Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH GANGGUAN PERTUKARAN

GAS DIAGNOSA PNEUMONIA PADA ANAK BALITA DI RS SITI KHODIJAH


SEPANJANG SIDOARJO

Disusun oleh:
Hendrawan Bayu Ramadhan
NIM : 20220660005

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
TAHUN AJARAN 2023/2024
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan proses inflamasi parenkim paru yang umumnya disebabkan
oleh bakteri. Kasus pneumonia tidak mengenal kriteria usia ataupun jenis kelamin,
pneumonia dapat menyerang siapapun, terutama pada orang yang memiliki daya imun yang
menurun (Smeltzer, 2004). Pneumonia juga mengalami terjadinya penurunan volume paru
sehingga mengakibatkan gangguan pada proses ventilasi dan terjadi gangguan pertukaran gas
(Djojodibroto, 2009). Apabila gangguan pertukaran gas tidak segera ditangani maka
menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi dan perubahan membran alveolar.
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian yang tinggi balita didunia. Di
Indonesia, angka kejadian pada bayi dan balita berkisar mencapai 10% - 20% per tahun
(Maryunani, 2010). Menurut WHO, angka kejadian pneumonia pada balita adalah 50 per
1000 balita, dengan angka kematian anak dibawah 5 tahun karena pneumonia mencapai
900.000 anak dan lebih dari 90% pada negara berkembang (Phuong, 2018). Di Indonesia
sendiri, angka kejadian pneumonia pada balita tahun 2016 mencapai 568.146 kasus (4.0%)
dari jumlah total balita 13.960.310 anak di Indonesia, yang menduduki peringkat pertama
dari daftar penyakit mematikan pada balita (Kemenkes RI, 2017; Ellita, 2013). Angka
kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 44
per 1000 kelahiran hidup dan didapatkan 15,5% atau 30.470 kematian disebabkan karena
ISPA. Dari sekian banyak kasus pneumonia, menurut dinas kesehatan Sidoarjo diperkirakan
terdapat 8.747 kasus pneumonia balita pada tahun 2018 dari total balita di kabupaten Sidoarjo
sebanyak 174.938 balita. Namun, kasus tersebut diperkirakan hanya sebesar 80% dari total
keseluruhan kasus karena tidak semua kasus pneumonia tercatat di sarana kesehatan
masyarakat (Kemenkes RI, 2018).
Pada penelitian ini, berdasarkan usia balita paling banyak dalam kategori usia 0-12
bulan sebanyak 20 orang (41%) pada penelitian yang dilakukan. Kemudian diikuti dengan
usia 13- 24 bulan sebanyak (35%). Hal ini didukung oleh penelitian Rigustia (2019) yang
menyatakan bahwasannya berdasarkan teori bayi dan balita mempunyai pertahanan tubuh
yang lemah dari orang dewasa, sehingga balita menjadi kelompok yang paling rawan untuk
terserang infeksi seperti pneumonia. Pernyataan dan penelitian ini diperkuat dengan
penelitian terbaru yang dilakukan Monita et al (2015) bahwa sebagian besar balita yang
dirawat di rumah sakit berusia kurang dari 1 tahun atau dibawah dari 12 bulan. Pada
penelitian Monita et al didapatkan bahwasannya balita dengan usia 2 bulan-12 bulan
sebanyak (43,8%). Dan didapatkan pula pada penelitian di RSUP Prof.Dr.R.Kandou Manado
sebesar 68,4% pada anak dibawah 1 tahun (Kaunang et al, 2016).
Pneumonia disebabkan karena bakteri yang masuk ke bronkiolus dan alveoli yang
menimbulkan peradangan hebat, terdapat cairan edema yang kaya protein dalam alveoli,
sehingga saluran pernapasan akan terganggu dan tidak berfungsi dengan normal dan keluar
masuknya oksigen juga akan terganggu dan akan mengakibatkan gangguan pertukaran gas.
Pada pasien pneumonia dampak dari gangguan pertukaran gas dapat menyebabkan terjadinya
hipoksia dan gagal nafas (Elliott, 2009). Terjadinya pneumonia ditandai dengan gejala batuk
dan kesulitan bernapas seperti napas cepat, dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012).
Pada umumnya, pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan
melalui udara, dengan sumber penularanmnya adalah penderita pneumonia yang
menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin. Untuk
selanjutnya, kuman penyebab pneumonia masuk ke saluran pernapasan melalui proses
inhalasi (udara yang dihirup), atau dengan cara penularan langsung, yaitu percikan droplet
yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin, dan berbicara langsung terhirup oleh
orang di sekitar penderita, atau memegang dan menggunakan benda yang telah terkena
sekresi saluran pernapasan penderita (WHO, 2013). Hal ini disebabkan karena daerah paru
menjadi padat (eksudat) sehingga terjadi penurunan ratio ventilasi dan perfusi yang
berdampak pada penurunan kapasitas disfusi (Djodjosubroto, 2009).
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya kejadian pneumonia
pada anak balita, baik dari aspek individu anak, atau perilaku orang tua (ibu), maupun
lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan
perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit
seperti TB, katarak, dan pneumonia (Azhar K, 2013).
Upaya yang dapat dilakukan pada pasien dengan pneumonia adalah dengan menjaga
kelancaran sistem pernapasa, terutama pada pasien dengan masalah gangguan pertukaran gas,
memelihara kebersihan paru, ajarkan batuk efektif dan monitor O2 juga dapat dilakukan
untuk menjaga kelancaran sistem pernapasan penuhi kebutuhan nutrisi dan cairan,
mengontrol suhu tubuh, serta menjaga lingkungan yang bersih dan aman.
Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu diteliti lebih lanjut faktor apa saja yang
dapat berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor determinan yang berperan dalam pneumonia pada
balita di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan dengan masalah gangguan pertukaran gas dengan
diagnosa Pneumonia pada anak balita di RS Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien anak balita dengan gangguan
pertukaran gas dengan diagnosa pneumonia di RS Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien anak balita dengan diagnosa
pneumonia dengan gangguan pertukaran gas di RS Siti Khodijah Sepanjang
Sidoarjo.
2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada pasien anak balita dengan diagnosa
pneumonia dengan gangguan pertukaran gas di RS Siti Khodijah Sepanjang
Sidoarjo.
3. Menyusun perencanaan keperawatan pada pasien anak balita dengan diagnosa
pneumonia dengan gangguan pertukaran gas di RS Siti Khodijah Sepanjang
Sidoarjo.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien anak balita dengan diagnosa
pneumonia dengan gangguan pertukaran gas di RS Siti Khodijah Sepanjang
Sidoarjo.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien anak balita dengan diagnosa
pneumonia dengan gangguan pertukaran gas di RS Siti Khodijah Sepanjang
Sidoarjo.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaaat teoritis studi kasus ini adalah untuk pengembangan ilmu
keperawatan dalam pembuatan Asuhan Keperawatan tentang pasien pneumonia
dengan masalah gangguan pertukaran gas agar perawat mampu memenuhi kebutuhan
dasar pasien selama dirawat di Rumah Sakit.
1.4.2 Manfaat Praktisi
1. Bagi Pasien dan Keluarga
Untuk menambah pengetahuan bagaimana keluarga pasien bagi pasien
dan keluarga sehingga melakukan tindakan yang sesuai dengan masalah
gangguan pertukaran gas.
2. Bagi Rumah Sakit
Dapat meningkatkan mutu perawatan pelayanan pada kasus pneumonia
dan bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan pasien pneumonia dengan
masalah ganngguan pertukaran gas.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk penelitian selanjutnya
dengan masalah keperawatan yang lebih luas.
Bab II
Tujuan Pustaka

