Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN EKOLOGI

Dosen Pengampu: Dr. Alfisahrin, M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. Fadilahtul Qadariah (92E23014)
2. Nur Amelia (92E23043)
3. M. Rangga Firdaus (92E23039)
4. Alfitto Deannova (92E23003)
5. Dwi Arfah (92E23012)
6. M. Mizan (92E230 )
7. M. Raihan Rizqullah (92E230 )

ROGRAM STUDI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


POLITEKNIK MEDICA FARMA HUSADA
MATARAM
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, materi
yang dibahas adalah “ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN EKOLOGI”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan dapat menambah wawasan.

Mataram, 16 September 2023


Penyusun
Ttd
Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Antropologi Kesehatan...................................................................................................3
B. Hubungan Antara Budaya Dan Kesehatan.....................................................................4
C. Perkembangan Budaya Kesehatan Manusia...................................................................5
D. Ekosistem dan Sistem Sosial Budaya.............................................................................7
E. Perhatian Ekologis dari para ahli antropologi Kesehatan...............................................8
F. Paleopatologi..................................................................................................................8
G. Penyakit dan Evolusi......................................................................................................9
H. Epidemiologi.................................................................................................................10
I. Misteri kuru..................................................................................................................10
J. Ekologi dan Pembangunan...........................................................................................13
K. Penyakit – Penyakit Pembangunan...............................................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................................16
B. Saran................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut
digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam
kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan
tempat tinggal,dulu manusia hanya hidup berpindah-pindah atau nomaden. Mereka
hanya mencari perlindungan di goa atau di bawah pohon-pohon besar agar tidak
diserang oleh binatang buas, tetapi sekarang tempat tinggal adalah kebutuhan dasar yang
tidak termasuk dalam kebudayaan. Bagaimana kebutuhan itu dipenuhi;dengan cara apa
agar kebutuhan itu terpenuhi adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu
tempat tinggal yang bersih dan nyaman bagi kehidupannya,agar tidak diserang
penyakit tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok kelompoknya menyebabkan
manusia melakukan kegiatan itu dengan cara yang berbeda.
Sebagai contoh adanya kepercayaan masyarakat Jawa memiliki budaya mencuci
kaki selepas bepergian dengan alasan kepercayaan menghindari musibah dan gangguan
makhluk halus. Meskipun memiliki alasan yang tidak ilmiah, namun budaya tersebut
secara langsung mempengaruhi kesehatan masyarakat Jawa. Contoh lainnya adalah
budaya sumpah-serapah dalam keluarga di beberapa daerah di Indonesia. Budaya ini
lebih jauh dapat mempengaruhi kesehatan kejiwaan anggota keluarga. Hal ini semua
terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh
generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam
hidupnya. Sehingga dalam mensosialisasikan kesehatan pada masyarakat luas dapat
lebih terarah yang implikasinya adalah naiknya derajat kesehatan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan di sampaikan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Antropologi Kesehatan?
2. Apakah Hubungan Antara Budaya Dan Kesehatan?
3. Apa yang dimaksud dengan Perkembangan Budaya Kesehatan Manusia?
4. Apa yang dimaksud dengan Ekosistem dan Sistem Sosial Budaya ?
5. Apa yang dimaksud dengan Perhatian Ekologis dari para ahli antropologi Kesehatan?

1
6. Apa yang dimaksud dengan Paleopatologi?
7. Apa yang dimaksud dengan Penyakit dan Evolusi?
8. Apa yang dimaksud dengan Epidemiologi?
9. Apa yang dimaksud dengan Misteri kuru?
10. Apa yang dimaksud dengan Ekologi dan Pembangunan?
11. Apa yang dimaksud dengan Penyakit – Penyakit Pembangunan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Antropologi Kesehatan
2. Untuk mengetahui Hubungan Antara Budaya Dan Kesehatan
3. Untuk mengetahui Perkembangan Budaya Kesehatan Manusia
4. Untuk mengetahui Ekosistem dan Sistem Sosial Budaya
5. Untuk mengetahui Perhatian Ekologis dari para ahli antropologi Kesehatan
6. Untuk mengetahui Paleopatologi
7. Untuk mengetahui Penyakit dan Evolusi
8. Untuk mengetahui Epidemiologi
9. Untuk mengetahui Misteri kuru
10. Untuk mengetahui Ekologi dan Pembangunan
11. Untuk mengetahui Penyakit – Penyakit Pembangunan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Antropologi Kesehatan
Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya
terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita
Sarwono, 1993).
Antropologi Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit
dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya. Pokok perhatian
Kutub Biologi. Pertumbuhan dan perkembangan manusia, peranan penyakit dalam evolusi
manusia, paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba). Pokok perhatian kutub
sosial-budaya : Sistem medis tradisional (etnomedisin), masalah petugas-petugas
kesehatan dan persiapan profesional mereka, tingkah laku sakit, hubungan antara dokter
pasien, dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada
masyarakat tradisional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropologi Kesehatan adalah
disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budaya
dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit pada manusia (Foster/Anderson, 1986; 1-3).
Antropologi kesehatan merupakan bagian dari antropologi sosial dan kebudayaan
yang mempelajari bagaimana kebudayaan dan masyarakat mempengaruhi masalah-
masalah kesehatan, pemeliharaan kesehatan dan masalah terkait lainnya.
Antropologi kesehatan merupakan bagian dari antropologi yang menggambarkan
pengaruh sosial, budaya, biologi, dan bahasa terhadap kesehatan (dalam arti luas) meliputi
pengalaman dan distribusi kesakitan, pencegahan dan pengobatan penyakit, proses
penyembuhan dan hubungan sosial manajemen pengobatan serta kepentingan dan
kegunaan kebudayaan untuk sistem kesehatan yang beranekaragam.
Antropologi kesehatan mempelajari bagaimana kesehatan individu, formasi sosial
yang lebih luas dan lingkungan dipengaruhi oleh hubungan antara manusia dan spesies
lain, norma budaya dan institusi sosial, politik mikro dan makro, dan globalisasi.

