Anda di halaman 1dari 17

USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700

Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx


Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Dampak Positivisme Auguste Comte Terhadap Corak Pemikiran Barat

*M. Kharis Majid 1 , Khalishah Imaniyyah 2 , Dhika Aziztya 3 , Qotrunnada Laily 4 ,


Aanisah Cahyaning Almaas 5 .
1
Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo, kharis.majid@unida.gontor.ac.id
2
Universitas Darussalam Gontor, Kediri, khalishah.imani079@mhs.unida.gontor.ac.id
3
Universitas Darussalam Gontor, Kediri, dhika.aziztya5043@mhs.unida.gontor.ac.id
4
Universitas Darussalam Gontor, Kediri, qotrunnada.lail5129@mhs.unida.gontor.ac.id
5
Universitas Darussalam Gontor, Kediri, aanisah.cahyani5020@mhs.unida.gontor.ac.id
No Handphone/WA (Wajib)

Abstrac
This paper discusses the impact of Auguste Comte's positivism on the complexion of Western
thought. This paper uses a literature method with descriptive-analytical quality data to answer
the following research questions. Based on this study, it can be seen that positivism has a
profound impact on the pattern of Western thought. The birth of this understanding is
inseparable from the life of Auguste Comte who experienced a downturn and also his interest
in Darwin's theory of evolution. Moreover, Auguste Comte built this understanding so that
humans experienced development from primitive to modern times. The birth of this
understanding not only received a positive but also negative response. This study concludes
that positivism profoundly impacts the Western pattern of thought because it does not believe
in anything metaphysical, and experience can only be proven if it is objective.
Keywords : Impact of positivism, Auguste Comte, Patterns of Western Thought.

Abstrak
Makalah ini membahas dampak positivisme Auguste Comte terhadap corak pemikiran Barat.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian berikut, makalah ini menggunakan metode
kepustakaan dengan data kualiltatif deskriptif-analisis. Berdasarkan kajian ini, terlihat bahwa
paham positivisme sangat berdampak pada corak pemikiran Barat. Terlahirnya paham ini,
tidak terlepas dari kehidupan Auguste Comte yang mengalami keterpurukan dan juga
ketertarikannya pada teori evolusi Darwin. Terlebih Auguste Comte membangun paham ini
agar manusia mengalami perkembangan dari zaman primitif menjadi modern. Lahirnya
paham ini tidak hanya mendapat respon positif tapi juga negatif. Kajian ini menyimpulkan
bahwa positivisme sangat berdampak terhadap corak pemikiran Barat, karena paham ini tidak
mempercayai suatu hal yang bersifat metafisis, dan pengalaman hanya bisa dibuktikan jika
bersifat objektif.
Kata Kunci : Dampak Posititivisme, Auguste Comte, Corak Pemikiran Barat.
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

A. Pendahuluan (Pendahuluan)

Filsuf dari Perancis yang bernama Auguste Comte telah menggagas aliran positivisme.
Positivisme berasal dari kata “positif” yang berawal dari sesuatu yang telah diketahui, dan
yang mengandung kebenaran. Auguste Comte adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh
besar dalam aliran positivisme, sehingga aliran ini identik disandingkan dengan Auguste
Comte. Aliran ini merujuk kepada dua hal yaitu, epistemologi dan pertumbuhan akal serta
karakter pada manusia (Astini dan Arsadi 2021:180).

Pada abad 19, aliran positivisme sangat berpengaruh pada ilmu pengetahuan, bahkan
disebut dengan abad positivisme (Nugroho 2020:3). Aliran ini sangat dikenal dengan tiga
tingkatan manusia yang dimulai dari zaman sejarah manusia. Tingkatan ketiga inilah yang
berpengaruh besar dalam ilmu pengetahuan di Barat. Pada abad ini jugalah mereka acuh
dengan dunia yang abstrak, dan lebih memperhatikan kepada pekerjaan manusia yang bersifat
praktis (Hasanah 2019:71).

