ROYANI
20200305029
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ners (Ns)
ROYANI
20200305029
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada bulan Desember 2019 muncul wabah yang menyerang sistem
pernafasan di Wuhan, Cina. Penyebab wabah tersebut diidentifikasi sebagai
virus corona baru yang kemudian disebut Sindrom Pernafasan Akut
(SARS-CoV-2) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (Shaw, et al 2020).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2021
kasus Covid-19 secara global yaitu 205,338,159 kasus dengan jumlah per 24
jam 662,383 kasus. Jumlah kematian secara global yaitu 4,333,094 jiwa
dengan jumlah per 24 jam 10,210 jiwa. Negara dengan kasus tertinggi adalah
United States of America sebanyak 36,099,344 kasus, India 32,117,826
kasus, Brazil 20,245,085 kasus, Russian Federation 6,557,068 kasus, dan
France 6,244,939 kasus (WHO, 2021).
Portal Informasi Indonesia (2021) menuliskan bahwa pada tanggal 2 Maret
2020 merupakan kali pertama dilaporkan terjadi 2 kasus Covid-19 di
Indonesia. Pada tanggal 13 Agustus 2021 kasus Covid-19 di Indonesia telah
terkonfirmasi sebanyak 3,804,943 kasus yang terdiri dari 400,129 kasus aktif,
3,289,718 sembuh, dan 115,096 jiwa meninggal. Terdapat 5 Provinsi dengan
prevalensi kasus yang cukup tinggi yaitu DKI Jakarta 837,905 (22,0%), Jawa
Barat 651,574 (17,1%), Jawa Tengah 438,418 (11,5%), Jawa timur 353, 077
(9,3%), dan Kalimantan Timur 138,296 (3,6%) (Satgas Covid-19, 2021).
Covid-19 merupakan penyakit yang menyerang sistem pernafasan,
penyebaran virus ini akan menjadi lebih cepat ketika terjadi peningkatakan
mobilisasi pada masyarakat.
Proses infeksi Covid-19 terdiri dari 3 tahapan yaitu replikasi virus,
hipersensivitas imun, dan penghancuran paru, sehingga hal tersebut
menyebabkan kerusakan alveolar difus, poliferasi sel epithelial dan
peningkatan jumlah makrofag (Isbaniah & Susanto, 2020). Covid-19
menimbulkan gejala yang bervariasi pada setiap orang, tergantung pada
kondisi fisik seseorang tersebut.
Gejala yang paling sering dialami oleh pasien-pasien Covid-19 berdasarkan
data yang didapatkan yaitu batuk (64,1%), demam (38,9%), pilek (36,7%),
lemas (26,3), sakit kepala (23,4%), sakit tenggorokan (23,2%), dan sesak
nafas (23,1%). Kondisi penyerta yang paling banyak dimiliki oleh pasien
suspek covid-19 adalah hipertensi (50,2%), diabetes mellitus (37,5%),
penyakit jantung (16,7%), PPOK (5,3%), gangguan nafas lain (1,7%) dan
TBC (0,5%). Namun terdapat beberapa kondisi penyerta yang menyebabkan
prevalensi kematian tertinggi yaitu DM (10,1%), hipertensi (9,6%), penyakit
jantung (5,1%), PPOK (1,4%), dan TBC (0,2%) (Satgas Covid-19, 2021).
Covid dengan komorbid dapat memperberat gejala yang ditimbulkan dan
dapat meningkatkan angka mortalitas.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan diantaranya penyakit pernafasan ringan
atau pneumonia sedang hingga berat yang kemudian dapat menyebabkan
sindrom gangguan pernafasan akut (ARDS) dan kegagalan multi-organ
seperti cedera jantung, efek pada neurologis, tromboemboli vena, gangguan
hati serta ginjal (Asly & Hazim, 2020).
Pneumonia merupakan suatu peradangan parenkim paru distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorus dan alveoli.
Kondisi lain yang ditimbulkan yaitu menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat (Damayanti, 2017). Tanda dan gejala
pneumonia yaitu batuk berdahak, sesak nafas, mual muntah, dan lemas.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi gejala pneumonia yang
terjadi yaitu pemberian oksigen, terapi deep breathing serta pemberian posisi
semi fowler. Berdasarkan penelitian Mertha, Putri & Suardana (2019)
terdapat pengaruh signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian deep
breathing pada kelompok pasien dengan rata-rata nilai saturasi oksigen saat
pre test 91,70% mejadi 92,20 saat post test. Penelitian menganaiposisi fowler
ilakukan oleh Muhsinin & Kusumawardani (2019) yang menunjukan hasil
berupa perbedaan respiratory rate sebelum dan setelah dilakukan posisi semi
fowler. Posisi tersebut diberikan dengan menaikkan kepala dan dada lebih
tinggi dari panggul dan kaki 30o-40o dengan tujuan membantu ekspansi dada
lebih maksimal.
Berdasarkan data yang didapatkan pada ruangan seruni yang merupakan
ruang perawatan penyakit paru-paru di Rumah Sakit Dr. Chasbulah Abdul
Madjid kota bekasi, selama 3 bulan terakhir terdapat 30 pasien yang
terdiagnoasa pneumonia post covid-19. Rata-rata usia yang terdiagnosis atau
mengalami sindrom jangka panjang covid-19 yaitu paling muda 18 tahun dan
sisanya antara 32 sampai 71 tahun. Jenis kelamin pasien diruangan tersebut
lebih dominan pasien perempuan (19 orang) dan laki-laki (11 Orang).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan analisis asuhan
keperawatan pada pasien pneumonia post covid yang mengalami sesak nafas
dan penurunan saturasi oksigen dengan menggunakan tehnik posisi proning,
asuhan keperawatan dilakukan pada ruanggan seruni Rumah Sakit Dr.
Chasbullah Abdul Madjid Kota Bekasi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis akan melakukan
asuhan keperawatan pada pasien pneumonia post covid-19 dengan fokus
intervensi menggunakan tehnik pemberian posisi proning untuk mengurangi
sesak nafas dan membantu meningkatkan saturasi oksigen.
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalis asuhan keperawatan pada pasien pneumonia post Covi-19
dengan kombinasi intervensi deep breathing dan posisi semi fowler
untuk membantu mengurangi sesak nafas dan meningkatkan saturasi
oksigen.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Menganalisa karakteristik klien, etiologc, manifestasi klinis,
penatalaksanaan medis dari masing – masing pasien pneumonia post
Covid-19
2) Menganalisa pengkajian fokus dari masing- masing pasien pneumonia
post Covid-19
3) Menganalisa diagnosa keperawatan dari masing- masing pasien
pneumonia post Covid-19
4) Menganalisa intervensi keperawatan dari masing-masing pasien
pneumonia post covid-19
5) Menganalisa efektifitas implementasi dan evaluasi keperawatan dari
masing- masing pasien pneumonia post Covid-19 menggunakan
kombinasi intervensi deep breathing dan posisi semi fowler.
1.4 Manfaat
1) Manfaat Teoritis
Penelitan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan
sebagai bahan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang keperawatan
khususnya tentang asuhan keperawatan pada pneumonia post Covid-19
dengan menggunakan deep breathing dan posisi semifowler.
2) Manfaat Praktisi
a. Bagi Rumah Sakit Dr. Chasbullah Abdul Madjid
Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan secara komprehensif khususnya
tindakan dalam memberikan terapi non farmakologi salah satunya
adengan menggunakan kombinasi intervensi deep breathing dan posisi
semi fowler untuk mengurangi sesak nafas dan meningkatkan saturasi
oksigen.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil studi kasus ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat diaplikasikan
oleh mahasiswa perawat dalam intervensi eperawatan secara mandiri
c. Bagi Pasien
Dapat menambah ilmu pengetahuan mengurangi sesak nafas dan
meningkatkan saturasi oksigen yang dirasakan dan memberikan inovasi
baru bagi pasien.
d. Bagi Perawat
Dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
terutama dalam memberikan intervensi keperawatan mandiri serta
mengembangkan keterampilan perawat dalam penatalaksanaan
manajemen pernafasan..
1.4 Batasan Studi Kasus
Tabel 1.1 Batasan Studi Kasus
Nama Peneliti
No. Metode Hasil Penelitian
Judulpenelitian
1. Muhsinin & Kusumawardani Quasy Experiment Sebelum Diberikan Penerapan Posisi Semi Fowler Dari Didapatkan
(2019) Design, One Group Hasil Bahwa Semuanya Respiratory Rate > 24x/Menit Sedangkan
Pengaruh Penerapan Pemberian Pre Test Post Test Setelah Penerapan Posisi Semi Fowler Dari 9 Responden
Posisi Semi Fowler Terhadap Didapatkan Hasil, 4 Responden Respiratory Rate 16- 24x/Menit, 5
Perubahan Respiratory Rate Responden Respiratory Rate > 24x/Menit. Berdasarkan Hasil Uji T-
Pada Pasien Dengan Test Dengan Taraf Signifikan 5% Didapatkan Hasil P Value (0,002).
Pneumonia Hal Ini Menjukkan Bahwa Ada Pengaruh Penerapan Pemberian
Posisi Semi Fowler Terhadap Perubahan Respiratory Rate Pada
Pneumonia Di Rsud Kota Mataram
2. Refi Safitri1, Annisa Quasi Eksperiment Ada Perbedaan Sesak Napas Antara Sebelum Dan Sesudah
Andriyani2 (2017) Dengan Rancangan Pemberian Posisi Semi Fowler, Hasil Analisis Bivariat Diperoleh
Keefektifan Pemberian Posisi One Group Pre Hasil T-Test Sebesar -15,327 Dengan p = 0,006 Yang Artinya Posisi
Semi Fowler Terhadap TestPost Tets Semi Fowler Efektif Untuk Digunakan Sebagai Terapi Guna
17
Penurunan Sesak Nafas Pada Mempatenkan Jalan Napas Pada Anak Dengan Pneumonia
Pasien Pneumonia Di Ruang
Rawat Inap
3. Mertha, Putri & Suardana Quasi Eksperiment Hasil Uji Statistik Paired T-Test Pada Kelompok Perlakuan
(2019) Dengan Rancangan Didapatkan Selisih Rata-Rata Sebesar 5,1% Dengan ρ Value 0,001,
Pengaruh Pemberian Deep One Group Pre Pada Kelompok Kontrol Didapatkan Selisih Rata-Rata Sebesar 0,5%
Breathing Exercise Terhadap Testpost Tets Dengan ρ Value 0,052. Kesimpulan Dari Penelitian Ini Adalah
Saturasi Oksigen Pada Pasien Terdapat Pengaruh Yang Signifikan Pemberian Deep Breathing
Ppok Exercise Kepada Pasien Ppok Untuk Meningkatkan Saturasi
Oksigen.
