Anda di halaman 1dari 23

AKULTURASI TRADISI AQIQAH DI BARUGA KABUPATEN MAJENE

DOSEN PENGAMPU: Dr. MULIADI, M.Sos, I


Oleh Kelompok 2:

Asprilinda 30356122021
Emmi Muta’ammidan 30356122002
Fikriani Tajuddin 30356122018
Nurhidaya. S 30356122008
Sri Oktavia Ramadhani 30356122025

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

JURUSAN USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MAJENE

TAHUN AJARAN 2023/2023


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi besar kita Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan
para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Atas karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “AKULTURASI TRADISI
AQIQAH DI BARUGA KABUPATEN MAJENE”
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mememnuhi tugas kelompok
pada mata kuliah “Islam dan Budaya Lokal”. Kemudian kami juga berterima kasih
kepada Bapak Dr. MULIADI, M.Sos, I selaku dosen pengampu Mata Kuliah Islam
dan Budaya Lokal yang telah memberikan bantuan dan arahan serta petunjuk yang
jelas sehingga mempermudah kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sehingga kami
bisa membuat makalah dengan baik lagi kedepannya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam Bidang “Islam
dan Budaya Lokal” Terima kasih.

MAJENE, 2 Desember 2024

KELOMPOK 2

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... 2

DAFTAR ISI ................................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 4

LATAR BELAKANG ...................................................................................... 4

RUMUSAN MASALAH ................................................................................. 4

TUJUAN PENELITIAN .................................................................................. 4

JENIS PENELITIAN ....................................................................................... 5

BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................. 6

PENGERTIAN AQIQAH ................................................................................ 6

PROSES PELAKSANAAN AQIQAH DAN MAKNANYA .......................... 9

BAB 3 PENUTUP........................................................................................... 22

KESIMPULAN............................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 23

3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi aqiqah merupakan salah satu praktik keagamaan yang
mendalam dan penuh makna dalam Islam. Praktik ini terkait erat dengan
kelahiran seorang anak dan memiliki akar dalam ajaran-ajaran Islam yang
menggaris bawahi pentingnya rasa syukur, solidaritas sosial, dan
pengabdian kepada Allah SWT. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW,
aqiqah telah menjadi sunnah yang dianjurkan bagi setiap orang tua yang
diberkahi dengan kelahiran anak.
Penelusuran sejarah dan konsep-konsep fundamental dalam aqiqah
memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai perannya dalam
memperkuat ikatan keluarga, mendidik anak dalam nilai-nilai Islam, serta
dampaknya terhadap masyarakat. Keberagaman pelaksanaan aqiqah di
berbagai komunitas Muslim menunjukkan adanya variasi interpretasi dan
praktik, yang mungkin menjadi bagian dari proses akulturasi lokal atau
pemahaman khas suatu kelompok.
Melalui makalah ini, kami akan mengeksplorasi aspek-aspek
historis, teologis, dan budaya dari tradisi aqiqah. Dengan memahami latar
belakang dan nilai-nilai yang terkandung dalam aqiqah, diharapkan
makalah ini dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang peran
penting tradisi ini dalam kehidupan Muslim serta dampaknya terhadap
pemahaman dan praktik keagamaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Aqiqah dan bagaimana hukum aqiqah menurut
pandangan islam?
2. Bagaimana proses pelaksanaan Aqiqah di Baruga dan apa makna yang
tersirat dalam proses aqiqah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi dan konotasi pada
proses pelaksanaan Aqiqah di Baruga, Kab. Majene

4
2. Untuk mengetahui makna pesan dakwah kultural pada pelaksanaan
Aqiqah di Baruga, Kab. Majene
D. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian observasi yaitu menngumpulkan data dengan melakukan
wawancara langsung kepada salah satu masyarakat yang menjadi tokoh
agama di Baruga, Kab. Majene

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aqiqah
Aqiqah adalah hewan sembelihan untuk anak yang baru lahir.
Aqiqah berasal dari bahasa Arab ‘al-aqiqah yang artinya rambut yang
tumbuh di atas kepala bayi sejak dalam perut ibunya hingga tampak pada
saat dilahirkan.1
Secara etimologi, aqiqah adalah bulu atau rambut anak yang baru
lahir. Sedangkan secara terminologi, aqiqah adalah menyembelih hewan
untuk kelahiran anak laki-laki atau anak perempuan ketika masih berusia 7,
14, atau 21 hari.
Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis adalah
rambut kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya.2 Imam Ibnu Qayyim
dalam Kitab Tuhfatul Maudud hal. 25-26, mengatakan bahwa: Imam
Jauhari berkata: aqiqah ialah menyembelih hewan pada hari ke tujuh dan
mencukur rambutnya. Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: “dari penjelasan
jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur
di atas dan ini lebih utama”.
Imam Ahmad dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa apabila
ditinjau dari segi syar’i, maka yang dimaksud dengan aqiqah ialah makna
berkurban atau menyembelih (An-Nasikah). Pelaksanaan aqiqah
disunnahkan pada hari ke tujuh dari lahir, hal ini berdasarkan Sabda Nabi
Muhammad SAW. Yang artinya: “setiap anak itu tergadai dengan hewan
aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ketujuh, dan beliau dicukur, dan
diberi nama”. (HR. Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan
oleh At-Tirmidzi).
Hadis di atas mengisyaratkan sebuah pengetian aqiqah secara jelas,
yaitu binatang yang disembelih sebagai tebusan bagi tergadainya kesejatian