Lahirnya paham ini tidak lepas dari kehidupan Auguste Comte, yang mengalami
berbagai cobaan. Ia mengalami hidup yang sangat terpuruk sehingga ia berusaha untuk bunuh
diri dengan menjatuhkan dirinya ke sungai. Ia juga pernah ditinggal oleh istrinya akibat
perbuatannya yang selalu memberontak. Dengan adanya hal ini, akhirnya ia menyadari bahwa
akal manusia itu terbatas dan membentuk hukum tiga tingkatan manusia (Dani 2021:78).

Dalam realita, orang-orang Barat telah mengalami pemikiran yang berbeda setelah
mengalami hegemoni gereja. Mereka berasumsi bahwa adanya hegemoni ini menjadikan
pemikiran manusia tidak maju. Asumsi inilah yang menjadikan mereka menganut paham
liberal dan sekuler. Kedua paham inilah yang menyebabkan mereka terpecah belah, yakni
yang setuju dengan kedua paham ini ataupun sebaliknya (Kamil, Khambali@Hambali, dan
Ramli 2022:62).

Pernyataan-pernyataan diatas lah yang menjadikan peneliti tertarik untuk membahas


aliran ini. Terlebih aliran ini merupakan aliran yang tidak mempercayai adanya kekuatan
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

metafisis, dan hanya mempercayai pengalaman yang bersifat objektif (Triono, Rafi’i, dan
Setiani 2020:91). Kemudian peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut, apakah paham
positivisme ini menjadi salah satu faktor terbentuknya pemikiran Barat yang saat ini, yang
notabenenya memiliki pemikiran yang sama dengan positivisme? Dan bagaimana dampak
positivisme ini mempengaruhi corak pemikiran Barat?. Di sini peneliti ingin membahas lebih
lanjut bahwa paham positivisme ini berpengaruh terhadap corak pemikiran Barat.

B. Metode
Dalam membahas penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Metode ini
tidak menggunakan bukti berdasarkan statistik angka, namun mengeksplor teori-teori yang
terdapat pada literatur terdahulu (Darmalaksana 2020:2). Data yang didapat dalam penelitian
ini berdasarkan studi kepustakaan, yakni memahami dan mempelajari lebih lanjut berbagai
teori-teori yang terdapat pada literatur terdahulu serta berkaitan dengan pembahasan. Proses
penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis, yakni mendeskripsikan suatu fakta,
kemudian dianalisis dengan berbagai teori sehingga menghasilkan teori baru (Fadli 2021:41).

C. Hasil dan Pembahasan (Hasil dan Pembahasan)


Auguste Comte dan Positivisme
Auguste Comte adalah seorang filsuf yang berasal dari Perancis dan seringkali disebut
sebagai orang pertama yang memperkenalkan ilmu sosiologi dan ia juga memperkenalkan
nama “Sociology”. Auguste Comte yang lahir di Montpellier Selatan, Perancis pada tanggal
19 Januari 1798. Ia adalah seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarahkan Katolik
(Nugroho 2016:167).

Istilah positivisme mengacu pada dua hal berikut, yang pertama pada teori
pengetahuan (epistemologi) dan yang kedua pada teori (akal budi) manusia. Istilah
positivisme ini identik dengan tesis dari comte sendiri yang mana membahas tentang tahap-
tahap perkembangan akal budi manusia yang bergerak secara linear dalam urutan yang tidak
terputus. Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon, yakni seorang sosialis
asal Prancis yang terkenal akan teori filosofisnya dan dasar-dasar pemikirannya yang
mempengaruhi tokoh-tokoh filsafat abad ke-19, salah satunya dalam filosofi ilmu
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

pengetahuan dan sosiologi. Ia juga seorang bangsawan dan pejuang revolusi Prancis yang
menuntut kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (APRIDASARI 2018:45). Positivisme
berakar pada empirisme, prinsip filosofis tentang positivism dikembangkan untuk pertama
kalinya oleh empiris Inggris Francis Bacon pada tahun 1600. Tesis positivisme adalah, bahwa
ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat
menjadi objek pengetahuan.
Positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek yang berada di belakang
fakta, dan menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Ada tiga jenis positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner, dan juga
positivisme kritis. Positivisme Sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan
masyarakat dan juga sejarah, kemudian positivisme Evolusioner merupakan pemikiran yang
berangkat dari fisika dan biologi, dan yang terakhir yakni positivisme Kritis.