4. Amiar, & Setiyono (2020) Quasi Eksperiment Rata-Rata Satu Saturasi Oksigen Sebelum Dilakukan Tindakan
Efektivitas Pemberian Teknik Dengan Rancangan Pursed Breathing 93.17, Dan Sesudah Dilakukan Pursed Lis
Pernafasan Pursed Lips One Group Pre Breathing 96.30. Sedangakan Untuk Intervensi Perubahan Posisi
Breathing Dan Posisi Semi Testpost Tets Semi Fowler, Sebelum Dilakukan Perubhann Semi Fowler
Fowler Terhadap Peningkatan Rata-Rata 92.83, Dan Sesudah Dilakukan Semi Fowler 95.17. Hasil
Saturasi Oksigen Pada Pasien Uji T Dependent Didapkan Hasil p Value
Tb Paru
5. Prastika (2018) Quasi Eksperiment Hasil Uji Mann Whitney Didapatkan Nilai p Value 0,000 (p < 0,05)
18
Efektivitas Pemberian Posisi Dengan Rancangan Sehingga Dapat Disimpulkan Bahwa Ada Perbedaan Rata-Rata
Fowler Dan Semifowler One Group Pre Skala Sesak Napas Antara Kelompok Fowler Dan Kelompok
Terhadap Skala Sesak Napas Testpost Tets Semifowler Saat Menjalani Terapi Nebulizer. Analisis Menujukkan
Pasien Ppok Saat Menjalani Bahwa Posisi Semifowler Lebih Efektif Dalam Menurunkan Sesak
Terapi Nebulizer Di Rsud Napas Jika Dibandingkan Dengan Posisi Fowler Saat Menjalani
K.R.M.T. Wongsonegoro Terapi Nebulizer
Semarang
6. Mariam Yousif Omer Mariam Yousif Secara statistik ada hubungan antara posisi semi fowler dengan
Elhussain1* , Huda Khalaf Al Omer Elhussain1* , kebaikan napas pasien. Ada sebuah peningkatan laju pernapasan
Ahmed masaad2 and Suhair Huda Khalaf Al pada posisi semifowler. Karena itu, menyebabkan peningkatan
Salah Mohammed3 (2018) Ahmed masaad2 and status pernapasan pada pasien. Posisi semi fowler lebih baik
Comparison of Respiratory Suhair Salah diterapkan pada anak-anak muda dari pada yang tua, tidak hanya di
Status between Semi Fowler Mohammed3 (2018 pernapasan status tetapi semi fowler juga membantu pembersihan
and Elevated Prone Position jalan napas. Sebagian besar pasien anak lebih banyak terjadi pada
among Under 5 Years Old pria dibandingkan pada 10 wanita, dan kondisi klinisnya adalah
Children with Acute pneumonia dan kekurangan gizi yang terkait dengan pneumonia.
Respiratory Tract Infection in
Ibrahim Malik Hospital Sudan
19
7. Yokogawa, et al (2018) Studi Kasus Pada pria dan wanita, efisiensi ventilasi meningkat selama
pernapasan dalam relatif terhadap pernapasan alami, terlepas dari
Perbandingan dua instruksi instruksi. Pada wanita, peningkatan efisiensi ventilasi selama
untuk pernapasan dalam pernapasan dalam lebih besar di bawah NB dibandingkan dengan di
bawah DB. Kerja pernapasan menurun selama pernapasan dalam
Latihan: pernapasan pada wanita di bawah kedua instruksi, tetapi tidak berubah pada pria
non-spesifik dan diafragma di bawah DB
8. Chanif, Dewi Prastika (2019) Metode penelitian ini The analysis using Mann Whitney with p-value 0.000 (p < 0.05) so
Posisi Fowler dan Semi-fowler eksperimen semu that it can be concluded that there is a difference in the average scale
untuk Mengurangi Tingkat dalam dua kelompok of shortness of breath between fowler and semi fowler while
Sesak Nafas (Dyspnea) Selama menggunakan desain undergoing group therapy nebulizer
Terapi Nebulizer Sedang pretest and posttest
Berlangsung
9.. Rizky Annisa, Wasisto Utomo, Teknik non Hasil uji cochron dan uji repeated anova menunjukkan signifikansi
Sri Utami (2018) probability sampling dengan p valeu > α (0,005). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
Pengaruh Perubahan Posisi dengan jenis bahwa tindakan posisi low fowler, posisi semi fowler dan posisi
Terhadap Pola Nafas Pada purposive sampling standar fowler berpengaruh terhadap pola nafas.
Pasien Gangguan Pernafasan
10. Dwi Istiyani, Sri Puguh Quasi Eksperiment Berdistribusi normal dengan p value > 0,05. Selanjutnya dilakukan
Kristiyawati, Supriyadi (2018) uji t-test dependent dan didapatkan hasil p-value 0,000 pada kedua
20
Perbedaan Posisi Tripod Dan kelompok intervensi
Posisi Semi Fowler Terhadap
Peningkatan Saturasi Oksigen
Pada Pasien Asma Di Rs Paru
Dr. Ario Wirawan Salatiga
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Covid-19
2.1.1. Definisi
Virus Corona merupakan keluarga Coronaviridae, virus dengan untaian
tung- gal, positive-sense RNA genome sekitar 26- 32 kb dan merupakan
genom terbesar untuk penampakan virion pada membran virus ber-
bentuk taji-taji menyerupai mahkota atau alam Bahasa latinnya adalah
Corona. Virus Corona digolongkan dalam subfamily Coro- navirinae,
family Coronaviridae, order Nido- virales. Terdapat empat genera virus
Corona yaitu Alphacoronavirus (αCoV), Betacorona- virus (βCoV),
Deltacoronavirus (δCoV) dan Gammacoronavirus (γCoV). Analisis
evolusi menyatakan kelelawar dan hewan pengerat merupakan sumber
genetik sebagian besar αCoV dan βCoV sedangkan unggas merupakan
sumber gen dari sebagian besar δCoV dan CoV. Virus COVID 19
adalah Betacorona-virus yang hampir sama dengan coronavirus
penyebab SARS.3 Virus Corona memiliki genom terbesar dan banyak
mutasi delesi dan sering terjadi rekombinasi sehingga muncul galur baru
(Isbaniah,2020).
2.1.2. Faktor Risiko
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan
diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan
faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang
lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok
aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus,
diduga ada peningkatan ekspresi eseptor ACE2 (Susilo, 2020).
Diaz JH menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau
angiotensin receptor blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19
yang lebih berat. Terkait dugaan ini, European Society of Cardiology
(ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk
menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau
ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap
22
melanjutkan pengobatannya.Pasien kanker dan penyakit hati kronik
lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Kanker diasosiasikan
dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi
agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan
sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons
imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat
mengalami luaran yang lebih buruk.Studi Guan, dkk, menemukan
bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, pasien di
antaranya adalah dengan kanker dan pasien dengan hepatitis B. Infeksi
saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki
risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV.
Namun, hingga saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan
infeksi SARS-CoV-2.50 Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan
hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan.51
Belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan
kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Yang, dkk, menunjukkan bahwa pasien COVID-19
dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki
manifestasi klinis yang lebih parah (Susilo, 2020).
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal
satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area
terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat
(dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis
merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia,
sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis. Di China, lebih dari
3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%
(Susilo, 2020).
2.1.3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,
pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus
23
tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan
sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar
proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui.21 Viremia dan viral load
yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah
dilaporkan. Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi
akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,
fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak
membutuhkan suplementasi oksigen. Pasien COVID-19 dengan
pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu dari
gejala:
a. Frekuensi pernapasan >30x/menit
b. Distres pernapasan berat, atau
c. Saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen.
Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal.Sebagian
besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala
pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.
Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk
kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk
produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,
mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri
abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam
pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C,
sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C.3 Perjalanan
penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari
(median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau
sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala
awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada
jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan
jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi
empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien
masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit
24
menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi
hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak
terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan
komplikasi lainnya (Susilo, 2020).
2.1.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis,
fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan
prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia
juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue.
Yan, dkk. di Singapura melaporkan adanya pasien positif palsu serologi
dengue, yang kemudian diketahui positif COVID-19. Karena gejala
awal COVID-19 tidak khas, hal ini harus diwaspadai. Profil temuan
laboratorium pada pasien COVID-19
25
2.1.5. Pencegahan Komplikasi
Hasil yang Diharapkan Intervensi
Mengurangi lama ventilasi Menggunakan protokol sapih termasuk penilaian harian atas kesiapan bernapas spontan
mekanis invasif (hitungan hari) Meminimalisir sedasi bersinambung atau berjeda, yang menyasar titik akhir titrasi (titration
endpoints) (sedasi ringan kecuali jika ada kontraindikasi) atau interupsi harian untuk infusi
sedasi bersinambung
Mengurangi insidensi Intubasi oral lebih disarankan dibandingkan intuasi hidung pada pasien remaja dan dewasa
pneumonia terkait Pasien tetap pada posisi semi-berbaring (kepala tempat tidur miring 30-45°)
ventilator Gunakan sistem hisap tertutup; secara berkala keringkan dan buang kondensasi pada selang
Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien; setelah pasien diventilasi,
Ganti sirkuit jika kotor atau rusak, bukan secara rutin
Ganti pengubah panas dan kelembapan jika terjadi malfungsi, kotor, atau setiap 5-7 hari
Mengurangi insidensi Gunakan profilaksis farmakologis (heparin bobot molekul rendah [disarankan jika tersedia]
tromboembolisme atau heparin 5000 unit secara subkutan dua kali sehari) pada pasien remaja dan pasien
dewasa yang tidak ada kontraindikasi. Bagi pasien dengan kontraindikasi, gunakan
profilaksis mekanis (alat kompresi pneumatis berjeda)
Mengurangi insidensi infeksi Gunakan daftar pengingat yang diperiksa oleh pengamat yang turut hadir untuk
aliran darah terkait kateter mengingatkan setiap langkah yang diperlukan agar insersi dapat dilakukan secara steril dan
sebagai pengingat harian untuk melepaskan kateter jika tidak lagi dibutuhkan
Mengurangi insidensi ulkus Miringkan pasien setiap 2 jam
tekan
Mengurangi insidensi ulkus Beri nutrisi enteral awal (dalam waktu 24-48 jam setelah pasien masuk rumah sakit)
stres dan perdarahan Beri penghambat reseptor histamin-2 atau inhibitor pompa proton pada pasien berfaktor
gastrointestinal (GI) risiko perdarahan GI. Faktor risiko perdarahan GI meliputi ventilasi mekanis selama ≥ 48
jam, koagulopati, terapi ganti ginjal, penyakit liver, komorbiditas berganda, dan skor
kegagalan organ lebih tinggi
Mengurangi insidensi lemah Segera aktif dorong pasien bergerak pada tahap awal sakit saat pasien dapat bergerak dengan
terkait ICU aman
26
2.2 Konsep Pneumonia
2.2.1 Anatomi Paru-paru
Sistem pernapasan mencakup paru dan sistem saluran yang bercabang
menghubungkan tempat bettukarnya gas dengan lingkungan luar. Udara di
dalam paru digerakkan melalui proses ventilasi, yang terdiri atas rongga
toraks, otot interkostal, diafragma, dan komponen elastis jaringan paru.
Sistem pernapasan secara umum dibagi menjadi saluran napas atas dan
bawah. Secara fungsional, dibedakan menjadi bagian konduksi dan bagian
respiratorik (Junquiera A, Mescher L, 2011).
27
Menurut Alsagaff (2015)sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua
proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari
dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar
dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan
paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu :
a. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.
2.2.2 Fisiologi Paru-Paru
Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding
dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena
memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara
paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton,
2007).
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen
bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan
karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan
metabolisme seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan
agar pasokan kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti,
2013). Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa
pipa yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua
belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di
gelembunggelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara
terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat
dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam
paru-paru manusia dan bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara
dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Yunus, 2007).
28
Menurut Guyton (2007) untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan
dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu :
a. Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara
antara alveoli dan atmosfer.
b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
c. Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan
cairan tubuh ke dan dari sel.
d. Pengaturan ventilais pada sistem pernapasan. Pada waktu menarik
nafas atau inspirasi maka otot-otot pernapasan berkontraksi, tetapi
pengeluaran udara pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika
diafragma menutup, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali
memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma
dan tulang dada menutup dan berada pada posisi semula.
29
eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke
atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai
udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi
(Miller et al, 2011).
Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari
alveoli ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk
karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke
tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas
dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor sirkulasi.
Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke
jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton,
2007).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru manusia adalah
sebagai berikut :
a. Usia
Kekuatan otot maksimal paru-paru pada usia 20-40 tahun dan dapat
berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan
terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial,
penurunan kapasitas paru.
b. Jenis kelamin
Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi sebesar 20-25% dari pada
funsgi ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki-laki lebih
besar dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas lakilaki lebih tinggi
sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.
c. Tinggi badan
Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi lebih
tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti, 2015)
2.2.3 Definisi Pneumonia
30
Pneumonia merupakan suatu peradangan pada parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, jamur, parasite, bakteri.
