Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PENTINGNYA REFLEKS KRITIS

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
1. ANGGI BR TUMANGGOR
3. GRACYA ULIMA MANULLANG
4. MAGDALENA JOYVENA BM
5. NURUL SUHADA

DOSEN PEMBIMBING:
MASTUR JULIANTI BUTAR BUTAR M,Keb

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat tiada habisnya kepada seluruh umat-Nya terutama kepada
kami selaku tim penyusun makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancar. Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni islam.

Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan


kepada Mastiur julianti butar butar M.Keb selaku dosen pengampu mata kuliah
Kapita Selekta dan kepada seluruh anggota kelompok yang kompak dalam
menyelesaikan tugas ini, serta kepada pihak-pihak yang turut memberikan
dukungan demi terselesainya makalah ini.

Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang dapat
kami ucapakan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kesalahan dalam segi penulsian maupun isi. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi penulisan
makalah selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Semoga Allah
senantiasa memberi hidayah kepada setiap hamba-Nya yang selalu berusaha dan
belajar.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
....................................................................................................................................
ii

DAFTAR ISI
....................................................................................................................................
iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................
2
C. Tujuan.............................................................................................................
2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Berpikir Kritis..................................................................................


3
B. Indikator Berpikir Kritis.................................................................................
5
C. Proses Berpikir Kritis dalam Pembelajaran...................................................
10
D. Langkah Berpikir Kritis.................................................................................
11
E. Cara Pengukuran Cara Pengukuran Kemampuan Berpikir Kritis..................
13
F. Akar Masalah Rendahnya Kemempuan Berpikir Kritis................................
16
G. Cara Memberdayakan Berpikir Kritis............................................................
16
H. Strategi Pembelajaran Terkait Berpikir Kritis................................................
18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................
23
B. Saran...............................................................................................................
24

iii
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................................................................
25

NOTULENSI
....................................................................................................................................
26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu
memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa
keingintahuan. Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan
berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir
dasar (lower order thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada
hal-hal rutin dan bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-
ulang informasi yang diberikan sebelumnya. Sementara, kemampuan
berpikir tinggi (higher order thinking) membuat siswa untuk
mengintrepretasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi
informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kemampuan berpikir tinggi
(higher order thinking) digunakan apabila seseorang menerima informasi
baru dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali
untuk keperluan pemecahan masalah berdasarkan situasi. Kemepuan
berpikir kritis dan berpikir kreatif disebut sebagai keterampilan berpikir
tingkat tinggi yang harus dikembangkan dalam pembelajaran
Berpikir kritis merupakan suatu aktifitas kognitif yang berkaitan
dengan penggunaan nalar. Belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan
proses-proses mental, seperti memperhatikan, mengkategorikan, seleksi, dan
memutuskan.Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang
tepat dalam berpikir dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu
dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh sebab itu kemampuan
berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah maupun
pencarian solusi.
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat
esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua
aspek kehidupan lainnya. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan
mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa memperolah informasi
secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat
manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup
serta perubahan global dalam kehidupan. Jika tidak dibekali dengan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif maka tidak akan mampu mengolah
menilai dan megambil informasi yang dibutuhkan untuk menghadapi
tantangan tersebut. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis dan kreatif
adalah merupakan kemampuan yang penting dalam kehidupan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi berpikir kritis?
2. Apasajakah indikator berpikir kritis?
3. Bagaimana proses berpikir kritis dan pembelajaran?
4. Bagaimana langkah berpikir kritis?
5. Bagaimana Cara Pengukuran Cara Pengukuran Kemampuan Berpikir
Kritis?
6. Apasajakah Akar Masalah Rendahnya Kemempuan Berpikir Kritis?
7. Bagaimana Cara Memberdayakan Berpikir Kritis?
8. Apasajakah strategi pembelajaran terkait berpikir kritis?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi berpikir kritis?
2. Mengetahui indikator berpikir kritis?
3. Mengetahui proses berpikir kritis dan pembelajaran?
4. Mengetahui langkah berpikir kritis?
5. Mengetahui Cara Pengukuran Cara Pengukuran Kemampuan Berpikir
Kritis?
6. Mengetahui Akar Masalah Rendahnya Kemempuan Berpikir Kritis?
7. Mengetahui Cara Memberdayakan Berpikir Kritis
8. Mengetahui strategi pembelajaran terkait berpikir kritis?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Berpikir Kritis


Facione (2006) menyatakan bahwa berpikir kritis sebagai pengaturan
diri dalam memutuskan (judging) sesuatu yang menghasilkan interpretasi,
analisis, evaluasi, dan inferensi, maupun pemaparan menggunakan suatu
bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan kontekstual yang
menjadi dasar dibuatnya keputusan. Berpikir kritis penting sebagai alat
inkuiri. Berpikir kritis merupakan suatu kekuatan serta sumber tenaga dalam
kehidupan bermasyarakat dan personal seseorang.
Filsaime (2008) mengutip beberapa definisi berpikir kritis dari
beberapa ahli berikut. Scriven dan Paul (1996) dan Angelo (1995)
memandang berpikir kritis sebagai proses disiplin cerdas dari
konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi aktif dan
berketerampilan yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh, observasi,
pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi sebagai sebuah penuntun
menuju kepercayaan dan aksi. Selain itu, berpikir kritis juga telah
didefinisikan sebagai “berpikir yang memiliki maksud, masuk akal, dan
berorientasi tujuan” dan “kecakapan untuk menganalisis sesuatu informasi
dan ide-ide secara hati-hati dan logis dari berbagai macam perspektif”
(Silverman dan Smith, 2002).
Costa (1985) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah: "using
basic thinking processes to analyze arguments and generate insight into
particular meanings and interpretation; also known as directed thinking".
Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "...essentially problem solving ";
Ennis (dalam Costa, 1985): "the process of reasonably deciding what to
believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai: "... a search for meaning, not
the acquisition of knowledge" (Arends,1977). Ennis (dalam Costa,1985)
dalam bentuk working definition menggambarkan bahwa: "critical thinking
is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to
believe".
Gega (1977) menyatakan bahwa orang yang berpikir kritis adalah
".... who base sugesstion and conclusions on evidence..." yang ditandai
dengan: menggunakan bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan,
menunjukkan pendapat yang kadang kontradiktif dan mau mengubah
pendapat jika ternyata ada bukti kuat yang bertentangan dengan
pendapatnya. Senada dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide
History-social science Assesment Advisory commitee (USA)
mendefinisikan berpikir kritis sebagai " ... those behaviors associated with
deciding what to believe and do".