3
B. Hubungan Antara Budaya Dan Kesehatan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagaisuperorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan
itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-
benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Mengacu pada esensi budaya, nilai budaya sehat merupakan bagian yang tak
terpisahkan akan keberadaanya sebagai upaya mewujudkan hidup sehat dan merupakan
bagian budaya yang ditemukan secara universal. Dari budaya pula, hidup sehat dapat
ditelusuri. Yaitu melalui komponen pemahaman tentang sehat, sakit, derita akibat
penyakit, cacat dan kematian, nilai yang dilaksanakan dan diyakini di masyarakat, serta
kebudayaan dan teknologi yang berkembang di masyarakat.
Pemahaman terhadap keadaan sehat dan keadaan sakit tentunya berbeda di setiap
masyarakat tergantung dari kebudayaan yang mereka miliki. Pada masa lalu, ketika
pengetahuan tentang kesehatan masih belum berkembang, kebudayaan memaksa
masyarakat untuk menempuh cara “trial and error” guna menyembuhkan segala jenis
penyakit, meskipun resiko untuk mati masih terlalu besar bagi pasien. Kemudian

4
perpaduan antara pengalaman empiris dengan konsep kesehatan ditambah juga dengan
konsep budaya dalam hal kepercayaan merupakan konsep sehat tradisional secara kuratif.
Sebagai contoh pengaruh kebudayaan terhadap masalah kesehatan adalah
penggunaan kunyit sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit kuning (hepatitis) di
kalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat menganggap bahwa warna penyakit pasti
akan sesuai dengan warna obat yang telah disediakan oleh alam. Kemudian contoh
lainnya adalah ditemukannya system drainase pada tahun 3000 SM di kebudayaan bangsa
Kreta, dan bangsa Minoans. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan dan pengetahuan serta
teknologi sangat berpengaruh terhadap kesehatan.
C. Perkembangan Budaya Kesehatan Manusia
Budaya adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Budaya lahir akibat adanya
interaksi dan pemikiran manusia. Manusia akan selalu berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka hasilkan. Budaya manusia
pun juga akan ikut berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Hal yang sama
terjadi budaya kesehatan yang ada di masyarakat. Budaya kesehatan akan mengalami
perubahan. Dengan kemajuan ilmu pengethuan yang pesat dan teknologi yang semakin
canggih, budaya kesehatan di masa lalu berbeda dengan kebudayaan kesehatan di masa
sekarang dan mendatang.
Salah satu contoh budaya kesehatan adalah tentang cara menjaga kesehatan
personal, seperti mandi, keramas, atau sikat gigi. Pada zaman dahulu sebelum
ditemukannya formula untuk membuat sabun oleh Al-Razi, kimiawan Persia, manusia di
berbagai daerah di belahan bumi ini memiliki cara yang berbeda dalam membersihkan
badan. Penggunaan yang lazim pada masa itu diantaranya adalah minyak, abu, atau batu
apung sesuai dengan kebudayaan mereka.
Masyarakat Mesir Kuno melakukan ritual mandi dengan menggunakan kombinasi
minyak hewani dan nabati ditambah garam alkali. Ini adalah bahan pengganti sabun.
Ramuan ini pun berfungsi untuk menyembuhkan penyakit kulit sekaligus untuk
membersihkan. Orang Yunani Kuno mandi untuk alasan kecantikan dan tidak
menggunakan sabun. Mereka membersihkan tubuh dengan menggunakan balok lilin,
pasir, batu apung dan abu. Mereka juga mengoleskan tubuh dengan minyak dan kadang
dicampur abu. Sedangkan orang Sunda kuno biasa menggunakan tanaman wangi liar
sebagai alat mandi mereka.