Penyebab lain pneumonia yaitu bahan kimia dan paparan fisik sperti
radiasi atau suhu (Ranggo, 2020).
2.2.4 Etiologi
Menurut Padila (2013), etiologi pneumonia:
a. Bakteri
Pneumonia bakteri didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram positif
seperti: Streptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus
pyogenesis. Bakteri gram negative seperti Haemophilus influenza,
klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa
b. Virus
Disebabkan virus influenza yang menyebar melalui droplet.Penyebab
utama pneumonia virus ini yaitu Cytomegalovirus.
c. Jamur
Disebabkan oleh jamur hitoplasma yang menyebar melalui udara yang
mengandung spora dan ditemukan pada kotoran burung, tanahserta
kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC).
Biasanya pada pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2013).
Penyebaran infeksi melalui droplet dan disebabkan oleh streptococcus
pneumonia, melalui selang infus yaitu stapilococcus aureus dan pemakaian
ventilator oleh P. Aeruginosa dan enterobacter. Dan bisa terjadi karena
kekebalan tubuh dan juga mempunyai riwayat penyakit kronis. Selain
diatas penyebab terjadinya pneumonia yaitu dari Non mikroorganisme:
a. Bahan kimia.
b. Paparan fisik seperti suhu dan radiasi (Djojodibroto, 2014).
c. Merokok.
d. Debu, bau-bauan, dan polusi lingkungan (Ikawati, 2016).
31
2.2.5 Klasifikasi
a. Berdasarkan Anatomi
32
Kuman pneumokokusus dapat meluas dari alveoli ke seluruh segmen atau
lobus. Eritrosit dan leukosit mengalami peningkatan, sehingga Alveoli
penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit, fibrin dan leukosit
sehingga kapiler alveoli menjadi melebar, paru menjadi tidak berisi udara.
Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun sehingga alveoli penuh
dengan leukosit dan eritrosit menjadi sedikit. Setelah itu paru tampak
berwarna abu-abu kekuningan. Perlahan sel darah merah yang akan masuk
ke alveoli menjadi mati dan terdapat eksudat pada alveolus Sehingga
membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat
mengakibatkan gangguan proses difusi osmosis oksigen dan berdampak
pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Secara klinis
penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent
pada alveolus menyebabkan peningkatan tekanan pada paru, dan dapat
menurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar serta mengakibatkan
berkurangnya kapasitas paru. Sehingga penderita akan menggunakan otot
bantu pernafasan yang dapat menimbulkan retraksi dada.
Secara hematogen maupun lewat penyebaran sel, mikroorganisme yang
ada di paru akan menyebar ke bronkus sehingga terjadi fase peradangan
lumen bronkus. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkan produksi
mukosa dan peningkatan gerakan silia sehingga timbul reflek batuk.
2.2.7 Manifestasi
Gambaran klinis beragam, tergantung pada organisme penyebab dan
penyakit pasien Brunner & Suddarth (2011).
a. Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjadi demam
(38,5oC sampai 40,5oC).
b. Nyeri dada pleuritik yang semakin ketika bernapas dan batuk.
c. Pasien yang sakit parah mengalami takipnea (25 sampai 45 kali
pernapasan/menit) dan dyspnea, prtopnea ketika disangga.
d. Nadi cepat dan memantul, dapat meningkat 10 kali/menit per satu
derajat peningkatan suhu tubuh (Celcius).
33
e. Bradikardi relativ untuk tingginya demam menunjukkan infeksi virus,
infeksi mikroplasma, atau infeksi organisme Legionella.
f. Tanda lain : infeksi saluran napas atas, sakit kepala, demam derajat
rendah, nyeri pleuritik, myalgia, ruam faringitis, setelah beberapa hari,
sputum mucoid atau mukopurulen dikeluarkan.
g. Pneumonia : pipi memerah, bibi dan bantalan kuku menunjukkan
sianosis sentral.
h. Sputum purulent, bewarna seperti katar, bercampur darah, kental, atau
hijau, bergantung pada agen penyebab.
i. Nafsu makan buruk, dan pasien mengalami diaphoresis dan mudah
lelah.
j. Tanda dan gejala pneumonia dapat juga bergantung pada kondisi utama
pasien (misal, yang menjalani terapi imunosupresan, yang menurunkan
resistensi terhadap infeksi
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi pneumonia meliputi hipoksemia, gagal respiratorik, effusi
pleura, empyema, abses paru, dan bacteremia, disertai penyebaran
infeksike bagian tubuh lain yang menyebabkan meningitis, endocarditis,
dan pericarditis (Paramita, 2011).
2.2.9 Pencegahan
Pencegahan pneumonia yaitu menghindari dan mengurangi faktor resiko,
meningkatkan pendidikan kesehatan, perbaikan gizi, pelatihan petugas
kesehatan dalam diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia yang benar
dan efektif (Said, 2010).
2.2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis secara umum untuk pneumonia adalah :
a. Pemberian antibiotik seperti : penicillin, cephalosporin pneumonia
b. Pemberian antipiretik, analgetik, bronkodilator
c. Pemberian oksigen
d. Pemberian cairan parenteral sesuai indikasi.
34
Sedangkan untuk penyebab pneumonia bervariasi sehingga
penanganannya pun akan disesuaikan dengan penyebab tersebut. Selain itu,
pengobatan pneumonia tergantung dari tingkat keparahan gejala yang
timbul (Shaleh, 2013).
a. Bagi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
Dengan pemberian antibiotik yang tepat. Pengobatan harus komplit
sampai benar-benar tidak lagi muncul gejala pada penderita. Selain itu,
hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum tidak tampak adanya bakteri
pneumonia (Shaleh, 2013).
1) Streptococcus pneumonia
Dengan pemberian vaksin dan antibotik. Ada dua vaksin yaitu
pneumococcal conjugate vaccine yaitu vaksin imunisasi bayi dan
untuk anak dibawah usia 2 tahun dan pneumococcal polysaccharide
vaccine direkomendasikan bagi orang dewasa. Antibiotik yang
digunakan dalam perawatan tipe pneumonia ini yaitu penicillin,
amoxicillin, dan clavulanic acid, serta macrolide antibiotics.
2) Hemophilus influenza
Antibiotik cephalosporius kedua dan ketiga, amoxillin dan clavulanic
acid, fluoroquinolones, maxifloxacin oral, gatifloxacin oral, serta
sulfamethoxazole dan trimethoprim.
3) Mycoplasma
Dengan antibiotik macrolides, antibiotic ini diresepkan untuk
mycoplasma pneumonia.
b. Bagi pneumonia yang disebabkan oleh virus
Pengobatannya sama dengan pengobatan pada penderita flu. Yaitu
banyak beristirahat dan pemberian nutrisi yang baik untuk membantu
daya tahan tubuh. Sebab bagaimana pun juga virus akan dikalahkan jika
daya tahan yubuh sangat baik.
c. Bagi pneumonia yang disebabkan oleh jamur
35
Cara pengobatannya akan sama dengan cara mengobati penyakit jamur
lainnya. Hal yang paling penting adalah pemberian obat antijamur agar
bisa mengatasi pneumonia (Shaleh, 2013).
2.2.11 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah:
a. Sinar X
Mengidentifikasi distribusi (missal: lobar, bronchial), luas absesatau
infiltrate, empyema (stapilococcus), dan penyebaran infiltrate.
b. GDA
Jika terdapat penyakit paru biasanya GDA Tidak normal tergantung
pada luas paru yang sakit.
c. JDL leukositosis
Sel darah putih rendah karena terjadi infeksi virus, dan kondisi imun.
d. LED meningkat
Terjadi karena hipoksia, volume menurun, tekanan jalan napas
meningkat.
2.3 Konsep Deep Breathing
2.3.1 Definisi
Penggunaan istilah latihan nafas (breathing exercise) berkaitan dengan
pola nafas (menahan nafas, sesak nafas, bernafas panjang), Saturasi
Oksigen, nafas dalam (volume), tempat bernafas (dada, diafragma),
koordinasi nafas, tahapan dan keseimbangan (berhubungan dengan
aspek gelombang nafas), resistensi nafas (hidung dan mulut) dan
aktivitas otot kolateral untuk regulasi bernafas (White 2007).
Deep breathing exercise merupakan latihan pernapasan dengan tehnik
bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma,
sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada
mengembang penuh (Smeltzer, et al. 2008).
Nafas dalam (deep breathing) adalah suatu teknik bernafas yang
berhubungan dengan perubahan fisiologis yang bisa memberikan respon
relaksasi. Nafas dalam adalah suatu keterampilan, nafas dalam adalah
36
tipe bernafas yang kita lakukan secara alami saat masih bayi atau saat
tidur dan bernyanyi. Nafas dalam adalah sebuah keterampilan dimana
membutuhkan waktu dan komitmen untuk dipraktekkan (Reyes & Wall
2004).
2.3.2 Tujuan dan Manfaat Deep breathing
a. Mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi
kerja pernapasan.
b. Memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru.
c. Meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan
menghilangkan ansietas.
d. Mencegah pola aktifitas otot pernapasan yang tidak berguna,
melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang
terperangkap serta mengurangi kerja bernafas.
e. Mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu
menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Smeltzer, et
al. 2008).
Latihan pernapasan dengan tehnik deep breathing membantu
meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot pernapasan
berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernapasan (Ignatavicius &
Workman 2006).
Deep breathing dapat mencegah atelektasis dan meningkatkan fungsi
ventilasi paru pada klien post ekstubasi. Pemulihan kemampuan otot
pernapasan akan meningkatkan compliance paru sehingga membantu
ventilasi lebih adequat sehingga menunjang oksigenasi jaringan
(Westerdahl, et al, 2005).
2.3.3 Teknik Latihan Deep breathing
Dalam tinjauan ini akan menyajikan 2 teknik nafas dalam :
1. Teknik deep breathing exercise menurut Smeltzer, et al. (2008)
meliputi:
a. Mengatur posisi klien dengan semi fowler/fowler di tempat
tidur/kursi.
37
b. Meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah iga)
dan tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan dada
dan abdomen saat bernafas.
c. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama
inspirasi, tahan nafas selama 2 detik.
d. Menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit
terbuka sambil mengencangkan (kontraksi) otot-otot abdomen dalam
4 detik.
e. Melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap
pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit.
f. Melakukan latihan dalam lima siklus selama 15 menit.
2. Teknik deep breathing exercise dilakukan dengan langkah sebagai
berikut :
a. Pasien berada dalam posisi fowler atau duduk.
b. Kedua tangan klien diletakkan diatas perut.
c. Anjurkan klien untuk menarik nafas secara berlahan melalui hidung,
rasakan jari tengah terpisah. Tahan nafas selama 2 sampai 3 detik.
d. Anjurkan klien untuk mengeluarkan nafas secara berlahan melalui
perut.
e. Lakukan latihan selama 15 menit dengan frekuensi 3 kali sehari.
2.4 Pengaturan Posisi Pasien
1. Definisi
Posturing / mengatur dan merubah posisi adalah mengatur pasien dalam
posisi yang baik dan mengubah secara teratur dan sistematik. Hal ini
merupakan salah satu aspek keperawatan yang penting. Posisi tubuh
apapun baik atau tidak akan mengganggu apabila dilakukan dalam waktu
yang lama. (Potter dan perry,2009) Tujuan merubah posisi :
a. Mencegah nyeri otot
b. Mengurangi tekanan
c. Mencegah kerusakan syaraf dan pembuluh darah superficial
38
d. Mencegah kontraktur otot
e. Mempertahankan tonus otot dan reflek
f. Memudahkan suatu tindakan baik medic maupun keperawatan
2. Jenis-jenis Pemberian Posisi Tubuh Pada Pasien
a. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian
kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan
untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi
pernapasan pasien.