1
Siti Aminah, Tradisi Penyelenggaraan Aqiqah Masyarakat Purworejo (Kajian Living Hadis),
Universum Vol. 12 No. 2, Juni 2018, hal. 74.
2
Seputar Aqiqah, https://aqiqahmadenah.com/pengertian-aqiqah diakses pada 9 Juli 2021.

6
hubungan batin antara orang tua dengan anak. Dan penyembelihannya
dilakukan pada hari ke tujuh dari kelahiran anak bersamaan dengan
mencukur rambut kepalanya serta memberikan nama baginya.
1. Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah yang disepakati para ulama ialah Sunnah
Muakkadah, yaitu Sunnah yang diutamakan.3 Namun, sebagian ulama
mengatakan Wajib. Maksudnya, bagi para orang tua muslim, khususnya
bagi yang mampu, ibadah aqiqah dilakukan dalam bentuk ritual yang benar-
benar bernuansa islami. Tentu sudah menjadi kebanggaan bagi orang tua
dengan rasa cinta kasih bisa mengaqiqahkan anak-anaknya dan berharap
limpahan karunia dan pahala dari Allah SWT. Pada dasarnya, syariat islam
itu memudahkan, bukan menyulitkan.

Allah SWT telah berfiman, QS. Al-Baqarah (2):185,

َ‫ََاللَُبِ ُك ُمََالْيُ ْسرَََولََيُ ِريْ ُدََبِ ُك َُمََالْعُ ْسر‬


َّٰ ‫َيُ ِريْ ُد‬

yang artinya:“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak


menggendaki kesukaran bagimu”.

Dan di dalam QS. Al-Hajj (22):78,

ِ ‫ََفََال ِّدي ِن‬


‫ج‬
َ ‫ََم ْنََحر‬ ْ ِ ‫ََاجت ٰبى ُك َْمََوماََجعلََعل ْي ُك ْم‬
ْ ‫ُهو‬
yang artinya: “Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan”.

Allah SWT berfirman,

3 Adang M. Tsaury, Penyambutan Kelahiran Anak Dan Aqiqah, Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. 1 No. 2, Agustus 2001, hal.184.

7
َ‫ََي ِز ْيََوالِدَََع ْن‬ََ ‫َاسََاتَ ُق ْواَربَ ُك ْمََوا ْخش ْواََي ْوًم‬
ْ َ‫اَل‬ ُ ‫ٰاٰييُّهاَالن‬
‫ََوالِ ِدهََٖش ْيًَا‬
َ ‫َهوََجازَََع ْن‬
ُ ََ‫َولدهََََٖۖولََم ْولُْود‬
“Hai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-Mu dan takutilah suatu hari yang
(pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang
anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun”. (QS. Luqman, 31:
33).

Firman Allah SWT,

ِ ‫يََن ْفسََعنََنَ ْفسََشيًاَ َولََي ْقبل‬


‫ََم ْن ها‬ َ ‫َواتَ ُق ْواَي ْوًما‬
َْ ‫ََلَََتْ ِز‬
ُ ُ ْ ْ
َ‫ََه َْمََيُ ْنص ُرْون‬ ِ
ُ ‫شفاعةََ َولََيُ ْؤخ ُذََم ْن هاَع ْدلََ َول‬
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu)
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun dan (begitu
pula) tidak diterima syafa’at”. (QS. Al-Baqarah, 2 : 48)

Allah SWT, juga berfirman,

ِ ِ ِ ِ
َ ‫َََّيِْتََي ْوم‬
َ‫ََل‬ ّ ‫َٰييُّهاَالَذيْنََ ٰامنُْاواََانْف ُق ْواَِمَاَرزقْ ٰن ُك ْم‬
َ ‫ََم ْنََق ْب ِلََا ْن‬ ‫ٰا‬
‫َب ْيعََفِ ْي َِهََولََ ُخلَةََ َولَََشفاع َة‬
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah
sebagian) dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang
hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at”.
(QS. Al-Baqarah, 2: 254).
Dari Samurah bin Jundub, Nabi Muhammadd SAW, bersabda:

