Anda di halaman 1dari 15

KEBUDAYAAN SAKIT PADA MASYARAKAT

PSIKOLOGI SOSIAL DAN BUDAYA KEPERAWATAN

Disusun Oleh:

AKMALIA NUR ALISA P07220218002

LILIK SUPARWATI P07220218010

M. SYARWANI ABDAN P07220218018

SERLY HARDANIA P07220218031

SUWARATU AYU AZHIIM P07220218033

WULAN SIH RAHAYU P07220218038

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat
juga Ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang sederhana
ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat menjadi pemenuh tanggung
jawab atas tugas yang diberikan oleh Bapak Edi Purwanto., SST., M.Kes, selaku
dosen Psikososial Budaya Dalam Keperawatan mahasiswa Sarjana Terapan
Keperawatan tingkat 2, selain daripada itu penulis juga berharap bahwa makalah
ini dapat memberikan manfaat dalam membantu melengkapi wawasan pembaca.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada dosen


pembimbing mata kuliah Psikososial Budaya Dalam Keperawatan, juga kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan sehingga makalah
ini dapat terselesaikan. Makalah ini penulis akui masih banyak menyimpan
kekurangan karena pengalaman yang belum sepenuhnya mendukung. Oleh karena
itu penulis harapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan masukan
yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah penulis.

Samarinda, 20 Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI .......................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1

C. Tujuan .............................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2


A. Pengertian Kebudayaan dan Rumah Sakit ....................................................... 3

B. Kebudayaan Rumah Sakit ................................................................................ 5

C. Karakteristik Kebudayaan Rumah Sakit .......................................................... 8

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 11


A. Kesimpulan .................................................................................................... 11

B. Saran .............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


yang banyak membawa perubahan terhadap kehidupan manusia baik
dalam hal perubahan pola hidup maupun tatanan sosial termasuk dalam
bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang
berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh
masyarakat yang bermukim dalam suatu tempat tertentu.
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan
penting dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda
bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu
perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa
memberikan dampak positif maupun negatif.
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat
hubungannya, sebagai salah satu contoh suatu masyarakat desa yang
sederhana dapat bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai dengan
tradisi mereka. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan
respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa
memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan
untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka
mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana
meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan
kesehatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan dan rumah sakit?
2. Apa saja kebudayaan yang ada di rumah sakit?
3. Bagaimana karakteristik kebudayaan rumah sakit?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan Umum: untuk mengetahui penjelasan secara detail tentang


kebudayaan sakit pada masyarakat

1
Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kebudayaan dan rumah sakit


2. Untuk mengetahui kebudayaan yang ada di rumah sakit
3. Untuk mengetahui karakteristik kebudayaan rumah sakit

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan dan Rumah Sakit

1. Konsep Kebudayaan

Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi


sejak awal mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal
studi perilaku organisasi. Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep
budaya timbul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama dalam
memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein (1984)
mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhir ini berpendapat tentang
peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan organisasi.
Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya,
maka telaah terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi
yang dikandungnya.

Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan


dengan Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak
eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau
pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini,
bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini
memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar
kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang
sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh
Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli
Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut.
Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang
pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang
dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi
tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi
tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam
Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan
defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam
kehidupan sehari-hari:

“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak


hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi
dan lebih diinginkan”.

3
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan
juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau
kelompok penduduk tertentu.

2. Pengertian Rumah Sakit


Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional
yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli
kesehatan lainnya. Berikut ini ialah beberapa jenis-jenis rumah sakit yang
akan dijelaskan untuk memberikan gambaran mengenai kebudayaan
rumah sakit.

• Rumah sakit umum


Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah
ditemui di suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk
perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga
dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin,
laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja
bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya.
Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center
(pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern.
Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan
kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik).
Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit.

• Rumah sakit terspesialisasi


Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula,
atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric
(psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain. Rumah sakit bisa
terdiri atas gabungan atau pun hanya satu bangunan. Kebanyakan
mempunyai afiliasi dengan universitas atau pusat riset medis tertentu.
Kebanyakan rumah sakit di dunia didirikan dengan tujuan nirlaba.

• Rumah sakit penelitian/pendidikan


Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait
dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada
suatu universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini
dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat
baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan oleh

4
pihak universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian
masyararakat / Tri Dharma perguruan tinggi.

• Rumah sakit lembaga/perusahaan


Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk
melayani pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga
tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena
penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya
rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan
gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang
terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit
lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan
menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum.

• Klinik
Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan tertentu.
Biasanya dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau dokter-
dokter yang ingin menjalankan praktek pribadi. Klinik biasanya hanya
menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa kumpulan klinik yang
disebut poliklinik.

B. Kebudayaan Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks


karena ia merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan
ciri-ciri serta fungsifungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa
medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayanan
penderita. Di samping melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan
masyarakat, rumah sakit juga mempunyai fungsi pendidikan dan penelitian
(Boekitwetan 1997).

Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua


institusi. Pertama adalah pemerintah dengan maksud untuk menyediakan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum terutama yang tidak mampu.
Kedua adalah institusi keagamaan yang membangun rumah sakit nirlaba
untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran agamanya.
Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi
pemerintah tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit
pemerintah digalakkan untuk mulai berorientasi ekonomis. Untuk itu,

5
lahirlah konsep Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji pegawai
ditanggung pemerintah namun biaya operasional rumah sakit harus
ditutupi dari kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan
demikian, kini rumah sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap
melakukan pelayanan publik sekaligus memperoleh penghasilan (laba)
atas operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
masyarakat.

Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan


tuntutan eksternal yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan
pada upaya penyesuaian diri untuk merespons dinamika eksternal dan
integrasi potensi-potensi internal dalam melaksanakan tugas yang semakin
kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak
mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat
sekaligus memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup
organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber daya manusia
yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan kerjanya. Pengabaian
atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat berdampak
serius pada kualitas pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut,
pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana
terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar yang
terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang berkepentingan
(seperti investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi
pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam
mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun
sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang persoalan ini belum
banyak diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum
memadai. Mengingat kondisi demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk
menggambarkan berbagai aspek dan karakteristik budaya organisasi rumah
sakit sebagai lembaga pelayanan publik.

Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya


keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan dibidang
transportasi dan komunikasi, majunya IPTEK serta derasnya arus sistem
informasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah.
Masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu
termasuk pelayanan kesehatan. Pelayanan rumah sakit yang baik
bergantung dari kompetensi dan kemampuan para pengelola rumah sakit.
Untuk meningkatkan kemampuan para pengelola rumah sakit tersebut
selain melalui program pendidikan dan pelatihan, juga diperlukan

6
pengaturan dan penegakan disiplin sendiri dari para pengelola rumah sakit
serta adanya yanggung jawab secara moral dan hukum dari pimpinan
rumah sakit untuk menjamin terselenggaranya pelayanan yang baik.
Kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Institusi yang
spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India.

Rumah sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada


tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di
Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat
yang dibiayai anggaran kerajaan. Perubahan rumah sakit menjadi lebih
sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17. Tetapi baru pada abad 18
rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan
pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan
konsep ini. Guy's Hospital didirikan di London pada 1724 atas permintaan
seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta
seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris
di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania General Hospital di
Philadelphia pada 1751. setelah terkumpul sumbangan £2,000. Di Eropa
Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik. Namun secara umum
pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika
Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit.

Selain itu dalam perkembangan teknologi dan berbagai bidang


yang lainnya tercipta sebuah istilah yang menandakan sebagai suatu
Budaya dalam lingkup kesehatan istilah tersebut ialah Komite Etik Rumah
Sakit (KERS), dapat dikatakan sebagai suatu badan yang secara resmi
dibentuk dengan anggota dari berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam
rumah sakit yang bertugas untuk menangani berbagai masalah etik yang
timbul dalam rumah sakit. KERS dapat menjadi sarana efektif dalam
mengusahakan saling pengertian antara berbagai pihak yang terlibat
seperti dokter, pasien, keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai
masalah etika hukum kedokteran yang muncul dalam perawatan kesehatan
di rumah sakit.

Ada tiga fungsi KERS ini yaitu pendidikan, penyusun kebijakan


dan pembahasan kasus. Jadi salah satu tugas KERS adalah menjalankan
fungsi pendidikan etika. Dalam rumah sakit ada kebutuhan akan
kemampuan memahami masalah etika, melakukan diskusi multidisiplin
tentang kasus mediko legal dan dilema etika biomedis dan proses
pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan ini.

7
C. Karakteristik Kebudayaan Rumah Sakit (Organisasi)
1. Pertama, asumsi karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi
yang menunjukkan bahwa organisasi mereka didominasi dan sangat
dipengaruhi oleh beberapa pihak eksternal, yaitu pemilik saham,
Departemen Kesehatan sebagai pembina teknis, dan masyarakat
pengguna jasa kesehatan sebagai konsumen. Peran masyarakat kini
begitu dirasakan sejak RS menjadi institusi yang harus mampu
menghidupi dirinya sendiri tanpa mengandalkan subsidi lagi dari
PTPN XI. Pada situasi seperti ini, karyawan menyadari betul fungsi
yang harus dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu
mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan
keluarganya, serta para pengunjung lainnya.

Nilai-nilai yang sudah ditanamkan kepada karyawan dalam


memberikan pelayanan kepada konsumennya tadi dapat terungkap dari
pandangan mereka bahwa justru konsumenlah orang terpenting dalam
pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan
bergantung padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan.
Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan karyawan namun merekalah
tujuan karyawan bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk menolong
pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan karena
pasien tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk
memberikan pelayanan. Oleh karena itu jika terdapat perselisihan
antara karyawan dan pasien maka karyawan haruslah mengalah karena
tidak ada yang pernah menang dalam berselisih dengan konsumen.
Dengan melihat nilai yang ditanamkan pada setiap karyawan tersebut
maka dapat dijelaskan tentang berlakunya asumsi fungsi pelayanan di
RS.

