gangguan aliran darah ke otak.
Menurut Yueniwati (2016), stroke dibagi menjadi dua kategori, sebagai
berikut :
a) Stroke iskemik, yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah yang
mengakibatkan terhentinya sebagian atau seluruh aliran darah ke otak.
b) Stroke hemoragik, juga dikenal sebagai perdarahan intraseberal atau
hematon intraselebral, disebabkan oleh perdarahan di jaringan otak atau ke
dalam ruang subarachnoid, daerah terbatas antara permukaan otak dan
lapisan jaringan ikat yang menutupi otak disebut perdarahan subarachnoid.

Gofir (2021) menegaskan bahwa berat badan mempengaruhi gejala dan


tanda neurologis yang muncul setelah stroke. Penyakit pembuluh darah ringan dan
dimana mereka ditemukan, termasuk tiba-tiba kelumpuhan wajah atau
kelumpuhan ekstremitas (biasanya hemiparesis), sensibilitas tungkai yang
memburuk pada satu atau lebih tungkai (gangguan hemisensori), pergeseran tak
terduga dalam kondisi mental (kebingungan, delirium, lesu, pingsan, atau koma),
aphasia (bicara cadel, kurang bicara, atau kesulitan memahami ucapan), gangguan
penglihatan monokuler atau diplopia (hemianopia), ataksia dan sakit kepala,
pusing, dan/atau mual.
Berikut ini merupakan faktor-faktor risiko penyakit stroke menurut
Mutiasari (2019) :
1) Faktor usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga merupakan faktor risiko
yang tidak dapat diubah.
2) Faktor risiko yang dapat diubah antara lain tekanan darah tinggi, merokok,
diabetes, obesitas, penggunaan alkohol, dan fibrilasi atrium.

2.1.Epidemiologi
Stroke masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan, bukan hanya di
Indonesia namun di dunia. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian kedua
dan penyebab disabilitas ketiga di dunia. Stroke menurut World Health
Organization adalah suatu keadaan dimana ditemukan tanda klinis yang
berkembang cepat berupa defisit neurologik fokal dan global, yang dapat
memberat dan berlangsung lama selama 24 jam atau lebih dan atau dapat
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
Stroke terjadi apabila pembuluh darah otak mengalami penyumbatan atau pecah
yang mengakibatkan sebagian otak tidak mendapatkan pasokan darah yang
membawa oksigen yang diperlukan sehingga mengalami kematian sel/jaringan
(Kemenkes RI, 2019).
Prevalensi stroke menurut data World Stroke Organization menunjukkan
bahwa setiap tahunnya ada 13,7 juta kasus baru stroke, dan sekitar 5,5 juta
kematian terjadi akibat penyakit stroke. Sekitar 70% penyakit stroke dan 87%
kematian dan disabilitas akibat stroke terjadi pada negara berpendapatan
rendah dan menengah (Setiawan & Barkah, 2022).
Di negara Indonesia sendiri berdasarkan hasil Rikesdas tahun 2018
prevalensi penyakit stroke meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu dari (7%)
menjadi (10,9%). Secara nasional, prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018
berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar (10,9%)
atau diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang. Berdasarkan kelompok umur
kejadian penyakit stroke terjadi lebih banyak pada kelompok umur 55-64 tahun
(33,3%) dan proporsi penderita stroke paling sedikit adalah kelompok umur 15-24
tahun. Laki-laki dan perempuan memiliki proporsi kejadian stroke yang hampir
sama. Sebagian besar penduduk yang terkena stroke memiliki pendidikan tamat
SD (29,5%). Prevalensi penyakit stroke yang tinggal di daerah perkotaan lebih
besar yaitu (63,9%) dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan sebesar
(36,1%) (Kemenkes RI, 2018).