Berbicara mengenai filsafat positivisme Auguste Comte, ada pihak yang mengatakan
bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah metode atau pendirian. Akan tetapi ada pihak
lain yang mengatakan bahwa filsafat positivisme tersebut merupakan “sistem afirmasi”
sebuah konsep tentang dunia dan juga manusia. Orang tidak mungkin dapat menolak
kenyataan bahwa filsafat positivisme Auguste Comte memiliki arti dan tempat tersendiri di
bidang filsafat Barat, sedangkan pengaruhnya tersebar luas, tidak hanya dalam bidang ilmu
filsafat, akan tetapi juga berpengaruh luas di cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Auguste Comte menunjukkan bahwa didalam perkembangan jiwa manusia terdapat


suatu kemajuan, baik secara individual maupun secara keseluruhan. Dan kemajuan tersebut
akan dicapai pada saat perkembangan datang yakni pada saat yang disebut positif. Hukum
perkembangan tersebut menurut Auguste Comte dapat dijabarkan dari kecenderungan
manusia yang mana selalu berusaha agar dirinya dapat terus memperbaiki sifat dan juga
keadaannya.

Paham positivisme muncul di Perancis yang dipelopori oleh Isidore Auguste Marie
Francois Xavier Comte, yang lebih kita kenal sebagai Auguste Comte. Positivisme muncul
sebagai respon ketidakmampuan filsafat spekulatif dalam memecahkan masalah filsafat ketika
berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat. Dapat disimpulkan
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

juga bahwa kaum positivisme sangat mendewakan atau mengutamakan ilmu dan juga metode
ilmiah (Chabibi 2019:4). Bahkan metode ilmiah telah dikembangkan sedemikian rupa
sehingga dapat memperbarui filsafat dan juga kehidupan masyarakat.

Positivisme juga mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim


dengan mengatakan bahwa puncak daripada pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu yang
berdasarkan pada fakta-fakta yang terukur juga teramati, dan ilmu-ilmu positif. Setelah itu,
positivisme berkembang menjadi neo-positivisme, yakni aliran atau gerakan pemikiran yang
mana berasal dari Wina. Kemudian, lambat laun kelompok Wina ini berkembang dan
memiliki cabang di Berlin dan Praha. Lingkaran Wina ini merujuk pada kelompok pengkaji
filsafat ilmu pengetahuan di Universitas Wina.

Dalam pandangan aliran filsafat positivisme, filsafat tidak punya kerja lain selain cara
kerja ilmu pengetahuan. Ia bertugas untuk menemukan prinsip-prinsip umum yang sama bagi
semua ilmu dan menggunakan prinsip tersebut sebagai pemandu untuk perilaku manusia serta
dasar untuk pengaturan sosial masyarakat. Positivisme juga meyakini bahwa kemajuan
masyarakat akan dialami apabila mengadopsi total pendekatan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut. Dalam artian lain, aliran positivisme ini sangat menjunjung tinggi
kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran sosialnya yang dapat
dimainkan bagi kesejahteraan manusia. Positivisme memiliki slogan “Savoir Pour Prévoir,
Prévoir Pour Pouvoir” yang berarti, “Dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul
aksi”

Auguste Comte sebagai tokoh positivisme berpendapat bahwa budi (roh) manusia
berkembang melalui tiga tahap, yakni teologis, metafisik, dan menuju positivistic. Rumusan
tersebut kemudian hari dikenal dengan sebutan Hukum Tiga Tahap. Comte mengartikan
filsafat sebagai sistem umum tentang manusia-manusia, sedangkan istilah positif diartikan
sebagai teori yang bertujuan menyusun fakta-fakta yang teramati. Maka dapat disimpulkan
bahwa istilah positif dapat dimaknai sebagai kenyataan faktual atau berdasarkan fakta-fakta.

