Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Khomeini

Khomeini dilahirkan pada tanggal 24 Oktober 1902 di Khomein, sebuah Desa


kecil di dekat Isfahan, Iran Tengah. Ayah Khomeini, Sayyid Mustafa Musawi, adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Imam Ketujuh Syi‟ah, yaitu Musaal
Khazim. Sementara ibunya adalah anak Ayatullah Mizra Ahmad, seorang teolog
terkenal yang disegani. Ayatullah Sayyid Mustafa/ayah Khomeini, adalah penentang
rezim tirani dinasti Qajar. Ayahnya meninggal dibunuh oleh agen rahasia penguasa
Qajar pada tahun 1903, persis ketika umur Khomeini masih tujuh bulan. Ia lalu diasuh
oleh abangnya tertua yang bernama Morteza Bersama ibunya. Namun, pada usia
enam belas tahun Khomeini, ibunya meninggal. Ia pun besar sebagai anak muda yang
serius, banyak merenung, bahkan menyendiri di padang pasir di dekat tempat
kediamannya. Sebagai seorang Syi’ah, Khomeini hidup dan besar dalam tradisi
keagamaan Syi’ah. Masa kecil dan remajanya dilalui dengan belajar agama, bahasa
Arab, syair-syair Persia, menghafal ayat-ayat Al-Quran, dan sejarah.

Khomeini adalah seorang marja dalam dua belas islam syiah. Beliau juga
sebagai seorang mujtahid atau fakih sekaligus penulis lebih dari 40 buku. Disisi lain,
aktivitas kehidupan dalam politiknya yang membuat Khomeini dikenal oleh dunia.
Karena Khomeini adalah pemimpin Agung Iran dan salah satu Marja Syiah dan
merupakan tokoh yang memimpin revolusi Iran.

Dalam sejarahnya sejak kecil Khomeini termotivasi untuk menghancurkan


kekuasaan Reza Pahlevi, karena pahit dan duka perjuangan para Imam Syi’ah dalam
menegakkan kebenaran dan menentang kebatilan begitu membekas dalam pemikiran
Khomeini, sehingga menjadi motivasi baginya kelak ketika menggerakkan revolusi
menghancurkan kekuasaan Reza Pahlevi

2.2 Pemikiran Politik Khomeini

Ayatullah Ruhullah Khomeini, adalah salah satu tokoh yang paling menonjol
dalam sejarah. Namun kebanyakan orang sebenarnya kurang mengenal beliau dari
yang mereka sangka. Nama dan citra beliau, dan segelintir fakta mendasar tentang
kehidupan dan karya beliau sangat tidak asing, bisa begitu cepat dikenali sedemikian
rupa sehingga perhatian terhadap kehidupan dan karya beliau sepertinya berlebihan.
Kendati begitu sesungguhnya beliau adalah tokoh yang paling disalah pahami dan
disalahartikan dalam kurun akhir-akhir ini. Hal itu terjadi lantaran citra dan kesan
tentang beliau dalam benak orang sebagian besar dihasilkan dan didorong oleh media
internasional yang didominasi Barat. Padahal bagi media semacam ini, beliau adalah
sosok yang dibenci pasca-Revolusi Iran pada 1978-1979.

Pemikiran pokok Imam Khomeini adalah keyakinan keyakinan pada perlunya


pemerintahan Islam di zaman gaibnya Imam Mahdi. Ia, pertama sekali, memandang
Imam sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, yang fungsinya adalah menerapkan
hukum-hukum Ilahiah dan bukan saja menjelaskannya seperti yang dipahami oleh
interpretasi tradisional. Setelah gaibnya Imam kedua belas ini, semua tanggung jawab
dan kekuasaan lain Nabi berpindah ke ulama, dengan pengecualian hak istimewa
wahyu Ilahiah.

Namun, seperti diamati oleh Hamid Enayat, kontribusi paling berani


Khomeini untuk wacana modern mengenai negara Islam adalah penegasannya bahwa
esensi negara seperti itu bukanlah konstitusinya, pada kenyataannya bukan juga
komitmen penguasanya untuk mengikuti syariah, namun kualitas khusus
pemimpinnya. Khomeini beranggapan bahwa kualitas khusus ini hanya dapat
dipenuhi oleh faqih.