2.1 Konsep Gangguan Pertukaran Gas


2.1.1 Definisi
Gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan oksigenasi atau
eleminasi karbondioksida pada membran alveolus munurut Tim Pokja SDKI DPP
PPNI (2016). Gangguan pertukaran gas adalah suatu kondisi ketika individu
mengalami penurunan aliran gas yang termasuk didalamnya adalah oksigen dan
karbondioksida antara alveoli paru-paru dan sistem vaskular di dalam tubuh (Lynda
Juall Carpenito-Moyet, 2013).
Pertukaran gas terjadi di dalam paru-paru yang melibatkan dua proses umum
yaitu perfusi yang merupakan proses membawa darah ke jaringan kapiler paru dan
ventilasi yang merupakan proses membawa udara ke permukaan alveolus. Difusi
dalam cairan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida di jaringan, molekul-
molekul dalam suatu gas pada suatu ruangan bergerak dengan kecepatan yang
diibaratkan seperti kecepatan suara, setiap molekul bertumbukan sekitar 10 kali/detik
dengan molekul sekitarnya. Oksigen sangat diperlukan untuk proses respirasi sel-sel
tubuh, gas karbon dioksida yang dihasilkan selama proses respirasi sel tubuh akan di
tukar dengan oksigen, selanjutnya darah mengangkut karbon dioksida untuk
dikembalikan ke alveolus paru dan akan dikeluarkan ke udara melalui hidung saat
mengeluarkan napas (Saminan, 2012). Pertukaran gas ini juga dapat mengalami
masalah salah satunya disebut dengan gangguan pertukan gas.