Auguste Comte menerangkan secara eksplisit bahwa yang dimaksud dengan


pengertian “positif” yakni, pertama, sebagai lawan dari sesuatu yang bersifat khayal,
pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sebagai sesuatu yang nyata.
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Kedua, sebagai lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat, pengertian positif diartikan sebagai
pensifatan dari sesuatu yang bermanfaat. Ketiga, sebagai lawan dari sesuatu yang meragukan,
pengertian positif diartikan sebagai sesuatu yang sudah pasti. Keempat, sebagai lawan dari
sesuatu yang sudah kabur, pengertian dari positif ini sebagai pensifatan daripada sesuatu yang
jelas atau tepat. Kelima, sebagai lawan dari sesuatu yang negatif, maka pengertian dari positif
disini dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafat yang selalu menuju ke
arah penataan dan juga penertiban (Arifin 2020:60).

Filsafat Positivisme sering didakwa sebagai faham yang sama dengan materialisme,
akan tetapi keduanya mustahil disamakan dengan suatu paham yang secara fundamental
berbeda dalam keyakinan ontologinya. Filsafat positivisme berpendapat bahwa dengan jalan
apapun manusia tidak dapat mengetahui sebab-sebab timbulnya sebuah gejala, serta cara-cara
beradanya gejala tersebut. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah logis, terdapat
bukti empirisnya yang terukur. Dalam ajaran positivisme, segala sesuatunya harus tampak dan
berwujud serta dapat terukur, jika sesuatu masih abstrak maka itu bukanlah ajaran dari
positivisme. Segala hal yang ada di dunia ini harus real, nyata wujudnya dan bukan hanya
angan-angan belaka atau metafisis. Positivisme dapat disetujui untuk mengatur manusia dan
juga mengatur alam. Kata positivisme, ajuan logikanya, ajuan bukti empirisnya harus terukur
menggunakan suatu metode ilmiah.

Pengaruh Evolusionisme
Evolusionisme adalah paham identik yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Namun
sebelumnya, telah terdapat ilmuwan yang mengemukakan teori mengenai adanya perubahan
makhluk hidup menjadi makhluk hidup lainnya dalam rentang waktu lama, yang bernama
Jean Pierre Antoine de Monet (Kaseke 2018:51). Evolusi adalah proses pengkonversian suatu
makhluk hidup pada rentang waktu tertentu yang memiliki tujuan agar dapat berorientasi
dengan lingkungannya. Teori ini tidak hanya berorientasi dan berkonversi pada satu generasi
saja, namun akan terus melibatkan generasi selanjutnya (Taufik 2019:99). Darwin berasumsi
bahwa manusia awalnya tercipta dari spesies kera, sehingga setelah teori ini digunakan tidak
sedikit dari manusia yang mempercayainya (Prihastanti 2022:1).
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Teori evolusi banyak mempengaruhi para tokoh Barat, salah satunya adalah Auguste
Comte. Auguste Comte menjadikan teori evolusi sebagai dasar dalam pemikiran filsafatnya,
ia berpendapat bahwa setiap manusia akan berkembang dan menghasilkan ilmu yang baru
ketika memasuki tahap akhir pengembangan. Pengembangan ini dihubungkan dengan statika
dan dinamika. Statika merupakan kaitan antara gejala-gejala dan organis, adapun dinamika
merupakan susunan dari gejala-gejala. (modul hlm: 1.38).
Pengembangan tahap akhir yang diasumsikan oleh Auguste Comte menghasilkan
paham Positivisme. Paham ini merupakan tingkatan ketiga perkembangan manusia setelah
mengalami tahap teologis, yang didominasi oleh tahayul dan kecurigaan, dan juga tahap
metafisik, yang masih abstrak. Tingkatan ketiga atau terakhir inilah manusia memandang
segala pengetahuan dengan apa yang mereka lihat, ukur dan buktikan. Ketiga tingkatan ini
sama halnya dengan pertumbuhan manusia dari anak-anak, menjadi remaja, kemudian
dewasa. (Triono dkk. 2020:92)