Menurut Prof. Richard Falk dari Universitas Princeton, ketua dari US People’s
Committee on Iran, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat
Amerika yang mengenai bahayanya campur tangan Amerika Serikat di Iran.10 Dia
menarik perbedaan yang tajam antara republik Islam yang berdasarkan tradisi Islam
Syi‟ah seperti yang terdapat di Iran dan sistem pemerintahan Islam seperti yang
terdapat di Pakistan, Arab Saudi dan Libya yang dianggapnya tidak terlalu positif.

Tujuan gerakan Khomeini adalah menurut keadilan sosial, pembagian


kekayaan yang adil, ekonomi yang produktif yang berdasarkan pada kebutuhan
nasional dan gaya hidup sederhana, serta pemberantasan korupsi yang akan
mengurangi jurang perbedaan antara kaya dan miskin, antara memerintah dan yang
diperintah. Akan tetapi Khomeini menekankan bahwa rakyat, demokratis dalm arti
ada pemilihan umum, dewan perwakilan rakyat, dan sebagainya.
Sejalan dengan tradisi Syi‟ah, Khomeini menekankanpentingnya ulama
mengambil alih peran ini. Ulama wajib berjuangmelawan penindas yang merupakan
pengkhianat dan agen-agenimperialisme asing dan tidak boleh membiarkan
masyarakatnyatetap dalam kelaparan dan kehilangan, sementara para
penindasmerampas sumber-sumber kekayaan dan hidup dalam kemewahan.Ulama
inilah yang dalam bahasa Khomeini di atas sebagai manusiayang sebenarnya. Ulama
tidak boleh berdiam diri terhadap keadaandemikian. Ulama harus bangkit
menggerakan masyarakat merebuthak-hak mereka kembali dan membebaskan tanah
mereka dari penjajahan Barat serta kesewenang-wenangan pemerintahan boneka
Barat.

Khomeini menjelaskan beberapa argumentasi mengapa ulama memegang


peranan penting dalam kepemimpinan ini. Pertama, manusia tidak akan dapat
menjaga dirinya agar tetap berjalan pada ajaran-Nya, kalau pemimpin yang dapat
dipercaya bisa melindungi mereka tidak ditunjuk untuk mereka. Akan terjadi
penindasan satu orang atau kelompok atas orang atau kelompok lain. Kedua, tidak ada
satu pun kelompok, masyarakat atau bangsa yang religius yang dapat berdiri sendiri
tanpa adanya seorangpemimpin yang terpercaya yang menjaga hukum-hukum
Allahdalam masalah agama dan dunia. Mustahil Allah membiarkanmanusia tanpa
pemimpin yang adil, yang akan melawanmenghancurkan musuh-musuh mereka.
Ketiga, kalau Allah tidakmenunjuk seorang imam atas manusia untuk menegakkan
hukumdan tatanan masyarakat, maka agama Islam akan menjadi using danhancur.
Akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ajaranIslam yang sebenarnya yang
dilakukan oleh pembuat bid‟ah (ahl al-bida’). Allah telah menetapkan bahwa manusia
harus menjalani hidup dengan keadilan dan bertindak dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh hukum-hukum Allah. Ini membawa konsekuensi bahwa keberadaan
seorang imam yang terpercaya dan yang memelihara institusi serta hukum Islam
adalah sebuah kebutuhan.

Keberadaan wilayah al-faqih atau kekuasaan politik ulama dalam pandangan


Imam Khomeini adalah atas dasar penunjukan. Tidak ada beda antara wilayah al-faqih
ini dengan wilayah pada Nabi Muhammad SAW dan para Imam. Semuanya sama-
sama menegakkan pemerintahan yang telah disyariatkan Allah. Menurut Imam
Khomeini, tugas wilayah al-faqih ini bisa jadi dilaksanakan secara individu maupun
kolektif. Kalau salah seorang di antara ulama tersebut ada yang memiliki kemampuan
yang paling menonjol dari seluruh ulama, maka ia sendiri wajib ‘ain
melaksanakannya. Sebaliknya, kalau tidak ada yang bisa sendirian, maka secara
bersama-sama mereka wajib mendirikan kekuasaan wilayah al-faqih ini.