Posisi Fowler
1) Tujuan :
a) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi.
b) Meningkatkan rasa nyaman
c) Meningkatkan dorongan pada diafragma
sehingga meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru
d) Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang
menetap
2) Indikasi
a) Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan
b) Pada pasien yang mengalami imobilisasi
3) Alat dan bahan :
a) Tempat tidur khusus
b) Selimut
4) Cara kerja :
39
a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
b) Dudukkan pasien
c) Berikan sandaran atau bantal pada tempat tidur pasien atau atur
tempat tidur.
d) Untuk posisi semi fowler (30-45˚) dan untuk fowler (90˚).
e) Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk.
1) Tujuan
a) Mobilisasi
b) Memerikan perasaan lega pada klien sesak nafas
c) Memudahkan perawatan misalnya memberikan makan
2) Cara / prosedur
a) Mengangkat kepala dari tempat tidur kepermukaan yang tepat
( 45-90 derajat)
b) Gunakan bantal untuk menyokong lengan dan kepala klien jika
tubuh bagian atas klien lumpuh
c) Letakan bantal di bawah kepala klien sesuai dengan keinginan
klien, menaikan lutut dari tempat tidur yang rendah menghindari
adanya tekanan di bawah jarak poplital ( di bawah lutut )
c. Posisi sim
Posisi sim adalah posisi miring kekanan atau kekiri, posisi ini dilakukan
untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat melalui anus
(supositoria).
40
Posisi Sim
1) Tujuan :
a) Mengurangi penekanan pada tulang secrum dan trochanter
mayor otot pinggang
b) Meningkatkan drainage dari mulut pasien dan mencegah aspirasi
c) Memasukkan obat supositoria
d) Mencegah dekubitus
2) Indikasi :
a) Untuk pasien yang akan di huknah
b) Untuk pasien yang akan diberikan obat melalui anus
3) Alat dan bahan :
a) Tempat tidur khusus
b) Selimut
4) Cara kerja :
a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
b) Pasien dalam keadaan berbaring, kemudian miringkan kekiri
dengan posisi badan setengan telungkup dan kaki kiri lurus lutut.
Paha kanan ditekuk diarahkan ke dada.
c) Tangan kiri diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan
kanan diatas tempat tidur.
d) Bila pasien miring kekanan dengan posisi badan setengan
telungkup dan kaki kanan lurus, lutut dan paha kiri ditekuk
diarahakan ke dada.
e) Tangan kanan diatas kepala atau dibelakang punggung dan
tangan kiri diatas tempat tidur.
41
d. Posisi trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala
lebih rendah dari pada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk
melancarkan peredaran darah keotak.
Posisi trendelenburg
1) Alat dan bahan :
a) Tempat tidur khusus
b) Selimut
2) Indikasi :
a) Pasien dengan pembedahan pada daerah perut
b) Pasien shock
c) Pasien hipotensi.
3) Alat dan bahan :
a) Tempat tidur khusus
b) Selimut
4) Cara kerja :
a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
b) Pasien dalam keadaan berbaring, kemudian miringkan kekiri
dengan posisi badan setengan telungkup dan kaki kiri lurus lutut.
Paha kanan ditekuk diarahkan ke dada.
c) Tangan kiri diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan
kanan diatas tempat tidur.
42
d) Bila pasien miring kekanan dengan posisi badan setengan
telungkup dan kaki kanan lurus, lutut dan paha kiri ditekuk
diarahakanke dada.
e) Tangan kanan diatas kepala atau dibelakang punggung dan
tangan kiri diatas tempat tidur
43
c) Berikan balok penopang pada bagian kaki tempat tidur atau atur
tempat tidur khusus dengan meninggikan bagian kaki pasien.
f. Posisi Litotomi
Posisi berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya keatas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa
genitalia pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
1) Indikasi :
a) Untuk ibu hamil
b) Untuk persalinan
c) Untuk wanita yang ingin memasang alat kontrasepsi
2) Alat dan bahan :
a) Tempat tidur khusus
b) Selimut
3) Cara kerja:
a) Pasien dalam keadaan berbaring telentang, kemudian angkat
kedua paha dan tarik kearah perut
b) Tungkai bawah membentuk sudut 90 derajat terhadap paha
c) Letakkan bagian lutut/kaki pada tempat tidur khusus untuk posisi
lithotomic
d) Pasang selimut
44
g. Posisi Genu pectrocal/ Knee chest
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki di tekuk dan dada
menempel pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk
memeriksa daerah rectum dan sigmoid.
h. Posisi orthopeneic
Posisi pasien duduk dengan menyandarkan kepala pada penampang
yang sejajar dada, seperti pada meja.
45
1) Tujuan
Memudahkan ekspansi paru untuk pasien dengan kesulitan bernafas
yang ekstrim dan tidak bias tidur terlentang atau posisi kepala hanya
bias pada elevasi sedang.
2) Indikasi : Pasien dengan sesak berat dan tidak bias tidur terlentang.
i. Posisi Supinasi
Posisi telentang dengan pasien menyandarkan punggungnya agar dasar
tubuh sama dengan kesejajaran berdiri yang baik.
Posisi Supinasi
1) Tujuan
Meningkatkan kenyamanan pasien dan memfasilitasi penyembuhan
terutama pada pasien pembedahan atau dalam proses anestesi
tertentu.
2) Indikasi
a) Pasien dengan tindakan post anestesi atau penbedahan tertentu
b) Pasien dengan kondisi sangat lemah atau koma.
46
j. Posisi pronasi
Pasien tidur dalam posisi telungkup Berbaring dengan wajah
menghadap kebantal.
Pronasi
1) Tujuan
a) Memberikan ekstensi maksimal pada sendi lutut dan pinggang
b) Mencegah fleksi dan kontraktur pada pinggang dan lutut.
2) Indikasi
a) Pasien yang menjalani bedah mulut dan kerongkongan
b) Pasien dengan pemeriksaan pada daerah bokong atau punggung.
k. Posisi lateral
lateral
Posisi miring dimana pasien bersandar kesamping dengan sebagian
besar berat tubuh berada pada pinggul dan bahu.
1) Tujuan
a) Mempertahankan body aligement
b) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi
c) Meningkankan rasa nyaman
d) Mengurangi kemungkinan tekanan yang menetap pada tubuh
akibat posisi yang menetap.
47
2) Indikasi
a) Pasien yang ingin beristirahat
b) Pasien yang ingin tidur
c) Pasien yang posisi fowler atau dorsal recumbent dalam posisi
lama
d) Penderita yang mengalami kelemahan dan pasca operasi.
2.5 Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien, terdiri dari : nama, usia, jenis kelamin, status, agama,
alamat, pekerjaan, penanggung jawab
2. Keluhan utama, pasien diabetes mellitus datang dengan keluhan yang
berbeda-beda, biasanya datang ke rumah sakit datang dengan gejala
khas berupa polifagia, polyuria, polydipsia, lemas, berat badan turun
3. Riwayat kesehatan, terdiri atas :
a) Riwayat penyakit terdahulu, didapatkan informasi terkait
faktor-faktor risiko terjadinya diabetes mellitus seperti riwayat
obesitas, hipertensi, aterosklerosis
b) Riwayat penyakit sekarang, pengkajian berupa proses terjadinya
gejala khas, penyebab terjadinya serta upaya pasien dalam mengatasi
masalahnya.
c) Riwayat kesehatan keluarga, kaji adanya riwayat anggota keluarga
yang mengalami diabetes mellitus, hal ini berhubungan dengan faktor
genetic dimana orang tua yang mengalami diabetes mellitus
berpeluang akan menurunkan penyakit ini kepada anaknya
4. Pola aktifitas, terdiri dari :
a) Pola nutrisi, produksi insulin yang tidak adekuat atau mengalami
defisiensi insulin, menyebabkan kadar glukosa tidak dapat
48
dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan poliuri, polifagia,
polydipsia, berat badan menurun dan kelelahan. Keadaan ini
menimbulkan masalah nutrisi dan metabolisme yang dapat
mempengaruhi status kesehatan.
b) Pola eliminasi, kondisi hiperglikemia pada pasien diabetes mellitus
menyebabkan terjadinya diuresis osmotik, gejala berupa poliuri dan
pengeluaran glukosa dalam urin (glukosuria).
c) Pola istirahat dan tidur, ketika pasien di rawat di rumah sakit dengan
kondisi lingkungan yang berbeda, dapat memengaruhi waktu tidur
dan istirahat. Akibatnya, pasien merasa cepat lelah, lemas, aktivitas
sehari-hari berkurang.
d) Pola persepsi dan konsep diri, adanya perubahan fungsi dan struktur
tubuh mengakibatkan pasien mengalami ganggan gambaran diri,
beberapa faktor lain yang menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan ganguan peran dikarenakan lama perawatan,
mahalnya biaya perawatan dan pengobatan.
e) Pola sensori dan kognitif, pasien diabetes mellitus dapat terjadi
masalah neuropati atau gangguan rasa nyeri pada kaki sehingga tidak
peka terhadap adanya trauma
f) Pola seksual dan reproduksi, angiopati dapat terjadi pada sistem
pembuluh darah organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan
seksual, gangguan kemampuan ereksi, serta memengarihi proses
ejakulasi serta orgasme
g) Pola mekanisme stress dan koping, penyakit diabetes mellitus
merupakan salah satu penyakit kronik sehingga membutuhkan
lamanya perawatan. Pasien mengalami kondisi tidak berdaya karena
ketergantungan obat anti hiperglikemia dan memengaruhi kondisi
psikologis, pasien cenderung mudah marah, cemas, mudah
tersinggung.
5. Pengkajian fisik
a) Keadaan umum
b) Pemeriksaan head to toe meliputi
49
1) Kepala, kaji bentuk kepala, keadaan rambut, palpasi area kepala
adakah massa, tanyakan apakah telinga merasakan berdenging,
adakah gangguan pendengaran, kondisi lidah sering terasa tebal,
ludah menjadi kental, gusi mudah bengkak dan berdarah,
tanyakan apakah penglihatan menjadi kabur/ganda, diplopia,
lensa mata tampak keruh
2) Leher : kaji adakah pembesaran pada area leher, refleks menelan
3) Sistem integumen, kaji turgor kulit, biasanya pasien diabetes
mellitus mengalami dehidrasi, kaji adanya luka atau tampak
jaringan nekrotik pada luka, kelembaban dan suhu kulit didaerah
sekitar ulkus, kaji apakah tampak kemerahan pada kulit sekitar
luka, tektur rambut dan kuku, kaji tanda infeksi
4) Sistem pernapasan, kaji apakah pasien merasakan sesak napas
yang menandakan adanya ketoasidosis, kaji apakah ada batuk,
sputum, nyeri dada.
5) Sistem kardiovaskuler, ditandai dengan perfusi jaringan
menurun, nadi perifer lemah, takikardia/bradikardia, hipertensi
atau hipotensi,aritmia, kardiomegali, hal ini berhubungan dengan
komplikasi pada makrovaskuler.
6) Sistem urinaria, terjadinya polyuria, retensi urine, inkontinensia
urin, rasa panas atau nyeri saat berkemih, adanya glukosuria.
7) Sistem muskuloskeletal, adanya katabolisme lemak, perubahan
massa otot, pasien mengeluh lemas dan lelah
8) Sistem neurologis, pasien diabetes mellitus biasanya mengalami
penurunan sensoris, paresthesia, anastesia, letargi, mudah
mengantuk, reflek lambat, disorientasi
c) Pemeriksaan laboratorium
1) Sinar X
Mengidentifikasi distribusi (missal: lobar, bronchial), luas
absesatau infiltrate, empyema (stapilococcus), dan penyebaran
infiltrate.
50
2) GDA
Jika terdapat penyakit paru biasanya GDA Tidak normal
tergantung pada luas paru yang sakit.
3) JDL leukositosis
Sel darah putih rendah karena terjadi infeksi virus, dan kondisi
imun.
4) LED meningkat
Terjadi karena hipoksia, volume menurun, tekanan jalan napas
meningkat.