Hubungan Positivisme dan Materialisme


a. Positivisme
Abad ke 19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme.
Barat melahirkan seorang pemikir ulung yang menemukan teori tentang “positivisme”,
teori ini sangat mempengaruhi zaman itu, maka zaman itu disebut sebagai “zaman
positivisme” (Arifin 2020:55). Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan
yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat Barat,
orang sering menyatakan bahwa abad ke 19 merupakan suatu abad yang ditandai oleh
peranan yang sangat menentukan dari fikiran-fikiran ilmiah atau apa yang disebut
ilmu pengetahuan modern. Aliran filsafat positivisme ini didirikan oleh Bapak
Sosiologi yaitu Auguste Comte atau nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois
Xavier Comte (1798-1857) (Hasanah 2019:71).
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata “positif” disini berarti faktual,
yaitu apa yang berdasarkan pada fakta-fakta. Positivisme dapat diartikan sebagai suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

yang benar dan menolak aktivitas yang berkaitan dengan metafisik, tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris (Hasanah 2019:73).
Positivisme merupakan paham yang menuntut agar setiap metodologi yang
dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai
sesuatu yang eksis, sebagai suatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang macam
prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya (Fahrazi 2018:201).
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825).
Positivisme berakar pada empirisme, prinsip filosofis tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Tesis
positivisme adalah bahwa ilmu merupakan satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan
demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang
fakta, menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah
fakta (Nugroho 2016:168). Positivisme juga menempatkan metodologi ilmu alam pada
ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan
manusia tentang kenyataan (Nugroho 2016:172).
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap
sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau
metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan
inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga penganut paham ini
mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan
empirisme (Umanailo 2020:1). Dengan demikian positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di
luar yang digunakan untuk menelaaah fakta (Nugroho 2016:176).
b. Materialisme
Demokritos (460-360 SM) merupakan pelopor pandangan materialisme klasik,
yang disebut juga “atomisme”. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan
bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi
(yang disebut atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

mata tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, sehingga dengan demikian
membentuk realitas pada panca indra.
Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi bergerak dan
berkembang sebagai pembentuk awal dari alam, akal, dan kesadaran yang merupakan
proses materi fisik. Materialisme tidak mengakui entitas-entitas non material seperti
roh, hantu, setan, malaikat, bahkan Tuhan. Dengan begitu materialisme merupakan
pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan
manusia di alam kebenaran semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu
yang mengatasi alam indra.
Materialisme menurut the Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai a
devotion to material needs and desire, to the neglect of spiritual matters; a way of life
opinion, or tendency based entirely upon material interests. Dapat disimpulkan bahwa
materialisme merupakan sebuah paham dimana kepemilikan benda-benda materi
merupakan hal yang amat penting bagi seseorang dalam upayanya mencapai
kebahagiaan (Siregar 2022:72).
Pada abad pertengahan materialisme tidak begitu populer dikalangan
masyarakat karena sifat materialisme yang bertentangan dengan agama. Bahkan ada
yang beranggapan bahwa materialisme dianggap hal yang aneh dan mustahil. Pada
waktu itu kekuasaan tertinggi dalam negara diatur oleh agamawan dan gereja, baru
pada abad ke-19 yakni abad Renaisans (pencerahan) paham materialisme dipakai
sebagai dasar ilmu pengetahuan yang konkret karena segala sesuatu dapat dibuktikan
dan bereksperimen.
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan
rohani, bukan spiritual, atau supranatural. Filsafat materialisme memandang bahwa
materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat adanya
materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materilah yang menentukan
ide, bukan ide yang menentukan materi (Dupe 2020:57).
c. Hubungan Positivisme dan Materialisme
Positivisme merupakan cabang materialisme yang dijadikan sebagai landasan
berpikir. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

jumlahnya. Menurut Auguste Comte, terdapat tiga perkembangan berpikir yang


dialami manusia, yaitu:
1. Zaman teologis, zaman dimana pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayul
dan prasangka, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan
gerak gejala-gejala tersebut.
2. Zaman metafisik, zaman dimana kekuatan adikodrati diganti dengan
ketentuan-ketentuan abstrak.
3. Zaman positif, yaitu ketika orang tidak lagi berusaha mencapai
pengetahuan tentang yang mutlak baik teologi maupun metafisis. Atau
seperti sekarang, orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-
fakta yang didapatinya dengan pengamatan dan akalnya.

