Anda di halaman 1dari 13

KOMUNIKASI RISIKO

PENGANTAR
Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial. Dalam hidupnya Ia selalu memerlukan
orang lain. Karena itu, komunikasi merupakan kebutuhan bagi kehidupannya. Dimanapun
manusia berada, betapapun sederhananya tata kehidupannya disuatu masyarakat.

Komunikasi menjadi bagian penting dalam kehidupan. Melalui komunikasi seseorang


berinteraksi dengan yang lainnya baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi.
Sebagian besar interaksi manusia berlangsung dalam komunikasi interpersonal. Interaksi
antar individu dapat berjalan dengan baik apabila terjalin komunikasi yang baik diantara
mereka.

Petugas kesehatan perlu mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik karena


dalam menjalankan tugasnya selalu berhadapan dengan pasien dan berkomunikasi
dengan mereka untuk menyampaikan informasi-informasi kesehatan.

Sebuah wabah penyakit seperti Corona Virus atau Ebola dapat terjadi kapan saja dan
tidak dapat diprediksikan, tidak seorangpun yang dapat menebak waktu yang tepat wabah
ini akan menyerang seluruh dunia, tapi yang dapat dipastikan yakni adalah wabah ini
dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi kepada masyarakat untuk
menghindari penyebaran penularan penyakitnya, menjelaskan risiko dan langkah-langkah
apa yang perlu diambil, dengan memberikan informasi tindakan apa yang harus dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan, sehingga rantai penularan penyakit dapat di putus.

MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK

1. Komunikasi Risiko
a. Pengertian
b. Tujuan
c. Ruang Lingkup
d. Pelaksanaan

2. Sasaran komunikasi, perilaku dan sosial budaya


a. Sasaran komunikasi
b. Pemberdayaan masyarakat
c. Perilaku
d. Sosial budaya

3. Strategi Komunikasi Risiko


a. Komunikasi dalam keadaan krisis kepada masyarakat
b. Komunikasi dalam keadaan krisis kepada pengambil Keputusan
c. Komunikasi dengan media

4. Teknik komunikasi dalam penyebarluasan informasi

URAIAN MATERI

1. KONSEP KOMUNIKASI RISIKO


a. Pengertian
Komunikasi risiko pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian proses
meminimalkan risiko, yang terdiri dari tiga komponen, yaitu persepsi risiko, manajemen
risiko dan komunikasi risiko.
1) Persepsi risiko adalah suatu proses penentuan faktor-faktor dan tingkat risiko
berdasarkan data-data ilmiah.
2) Manajemen risiko adalah proses penyusunan dan penerapan kebijakan dengan
mempertimbangkan masukan dari bebagai pihak untuk melindungi masyarakat
dari risiko, dalam hal ini risiko terhadap kesehatan.
3) Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara timbal balik dalam
pelaksanaan manajemen risiko.

Komunikasi risiko adalah proses pertukaran informasi secara terus-menerus, baik


langsung dan tidak langsung dengan pemberitaan yang benar dan bertanggung jawab
yang terbuka dan interaktif atau berulang di antara individu, kelompok atau lembaga.

Komunikasi harus terbuka, interaktif dan transparan. Karakterisasi risiko yang


diperoleh dari penilaian risiko serta pengendalian risiko atau kebijakan yang akan
diimplementasikan, harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait,
sehingga semua pihak yang terkait dalam rantai pangan memperoleh informasi yang
cukup mengenai pencegahan dan tindakan tepat yang harus dilakukan.

Komunikasi dengan berbagai pihak baik kepada tokoh agama, tokoh masyarakat,
peternak dan masyarakat yang baik dan benar sangat penting sehingga tidak ada
prasangka bahwa masyarakat akan selalu dirugikan atau diberi beban oleh peraturan
atau kebijakan. Komunikasi risiko juga harus bersifat mendidik dan melindungi
masyarakat, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya pencegahan dan
kemungkinan bahaya yang akan terjadi seperti bahaya kejadian luar biasa (KLB).