51
BAB III
37
Selanjutnya auskultrasi, terdengar bunyi nafas ronkhi basah, bising usus
hiperaktif 35x/menit, dan bunyi jantung normal. Dari hasil pemeriksaan
laboratoriun didapatkan hasil LED 40 mm/jam, leukosit 22.000 /uL, EGFR
124. Hasil pemeriksaan radiologi didapatkan kesan ilfiltrat pada kedua
paru. Pasien mendapatkan penatalaksanaan medis berupa IVFD Rl/12 jam,
obat antibiotik baik parenteral maupun non parenteral serta mendapatkan
obat antikoagulan dan terapi bronkodilator.
2. Tn. R (62 thn), jenis kelamin laki-laki dan beragama islam. Pasien
mengatakan sebelum dibawa ke UGD RSUD Bekasi pada tanggal 10 juli
2021 pasien mengalami anosmia, merasa pusing, lemas dan nyeri otot.
Setelah dibawa ke UGD dan mengikuti prosedur yang ada pasien
melakukan tes PCR dan hasilnya Susp Covid-19. Setelah menjalani
perawatan selama 1 bulan dan pasien telah dinyatakan negatif,pasien
dipindahkan keruangan seruni pada tanggal 10 Agustus 2021 dengan
diganosa medis penumonia post Covid-19 dan hiperkoagulan. Pasien
mengatakan tidak memiliki riwayat kesehatan sebelumnya begitupun
dengan keluarga. Pasien merupakan perokok aktif, dan berprofesi sebagai
pengusaha yaitu tailor. Keluhan yang dirasakan pasien saat ini yaitu sesak
nafas saat melakukan aktivitas, batuk dengan sputum berwarna kuning.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda vital
TD : 120/80 mmHg, RR : 26 x/menit, N : 95 x/menit, T : 36.8◦C, SPO2 :
93%. Pengkajian dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik, saat
diinspeksi pasien tampak sesak dan mengalamai batuk dengan sputum
berwarna putih, kebersihan kulit baik, bentuk dada serta kepala simetris,
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan. Kemudian dilakukan palpasi,
tidak terdapat nyeri tekan baik pada thoraks ataupun abdomen serta
fremitus menurun. Selanjutnya dilakukan auskultrasi pada paru-paru dan
terdengar bunyi ronchi basah, pada jantung tidk terdapat bunyi tambahan
dan bising usus 28x/menit. Hasil pemeriksaan laboratorium LED 44
mm/jam, leukosit 26.000 /uL, EGFR 128. Hasil pemeriksaan radiologi
dengan kesan penumonia post covid ilfiltrat pada kedua paru. Pasein
mndapatkan penatalaksanaan medis berupa IVFD RL/12 jam, kemudian
38
obat antibiotik, dan vitamin kemudian juga mendapatkan obat
antikoagulan serta terapi bronkodilator. Hasil pemeriksaan radiologi
didapatkan kesan ilfiltrat pada kedua paru.
Pasien
No Karakteristik Pasien F %
1 2
1 Usia 66 62 2 100
Jenis Kelamin
2 Laki-Laki √ √ 2 100
Perempuan - - - -
Agama
Islam √ √ 2 100
3
Katolik - - - -
Protestan - - - -
Pendidikan
SD - - - -
4 SMP √ - 1 50
SMA/SMK - √ 1 50
Sarjana - - - -
Pekerjaan
5 Wiraswasta - √ 1 50
Sopir √ - 1 50
39
3.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya pneumonia pada pasien yang akan diuraikan
dalam tabel berikut ini :
Tabel 3.2
Distribusi Frekuensi Pasien Pneumonia Berdasarkan Etiologi
Pasien
Etiologi F %
1 2
Infeksi Mikroorganisme
Ya √ √ 2 100
Tidak - - - -
Paparan Zat Berbahaya
Ya - - - -
Tidak √ √ 2 100
Klien
No Manifestasi Klinis F %
1 2
Sesak
1 Ya √ √ 2 100
Tidak - - - -
Penggunaan Otot
Bantu
2
Ya √ √ 2 100
Tidak - - - -
40
Batuk
3 Ya √ √ 2 100
Tidak - - - -
Terdapat Sputum
4 Ya √ √ 2 100
Tidak - - - -
Lemas
5 Ya √ - 1 50
Tidak - √ 1 50
Ronchi Basah
6 Ya √ √ 2 100
Tidak - - - -
41
>70 % √ √ 2 100
Limfosit
<20 % √ √ 2 100
20-40 % - - - -
> 40% - - - -
Monosit
<2% √ √ 2 100
2-8 % - - - -
>8 % - - - -
Fungsi Hati
AST
<37 U/L - - - -
>37 U/L √ √ 2 100
ALT
<41 U/L √ 1 50
>41 U/L √ 1 50
EGFR
<90 mL/MIN - - - -
90-120 mL/MIN - - - -
>120 mL/MIN √ √ 2 100
Elektrolit
Natrium - - - -
<135 mmol/L - - - -
135 - 145 mmol/L √ √ 2 100
>145 mmol/L - - - -
Indeks Eritrosit
MCV
<82 fl - - - -
82 - 92 fl - - - -
>92 fl √ √ 2 100
MCH
<27 pg - - - -
27-32 pg - - - -
>32 pg √ √ 2 100
Homeostasis
D-Dimer
0-5 ug/L - - - -
>5 ug/L √ √ 2 100
42
segment >70% pada 2 pasien (100%), limfosit <20 % pada 2 pasien
(100%), monosit <2% pada 2 pasien (100%), AST >37 U/L pada 2
pasien (100%), ALT <41 U/L (50%) >41 U/L (50%), EGFR >120
mL/MIN pda 2 pasien (100%), Natrium dalam nilai normal pada 2
pasien (100%), MCV >92 fl pada 2 pasien (100%), MCH >32 pg
pada 2 pasien (100%), kemudian D-dimer >5 ug/L pada 2 pasien
(100%).
3.1.6 Penatalaksanaan Medis
Tabel dibawah ini diperoleh gambaran penatalaksanaan medis yang
didapat oleh pasien pneumonia post Covid-19.
Tabel 3.5
Distribusi Frekuensi Pase Pneumonia Post Covid-19
Berdasarkan Penatalaksanaan Medis
Klien
Penatalaksanaan F %
1 2
Obat Parenteral
IVFD RL √ √ 2 100
Neurobion √ - 1 50
Meropenem √ - 1 50
Ondancentron √ - 2 100
Omeprazole √ - 1 50
Obat Non Parenteral
Curcuma √ √ 2 100
Kloidogrel (CPG) √ √ 2 100
Simarc √ √ 2 100
Levofloksasin √ √ 2 100
Sukralfat √ - 1 50
Vestein √ √ 2 100
Glucosamine √ √ 2 100
Zing √ √ 2 100
Pulmicort & Ventolin √ √ 2 100
43
3.2 Pengkajian Fokus
Studi kasus ini dilakukan analisis pengkajian pada 2 pasien, adapun hasil
pengkajian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.6
Distribusi Frekuensi Pasien Pneumonia Post-Covid-19 Berdasarkan
Pengkajian Fokus
Pengkajian Klien F %
1 2
Usia 66 Tahun 61 Tahun 2 100
Suku Bangsa Jawa Jawa 2 100
Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Tidak Memiliki 2 100
Kesehatan Kesehatan Riwayat Kesehatan
Pekerjaan Karyawan Wiraswasta 2 100
Alergi Tidak ada Tidak ada 2 100
Pola Makan Mual, klien mengatakan Nafsu makan 2 100
tidak ada gangguan menurun, Frekuensi
menelan. Frekuensi 3x 1/4 3 x ½ porsi
porsi
Pola Minum Pasien terpasang IVFD Pasien terpasang 2
RL/12 jam. Frekuensi IVFD RL/12 jam.
minum 900 cc/hari Frekuensi minum
1400 cc/hari
Pola Aktifitas Perlu bantuan Bantuan Minimal 2 100
Pola Eliminasi BAB : 2x / hari, berwarna BAB : 1x sekali, 2 100
hijau, terdapat sedikit warna tampak
darah konsistensi : kecokelatan,
Lembek konsistensi : lunak
BAK : Pasien menggunakan BAK : Pasien 2 100
pempers jumlah urin/24 jam mengatakan BAK
sebanyak 1100 cc, berwarna lancar dan sering,
kuning pekat warna kuning, bau
khas
Keadaan Lemah Sedang 2 100
Umum
Tanda-tanda BB : 50 kg BB : 46 kg 2 100
vital
TB : 165 cm TB : 150 cm 2 100
IMT : 18,3 (normal) IMT : 20,4 (Normal) 2 100
TD : 90/60 mmHg TD : 120/80 mmHg 2 100
Suhu : 36,7oC Suhu : 36,2 oC 2 100
RR : 25 x/menit RR : 26 x/menit 2 100
Nadi : 89 x/menit Nadi : 82 x/menit 2 100
CRT Pedis : < 3 detik CRT Pedis : < 3 2 100
detik
44
Kepala Inspeksi :Bentuk kepala dan Inspeksi :Bentuk 2 100
wajah simetris. Kulit kepala dan wajah
kepaladan wajah terlihat simetris. Kulit
bersih. Palpasi : Tidak kepaladan wajah
terdapat neri tekan terlihat bersih.
Palpasi : Tidak
terdapat neri tekan
Leher Inspeksi & Palpasi : tidak Inspeksi & 2 100
ada distensi vena jugularis Palpasi : tidak ada
distensi vena
jugularis
Mata Inspeksi : Fungsi Inspeksi : Fungsi 2 100
penglihatan baik, posisi penglihatan baik,
mata simetris, konjungtiva posisi mata simetris,
anemis, pupil isokor. konjungtiva anemis,
pupil isokor.
Mulut dan Inspeksi : Warna lidah pink Inspeksi : Warna 2 100
Bibir pucat, mukosa bibir kering. lidah pink pucat,
Terdapat gigi berlubang mukosa bibir kering.
Terdapat gigi
berlubang
Telinga Inspeksi : Tidak mengalami Inspeksi : Tidak 2 100
penurunan pendengaran, mengalami
Posisi telinga simetris penurunan
pendengaran, Posisi
telinga simetris
Dada Inspeksi : Dada simetris, Inspeksi : Dada 2 100
terdapat ada penggunaan simetris, terdapat
otot bantu pernapasan. ada penggunaan otot
Palpasi : Tidak terdapat bantu pernapasan.
nyeri teka, vokal fremitus Palpasi : Tidak
menurun pada lobus terdapat nyeri teka,
superior sinistra. vokal fremitus
Auskultrasi : suara nafas normal.
ronchi basah. Perkusi : Auskultrasi : suara
Sonor nafas ronchi basah.
Perkusi : Sonor
45
Kardiovaskuler Inspeksi : Tidak tampak Inspeksi : Tidak 2 100
adanya edema, tidak tampak adanya
tampakperubahan warna edema, tidak
kulit. Palpasi : Tidak tampakperubahan
terdapat nyeri tekan. warna kulit.
Auskultasi : terdengar Palpasi : Tidak
bunyi jantung lup dup, tidak terdapat nyeri tekan.
ada bunyi jantung Auskultasi :
tambahan, irama jantung terdengar bunyi
teratur. jantung lup dup,
tidak ada bunyi
jantung tambahan,
irama jantung
teratur.
Abdomen Inspeksi : Bentuk abdomen Inspeksi : Bentuk 2 100
simetris, tidak terdapat abdomen simetris,
bekas luka, warna kulit tidak terdapat bekas
merata. Palpasi : tidak luka, warna kulit
terdapat nyeri tekan dan merata. Palpasi :
tidak terap massa. tidak terdapat nyeri
Auskultrasi : Bising usus tekan dan tidak terap
35x/menit. Perkusi : massa. Auskultrasi :
Tympani Bising usus
25x/menit. Perkusi :
Tympani
Ektremitas Inspeksi : Bentuk simetris, Inspeksi : Bentuk 2 100
tidak terdapat bekas luka. simetris, tidak
Palpasi : kekuatan otot 3 terdapat bekas luka.