2.3 Hubungan Agama dan Kekuasaan Menurut Khomeini

Menurut Imam Khomeini, hubungan antara agama dan kekuasaan adalah


fundamental dalam membangun negara. Konsep yang ditekankan adalah Wilayah Al -
Faqih, di mana seorang faqih atau pemimpin spiritual Islam memegang kendali politik
dan agama, mengatur negara menurut prinsip-prinsip Islam.

Wilayah al-Faqih (kepemimpinan ulama) memiliki arti suatu hubungan yang


khas antara seorang manusia dengan Allah Swt. Dalam perspektif Syi’ah istilah
Wiyalah dapat diartikan seseorang yang diberikan amanah atau mandat. Sementara
secara bahasa, berasal dari bahasa Arab yakni ‘Wilayat’ dari bentuk kata ‘Waliyun’,
yang artinya dekat dan mempunyai kekuasaan atas suatu posisi (jabatan) tertentu.
Secara teknis, Wilayah memiliki arti kepemimpinan, pemerintahan, kedaulatan, atau
supermasi. Namun, dalam pengertian lain Wilayah/Wala’ diterjemahkan juga sebagai
kesetiaan, persahabatan, perwalian, atau kesucian. Dalam konteks ini, Wilayah berarti
kesetiaan pada pemerintahan Imam serta mengakui hak imam untuk memerintah
(Abdullah, 2002).

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan


(Wilayah) dalam perspektif Syi’ah, ialah untuk menjalankan tugas kepemerintahannya
harus memenuhi syarat-syarat dan kriteria tertentu, terutama dalam hal kesalehan,
keilmuan, kepemimpinan, dan memiliki derajat yang tinggi, dengan begitu orang
tersebut harus menjadi Faqih (ulama).

Menurut Khomeini seorang Faqih, harus melaksanakan tugasnya dalam


pemerintahan sebagaimana Nabi Muhammad Saw memimpin umat Islam generasi
pertama. Seorang Faqih, tidak boleh bertindak atau membuat kebijakan yang
bertentangan dengan syari’at Islam, apalagi berbuat menguasai masyarakat dan
mengabaikan perintah Allah Swt. Sebagaimana Nabi dan Imam, seorang Faqih juga
merupakan pelaksana yang menjalankan kehendak dan perintah Allah di muka bumi.
Oleh karena itu, kekuasaan yang dimiliki seorang Faqih sama besarnya dengan
kekuasaan Nabi Muhammad Saw. Namun, dalam statusnya ia tetap berbeda dengan
status Rasulullah dan Imam (Khomeini, 1981).
Jika merujuk pada filsafat politik Syi’ah, penegakan pemerintahan adalah
suatu kewajiban dalam agama, karena konsep Wilayah dan Imamah juga ada dalam
ajaran Syi’ah. Konsep tersebut, kemudian diinterpretasikan ulang secara kontekstual
oleh Khomeini, menjadi Wilayah al-Faqih (Al- Hadar, 2014). Dalam perspektif
Syi’ah, konsep imam yang ideal ialah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat suci
al-Qur’an, yang kemudian ciri-cirinya diinterpretasikan dalam teori politik Imamah
atau Khalifah.

Dalam beberapa hal konsep Wilayah al-Faqih ini, merupakan lanjutan dari
doktrin Imamah, karena di dalamnya ia menjalankan fungsi-fungsi dari pemerintahan
Imam. Namun perbedaannya ialah, jika Imam dipilih langsung oleh Tuhan, maka
dalam konsep ini unsur perwakilan dipilih oleh rakyat. Teori Wilayah al-Faqih ini,
adalah inti dari pemikiran Khomeini mengenai konsep Negara Islam. Konsep ini
menghendaki Ulama untuk memiliki otoritas tertinggi dalam pemerintahan serta dapat
menjalankan tugasnya sebagaimana dalam pemerintahannya Nabi. Sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi, Faqih mempunyai tanggung jawab dalam meneruskan misi
kenabian, seperti tugas yang para Imam. Oleh karena itu, secara politis tugas Faqih
ialah untuk mengawal jalannya pemerintahan agar dapat berjalan dengan baik dan
adil, sesuai hokum Allah. Dengan begitu, maka dalam pemerintahan Wilayah al-Faqih
tidak mengenal pemesihan antara agama dan politik. Karena, secara subtansi
keduanya memiliki maksud dan tujuan yang sama, yakni mewujudkan tatanan
kehidupan yang adil dan sesuai hukum Allah (Tamara, 1980).