2. Kedua, tentang pandangan karyawan mengenai bagaimana sesuatu itu


dipandang sebagai fakta atau tidak (kriteria realitas) dan bagaimana
sesuatu itu ditentukan sebagai benar atau tidak (kriteria kebenaran).
Kriteria realitas yang dominant berlaku di RS X adalah realitas sosial
yang berarti bahwa sesuatu itu dapat diterima sebagai fakta bila sesuai
dengan kebiasaan yang telah ada atau opini umum yang berkembang di
lingkungan RS X. Sementara itu, karyawan RS X juga berpandangan
dominan bahwa kebenaran lebih ditentukan oleh rasionalitas. Dengan
kata lain, sesuatu itu dapat dipandang sebagai benar bergantung pada

8
rasioanalitas kolektif di lingkungan RS X dan bila telah ditentukan
melalui proses yang dapat diterima dalam saluran organisasi.

3. Ketiga, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat


dasar manusia. Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa
manusia atau teman sekerja mereka itu memiliki sifat yang pada
dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat memperhatikan waktu kerja
(masuk dan pulang kerja tepat waktu), siap membantu pekerjaan
rekan-rekan lainnya. Namun demikian mereka juga berpandangan
bahwa sifat ini tidak selamanya berlaku konsisten. Akan ada selalu
godaan atau kondisi yang dapat mengubah sifat manusia. Mereka
percaya betul bahwa tidak ada sifat yang kekal, sifat baik dapat saja
berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa berubah menjadi
baik.

4. Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas


manusia yang menunjukkan bahwa aktivitas manusia itu harmoni atau
selaras dengan aktivitas organisasi. Tidak hanya aktivitas manusia saja
yang mampu menentukan keberhasilan organisasi. Namun mereka juga
menolak bahwa aktivitas organisasi semata yang menentukan
keberhasilan organisasi karena mereka memandang bahwa aktivitasnya
juga memberikan kontribusi atas keberhasilan organisasi. Pada intinya,
mereka memandang bahwa aktivitasnya yang meliputi curahan waktu,
tenaga, dan pikiran harus selaras dengan aktivitas organisasi secara
keseluruhan yang berupa kinerja sumber daya manusia, keuangan,
aktiva tetap, infra dan supra struktur organisasi.

5. Kelima, berkenaan dengan asumsi hakikat hubungan manusia yang


hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antar karyawan lebih bersifat
kekeluargaan. Kekeluargaan 10 tidak dipahami sebagai nepotisme atau
usaha keluarga, namun kekeluargaan dipahami sebagai hubungan antar
inidividu dalam suatu kelompok kerja sebagai suatu kerja sama
kelompok yang lebih berorientasi pada konsensus dan kesejahteraan
kelompok. Dalam suatu kelompok kerja seorang karyawan terkadang
tidak hanya menjalankan tugas hanya pada bidang tugas yang tertera
secara formal karena ia harus siap membantu bidang tugas yang lain
yang dapat ditanganinya. Seorang perawat di unit bedah dengan tugas
khusus sterilisasi tidak hanya menangani tugasnya saja. Ia harus siap

9
membantu karyawan lainnya untuk juga menangani instrumen dan
pulih sadar. Semua pekerjaan itu dilakukan sebagai suatu kerja sama
kolektif dalam mencapai efektivitas organisasi. Hubungan antar
karyawan tidak sebatas hubungan kerja, kerapkali mereka jauh lebih
terikat secara pribadi dan saling mengerti tentang karakteristik pribadi
lainnya. Suasana guyub terlihat dalam suasana saling membantu tidak
hanya dalam konteks kerja tetapi juga di luar pekerjaan.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kombinasi karakteristik dari asumsi dasar memunculkan budaya
organisasi yang bersifat integral. Kombinasi ini bisa dikategorikan sebagai
budaya adaptif sehingga mampu mendukung organisasi memenangkan
adaptasi eksternal. Pada saat yang sama konfigurasi atas asumsi dasar juga
menunjukkan tipologi budaya organisasi yang kuat. Dengan demikian
memudahkan organisasi mencapai integrasi internal jika terdapat
kesesuaian antara karakteristik budaya dengan praktek manajemen.

B. Saran
Pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu serta berkualitas penting
dalam pembangunan karena akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang
prima sehingga kepuasan dapat dirasakan oleh setiap masyarakat olehnya
itu pelayanan kesehatan harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh
tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat

11
DAFTAR PUSTAKA

Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan


Keselamatan Kerja. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005.

Gibson & Ivanicevich & Donnely. (1996) Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses.
Penerjemah Adiarni, N. Binarupa Aksara, Jakarta.

Manz, C.C. & Sims, H.P., Jr. (1990) Super Leadership : Leading Others to Lead
Themselves. Berkley Books, New York.

12

Anda mungkin juga menyukai