5
Ketika peradaban Romawi mulai maju, penduduk jadi sering mandi. Tempat mandi
Romawi yang pertama sangat terkenal. Di pemandian yang dibangun tahun 312 SM itu
terdapat saluran air. Sejak saat itu mandi menjadi hal yang mewah dan populer.
Di abad-ke 2 Masehi, dokter Yunani, Galen menganjurkan sabun untuk pengobatan
dan pembersih. Akhirnya, mandi dengan memnggunakan sabun menjadi sebuah kegiatan
rutin hingga saat ini.
Bukan hanya cara mandi yang berbeda dari masa dahulu dan sekarang, tapi juga
budaya gosok gigi. Pada zaman dahulu masyarakat Jazirah Arab menggunakan kayu
siwak untuk menggosok gigi. Orang Roma menggunakan pecahan kaca halus sebagai
bagian dari pembersih mulut mereka. Sedangkan masyarakat Indonesia menggunakan
halusan genting dan bata. Namun saat ini manusia beralih menggunakan pasta gigi untuk
menggosok gigi. Begitu juga dengan shampoo yang secara luas digunakan. Dahulu,
secara luas masyarakat menggunakan merang untuk keramas.
Tidak hanya tentang budaya kesehatan individu atau personal yang mengalami
perubahan. Budaya kesehatan masyarakat pun saat ini telah mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu masyarakat lebih ke arah paradigma sakit.
Namun saat ini seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat cenderung
berparadigma sehat dalam memaknai kesehatan mereka. Penilaian individu terhadap
status kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan perilakunya, yaitu
perilaku sakit jika mereka merasa sakit dan perilaku sehat jika mereka menganggap sehat.
Perilaku sakit yaitu segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, contohnya mereka akan pergi ke pusat
layanan kesehatan jika sakit saja, karena mereka ingin sakitnya menjadi sembuh.
Sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatannya, misalnya: pencegahan penyakit, personal
hygiene, penjagaan kebugaran dan mengkonsumsi makanan bergizi. Masyarakat akan
selalu menjaga kesehatannya agar tidak menjadi sakit. Masyarakat menjadi rajin berolah
raga, fitness, chek up ke pusat layanan kesehatan, membudayakan cuci tangan
menggunakan sabun, menghindari makanan berkolesterol tinggi dan lain-lain.
Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor perubahan budaya kesehatan
dalam masyarakat. Contohnya masyarakat dahulu saat persalinan minta bantuan oleh
dukun bayi dengan peralatan sederhana, namun saat ini masyarakat lebih banyak yang ke
bidan atau dokter kandungan dengan peralatan yang serba canggih. Bahkan mereka bisa
tahu bagaimana keadaan calon bayi mereka di dalam kandungan melalui USG.

6
Saat ini masyarakat lebih memaknai kesehatan. Banyaknya informasi kesehatan
yang diberikan melalui penyuluhan dan promosi kesehatan membuat masyarakat
mengetahui pentingnya kesehatan. Dengan kesehatan kita bisa melakukan berbagai
macam kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sekarang pola pikir masyarakat kebanyakan lebih ke arah preventif terhadap adanya
suatu penyakit. Yaitu pola pikir bahwa mencegah datangnya penyakit itu lebih baik
daripada mengobati penyakit.
D. Ekosistem dan Sistem Sosial Budaya
Secara sederhana, pengertian ekosistem adalah suatu tatanan dan kesatuan yang
secara utuh dan menyeluruh di antara segenap komponen lingkungan hidup. Komponen
ini saling berinteraksi dan pada akhirnya membentuk kesatuan yang teratur dan dinamis.
Jika kita memperhatikan di sekeliling kita, ada beragam interaksi mahluk hidup yang
menghasilkan harmoni dan keseimbangan hidup. Pola hubungan ini menciptakan
keterikatan antara komponen yang satu dan lainnya. Hal ini merujuk pada apa yang
disebut dengan ekosistem. Menurut, UU No. 23 Tahun 1997, Ekosistem adalah tatanan
unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup. Ekosistem tersusun atas satuan makhluk hidup, yaitu individu, populasi, dan
komunitas. Secara garis besar ada dua jenis komponen ekosistem yang diambil, yakni:
a. Komponen abiotik atau fisik. Komponen ini mencakup semua unsur yang bukan
mahluk hidup seperti udara, suhu, air, tanah, curah hujan, bebatuan, gurun, karang,
salju dan masih banyak lagi lainnya.
b. Komponen hayati atau biotik yang mencakup semua mahluk hidup yang dilihat dari
susunan trofiknya dibagi ke dalam beberapa tingkatan yakni komponen produsen,
komponen konsumen, dan juga komponen pengurai. Dan apabila dilihat dari fungsi
komponen itu sendiri maka ia dibagi ke dalam dua komponen dasar yakni komponen
autotrof dan juga komponen heterotrof. Autotrof sendiri merupakan mahluk hidup
yang bisa membentuk sendiri makanannya sementara itu heterotrof adalah organisme
konsumen yang mengambil makanan dari luar dirinya.
Sistem adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang dipersatukan oleh
beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung, sekelompok unit yang
berbeda, yang dikombinasikan sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga
membentuk suatu keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau bergerak
dalam satu kesatuan.