2.2.Patofisiologi
2.2.1. Stroke Iskemik
1. Stroke iskemik (87% dari semua stroke) disebabkan oleh
pembentukan trombus lokal atau emboli yang menyumbat arteri
serebral. Aterosklerosis serebral adalah penyebab dalam banyak
kasus, tetapi 30% adalah etiologi yang tidak diketahui. Emboli timbul
baik dari arteri intra atau ekstrakranial. Sebanyak 20% stroke iskemik
muncul dari jantung.
2. Plak aterosklerotik karotis dapat pecah, mengakibatkan paparan
kolagen, agregasi trombosit, dan pembentukan trombus. Gumpalan
dapat menyebabkan oklusi lokal atau copot dan perjalanan secara
distally, akhirnya menyumbat pembuluh otak.
3. Dalam emboli kardiogenik, stasis aliran darah di atrium atau ventrikel
menyebabkan mation gumpalan lokal yang dapat terlepas dan
melakukan perjalanan melalui aorta ke sirkulasi serebral.
4. Pembentukan trombus dan emboli mengakibatkan oklusi arteri,
mengurangi aliran darah otak dan menyebabkan iskemia dan akhirnya
infark distal ke oklusi (Wells, et al., 2015).
2.2.2.Stroke Hemoragik
1. Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk perdarahan subaraknoid
(SAH), perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural. SAH dapat
diakibatkan oleh trauma atau pecahnya aneurisma intrakranial atau
malformasi arteriovenosa (AVM). Perdarahan intraserebral terjadi
ketika pembuluh darah yang pecah di dalam otak menyebabkan
hematoma. Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh trauma.
2. Darah di parenkim otak merusak jaringan di sekitarnya melalui efek
massa dan neurotoksisitas komponen darah dan produk degradasinya.
Stroke hemoragik dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial secara tiba-tiba yang menyebabkan herniasi dan kematian
(Wells, et al., 2015).

2.3.Tanda dan Gejala


Gejala stroke yang muncul dapat bersifat fisik, psikologis, atau perilaku.
Gejala fisik paling khas adalah kelemahan anggota gerak sampai kelumpuhan,
hilangnya sensasi di wajah, bibir tidak simetris, kesulitan berbicara atau pelo
(afasia), kesulitan menelan, penurunan kesadaran, nyeri kepala (vertigo), mual
muntah dan hilangnya penglihatan di satu sisi atau dapat terjadi kebutaan (Black,
Jordan Hawks, 2014).
Beberapa tanda atau gejala yang umum pada pasien stroke antara lain;
hemiparesis, kelainan sensorik sebagian sisi tubuh, hemianopia atau buta secara
tiba-tiba, diplopia, afasia, vertigo, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau
penurunan kesadaran yang berlangsung mendadak. Penggunaan istilah untuk
memudahkan dalam deteksi dibuat FAST (Facial Movement Arm Movement,
Speech, Test all three) (Jauch et al., 2013).

2.4.Pemeriksaan Laboratorium
1. Tes laboratorium untuk kondisi hiperkoagulasi harus dilakukan hanya jika
penyebabnya tidak dapat ditentukan berdasarkan adanya faktor risiko.
Protein C, protein S, dan antitrombin III paling baik diukur dalam keadaan
mapan daripada tahap akut. Antibodi antifosfolipid memiliki hasil yang
lebih tinggi tetapi harus dicadangkan untuk pasien lebih muda dari 50
tahun dan mereka yang memiliki beberapa trombus vena atau arteri
peristiwa botik atau livedo retikularis.
2. Pemindaian kepala dengan computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI) dapat mengungkapkan area perdarahan dan
infark.
3. Carotid Doppler (CD), elektrokardiogram (EKG), ekokardiogram
transthoracic
4. (TTE), dan studi Doppler transkranial (TCD) masing-masing dapat
memberikan diagnostik yang berharga informasi (Wells, et al., 2015)
2.5.Terapi Non Farmakologi
1. Stroke iskemik akut: Dekompresi bedah terkadang diperlukan untuk
mengurangi tekanan intrakranial. Pendekatan tim interprofesional yang
mencakup rehabilitasi dini dapat mengurangi kecacatan jangka panjang.
Dalam pencegahan sekunder, endarterektomi karotisektomi dan pemasangan
stent mungkin efektif dalam mengurangi kejadian dan kekambuhan stroke
pada pasien yang tepat.
2. Stroke hemoragik: Pada SAH, intervensi bedah untuk memotong atau
mengikis kelainan pembuluh darah mengurangi angka kematian akibat
perdarahan ulang. Setelah perdarahan intraserebral primer, pembedahan
evakuasi mungkin bermanfaat dalam beberapa situasi, pemasangan drain
ventrikel eksternal dengan pemantauan tekanan intrakranial umumnya
dilakukan pada pasien ini (Wells, et al., 2015)