8
“semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqah yang pada hari ke tujuh
disembelih hewan, diiberi nama, dan dicukur rambutnya”. (shahih, Hadits
Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasai 7/166, Ibnu Majah 3165,
Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad-Darimi, dan lain-lain).
Dari Aisyah RA. Berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“bayi laki-laki diaqiqahi dengan 2 (dua) ekor kambing yang sama dan bayi
perempuan diaqiqahi dengan 1(satu) ekor kambing”. (Shahih, HR. Ahmad
(2/31, 158, 251), Tirmidzi 1513, Ibnu Majah 3163).
Fatimah ketika melahirkan Hasan, dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda:
“cukurlah rambut dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin
seberat timbangan rambutnya”. (HR. Ahmad (6/390), Thabrani dalam
Ajamul Kabir 1/1221/2, dan Al-Baihaqi (9/303) dari Syuraiq dari Abdillah
bin Muhammad bin Uqoil)
Berdasarkan hadis di atas, dapat dikatakan bahwa hukum aqiqah
terdapat pada hal-hal yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, para sahabat,
dan para ulama.
B. Proses Pelaksanaan Aqiqah dan Makna yang Tersirat di dalamnya
1. Waktu pelaksanan aqiqah
Terdapat beberapa pendapat mengenai waktu pelaksanaan
penyembelihan hewan aqiqah. Pertama, pendapat Ibnu Qayyim.
Menurutnya, bahwa pelaksanaan waktu aqiqah adalah hari ketujuh dari
kelahiran bayi. Akan tetapi, jika dilaksanakan sebelum hari itu juga
diperbolehkan. Kedua, pendapat Ahmad bin Hambal. Ia berpendapat
bahwa, pelaksanaan aqiqah terjadi pada hari ketujuh. Jika tidak bisa
dilakukan pada hari itu, maka dilakukan pada hari keempat belas. Jika juga
tidak bisa dilaksanakan pada hari itu, maka dilakukan pada hari ke dua puluh
satu. Bagi Sayyid Sabiq, beliau menambahkan jika juga tidak bisa
dilaksanakan pada hari itu karena faktor ekonomi, maka boleh dilakukan
pada keberapapun. Ketiga, ada juga yang berpendapat bahwa, jika dalam
waktu-waktu itu tidak dapat dilakukan, maka aqiqah dapat dilakukan pada

9
hari apapun. Keempat, Ibnu Hajar. Pendapatnya mengatakan, bahwa aqiqah
hanya dilakukan pada hari ketujuh dan hari kelahiran bayi. Jika pada hari
itu tidak dilaksanakan, sudah tidak ada lagi aqiqah baginya.
2. Penyembelihan hewan untuk aqiqah
Serangkaian pelaksanaan aqiqah, pertama kali yang dilakukan
adalah penyembelian hewan akikah. Penyembelihan hewan untuk akikah di
Baruga dilakukan oleh seorang Ustadz, Imam, Guru, atau tokoh Agama
sebagaimana masayarakat Baruga biasa menyebutnya. Sebelum hewan
disembelih, seorang ustadz berniat sambil menyebutkan nama anak yang
ingin diaqiqah, setelah itu barulah kepala hewan disembelih.
Cara penyembelihan hewan aqiqahpun tidak sembarangan, karena
harus dilakukakan sesuai dengan cara yang telah disyariatkan. Secara lebih
terurai, cara menyembelih binatang aqiqah adalah sebagai berikut :
a. Mengasah pisau hingga benar-benar tajam.
b. Mengikat binatang dengan tali agar ketika disembelih tidak bebas
bergerak sehingga tidak menyulitkan penyembelihan.
c. Membaringkan hewan dengan lambung kiri menempel ke tanah
sehingga tangan kiri orang yang menyembelih berada disebeleh
kepala binatang dan kepala bintang ada diselatan.
d. Penyembelih menghadap kiblat.
e. Membaca Do’a :
Artinya : “Dengan nama Allah. Allah maha besar. Ya Allah,
aqiqah ini adalah karuniamu dan aku kembalikan kepadamu. Ya
Allah, ini aqiqah.................(sebut nama anak yang ingin
diaqiqahi), maka terimalah”.
f. Pisau ditekan dengan kuat ke leher binatang, sehingga saluran
pernapasan dan saluran makanan benar-benar putus.
g. Penyembelihan bisa dilakukan oleh orang tua bayi itu sendiri atau
boleh juga diwakilkan kepada orang lain
h. Penyembelih dalam keadaan berakal sehat.

