Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TAFSIR AYAT PERMASALAHAN EKONOMI


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir Hukum Ekonomi
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Mundakir, M.Ag.

Disusun Oleh : Kelompok 2


1. Achmad Nur Faiz (2320210001)
2. Dickha Achmad Fachriza (2320210005)
3. Birrel Abwaeni Salsabila (2320210020)
4. Ita’ Alya Rosyadi (2320210022)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Tafsir Ayat Permasalahan Ekonomi”. Tidak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. H. Mundakir, M.Ag. Selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hukum Ekonomi.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Tafsir Hukum Ekonomi, serta
telah disusun atas referensi dari beberapa buku dan berbagai jurnal sehingga memperlancar
pembuatan makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan. Kami juga menyadari bahwa di makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya saran, kritik, dan
usulan demi perbaikan makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Demikian makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini dan tak lepas dari keterbatasan ilmu pengetahuan yang
kami miliki. Maka dari itu, kami tetap menerima kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhir kata,
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Kudus, 5 Maret 2024

Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 2


Daftar Isi ......................................................................................................................................... 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................................... 4
BAB II............................................................................................................................................. 5
A. Ayat-Ayat Al-Qur’an ............................................................................................................ 5
B. Tafsir lafadz ......................................................................................................................... 6
C. Tafsir Ayat-ayat .................................................................................................................... 7
D. Simpulan dan konsep ayat ..................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk otonom, pribadi yang tersusun dari kesatuan harmoni jiwa raga
dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Manusia lahir dalam keadaan serba misterius.
Sulit untuk diketahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya. Hal yang pasti adalah
manusia dilahirkan dan ia sadar akan tujuan hidupnya bahwa ia akan Kembali kepada tuhan.
Segala potensi terhadap dirinyapun ditentukan secara mutlak oleh pencipta. Manusia tidak
dapat berbuat sesuatupun terhadap sang pencipta, kecuali dengan berdoa dan pasrah akan
takdir-Nya. Sebagai makhluk ekonomi, manusia selalu menghadapi permasalahan ekonomi,
mulai dari kebutuhan yang jumlahnya tidak terbatas hingga alat pemuas kebutuhan manusia
yang jumlahnya terbatas. Untuk itu manusia perlu melakukan tindakan ekonomi.
Dalam kegiatan ekonomi tersebut tentunya tidak luput dari permasalahan, baik yang
permasalahan yang timbul dari perseorangan ataupun sumber daya nya. Untuk mengatasi
problematika tersebut seorang muslim haruslah memiliki pegangan etika yang kuat sehingga
kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar dengan tidak merugikan diri sendiri maupun pihak lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tafsir qur’an surat Al Qasas ayat 77?
2. Bagaimana tafsir qur’an surat Al Jumuah ayat 10 dan 11?
3. Bagaimana tafsir qur’an surat At Taubah ayat 24?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana solusi dari permasalahan ekonomi pada surat Al Qasas Ayat
77.
2. Untuk mengetahui bagaimana solusi dari permasalahan ekonomi pada surat Al Jumuah
ayat 10 dan 11.
3. Untuk mengetahui bagaimana solusi dari permasalahan ekonomi pada surat At Taubah ayat
24.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat-Ayat Al-Qur’an
• Al-Qashas 77

‫ض ۖ إِ هن ه‬
َ‫ٱَّلل‬ َ َ‫ٱَّللُ إِلَيْكَ ۖ َو ََل تَبْغِ ْٱلف‬
ِ ‫سادَ فِى ْٱْل َ ْر‬ ‫سنَ ه‬َ ‫َصيبَكَ مِ نَ ٱلدُّ ْنيَا ۖ َوأَ ْحسِن َك َما ٓ أ َ ْح‬ َ ‫ٱل َءاخِ َرة َ ۖ َو ََل ت‬
ِ ‫َنس ن‬ ْ ‫هار‬ ‫َوٱ ْبت َغِ فِي َما ٓ َءات َ ٰىكَ ه‬
َ ‫ٱَّللُ ٱلد‬
َ‫ََل يُحِ بُّ ْٱل ُم ْف ِسدِين‬
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