Zaman positif adalah zaman dimana orang tahu bahwa tiada gunanya untuk
berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun
metafisik. Jadi, dikatakan positivisme karena mereka beranggapan bahwa yang dapat
dipelajari hanyalah berdasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu
yang dinamakan positif (Julyano dan Sulistyawan 2019:17).

Thomas Hobbes sebagai pengikut empiris materialistis berpendapat bahwa


pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah
yang memberi kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis
semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan
pengurangan (Kariarta 2020:74).

Positivisme Sebagai Cara Pandang Barat


Abad ke-19 melahirkan banyak pemikir dan ilmuwan baik di belahan dunia Barat
(Eropa) maupun di belahan dunia Timur (Islam). Barat melahirkan seorang pemikir yang
menemukan teori “positivisme” tokohnya adalah Auguste Comte. Teori ini sangat
mempengaruhi zaman pada saat itu. Maka, zaman itu disebut sebagai “zaman positivisme”
yang ditandai dengan suatu pemikiran ilmiah dan modern.
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Positivisme merubah pola pikir manusia pada abad itu terutama di Barat. Pada abad
ini, barat menjadi berkembang karena menggunakan teori yang ditawarkan oleh Auguste
Comte. Teori ini berangkat dari telaahnya terhadap masyarakat dalam suatu episteme
keilmuan yang masih menggunakan cara-cara lama (tradisional) yaitu seperti teologis dalam
dan metafisis (abstrak). Menurutnya, manusia modern tidak lagi memandang tentang dunia
yang abstrak tapi pengetahuan orang harus bergeser dari abstrak menuju ke positif (real)
(Arifin 2020:56).

Menurut Auguste Comte teori Positivisme yang diambil sebagai pandangan dan
rujukan Barat menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “positif” itu adalah:

● Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian

positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Hal ini
sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat Positivisme itu
dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan akal.

● Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat. Maka pengertian

positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat.

● Sebagai lawan atau sesuatu kebalikan dari yang meragukan. Maka pengertian

positif diartikan sesuatu yang sudah pasti.

● Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian positif

dipergunakan untuk menunjukan sifat-sifat pandangan filsafat yang selalu


menuju ke arah penertiban.

● Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang sudah kabur, maka pengertian

positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat (Siswomiharjo
1996:20).

Teori ini berakar pada empirisme. Bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang
valid, dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan
demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta dan
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Teori ini berasumsi bahwa
indera amatlah penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat
bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Hal ini disebabkan adanya kekurangan inderawi
dapat dikoreksi dengan eksperimen. Adapun beberapa hal yang menjadi sebab munculnya
paham Positivisme di Barat diantaranya adalah:

1. Reaksi terhadap kepercayaan akan apa yang disebut sebagai kemajuan


(progres) abad ke-19.
2. Timbul reaksi terhadap pengertian mengenai perkembangan yang telah
menjadi mitos yang mencangkup segala-galanya.
3. Ketidakpuasan terhadap dominasi terutama terhadap latar belakangnya yang
naturalistik dan deterministik (Nugroho 2016:168).