Komunikasi risiko juga bertujuan memberi pengertian kepada masyarakat yang


merupakan titik awal rantai pencegahan penyakit. Memberikan pengertian kepada
masyarakat bukanlah hal yang mudah, terlebih masyarakat dengan pendidikan relatif
rendah. Tanpa adanya kesadaran masyarakat, konsep bagaimana menyadarkan
masyarakat untuk dapat melakukan pencegahan sulit diterapkan. Komunikasi yang
efektif akan menentukan penerimaan masyarakat akan informasi. Konflik atau

2
perbedaan pendapat di antara pihak yang terlibat dapat diselesaikan dengan
komunikasi yang efektif.

Gambar 1 : Komunikasi Risiko

b. Tujuan
Tujuan komunikasi risiko adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam
kesiapsiagaan penanggulangan KLB dan Wabah, yaitu :
1) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam kesiapsiagaan penanggulangan
KLB dan Wabah.
2) Prinsip dasar komunikasi risiko, sebagai landasan umum pengambilan
keputusan dan penetapan kegiatan kesiapsiagaan
3) Prosedur penyelenggaraan kegiatan komunikasi risiko
4) Upaya menggalang kemitraan dalam menghadapi KLB dan Wabah.
5) Mengembangan pesan-pesan pencegahan dan penanggulangan KLB dan
Wabah.

c. Ruang Lingkup
Dalam penanggulangan KLB dan Wabah, ruang lingkup kegiatan komunikasi risiko
mencakup persiapan dan pelaksanaan komunikasi risiko, dibagi atas tahap
sebelum, saat dan setelah KLB dan Wabah.

Dua kegiatan inti komunikasi risiko adalah penyebaran informasi:


1) Tim Komunikasi Risiko (TKR)
- Menggerakkan masyarakat agar berperan serta aktif dalam Menghadapi
KLB dan Wabah

3
- Menyampaikan informasi secara baik langsung (penyuluhan, rapat desa,
dll) dan tidak langsung (media cetak dan elektronik)
- Menggalang kemitraan dengan berbagai unsur yang dimasyarakat

2) Tim Sentra Media (TSM)


Sentra Media / SM (untuk pengumpulan informasi dari dan penyebaran
informasi kepada masyarakat dalam dan luar negeri melalui media massa)

d. Pelaksanaan
1) Fungsi Operasional
a) Pemberdayaan masyarakat
b) Penggerakan masyarakat
c) Penyuluhan kesehatan
d) Menyampaikan informasi
e) Mobilisasi sosial
f) Advokasi

2) Tempat-tempat yang perlu dukungan


a) Desa wilayah KLB/wabah
- Bidan Desa
- Kader
- Tokoh Masyarakat
- Tokoh Agama
- Tokoh Adat
- Organisasi masyarakat (PKK, Karang Taruna, dll)
- LSM
- Lintas program dan lintas sektor
- Dunia swasta
b) Tim TGC
- Tim Komunikasi risiko
c) Puskesmas
- Petugas Promosi Kesehatan
d) Rumah sakit rujukan
- Petugas Promosi Kesehatan di RS (PKRS)
e) Pelabuhan laut
- Petugas Kesehatan Pelabuhan (KKP)
f) Tempat-tempat lain yang dianggap perlu

3) Organisasi
a) Tingkat Pusat
b) Tingkat Propinsi
c) Tingkat Kota
d) Tingkat Rumah Sakit
e) Tingkat Puskesmas

4) Logistik
Dukungan logistik yang diperlukan

4
a) Mobil Penyuluhan
b) Media informasi :

Media Cetak Media Elektronik Media


Internet/DIgital
1 Leaflet 1 Radio Website
2 Brosur 2 Televisi Media Sosial
3 Poster 3 Mobil penyuluh
4 Baliho
5 Standing banner
6 Spanduk
7 Stiker

5) Sosial Media

2. Sasaran Komunikasi, Perilaku dan Sosial Budaya

a. Sasaran Komunikasi
Sasaran komunikasi dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu sasaran primer,
sekunder dan tersier. Kategorisasi sasaran ini tidak berarti mengelompokkan
masyarakat dalam kelompok yang terpisah, melainkan pengelompokan dalam konteks
posisi dan peran kelompok sebagai sasaran komunikasi.