2.6.Terapi Farmakologi
2.6.1.Stroke Iskemik
1. Rekomendasi untuk farmakoterapi stroke iskemik dapat dilihat pada
Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Farmakoterapi Stroke Iskemik

BP, blood pressure; INR, international normalized ratio


Sumber : Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition
2. Alteplase (t-PA, aktivator plasminogen jaringan) yang dimulai dalam
waktu 4,5 jam setelah timbulnya gejala dapat mengurangi kecacatan
akibat stroke iskemik. Kepatuhan terhadap protokol yang ketat sangat
penting untuk mencapai hasil yang positif, seperti :
1) Mengaktifkan tim penanganan stroke;
2) Obati sesegera mungkin dalam waktu 4,5 jam setelah serangan;
3) Melakukan CT scan untuk menyingkirkan perdarahan;
4) Memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi
Tabel 2. Kriteria Inklusi dan Ekslusi untuk Penggunaan
Alteplase Pada Stroke Iskemik Akut
Kriteria Inklusi (semua kotak YA harus dicentang
sebelum perawatan)
YA
❏ Usia ≥18 tahun
❏ Diagnosis klinis stroke iskemik yang menyebabkan defisit
neurologis yang terukur
❏ Waktu timbulnya gejala harus diketahui dengan baik <4,5
jam sebelum pengobatan akan dimulai
Kriteria Eksklusi (semua kotak TIDAK harus dicentang
sebelum perawatan)
TIDAK
❏ Bukti perdarahan intrakranial pada CT kepala yang tidak
kontras
❏ Hanya gejala stroke yang ringan atau membaik dengan
cepat kecurigaan klinis yang tinggi terhadap SAH bahkan
dengan CT normal perdarahan internal aktif (misalnya,
perdarahan saluran cerna/usus dalam waktu 21 hari)
❏ Diatesis perdarahan yang diketahui, termasuk, tetapi tidak
terbatas pada, jumlah trombosit <100.000/mm3 (<100 ×
1012/L)
❏ Pasien telah menerima heparin dalam waktu 48 jam dan
mengalami peningkatan aPTT
❏ Penggunaan antikoagulan baru-baru ini (misalnya,
warfarin) dan peningkatan PT (>15 detik)/INR
❏ Operasi intrakranial, trauma kepala yang serius, atau stroke
sebelumnya dalam waktu 3 bulan
❏ Operasi besar atau trauma serius dalam waktu 14 hari
tusukan arteri baru-baru ini di tempat yang tidak dapat
dikompres tusukan lumbal dalam waktu 7 hari
❏ Riwayat perdarahan intrakranial, AVM, atau aneurisma
❏ Kejang yang disaksikan pada saat onset stroke
❏ Infark miokard akut baru-baru ini
❏ SBP >185 mmHg atau DBP >110 mmHg pada saat
Pengobatan kriteria eksklusi tambahan jika dalam waktu
3-4,5 jam setelah onset :
❏ Usia >80 tahun
❏ Sedang menjalani pengobatan dengan antikoagulan oral
❏ Skala stroke NIH >25 (stroke berat)
❏ Riwayat stroke dan diabetes