7
a. Sistem Sosial – Budaya atau Kebudayaan adalah keseluruhan yang integral dalam
interaksi antar manusia.
b. Ekosistem adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan satwa dengan
lingkungan nonhidup mereka (Hardesty 1977;289)
Dalam membicarakan Antropologi Kesehatan dan Ekologi, saya akan
menitikberatkan pembahasan pada:
a. Hubungan, bentuk dan fungsi kesehatan dan penyakit dari pandangan lingkungan dan
sosial-budaya.
b. Masalah dinamika dari konsekuensi hubungan, bentuk dan fungsi dari kesehatan dan
penyakit dengan pendekatan ekologis dan sosial-budaya.
E. Perhatian Ekologis dari para ahli antropologi Kesehatan
Perhatian Ekologis dari Para Ahli Antropologi Kesehatan Ahli antropologi
kesehatan menaruh perhatian pada hubungan timbak balik anatara manusia dan
lingkunganalamnya, tingkahlakunya, penyakitpenyakitnya, dan cara-cara dimana tingkah
laku dan penyakitnya mempengaruhievolusi dan kebudayaan melalui proses umpan balik.
Paleopatologi, studi mengenai penyakit manusia purba, menjelaskan bagaimana nenek
moyang dipengaruhioleh lingkungan tempat mereka hidup. Sebaliknya, pengetahuan
mengenai penyakit-penyakit mereka membantu kitauntuk memahami evolusi manusia,
cara-cara dimana generasi manusia berikutnya beadaptasi secara biologis. Pendekatan
ekologis adalah dasar studi tentang masalah-masalah epidemiologi. Pandangan ekologi
terutama berguna dalam mempelajari masalah-masalah kesehatan dalam program
internasional bagi pembangunan dan modernisasi. Penyakit yang dipandang sebagai suatu
unsure dalam lingkungan manusia telah mempengaruhi evolusi manusia, sepertinamapak
pada contoh kecepatan reptoduksi ciri sel sabit di kalangn penduduk Afrika Barat.
Penyakit juga memainkan peranan dalam evolusi kebudayaan. Nutrisi juga dapat
dipandang sebagai ciri lingkungan biobudaya. Nutrisi tentu tidak dapat melewati batas
dariyang diediakan alam. Namun, bagian apa dari nutrien yang tersedia dalam lingkungan
tertentu, yang didefinisiakn sebagai “makanan” dan karenanya dapat dimakan merupakan
masalah kebudayaan.
F. Paleopatologi
Paleopatologi adalah studi mengenai penyakit-penyakit purba. Para ahli
peleopatologi melakukan studi pada tulang-tulang manusia purba, kotoran, lukisan pada
dinding, patung, mumi, dan lain lain untuk menemukan penyakit-penyakit infeksi pada
manusia purba. Studi untuk mengetahui penyakit manusia purba dari fosil-fosil ini, pada

8
umumnya hanya terbatas hanya mengetahui pada penyakit-penyakit yang menunjukkan
buktinya seperti pada tulang-tulang yang dapat diidentifikasi. Sebagai contoh kerusakan
atau abses pada tulang sebagai akibat dari siphilis, TBC, frambosia, osteomilitus,
poliomilitis, kusta, dan penyakit-penyakit yang sejenisnya adalah penyakit infeksi yang
dapat dikenali.
Banyak penyakit-penyakit modern yang tidak terdapat pada penduduk purba, bukan
berarti manusia purba lebih sehat dari manusia modern tetapi bahwa sakitnya manusia
purba disebabkan oleh jenis-jenis patogen dan faktor lingkungan yang jumlahnya lebih
sedikit dari yang dialami oleh manusia modern. Misalnya penyakit campak, rubella, cacar,
gondong, kolera dan cacar air mungkin tidak terdapat di zaman purba.
Dapat disimpulkan bahwa paleopatologi atau studi mengenai penyakit purba, sangat
banyak berhubungan dengan lingkungan untuk menemukan penyakit-penyakit purba.
G. Penyakit dan Evolusi
Penyakit infeksi merupakan faktor penting dalam evolusi manusia. Penyakit,
dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia telah mempengaruhi evolusi
manusia, seperti nampak pada contoh kecepatan reproduksi ciri sel-sabit (sickle-cell) di
kalangan penduduk Afrika Barat. Hal ini merupakan suatu perubahan evolusi yang
adaptif, yang memberikan dampak positif kepada individu yang mempunyai sel berbentuk
sabit tersebut mempunyai imunitas yang baik sehingga mempunyai kemampuan bebas
dari penyakit malaria.
Penyakit pada zaman modern ada yang tidak terdapat pada manusia purba, tetapi
bukan berarti para penduduk purba lebih sehat dari manusia modern. Jenis penyakit pada
manusia purba disebabkan oleh jenis patogen dan faktor lingkungan yang jumlahnya lebih
sedikit dari yang dialami manusia modern. Penyakit pada zaman modern seperti: rubella,
cacar, campak, kolera dan gondong yang tidak terdapat di zaman purba.
Makanan juga mempunyai peran sama dengan penyakit, makan merupakan
karakteristik lingkungan yang mempengaruhi evolusi. Contoh di kalangan anak, akibat
umum dari defisiensi kalori proterin adalah penyakit kwashiorkor. Konsekuensinya
adalah lambatnya laju pertumbuhan. Studi lain yang mempengaruhi hubungan antara
nutrisi dan kemampuan manusia untuk beradaptasi gerak evolusinya adalah konsumsi
susu pada manusia dewasa. Manurut para ahli antropologi, di kalangan masyarakat petani
Jepang dan Cina tidak minum susu, ini berdasarkan adat yakni penolakan yang bersifat
budaya terhadap susu. Sedangkan laktosa (gula susu) merupakan satu-satunya karbohidrat