Pada penerapan dalam pandangan Barat, maka sebenarnya positivisme mempunyai


beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain:

a. Kelebihan Positivisme
1) Positivisme lahir dari paham empirisme dan rasional, sehingga kadar
dari faham ini jauh lebih tinggi daripada kedua paham tersebut.
2) Hasil dari rangkaian tahapan yang ada di dalamnya, maka akan
menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mampu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, melainkan
konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur serta valid.
3) Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan
didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya
terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
4) Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan di sektor fisik
dan teknologi.
5) Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemologi ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
dasar pemikirannya (Noeng 2011:34).
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

b. Kelemahan Positivisme
1) Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial
dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-
nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi kedalam
pengertian fisik-biologik.
2) Akibat dari ketidak-percayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat
diuji kebenarannya, maka paham ini akan mengakibatkan banyaknya
manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, malaikat, surga
dan neraka. Padahal yang demikian itu di dalam ajaran agama adalah
kebenarannya dan keberadaanya. Hal ini ditandai pada saat paham
positivistik bekembang pada abad ke-19, jumlah orang yang tidak
percaya kepada agama semakin meningkat.
3) Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga
manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada.
Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4) Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5) Positivisme pada kenyataanya menitik-beratkan pada sesuatu yang
nampak yang dapat dijadikan objek kajiannya, dimana hal tersebut
adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa
panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga
kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal
yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajiannya (Soyomukti
2017:11).

Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa paham positivisme menjadi sebab terjadinya
pemikiran Barat yang sekuler dan liberal, bahkan juga terdapat beberapa masyarakat Barat
yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Hal ini jugalah yang menyebabkan bangsa Barat
hanya mempercayai sesuatu yang bersifat objektif dan acuh terhadap metafisis.

D. Kesimpulan (Kesimpulan)
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Auguste Comte adalah filsuf yang mengemukakan aliran positivisme. Positivisme adalah
aliran yang mempercayai bahwa ilmu pengetahuan hanya berasal pada hal-hal objektif saja.
Aliran ini tidak mempercayai adanya kekuatan metafisik yang terdapat pada suatu objek. Hal
ini membuktikan bahwa dampak negatif dari aliran ini akan menghasilkan generasi yang tidak
percaya akan eksistensi Tuhan.
Aliran ini sangat populer pada abad-19 di bagian Barat. Tidak sedikit dari filosof yang
menjadikan aliran ini sebagai dasar pemikiran mereka. Dari sinilah menjadikan mayoritas dari
bangsa Barat tidak percaya akan Tuhan, dan beberapa dari mereka hanya menganggap bahwa
praktik agama hanya sebatas ritual saja sehingga Barat identik dengan paham liberal dan juga
sekuler.
Di sini peneliti hanya membahas secara umum bahwa paham positivisme salah satu
faktor pemikiran Barat yang sekuler dan liberal. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya untuk
menjelaskan secara rinci lagi mengenai bagian positivisme yang mana saja yang telah menjadi
corak pemikiran Barat.

***

Referensi (Daftar Pustaka)


APRIDASARI, A. 2018. “PAHAM KETUHANAN POSITIVISME AUGUSTE COMTE
DALAM PERSPEKTIF ISLAM.” Undergraduate, UIN Raden Intan Lampung.

Arifin, Lalu Muhammad Syamsul. 2020. “Filsafat Positivisme Auguste Comte Dan
Relevansinya Dengan Ilmu-Ilmu Keislaman.” Interaktif : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial
12(2):55–72.

Astini, Kadek Yuli Wahyu, dan Putu Eka Arsadi. 2021. “Perkembangan Akal Budi Manusia
Pada Zaman Positivistik Dalam Perspektif Auguste Comte.” Vidya Darsan: Jurnal
Mahasiswa Filsafat Hindu 2(2):179–88. doi: 10.55115/vidyadarsan.v2i2.1404.
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Khabibi, Muhammad. 2019. “Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya terhadap
Kajian Sosiologi Dakwah.” NALAR: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam 3(1):14–
26. doi: 10.23971/njppi.v3i1.1191.

Dani, Busri. 2021. “Analisis Pelanggaran Privasi Oleh Rachel Vennya Di Instagram
Menggunakan Sudut Pandang Auguste Comte.” Anthropocene : Jurnal Penelitian
Ilmu Humaniora 1(3):77–82. doi: 10.56393/anthropocene.v1i5.437.

Darmalaksana, Wahyudin. 2020. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Dupe, Selvy Iriany Susanti. 2020. “Konsep Diri Remaja Kristen Dalam Menghadapi
Perubahan Zaman.” Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH) 2(1):53–69.
doi: 10.37364/jireh.v2i1.26.

