Anda di halaman 1dari 29

11

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Teoretis

Konsep teoretis adalah identifikasi teori-teori yang dijadikan sebagai

landasan berpikir untuk melaksanakan suatu penelitian atau dengan kata lain

untuk mendiskripsikan kerangka referensi atau teori yang digunakan untuk

mengkaji permasalahan.

Kajian teoretis ini berkenaan dengan implementasi nilai hormat dan

santun dalam pendidikan berkarakter oleh guru mata pelajaran pendidikan

agama Islam di sekolah menengah atas negeri 1 Dumai kota dumai. Untuk

lebih jelasnya penulis akan menguraikannya sebagai berikut:

1. Nilai Hormat dan Santun

Hormat dan santun ialah sebagian kecil daripada sekian banyak

nilai-nilai yang terkandung di dalam nilai-nilai karakter yang ada. Hormat

adalah sikap menghargai/menghormati diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan, memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dihargai,

beradab dan sopan, tidak melecehkan dan menghina orang lain, tidak

menilai orang lain sebelum mengenalinya dengan baik.14

Rasa hormat adalah sikap menghargai orang lain dengan berlaku

baik dan sopan.15

14
Muchlas Samani dan Hariyanto, Loc.Cit.
15
Zubaedi, Loc.Cit.

11
12

Sedangkan santun adalah sifat yang baik dan halus dari sudut

pandang tata bahasa maupun tata perilakunya kepada semua orang.16

Santun secara etimologi ialah, halus dan baik (budi bahasanya, tingkah

lakunya) Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan

pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan).17

Selanjutnya, kesantunan adalah, berbudi bahasa halus sebagai

perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.18

Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia

telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak,

yang kemudian disebut sebagai sembilan pilar yang berasal dari nilai-nilai

universal manusia yaitu:

1) Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyality)

2) Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian

(responbility,excellence, self reliance, discipline, orderliness)

3) Amanah (trustworthiness, realiability, honest)

4) Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience )

5) Kasih sayang, kepedulian dan kerjasama (love, compassion,

caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)

6) Percaya diri, kreatif dan pantang menyerah (confidence,

assertiveness,creativity, resourcefulness, courage, determination

and enthusiasm)

7) Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)


16
Heri Gunawan, Op.Cit., h. 34
17
http://inunk2609.multiply.com/journal/item/49 Diakses tanggal 15 april 2013.
18
Muchlas Samani dan Hariyanto, Op.Cit., h. 53
13

8) Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)

9) Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness,

unity).19

menurut Ratna Megawangi. Hormat dan santun terdiri dari konsep

“Hormat patuh” dan “Sopan Santun.

hormat patuh adalah, bersikap, berkata dan bertindak sesuai dengan

adat sopan santun dan mendengarkan serta mematuhi nasehat yang baik dari

orang tua dan guru. Anak yang patuh tidak melanggar aturan-aturan yang

diberikan oleh orang tua dan guru, baik di rumah, di sekolah maupun di

masyarakat.

Sedangkan konsep sopan santun yang diperkenalkan Ratna

megawangi adalah:

1) Berkata dan berperilaku santun.

2) Membuat orang lain merasa dihargai dan dihormati.

3) Tidak sombong kepada orang lain.

Dengan demikian, anak yang sopan santun adalah anak yang

perilakunya membuat orang lain merasa senang, dihargai dan dihormati.

Mereka selalu menggunakan kata-kata santun, Senyum dan memperlakukan

orang lain dengan baik.20

Selanjutnya Ratna megawangi menjelaskan bahwa yang dimaksud

pendidikan karakter pilar hormat dan santun adalah: mengukir Karakter

(akhlak) melalui proses knowing the good, loving the good,acting the good

19
Zaim Elmubarok, Op.Cit., h.h.111-112.
20
http://keyanaku.Blogspot.com/2007-09-23 archive.html, Diakses Tanggal 15 april 2013
14

yaitu proses melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik dengan

menanamkan nilai karakter hormat dan santun sehingga akhlak mulia bisa

terukir menjadi habit of the mind, heart dan hands.21

Dapat dipahami hormat dan santun adalah, suatu sikap atau tingkah

laku yang menghargai tuhan, diri sendiri serta ramah kepada lingkungan dan

sadar akan kedudukannya sebagai manusia dan anggota masyarakat.