10
Pada dasarnya aqiqah memiliki banyak kesamaan dengan qur’ban
termasuk didalamnya kesamaan dalam hal jenis binatangnya. Maka
sebagaimana halnya, jenis binatang yang digunakan untuk keperluan
qurban, maka jenis binatang yang digunakan untuk keperluan aqiqah
biasanya memilih diantara 5 jenis, yaitu :
a. Kambing
Jenis kambing inilah yang banyak disinggung dalam beberapa
hadist. Menurut sebagian pendapat, di kalangan ulama mahdzab
syafi’i, beraqiqah menggunakan kambing akan lebih afdal
dibandingg dengan binatang yang lain.
b. Domba
Jenis ini pernah dipergunakan oleh baginda Rasulullah SAW,
ketika mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain.
c. Sapi
Dalam beberapa pengertian, tidak ditegaskan bahwa aqiqah
harus menggunakan kambing. Namun, jika dikiaskan dengan
qurban, maka aqiqahpun boleh menggunakan binatang lain
semisal sapi.
d. Unta
Bagi orang tua yang tergolong berekonomi tinggi, maka
disunnahkan untuk menggunakan jenis binatang yang harganya
lebih tinggi semisal unta.
Terkait beberapa jenis hewan yang bisa disembelih pada saat aqiqah,
di Baruga sendiri lebih dominan menggunakan kambing. Dari keempat
hewan yang telah disebutkan, pada kepercayaan masyarakat Baruga sendiri,
sebagian besar menggunakan kambing sebagai hewan untuk aqiqah.
Selanjutnya jumlah yang disembelih pada aqiqah anak laki-laki dan
perempuan terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama, salah satunya
adalah untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak
perempuan disembelih satu ekor kambing.

11
Sebuah pendapat bahwa Nabi Muhammad menyembelih hewan di
hari aqiqah cucu Nabi Muhammad yakni Hasan dan Husain masing-masing
satu kambing. Sedangkan, pada umumnya Jumhur Ulama berperndapat
bahwa anak perempuan diaqiqahi setengah dari anak laki-laki. Maksudnya,
apabila anak perempuan satu maka anak laki-laki dua. Dapat pula dilihat
dari hadi Qauliyah atau hadi perkataan. Hal ini sesuai dengan tiga pendapat
Imam yakni Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Sedangkan
pendapat yang mengatakan diperbolehkan untuk anak laki-laki satu
kambing dan anak perempuan juga satu kambing, pendapat tersebut
bersumber dari hadits fi’liyah atau hadits perbuatan. Pendapat di atas sesuai
dengan pendapat Imam Malik bin Anas.
Terkait pendapat di atas dapat diambil pemahaman bahwa
mengaqiqah anak dengan satu ekor kambing bagi anak laki-laki dan
perempuan khusus bagi orang tua yang kurang mampu. Hal ini tentu tidak
mengurangi nilai aqiqah, asal jujur dan tidak berpura-pura tidak mampu.
Tapi jika mampu, tentu dianjurkan mengaqiqah anak laki-laki dengan dua
ekor kambing dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.
3. Membaca Barzanji
Pada beberapa ritual acara yang terdapat di Mandar, hampir
semuanya mangadakan Barzanji. Barzanji hanya merupakan kegiatan
pembacaan riwayat Nabi Muhammad Saw yang sering dibacakan dalam
banyak momentum seperti maulid, pernikahan, khatam Qur’an, khitanan,
bahkan dalam perayaan kelahiran bayi atau aqiqah.
Di Baruga, pembacaan barzanji dipimpin oleh seorang ustadz,
imam, ataupun guru yang didampingi oleh beberapa orang. Jumlah yang
membacakan kitab barzanji juga tidak dibatasi, karena semakin banyak
orang yang membacakan maka semakin banyak pula yang mendoakan anak.
Karena selain berisi riwayat Nabi, dalam barzanji juga terdapat doa-doa dan
pujian-pujian.
4. Mencukur rambut bayi

12
Pada pertengahan pembacaan barzanji, di bacalah shalawat Nabi lalu
orang tua menggendong anaknya mendekati ustadz ataupun orang-orang
yang hadir untuk dipotong atau dicukur rambutnya yang dibawa dari lahir
secara bergantian. Adapun orang-orang yang terlibat dalam prosesi cukur
rambut adalah imam, khatib, bidal, dan beberapa masyarakat yang termasuk
dalam tokoh agama. Mencukur rambut yang disyari’atkan oleh agama saat
pelaksanaan aqiqah adalah mencukur seluruh rambut kepala anak yang
dibawa sejak dalam kandungan ibunya. Mencukur rambut kepala anak
sebaiknya dilakukan dihadapan sanak keluarga agar mereka mengetahui
ddan menjadi saksi. Boleh di lakukan oleh orang tuanya sendiri, atau jika
tidak mampu bisa diwakilkan kepada ahlinya.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut
kepala anak, yaitu:
a. Dengan membaca basmalah, lalu membaca sebuah doa yang
diyakini sebagai penyampaian yang baik untuk anak. Adapun
doa yang dibaca ketika memotong rambut bayi:

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih


lagi maha penyayang, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam.
Ya Allah yang menyinari langit, matahari, dan bulan. Ya Allah
dengan segala kebaikan dan cahaya kenabian Rasulullah Saw.
Dan segala puji bagi Allah tuhan semesta alam”.
b. Arah mencukur rambut dari atas kepala (ubun), kemudian ke
kanan, dan lanjut ke kiri
c. Dicukur bersih, tidak boleh ada bagian yang disisakan sehingga
tidak kelihatan belang-belang
d. Rambut hasil cukuran dan nilainya disedekahkan. Maksudnya,
ialah dalam prosesi cukur rambut telah dipersiapkan satu buah
kelapa muda sebagai tempat rambut anak yang telah dicukur.
Setelah dimasukkan ke dalam kelapa, maka akan ditimbang dan
kemudian ditukar dengan emas dan perak atau boleh juga berupa

13
uang, lalu disedekahkan kepada fakir miskin. Adapun makna
dari kelapa tersebut ialah “bentuk kelapa yang bundar laksana
kepala bayi dan memang sudah menjadi pemahaman di
masyarakat bahwa kelapa itu adalah saudara kita”
Islam mensyariatkan untuk mencukur rambut bayi dalam rangka
perhatian kepada bayi dan membersihkan kotoran yang mengganggunya.
Maka makna yang terkandung dalam proses ini yakni merupakan awal dari
kebiasaan hidup bersih dan sehat yang diperintahka oleh agama.
Islam menganjurkan agar manusia selalu menjaga kesehatan anak
dan dimulai sejak bayi karena membiasakan hidup bersih dan sehat hanya
dapat dibentuk dan dipraktekkan sejak kecil. Bahkan ada pepatah yang
mengatakan: “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar
sesudah dewasa bagai mengukir di atas air”. Maka mulailah membangun
hidup sehat dan bersih sejak anak dilahirkan dan terus dididik sehingga
menjadi kebiasaann dalam hidupnya. Selain memiliki pesan kebersihan,
pada proses ini juga memiliki makna tentang kebiasaan sedekah.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW, dalam sabdanya:
Artinya: “telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya
Al-Quta’i berkata. Telahh menceritakan kepada kami ‘Abd Al-A’la bin ‘Abd
Al-A’la dari Muahammad bin Ishaq dari ‘Abdullah bin Abu Bakar dari
Muhammad bin ‘Ali bin Al-Husain dari ‘Ali bin Abu Thalib ia berkata:
“Rasulullah SAW mengaqiqahi Hasan dengan seekor kambing”. Kemudian
beliau bersabda: “wahai Fatimah, cukurlah rambutnya lalu sedekahkanlah
perak seberat rambutnya”. Ali berkata. “aku kemudian menimbang
rambutnya dan beratnya sekedar uang satu dirham atau sebagiannya (HR.
Tirmidzi).
Hadits di atas menjelaskan bahwa rambut bayi yang dicukur saat
tasmiyah dikumpulkan dan ditimbang. Berat timbangan rambut tersebut
diganti dengan nilai emas dan perak. Nilai tukar emas atau perak tersebut
bisa diwujudkan uang sesuai dengan harga emas atau perak di pasaran saat
itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin. Hal ini mengisyaratkan bahwa

14
mencukur rambut bayi memiliki makna pesan dakwah dalam bidang
syari’ah dan ibadah yakni adanya sifat ketaatan kepada Allah SWT dan Nabi
Muhammad SAW sebagai junjungan serta teladan umat manusia.
5. Pemberian nama
Kegiatan pemberian nama penting untuk diumumkan kepada sanak
sauudara. Nama bisa menunjukkan identitas keluarga, bangsa bahkan
akidah. Nama merupakan sarana yang mudah dan umum digunakan untuk
mengenali seseorang dan memperlancar hubungan sosial. Di dalam ajaran
Islam, nama seseorang di samping sebagai panggilan atau pengenalan
terhadap seseorang, juga bergungsi sebagai do’a. Berbagai kebisaan yang
berlaku di masyarakat adalah bahwa ketika anak dilahirkan, maka orang tua
memilihkan sebuah nama untuk anaknya. Nama yang baik mengandung ciri
dan unsur-unsur yaitu: Bermakna dan berarti pujian, Bermakna do’a dan
harapan, dan Bermakna semangat.

Oleh karena itu, sepantasnyalah anak diberi nama yang baik sesuai
dengan ajaran Islam. Jika pesta biasa mungkin hanya berujung sekedar pada
having fun, maka aqiqah berujung pada komitmen kesiapan dan kelayakan
orang tua menjadi pengemban amanah titipan Allah SWT.
Pada pemberian nama ini memiliki pesan dakwah yang terkandung
nilai akhlak dan ibadah, dalam upacara aqiqah, komitmen kepada anak itu
dippersaksikan kepada Allah dan khalayak. Oleh karena itu, setiap orang tua
yang mangaqiqahkan anaknya diharapkan dapat menghayati nilai-nilai yang
terkandung dalam pelaksanaan aqiqah.
6. Tradisi saula’ dalam aqiqah
Saula' merupakan tradisi unik yang terkait erat dengan proses aqiqah
di Baruga. Dalam konteks ini, saula' merujuk pada suatu upacara adat yang
dilakukan oleh keluarga yang melakukan aqiqah untuk merayakan kelahiran
anak mereka. Tradisi saula' memiliki makna simbolis yang mendalam,
karena tidak hanya melibatkan pemotongan hewan qurban seperti dalam
aqiqah, tetapi juga mencakup serangkaian ritual adat dan doa-doa yang
diucapkan oleh tokoh agama setempat.