• Al-Jumuah ayat 10-11

‫ َوإِذَا َرأَ ْو ۟ا تِ ٰ َج َرةً أَ ْو لَ ْه ًوا‬10 َ‫ِيرا لهعَله ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬


ً ‫ٱَّلل َكث‬
َ ‫وا ه‬ ۟ ‫ٱَّلل َوٱذْ ُك ُر‬ ْ َ‫وا مِ ن ف‬
ِ ‫ض ِل ه‬ ۟ ُ‫ض َوٱ ْبتَغ‬ ۟ ‫صلَ ٰوة ُ فَٱنتَش ُِر‬
ِ ‫وا فِى ْٱْل َ ْر‬ ‫ت ٱل ه‬ ِ َ‫ضي‬ ِ ُ‫فَإِذَا ق‬
11 َ‫ٱلر ِزقِين‬ ‫ٱَّللُ َخي ُْر ٰ ه‬ ِ ‫ٱنفَض ُّٓو ۟ا ِإلَ ْي َها َوت ََر ُكوكَ قَا ٓ ِئ ًما ۚ قُ ْل َما عِندَ ه‬
ِ َ‫ٱَّلل َخي ٌْر ِمنَ ٱلله ْه ِو َومِ ن‬
‫ٱلت ٰ َج َر ِة ۚ َو ه‬

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (10) Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa
yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik
Pemberi rezeki. (11)

• At taubah 24

‫ض ْونَ َها ٓ أَ َحبه‬ َ ‫ِيرت ُ ُك ْم َوأ َ ْم ٰ َو ٌل ٱ ْقت ََر ْفت ُ ُموهَا َوتِ ٰ َج َرة ٌ ت َ ْخش َْونَ َك‬
َ ٰ ‫سادَهَا َو َم‬
َ ‫س ِكنُ ت َْر‬ َ ‫قُ ْل ِإن َكانَ َءا َبا ٓ ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ٓ ُؤ ُك ْم َو ِإ ْخ ٰ َونُ ُك ْم َوأ َ ْز ٰ َو ُج ُك ْم َو‬
َ ‫عش‬
ٰ ْ ْ َ ْ ۟ ‫ص‬ ِ ‫ِإلَ ْي ُكم ِمنَ ه‬
َ‫ٱَّللُ ََل يَ ْه ِدى ٱلقَ ْو َم ٱلفَ ِسقِين‬
‫ٱَّللُ ِبأ ْم ِرِۦه ۗ َو ه‬ ‫ِى ه‬ َ ‫وا َحت ه ٰى يَأت‬ ُ ‫س ِبي ِلِۦه فَت ََربه‬ َ ‫سو ِلِۦه َو ِج َها ٍد فِى‬ ُ ‫ٱَّلل َو َر‬
Artinya: Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
B. Tafsir lafadz

1. Al-Qashas 77

• ْ ‫هار‬
َ‫ٱل َءاخِ َرة‬ ‫ َوٱ ْبت َِغ فِي َما ٓ َءات َ ٰىكَ ه‬: Kalimat ini mengandung perintah untuk mempergunakan
َ ‫ٱَّللُ ٱلد‬
segala karunia atau pemberian Allah SWT untuk mengejar akhirat dengan segala
nikmatnya. Seperti nikmat kekuatan untuk kita bekerja, yang tentunya halal dan dengan
niat yang baik.

• ِ ‫ َوإِن تَعُدُّوا نِ ْع َمةَ ه‬: Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu
ُ ْ‫َّللا ََل تُح‬
‫صوهَا‬
tidak dapat menentukan jumlahnnya.