9
yang penting dan juga merupakan unsur pertama pada susu. Susu terdiri dari air, lemak,
protein, enzim, vitamin, unsur lain dan pengikatnya.
H. Epidemiologi
Epidemiologi berkenaan dengan distribusi, tempat dan prevalensi atau terjadinya
penyakit, sebagaimana yang dipengaruhi oleh lingkungan alam atau lingkungan ciptaan
manusia serta oleh tingkah laku manusia. Variabel-variabel yang dipakai untuk melihat
distribusi tempat dan prevalensi serta tingkah laku suatu penyakit adalah perbedaan umur,
jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, hubungan suku bangsa, kelas sosial,
tingkahlaku individu, serta lingkungan alami. Faktor-faktor ini dan faktor lainnya
berperanan penting dalam distribusi dan prevalensi berbagai penyakit. Contoh pemuda
Amerika lebih banyak mengalami kecelekaan daripada wanita muda dan orang tua,
perokok lebih banyak kena kanker paru-paru daripada bukan perokok, gondok lebih
banyak menyerang penduduk pedalaman yang tinggal di daerah pegunungan daripada
penduduk pantai yang bahan makannya kaya yodium.
Tugas seorang epidemiolog adalah bekerja untuk membuat korelasi-korelasi dalam
hal insiden penyakit dalam usaha menetapkan petunjuk tentang pola-pola penyebab
penyakit yang kompleks, atau tentang kemungkinan-kemungkinan dalam pengawasan
penyakit (Clausen; 1963:142). Epidemiologi berusaha mencapai suatu tujuan yaitu
meningkatkan derajat kesehatan, mengurangi timbulnya semua ancaman kesehatan.
Ahli antropologi lebih menaruh minat pada ciri epidemiologi dari penyakit-penyakit
penduduk non Eropa dan Amerika, termasuk penyakit-penyakit psikologis yang
disebabkan oleh struktur budaya yang dalam Antropologi Kesehatan disebut dengan
istilah “Sindroma Kebudayaan Khusus” seperti “mengamuk” atau histeris. Selain itu, ahli
antropologi juga menaruh minat pada studi-studi mengenai “Epidemiologi Pembangunan”
yaitu mencari konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang sering bersifat mengganggu
terhadap proyek-proyek pembangunan.
I. Misteri kuru
1. Sejarah Misteri Kuru
Pada pertengahan tahun 1950-an, suatu penyakit baru “kuru” yang semula
tidak di kenal dalam ilmu kedokteran, ditemukan pada sekelompok penduduk yang
mempunyai kesatuan linguistik, yakni penduduk Fore Selatan di Dataran Tinggi
Timur, Papua Nugini, yang berpenduduk sekitar 15.000 jiwa. Penduduk Fore Selatan
mempunyai pola kebudayaan yang tidak berbeda dengan kelompok-kelompok
penduduk pribumi lainnya di Dataran Tinggi Timur itu. Suatu ciri yang menyolok dari