Palpasi : kekuatan
otot 3
Genitalia Inspeksi : Pasien tampak Inspeksi : Pasien 2 100
menggunakan pampers, dan idak menggunakan
warna kulitgenetalia kateter atau pampers
kemerahan
46
Psikologis Pasien mengatakan merasa Klien mengatakan 2 100
khawatir dengan istrinya ingin segera sembuh
yang juga sedang sakit dan dapat kembali
kerumah, dapat
menjalani aktifitas,
klien mengatakan
ingin memperdalam
ilmu agama dan
memperbanyak
ibadah, suasana hati
baik saat melakukan
pengkajian
Spiritual Pasien mengatakan Pasien mengatakan 2 100
menjalankan ibadah solat menjalankan ibadah
dan berdoa solat dan berdoa
Klien
Data F %
1 2
Subjektif Pasien mengatakan sesak
√ √ 2 100
saat melakukan aktivitas
Pasien mengatakan terasa
√ - 1 50
perih pada daerah panggul
Pasien mengatakan mengalai
bauk berdahak denga sputum √ √ 2 100
bewana kuning
Keluhan Utama
Objektif Tanpak sesak √ √ 2 100
Tampak batuk Berdahak √ √ 2 100
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah
<120-80 mmHg √ - 1 50
120/80 mmHg - √ 1 50
>120/80 mmHg - - - -
47
CRT
< 3 detik - √ 1 50
> 3 detik √ - 1 50
Nadi
60-100 x/menit √ √ 2 100
>100 x/menit - - - -
RR
16-24 x/menit - - - -
>24x/menit √ √ 2 100
Suhu
36,5 – 37,5 oC √ √ 2 100
>37,5 oC - - - -
Pemeriksaan
Laboratorium
Laju Endap Darah
< 10 mm/jam - - - -
10 mm/jam - - - -
>10 mm/jam √ √ 2 100
Leukosit
>11.000 mcL √ √ 2 100
Homeostasis
D-Dimer
0-5 ug/L - - - -
>5 ug/L √ √ 2 100
Integumen
Ulkus dekubitus √ - 1 50
48
Tabel 3.8
Distribusi Frekuensi Pasien Pneumoni Post Covid-19 Berdasarkan
Analisa Data
Masalah Pasien
No. Data Etiologi F %
Keperawatan 1 2
1 Data Subjektif Infeksi Ketidakefektifan
Pasien mengatakan Bersihan Jalan √ √ 2 100
sesak saat Nafas
melakukan
aktivitas
Pasien mengatakan √ √ 2 100
batuk berdahak
Data Objektif
Tampak Batuk √ √ 2 100
Frekuensi √ √ 2 100
Nafas : >24
x/menit
Sputum berwarna √ √ 2 100
kuning
Terdapat Sputum √ √ 2 100
Penggunaan otot √ √ 2 100
bantu pernafasan
Pernafasan dangkal √ √ 2 100
2 Data Subjektif Sindrom Ketidakefektifan
Pasien mengatakan Hipoventilasi pola nafas √ √ 2 100
sesak saat
melakukan
aktivitas
Data Objektif
Tampak sesak √ √ 2 100
Frekuensi √ √ 2 100
Nafas : >24
x/menit
Penggunaan otot √ √ 2 100
bantu pernafasan
3 Data Subjektif Supresi Risiko Infeksi
Pasien mengatakan Respons √ - 1 50
perih pada daerah Inflamasi
panggul
Data Objektif
Laju Endap √ √ 2 100
Darah >10
mm/jam
49
Leukosit >11.000 √ √ 2 100
mcL
D-Dimer >5 ug/L √ √ 2 100
Tampak Ulkus √ - 1 50
Dekubitus
50
invasi dan multiplikasi
organisme patogenik yang
dapat mengganggu kesehatan
51
Berdasarkan tabel 3.10 diatas, menunjukkan intervensi yang diberikan
kepada klien dengan diagnosaketidakefektifan bersihan jalan nafas diberikan
kepada 2 klien (100%)
Tabel 3.11
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Intervensi Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan Pola Nafas
Tujuan & Kriteria Pasien
Intervensi F %
Hasil 1 2
Setelah dilakukan Terapi Oksigen √ √ 2 100
tindakan keperawatan 3 1. Bersihkan mulut dan hidung
x 24 jam, masalah 2. Siapkan peralatan oksigen
ketidakefektifan pola 3. Periksa alat pemerian oksigen
nafas dapat teratasi
4. Pantau tanda adanya
dengan kriteria hasil :
keracunan oksigen
5. Berikan oksigensesuai
Status Pernafasan kebutuhan
Indikator :
1. Frekuensi pernafasan
Monitor Penafasan
2. Irama pernafasan
1. Monitor kecepatan, irama dan
3. Kedalaman inspirasi kedalaman pernafasan
4. Saturasi oksigen 2. Monitor suara nafas
5. Penggunaan otot 3. Palpasi kesimetrisan ekspansi
bantu nafas paru
6. Dispnea saat 4. Monitor kelelahan otot
beraktivitas ringan diafragma
5. Catat perubahan saturasi
oksigen
6. Pantau kemampuan batuk
efektif pasien
7. Pantau keluhan sesak nafas
52
Tabel 3.12
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Intervensi Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa keperawatan : Risiko Infeksi
Tujuan & Kriteria Klien
Intervensi F %
Hasil 1 2
Setelah dilakukan Kontrol infeksi √ √ 2 100
tindakan keperawatan 3 1. Cuci tangan sebelum dan
x 24 jam, risiko infeksi sesudah kontak dengan pasien
dapat teratasi dengan 2. Ganti perawatan pasien
kriteria hasil : pasien sesuai protokol
3. Ajarkan pasien dan keluarga
Kontrol Risiko tanda-tanda infeksi
Indikator : 4. Gunakan antibiotik sesuai
1. Mengenali faktor kebutuhan
risiko
2. Monitor faktor risiko Pencegahan Infeksi
individu 1. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
Pengentahuan 2. Monitor hasil angka leukosit
manajemen infeksi dan hasil labnya
Indikator :
1. Faktor yang
berkontribusi
terhadap infeksi
2. Tidak ada tanda dan
gejala infeksi
53
Melakukan pemeriksaan √ √ √ √ √ √ 2 100
auskultrasi paru-paru pasien
Menyiapkan obat-obatan √ √ √ √ √ √ 2 100
non arenteral pasien
Menyiapkan obat-obatan √ √ √ √ √ √ 2 100
parenteral pasien
Membantu kegiatan ADL
pasien, sikat gigi dan ganti √ √ √ - - - 1 50
pakaian dan ganti pempers
Melakukan tindakan
kolaborasi yaitu tindakan √ √ √ √ √ √ 2 100
nebulizer
Memberikan obat injeksi √ √ √ √ √ √ 2 100
melalui lobus
Tabel 3.14
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Implementasi Keperawatan Diagnosa
Ketidakefektifan Pola Nafas dengan Pneumonia Post Covid-19
Klien Klien 1 Klien 2
Implementasi F %
Hari 1 2 3 1 2 3
Menyiapkan alat terapi
oksigen yaitu selang Nasal √ √ √ √ √ √ 2 100
Kanul
Membersihkan hidung klien √ √ √ √ √ √ 2 100
menggunakan tissue
Memberikan oksigen sesuai
kebutuhan pasien yaitu 3-4 √ √ √ √ √ √ 2 100
Lpm
Melakukan pemeriksaan √ √ √ √ √ √ 2 100
saturasi oksigen
Melakukan pemeriksaan
dengan auskultrasi bunyi √ √ √ √ √ √ 2 100
nafas
54
Tabel 3.15
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Implementasi Keperawatan Diagnosa
Risiko Infeksi dengan Pneumonia Post Covid-19
Klien Klien 1 Klien 2
Implementasi F %
Hari 1 2 3 1 2 3
Membantu pasien berubah
posisi lateral secara bergantian √ √ √ √ √ √ 2 100
kanan dan kiri
Melakukan perwatan luka
√ √ √ - - - 1 50
dekubitus
Menyiapkan obat antibiotik √ √ √ √ √ √ 2 100
secara parenteral
Menyiapka obat antibiotik √ √ √ - - - 1 50
secara non parenteral
Memberikan obat parenteral √ √ √ √ √ √ 2 100
melalui lobus
55
Tekanan darah
<120/80 mmHg √ - 1 50
120-80 mmHg - √ 1 50
>120/80 mmHg - - - -
Nadi
60-100 x/menit √ √ 2 100
> 100 x/menit - - - -
RR
14-24 x/menit √ √ 2 100
> 24 x/menit - - - -
Suhu
36,5 - 37,5 oC √ √ 2 100
> 37,5 oC - - - -
CRT < 3 detik √ √ 2 100
Mukosa bibir lembab √ √ 2 100
Mukosa bibir kering - - - -
Analisa
Tujuan sudah tercapai sebagian √ √ 2 100
Masalah sudah teratasi sebagian √ √ 2 100
Planning
Lanjutkan intervensi √ - 1 50
Hentikan intervensi - - - -
56
100% - - - -
Tekanan darah
<120/80 mmHg √ - 1 50
120-80 mmHg - √ 1 50
>120/80 mmHg - - - -
Nadi
60-100 x/menit √ √ 2 100
> 100 x/menit - - - -
RR
14-24 x/menit √ √ 2 100
> 24 x/menit - - - -
Analisa
Tujuan sudah tercapai √ √ 2 100
Masalah sudah teratasi √ √ 2 100
Planning
Hentikan intervensi √ √ 2 100
57
> 100 x/menit - - - -
RR
14-24 x/menit √ √ 2 100
√ √ 2 100
Hasil laboratorium Masih menunggu hasil
Analisa
Tujuan belum tercapai √ √ 2 100
Masalah belum tercapai √ √ 2 100
Planning
Intervensi dilanjutkan √ √ 2 100
58
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Pasien
4.1.1 Usia
Hasil studi kasus mengenai karakteristik usia pasien, didapatkan
gambaran pasien 1 berusia 66 tahun dan pasien 2 berusia 62 tahun. Pada
usia lansia terjadi penurunan fungsi tubuh, sehingga penurunan fungsi
tersebut menyebabkan lansia rentan mengalami atau terkena virus. Pada
saat pandemi Virus covid-19 ini, lansia menjadi prioritas utama
masyarakat yang harus dilindungi dari virus tersebut. Risiko kematian
meningkat mulai usia 50 tahun ke atas dengan perbedaan signifikan jika
dibandingkan dengan usia di bawahnya. Selain itu, dari 41,1% pasien
covid-19 dengan pneumonia, sebanyak 81,6% pasien meninggal (Susilo
2020).
4.1.2 Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil studi kasus, seluruh pasien memiliki jenis kelamin
laki-laki. Hal tersebut didukung oleh data dari Satgas Covid-19 yang
menunjukkan bahwa rata-rata pasien yang terkonfirmasi virus
covid-19adalah lebih banyak laki-laki daripada perempuan (Satgas
Covid-19).
4.1.3 Pendidikan
Hasil studi kasus terdapat pasien dengan latar pendidikan SMA dan
SMP, hal ini sejalan dengan penelitian Rohmayanti & Kamal (2015)
pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan yang
dimiliki, pengetahuan diperlukan sebagai pendorong sikap dan perilaku,
menumbuhkan kepercayaan diri.
4.1.4 Agama
Seluruh pasien pada studi kasus beragama islam.
4.1.5 Jenis Pekerjaan
Berdasarkan hasil studi jenis pekerjaan klien yaitu sopir dan wiraswasta.
Pekerjaan merupakan faktor penentu penting dari kesehatan, jenis
pekerjaan ikut berperan dalam memengaruhi kesehatan seseorang. Jenis
pekerjaan seseorang dapat berpengaruh terhadap kesehatan yang
dimiliki (Desmawati, 2019).