Makna hormat dan santun, ialah bahwa seseorang tidak menganggap

dirinya lebih tinggi dari pada orang lain, melainkan menganggap orang lain

patut dihargai selain dirinya sendiri.

Muchlas Samani dan Hariyanto mengambarkan bagaimana caranya

menjadi orang yang hormat/menghargai orang lain:

1) perlakukanlah orang lain seperti halnya engkau ingin di perlakukan

2) jadilah orang yang beradab dan sopan

3) dengarkanlah apa yang di katakan oleh orang lain

4) jangan menghina orang, atau memperolok-olokkan, atau

memanggil orang dengan julukannya.

5) jangan pernah mengancam atau memalak orang lain

6) jangan menilai orang sebelum mengenalnya dengan baik.22

Dalam menanamkan nilai hormat dan santun tidak terlepas dari pada

peranan orang tua dan guru, yang dalam hal ini mereka adalah model atau

suri tauladan utama yang dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian

anak, menurut Joseph Joubert, “Children need models more than they need

21
http://keyanaku.Blogspot.com/2007-09-23 archive.html, Diakses Tanggal 15 april 2013
22
Muchlas Samani dan Hariyanto, Op.Cit. h. 55
15

critics.” Artinya, anak lebih membutuhkan contoh daripada teguran atau

kritikan.23

hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Pada ribuan tahun

dahulu, bahwa beliau sukses menjadi teladan bagi umatnya yang dalam hal

ini kita pandang sebagai peserta didik, sehingga teladan Rasulullah Saw.

Sebagai guru juga ditegaskan oleh Allah Swt. Dalam Firmannya:

    


   
  
 
   

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-

Ahzab:21).24

Seiring perkembangan zaman dan meluasnya pengaruh globalisasi,

nilai hormat dan santun merupakan hal yang semakin sulit diajarkan. Untuk

itu, ada baiknya sejak dini anak mulai diperkenalkan dengan perilaku hormat

dan santun ini. Adapun, beberapa cara yang dapat dilakukan pendidik dalam

menularkan nilai atau perilaku ini ialah :

1) Jadikan diri sendiri sebagai contoh

Karena tabiat dasar anak-anak adalah suka mencotoh atau meniru.

23
Ida S. Widayanti, Mendidik Karakter dengan Karakter, Jakarta: PT Arga Tilanta, 2012,
h. 136
24
Mahmud yunus, Tafsir Qur’anul Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993, h. 616
16

2) Sampaikan apa yang diinginkan kepada anak untuk di lakukan.

Sampaikan secara langsung kepada anak jika pendidik

berkeinginan agar anak bersikap hormat dan santun.

3) Beri pujian.

Bila anak telah bersikap sopan, tak ada salahnya memberi pujian.

4) Jangan paksa anak untuk menjadi sempurna.

Bila Anda berharap terlalu banyak dari anak, bisa-bisa yang terjadi

adalah "perang" dengan anak. Lakukan secara bertahap, sesuai

perkembangan anak.

5) Jangan mempermalukan anak.