3
Definisi berpikir kritis yang lain adalah berikut ini. “Critical thinking
is the intellectually disciplined process of actively and skillfully
conceptualizing, applying, synthesizing, and/or evaluating information
gathered from, or generated by, observation, experience, reflection,
reasoning, or communication as a guide to belief and action. In its
exemplary form, it is based on universal intellectual values that trancend
subject matter divisions: clarity, accuracy, precision, consistancy, relevance,
sound evidence, good reasons, depth, breadth, and fairness. It entails the
examination of those structures or elements of thought implicit in all
reasoning: purpose, problem, or questionate-issue, assumptions, concepts,
empirical grounding; reasoning leading to conclusions, implication and
consequences, objection from alternative viewpoints, and frame of
reference” (Jenicek, 2006).
Ennis (1985) dalam Goals for a Critical Thinking Curiculum,
berpikir kritis meliputi karakter (disposition) dan keterampilan (ability).
Karakter dan keterampilan merupakan dua hal yang tidak terpisah dalam
diri seseorang. Dari perspektif psikologi perkembangan, karakter dan
keterampilan saling menguatkan, karena itu keduanya harus secara eksplisit
diajarkan bersama-sama. Karakter (disposition) tampak dalam diri
seseorang sebagai pemberani, penakut, pantang menyerah, mudah putus asa,
dan lain sebagainya. John Dewey menggambarkan aspek karakter dari
berpikir sebagai “atribut personal”. Suatu karakter (disposisi) manusia
merupakan motivasi internal yang konsisten dalam diri seseorang untuk
bertindak, merespon seseorang, peristiwa, atau situasi biasa. Berbagai
pengalaman memperkuat teori karakter (disposisi) manusia yang ditandai
sebagai kecenderungan yang tampak, yang dapat dengan mudah
dideskripsikan, dievaluasi, dan dibandingkan oleh dirinya sendiri dan orang
lain.
Samsudin (2009) mengutip model yang diadaptasi dari Triandis
(1979, dalam Rickets dan Rudd, 2005), keterampilan berpikir kritis
merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh karakter berpikir kritis dan
sejumlah faktor pendukung, yang digambarkan dalam skema pada Gambar:

Karakter
Gender
Berfikir Kritis
Ket. Berfikir Kritis
Faktor
Usia
Pendukung

Grade Point
Average

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa berpikir


kritis itu melipuri dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar

4
(reasoning) yang diikuti dengan pengambilan keputusan atau pemecahan
masalah (deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan
bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif,
induktif dan reflektif).
Secara umum nampak bahwa berpikir kritis yaitu proses intelektual
yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau
konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sistesis, dan
mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi,
pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan
membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan.

B. Indikator Berpikir Kritis


Terdapat berbagai rujukan yang mengemukakan indikator berpikir
kritis, yang dikemukakan berikut ini. Wade (1995) mengidentifikasi delapan
karakteristik berpikir kritis, meliputi: (1) kegiatan merumuskan pertanyaan,
(2) membatasi permasalahan, (3) menguji data-data, (4) menganalisis
berbagai pendapat dan bias, (5) menghindari pertimbangan yang sangat
emosional, (6) menghindari penyederhanaan berlebihan, (7)
mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan (8) mentoleransi ambiguitas.
Beyer (1995) menjelaskan karakteristik yang berhubungan dengan berpikir
kritis berikut:
a. Watak (dispositions): Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir
kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah
kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap
kejelasan dan ketelitian, mencari pandanganpandangan lain yang
berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang
dianggapnya baik.
b. Kriteria (criteria): Berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau
patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu
untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat
disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai
kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka
haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta,
berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika
yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
c. Argumen (argument): Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang
dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi
kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
d. Pertimbangan atau pemikiran (reasoning): Kemampuan ini adalah untuk
merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan
meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau
data.

5
e. Sudut pandang (point of view): Sudut pandang adalah cara memandang
atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna.
Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah
fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
f. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria): Prosedur
penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur
tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan
keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.

Ada 13 indikator karakter berpikir kritis yang dikembangkan Ennis (1985,


dalam Costa, 1985), berikut:
1. Mencari pertanyaan jelas dari teori dan pertanyaan.
2. Mencari alasan.
3. Mencoba menjadi yang teraktual.
4. Menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya dan
menyatakannya.
5. Menjelaskan keseluruhan situasi.
6. Mencoba tetap relevan dengan ide utama.
7. Menjaga ide dasar dan orisinil di dalam pikiran.
8. Mencari alternatif.
9. Berpikiran terbuka.
10. Mengambil posisi (dan mengubah posisi) ketika bukti-bukti dan alasan-
alasan memungkinkan untuk melakukannya.
11. Mencari dokumen-dokumen dengan penuh ketelitian.
12. Sepakat dalam suatu cara yang teratur dengan bagian-bagian dari
keseluruhan kompleks.
13. Peka terhadap perasaan, pengetahuan, dan kecerdasan orang lain.

Ennis (1985), mengelompokkan indikator aktivitas berpikir kritis ke


dalam lima besar aktivitas berikut, yang dalam prakteknya dapat bersatu
padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa
indikator saja.
a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan
pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab
pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan
apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta
mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau
mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan
hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.

6
d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi
istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta
mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan
dan berinteraksi dengan orang lain.

Angelo (1995) mengidentifikasi lima perilaku yang sistematis dalam


berpikir kritis berikut ini.
a. Keterampilan Menganalisis
Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan
menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar
mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Keterampilan tersebut
tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara
menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian
yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar
pembaca mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan
dalam proses berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan. Kata-kata
operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis,
diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi,
menggambarkan, menghubungkan, memerinci, dan lainnya.
b. Keterampilan Mensintesis
Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang
berlawanan dengan keteramplian menganalisis. Keterampilan
mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian
menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis
menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang
diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide
baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya.
Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas
terkontrol.
c. Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah
Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikasi konsep kepada
beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk
memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca
selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan,
sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini
bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-
konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru.
d. Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia
berdasarkan pengertian atau pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya,
dapat beranjak mencapai pengertian atau pengetahuan (kebenaran) baru

7
yang lain. 7 Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa
keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan
memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu
formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu
sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu: deduksi dan induksi. Jadi,
menyusun kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang
memberda-yakan pengetahuan sedemikian rupa untuk menghasilkan
sebuah pemikiran atau pengetahuan baru.
e. Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam
menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada.
Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan
penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar
tertentu. Dalam taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan
mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi.
Pada tahap ini siswa tuntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek
kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep.