5) Berikan alteplase 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) yang


diinfuskan secara IV selama 1 jam, dengan 10% diberikan
sebagai bolus awal selama 1 menit;
6) Hindari terapi antikoagulan dan antiplatelet selama 24 jam; dan
7) Pantau pasien secara ketat untuk mengetahui peningkatan
tekanan darah, respons, dan perdarahan.
3. Aspirin 160-325 mg/hari yang dimulai antara 24 hingga 48 jam
setelah selesai pemberian alteplase juga dapat mengurangi angka
kematian dan kecacatan jangka panjang.
4. Pencegahan sekunder stroke iskemik:
1) Gunakan terapi antiplatelet pada stroke non-kardioemboli.
Aspirin, clopidogrel, dan dipyridamole lepas lambat plus
dipyridamole lepas lambat plus aspirin adalah agen lini pertama
(lihat Tabel 1). Cilostazol juga merupakan agen lini pertama,
tetapi penggunaannya dibatasi oleh kurangnya data. Batasi
kombinasi clopidogrel dan ASA untuk memilih pasien dengan
infark miokard baru-baru ini riwayat atau stenosis intrakranial
dan hanya dengan ASA dosis sangat rendah untuk
meminimalkan risiko perdarahan.
2) Antikoagulan oral direkomendasikan untuk fibrilasi atrium dan
sumber emboli jantung yang diduga. Antagonis vitamin K
(warfarin) adalah lini pertama, tetapi antikoagulan oral lainnya
(misalnya, dabigatran) dapat direkomendasikan untuk beberapa
pasien.
5. Pengobatan tekanan darah tinggi setelah stroke iskemik mengurangi
risiko kekambuhan stroke. Pedoman pengobatan merekomendasikan
penurunan tekanan darah pada pasien stroke atau TIA setelah periode
akut (7 hari pertama).
6. Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan
penyakit arteri koroner dan peningkatan lipid plasma. Obati pasien
stroke iskemik, terlepas dari kolesterol awal, dengan terapi statin
intensitas tinggi untuk mencapai penurunan setidaknya 50% LDL
untuk pencegahan stroke sekunder.
7. Heparin dengan berat molekul rendah atau heparin tak terpecah
subkutan dosis rendah (5000 unit tiga kali sehari) direkomendasikan
untuk pencegahan trombosis vena dalam pada pasien rawat inap
dengan penurunan mobilitas akibat stroke dan harus digunakan pada
semua stroke kecuali stroke yang paling ringan (Wells, et al., 2015).

2.6.2.Stroke Hemoragik
1. Tidak ada strategi farmakologis standar untuk mengobati perdarahan
intraserebral. Ikuti panduan medis untuk mengelola tekanan darah,
peningkatan tekanan intrakranial, dan komplikasi medis lainnya pada
pasien yang sakit akut di unit perawatan neurointensif.
2. SAH akibat pecahnya aneurisma sering dikaitkan dengan iskemia
serebral yang tertunda dalam 2 minggu setelah episode perdarahan.
Vasospasme pembuluh darah otak adalah dianggap bertanggung
jawab atas iskemia yang tertunda dan terjadi antara 4 dan 21 hari
setelah pendarahan. Penghambat saluran kalsium nimodipin 60 mg
setiap 4 jam selama 21 hari, bersama dengan pemeliharaan volume
intravaskular dengan terapi pressor, adalah direkomendasikan untuk
mengurangi kejadian dan keparahan defisit neurologis yang dihasilkan
dari iskemia yang tertunda (Wells, et al., 2015).