2.1.2 Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), penyebab terjadinya gangguan
pertukaran gas adalah:
a. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
b. Perubahan membran alveolus-kapiler

2.1.3 Patofisiologi
Pertukaran gas terjadi di dalam paru-paru yang melibatkan dua proses umum
yaitu perfusi yang merupakan proses membawa darah ke jaringan kapiler paru dan
ventilasi yang merupakan proses membawa udara ke permukaan alveolus. Difusi
dalam cairan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida di jaringan, molekul-
molekul dalam suatu gas pada suatu ruangan bergerak dengan kecepatan yang
diibaratkan seperti kecepatan suara, setiap molekul bertumbukan sekitar 10 kali/detik
dengan molekul sekitarnya. Oksigen sangat diperlukan untuk proses respirasi sel-sel
tubuh, gas karbon dioksida yang dihasilkan selama proses respirasi sel tubuh akan di
tukar dengan oksigen, selanjutnya darah mengangkut karbon dioksida untuk
dikembalikan ke alveolus paru dan akan dikeluarkan ke udara melalui hidung saat
mengeluarkan napas (Saminan, 2012).
Faktor yang menyebabkan paru-paru tidak dapat menjalakan fungsinya dengan
efektif karena kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi
yang merendahkan permukaan alveolus 10 sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir
ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional, apabila surfaktan tersebut tidak
adekuat maka bisa menyebabkan terjadinya kolaps pada alveolus kemudian
menyebabkan ventilasi perfusi terganggu atau tidak seimbang. Perfusi oksigen ke
jaringaan menurun, tekanan oksigen dalam darah menurun, tekanan parsial karbon
dioksida meningkat yang kemudian dapat menyebabkan gangguan pada proses
pertukaran gas. Terjadinya gangguan pertukaran gas menunjukan adanya penurunan
kapasitas difusi, yang disebabkan oleh menurunnya luas permukaan difusi,
menebalnya membran alveolar kapiler, rasio ventilasi perfusi tidak baik, dan dapat
menyebabkan pengangkutan oksigen dari paru ke jaringan terganggu dan apabila
terlambat ditangani dapat menimbalkan dampak fatal. Tanda klinis yang dapat
dijumpai adalah dispnea pada usaha napas, letargi, meningkatnya tahanan vaskular
paru, menurunnya saturasi oksigen, meningkatnyan tekanan parsial karbon dioksida,
dan sianosis (Mubarak, 2015).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), pada gangguan pertukaran gas
terdapat gejala dan tanda mayor dan minor yaitu:

a. Gejala dan tanda mayor


1) Subjektif
a) Dispnea
2) Objektif
a) Tekanan karbon dioksida (PCO2) meningkat/menurun
b) Tekanan oksigen menurun (PO2)
c) Takikardia
d) pH arteri meningkat atau menurun
e) Bunyi napas tambahan
b. Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
a) Pusing
b) Pengelihatan kabur
2) Objektif
a) Sianosis
b) Deaforesis
c) Gelisah
d) Napas cuping hidung
e) Pola napas abnormal (cepat atau lambat, reguler atau ireguler, dalam atau
dangkal)
f) Warna kulit abnormal (pucat dan kebiruan)
g) Kesadaran menurun

2.1.5 Penatalaksanaan
Menurut Kosim (2016), penatalaksanaan yang mengalami gangguan
oksigenasi (gangguan pertukaran gas ) yaitu:
a. Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
b. Mempertahankan oksigenasi adekuat.
c. Mempertahankan perfusi yang adekuat

2.2 Konsep Pneumonia


2.2.1 Definis
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi
dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dan benda-benda asing. Pneumonia dikelompokkan menurut agen
penyebabnya. Pneumonia bakteri terjadi akibat inhalasi mikroba yang ada di udara.
Aspirasi organisme dari nasofaring (penyebab pneumonia bakterialis yang paling
sering) atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk
ke paru melalui saluran pernapasan, masuk ke bronkhiolus dan alveoli lalu
menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya
protein dalam alveoli dan jaringan interstitial (Manurung dkk, 2015).
Pneumonia adalah suatu proses peradangan di mana terdapat konsolidasi yang
disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat
berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi, begitupun pada aliran darah di
sekitar alveoli, menjadi terhambat dan tidak berfungsi maksimal. Hipoksemia dapat
terjadi, bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang sakit.Pneumonia adalah
penyakit pernapasan akut yang menyebabkan perubahan gambaran radiologis.
Penyakit ini dikelompokkan berdasarkan tempat kejadian penularan, karena hal ini
mempengaruhi kemungkinan mokroorganisme patogen penyebab sehingga bisa
menentukan terapi empiris yang paling tepat (Somantri, 2015).
2.2.2 Etiologi
Pneumonia dikenal dengan istilah radang paru-paru berkaitan dengan berbagai
mikroorganisme dan dapat menular dari komunitas atau dari rumah sakit
(nosocomial). Klien dapat menghisap bakteri, virus, parasit, atau agen iritan, atau
klien dapat menghirup cairan atau makanan. Klien dapat juga memproduksi banyak
mukus dan pengentalan cairan alveolar sebagai akibat pertukaran gas terganggu.
Semua ini dapat mendorong kepada radang jalur udara bagian bawah. Organisme
yang secara umum dikaitkan dengan infeksi meliputi Staphylococcus aureus,
Streptococus pneumoniae, Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumoniae,
Legionella pneumonia, Chlamydia pneumoniae (parasit), dan Pseudomonas
aeruginosa (DiGiulio, Jackson, dan Keogh, 2014).
Pneumonia bisanya disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah
(Riyadi, 2011):
a. Bakteri (Pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, H. influenza, klebsiela
mycoplasma pneumonia).
b. Virus (Virus adena, virus para influenza, virus influenza)
c. Jamur atau fungi (Kandida abicang, histoplasma, capsulatum, koksidiodes).
d. Protozoa (Pneumokistis karinti).
e. Bahan kimia (Aspirasi makan atau susu atau isi lambung, keracunan hidrokarbon
sepertiminyak tanah atau bensin).