Fadli, Muhammad Rijal. 2021. “Memahami desain metode penelitian kualitatif.” Humanika,
Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum 21(1):33–54. doi: 10.21831/hum.v21i1.38075.

Fahrazi, Mahfud. 2018. “Perbandingan Konsep Hukum dalam Epistemologi Positivisme dan
Materialisme.” Melanesia Law 2(2):197. doi: 10.30652/ml.v2i2.5402.

Hasanah, Ulfatun. 2019. “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) Terhadap Dasar
Pengembangan Ilmu Dakwah.” Al-I’lam: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam
2(2):70. doi: 10.31764/jail.v2i1.1261.

Julyano, Mario, dan Aditya Yuli Sulistyawan. 2019. “PEMAHAMAN TERHADAP ASAS
KEPASTIAN HUKUM MELALUI KONSTRUKSI PENALARAN POSITIVISME
HUKUM.” CREPIDO 1(1):13–22. doi: 10.14710/rapido.1.1.13-22.

Kamil, Ibrahim Majdi Mohamad, Khadijah Mohd Khambali@Hambali, dan Wan Adli Wan
Ramli. 2022. “Falsafah Liberalisme Di Malaysia: Satu Sorotan Awal : Liberalism
Philosophy in Malaysia: A Preliminary Highlights.” Online Journal of Research in
Islamic Studies 9(2):61–72.
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Kariarta, I. Wayan. 2020. “Paradigma Materialisme Dialektis di Era Milenial.” Sanjiwani:


Jurnal Filsafat 11(1):71–81. doi: 10.25078/sjf.v11i1.1534.

Kaseke, Fany Y. M. 2018. “Saat Iman Dan Akal Berbenturan: Alam Semesta Menurut Ajaran
Alkitab Dan Evolusionisme.” SCRIPTA: Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kontekstual
5(1):49–59. doi: 10.47154/scripta.v5i1.45.

Noeng, Muhadjir. 2011. Filsafat ilmu. 1 ed. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nugroho, Irham. 2016. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai
Etisnya Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11(2):167–77. doi:
10.31603/cakrawala.v11i2.192.

Nugroho, Subyakto Wahyu. 2020. “TRADISI JULEN CEMBENGAN DALAM


PERSPEKTIF POSITIVISME AUGUSTE COMTE (Studi Kasus Pabrik Gula
Tasikmadu Karanganyar).” skripsi, IAIN SURAKARTA, Surakarta.

Nurani, Soyomukti. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Prihastanti, Ananda Putri. 2022. “Penciptaan Manusia (Telaah Tafsir Al-Misbah Dan
Relevansinya Dengan Teori Evolusi Darwin).” skripsi, IAIN KUDUS, Kudus.

Siregar, Ardiansyah. 2022. “Penolakan Terhadap Agama Materialisme: Sejarah,


Perkembangan, Kritikan.” Jurnal Penelitian Multidisiplin 1(2):72–77. doi:
10.58705/jpm.v1i2.56.

Siswomihardjo, Koento Wibisono. 1996. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme


Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soyomukti, Nurani. 2017. Pengantar Filsafat Umum. 1 ed. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Taufik, Leo Muhammad. 2019. “TEORI EVOLUSI DARWIN: DULU, KINI, DAN NANTI.”
Jurnal Filsafat Indonesia 2(3):98–102. doi: 10.23887/jfi.v2i3.22150.
USK SOSIOLOGI JURNAL: P-ISSN: 2252-5254 │ E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.js u .xx.xxx
Vol. X, No. X, Juni 2022 Hal. xxx-xxx

Triono, Andit, Muhammad Rafi’i, dan Desinta Setiani. 2020. “HEGEMONI POSITIVISME
TERHADAP PENDIDIKAN DI INDONESIA.” Journal Analytica Islamica 9(1):89–
103.

Umanailo, M. Chairul Basrun. 2020. Neo Positivism- Positivism- Post positivism.

Anda mungkin juga menyukai