Indikator-indikator yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat


dilakukan dengan menggunakan universal intellectual standars. Pernyataan
ini diperkuat oleh pendapat Paul (2000) dan Scriven (2000) dalam Achmad
(2007) yang menyatakan, bahwa pengukuran keterampilan berpikir kritis
dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: "Sejauh manakah siswa
mampu menerapkan standar intelektual dalam kegiatan berpikirnya".
Universal inlellectual standars adalah standardisasi yang harus diaplikasikan
dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam
merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir
kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada standar tersebut. Berikut ini
akan dijelaskan aspek-aspek tersebut.
a. Clarity (Kejelasan). Kejelasan merujuk kepada pertanyaan: "Dapatkah
permasalahan yang rumit dirinci sampai tuntas?"; "Dapatkah dijelaskan
permasalahan itu dengan cara yang lain?"; "Berikanlah ilustrasi dan
contoh-contoh!". Kejelasan merupakan pondasi standardisasi. Jika
pernyataan tidak jelas, kita tidak dapat membedakan apakah sesuatu itu
akurat atau relevan. Apabila terdapat pernyataan yang demikian, maka
kita tidak akan dapat berbicara apapun, sebab kita tidak memahami
pernyataan tersebut. Contoh, pertanyaan berikut tidak jelas: "Apa yang
harus dikerjakan pendidik dalam sistem pendidikan di Indonesia?" Agar
pertanyaan itu menjadi jelas, maka kita harus memahami betul apa yang
dipikirkan dalam masalah itu. Agar menjadi jelas, pertanyaan itu harus
diubah menjadi, "Apa yang harus dikerjakan oleh pendidik untuk
memastikan bahwa siswanya benar-benar telah mempelajari berbagai

8
keterampilan dan kemampuan untuk membantu berbagai hal agar
mereka berhasil dalam pekerjaannya dan mampu membuat keputusan
dalam kehidupan sehari-hari?".
b. Accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan). Ketelitian atau
kesaksamaan sebuah pernyataan dapat ditelusuri melalui pertanyaan:
"Apakah pernyataan itu kebenarannya dapat dipertanggungjawab-kan?";
"Bagaimana cara mengecek kebenarannya?"; "Bagaimana menemukan
kebenaran tersebut?" Pernyataan dapat saja jelas, tetapi tidak akurat,
seperti dalam penyataan berikut, "Pada umumnya anjing berbobot lebih
dari 300 pon".
c. Precision (ketepatan). Ketepatan mengacu kepada perincian data-data
pendukung yang sangat mendetail. Pertanyaan ini dapat dijadikan
panduan untuk mengecek ketepatan sebuah pernyataan. "Apakah
pernyataan yang diungkapkan sudah sangat terurai?"; "Apakah
pernyataan itu telah cukup spesifik?". Sebuah pernyataan dapat saja
mempunyai kejelasan dan ketelitian, tetapi tidak tepat, misalnya "Aming
sangat berat" (kita tidak mengetahui berapa berat Aming, apakah satu
pon atau 500 pon!)
d. Relevance (relevansi, keterkaitan). Relevansi bermakna bahwa
pernyataan atau jawaban yang dikemukakan berhubungan dengan
pertanyaan yang diajukan. Penelusuran keterkaitan dapat diungkap
dengan mengajukan pertanyaan berikut: "Bagaimana menghubungkan
pernyataan atau respon dengan pertanyaan?"; "Bagaimana hal yang
diungkapkan itu menunjang permasalahan?". Permasalahan dapat saja
jelas, teliti, dan tepat, tetapi tidak relevan dengan permasalahan.
Contohnya: siswa sering berpikir, usaha apa yang harus dilakukan dalam
belajar untuk meningkatkan kemampuannya. Bagaimana pun usaha
tidak dapat mengukur kualitas belajar siswa dan kapan hal tersebut
terjadi, usaha tidak relevan dengan ketepatan mereka dalam
meningkatkan kemampuannya.
e. Depth (kedalaman). Makna kedalaman diartikan sebagai jawaban yang
dirumuskan tertuju kepada pertanyaan dengan kompleks, Apakah
permasalahan dalam pertanyaan diuraikan sedemikian rupa? Apakah
telah dihubungkan dengan faktor-faktor yang signifikan terhadap
pemecahan masalah? Sebuah pernyataan dapat saja memenuhi
persyaratan kejelasan, ketelitian, ketepatan, relevansi, tetapi jawaban
sangat dangkal (kebalikan dari dalam). Misalnya terdapat ungkapan,
"Katakan tidak". Ungkapan tersebut biasa digunakan para remaja dalam
rangka penolakan terhadap obat-obatan terlarang (narkoba). Pernyataan
tersebut cukup jelas, akurat, tepat, relevan, tetapi sangat dangkal, sebab
ungkapan tersebut dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam.

9
f. Breadth (keluasaan). Keluasan sebuah pernyataan dapat ditelusuri
dengan pertanyaan berikut ini. Apakah pernyataan itu telah ditinjau dari
berbagai sudut pandang?; Apakah memerlukan tinjauan atau teori lain
dalam merespon pernyataan yang dirumuskan?; Menurut pandangan..;
Seperti apakah pernyataan tersebut menurut... Pernyataan yang
diungkapkan dapat memenuhi persyaratan kejelasan, ketelitian,
ketepatan, relevansi, kedalaman, tetapi tidak cukup luas. Seperti halnya
kita mengajukan sebuah pendapat atau argumen menurut pandangan
seseorang tetapi hanya menyinggung salah satu saja dalam pertanyaan
yang diajukan.
g. .Logic (logika), Logika terkait dengan hal-hal berikut: Apakah
pengertian telah disusun dengan konsep yang benar?; Apakah
pernyataan yang diungkapkan mempunyai tindak lanjutnya? Bagaimana
tindak lanjutnya? Sebelum apa yang dikatakan dan sesudahnya,
bagaimana kedua hal tersebut benar adanya? Ketika kita berpikir, kita
akan dibawa kepada bermacam-macam pemikiran satu sama lain. Ketika
kita berpikir dengan berbagai kombinasi, satu sama lain saling
menunjang dan mendukung perumusan pernyataan dengan benar, maka
kita berpikir logis. Ketika berpikir dengan berbagai kombinasi dan satu
sama lain tidak saling mendukung atau bertolak belakang, maka hal
tersebut tidak logis.