2.2.3 Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan fibrin, eritrosit, cairan
edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal (Nursalam, 2016).
Apabila kuman patogen mencapai bronkioli terminalis, cairan edema masuk
ke dalam alveoli, diikuti oleh leukosit dalam jumlah banyak, kemudian makrofag
akan membersihkan debris sel dan bakteri. Proses ini bisa meluas lebih jauh lagi ke
lobus yang sama, atau mungkin ke bagian lain dari paru- paru melalui cairan bronkial
yang terinfeksi. Melalui saluran limfe paru, bakteri dapat mencapai aliran darah dan
pluro viscelaris. Karena jaringan paru mengalami konsolidasi, maka kapasitas vital
dan comliance paru menurun, serta aliran darah yang mengalami konsolidasi
menimbulkan pirau/ shunt kanan ke kiri dengan ventilasi perfusi yang mismatch,
sehingga berakibat pada hipoksia. Kerja jantung mungkin meningkat oleh karena
saturasi oksigen yang menurun dan hipertakipnea. Pada keadaan yang berat bisa
terjadi gagal nafas (Nursalam, 2016).
2.2.4 Pathway

2.2.5 Manefestasi Klinis


Gejala klinis dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau
bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah
pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai
pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, dan ronki (Nursalam,
2016).
Sedangkan menurut (Nursalam, 2016) pneumonia menunjukan gejala klinis
sebagai berikut:
a. Batuk
b. Sputum produktif
c. Sesak nafas
d. Ronchi
e. Demam tidak setabil
f. Leukositosis
g. Infiltrat.
Menurut DiGiulio, Jackson, dan Keogh (2018) “tanda dan gejala pneumonia
sebagai berikut”:
a. Napas pendek karena inflamasi pada paru-paru, pertukaran gas terganggu.
b. Kesulitan bernapas (dyspnea) karena inflamasi dan mukus pada paru-paru.
c. Demam karena proses infeksi.
d. Kedinginan karena suhu badan naik.
e. Batuk karena produksi mukus dan iritasi jalur udara.
f. Terdengar suara serak karena ada cairan di dalam rongga alveolar dan jalur udara
yang lebih kecil.
g. Rhonci karena lendir di dalam jalur udara, mendesis karena inflamasi di dalam
jalur udara yang lebih besar.
h. Dahak tak berwarna, mungkin bercak darah karena iritasi di jalur udara atau
mikroorganisme menyebabkan infeksi.
i. Takikardia dan tachypnea ketika tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen.
j. Sakit katika bernapas karena inflamasi pleuritic, efusi pleural, atau atelektasis.
k. Sakit kepala, nyeri otot (myalgia), sakit tulang sendi, atau mual dapat terjadi
tergantung pada organisme yang menginfeksi.

2.2.6. Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemilogi serta letak anatomi
(Nursalam, 2016) sebagai berikut:
a. Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi
1) Pneumonia Komunitas (PK) adalah pneumonia infeksius pada seseorang yang
tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.
2) Pneumonia Nosokomial (PN) adalah pneumonia yang diperoleh selama
perawatan di rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit lain atau prosedur.
3) Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari lambung,
baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil inflamasi pada paru bukan
merupakan infeksi tetapi dapat menjadi infeksi karena bahan teraspirasi
mungkin mengandung bakteri aerobic atau penyebab lain dari pneumonia.
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah pneumonia yang
terjadi pada penderita yang mempunyai daya tahan tubuh lemah.
b. Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak anatomi
1) Pneumonia lobaris melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau
lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia
bilateral atau “ganda”.
2) Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir bronkiolus,
yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya.
3) Pneumonia interstisial proses implamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar
(interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.