10
pola tersebut adalah pemisahan antara kehidupan kaum pria dan kaum wanita. Kaum
pria berdiam, makan dan tidur dalam suatu rumah laki-laki, dan menghabiskan
sebagian besar waktu mereka dalam perdebatan-perdebatan hukum adat,
pertentangan,perang dan upacara-upacara. Sementara mereka melakukan pekerjaan
pokok dalam pembukaan ladang pekerjaan-pekerjaanyang menyangkut pertanian
dilakukan oleh istri-istri mereka, yang tinggal dalam pondok-pondok kecil bulat
bersama anak-anak mereka dan ternak babi. Pada pertengahan tahun 1950-an, para
wanita Fore Selatan, seperti halnya wanita-wanita dari suku-suku tetangga
mempraktekkan upacara kanibalisme, memakan tubuh, terutama bagian otak, dari
kerabat wanita mereka yang menginggal. Setelah pemerintah mengusai Daratan
Tinggi Timur tersebut, dilakukan usaha keras untuk membasmi aspek ini dari
kehidupan penduduk pribumi.
2. Penyakit Kuru
Penyakit kuru menunjukkan karakteristik epidemiologi yang tidak lazim.
Penderitaannya sama sekali terbatas pada kaum wanita dan anak-anak saja. Walaupun
kaum laki-laki muda kadangkala terkena, hal itu tidak membahayakan kesehatan para
laki-laki dewasa. Sebaliknya , pada beberapa desa, hampir separuh dari kematian
wanita dewasa serta kematian terbesar pada anak-anak antara umur lima hingga enam
belas tahun, diakibatkan oleh penyakit kuru. Penyakit tersebut tidak dijumpai di
kalangan penduduk suku-suku tetangga, sekalipun mereka sering berhubungan, Juga
tidaj pernah ditularkan pada orang Eropa. Kaum laki-laki muda Fore Selatan yang
bekerja di luar kampungnya kadang-kadang terjangkit penyakit tersebut, tetapi rekan-
rekan sekerja mereka yang berasal dari daerah lain tidak terkena. Dari daftar silsilah
kekerabatan yang ada pada pemerintah, nampak jelas bahwa penyakit kuru tersebut
berpengaruh kuat pada garis keturunan.
Penyakit kuru ditandai oleh deteriorisasi progresif pada pusat sistem syaraf
yang mengarah pada kelumpuhan total, dan sering kali, ketidak mampuan untuk
menelan. Kematian umumnya terjadi antara 6 sampai 12 bulan setelah munculnya
gejala-gejala pertama, tetapi kadang-kadang mencapai jangka waktu 2 tahun lamanya,
sebagai akibat dari komplikasi seperti kelaparan, radang paru-paru atau lecet
punggung-punggung (bed sore). Belum ditemukan penobatan yang akan menahan
atau menyembuhkan penyakit kuru. Disinilah letak misteri yang perlu dipecahkan.
3. Pemecahan Misteri Kuru

11
Pemecahannya ditemukan lebih dari satu dasawarsa kemudian oleh suatu
gabungan penelitian lapangan dan percobaan di laboratorium serta wawasan para
ilmuwan yang mewakili berbagai disiplin. Seorang ahli antropologi yang merangkap
ahli virus, Carleton Gajdusek, merupakan orang pertama di kalangan peneliti-peneliti
tersebut; ia telah menyumbangkan bagian terbesar dari kehidupan profesinya untuk
memecahkan masalah ini selama bertahun-tahun, setelah ia mengunjungi Fore Selatan
selama 10 bulan pada tahun 1957. Pengakuan atas pentingnya sumbangannya telah
diperolehnya ketika pada tahun 2976 dia dianugerahi Hadiah Nobel untuk Fisiologi
Kedokteran. Berbagai hipotesis yang dikemukakan untuk menjelaskan kuru
“dibacakan seakan-akan salah atu repertoire dalam adegan sandiwara Hamlet – yang
bersifat genetik, menular, sosiologis, tingkah laku, keracunan, endrokrin, nutrisional,
immunologis” (Alpers 1970 : 134), dengan penjelasan genetika yang paling masuk
akal, mengingat kecenderungan penyakit tersebut terdapat dalam garis kekerabatan
dan terbatas pada masyarakat Fore Selatan saja. Namun penjelasan tersebut memiliki
suatu pembatasan yang serius : dibutuhkan mutasi yang dominan atau setengah
diminan yang pasti telah timbul pada seorang individu, berabad-abad sebelum
kelompok itu memiliki kemajuan yang demikian selektif, sehingga gen itu dapat
menyebar pada ribuan keturunan dari si pembawa pertamanya. Namun suatu gen yang
sangat berbahaya, seperti yang dihipotesiskan untuk menjelaskan kuru, tidak mungkin
memiliki kemampuan-kemampuan seperti tersebut. Lagi pula menurut penuturan
penduduk setempat, kuru baru timbul pertama kali kurang lebih 50 tahun yang lalu,
masih jelas diingat oleh orang-orang tua dalam kelompok yang bersangkutan.
Kemajuan besar diperoleh pada 1959 ketika seorang ahli epidemiologi lain
mencatat persamaan patologis antara kuru dengan penyakit domba yang dikenal
dengan nama scrapie. Scrapie disebabkan oleh agen yang merembas dan menulari
domba-domba, namun berbeda halnya dengan virus-virus pada umumnya, virus ini
hanya membuahkan penyakit setelah masa inkubasi yang lama, setahun atau lebih.
“Virus infeksi yang lamban” adalah istilah yang kini digunakan bagi penyakit-
penyakit yang membentuk pola tersebut. Kenyataan mengenai daya
penularan scrapie mendorong dilakukannya percobaan di laboratorium, pada awal
tahun 1963 dilakukan penyuntikan atas sejumlah kera simpanse (Chimpan zee) dengan
cairan otak yang dibekukan yang berasal dari penduduk pribumi yang meninggal
karena penyakit kuru. Setelah mengalami masa inkubasi yang lama, hewan-hewan
yang dijangkiti tersebut. Selanjutnya berbagai spesies kera dari Eropa maupun