Konsep Wilayah al-Faqih adalah hasil reinterpretasi Ayatullah Khomeini atas


sistem politik Islam yang telah dibangun Rasulullah, yang kemudian dilanjutkan para
Imam hingga Imam Mahdi. Pasca Imam Mahdi mengalami ghaibah kubra, tak ada
lagi sosok imam atau pun wakil definitive imam di muka bumi. Oleh karena itu,
menurut Khomeini perlu sebuah interpretasi atas sistem politik Islam, untuk menjadi
konsep politik di dunia Islam selama masa keghaiban sosok imam atas krisisnya
kepemimpinan. Wilayah al-Faqih adalah konsep yang diperoleh melalui renungan dan
interpretasi atas konsep pemerintahan Rasululluah di Madinah dan konsep Imamah.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 Konstitusi Iran 1979, dijelaskan


bahwa selama Imam Mahdi dalam masa keghaiban, maka yang memegang
pemerintahan dan kepemimpinan negara adalah Faqih yang adil, alim, paham akan
situasi zamannya, memiliki kemampuan adminitrasi yang baik, bijak, berani dan
diterima oleh masyarakat. Ulama tersebut kemudian disebut Faqih.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Ayatullah Khomeini lahir di Khomein, Iran, pada tanggal 24 Oktober 1902.


Kehilangan ayahnya pada usia yang sangat muda dan kemudian ibunya saat remaja,
serta masa remajanya yang penuh renungan, membentuk pemikirannya. Sebagai
seorang ulama Syiah yang dihormati secara luas, Khomeini menjadi marja dan
mujtahid, serta menulis lebih dari 40 buku tentang berbagai topik keagamaan dan
politik. Aktivitas politiknya, terutama dalam memimpin Revolusi Iran, membuatnya
dikenal di seluruh dunia. Motivasinya untuk menggulingkan kekuasaan Reza Pahlevi
didorong oleh pengalaman pahit umat Syiah yang telah mengilhami perjuangan
semangatnya sejak kecil.

Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah seorang tokoh kuat pemerintahan Islam,


keadilan sosial, serta memiliki keyakinan yang dalam akan peran ulama dalam
memerangi penindasan dan menjaga hukum Allah dalam masyarakat. Selain itu, ia
menekankan pentingnya posisi wilayah al-faqih atau kekuasaan politik ulama dalam
menjaga ketertiban dan menyelaraskan pemerintahan yang disyariatkan oleh Allah.

Imam Khomeini menyampaikan konsep Wilayah Al-Faqih, di mana seorang


faqih atau pemimpin spiritual Islam memegang kendali politik dan agama, mengatur
negara sesuai prinsip-prinsip Islam. Menurut Khomeini, seorang Faqih harus
memenuhi syarat kesalehan, keilmuan, kepemimpinan, dan memiliki derajat yang
tinggi. Arah kepemerintahan seorang Faqih harus sejalan dengan syariat Islam dan
bertujuan untuk mewujudkan kesetiaan pada pemerintahan Imam serta memastikan
keadilan sesuai hukum Allah. Konsep ini dianggap sebagai lanjutan dari doktrin
Imamah, namun dengan unsur perwakilan dipilih oleh rakyat. Selama masa keghaiban
Imam Mahdi, menurut Khomeini, Faqih yang adil, alim, paham akan situasi
zamannya, memiliki kemampuan administrasi yang baik, bijak, berani, dan diterima
oleh masyarakat, yang dipilih untuk memegang pemerintahan dan kepemimpinan
negara.

3.2 Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan terkait


dengan Hubungan Agama dan Kekuasaan Menurut Pemikir Khomeini khususnya bagi
pembaca dan penulis bias mengerti dan memahami bagaimana tentang materi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hadar, H. J. (2014). Filsafat Politik Wilayah Al-Faqih. Mizan. Vol. 2 No.2 , 96


Anis, M. (2013). Islam dan Demokratis dalam Perspektif Wilayah Al-Faqih.
Bandung: Al-Mizan.
Black, A. (2006). Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, terj. Ali & Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi.
Fadoil, M. H. (2016). Konsep Pemerintahan Religius dan Demokrasi menurut Abdul Karim

Sorous Ayatullah Khomeini. Jurnal hukum dan perbandingan Islam .

Anda mungkin juga menyukai