2.2.7 Komplikasi
Bila tidak ditangani secara tepat maka kemungkinan akan terjadi komplikasi,
(Ryusuke, 2017) sebagai berikut :
a. Otitis media akut (OMA) terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang berlebihan
akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi masuknya udara ke
telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian gendang telinga akan
tertarik ke dalam dan timbul efusi.
b. Efusi pleura.
c. Emfisema.
d. Meningitis.
e. Abses otak.
f. Endokarditis.
g. Osteomielitis.

2.2.8 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang


Menurut Somantri (2015) “diagnosis studi pneumonia adalah sebagai berikut”:
a. Chest X-ray: teridektifikasi adanya penyebaran (misal: lobus dan bronkial), dapat
juga menunjukkan multipel abses atau infiltrat, empiema (Staphylococcus),
penyebaran atau lokasi infiltrasi (bakterial), atau penyebaran/extensive nodul
infiltrat (sering kali viral), pada pneumonia mycoplasma chest x-ray mungkin
bersih.
b. Analisis gas darah (Analysis Blood Gasses-ABGs) dan Pulse Oximetry:
abnormalitas mungkin tergantung dari luasnya kerusakan paru-paru.
c. Pewarnaan Gram atau Culture Sputum dan Darah: didapatkan dengan needle
biopsy, aspirasi transtrakheal, fiberoptic bronchoscopy, atau biopsi paru-paru
terbuka untuk mengeluarkan orgnisme penyebab. Lebih dari satu tipe organisme
yang dapat ditemukan, seperti Diplococcus pneumoniae, Staphylococcuc aureus,
A.hemolitic streptococcus, dan Hemophilus influenzae.
d. Periksa Darah Lengkap (Complete Blood Count-CBC): leukositosis biasanya
timbul, meskipun nilai pemeriksaan darah putih (white blood count-WBC) rendah
pada infeksi virus.
e. Tes Serologi: membantu dalam membedakan diagnosis pada organisme secara
spesifik.
f. LED (laju endapan darah): meningkat.
g. Pemeriksaan Fisik Paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps
alveolar): tekanan saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan udara
menurun, hipoksemia.
2.2.9 Penatalaksanaan
Menurut DiGiulio, Jackson, dan Keogh (2014), penatalaksanaan medis yang
tepat klien dengan pneumonia sebagai berikut: Oksigen tambahan diberikan untuk
membantu memenuhi kebutuhan tubuh. Antibiotik diberikan untuk orgasme (secara
empiris) sampai hasil kultur dahak didapatkan. Klien mungkin memerlukan
bronkodilator untuk membantu membuka jalan udara.
a. Memberikan oksigen jika diperlukan.
b. Untuk infeksi bakterial, memberikan antibiotik seperti macrolides (azithomycin,
clarithomicyn), fluoroquinolones (levofloxacin, moxifloxacin), beta-lactams
(amoxilin atau clavulanate, cefotaxime, ceftriaxone, cefuroxime axetil,
cefpodoxime, ampicillin atau sulbactam), atau ketolide (telithromycin).
c. Memberikan antipyrethic jika demam agar klien lebih nyaman : Acitaminophen,
ibuprofen.
d. Memberikan bronkodilator untuk menjga jalur udara tetap terbuka, memperkuat
aliran udara jika perlu: Albuterol, metaproteranol, levabuterol via nebulizer atau
metered dose inhaler.
e. Menambah asupan cairan untuk membantu menghilangkan sekresi dan mencegah
dehidrasi.
f. Menjelaskan kepada klien bagaimana menggunakan spinometer insentif untuk
mendorong napas dalam, monitor kemajuan.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian
Pengkajian yang cermat oleh perawat merupakan hal penting untuk
mendeteksi masalah ini. Melakukan pengkajian pada pernafasan lebih jauh dengan
mengidentifikasi manifestasi klinis pneumonia: nyeri, takipnea, penggunaan otot
pernafasan untuk bernafas, nadi cepat, bradikardi, batuk, dan sputum purulen.
Keparahan dan penyebab nyeri dada harus diidentifikasi juga. Segala perubahan
dalam suhu dan nadi, jumlah sekresi, bau sekresi, dan warna sekresi, frekuensi dan
keparahan batuk, serta takipnea atau sesak nafas harus di pantau. Konsolidasi pada
paru-paru dapat di kaji dengan mengevaluasi bunyi nafas (pernafasan bronkial,
ronchi, atau krekles) dan hasil perkusi (pekak pada bagian dada yang sakit) (Brunner
& Suddarth, 2013).
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi, dan dokumentasi data
(informasi) yang sistematis dan berkesinambungan. Sebenarnya, pengkajian tersebut
ialah proses berkesinambungan yang dilakukan pada semua fase proses keperawatan.
Misalnya, pada fase evaluasi, pengkajian dilakukan untuk menentukan hasil strategi
keperawatan dan mengevaluasi pencapaian tujuan. Semua fase proses keperawatan
bergantung pada pengumpulan data yang lengkap dan akurat (Muttaqin, 2008).
Pengkajian meliputi:
a. Identitas pasien Meliputi tanggal masuk, tanggal pengkajian, nama, umur, jenis
kelamin, agama, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, nomor RM, identitas
penanggung jjawab meliputi: nama, umur, alamat dan hubungan dengan pasien.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama Keluhan utama pada gangguan sistem pernapasan, penting
untuk mengenal tanda serta gejala umum sistem pernapasan. Termasuk dalam
keluhan utama pada sistem pernapasan, yaitu batuk, batuk darah, produksi
sputum berlebih, sesak napas, dan nyeri dada. Keluhan utama pada bersihan
jalan napas tidak efektif adalah batuk tidak efektif, mengi, wheezing, atau
ronkhi kering, sputum berlebih (Muttaqin, 2008).
2) Riwayat kesehatan sekarang Pengkajian riwayat kesehatan sekarang pada
sistem pernapasan seperti menanyakan riwayat penyakit sejak timbulnya
keluhan hingga klien meminta pertolongan. Misalnya sejak kapan keluhan
bersihan jalan napas tidak efektif dirasakan, berapa lama dan berapa kali
keluhan tersebut terjadi. Setiap keluhan utama harus ditanyakan kepada klien
dengan sedetail-detailnya dan semua diterangkan pada riwayat kesehatan
sekarang (Muttaqin, 2008).
3) Riwayat kesehatan dahulu Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah
dialami klien sebelumnya, yang dapat mendukung dengan masalah sistem
pernapasan. Misalnya apakah klien pernah dirawat sebelumnya, dengan sakit
apa, apakah pernah mengalami sakit yang berat, pengobatan yang pernah
dijalanidan riwayat alergi (Muttaqin, 2008).
4) Riwayat kesehatan keluarga Pengkajian riwayat kesehatan keluarga pada
sistem pernapasan adalah hal yang mendukung keluhan penderita, perlu dicari
riwayat keluarga yang dapat memberikan presdiposisi keluhan seperti adanya
riwayat sesak napas, batuk dalam jangka waktu lama, sputum berlebih dari
generasi terdahulu (Muttaqin, 2008).