C. Proses Berpikir Kritis dalam Pembelajaran


Berpikir Kritis dan Pembelajaran Di banyak negara, berpikir kritis telah
menjadi salah satu kompetensi dari tujuan pendidikan, bahkan sebagai salah
satu sasaran yang ingin dicapai. Hal tersebut dilatarbelakangi kajian-kajian
yang menunjukkan bahwa berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir
tingkat tinggi dan telah diketahui berperan dalam perkembangan moral,
perkembangan sosial, perkembangan mental, perkembangan kognitif, dan
perkembangan sains (Hashemi dkk, 2010). Kemampuan berpikir kritis
tersebut seyogyanya dikembangkan sejak dini melalui pembelajaran
terutama pembelajaran sains.
“Berpikir kritis bisa dipelajari, bisa diperkirakan, dan bisa diajarkan
(Peter A. Facione, 2010).”
Ketrampilan berpikir kritis adalah potensi intelektual yang dapat
dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia memiliki
potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis karena
sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki hubungan dengan pola
pengelolaan diri (self organization) yang ada pada setiap mahluk di alam
termasuk manusia sendiri. Terdapat suatu anggapan yang penting bagi kita
untuk tidak hanya belajar berpikir kritis, tetapi juga mengajarkan berpikir
kritis kepada orang lain. Anggapan tersebut sangat penting karena bagi

10
seseorang untuk bisa berhasil di dalam bidang apa pun, dia harus memiliki
kecakapan untuk berpikir kritis, dia harus bisa menalar secara induktif dan
deduktif, seperti kapan dia melakukan kritik dan mengkonsumsi ide-ide atau
saransaran. Kecakapan-kecakapan berpikir kritis ini biasa dikenal sebagai
sebuah tujuan pendidikan yang penting, dan dianggap sebagai sebuah hasil
yang diinginkan dari semua kegiatan manusia (Samsudin, 2009).
Pemikir kritis, biasanya mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya:
(1) mau mengakui bahwa informasi dan pengetahuan yang ia miliki masih
kurang, salah atau tidak didukung oleh fakta nyata atau bukti dan alasan
yang kuat, atau dengan kata lain ia mau mengakui ide orang lain yang lebih
rasional, (2) cenderung mengarah pada upaya untuk memecahkan masalah
atau mencari solusi,
(3) mampu menunjukkan kriteria dalam menganalisis suatu masalah,
(4) mampu menjadi pendengar aktif dan memberikan feedback rasinal
setelahnya,
(5) sabar menahan untuk memberikan komentar atau menilai sebelum
memperoleh fakta, data, dan informasi yang jelas dan lengkap untuk
mengambil kesimpulan,
(6) mau menolak informasi jika tidak didukung oleh argumen, data, fakta
yang jelas.
Mengutip pendapat Scriven dan Paul (2007), Filsaime (2008)
mengungkapkan bahwa pemikir kritis yang ideal memiliki rasa ingin tahu
yang besar, aktual, nalarnya dapat dipercaya, berpikiran terbuka, fleksibel,
seimbang dalam mengevaluasi, jujur dalam menghadapi prasangka personal,
berhati-hati dalam membuat keputusan, bersedia mempertimbangkan
kembali, transparan terhadap isu, cerdas dalam mencari informasi yang
relevan, beralasan dalam memilih kriteria, fokus dalam inkuiri, dan gigih
dalam mencari temuan. Bentuk sederhananya, berpikir kritis didasarkan
pada nilai-nilai intelektual universal, yaitu: kejernihan, keakuratan,
ketelitian (presisi), konsistensi, relevansi, fakta-fakta yang reliabel, alasan-
alasan yang baik, dalam, luas, dan sesuai.

D. Langkah Berpikir Kritis


The Statewide History-social science Assesment Advisory commitee
(Kneedler dalam Costa, 1985) mengemukakan langkah berpikir kritis seperti
disalin Wahidin (2008), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga langkah:
pengenalan masalah masalah (defining/clarifying problems), menilai
informasi (judging informations) dan memecahkan masalah atau menarik
kesimpulan (solving problems/drawing conclusion). Lebih rinci
diungkapkan bahwa untuk melakukan langkah-langkah itu diperlukan
keterampilan yang dinamai Twelve Essential Critical Thinking Skills (12
keterampilan esensial dalam berpikir kritis), berikut:

11
1. Mengenali masalah (defining and clarifying problem)
a. Mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok.
b. Membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
c. Memilih informasi yang relevan.
d. Merumuskan/memformulasi masalah.
2. Menilai informasi yang relevan
a. Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar/judgment.
b. Mengecek konsistensi.
c. Mengidentifikasi asumsi.
d. Mengenali kemungkinan faktor stereotip.
e. Mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, salah penafsiran
kalimat (semantic slanting).
f. Mengenali kemungkinan perbedaan orientasi nilai dan ideologi.
3. Pemecahan Masalah/ Penarikan kesimpulan
a. Mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data.
b. Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari
keputusan/pemecahan masalah/kesimpulan yang diambil.

Secara sederhana, Wolcott dan Lynch (1997) mendeskripsikan


langkahlangkah memulai proses berpikir kritis di sekolah. Siswa hendaknya
memulai proses berpikir kritis dengan langkah 1 dan dengan latihan beralih
menuju langkah 2 serta jenjang selanjutnya
 Langkah 1 Mengidentifikasi masalah, informasi yang relevan dan semua
dugaan tentang masalah tersebut. Ini termasuk kesadaran akan
kemungkinan adanya lebih dari satu solusi.
 Langkah 2 Mengeksplorasi interpretasi dan mengidentifikasi hubungan
yang ada. Ini termasuk mengenali bias/prasangka yang ada,
menghubungkan alasan yang terkait dengan berbagai alternatif
pandangan dan mengorganisir informasi yang ada sehingga
menghasilkan data yang berarti.
 Langkah 3 Menentukan prioritas alternatif yang ada dan
mengkomunikasikan kesimpulan. Ini termasuk proses menganalisis
dengan cermat dalam mengembangkan panduan yang dipakai untuk
menentukan faktor, dan mempertahankan solusi yang terpilih.
 Langkah 4 Mengintegrasikan, memonitor dan menyaring strategi untuk
penanganan ulang masalah. Ini termasuk mengetahui pembatasan dari
solusi yang terpilih dan mengembangkan sebuah proses berkelanjutan
untuk membangkitkan dan menggunakan informasi baru.