2.7.Interaksi Obat
2.7.1.Clopidogrel
1. Clopidogrel dengan Eliquis (apixaban)
Menggunakan apixaban bersama dengan clopidogrel dapat
meningkatkan risiko perdarahan, termasuk perdarahan parah dan
kadang-kadang fatal. Bicarakanlah dengan dokter jika memiliki
pertanyaan atau masalah. Segera hubungi dokter jika mengalami
perdarahan atau memar yang tidak biasa, atau memiliki tanda-tanda
dan gejala perdarahan lain seperti pusing; tinja berwarna merah atau
hitam; batuk atau muntah darah segar atau kering yang terlihat seperti
bubuk kopi; sakit kepala parah. Penting untuk memberi tahu dokter
tentang semua obat lain yang digunakan, termasuk vitamin dan herbal.
2. Clopidogrel dengan Aspirin
Sebelum menggunakan aspirin, beri tahu dokter jika menggunakan
clopidogrel. Kombinasi ini dapat menyebabkan perdarahan yang
tidak biasa, sakit perut yang parah, kelemahan, dan munculnya tinja
hitam yang tertinggal. Penting untuk memberi tahu dokter tentang
semua obat lain yang digunakan, termasuk vitamin dan herbal.
Jangan berhenti menggunakan obat apa pun tanpa terlebih dahulu
berbicara dengan dokter.

3. Clopidogrel dengan Lipitor (Atorvastatin)


Bicaralah dengan dokter sebelum menggunakan atorvastatin dan
clopidogrel. Kombinasi ini dapat mengurangi efek clopidogrel.
Hubungi dokter segera jika anda memiliki tanda-tanda pembekuan
darah seperti nyeri dada, sesak napas, kehilangan penglihatan tiba-
tiba, atau rasa sakit, kemerahan atau pembengkakan pada
ekstremitas. Anda mungkin memerlukan penyesuaian dosis atau tes
khusus jika anda mengambil kedua obat. Penting bagi anda untuk
memberi tahu penyedia layanan kesehatan anda tentang semua obat
lain yang anda gunakan termasuk vitamin dan herbal. Jangan
berhenti menggunakan obat-obatan anda tanpa terlebih dahulu
berbicara dengan dokter.
BAB 3
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian kedua dan penyebab
disabilitas ketiga di dunia. Sekitar 70% penyakit stroke dan 87% kematian
dan disabilitas akibat stroke terjadi pada negara berpendapatan rendah dan
menengah. Secara nasional, prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018
berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun (10,9%)
atau diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang.
2. Patofisiologi pada stroke iskemik (87% dari semua stroke) disebabkan
oleh pembentukan trombus lokal atau emboli yang menyumbat arteri
serebral. Aterosklerosis serebral adalah penyebab dalam banyak kasus,
tetapi 30% adalah etiologi yang tidak diketahui. Emboli timbul baik dari
arteri intra atau ekstrakranial. Sebanyak 20% stroke iskemik
muncul dari jantung. Pada Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk
perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural.
Perdarahan subaraknoid dapat disebabkan oleh trauma atau pecahnya
aneurisma intrakranial atau malformasi arteriovenosa. Perdarahan
intraserebral terjadi ketika pembuluh darah yang pecah di dalam otak
menyebabkan hematoma. Hematoma subdural biasanya
disebabkan oleh trauma.
3. Beberapa tanda atau gejala yang umum pada pasien stroke antara lain;
hemiparesis, kelainan sensorik sebagian sisi tubuh, hemianopia atau buta
secara tibatiba, diplopia, afasia, vertigo, disfagia, disatria, ataksia, kejang
atau penurunan kesadaran yang berlangsung mendadak. Penggunaan
istilah untuk memudahkan dalam deteksi dibuat FAST (Facial Movement
Arm Movement, Speech, Test all three)
5. Tes laboratorium untuk kondisi hiperkoagulasi harus dilakukan hanya jika
penyebabnya tidak dapat ditentukan berdasarkan adanya faktor risiko.
Antibodi antifosfolipid memiliki hasil yang lebih tinggi tetapi harus
dicadangkan untuk pasien lebih muda dari 50 tahun dan mereka yang
memiliki beberapa trombus vena atau arteri peristiwa botik atau livedo
retikularis. Pemindaian kepala dengan computed tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI) dapat mengungkapkan area
perdarahan dan infark. Carotid Doppler (CD), elektrokardiogram (EKG),
ekokardiogram transthoracic (TTE), dan studi Doppler transkranial (TCD).
6. Dalam pencegahan stroke iskemik akut, endarterektomi karotisektomi dan
pemasangan stent mungkin efektif dalam mengurangi kejadian dan
kekambuhan stroke pada pasien yang tepat. Sedangkan pada stroke
hemoragik pemasangan drain ventrikel eksternal dengan pemantauan
tekanan intrakranial umumnya dilakukan pada pasien ini.
7. Alteplase (t-PA, aktivator plasminogen jaringan) yang dimulai dalam
waktu 4,5 jam setelah timbulnya gejala dapat mengurangi kecacatan akibat
stroke iskemik. Kepatuhan terhadap protokol yang ketat sangat penting
untuk mencapai hasil yang positif. Aspirin 160-325 mg/hari yang dimulai
antara 24 hingga 48 jam setelah selesai pemberian alteplase juga dapat
mengurangi angka kematian dan kecacatan jangka panjang.
Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan penyakit
arteri koroner dan peningkatan lipid plasma, Heparin dengan berat
molekul rendah atau heparin tak terpecah subkutan dosis rendah (5000 unit
tiga kali sehari) direkomendasikan untuk pencegahan trombosis vena
dalam pada
DAFTAR PUSTAKA
Joyce M. Black & Jane Hokanson Hawks., 2014. Keperawatan Medikal
Bedah, Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan, Edisi 8
Buku 3. Elsevier Singapure Pte.Ltd.

Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:


Balitbang Kemenkes RI.

Heriyanto, Hendri., & Anna, Anastasia. (2015). Perbedaan Kekuatan Otot


Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan (Mirror Therapy) Pada
Pasien Stroke Iskemik Dengan Hemiparesis Di Rsup Dr.Hasan
Sadikin Bandung. Jurnal Keperawatan Respati.

Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and


Prevention. Medika Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran, 1(2), 36–
44.

Hariyanti, T., Pitoyo, A. Z., & Rezkiah, F. (2020). Mengenal Stroke


Dengan Cepat (W.Mardisantoso(ed.);1sted.).

Yueniwati, Y. (2016b) ‘Memahami Stroke Iskemia’, in Erlangga, R. (ed.)


Pencitraan pada Stroke. Malang: Universitas Brawijaya Press, pp.
13–21.

Gofir, A. (2021). TATALAKSANA STROKE DAN PENYAKIT


VASKULER LAIN (Yuni(ed.);1sted.).

Mutiasari D. Ischemic stroke: symtomps, risk factors, and prevention.


Jurnal Ilmiah Kedokteran 2019. Medika Tadulako. 2019;6(1):1-14.
Kementrian kesehatan RI. 2019. Yuk, Mengenal Apa itu Stroke. diunduh
dari http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stroke/yuk-
mengenal-apa-itu-stroke

Setiawan, D., & Barkah, A. . (2022). Hubungan Dukungan Keluarga


Terhadap Motivasi Pasien Pasca Stroke Dalam Melakukan Latihan
Fisioterapi di Rs. Sukmul Sisma Medika Jakarta Utara Tahun
2022. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(3), 1707–1715.

Kementrian kesehatan RI. 2018. Apa saja Gejala Stroke ?.


http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic/apa-saja-gejala-stroke

Fagan, C.S., and Hess, C.D., 2005, Stroke, dalam Joseph T, Dipiro.,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 417, 419, 423,
McGRAW-HILL Medical Publishing Divisio

Anda mungkin juga menyukai