Salah adalah hal biasa. Begitu pula jika anak melakukan kekeliruan

yang menurut Anda tidak sopan. Beritahu anak kesalahannya dan

katakan apa yang Anda harapkan. Jangan langsung memarahi atau

mempermalukannya di depan orang lain. 25

Sejalan dengan itu Nurlela Isnawati tampaknya menambahkan tentang

beberapa hal yang sebaiknya tidak di lakukan oleh seorang guru sebagai figur

bagi anak didik dalam menanamkan nilai, diantaranya ialah:

1) Guru jarang Senyum

2) keras dalam bicara seakan-akan siswanya tidak bisa mendengar

3) cenderung otoriter (tidak menghormati pendapat atau gagasan

siswa)

25
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011 h. 202
17

4) pemarah

Sebagai seorang guru, seharusnya benar-benar mampu menunjukan

sikap kedewasaan, tidak menghukum, atau mengmbil keputusan

apapun terkait anak didik jika guru dalam keadaan emosi

5) bersikap pilih kasih.26

Tindakan ini jauh dari sikap hormat dan santun kepada siswa, bahkan

akan memberikan jarak antara siswa dan gurunya, serta dapat memojokan

siswa secara mental. Karakter-karakter guru yang jauh dari keteladanan ini

tentunya sangat bertentangan dengan sifat-sifat Rasulullah Saw. Yang mana

beliau adalah guru teladan yang berkarakter mulia sepanjang zaman, hadist-

hadist yang menggambarkan ini diantaranya:

‫َﻣ ْﻦ ُْﳛَﺮْم اﻟﱢﺮﻓْ َﻖ ُْﳛَﺮْم اﳋَْْﻴـَﺮ‬


Artinya: “Barangsiapa yang dijauhkan dari sikap lemah lembut, berarti ia

dijauhkan dari kebaikan”. (HR. Muslim)27

‫ﺼَﺮ َﻋ ِﺔ‬
‫ْﺲ اﻟ ﱠﺸﺪِﻳ ُﺪ ﺑِﺎﻟ ﱡ‬
َ ‫َﺎل ﻟَﻴ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫َﺐ‬ ِ ‫ِﻚ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ ِﻋْﻨ َﺪ اﻟْﻐَﻀ‬
ُ ‫إِﳕﱠَﺎ اﻟ ﱠﺸﺪِﻳ ُﺪ اﻟﱠﺬِي ﳝَْﻠ‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah.Saw bersabda,orang

yang kuat bukanlah yang tidak dapat dikalahkan oleh orang lain, tetapi

orang yang kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika

marah”. (HR. Bukhari).28

26
Nurlela Isnawati, Guru Positif Motivatif, Yogyakarta: Laksana, 2010, h.h. 51-71
27
M.Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2005, h.
909
28
M.Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Jakarta: Gema Insani, 2008, h.
911
18

‫ُوف‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻻ َْﲢ ِﻘَﺮ ﱠن ِﻣ ْﻦ اﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﱄ اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ِ ‫َﺎل‬
َ ‫َﺎل ﻗ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ذَ ﱟر ﻗ‬
‫َﺎك ﺑَِﻮ ْﺟ ٍﻪ ﻃَﻠ ٍْﻖ‬
َ ‫َﺷْﻴﺌًﺎ َوﻟ َْﻮ أَ ْن ﺗَـ ْﻠﻘَﻰ أَﺧ‬
Artinya: “Dari Abu Dzar ia berkata Rasulullah Saw berkata kepadaku,

janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun kepada kebaikan walaupun

kamu hanya bermanis muka dihadapan saudaramu ketika bertemu”. (HR.

Muslim)29

Diketahui bahwa sikap hormat adalah sifat menghargai/menghormati

diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, memperlakukan orang lain seperti

keinginan untuk dihargai, beradab dan sopan, tidak melecehkan dan

menghina orang lain, tidak menilai orang lain sebelum mengenalinya dengan

baik.30

Sedangkan santun adalah sifat yang baik dan halus dari sudut

pandang tata bahasa maupun tata perilakunya kepada semua orang. 31 santun

secara etimologi ialah, halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya) Atau

bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan ke

dalam suatu tindakan).32

Dari sini dapatlah dipahami, sekiranya Rasulullah Saw telah

memberikan tuntunan bagaimana seharusnya seorang guru bersikap dalam

rangka menghormati serta santun terhadap anak didiknya, yang kelak sikap-

29
M.Nashiruddin Al-Albani, Op.Cit., h. 908
30
Muchlas Samani dan Hariyanto, Op. Cit., h.128
31
Heri Gunawan, Op.Cit., h. 34
32
http://inunk2609.multiply.com/journal/item/49 Diakses tanggal 15 april 2013.
19

sikap itu akan diikuti atau di teladani, sehingga pada akhirnya di harapkan

dapat terimplementasikan dalam keseharian anak didik.