15
Dalam proses aqiqah di Baruga, saula' juga berfungsi sebagai wujud
rasa syukur keluarga atas kelahiran anak yang sehat dan selamat. Ritual ini
memperkuat ikatan sosial dan keagamaan dalam masyarakat setempat, di
mana kehadiran seorang anak dianggap sebagai anugerah yang memerlukan
ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.
Saula' memiliki makna yang mendalam dalam konteks tradisi aqiqah
di Baruga. Secara umum, saula' mencerminkan rasa syukur dan
penghormatan keluarga terhadap kelahiran anak mereka yang baru. Melalui
ritual ini, keluarga menyatakan rasa terima kasih kepada Tuhan atas
anugerah kehidupan yang diberikan dalam bentuk kelahiran anak yang
sehat.
Makna saula' juga mencakup dimensi sosial dan keagamaan. Secara
sosial, saula' merupakan momen bersatu dan berbagi kebahagiaan dengan
anggota keluarga, tetangga, dan masyarakat setempat. Acara ini
memperkuat ikatan sosial di antara mereka yang hadir, menciptakan suasana
kebersamaan dan keakraban.
Dari segi keagamaan, saula' mengandung nilai-nilai spiritual yang
diwujudkan melalui doa-doa, bacaan ayat suci, dan ritual lainnya. Dalam
tradisi ini, keluarga tidak hanya merayakan kelahiran anak secara fisik,
tetapi juga mengarahkan rasa syukur mereka kepada Tuhan sebagai sumber
segala berkah.
Setelah mengupas makna yang terkandung dalam tradisi saula’,
maka setiap yang terdapat dalam tradisi saula’ juga memiliki makna antara
lain:

a. Sokkol Patarrupa
Sokko’ patarrupa memiliki empat macam warna yakni hitam, merah,
putih, dan kuning yang diyakini orang terdahulu sebagai asal penciptaan
manusia. Adapun makna dari keempat macam sokkol tersebut meliputi:
Pertama, Sokkol berwarna hitam adalah beras ketan yang memiliki makna

16
bahwa manusia diciptakan dari tanah, selain itu makna hitam dilambangkan
sebagai kekerasan dan kejahatan. Hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan
ini ada seseorang yang memiliki sifat yang keras dan jahat, diharapkan anak
kelak terhindar dari orang-orang yang akan menyakitinya. Kedua, Sokkol
berwarna merah adalah beras ketan yang memiliki makna bahwa manusia
memiliki sifat, yaitu keras. Merah selalu pula dilambangkan sebagai
keberanian, maka diharapkan kelak anak tersebut memiliki sifat yang
berani. Ketiga, Sokkol berwarna putih adalah beras ketan yang memiliki
makna bahwa manusia diciptakan dari air. Warna putih sering dilambangkan
dengan kebersihan dan kesucian. Dan diharapkan anak yang lahir memiliki
hati yang suci dan bersih. Keempat, Sokkol berwarna kuning adalah beras
ketan yang memiliki makna bahwa manusia diciptkan dari angin. Warna
kuning dilambangkan sebagai kehangatan dan rasa bahagia. Selain makna
filosofis dan makna kultural, Penyajian sokkol dengan berbagai macam
warna juga sebagai cara untuk menarik selera makan bagi orang-orang yang
mulai melupakan ataupun orang-orang yang tidak menykai sokkol, seperti
halnya anak kecil. Hal ini tentu memiliki keunikan tersendiri dalam sebuah
tradisi.
b. Telur
Telur yang disiapkan merupakan telur ayam kampung, hal ini
bermakna bahwa tradisi berasal dari orang tua terdahulu. Selain itu juga
makna putih telur yakni kesucian dan kebersihan, sedangkan kuning telur
bermakna keagungan, sehingga telur dimaknai sebagai lambang keagungan
suci. Makna telur juga bisa disimpulkan bahwa orang tua harus
memperbaiki akidah, akhlak, maupun perilaku sang anak sejak kecil.
c. Cucur
Makna dari cucur ini mencerminkan semangat berbagi dan
kebersamaan. Tindakan memberikan cucur kepada tamu menunjukkan
sikap kedermawanan dan kebaikan hati dari keluarga yang merayakan
aqiqah. Pemberian cucur juga dapat memiliki makna simbolis yang lebih
dalam. Bisa jadi ini adalah representasi dari keberkahan yang diberikan oleh