12
Amerika terkena penyakit serupa setelah disuntuk, dengan masa inkubasi yang lebih
lama lagi. Dengan demikian kuru mempunyai ciri sebagai penyakit makhluk manusia
pertama yang disebabkan oleh virus yang bekerja secara lamban.
Namun bukti-bukti laboratorium dari primat, bukan manusia tidak
menjelaskan perkembangan yang aneh di kalangan penduduk Fore Selatan; penyakit
kuru yang mencapai peningkatan pesat pada tahun 1950-an mulai menurun dengan
cepat pada tahun 1960-an, sehingga pada tahun 1970-an, anak-anak pra remaja tidak
lagi jatuh sakit. Juga hal itu tidak menjelaskan mengenai distribusi kelamin yang
menarik dari penyakit kuru. Disinilah peranan karya etnografi dari pasangan Robert
dan Shirley Glasse, memasuki arena masalh ini. Mereka menemukan bahwa menurut
adat-istiadat setempat, kanibalisme di kalangan wanita Fore Selatan merupakan hal
yang baru, karena baru muncul pertama kalinya sekitar tahun 1910(yakni bersamaan
dengan munculnya penyakit tersebut). Adat tersebut yang diambil-alih dari suku
bangsa tetangga, kemudian dijadikan sebagai bagian dari upacara kematian : kerabat-
kerabat wanita dari si mati, diharuskan memasak dan memakan otak kerabat wanita
yang mati tersebut, dan sisa-sisanya diberikan k makalah sistem-sistem non barat
berbagai kekuatan dan kelemahanepada anak-anak mereka, baik yang laki-laki
maupun yang perempuan. Karena otak tersebut sering tidak cukup matang dimasak,
maka virus yang terdapat pada mayat wanita korban kuru tersebut ditularkan kepada
kerbat-kerabat waniita dan anak-anak dalam keluarga. Menurunnya kasus-kasus kuru
yang terakhir dengan cepat adalah berkat keberhasilan pemerintah Australia
menghapuskan kanibalisme. Dengan kata lain, dengan berhentinya kanibalisme, dapat
disumsikan bahwa penyakit kuru lambat-laun akan hilang. Penjelasan itu sebenarnya
kini telah diterima oleh ahli-ahli epidemiologiyang menangani masalah tersebut; tetapi
yang masih harus diwajib adalah pertanyaan, dari mana asal virus itu dan bagaimana
virus tersebut tersembunyi menjelang 1910.
J. Ekologi dan Pembangunan
Pembangunan merupakan keniscayaan. Skenario mitigasi dalam perencanaan
penggunaan lahan memungkinkan pembangunan dapat berjalan tanpa harus memberikan
dampak lingkungan di kemudian hari.
Pembangunan seringkali dituding sebagai sumber utama rusaknya ekosistem yang
mengakibatkan terlepasnya emisi karbon dan hilangnya habitat bagi kekayaan aneka
ragam hayati. Upaya menyelaraskan kebutuhan ekologi dan pembangunan ini selalu
menjadi isu hangat yang memenuhi ruang-ruang diskusi. Pemerintah Indonesia tengah