2. Pendidikan Karakter

a. Pengertian Karakter

Secara harfiah, karakter artinya kualitas mental dan moral,

kekuatan moral, nama, atau reputasi (Hornby dan pornwell dalam Adi

kurniawan, 2010). Dalam kamus psikologi, karakter adalah kepribadian

yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran

seseorang yang biasanya mempunyai kaitan dengan sisfat-sifat yang

relatif tetap. (Dali Gulo, 1982).

Sedangkan secara terminologi sangat banyak para ahli yang

mendefenisikan karakter, diantaranya yang di kemukakan oleh suyanto,

bahwa karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri

khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan

keluarga, masyarakat, bangsa maupun Negara. Individu yang berkarakter

baik adalah yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung

jawabkan keputusan yang ia buat.33

Selanjutnya Syaiful Anam menukil beberapa pendapat pakar

mengenai makna karakter : menurut Simon Philips, karakter adalah

kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi

pemikiran.

33
Muchlas Samani, Op.Cit., h. 41.
20

Sedangkan, Doni Koesoema A. memahami bahwa karakter sama

dengan kepribadian, kepribadian dianggap sebagai ciri, karakteristik,

gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-

bentukan yang diterima dari lingkungan. Sementara Winnie memahami

bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian tentang karakter.

Pertama, ia menunujukan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila

seseorang berlaku tidak jujur, kejam dan rakus, tetntulah orang itu

memanifestasikan perilku buruk. Sebaliknya, apabila orang berperilaku

jujur, dan suka menolong tentulah orang tersebut memanifestasikan

karakter mulia. Kedua istilah karakter tersebut erat kaitannya dengan

“personality”. Seseorang baru bisa disebut “orang yang berkarakter”

(a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.

Sedangkan imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat

dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau

melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga

ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.34

Dari sekian banyak pendapat para ahli tersebut, maka penulis dapat

menarik sebuah pemahaman bahwa karakter adalah sikap atau tingkah

laku (akhlak) spontanitas dari diri seseorang yang mencerminkan

kepribadian serta menjadi cirri khas dari diri orang tersebut.

34
Barnawi dan M.Arifin, Strategi & Kebijakan Pemebelajaran Pendidikan Karakter,
Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2012, h. 21.
21

b. Pendidikan Karakter

pendidikan karakter merupakan pendidikan ihwal karakter, atau

pendidikan yang mengajarkan hakikat karakter dalam ketiga ranah cipta,

rasa, dan karsa, berikut adalah makna pendidikan karakter.35

1) Dalam http://www.character.org pendidikan karakter adalah,

“Character education is an educational movement that supports the

social, emotional and ethical development of students (Pendidikan

karakter merupakan pendidikan yang mendukung perkembangan

sosial, emosional, dan etis siswa).

2) pendidikan karakter merupakan terminologi yang mendeskripsikan

suatu bentuk pembelajaran kepada anak-anak makna dan

pengembangan atas moral, baik, sopan, santun, sehat, kritis,

menghargai tradisi dan kesadaran sebagai makhluk sosial.

3) Departemen Pendidikan Amerika Serikat mendefenisikan pendidikan

karakter sebagai proses belajar yang memungkinkan siswa dan orang

dewasa untuk memahami, peduli dan bertindak pada nilai-nilai etika

inti, seperti rasa hormat, keadilan, kebajikan warga negara yang baik,

serta bertanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain.

4) Megawangi mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah

35
Ibid., h.h. 22-24
22

usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan

dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari

sehingga mereka bisa memberikan kontribusi yang positif kepada

lingkungannya.