4.2 Etiologi
Hasil studi kasus pasien kelolaan sebelumnya belum pernah mengalami
penyakit kronis. Namun beberapa hari terakhir seluruh pasien kelolaan Susp
Covid-19 dan menjalani perawatan lebih dai 20 hari sebelum akhirnya
dinyatakan negatif dan karena masih terdapat beberapa gejala, akhirnya paien
dipindahkan keruangan rawat inap biasa kemudian didapatkan diagnosa
pneumonia post covid-19.Komplikasi yang dapat ditimbulkan diantaranya
penyakit pernafasan ringan atau pneumonia sedang hingga berat yang
kemudian dapat menyebabkan sindrom gangguan pernafasan akut (ARDS)
dan kegagalan multi-organ seperti cedera jantung, efek pada neurologis,
tromboemboli vena, gangguan hati serta ginjal (Asly & Hazim, 2020).
4.3 Manifestasi klinis
Seluruh pasien kelolaan mengalami tanda dan gejala seperti, lemas, batukk
berdahak dengan sputum berwarna kuning, sesak, dan pada saat auskultrasi
terdapat bunyi ronkhi basah. Hal tersebut sesuai dengan teori manifestasi
klinis pasien dengan pneumonia akan mengalami tanda dan gejala nyeri,
demam, sesak, dan batuk berdahak (Susilo, 2020)
4.4 Pemeriksaan Diagnostik
Hasil studi kasus seluruh pasien menunjukkan adanya peningkatan pada LED,
leukosit dan D-Dimer. Berdasarkan penelitian pneumonia merupakan suatu
peradangan yang sebabkan oleh bakteri, virus maupun mikroorganisme
lainnya yang masuk pada sistem pernafasan. Masuknya mikroorganisme
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi terjadi perlawanan yang dilakukan
oleh sel darah putih sehingga jumlah leukosit dalam darah meningkat.
Peningkatan D-Dimer merupakan suatu komplikasi yang disebabkan virus
covid-19itu sendiri (Asly & Hazim, 2020).
Peningkatan D-Dimer berkaitan dengan 2 hal, pertama peradangan sistemik
yang disebabkan oleh virus Sars Cov 2. kondisi ini merupakan respon tubuh
terhadap infeksi. Gejala yang biasa ditimbulkan adalah pernafasan yang cepat
serta peningkatan leukosit. Kedua, badai sitokin yang merupakan pelepasan
sitokin (protein khusus) yang terlalu berlebihan sehingga sistem imun
menyerang tubuh. Ketika virus Covid-19 masuk kedalam tubuh sel darah
putih akan merespon dengan melawannya dengan memproduksi sitokin.
Namun, sitokin yang diproduksi berlebihan menyebabkan badai sitokin
(Isbaniah & Susanto, 2020)
4.5 Penatalaksanaan Medis
Seluruh pasien yang menjadi kelolaan mengalami gejala sesak nafas, lemas,
dan batuk berdahak. Penatalaksanaan medis yang diberikan berupa obat
parenteral dan non parenteral. Pemberian antibiotik dan antivirus digunakan
untuk mengatasi gejala tersebut. Obat-obatan lainnya lebih berfokus pada
pemberian vitamin, dimana hal tersebut berfungsi untuk membantu tubuh
melawan vius yang terdapat dalam tubuh pasien. Terapi lainnya yaitu
pengguaan nebulizer, yang bertujuan untuk membebaskan jalan nafas, dan
mengencerkan sputum (Setiadi, 2020).
4.6 Pengkajian Fokus
Pengkajian merupakan data yang dikumpulkan secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan, fungsional, respon klien pada
saat ini dan sebelumnya. Pengkajian terbagi menjadi dua tahap yaitu
mengumpulkan data dan analisis data. Pengumpulan data didapatkan dari
sumber primer dan sekunder. Selanjutnya, tahap analisis data sebagai dasar
menegakkan diagnosa keperawatan yang berisikan identifikasi setiap masalah.
Hasil analisa pengakajian kasus didapatkan seluruh pasien berusia diatas 60
tahun, usia tersebut masuk ada usia lansia. Usia lansia menjadi usia yang
rentan mengalmai masalah kesehatan karena terdapat penurunan fungsi pada
tubuh. Apalagi pada masa pandemi, lansia menjadi prioritas utama yang
dilindungi mengingat lansia merupakan kelompokberisiko terpapar atau
terkena virus covid-19 (Nugraha,2020). berdasarkan hasil pengakjian
seluuhruh pasien belum pernah mengalmai penyakit kronis sebelumnya,
namun seulruh pasien merupakan Post Covid-19. Hal tersebut menimbulkan
kekhawatiran mengingat covid-19 menimbulkan berbagai komplikasi jangka
panjang. Komplikasi yang dapat ditimbulkan diantaranya penyakit pernafasan
ringan atau pneumonia sedang hingga berat yang kemudian dapat
menyebabkan sindrom gangguan pernafasan akut (ARDS) dan kegagalan
multi-organ seperti cedera jantung, efek pada neurologis, tromboemboli vena,
gangguan hati serta ginjal (Asly & Hazim, 2020).
Seluruh pasien memiliki riwayat sebagai perokok aktif, beradasarkan hasil
pengakjian seluruh pasien dapat emngahabiskan 2-3 bungkus rokok dalam 1
hari. Manifestasi klinis yang sama yaitu sesak dan batuk berdahak degan
warna sputum kuning. Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan
infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,
fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan
suplementasi oksige (Ranggo,2020). Terdapat keluhan lain yang diarasakan
oleh pasien 1, dimana pasien 1 mengalami ulkus dekubitus, hal tersebut terjadi
dikarenakan perawatan yang lama di Rumah Sakit tanpa disertai dengan
pergantian posisi untuk mengurangi penekanan.
Seluruh pasien mengalami penurunan nafsu makan, hal tersebut terbukti dari
hasil pengkajian yang menunjukkan pasien 1 hanya makan 1/4 porsi dan
pasien 2 1/2 porsi dalam rentang waktu 24 jam. Pola BAB dan pola BAK
berada pada pola yang normal, namun pada pasien 1 karena membutuhkan
bantuan untu mobilisasi sehingga pasien 1 memilih untuk emnggunakan
pempers. Pasien 2 merupakan pasien dengan bantuan minimal, sehingga untuk
BAB dan BAK pasien bisa melakukannya sendiri.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital terdapat keadaan abnormal pada
frekuensi nafas pada seluruh pasien yang berada pada nilai >24 x/menit,
tekanan darah pada pasien 1 90/60mmHg sedangkan pada pasien 2 120/80
mmHg. Saturasi oksigen seluruh pasien juga menunjukkan niali abnormal
pasien 1 90% dan pasien 2 93%. Seluruh pasien mendapatkan terapi oksigen
dengan kecepatn 3-4 Lpm.
Hasil pemeriksaan fisik pada thoraks melalui metode inspeksi, palpasi,
auskultrasi dan perkusid didapatkan hasil yaitu, pada palpasi terdapat
penurunan vokal fremitus pada seluruh pasien, dan saat dilakukan auskultrasi
seluruh pasien mengalami ronkhi basah. Hal tersebut menyebabkan seluruh
pasien mengalami sesak dan batuk berdahak dengan sputum berwarna kuning
akibat infeksi pada paru-paru. Pada inspeksi terdapat juga penggunaan otot
bantu pernafasan serta pernafasan yang dangkal. Hasil pemeriksaan fisik
lainnya yang berhubungan dnegan penyakit yang dialami tidak ada. Namun
terdapat hasil pemeriksaan integument yang emnunjukkan adanya luka
dekubitus pada pasien 1, luka tersebut memiliki warna dasar merah, dengan
tepi luka menyatu ukuran panjang luka 6 cm dengan lebar kurang lebih 8 cm.
Luka dekubitus cukup luas terdapat pada daerah panggul hingga genetalia.
Pengkajian sosial didapatkan keseluruhan pasien memiliki hubungan baik
dengan saudara, keluarga, tetangga sekitar, walaupun tidak aktif mengikuti
kegiatan di lingkungan rumahnya. Hal ini dikarenakan kondisi kesehatan yang
saat ini dialami. Pengkajian spiritual yang dilakukan menunjukkan
keseluruhanpasien menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama. Namun
karena kondisi saat ini yang tidak memungkinkan, pasien harus berjauhan
dengan keluarga untuk menjalani rehabilitasi lanjuan pasca Covid-19.
Penggunaan terapi dan intervensi seperti obat-obatan memiliki potensi untuk
menambah atau mengurangi kualitas hidup. Menurunnya kualitas hidup klien
dengan ulkus diabetikum berkaitan dengan keterbatan dalam melakukan
akitifitas, nyeri, selain itu terdapat masalah psikososial seperti keterbatasan
interaksi dari kehidupan sosial dilingkungan sekitar klien (Syarif, 2013).
Asumsi penulis pengkajian yang dilakukan tidak berbeda jauh dengan teori
yang sudah ada.
4.7 Data Fokus
Setelah melakukan pengkajian dan mengetahui konsisi pasien sampai
pemeriksaan fisik dan sebagainya, maka akan ditemukan ata yanng normal
dan abnormal dalamhasil pengakjian. Data abnormal akan dikelompokkan
menjadidata fokus untuk memdahkan dalam melakukan annalisa data maupun
dalam menentukan diagnosa keperawatan. Dalam data fokus terdapat data
subjektif yaitu data yang didapatkan ecara langsung apa yang dikatakan oleh
pasien, dan terdapat data objektif yang berasal atau didapatkan melalui hasil
pengukuran menggunakan alat tertentu maupun hasil laboratorium yang
memiliki nilai abnormal.
4.8 Analisa data
Setelah megelompokkan data pada data fokus, kemudian dilakukan analisa
data menggunakan format Problem, Etilogi and Symtoms. Pada analisa data
yang pertama, terdapat data subjektif dari pasien 1 dan 2 yaitu seluruh pasien
mengatakan sesak, batuk berdahak dengan warna sputum kuning. Pada data
objektif seluruh pasien memiliki frekuensi nafas >24 x/menit, saturasi pasien
1 90% dan pasien 2 93%. Terdapat penggunaan otot bantu pernafasan pada
seluruh pasien dan kedalaman pernafasan yang dangkal. Berdasarkan
perjalanan penyakit pneumonia mikroorganisme yang masuk pada sitem
pernafasn menyebabkan peradangan pada paru-paru, sehingga peradangan
tersebut menyebabkan peningkatan produksi sekret, peningkatan skret
tersebut menyebabkan obstruksi jalan nafas dan terjadilah gangguan ventilasi.
Berdasarkan Nanda (2018-2020) data tersebut berada pada batasan
karakteristik diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
dengan etiologinya yaitu disebabkan oleh infeksi.
Analisa data yang kedua menunjukkan data subjektif yang sama dengann
analisa data yang pertama yaitu pasien mengatakan sesak. Pada data objektif
tampak pasien menggunakan oksigen 3-4 Lpm, frekuensi
pernafasan >24x/menit serta terdapat penggunaan otot bantu pernafasan.
Berdasarkan etiologi hal tersebut disebabkan oleh adanya infeksi yang
menyebabkan inflamasi kemudian terjadi edema, sehingga terjadi dispnea
pada pasien akibat hiperventilasi. Dalam Nanda (2018-2020) data tersebut
berada pada batasan karakteristik diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola
nafas yang disebabkan atau dengan etiologi sindrom hipoventilasi.
Analisa data yang ketiga menunjukkan data subjektif yang sama dengan
analisa data pertama dan kedua, namun pasien kedua mengatakan merasa
perih pada daerah panggul sedangkan pasien kedua tidak mengalami keluhan
ain selain sesak dan batuk berdahak. Terdapat data objektif yang
menunjukkan adanya ulkus dekubitus pada pasien 1 dengan derajat luka 1.