12
E. Cara Pengukuran Kemampuan Berpikir Kritis
1. Instrumen Tes Berpikir Kritis
Mengadopsi dari Metode pengembangan tes Mardapi (2016) dalam
penelitian pengembangan instrumen tes berpikir kritis ini dilakukan
dengan langkah yang meliputi:
1) Menyususn spesifikasi tes.
2) Menulis tes.
3) Meninjau validitas isi.
4) Melakukan uji coba
5) Menganalisis item tes.
Unsur pokok dalam menyusun spesifikasi tes adalah bentuk tes dan
panjang tes/lama pelaksanaan tes. Penelitian pengembangan Instrumen tes
berpikir kritis yang dilakukan adalah mengadopsi bentuk tes pilihan ganda
beralasan yang terlebih dulu dikembangkan Istiyono (2013) dalam
mengukur kemampuan HOT. Pada setiap butir soal terdapat empat kategori
skor dengan ketentuan : Kategori-1 jika jawaban salah dan alasan salah;
Kategori-2 jika jawaban benar dan alasan salah; Kategori-3 jika jawaban
salah dan alasan benar; Kategori-4 jika jawaban benar dan alasan benar. Tes
berpikir kritis yang dikembangkan sebanyak 45 butir dengan tes A dan B
yang masing-masing 25 butir (5 anchor) yang dilaksanakan selama 2 jam
pelajaran Biologi sesuai dengan peraturan pemerintah pada jenjang SMA.
Tahap penulisan tes terdiri dari penentuan kompetensi yang akan
diujikan sesuai dengan teori berpikir kritis, penentuan materi yang akan di
ujikan, penyusunan kisi-kisi, penulisan butir, penyusunan pedoman
penskoran, validitas isi dan perbaikan butir. Kompetensi yang akan diujikan
adalah pada mata pelajaran Biologi kelas X MIPA SMA Negeri. Sedangkan
teori berpikir kritis yang digunakan meliputi: Aspek 1 (A1) Asumsi,
subaspek 1 (SA11): menentukan hipotesis yang relevan, subaspek 2 (SA12):
menentukan hasil pertimbangan berdasarkan latar belakang dan fakta;
Aspek 2 (A2): Argumentasi, subaspek 1 (SA21): membuat argumen
berdasarkan fakta dan penegtahuan, subaspek 2 (SA22): Identifikasi
hubungan sebab akibat/alasan; Aspek 3 (A3):Analisis, subaspek 1 (SA31):
Analisis latar belakang dan tujuan informasi, subaspek 2 (SA32):
mengkaitkan informasi dengan aktivitas manusia; Aspek 4 (A4)): Evaluasi,
subaspek 1 (SA41): memeriksa kesesuaian masalah dengan solusi, subaspek
2 (SA42): membuat kritik terhadap suatu permasalahan; Aspek 5 (A5):
Menyimpulkan, Subaspek 1 (SA51): Menginduksi pemikiran berdasarkan
informasi, subaspek 2 (SA52): Mendeduksi pemikiran berdasarkan
informasi. Pada tahap penulisan tes juga sangat memperlukan matriks tabel
agar instrumen yang dikembangkan sesuai dengan aspek, subaspek dan
materi Biologi kelas X SMA semester 1 yang terdiri dari (1) Ruang Lingkup

13
Biologi, 2) Metode Ilmiah, 3) Klasifikasi, 4) Keanekaragaman Hayati, 5)
Jamur, 6) Protista, 7) Bakteri, 8) Virus.
Validitas isi dilakukan oleh expert judgment yang terdiri dari ahli
pengukuran, penilaian dan ahli Pembelajaran Biologi. Pada tahapan ini
validitas isi yang dilakukan adalah melihat kesesuaian kompetensi, indikator
dan materi Biologi yang telah ditulis menjadi butir soal dalam instrumen tes
berpikir kritis. Tujuan dilakukan validitas isi adalah untuk mengetahui
kelayakan butir soal yang ditinjau dari segi konsep, konstruksi, bahasa dan
keefektifan butir soal untuk mengukur tingkat kemampuan berpikir kritis
siswa.
Sebelum dilakukan uji coba instrumen, perlu mengkaji subjek tes
yang memenuhi keriteria kemampuan siswa dengan kategori rendah, sedang
dan tinggi. Langkah tersebut dilakukan dengan melihat peringkat sekolah
berdasarkan Nilai UN tahun 2017 pada mata pelajaran Biologi SMA Negeri.
Uji coba dilakukan pada siswa kelas X MIPA SMA Negeri di Kabupaten
Kendal yang mewakili dari sekolah dengan peringkat tinggi, sedang, dan
rendah yaitu sebanyak 201 siswa. Jumlah tersebut berdasarkan ketemtun
analisis berdasarkan IRT (Item Respon Theory) untuk memenuhi analisis 1
PL dengan model PCM.
Pelaksanaan uji coba dilakukan dengan set tes A dan B dengan
posisi tempat duduk peserta didik yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri
mengerjakan soal dengan berselang-seling dengan kode soal A dan B. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi kecurangan pada saat pelaksanaan uji coba
tes. Selain itu, pada pelaksanaan uji coba melibatkan guru mata pelajaran
Biologi pada kelas masing-masing untuk menjadi pengawas, dangan tujuan
agar pada saat pelaksanaan peserta didik bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan tes.
Data hasil respon peserta didik pada tahap uji coba yang perlu di
kaji adalah berupa kecocokan model (goodness of fit tes), tingkat kesukaran,
fungsi informasi, ICC, standar eror pengukuran dan reliabilitas. Pada
analisis data diperlukan bantuan program aplikasi Excel, SPSS, Quest, dan
Parscale.

2. California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI)


California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI) adalah
alat utama untuk mensurvei aspek disposisi dari pemikiran kritis. CCTDI
dirancang khusus untuk mengukur disposisi untuk melibatkan masalah dan
membuat keputusan menggunakan pemikiran kritis. Seseorang harus
cenderung berpikir kritis dan juga memiliki keterampilan untuk
melakukannya. CCTDI dirancang untuk digunakan dengan populasi dewasa
umum.

14
CCTDI mengukur dimensi "bersedia" dalam ungkapan "bersedia dan
mampu" untuk berpikir kritis. Skor tinggi pada Inventarisasi Berpikir Kritis
California berkorelasi positif dengan keinginan kuat untuk menerapkan
keterampilan berpikir kritis seseorang dalam pengambilan keputusan dan
penyelesaian masalah, dengan kepemimpinan, dengan ketahanan ego, dan
dengan kapasitas untuk mendapatkan manfaat dari pelatihan pendidikan dan
konseling psikologis.
CCTDI mengundang responden untuk menunjukkan sejauh mana
mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan yang mengungkapkan
pendapat, kepercayaan, nilai, harapan dan persepsi yang terkait dengan
pembentukan reflektif penilaian yang beralasan.
Item tidak menggunakan kosakata teknis atau jargon berpikir kritis.
Awalnya dikembangkan dan divalidasi dalam populasi sekolah pasca-
sekolah menengah, CCTDI kemudian terbukti menunjukkan kinerja yang
baik pada siswa sekolah menengah, masyarakat umum, mahasiswa
pascasarjana dan profesional yang bekerja di Amerika Serikat dan di lebih
dari 40 negara di seluruh dunia.
CCTDI dikelola dengan batas waktu yang ditetapkan sebelumnya
yaitu 30 menit. Sebagian besar peserta tes dengan mudah menyelesaikannya
dalam waktu kurang dari 20 menit.
CCTDI mengukur tujuh atribut yang memengaruhi kapasitas individu
untuk belajar dan menerapkan keterampilan berpikir kritis secara efektif:
disposisi terhadap pencarian kebenaran atau bias, menuju keterbukaan
pikiran atau intoleransi, ke arah mengantisipasi konsekuensi yang mungkin
terjadi atau tidak diperhatikan, menuju proses dalam cara sistematis atau
tidak sistematis, menuju menjadi percaya diri dalam kekuatan penalaran
atau ketidakpercayaan berpikir, ke arah ingin tahu atau tahan untuk belajar,
dan menuju penilaian yang matang dan bernuansa atau terhadap pemikiran
sederhana yang kaku.
Insight Assessment menawarkan rangkaian opsi pengujian yang
paling lengkap dan hemat biaya, termasuk solusi kertas dan pensil online
dan tradisional. Pengujian online terenkripsi yang aman tersedia 24x7x365
dengan opsi pengiriman multibahasa. Sistem daring berbasis aplikasi atau
browser menyediakan opsi untuk mengambil penilaian di hampir semua
perangkat. Tes tersedia kapan saja di mana saja, baik secara langsung, di
pusat tes atau ke perangkat individual.
CCTDI dapat diambil bersamaan dengan beberapa instrumen tes
ketrampilan Penilaian Insight termasuk tingkat Tes Kecakapan Berpikir
Kritis (CCTST) tingkat perguruan tinggi California. Spesialis hubungan
klien akan membantu peserta tes menentukan penilaian keterampilan yang
optimal untuk tujuan pesrta melakukan tes.