• ‫ وَل تنس نصيبك‬: Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah (vol.9, hlm. 665) frasa
lafadz ini merupakan larangan melupakan atau mengabaikan bagian seseorang dari
kenikmatan duniawi. Larangan ini dipahami oleh ulama bukan dalam arti haram
mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya). Sedangkan
menurut Ibn ‘Asyur, lanjut Shihab, memahami frasa di atas dalam arti bahwa Allah tidak
mengecam seseorang jika orang tersebut mengambil bagiannya dari kenikmatan duniawi
selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi. Adapun
Thabathaba’i memahami penggalan ayat ini dalam arti jangan sampai kita mengabaikan
apa yang dibagi dan dianugrahkan Allah kepada kita dari kenikmatan duniawi dan
gunakanlah hal itu untuk kepentingan akhirat kita sebagai bekal untuk kehidupan
akhirat yang kekal. Berbeda dari lafadz diatas, memang benar akhirat lebih baik dari
kehidupan dunia. Kejarlah pada setiap yang Allah berikan kepadamu surga dan janganlah
kamu sia-siakan umurmu didunia sehingga kamu tidak mengisinya dengan perbuatan yang
tidak mendatangkan kenikmatan bagimu diakhirat.

2. Al-Jumuah 10

• ‫ض ِل ه‬
ِ‫ٱَّلل‬ ۟ ُ‫ َوٱ ْبتَغ‬: Kalimat ini mengandung tafsir yang menegaskan pentingnya etos kerja
ْ َ‫وا مِ ن ف‬
yang baik. Bekerja harus disertai dengan niat yang baik dan mengingat Allah SWT serta
bersyukur atas rezeki yang didapatkan.
• ۟ ‫ فَٱنتَش ُِر‬: Yang berarti bertebaranlah. Dalam kata ini mempunyai makna bertebaran untuk
‫وا‬
mencari karunia Allah. Adanya seruan untuk melaksanakan sholat jumat dan
meninggalkan urusan duniawi terlebih dahulu, kemudian setelah sholat di persilahkanan
untuk melakukan kegiatan duniawi merupakan keterangan yang jelas bahwa diwajibkan
bagi seseorang untuk menyeimbangkan diri antara urusan duniawi dan ukhrawi.1

3. At-Taubah 24

1
Ad-Dimasyqi, Al-Qur’an al Adzim, 2000, Jilid XIII:1873
• ‫ أحب‬: Pada lafadz ini bermakna lebih cinta. Maksudnya, jika dunia lebih engkau –
Muhammad dan pengikutnya – cintai daripada Allah swt dan rasul-Nya, maka tunggulah
keputusan dari-Nya. Frasa ini sebenarnya merupakan bentuk peringatan agar tidak cinta
dunia secara berlebihan. Dalam konteks ini, yang semestinya terjadi adalah
didahulukannya nilai-nilai Ilahi dibandingkan nikmat duniawi2. Dalam lafadz ini kita
diharuskan mampu memanejemen atau memprioritaskan jihad fisabilillah diatas kecintaan
terhadap hal duniawi, seperti berusaha keras untuk menaikkan taraf hidup dengan
mengedepankan kejujuran dan keadilan.
• ‫ٱَّللُ ِبأ َ ْم ِرِۦه‬ ْ ۟ ‫ص‬
‫ِى ه‬ َ ‫وا َحت ه ٰى يَأت‬ ُ ‫ فَت ََربه‬: Lafadz ini mengingatkan kita bahwa cepat atau lambat hukuman
Allah itu akan datang. Kesadaran akan hal ini akan memotivasi kita untuk selalu
berperilaku baik dalam bermuamalah bahwa Allah maha melihat segala perbuatan kita.