17
kelahiran anak, dan dengan berbagi makanan, keluarga mengundang
kebahagiaan dan berkat kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam budaya
yang ada di Baruga, cucur juga menjadi simbol persatuan dan solidaritas
antara anggota masyarakat yang hadir dalam perayaan tersebut. Dengan
demikian, cucur dalam saula' tidak hanya merupakan tindakan praktis
memberikan makanan, tetapi juga membawa makna sosial, keagamaan, dan
budaya yang menguatkan nilai-nilai kebersamaan dalam acara perayaan.
d. Daun pisang
Daun pisang dalam tradisi saula’ ini hanya dijadikan sebagai alas
antara kappar dan isiannya.
e. Lilin
Lilin sering kali melambangkan cahaya, yang bisa diartikan sebagai
simbol kehadiran spiritual atau keberkahan. Dalam saula', lilin mungkin
dinyalakan sebagai tanda suka cita dan syukur atas kelahiran anak yang
baru. Cahaya lilin juga dapat menjadi metafora bagi kehidupan baru yang
bersinar dan membawa kebahagiaan bagi keluarga yang merayakannya.
Pada sisi lain, lilin juga bisa diartikan sebagai simbol kebersihan dan
keceriaan. Dalam perayaan, pencahayaan lilin dapat menciptakan atmosfer
yang hangat dan menyenangkan, menambah keindahan suasana perayaan.
7. Makan bersama (acara memakan/menikmati hidangan)
Makan bersama dalam tradisi aqiqah merupakan momen yang sarat
dengan makna kebersamaan, solidaritas, dan rasa syukur dalam Islam. Saat
keluarga dan teman-teman berkumpul untuk merayakan kelahiran seorang
anak, makan bersama menjadi simbol kesatuan dan keharmonisan. Pada
tingkat lebih mendalam, hal ini mencerminkan konsep "ukhuwah" atau
persaudaraan dalam agama Islam, di mana setiap individu dianggap sebagai
bagian dari satu umat.
Makan bersama dalam aqiqah juga mencerminkan nilai-nilai
kerukunan dan keberagaman dalam masyarakat Muslim. Saat berbagai
lapisan masyarakat berkumpul untuk merayakan acara ini, tercipta suasana
inklusif yang memperkaya pengalaman dan perspektif. Dalam kerangka ini,

18
makan bersama menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai
kelompok sosial dan kultural, memperkuat keterikatan antarumat Islam
tanpa memandang perbedaan.
Momen berbagi hidangan dalam aqiqah juga menjadi ekspresi rasa
syukur terhadap nikmat Allah SWT. Ketika hidangan disajikan dan
dinikmati bersama, hal ini menciptakan atmosfer penghormatan terhadap
karunia kelahiran anak. Pada saat yang sama, mengundang tamu dan
berbagi makanan dengan orang lain adalah bentuk amal jariah atau kebaikan
yang terus mengalir, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan
pentingnya memberi dan berbagi.
Dengan makan bersama dalam aqiqah, terbentuklah ikatan yang
lebih erat antara anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Proses ini
memperkokoh hubungan sosial, menciptakan memorabilia berharga, dan
memberikan landasan kuat untuk pembentukan nilai-nilai keagamaan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, makan bersama dalam tradisi
aqiqah bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi sebuah simbol kebersamaan dan
keberagaman yang menggambarkan kekayaan spiritual dan sosial dalam
Islam.

• Letak Akulturasi dalam Aqiqah


Akulturasi adalah proses pertukaran dan integrasi unsur-unsur
budaya antara dua kelompok atau lebih yang berbeda. Proses ini terjadi
ketika dua kelompok budaya berinteraksi secara intensif dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Akulturasi melibatkan penerimaan dan
adopsi aspek-aspek budaya baru, serta penyesuaian dan perubahan dalam
budaya yang ada. Dalam akulturasi, kelompok budaya yang lebih dominan
atau kuat dapat memengaruhi kelompok budaya yang lebih lemah atau
minoritas. Pengaruh tersebut dapat meliputi bahasa, adat istiadat, nilai-nilai,
norma-norma sosial, makanan, agama, seni, dan teknologi. Proses
akulturasi dapat terjadi secara sukarela atau dipaksakan, tergantung pada
keadaan dan konteksnya.