15
F. Akar Masalah Rendahnya Kemempuan Berpikir Kritis
1. Tidak memberikan Pengalaman kepad siswa.
Dalam keseharian siswa hidup dilingkungannya, banyak pengalaman
mereka yang menarik. Fakta pengalaman ini sangat baik dalam
memotivasi siswa untuk mempelari materi bahan ajar yang disajikan
guru. Kita yakin bahwa siswa tidak akan pernah berfikir kritis dan kreatif
jika masalah yang dihadapkan tidak direspon dengan baik dan tidak
didapatkan secara langsung. Sebagai contoh, kepada anak yang tidak
memiliki pengetahuan atau tidak pernah melihat kereta api, ditanya “Apa
yang terjadi jika rel kereta api lepas?“. Mudah untuk ditebak, sebagian
besar siswa akan diam dan tidak akan berfikir tentang itu. Oleh sebab itu,
maka dalam mengembangkan kemampuan berfikir kritis siswa, guru
harus mampu merancang topic atau bahan pembicaraan yang sesuai
dengan pengalaman siswa. Pengalaman dalam hal ini dapat berarti
pengetahuan yang dimiliki atau konteks nyata yang pernah dialami.
2. Pembelajaran tidak efektif
Berfikir kritis adalah salah satu dari jenis berfikir tingkat tinggi, yang
ditandai dengan pengorganisasi sejumlah kemampuan-kemampuan yang
kompleks. Sehubungan dengan itu, dalam prosesnya berfikir kritis
membutuhkan kosentrasi yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, jika
sebelumnya siswa tidak berkonsentrasi maka untuk mengembangkan
kemampuan berfikir kritis cukup sulit untuk dilakukan. Sehubungan
dengan hal ini, jika guru ingin melatih siswa untuk berfikir scientific
siswa sebaiknya dilakukan pada awal-awal pembelajaran dimana siswa
belum banyak menggunakan proses berfikirnya. Walaupun demikian
bukan tertutup kemungkinan guru untuk mengembangkan kemampuan
berfikir matematika siswa diakhir-akhir pembelajaran, namun porsinya
perlu dipertimbangkan.
3. Tidak memberikan Penguatan Selama siswa belajar
Pemberian penguatan diyakin merupakan pendorong bagi siswa agar
tetap eksis dalam bekerja. Pemberian penguatan selama siswa
mengembangkan kemampaun berfikir kritisnya akan memberikan
kekuatan bagi mereka untuk mau dan tetap bekerja. Berikanlah
pengahargan yang mendorong, bagi setiap respon yang diberikan siswa
agar mereka berani dan tetap bersemangat melakukan espolarasi sebagai
upaya mengembangkan kemampuan berfikir kritisnya.

G. Cara Memberdayakan Berpikir Kritis


Pada dasarnya berpikir kritis merupakan suatu hal yang masuk akal
(reasonable), berpikir reflektif yang terfokus pada keputusan untuk
mempercayai dan melakukannya (Ennis, 1986; Ennis, 1993;). Kemampuan
berpikir kritis dapat diberdayakan dengan memahami aspek-aspek yang

16
berkaitan dengan konsepsi berpikir kritis. Pembelajaran bagi siswa
seyogyanya mengembangkan dan memberdayakan kemampuan berpikir
kritis. Pemberdayaan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan oleh guru
dengan pembelajaran menggunakan strategi-strategi pembelajaran
konstruktivistik yang berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir kritis,
seperti inquiry based learning, problem based learning, Thinking
Empowerment by Questioning (TEQ), cooperative learning (Corebima,
2008). Khusus cooperative learning terdapat bermacam- macam tipe yang
dapat digunakan dalam pembelajaran untuk memberdayakan kemampuan
berpikir kritis.
Pembelajaran inkuiri menekankan siswa untuk mengkonstruk
pengetahuannya secara bersama-sama dalam kelompok eksperimen
sebagaimana halnya peneliti. Dalam pembelajaran ini siswa diberdayakan
rasa ingin tahunya, mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul dalam
pembelajaran, serta menghubungkan temuan yang diperoleh dengan temuan
yang telah ada sebelumnya. Proses ini akan mengaktifkan kemampuan
berpikir kritis, karena di dalam kegiatan inkuiri dibutuhkan kemampuan
mendeduksi teori atau temuan sebelumnya, menginduksi peristiwa dalam
kegiatan ekperimen, berargumentasi mengenai temuan dan perbedaan temuan
sendiri dengan temuan sebelumnya, melaksanakan langkah-langkah metode
ilmiah yang telah ditetapkan, serta memutuskan, mengevaluasi, dan
menyimpulkan hasil kegiatan inkuiri yang telah dilaksanaka.
Pembelajaran berbasis masalah juga merupakan pembelajaran
konstruktivistik yang dapat menempatkan siswa sebagai pemikir kritis. Dalam
pembelajaran ini siswa dituntut dapat menemukan permasalahan aktual
sebagai refleksi dari suatu konsep kajian. Selanjutnya siswa belajar
mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, dan berusaha memecahkan
masalah sebagai solusi dan keputusan yang memberikan manfaat untuk
diambilnya. Kegiatan siswa ini tidak lepas dari kemampuan berpikir kritis,
dalam hal ini siswa melakukan aktivitas mental berupa kemampuan
mendeduksi teori sebagai dukungan rasionalitas dalam upaya memecahkan
permasalahan yang telah diidentifikasi. Siswa menyimpulkan dan
memutuskan bahwa tindakan yang diambil benar-benar dapat menyelesaikan
masalah yang ada sesuai substansi yang dikaji.
Pembelajaran yang mengimlementasikan Thinking Empowerment by
Questioning (TEQ) atau Pemberdayaan Berpikir melalui Pertanyaan (PBMP)
merupakan pembelajaran konstruktivistik yang menekankan kemampuan
siswa membuat pertanyaan dan mengembangkan penalaran. Pada
pembelajaran ini siswa belajar dalam rangkaian aktivitas bertanya yang
disusun dengan suatu pola berurutan, mulai pengantar, sediakan, diskusikan,
pikirkan, renungkan, dan diakhiri dengan arahan (Corebima, 2004). Setiap
pola ini memiliki arah dan makna khusus yang dapat mencapai pemberdayaan