C. Tafsir Ayat-ayat

1. Al-Qashas 77
Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menafsirkan ayat ini agar kita selalu
menggunakan harta dan nikmat sebagai bekal bentuk ketaatan dan untuk mendekatkan diri
kepada Allah dengan mengerjakan berbagai macam kebaikan agar mendapat pahala di
dunia dan kebaikan diakhirat. Diperbolehkan kepada kita oleh Allah untuk makan, minum,
pakaian, rumah dan nikah. Sebab kita punya kewajiban terhadap Tuhan, diri sendiri, dan
keluarga kita. Maka penuhilah kewajiban tersebut. Serta anjuran berbuat baik kepada
sesama makhluk sebagaimana Allah berbuat baik kepada kita. Janganlah engkau
berkeinginan untuk berbuat kerusakan dimuka bumi dan jangan pula berbuat jahat kepada
ciptaan-Nya.3
Pada ayat ini, Allah menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk yang
ditujukan kepada Karun oleh kaumnya. Orang yang mengamalkan nasihat dan petunjuk itu
akan memperoleh kesejahteraan di dunia dan akhirat.
1. Orang yang dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah ruah, perbendaharaan
harta yang bertumpuk- tumpuk, serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan
di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk
memperoleh pahala sebanyak- banyaknya di dunia dan akhirat. Sabda Nabi saw:

ُ ‫سقَمِ كَ َو ِغنَاكَ قَ ْب َل فَ ْق ِركَ َوفَ َراغَكَ قَ ْب َل‬


َ‫ش ْغلِكَ َو َحيَاتَك‬ َ ‫صحْ تَكَ قَ ْب َل‬
ِ ‫شبَابَكَ قَ ْب َل ه ََر مِ كَ َو‬
َ ‫سا قَ ْب َل َخ ْم ٍس‬
ً ‫ا ْعتَنِ ْم َخ ْم‬
)‫قَ ْب َل َم ْوتِكَ ( رواه البيهقي عن ابن عباس‬

Artinya: Manfaatkan yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu
sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu
senggangmu sebelum kesibukanmu dan hidupmu sebelum matimu. (Riwayat al-
Baihaqī dari Ibnu 'Abbās)

2
Tafsir al-Misbah [5]: 560
3
Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 10, hlm. 482
2. Setiap orang dipersilakan untuk tidak meninggalkan sama sekali kesenangan
dunia baik berupa makanan, minuman, pakaian, serta kesenangan-kesenangan yang
lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah. Baik
Allah, diri sendiri, maupun keluarga, mempunyai hak atas seseorang yang harus
dilaksanakannya. Sabda Nabi Muhammad:

‫ئ َي ْخشَى أ َ ْن َي ُم ْوتَ غَدا ً ( رواه البيهقي عن ابن‬


ٍ ‫ َوا ْحذَ ْر َحذْرا ً ا ْم ِر‬،ً‫ظ ُّن أ َ ْن لَ ْن َي ُم ْوتَ أَ َبدا‬
ُ ‫ئ َي‬ َ ‫ا ْع َم ْل‬
ٍ ‫ع َم َل ا ْم ِر‬
)‫عمر‬

Artinya: Kerjakanlah seperti kerjanya orang yang mengira akan hidup selamanya. Dan
waspadalah seperti akan mati besok. (Riwayat al-Baihaqī dari Ibnu 'Umar)
3. Setiap orang harus berbuat baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya, misalnya
membantu orang- orang yang memerlukan, menyambung tali silaturrahim, dan lain
sebagainya.