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang di alaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Diagnosa
keperawatan pada kasus pneumonia berdasarkan phatway, diagnosa yang mungkin
muncul yaitu:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
D.0001
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolus-
kapiler D.0003
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas D.0005
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis D.0077
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna makanan D.0019
f. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit D.0130
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen D.0056
h. Resiko hipovolemia ditandai dengan kehilangan cairan secara aktif D.0034

2.3.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat
yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian kelinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Intervensi
keperawatan pada kasus pneumonia berdasarkan buku Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia sebagai berikut:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi tertahan D.0001
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan
nafas meningkat, Kriteria hasil: L.01001
a) Batuk efektif meningkat
b) Produksi sputum menurun
c) Mengi menurun
d) Wheezing menurun
e) Dispnea menurun
f) Sianosis menurun
g) frekuensi nafas membaik
h) pola nafas membaik
2) Intervensi keperawatan: Latihan batuk efektif 1.01006
 Observasi
a) Identifikasi kemampuan batuk
b) Monitor adanya retensi sputum
c) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
d) Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan karakteristik)
 Terapeutik
a) Atur posisi semi-fowler atau fowler
b) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
c) Buang sekret pada tempat sputum
 Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
b) Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mecucu
(dibulatkan) selam 8 detik
c) Anjurkan tarik nafas dalam hingga 3 kali
d) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik nafas dalam yang
ke-3
 Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolus-
kapiler D.0003
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran gas
meningkat, Kriteria hasil: L.01003
a. Dispnea menurun
b. Bunyi nafas tambahan menurun
c. Pusing menurun
d. Penglihatan kabur menurun
e. Nafas cuping hidung menurun
f. PCO2 dan PO2 membaik
g. Takikardi membaik
h. Sianosis membaik
i. Pola nafas membaik
2) Intervensi keperawatan: Pemantauan respirasi 1.01014
 Observasi
a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
b) Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilas)
c) Monitor kemampuan batuk efektif
d) Monitor adanya produksi sputum
e) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
g) Auskultasi bunyi nafas
h) Monitor saturasi oksigen
i) Monitor AGD
j) Monitor hasil x-ray toraks
 Terapeutik
a) Atur interval pemantuan respirasi sesuai kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
 Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauaan
b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
No DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI TTD
Dx. KEPERAWATAN DAN
KRITERIA
HASIL
1 Gangguan pertukaran Pertukaran gas Pemantauan
gas b.d (L.01003) Respirasi
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan (I.01014)
Ventilasi Perfusi tindakan keperawatan Observasi:
(D.0003) 3x24 jam diharaokan  Monitor
pertukaran gas frekuensi,
membaik dengan irama,
kriteria hasil: kedalaman dan
 Dispnea menurun upaya nafas.
 Bunyi nafas  Monitor pola
tambahan nafas
menurun  Monitor adanya
 Pusing menurun sumbatan jalan
 Penglihatan kabur nafas
menurun  Auskultasi
 Gelisah menurun bunyi
 PCO2 membaik nafas
 PO2 membaik  Monitor nilai
 Pola nafas AGD
membaik  Monitor hasil
xray
Terapeutik
 Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
dengan kondisi
pasien
 Dokumentasi
hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
 Informasi hasil
pemantauan