17
kemampuan berpikir kritis, sehingga Thinking Empowerment by Questioning
(TEQ) dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk memberdayakan
kemampuan berpikir siswa
Cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang
menekankan adanya saling ketergantungan antar siswa. Siswa belajar
bersama-sama dan pembelajaran adalah bagian terpenting dari hidup mereka.
Siswa bekerja dalam kelompok kecil dan merencanakan untuk menyelesaikan
suatu produk bersama-sama. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab
untuk berbagi pengetahuan dengan kelompoknya. Siswa menggunakan
keterampilan kolaboratif untuk saling membantu belajar dan mendorong satu
sama lain untuk memecahkan masalah dalam cooperative learning. Semua
memperoleh peluang yang sama. Melalui cooperative learning terjalin
hubungan antar siswa dalam kelompok berupa brainstorming dan sharing.
Proses ini mengaktifkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam hal kerja
sama untuk memecahkan suatu permasalahan, seperti kemampuan mededuksi
suatu kajian teori, mendeduksi masalah berdasarkan fakta empirik,
merumuskan masalah, dan memutuskan sebuah langkah yang diambil dalam
pemecahan masalah.

H. Strategi dan Solusi Pembelajaran Terkait Berpikir Kritis


1. STAD
Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement
Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-
temannya di Universitas John Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan
pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru
mulai menggunakan pembelajaran kooperatif. Student Team
Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar
beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat
kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan pelajaran
kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh
anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa
dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak
boleh saling membantu. Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD
merupakan pendekatan Cooperative Learning yang menekankan pada
aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan
saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai
prestasi yang maksimal. Guru yang menggunakan STAD mengajukan
informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu mengunakan
presentasi Verbal atau teks.

18
Menurut Slavin (dalam Noornia, 1997: 21) ada lima komponen
utama dalam pembelajaran kooperatif metode STAD, yaitu:
b. Penyajian Kelas. Penyajian kelas merupakan penyajian materi yang
dilakukan guru secara klasikal dengan menggunakan presentasi
verbal atau teks. Penyajian difokuskan pada konsep-konsep dari
materi yang dibahas. Setelah penyajian materi, siswa bekerja pada
kelompok untuk menuntaskan materi pelajaran melalui tutorial, kuis
atau diskusi.
c. Menetapkan siswa dalam kelompok. Kelompok menjadi hal yang
sangat penting dalam STAD karena didalam kelompok harus tercipta
suatu kerja kooperatif antar siswa untuk mencapai kemampuan
akademik yang diharapkan. Fungsi dibentuknya kelompok adalah
untuk saling meyakinkan bahwa setiap anggota kelompok dapat
bekerja sama dalam belajar. Lebih khusus lagi untuk mempersiapkan
semua anggota kelompok dalam menghadapi tes individu. Kelompok
yang dibentuk sebaiknya terdiri dari satu siswa dari kelompok atas,
satu siswa dari kelompok bawah dan dua siswa dari kelompok
sedang. Guru perlu mempertimbangkan agar jangan sampai terjadi
pertentangan antar anggota dalam satu kelompok, walaupun ini tidak
berarti siswa dapat menentukan sendiri teman sekelompoknya.
d. Tes dan Kuis. Siswa diberi tes individual setelah melaksanakan satu
atau dua kali penyajian kelas dan bekerja serta berlatih dalam
kelompok. Siswa harus menyadari bahwa usaha dan keberhasilan
mereka nantinya akan memberikan sumbangan yang sangat berharga
bagi kesuksesan kelompok.
e. Skor peningkatan individual. Skor peningkatan individual berguna
untuk memotivasi agar bekerja keras memperoleh hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Skor peningkatan
individual dihitung berdasarkan skor dasar dan skor tes. Skor dasar
dapat diambil dari skor tes yang paling akhir dimiliki siswa, nilai
pretes yang dilakukan oleh guru sebelumnya melaksanakan
pembelajaran kooperatif metode STAD.
f. Pengakuan kelompok. Pengakuan kelompok dilakukan dengan
memberikan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan kelompok
selama belajar. Kelompok dapat diberi sertifikat atau bentuk
penghargaan lainnya jika dapat mencapai kriteria yang telah
ditetapkan bersama. Pemberian penghargaan ini tergantung dari
kreativitas guru.

2. TPS
Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi
adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk

19
mempengaruhi pola interaksi siswa.Strategi think pair share ini
berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu.
Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan Koleganya di
universitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997),menyatakan
bahwa think pair share merupakan suatu cara yang efektif untuk
membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa
semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk
mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan
dalam think pair share dapat memberi siswa lebih banyak waktu
berpikir, untuk merespon dan saling membantu. Guru memperkirakan
hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau
situasi yang menjadi tanda tanya . Sekarang guru menginginkan siswa
mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan
dialami .Guru memilih menggunakan think-pair-share untuk
membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan.
Guru menggunakan langkah-langkah (fase) berikut:
 Langkah 1 : Berpikir ( thinking ) : Guru mengajukan suatu
pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan
meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir
sendiri jawaban atau masalah
 Langkah 2 : Berpasangan ( pairing ) : Selanjutnya guru meminta
siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka
peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan
jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan menyatukan gagasan
apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal
guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk
berpasangan.
 Langkah 3 : Berbagi ( sharing ) : Pada langkah akhir, guru meminta
pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang
telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan
dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian
pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan.