13
memprioritaskan upaya penurunan emisi karbon dan menahan laju pemanasan global
melalui berbagai strategi.
Salah satu strategi Indonesia mencapai nol emisi karbon (net zero emission) adalah
menginisiasi FOLU Net Sink 2030 yang merupakan pencanangan pencapaian penurunan
emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Pada
September 2022, Indonesia juga menaikkan target Kontribusi yang Ditetapkan secara
Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) menjadi 31,89 persen dengan
upaya sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan global pada 2030.
K. Penyakit – Penyakit Pembangunan
Penyakit-Penyakit Pembangunan Pembangunan lembah sungai Pemikiran
pembangunan bendungan- bendungan bertujuan untuk : pengendalian banjir,
pembangunan instalasilistrik bertenaga air, pertanian irigasi, dan keuntungan lain. Namun,
banyak proyek tersebut yang kemudian mengakibatkan bahaya yang cukup tinggi bagi
kesehatan, terutama yang paling serius adalah peningkatan penyakitbilharziasis dan
ochoncerciasis. Bilharziasis disebabkan oleh salah satu spesies cacing pita dari genus
schistoma, yang ditularkan lewat vectorsiput air. Bilharziasis dapat disembuhkan, tetapi
pengobatannya lama dan sering kali di sertai oleh efek sampingan yangtidak
menyenangkan. Lagipula, penyakit tersebut tidak memberikan imunitas terhadap
kemungkinan terkena kembali,sehingga angka penularan kembali cukup tinggi.
Ochonceciasis (buta sungai) dampaknya jauh lebih kurang di bandingkan dengan
bilharziasis. Namun, semakinmengancam banyak penduduk yang berdiam di sepanjang
tepian sungai-sungai atau danau-danau tropis. Vector lalatyang hidup dalam lingkungan
yang demikian menggigit korbannnya di bagian belakang kepala mereka,
meletakkantelurnya yang apabila menetas akan menjadi larva yang merusak syaraf mata.
Pembudidayaan tanah Pertanian sistematis di daerah pesisir karibia merupakan kondisi
ideal bagi peningkatan pengembangbiakan jenisnyamuk anopheles yang menularkan
penyakit malaria.Pembangunan jalan raya. Beberapa penyakit yang dulu terbatas
wilayahnya atau menyebar secara lambat, disebarkan ke daerah-daerahyang semula bebas
penyakit, sebagai akibat dari komunikasi besar-besaran yang dimungkinkan oleh adanya
jalan raya,jalan kereta api dan lalu lintas udara. Maka jalan raya merupakan tipe transmisi
militer, dan jalan-jalan modern yangdibangun untuk pembangunan ekonomi dapat
menimbulkan bahaya besar bagi kesehatan penduduk di daerah endemik,tujuan
pembangunan jalan adalah mendorong arus lalu-lintas serta pertemuan manusia dan
barang-barang, tetapidampaknya yang kemudian adalah hubungan antara manusia vektor

14
terhadap beberapa jenis penyakit yang dibawa olehserangga. Urbanisasi Migrasi
penduduk desa ke daerah pemukiman miskin yang padat diperkotaan menyebabkan
timbulnya berbagai masalah kesehatan.
Masyarakat-masyarakat tradisional yang telah lama menetap pada suatu lengkungan
yang sama biasanya tanpa disadari memiliki kearifan dalam hal pemanfaatan sumber-
sumber makanan yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka. Namun dalam
kehidupan kota, kerena tergiur oleh minumanminuman botol, gula-gula dan makanan
pabrik yang berkarbohidrat tinggi, kearifan itu menjadi tak berarti. Program-program
Kesehatan Masyarakat Di Malaysia Utara, penyemrotan pada rumah-rumah sebagian
besar membunuh vektor-vektor malaria setempat yang hidup di dalam rumah. Pada tahun
1959, jagung kuning dari Cuba diperkenankan didaratan timur Bolivia. Jagung tersebut
yang lebih unggul bagi perbaikan makanan manusia dan hewan. Di kepulauan Ryukyu,
dalam rangka mencegah trachoma, anak-anak sekolah didaerah-daerah yang airnya cukup
banyak diwajibakan mencuci tangan dan muka mereka sebelum diperbolehkan makan.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Antropologi kesehatan mempelajari bagaimana kesehatan individu, formasi sosial
yang lebih luas dan lingkungan dipengaruhi oleh hubungan antara manusia dan spesies lain,
norma budaya dan institusi sosial, politik mikro dan makro, dan globalisasi. Budaya memiliki
kaitan yang erat dengan kesehatan. Hal ini tidak lain karena pngertian budaya itu sendiri
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat dan kebiasaan.
Ini dikarenakan budaya bersifat dinamis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan.

B. Saran
Sebagai individu yang berperan dalam kesehatan masyarakat, pemahaman akan
budaya masyarakat sangat penting dalam memecahkan permasalahan kesehatan
masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Anderson, Foster. (2006). Antropologi Kesehatan. Jakarta : UI Press.
FKM UI. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Arif. 2011. Menyehatkan Gigi dan Mulut dengan Budaya Nginang dari Jawa (online).
Diakses dari arif-healthy.blogspot.com pada 16 November 2014
Djati, Raka. 2014. 12 Manfaat Puasa Bagi Kesehatan Tubuh.
Hapsari, Endah. 2012. Inilah Manfaat dan Rahasia di Balik Gerakan Shalat (1). (online).
Diakses dari www.republika.co.id pada 17 November 2014.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
Komalasari, Suryati. 2013. Macam-macam Kebudayaan di Indonesia (online). Diakses dari
malla22.blogspot.com pada 16 November 2014
Narottama, Nararya. 2013. Tumpek Kandang, Antara Konsep dan Realita (online). Diakses
dari majalahhinduraditya.blogspot.com pada 16 November 2014
Pranowo. 2012 dalam Nur Syam. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Rustanto, Anton. 2007. Kebenaran itu Bukan Tradisi.

17

Anda mungkin juga menyukai