Sasaran primer adalah individu, kelompok atau masyarakat yang diharapkan akan
berubah perilakunya. Yang termasuk dalam sasaran primer adalah semua anggota
masyarakat yang berisiko tertular.

Sasaran sekunder adalah individu, kelompok atau organisasi yang mempengaruhi


perubahan perilaku sasaran primer. Yang termasuk dalam sasaran sekunder adalah
kader, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, petugas pemerintah,
organisasi profesi, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, dan sebagainya.

Sasaran tersier adalah individu, kelompok atau organisasi yang memiliki kewenangan
untuk membuat kebijakan dan keputusan dalam pelaksanaan penanggulangan yang
termasuk dalam sasaran tersier adalah para pejabat eksekutif, legislatif, penyandang
dana, pimpinan media massa, dan sebagainya.

Pemahaman mengenai sasaran komunikasi sangat diperlukan agar tidak terjadi


kesalahan dalam penetapan tujuan suatu kegiatan komunikasi, penyusunan isi pesan,
pemilihan metode, alat dan bahan, dan hal-hal lain yang diperlukan dalam persiapan
kegiatan.

Sasaran utama komunikasi risiko adalah masyarakat dan pihak-pihak terkait yang
berisiko terserang penyakit, yang meliputi:
1) Masyarakat dalam wilayah penanggulangan KLB/wabah

5
2) Masyarakat di sekitar Daerah perbatasan desa, kabupaten, kota yang berbatasan
langsung dengan lokasi penanggulangan KLB/wabah
3) Masyarakat di luar dua wilayah di atas, yang masih dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

PETA WILAYAH KERJA KOMUNIKASI RISIKO

wilayah KLB/wabah

wilayah sekitar

di luar wilayah

Gambar 2 : Peta Wilayah Kerja Komunikasi Risiko

Pelaku komunikasi risiko adalah para petugas unit-unit terkait komunikasi risiko yang
tugas pokok dan fungsi utamanya memberdayakan dan mengerakkan masyarakat
serta berperan aktif dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat, dengan
penyampaian ke masyarakat secara langsung maupun tidak langsung baik serta
masyarakat dalam negeri dan luar negeri melalui media cetak dan elektronik.

b. Perilaku
Perilaku adalah respon rangsangan individu, baik yang berasal dari luar maupun dari
dalam dirinya atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi
spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku juga merupakan
kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa
interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat
memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat
penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu
mengubah perilaku tersebut.

Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada perilaku, didasarkan atas 3


faktor esensial ;

1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu


penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku.
3. Perilaku itu sendiri.

6
Ketiga faktor diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana
& petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi
tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil
kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan adanya kepercayaan bahwa
perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi
perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik
individu, penilaian individu terhadap perubahan yang di tawarkan, interaksi dengan
petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman
mencoba merubah perilaku yang serupa.

c. Sosial Budaya
Sosial budaya adalah keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Perubahan perilaku harus mempertimbangkan nilai-nilai tersebut yang ada di
masyarakat, nilai-nilai yang sudah baik bisa diteruskan dan dipertahankan agar tidak
hilang, sedangkan nilai yang tidak mendukung pemeliharaan/pencegahan kesehatan
bisa diubah menjadi lebih baik lagi.