3. Snowballing
Snowballing Snowball Throwing yang menurut asal katanya
berarti ‘bola salju bergulir’ dapat diartikan sebagai model pembelajaran
dengan menggunakan bola pertanyaan dari kertas yang digulung bulat
berbentuk bola kemudian dilemparkan secara bergiliran di antara
sesama anggota kelompok.
Metode snowball throwing adalah suatu cara penyajian bahan
pelajaran dimana siswa dibentuk dalam beberapa kelompok yang
heterogen kemudian masing-masing kelompok dipilih ketua

20
kelompoknya untuk mendapat tugas dari guru lain masing-masing siswa
membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan)
kemudian dilempar ke siswa lain yang masing-masing menjawab
pertanyaan dari bola yang diperoleh. Dilihat dari pendekatan yang
digunakan dalam pembelajaran bahasa, metode Snowball Throwing ini
memadukan pendekatan komunikatif, integratif, dan keterampilan
proses. Kegiatan melempar bola pertanyan ini akan membuat kelompok
menjadi dinamis, karena kegiatan siswa tidak hanya berpikir, menulis,
bertanya, atau berbicara. Akan tetapi mereka juga melakukan aktivitas
fisik yaitu menggulung kertas dan melemparkannya pada siswa lain.
Dengan demikian, tiap anggota kelompok akan mempersiapkan diri
karena pada gilirannya mereka harus menjawab pertanyaan dari
temannya yang terdapat dalam bola kertas.
Adapun langkah-langkah metode pembelajaran snowball
throwing menurut (Suyatno 2009:125):
1. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan.
2. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil ketua dari
setiap kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi.
3. Masing-masing ketua kelompok kembali kekelompoknya masing-
masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru
kepada temannya.
4. Kemudian setiap siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk
menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang
sudah dijelaskan oleh ketua kelompok.
5. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu
siswa ke siswa lain selama +15 menit.
6. Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan
kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas
secara bergantian.

4. Point Counter Point


Strategi ini masuk ke dalam model pembelajaran Cooperatif yang
berfokus pada pemberdayaan kelompok belajar. Strategi ini sangat baik
untuk melibatkan siswa dalam mendiskusikan isu-isu kompleks secara
mendalam. Strategi ini mirip debat, hanya saja dikemas dalam suasana
yang tidak terlalu formal. Langkah-langkah strategi Point Counterpoint:
1. Guru dan siswa menentukan topik dengan memilih isu yang
mempunyai banyak perspektif yang akan menjadi bahasan.
2. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok sesuai perspektif masing-
masing dalam mengkaji topik tersebut. Tiap kelompok siswa
mendiskusikan topik tersebut sesuai perspektif masing-masing.

21
3. Wakil tiap kelompok mempresentasikan hasilnya berupa argumen
yang menjadi pandangan kelompoknya dan ditanggapi (counter) oleh
kelompok lainnya.
4. Konfirmasi & kesimpulan dipandu guru yang bersangkutan

5. Debate
Pembelajaran dengan model debate diawali dengan pembentukan
dua kelompok yang, satu kelompok yang pro (setuju) dan satu
kelompok lagi kontra (tidak setuju). Kedua kelompok ini duduk
berhadapan dan saling beradu argumentasi dalam rangka
mengemukakan pendapatnya untuk meyakinkan siswa lawan bicaranya
atau kelompok lain bahwa yang dikemukakannya adalah benar. Maka
adu argumentasi dalam model pembelajaran debate merupakan
keharusan yang harus dilakukan setiap siswa dari masing-masing
kelompok. Jadi kemampuan untuk menyampaikan pendapat sangat
diperlukan dalam model pembelajaran debate ini. Dalam model
pembelajaran debate ini ada suatu peraturan atau suatu keharusan bagi
masing-masing kelompok untuk menyampaikan alasannya mengapa
kelompoknya setuju atau tidak setuju dengan suatu permasalahan.
Dengan kata lain tidak dibenarkan suatu kelompok untuk mengatakan
sejutu, tetapi tidak memiliki argumentasi atau alasan mengapa mereka
setuju, begitu juga sebaliknya. Pembelajaran dengan
model debate sangat baik digunakan dalam rangka meningkatkan daya
kritis dan analisis siswa terhadap suatu masalah. Oleh sebab itu
sebaiknya materi yang dijadikan bahan adlam perdebatan adalah
peristiwa aktual yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Jadi,
pebelajaran dengan model debate adalah penyampaian materi ajar
dengan meninjau dari dua sisi yaitu pro dan kontra untuk mendapatkan
kesimpulan atau kebenaran dari suatu peristiwa yang ada.

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Definisi Kemampuan Berfikir Kritis
Berdasarkan Facione (2006) berpikir kritis sebagai pengaturan diri dalam
memutuskan (judging) sesuatu yang menghasilkan interpretasi, analisis,
evaluasi, dan inferensi, maupun pemaparan menggunakan suatu bukti,
konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan kontekstual yang menjadi
dasar dibuatnya keputusan
 Indikator berpikir kritis
1. Mempertimbangkan berbagai interpretasi
2. Kegiatan merumuskan pertanyaan
3. Membatasi Permasalahan
4. Menguji data – data
5. Mentoleransi ambiguitas
6. Menghindari penyederhann berlebihan
7. Menghindari pertimbangan yang sangat emosional
8. Menganalisis berbagai pendapat
 Langkah berpikir kritis
1. Pengenalan masalah masalah
2. Menilai informasi
3. Memecahkan masalah / menarik kesimpulan
 Akar Masalah Rendahnya Kemempuan Berpikir Kritis
 Cara Pengukuran Kemampuan Berpikir Kritis
1. Instrumen Tes Berpikir Kritis
2. California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI)
 Pemberdayaan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan oleh guru
dengan pembelajaran menggunakan strategi-strategi pembelajaran
konstruktivistik yang berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir
kritis, seperti inquiry based learning, problem based learning, Thinking
Empowerment by Questioning (TEQ), cooperative learning
 Strategi pembelajaran terkait berpikir kritis
1. Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division
(STAD)
2. Strategi think pair share (TPS) : merupakan jenis pembelajaran
kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.
3. Snowballing
4. Point Counter Point
5. Debate

23
B. Saran
Berpikir kritis dapat dipelajari dan ditingkatkan bahkan pada usia
dewasa. Agar proses berpikir kritis terjadi dalam pembelajaran
diperlukan adanya perencanaan yang spesifik pada materi, konstruk, dan
kondisi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Facione, PA. 2010. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Insight
Assesment. 1-24.
Filsaime, DK. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis & Kreatif. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Hashemi, SA, Naderi, E, Shariatmadari, A, Naraghi, MS, and Mehrabi, M. 2010.
Science Production In Iranian Educational System By The Use Of Critical
Thinking. International Journal of Instruction January 2010. Vol.3, No.1
Muhfahroyin. (2009). Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Melalui Pembelajaran Konstruktivistik. JURNAL PENDIDIKAN DAN
PEMBELAJARAN, Vol 16 (1). Hal 88-93
Wade, C. 1995. Using writing to develop and assess critical thinking. Teaching of
Psychology, 22 (1), 24-28.
Wolcott, SK & Lynch, CL. 1997. Critical thinking in the accounting classroom: A
reflective judgment developmental process perspective. Accounting
Education: A Journal of Theory, Practice and Research, 2(1), 59-78.

25

Anda mungkin juga menyukai