2.3.4 Implementasi
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat
memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien
(Perry, 2018). Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas yang
telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan
aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya,
pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila
perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap,setiap
intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan
kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan
merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya
(Wilkinson.M.J, 2012).
2.3.5 Evaluasi
Menurut Setiadi (2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan keperawatan
tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi keperawatan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Evaluasi formatif (proses) Evaluasi formatif adalah aktivitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi formatif
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan telah
diimplementasikan untuk membantu menilai efektivitas intervensi tersebut.
Evaluasi formatif harus dilaksanakan terus menerus hingga tujuan yang telah
ditentukan tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi formatif terdiri atas
analisis rencana asuhan keperawatan, pertemuan kelompok, wawancara, observasi
klien, dan menggunakan from evaluasi. Ditulis dalam catatan perawatan.

b. Evaluasi Sumatif (hasil) Evaluasi sumatif adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari
observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada
catatan perkembangan. Fokus evaluasi sumatif adalah perubahan prilaku atau
status kesehatan pasien pada akhir asuhan keperawatan. Evaluasi ini dilaksanakan
pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna. Hasil dari evaluasi dalam asuhan
keperawatan adalah tujuan tercapai/masalah teratasi: jika klien menunjukan
perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, tujuan tercapai
sebagian/masalah teratasi sebagian: jika klien menunjukan perubahan sebagian
dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan, dan tujuan tidak tercapai/ masalah
tidak teratasi : jika klien tidak menunjukan perubahan dan kemajuan sama sekali
dan bahkan timbul masalah baru. Penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian,
atau tidak teratasi adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.Perumusan evaluasi sumatif ini
meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif, obje.
1) A (analisis) Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau
dikaji dari data subjektif dan data objektif.
2) P (perencanaan) Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan pasien.
BAB III
Metodologi Penelitian

3.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, bentuk studi kasus untuk
mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan gangguan pertukaran gas pada pasien
pneumonia di RS Siti Khodijah Sepanjang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi adalah seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang
ditentukan (Riyanto, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang berusia 1-5
tahun yang menderita pneumonia di Rs Siti Khodijah Sepanjang sebanyak 82 balita.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu pasien pneumonia anak yang menjalani pengobatan di Rs Siti
Khodijah Sepanjang selama tahun 2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria pemilihan sampel terbagi menjadi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
inklusi merupakan kriteria sampel yang diinginkan peneliti berdasarkan tujuan penelitian.
Sedangkan kriteria eksklusi merupakan kriteria khusus yang menyebabkan calon
responden yang memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan dari kelompok penelitian.
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien anak dengan diagnosa utama pneumonia di Rs Siti Khodijah Sepanjang
b. Pasien pneumonia anak yang berusia 1-5 tahun
c. Pasien anak dengan pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria yang apabila dijumpai menyebabkan objek tidak dapat digunakan
dalam penelitian, sedangkan kriteria inklusi ialah apabila terpenuhi dapat
mengakibatkan calon objek penelitian (Hajijah, 2012).
3.2.3 Teknik Pengambilan Sample
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili
populasi yang ada. Teknik sampling atau cara pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu dengan non-probability sampling jenis purposive sampling,
yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian) sehingga
sampel tersebut mewakili karakteristik populasi yang ada (Nursalam, 2015).
3.3 Variabel dan Definisi Operasional
3.3.1 Variabel Penelitian
A. Variabel Independen
Variable independen (variabel bebas) adalah variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel ini dikenal variabel
bebas yang artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2017). Dalam
penelitian ini variabel independentnya adalah pertukaran gas.
B. Variabel Dependen
Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas, variabel ini bergantung pada variabel bebas
terhadap perubahan, variabel ini juga disebut variabel efek (Hidayat, 2017). Dalam
penelitian ini variabel dependen adalah pneumonia.
3.3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena
(Hidayat, 2017).
No Variabel Definisi Penelitian Indikator
Penelitian
1. Asuhan Asuhan keperawatan adalah proses 1. Pengkajian
Keperawatan kegiatan praktik keperawatan 2. Diagnosa
langsung pada klien di berbagai 3. Intervensi
tatanan pelayanan kesehatan yang 4. Implementasi
5. Evaluasi
pelaksanaannya berdasarkan kaidah
profesi keperawatan dan merupakan
inti praktik keperawatan (Ali, 2009).
2. Gangguan Kondisi ketika individu mengalami Tanda Mayor
Pertukaran penurunan aliran gas yang termasuk S = Dispnea
Gas didalamnya adalah oksigen dan O = 1. PCO2
karbondioksida antara alveoli paru- 2. PO2
paru dan sistem vaskular didalam 3. Takikardia
tubuh (Lynda Juall Carpenito-Moyet, 4. pH arteri
2013) meningkat
5. Bunyi napas
tambahan