Aspek sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi
antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena
yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit. Peran sosial
budaya sangat besar di masyarakat dalam penanggulangan penyakit, untuk itu
diharapkan adanya perubahan sosial budaya yang lebih baik dimasyarakat dari yang
baik terhadap diri, keluarga dan masyarakat hidup dengan unggas yang lebih sehat

3. Strategi Komunikasi Risiko

a. Komunikasi Dalam Situasi Krisis


Dalam situasi krisis, setidaknya terdapat lima hal yang harus diperhatikan untuk
dilakukan. Lima hal tersebut disarikan dari pengalaman WHO dalam mengatasi
komunikasi dalam berbagai situasi krisis, yaitu :

1) Kepercayaan. Kepercayaan merupakan elemen yang sangat penting dalam


komunikasi. Pada dasarnya masyarakat akan mau mengikuti anjuran petugas
apabila mereka mempunyai kepercayaan terhadap petugas. Sebaliknya petugas
juga harus mempunyai kepercayaan pada masyarakat. Kepercayaan bukan hal
yang diperoleh secara instant, jadi perlu dibangun secara terus-menerus. Jika
terdapat situasi dimana masyarakat tidak menaruh kepercayaan pada petugas
atau pemerintah, maka tugas pertama adalah membangun atau mengembalikan
kepercayaan masyarakat terlebih dahulu.

2) Pemberitahuan Pertama. Jika telah dideteksi terjadinya kasus, maka perlu


memberitahu secepatnya kepada masyarakat, bahkan meskipun penjelasan
lebih rinci belum diperoleh. Masyarakat perlu mengetahui keadaan sebenarnya
dari petugas yang berwenang, tidak dari pihak lain.

7
3) Transparansi. Petugas atau Juru Bicara harus memberikan informasi sejujur
mungkin mengenai keadaan yang sedang terjadi. Tidak perlu ragu untuk
menjelaskan hal yang sudah diketahui dan hal yang belum diketahui atau belum
jelas pada saat itu. Petugas juga harus menjelaskan hal-hal yang dapat dilakukan
oleh masyarakat untuk membantu mengendalikan keadaan.

4) Pendapat dan Sikap Masyarakat. Pada situasi krisis sangat penting untuk
mengetahui apa yang menjadi pendapat dan concern masyarakat. Secara
khusus perlu ditanyakan dan ditelusuri apa kata masyarakat, termasuk sikap,
kepercayaan, kebiasaan dan aspek perilaku yang lain. Hal ini tentunya akan
menjadi pertimbangan yang berguna dalam menyusun pesan kunci maupun
strategi komunikasi.

5) Perencanaan. Perencanaan, atau persiapan, betapapun krisis situasinya


merupakan hal yang harus dilakukan. Perlu disusun rencana komunikasi krisis,
yang antara lain mencakup penetapan juru bicara, penetapan waktu
pemberitahuan pertama, pesan kunci, hubungan dengan pihak lain, dsb.
Perencanaan ini juga akan menempatkan kegiatan komunikasi sebagai bagian
integral dari manajemen resiko dan kegiatan pengendalian penyakit secara
keseluruhan.

Komunikasi risiko sering kali tertukar dengan komunikasi krisis, Perbedaan


terbesarnya ialah komunikasi risiko dilakukan sebelum ancaman bahaya, saat
terjadi tanggap darurat (krisis), dan sesudah ancaman bahaya. Adapun komunikasi
krisis dijalankan khusus saat krisis/tanggap darurat bahaya bencana sedang terjadi.
Adapun perbedaan secara lebih detail dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 3.1. Perbedaan Komunikasi Risiko dan Komunikasi Krisis


Komunikasi Risiko Komunikasi Krisis
Definisi Komunikasi risiko adalah Komunikasi yang dilakukan
pertukaran informasi, nasihat, dan pada saat krisis dan diperlukan
pendapat mengenai risiko serta untuk meminimalkan dampak
faktor-faktor yang berkaitan dengan krisis agar situasi menjadi lebih
risiko secara real-time antara para baik atau tidak memburuk.
ahli, tokoh masyarakat atau pejabat,
dan orang-orang yang berisiko.
Tujuan Tujuan utama dari komunikasi risiko Tujuan komunikasi krisis
adalah untuk membantu orang adalah untuk memberikan
membuat keputusan yang tepat arahan guna mengatasi risiko
tentang cara menghindari atau serius saat krisis tengah terjadi.
mengelola risiko. Selain itu Selain itu, untuk melindungi
membantu melakukan reputasi suatu
perencanaan yang berdasarkan lembaga/program/saat
fakta dan data ilmiah. menghadapi suatu tantangan
publik.