4. Setiap orang dilarang berbuat kerusakan di atas bumi, dan berbuat jahat kepada
sesama makhluk, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Nasihat di atas tidak berarti seseorang hanya boleh beribadah murni (mahdah) dan
melarang memperhatikan dunia. Berusahalah sekuat tenaga dan pikiran untuk memperoleh
harta, dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu di dunia, berupa kekayaan dan karunia lainnya, dengan menginfakkan dan
menggunakannya di jalan Allah. Akan tetapi, pada saat yang sama janganlah kamu lupakan
bagianmu dari kenikmatan di dunia dengan tanpa berlebihan. Dan berbuat baiklah kepada
semua orang dengan bersedekah sebagaimana atau disebabkan karena Allah telah berbuat
baik kepadamu dengan mengaruniakan nikmat-Nya, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan dalam bentuk apa pun di bagian mana pun di bumi ini, dengan melampaui batas-
batas yang telah ditetapkan oleh Allah. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan dan akan memberikan balasan atas kejahatan tersebut. Dari berbagai pandangan
dan hadits di atas, menjadi jelas bahwa siapapun kita boleh ibtigha (mencari) serta
menggunakan harta untuk tujuan kenikmatan duniawi. Dengan syarat tidak berlebih-
lebihan hingga melupakan kewajiban kepada Allah, keluarga, dan diri sendiri. Semoga kita
selau dalam lindungan-Nya serta mendapatkan kebaikan-kebaikan yang kita perbuat baik
di dunia ataupun di akhirat.

2. Al-Jumuah 10 dan 11
Dalam kitab tafsir jalalain dijelaskan bahwa ayat ini memberikan perintah untuk
bekerja (walaupun tidak secara eksplisit menyebut bekerja). Menunjukkan adanya anjuran
untuk mencari rizki setelah selesai melaksanakan sholat. Hal ini dapat diartikan sebagai
dorongan untuk bekerja dan berusaha dalam kehidupan ekonomi.
Dalam ayat ini, Allah memberikan instruksi kepada umat Muslim setelah
melaksanakan shalat Jumat. Setelah selesai beribadah, Allah memerintahkan kita untuk
bertebaran di muka bumi untuk mencari rizki dan karunia dari Allah. Namun, dalam
melakukan hal ini, mereka harus selalu mengingat Allah dan menjaga hubungan yang kuat
dengan-Nya. Tidak ada kontradiksi antara mencari rizki dan menjalankan ibadah kepada
Allah. Yang penting adalah menjaga niat yang tulus dan berusaha mendapatkan rezeki
dengan cara yang diizinkan oleh Allah. Ayat ini juga mengingatkan umat Muslim untuk
tidak lengah dan terjebak dalam urusan dunia sehingga melupakan kewajibannya sebagai
hamba Allah.
Menjadi seorang Muslim tidaklah berarti kita harus menjauhkan diri dari dunia dan
hidup seperti seorang pertapa. Islam mengajarkan bahwa kita harus menjadi bagian dari
masyarakat dan mencari sustenance dari cara yang halal. Namun, dalam proses mencari
rezeki, kita harus tetap mengutamakan hubungan dengan Allah dan mengingat-Nya dengan
selalu mengucapkan zikir dan menjalankan ibadah dengan baik.
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’abul Iman’ ada empat prinsip etos kerja
yang diajarkan Rasulullah:
1. Bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan
sekaligus cara menjalankannya. Lawan dari halal adalah haram, yang dalam
terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.
o Haram lighairihi: Barang/ kegiatan yang semula halal menjadi haram karena ada
faktor penyebabnya. Contohnya, menjadi anggota DPR/Pejabat lainnya adalah
halal. Tetapi jika jabatan DPR DPR/Pejabat lainnya digunakan mengkorupsi uang
rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram.
o Haram lidzatihi: Haram sebab dzat nya, dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram.
Contohnya, preman

2. Bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an
al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah
pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis.
Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak
kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari
orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan
Muslim). Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan
terhormat dalam Islam.
3. Bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi
kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya
termasuk kategori jihad. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah, “Tidaklah seseorang
memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu
yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali
dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
4. Bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Islam
menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari
jerit tangis lingkungan sekitar. Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah
tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama
(Qs Al-Ma’un: 1-3)
Dalam kitab Shofwatut tafasir karya Muhammad Ali Ash Shobuni ayat ini
menjelaskan tentang:
1. Prioritas dalam Hidup: Ayat ini menegur mereka yang lebih memilih perdagangan dan
kesenangan duniawi daripada mendengarkan khutbah Jumat. Hal ini mengingatkan kita
bahwa prioritas utama dalam hidup adalah mencari keridhaan Allah SWT, bukan mengejar
harta dan kesenangan semata. Dalam bermuamalah, kejujuran, keadilan, dan kepedulian
terhadap sesama harus menjadi landasan utama, bukan semata-mata keuntungan pribadi.
2. Keseimbangan Dunia dan Akhirat: Islam tidak melarang perdagangan dan kesenangan
duniawi. Namun, ayat ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Dalam bermuamalah, keseimbangan antara keuntungan
duniawi dan nilai-nilai agama harus dijaga. Kita tidak boleh menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan keuntungan.
3. Kepercayaan kepada Allah: Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT adalah sebaik-baik
Pemberi rezeki. Kepercayaan ini mendorong etos kerja yang positif dan sikap optimis
dalam mencari nafkah. Dalam bermuamalah, kepercayaan kepada Allah akan mendorong
kita untuk bersikap adil, jujur, dan tidak menipu.
4. Etika dalam Bermuamalah: Ayat ini secara implisit mengingatkan pentingnya etika
dalam bermuamalah. Kejujuran, keadilan, menghindari riba, dan saling tolong menolong
merupakan prinsip-prinsip fundamental dalam muamalah Islam. Muslim harus selalu
mengedepankan moralitas dan integritas dalam setiap interaksi dan transaksi. Ayat ini
memberikan landasan moral bagi etika bermuamalah dalam Islam, diantaranya: Prioritas
untuk mencari keridhaan Allah SWT, bukan mengejar keuntungan semata. Keseimbangan
untuk Menjaga keseimbangan antara keuntungan duniawi dan nilai-nilai agama.
Kepercayaan kepada Allah melalui Bekerja dengan etos kerja positif dan optimis, yakin
bahwa Allah SWT akan memberikan rezeki. Etika dalam bermuamalah meliputi
Menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, menghindari riba, dan saling tolong menolong.

3. At-Taubah ayat 24
Dalam kitab Tafsir Ibn katsir menuturkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
keengganan sebagian kaum muslim untuk berhijrah ke madinah karena terikat dengan harta
dan keluarga. Ayat ini memberikan peringatan bahwa jika orang beriman lebih mencintai
bapaknya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, istri-istrinya, kaum keluarganya, harta
kekayaan, perniagaan dan rumah-rumahnya, daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya serta
berjihad menegakkan syariat-Nya, maka Allah akan mendatangkan siksa kepada mereka
cepat atau lambat. Mereka yang bersikap demikian itu adalah orang-orang fasik yang tidak
akan mendapat hidayah dari Allah swt. Ayat ini menegaskan bahwasanya cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya haruslah lebih kuat daripada cinta apapun di dunia. Dalam kitab
shofwatut tafasir, ayat di atas memiliki hubungan erat dengan etika dalam muamalah, yaitu
tata cara berinteraksi dan berperilaku dalam kehidupan sosial dan ekonomi, meliputi:
• Prioritas Iman dan Ketaatan:
Ayat ini mengingatkan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya harus menjadi
prioritas utama di atas kecintaan terhadap keluarga, harta, dan tempat tinggal. Dalam
muamalah, ini berarti kita harus selalu mengedepankan nilai-nilai Islam dan menghindari
tindakan yang bertentangan dengan syariat, meskipun hal itu demi keuntungan pribadi atau
keluarga.
• Kejujuran dan Keadilan:
Ayat ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam muamalah.
Kita harus menghindari penipuan, manipulasi, dan segala bentuk kecurangan dalam
transaksi ekonomi. Kejujuran dan keadilan adalah landasan utama terciptanya masyarakat
yang sejahtera dan harmonis.
• Jihad Ekonomi:
Ayat ini mendorong umat Islam untuk melakukan jihad ekonomi, yaitu berusaha
keras untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Jihad ekonomi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti bekerja dengan tekun, berinovasi, dan membangun
usaha yang bermanfaat bagi orang lain.
• Menolak Kezaliman:
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-
orang yang fasik dan zalim. Dalam muamalah, ini berarti kita harus berani melawan dan
menolak segala bentuk kezaliman, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
• Kesadaran dan Tanggung Jawab:
Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah Swt. akan datang dengan perintah-Nya,
yaitu dengan hukuman-Nya, cepat atau lambat. Kesadaran akan hal ini akan mendorong
kita untuk selalu berperilaku baik dan bertanggung jawab dalam muamalah.
Berikut beberapa contoh penerapan etika muamalah dalam kehidupan sehari-hari:

➢ Menjual produk dengan harga yang adil dan tidak menipu pembeli.
➢ Membayar gaji karyawan tepat waktu dan sesuai dengan perjanjian.
➢ Menghormati hak milik orang lain dan tidak melakukan penipuan.
➢ Menolong orang-orang yang membutuhkan dan tidak mengambil keuntungan dari
kesulitan mereka.
➢ Bersikap sopan dan santun dalam berkomunikasi dengan orang lain.

D. Simpulan dan Konsep ayat

1. Al-Qashas ayat 77 mengandung beberapa konsep, yaitu:


a. Perintah untuk menjaga keseimbangan dunia dan akhirat. Islam mengajarkan umat
nya untuk tidak hanya focus terhadap duniawi tetapi juga untuk mempersiapkan
kehidupan di akhirat kelak.
b. Bersyukur atas nikmat yang di berikan Allah. Harta dan kekayaan merupakan
nikmat yang harus di syukuri dengan cara menggunakan harta tersebut pada jalan
kebaikan, mencari ridho Allah, mencari bekal untuk di akhirat, dan berbuat baik
kepada sesama. Misalnya: zakat, shodaqoh, dsb
2. Al-Jumu'ah ayat 10 dan 11 menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai
spiritual dan moral dalam interaksi dan transaksi. Dengan menyeimbangkan pengejaran
duniawi dan akhirat, serta menerapkan etika Islam dalam bermuamalah, Muslim dapat
mencapai kesuksesan sejati di dunia dan akhirat. Ayat ini mengandung konsep:
a. Keseimbangan antara dunia dan akhirat
b. Anjuran untuk mencari rezeki yang halal
c. Berusaha dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah

3. At-Taubah ayat 24, mengandung konsep:


a. Perintah untuk mengutamakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya disbanding
dengan hal lain seperti harta benda dan duniawi
b. Peringatan untuk tidak mencintai dunia secara berlebihan

Ayat-ayat di atas mengindikasikan bahwa al-Qur’an dalam memberikan instruksi


etos kerja kepada manusia, tidak semata-mata untuk terus mencari kekayaan, materi, dan
harta, tetapi juga harus memperhatikan keseimbangan spiritualitas. Umat manusia
sejatinya juga diperintahkan juga untuk melaksanakan kewajiban, yakni kewajiban
sebagai hamba Tuhan, hal ini juga merupakan pengejawantahan Q.S. al-Dzariyat: 56,
bahwa sejatinya manusia selain bekerja juga memiliki kewajiban sebagai hamba, yakni
beribadah kepada Allah Swt
DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Al-Qur’an al Adzim, 2000, Jilid XIII:1873


Tafsir al-Misbah [5]: 560
Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 10, hlm. 482
Kitab shofwatut Tafasir jilid 1 hlmn 381 dan 529, jilid 2 hlmn 381
Tafsir Ibn Katsir (http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-at-taubah-ayat-128-
129.html?m=1)
Tafsir Al-Misbah vol.9, hlm. 665

Anda mungkin juga menyukai