Warna dasar luka merah dan tepi luka menyatu, luka tersebut cukup luas
hampir seluruh panggul hingga menganai genetalia paien 1. data objektif
lainnya yaitu terdapat hasi laboratorium seluruh pasien yang menunjukkan
adanya peningkatan pada nilai LED yang melebih >40, leukosit >11.000 dan
D-Dimer yang melebihi 0,5. data-data tersebut masuk dalam batasan
karakteristik Nanda (2018-2020) pada diagnosa keperawatan risiko infeksi
dengan etiologi supresi respon inflamasi.
4.9 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respons aktual
atau potensial terhadap masalah kesehatan pada individu, keluarga atau
komunitas. Tahap kedua dalam proses keperawatan ini berfokus pada masalah
kesehatan yang aktual atau potensial dibandingkan keadaan fisiologis,
komplikasi atau penyakit.
Hasil analisis studi kasus seluruh pasien mengalami masalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas, dan risiko infeksi. Penulis
menyiimpulkan pada psien pneumonia post covid-19 ketiga masalah tersebut
merupakan atau menjadi masalah yang khas terjadi pada pasien pneumonia
post Covid-19.
Masalah keperawatan yang pertama sesuai dengan patoisilogi penyakit
pneumonia. Mikroorganisme yang masuk pada sitem pernafasn menyebabkan
peradangan pada paru-paru, sehingga peradangan tersebut menyebabkan
peningkatan produksi sekret, peningkatan skret tersebut menyebabkan
obstruksi jalan nafas dan terjadilah gangguan ventilasi (Muhsinin,2018).
Masalah keperawatan yang kedua berdasarkan patofisiologinya yaitu adanya
infeksi yang menyebabkan inflamasi kemudian terjadi edema, sehingga terjadi
dispnea pada pasien akibat hiperventilasi. Masalah keperawatan ketiga
disebabkan oleh infeksi, infeksi tersebut menyebabkan peningkatan produksi
leukosit atau sel darah putih yang berfungsi untuk melawan infeksi tersebut.
4.10 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan tindakan perawat yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan dan pengetahuan klinis untuk meningkatkan
perawatan klien. Tahap ini perlu diperhatikan beberapa hal yaitu
menentukan prioritas, menentukan tujuan, melakukan kriteria hasil dan
merumuskan tindakan keperawatan. Berdasarkan hasil analisis studi kasus,
intervensi yang diberikan sesuai dengan NIC & NOC.
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
Tujuan dan kriteria hasil ketidakefektifan jalan nafas tersebut membaik
dalam waktu 3x 24 jam dengan kriteria hasil status pernafasan :
kepatenan jalan nafas dengan indikator yaitu Frekuensi pernafasan
Irama pernafasan , Kedalaman inspirasi, Kemampuan mengeluarkan
sekret, Suara nafas tambahan, Penggunaan otot bantu nafas, Dispnea saat
beraktivitas dan Batuk. Intervensi yang dilakukan yaitu dengan
manajemen jalan nafas dengan cara Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi, Posisikan untuk meringankan sesak dan Kelola
pemberian bronkodilator.
b. Ketidakefektifan Pola Nafas
Tujuan dan kriteria hasil ketidakefektifan pola nafas tersebut membaik
dalam waktu 3x24 jam dengan kriteria hasil status pernafasan
indikatornya yaitu Frekuensi pernafasan, Irama pernafasan, Kedalaman
inspirasi,Saturasi oksigen , Penggunaan otot bantu nafas Dispnea saat
beraktivitas ringa. Intervensi yang dapat diberikan adalah yang pertama
terapi oksigen dengan terlebih dahulu membersihkan mulut dan hidung,
kemudian menyiapkan selang oksigen memberikan oksigen sesuai dengan
kebutuhan kemudian pantau adanya keracunan oksigen. Intervensi kesua
yaitu monitor pernafasan dengan monitor kecepatan irana pernafasan,
bunyi nafas, kesimetrisan rongga dada, dan pantau keluhan sesak nafas.
c. Risiko Infeksi
Tujuan dan kriteria hasil risiko infeksi menjadi lebih bisa diminimalisir
dalam waktu 3x 24 jam dengan kriteria hasil kontrol risiko, mengenali
faktor risiko dan memonitor faktor risiko individu tersebut. Kemudian
kriteria kedua pengetahuan manajemen infeksi, faktor yang
berkontribusi dan tanda-tanda adanya infeksi. Intervensi yang dapat
dilakukan yaitu pertama kontrol infeksi dengan cuci tangan sebelum
kontak dengan paien, ganti perawatan pasien sesuai dnegan protokol,
edukasi pasien tanda-tanda infeksi, dan berikan antibiotik atau
obat-obatan sesuai dengan kebutuhan. Intervensi kedua pencegahan
infeksi dengan monitor tanda dan gejala infeksi, kemudian pantau hasil
pemeriksaan laboratorium.
4.11 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tindakan dari sebuah perencanaan.
Tindakan yang dilakukan terdiri dari tindakan mandiri dan kolaborasi.
Tindakan mandiri yaitu tindakan yang berasal dari keputusan sendiri.
Tindakan kolaborasi yaitu indakan yang berdasarkan hasil keputusan
bersama dengan profesi lain.
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Implementasi dilakukan selama 3 hari pada seluruh pasien yaitu dengan
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital kemudian mengatur posisi
pasien menjadi semi fowler (SOP Terlampir), dimana berdasarkan
hasil penelitian metode tersebut merupakan metode paling sederhana dan
efektif untuk mengurangi rasa sesak yaitu dengan mengatur posisi pasieni
semi fowler dengan derajat kemiringan 30°-45°, serta menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu mengembangkan paru dan mengurangi tekanan
dari abdomen pada difragma (Muhsinin, 2018). Implementasi selanjutnya
yaitu dengan latihan pernafasan deep breathing (SOP terlampir) tujuan
deep breathing exercise yaitu untuk mencapai ventilasi yang lebih
terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan, meningkatkan
inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan ansietas,
mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna,
melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap
serta mengurangi kerja bernapas (Suharto, 2018). Dilanjutkan dengan
melaukan auskultrasi pada paru-paru pasien untuk mendengarkan bunyi
nafas setalh dilakukan serangkaian kegiatan sebelumnya. Implementasi
yang dilakukan selanjutnya yaitu menyiapkan obat parenteraldan non
parenteral sesuai dengan instruksi yang diberikan, kemudian membantu
ADL pada pasien 1, memberikan obat parenteral melalui lobus dan
melakukan tindakan nebulizer pada kedua pasien.
b. Ketidakefektifan pola nafas
Implemetasi dilakukan sesuai dengan intervensi yaitu 3x24 jam oada
seluruh pasien. Dimulai dengan menyiapkan alat-alat untuk terapi oksigen,
kemudian mengecek fungsi alat. Selanjutnya memposisikan pasien
dengan nyaman atau dengan semi fowler, dan membersihkan terlebih
dahulu hidung dan mulut pasien. Selanjutnya memasangkan selang
oksigen pada pasien dan mengalirkan oksigen 3-4 Lpm. Implementasi
dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan nilai saturasi oksigen dan
melakukan auskultasi bunyi nafas.
c. Risiko infeksi
Implementasi dilakukan sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yaitu
selama 3x24 jam. Seluruh pasien diberikan implementasi pengaturan
posisi secara lateral bergantian untuk mengurangi penekanan tubuh dan
meminimalisir dekubitus, menyiapkan antibiotik baik secara parenteral
maupun non parenteral. Kemudian pada pasien 1 dilakukan perawatan
luka dekubitus pada daerah panggul hingga genetalia, prinsip yang
digunakan dalam perawatan luka tersebut yaitu prinsip steril. Luka
dekubitus derajat 1 dengan warna dasar merah, luka tidak ditutup perban
hanya dijaga kebersihan dan kelembapannya untuk membantu proses
penyembuhan luka.
4.12 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahapan terakhir proses keperawatan untuk menentukan
tercapainnya asuhan keperawatan. Tahapan evaluasi berupa
membandingkan antara intervensi dan hasil dari implementasi keperawatan.
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Berdasarkan evaluasi keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yang dilakukan kepada dua pasien. Evaluasi akhir
dari diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas menunjukkan :
1) Pasien pertama
Data subjektif, pasien mengatakan sesak, batuk dan dahak sudah
mulai berkurang.
2) Pasien kedua
Data subjektifnya pasien mengatakan sesak sudah berkurang, tidak
ada batuk dan sputum.
Data objektif yang ditemukan pada seluruh pasien setelah dilakukan
kombinasi intervensi keperawatan berupa posisi semi fowler dan deep
breathing selama 3 hari terdapat perbedaan yaitu :
Tabel 4.1
Evaluasi Frekuensi Pernafasan Sebelum dan Sesudah Pemberian
Kombinasi Posisi Semi Fowler dan Deep Breathing
Frekuensi Frekuensi
Pasien Pernafasan Pernafasan
Hari 1 Hari 3
Tn. Y 25 x/menit 20 x/menit
Tn. R 26 x/meni 18 x/menit
Asly & Hazim. (2020). Rehabilitasi Pasien pasca Covid-19. PAMJ. Volume 36
(168)
Brunner dan Suddarth. (2011). Keperawatan Medikal Bedah Edisi8 Volume4.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Butcher et al (2018), Nursing Intervention Classification (NIC). Elsevier
Chanif C, Prastika D. Position of Fowler and Semi-fowler to Reduce of Shortness
of Breath (Dyspnea) Level While Undergoing Nebulizer Therapy. South
East Asia Nurs Res. 2019
Darliana, Devi, dkk. 2014. Kebutuhan Aktivitas dan Mobilisasi. Fakultas
Keperawatan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Djojodibroto, Darmanto (2014). Respirologi. Jakarta : EGC, hal. 151.
Guyton A.C. and J.E. Hall (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC. 74,76, 80-81, 244, 248, 606,636,1070,1340.
Hidayat, Alimul Aziz, 2010. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan.
Salemba Medika : Jakarta
Isbaniah & Susanto (2020). Pneumonia Corona Virus Infection Disease-19
(COVID-19). J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 4
Kemenkes RI. (2020). Situasi Terkini Perkembangan Novel Coronavirus
(COVID- 19).Jakarta : Drektoral pencegahan dan pengendalian penyakit.
Mertha, I. M., Putri’, P. J. Y., & Suardana, I. (2018). Pengaruh Pemberian Deep
Breathing Exercise terhadap Saturasi Oksigen Pada PPOK. Journal of
Nursing, 1– 9
Muhisinin & Kusumawaraani (2018). Pengaruh Penerapan Pemberian Posisi Semi
Fowler Terhadap Perubahan Respiratory Rate Pada Pasien Dengan
Pneumonia. Jurnal Keperawatan Dan Kebidanan
Moorhead, et al (2018). Nursing Outcome Classification (NOC). Elsevier
Nanda (2018-2020). Diagnosis keperawatan. EGC
Nirmia, A. V. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ny.N.N Dengan Diabetes
Melitus Di Puskesmas Sikumana. In Poltekkes Kemenkes Kupang (Vol. 2).
Kupang.
Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Paramita. (2011). Nursing, Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT
Indeks.
Shaleh, A. (2013). Jadi Dokter Untuk Anak Sendiri. Yogyakarta: Katahati.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (2021). Peta Sebarab Covid-19. Indonesia
Smeltzer & Bare. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth/ editor, Suzzane C. Smeltzer, Brenda G. Bare; alih bahasa, Agung
Smith, J F. (2004). Chest Phisical Therapi. Wausau: The Thompson Corporation
(http://www.chclibrary.org/microed/0004 2330.html)
Shaw, et al (2020). Manifestasi yang tersisa dari COVID- 19 selama dan setelah
pemulihan: pembaruan tentang konsekuensi jangka panjang penyakit
coronavirus 2019 (COVID- 19). La radiologi medica
https://doi.org/10.1007/s11547-020-01295-8
WHO, World Health Organization. Corona Virus Disease. 2021
Yulia A, Dahrizal D, Lestari W. Pengaruh Nafas Dalam dan PosisiTerhadap
Saturasi Oksigen dan Frekuensi Nafas Pada Pasien Asma. J Keperawatan
Raflesia. 2019