8
Fungsi Komunikasi risiko memberikan Komunikasi krisis cenderung
edukasi dan informasi, memberikan arahan dan
menyarankan tingkah laku menenangkan kepanikan
pencegahan ancaman bahaya. masyarakat.
Contoh: kampanye pencegahan Contoh: kampanye
rabies. Kampanye memberikan penanggulangan rabies.
edukasi tentang bahaya rabies, juga Kampanye memberikan
mengimbau untuk memberikan informasi tentang pertolongan
vaksinasi kepada hewan pertama pada kasus gigitan,
peliharaan, serta menjaga pelaksanaan eutanasia hewan
kesehatan dan kebersihan mereka. penggigit, dan vaksinasi
massal untuk hewan
peliharaan.
Waktu Dilakukan sebelum, saat, dan Dilakukan saat ancaman
setelah ancaman bahaya. bahaya terjadi.
Output Dengan melakukan komunikasi Seringkali tanpa perencanaan
risiko yang strategis dan terencana, komunikasi yang strategis,
diharapkan lebih siap melakukan sehingga upaya yang
komunikasi saat krisis benar-benar dilakukan terasa sebagai
terjadi. komunikasi “pemadam
kebakaran”. Dengan
dilakukannya komunikasi
risiko, maka akan lebih siap
apabila krisis kesehatan terjadi.

b. Komunikasi dengan media/pers


Media massa, cetak maupun elektronik, merupakan saluran yang sangat efektif
dalam penyebar-luasan informasi, selain juga saluran utama yang menyuarakan
pendapat dan situasi publik. Jadi dalam komunikasi resiko, komunikasi dengan
media massa mutlak dilakukan. Pada dasarnya komunikasi dengan media massa
akan lebih efektif jika hubungan dengan media massa sudah terjalin baik. Tim dapat
menggunakan struktur kehumasan yang sudah ada untuk mendukung proses
komunikasi dengan media massa.

Berikut ini uraian beberapa tip yang dapat digunakan dalam melakukan komunikasi
dengan media/pers :
- Terus menerus mengembangkan materi atau bahan untuk media massa.
- Menggunakan berbagai media yang ada untuk menyampaikan pesan kepada
publik.
- Membangun dan memelihara kontak dengan media massa.
- Memposisikan organisasi sebagai sumber informasi handal untuk media
massa untuk bidang tertentu (kesehatan).

9
- Selalu berhubungan dengan bagian lain untuk memperoleh informasi
mutakhir.
- Perhatikan tenggat waktu penayangan berita.
- Jangan pernah berbohong. Bicara benar, atau diam.
- Jangan membuka pertengkaran yang tak perlu.

Dalam situasi krisis, sering seorang petugas atau juru bicara harus berbicara
dengan media atau dengan publik sesegera mungkin. Betapapun krisis situasinya,
seorang juru bicara tetap harus mempersiapkan diri. Kejelasan informasi dan citra
organisasi akan sangat dipengaruhi oleh penampilan juru bicara.