19
Akulturasi juga dapat menyebabkan munculnya budaya baru yang
menggabungkan unsur-unsur dari kedua kelompok budaya yang
berinteraksi. Budaya baru ini seringkali memiliki karakteristik unik yang
mencerminkan perpaduan dari budaya yang ada sebelumnya. Contohnya
adalah makanan fusion, musik atau seni yang menggabungkan gaya dari
berbagai budaya, atau bahasa kreol yang terbentuk dari campuran bahasa-
bahasa yang berbeda.
Akulturasi dalam aqiqah merujuk pada proses penggabungan atau
penyerapan unsur-unsur budaya yang berbeda dalam pelaksanaan aqiqah.
Aqiqah sendiri adalah tradisi Islam yang melibatkan penyembelihan hewan
sebagai ungkapan syukur atas kelahiran seorang bayi.
Dalam konteks akulturasi, aqiqah dapat mencakup pengaruh budaya
lokal yang diadopsi dalam pelaksanaannya. Misalnya, dalam beberapa
budaya, disertai dengan tradisi dan adat istiadat khas yang melibatkan
keluarga dan tetangga dalam proses penyembelihan dan pemberian
makanan kepada orang-orang terdekat. Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh budaya lokal yang diintegrasikan dalam pelaksanaan aqiqah.
Selain itu, dalam beberapa komunitas Muslim yang tinggal di luar
negeri, ada kemungkinan terjadi akulturasi dengan budaya setempat.
Misalnya, dalam beberapa negara, aqiqah dapat dilakukan dengan
mengadakan pesta atau acara sosial yang melibatkan teman-teman,
tetangga, dan anggota komunitas setempat. Dalam hal ini, terjadi
penggabungan unsur budaya setempat dalam pelaksanaan aqiqah.
Jadi, letak akulturasi dalam tradisi Aqiqah di wilayah Baruga Kab.
Majene yaitu adanya perpaduan syariat (pemberian nama, penyembelihan
kambing, dan pemotongan rambut) dengan tradisi (barzanji dan Saula’). Di
sinilah letak akulturasi dalam Aqiqah. Dari perpaduan itulah masyarakat
menyebutnya bukan tradisi yang mewarnai Agama tapi Agama yg mewarnai
tradisi.

20
Namun, penting untuk diingat bahwa akulturasi dalam aqiqah harus
tetap sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam. Meskipun ada pengaruh
budaya lokal atau adat istiadat dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip
aqiqah yang ditetapkan dalam Islam, seperti penyembelihan hewan yang
halal dan pemberian makanan kepada orang-orang yang membutuhkan,
harus tetap dijaga.
Dalam kesimpulannya, akulturasi dalam aqiqah terjadi ketika ada
penggabungan unsur-unsur budaya yang berbeda dalam pelaksanaan
aqiqah, baik itu dalam bentuk tradisi lokal atau budaya setempat. Namun,
prinsip-prinsip agama Islam dalam aqiqah tetap harus dijaga dan
diperhatikan.

21
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Proses Pelaksanaan aqiqah yang selama ini dipahami hanya sekedar


menyembelih hewan aqiqah, pemberian nama dan mencukur rambut bayi. Akan
tetapi pada pelaksanaan aqiqah yang ada di Baruga memiliki beberapa rangkaian
prosesi yang menggabungkan antara syariat dan tradisi (adat). Semua prosesi dan
kelengkapan aqiqah disiapkan oleh seorang tokoh adat yang memahami makna
adat, serta mengetahui segala sesuatu yang harus disajikan dalam proses
pelaksanaan aqiqah, serta yang memahami makna dan simbol dari isi tradisi saula’
tersebut yang meliputi, sokkol patarrupa, telur, cucur, daun pisang, serta lilin.
Semua rangkaian dan perlengkapan aqiqah baik yang dilaksanakan secara agama
maupun secara adat tidak sekedar disajikan begitu saja, akan tetapi mengandung
makna pesan dakwah kultural yang tersimpan dalam setiap rangkaian pelaksanaan
aqiqah.
Semua rangkaian pelaksanaan aqiqah yang merupakan proses Islamisasi
dan tradisi memiliki makna dakwah kultural yang merupakan pengharapan ataupun
do’a yang baik untuk kehidupan anak, atau sering disebut dengan istilah tafaa’ul.
Dengan kata lain budaya lokal diadopsi dan memasukkan ruh-ruh keislaman
kedalamnya. Hal ini tidak menjadi persoalan selama ada kebaikan dan tidak
menentang ajaran agama Islam. Karena pada dasarnya dakwah kultural telah
dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad saw. Dakwah kultural yang dilakukan
oleh Nabi sebagai respon Al-Quran terhadap budaya masyarakat Arab ketika al-
Qur’an diturunkan. Sehingga disimpulkan bahwa terdapat tiga sikap Islam terhadap
budaya atau kultur yaitu menerima, memperbaiki dan menolaknya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adang M. Tsaury, Penyambutan Kelahiran Anak Dan Aqiqah, Ta’dib: Jurnal


Pendidikan Islam, Vol. 1 No. 2, Agustus 2001, hal.184.
Siti Aminah, Tradisi Penyelenggaraan Aqiqah Masyarakat Purworejo (Kajian
Living Hadis), Universum Vol. 12 No. 2, Juni 2018, hal. 74.
Seputar Aqiqah, https://aqiqahmadenah.com/pengertian-aqiqah diakses pada 9 Juli
2021.

23

Anda mungkin juga menyukai