Tanda Minor
S = 1. Pusing
2. Pengelihatan
kabur
O = 1.Sianosis
2. Diaforesis
3. Gelisah
4. Napas cuping
hidung
5. Pola napas
abnormal
(cepat/lambat,
reguler/ireguler,
dalam/dangkal)
6. Warna kulit
abnormal (mis. Pucat,
kebiruan)
7. Kesadaran
menurun

3.4 Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan pada 2 keluarga (orang tua pasien) yaitu, keluarga
dengan pneumonia pada anak di Rs Siti Khodijah Sepanjang.

3.5 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian ini dilakukan melalui tahap sebagai berikut:
1. Karya tulis ilmiah disetujui oleh penguji.
2. Meminta izin untuk pengumpulan data dengan metode studi kasus melalui surat
izin pelaksanaan studi kasus kepada pihak Puskesmas serta keluarga.
3. Membina hubungan saling percaya kepada responden, memberikan informasi
singkat tentang tujuan dan manfaat studi kasus kepada responden atau penjelasan
untuk mengikuti pelaksanaan tindakan keperawatan. Agar berpartisipasi dalam studi
kasus ini, lembar persetujuan (informed consent) untuk di tanda tangani.
4. Meminta keluarga responden yang setuju untuk berpastisipasi dalam pelaksanaan
karya tulis ilmiah tersebut.
5. Melakukan pengkajian pada keluarga dengan anak Pneumonia.
6. Melakukan pemeriksaan fisik pada keluarga dengan anak Pneumonia.
7. Merumuskan diagnose keperawatan pada keluarga dengan anak Pneumonia.
8. Menentukan intervensi keperawatan sesuai dengan masalah keperawatan.
9. Melakukan evaluasi segera setelah tindakan dilakukan dan rekapitulasi serta
kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan selama 5 hari dengan melihat
tujuan yang tercapai.
3.6 Keabsahan Data
1. Data Primer
Sumber data yang dikumpulkan klien dapat berupa memberikan informasi secara lengkap
tentang masalah kesehatan dan keperawatan yang dihadapi.
2. Data Sekunder
Sumber data yang dikumpulkan dari orang terdekat klien, seperti orangtua.

3.7 Metode Dan Instrumen Pengumpulan Data


Metode dan instrument pengumpulan data untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
a. Melakukan wawancara dengan memperoleh hasil anamnesis berisi tentang identitas
klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang – dahulu – keluarga dll). Sumber data dari
klien, keluarga.
b. Observasi dan Pemeriksaan fisik (dengan pendekatan inspeksi, palpasi, perkusi,
asukultasi) pada sistem tubuh klien.
c. Studi dokumentasi (hasil dari pemeriksaan diagnostik dan kuesioner).
2. Instrumen Pengumpulan Data
Alat atau instrumen pengumpulan data menggunakan format pengkajian Asuhan
Keperawatan Keluarga sesuai ketentuan yang berlaku.

3.8 Analisa Data


Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data sampai
dengan semua data terkumpul. Analisis data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta,
selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini
pembahasan. Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban-jawaban dari
penelitian yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan untuk
menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh
peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya diinterpretasikan
oleh peneliti dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi
dalam intervensi tersebut.

3.9 Etika
1. Informed consent (Persetujuan menjadi responden)
Lembar persetujuan diberikan kepada yang akan diteliti, lembar persetujuan diberikan
kepada pasien. Penulis menjelaskan tujuan, prosedur dan hal-hal yang akan dilakukan selama
pengumpulan data, setelah responden bersedia, responden harus menandatangani lembar
persetujuan tersebut, jika tidak bersedia maka penulis tidak memaksa dan tetap menghargai
keputusan tersebut.
2.Anonimity (Tidak menyebutkan nama responden)
Kerahasiaan identitas responden tetap dijaga. Oleh karena itu penulis tidak mencantumkan
nama reponden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan inisial pada lembar
pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3.Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dirahasiakan oleh penulis, hanya
kelompok tertentu yang akan diberikan informasi seperti dokter dan perawat diruangan.
4.Beneficiency (Manfaat/Keuntungan)
Studi kasus yang dilakukan penulis mengandung prinsip moral yang mengutamakan
tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien.
5.Justice ( keadilan)
Tiap pasien diperlakukan sama baik tindakan maupun pengobatan

Anda mungkin juga menyukai