4. Tehnik Komunikasi Dalam Penyebarluasan Informasi

Beberapa tehnik komunikasi dalam penyebarluasan informasi

a. Pemilihan tehnik
Peter Sandman, ahli Komunikasi Resiko dari Amerika, menyimpulkan terdapat
empat jenis komunikasi yang didasarkan pada situasi kekuatiran masyarakat dan
tingkat bahaya yang sesungguhnya. Formulanya dikenal dengan ”Risk = Hazard +
Outrage”.
1) Situasi pertama adalah dimana tingkat bahaya rendah - sedang (kecil) dan
respon emosional masyarakat rendah – sedang (acuh).
2) Situasi kedua adalah tingkat bahaya rendah (kecil) dan respon emosional
masyarakat tinggi (marah/takut)
3) Situasi ketiga, keadaan dimana tingkat bahaya tinggi (besar) namun respon
emosional masyarakat rendah (acuh).
4) Situasi keempat, dimana tingkat bahaya tinggi (besar) dan respon emosional
masyarakat tinggi (marah/takut).

Pemahaman terhadap situasi ini diperlukan sebagai pertimbangan dalam


mengambil bentuk komunikasi yang paling sesuai.

10
b. Bentuk Komunikasi
Pada bagian berikut diuraikan mengenai bentuk komunikasi yang disarankan untuk
setiap situasi yaitu sebagai berikut :

1) Promosi Kesehatan

Saat tingkat bahaya dan kemarahan masyarakat berada di tingkat sedang


(intermediate) ini adalah situasi yang aman tetapi dialog dengan masyarakat
harus dilanjutkan.

Contoh: Dampak kesehatan karena banjir saat sedang musim panas/kering.


Mitigasi dan kesiapsiagaan perlu diperkenalkan. Hal ini bisa dilakukan melalui
kegiatan edukasi Kesehatan dan mendorong perilaku pencegahan krisis.

2) Pengendalian Keresahan Publik

Ketika tingkat bahaya rendah dan kemarahan masyarakat tinggi, tugas


komunikasi risiko adalah meyakinkan dan menenangkan masyarakat yang
marah atau panik secara berlebihan tentang risiko yang sebenarnya
kecil/rendah.

Contoh: Saat awal beredarnya flu burung tersebar banyak hoaks dan kurang
klarifikasi dari pejabat berwenang. Saat itu, masyarakat takut mengonsumsi
daging ungags dan ayam. Komunikasi risiko harus dilakukan untuk
mengklarifikasi rumor-rumor yang tidak benar dan memulihkan kepercayaan
bahwa memakan daging unggas dan ayam adalah aman.

11
3) Advokasi Untuk Pencegahan
Ketika tingkat bahaya tinggi dan kemarahan masyarakat rendah, tugas
komunikasi risiko adalah memeringatkan masyarakat akan adanya risiko
serius, tanpa menimbulkan kepanikan.

Contoh: Cakupan imunisasi rendah pada balita karena pengetahuan


masyarakat tidak memadai serta adanya rumor-rumor terkait kepercayaan
dan efek samping imunisasi. Atau kesadaran rendah dalam menerapkan 3M
(memakai masker, mencuci tangan, menjaga Jarak). Pada situasi ini fungsi
komunikasi risiko diarahkan untuk memberikan advokasi pada para pejabat
daerah dan pendidikan kepada masyarakat melalui kader-kader kesehatan.

4) Komunikasi Krisis
Saat tingkat bahaya tinggi dan kemarahan masyarakat juga tinggi, tugas
komunikasi risiko adalah membantu masyarakat yang kesal atau panik untuk
mengatasi risiko serius dengan pesan “Kita akan menyelesaikannya bersama”.

Contoh: Saat terjadi tsunami di Aceh Masyarakat panik dan marah sementara
bahaya gempa dan tsunami susulan mengintai. Komunikasi risiko dilakukan
untuk memberikan informasi terpercaya secara terus menerus dan
memberikan pesan-pesan yang menggugah kepercayaan terhadap sistem
penyelamatan yang dilakukan.

5. Referensi
- Modul Komunikasi Risiko Pelatihan Asisten Epidemiologi Lapangan (PAEL), 2010
- Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat Jenderal p Pedoman Komunikasi Risiko
untuk Penanggulangan Krisis Kesehatan.— Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI,2021

12

Anda mungkin juga menyukai