5) Dirjen Dikti menyatakan, “Pendidikan karakter dapat dimaknai

sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,

pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan

peserta didik untuk memberikan keputusan baik dan buruk,

memelihara yang baik, mewujudkan, dan menebarkan kebaikan itu

dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.”

Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal

positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter

siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah usaha yang sadar dan

sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada

para siswanya.36

Jadi, pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada

peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam

dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat

dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan

moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan

peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memlihara apa

36
Muchlas Samani dan Hariyanto, Op.Cit., h. 43.
23

yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari

dengan sepenuh hati.

c. Peran Pendidikan Karakter

Ajaran “bila karakter hilang, semuanya telah hilang” patut

menjadi perhatian serius dalam praksis pendidikan. Pendidikan memang

harus menganut progresivisme dengan adaptif terhadap perkembangan

zaman dan humanis dengan memberikan individu bebas beraktualisasi

(free will). Namun kebebasan yang tidak bertanggungjawab atas

pemilihan sikapnya hanyalah akan mempercepat rusak dan hilangnya

karakter.37

Dengan demikian, peran pendidikan karakter adalah memberi

pencerahan atas konsep free will. Pendidikan harus memberikan ruang

luas kepada peserta didik untuk bebas memilih. Pendidikan menekankan

bahwa kebebasan itu satu paket dengan tanggung jawab yang harus di

pikulnya. Apabila terjadi kesalahan dalam mengambil pilihan, apalagi

bertentangan dengan norma universal, tanggung jawab dan sanksi harus

diterimanya dengan lapang dada, harus gentle. Peserta didik harus berani

mengakui dan meminta maaf atas kesalahan dalam memilih tindakan dan

berkehendak. 38

d. Tujuan Pendidikan Karakter

37
Barnawi dan M.Arifin, Op Cit., h. 28
38
Ibid., h. 28.
24

pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses

dan hasil pendidikan yang mengarah kepada pembentukan karakter dan

akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, standar

dengan kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.

Melalui pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu

secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,

mengkaji dan menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai

karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-

hari.39

Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah

kepada pembentukan budaya sekolah/madrasah, dan masyarakat

sekitarnya. Budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter atau

watak, dan citra sekolah/madrasah tersebut di mata masyarakat luas.

Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari

pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart .

dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw. Juga menegaskan bahwa misi

utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan

pembentukan karakter yang baik (good character).

Berikutnya ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama

pendidikan tetap pada wilayah yang serupa, yakni pembentukan

kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan terkemuka dunia

seperti Klipatrick Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan

39
E. Mulyasa, Op Cit., h. 9
25

kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Nabi Muhammad Saw.

Bahwa moral, akhlak, atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan

dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King

menyetujui pemikiran tersebut dengan mangatakan, “Intelligence plus

character that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter,

itulah tujuan yang benar dari pendidikan.

Pakar pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, dengan tesis

pendidikan, yakni kebudayaan, juga ingin menyampaikan hal yang sama

dengan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diawal, menurutnya

pendidikan bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-

norma sosial (transmission of cultural values and social norms).

Sementara Mardi atmadja menyebut pendidikan karakter sebagai ruh

pendidikan dalam memanusiakan manusia.40

Paparan pandangan tokoh-tokoh di atas menunjukan bahwa

pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok

yang disepakati di setiap zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua

pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan pendidikan karakter adalah

merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan

keterampilan.

e. Guru dalam Pendidikan Karakter

jika dilihat dari kedudukannya, guru merupakan makhluk tuhan,

makhluk sosial, dan makhluk individu. Sebagai makhluk tuhan, guru

40
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2011, h. 30
26

harus memiliki landasan keimanan yang kuat. Mengingat bahwa

pendidikan karakter menekankan pada aspek sikap, nilai dan watak

peserta didik, maka dalam pembentukannya harus dimulai dari

gurunya.41

Oleh Karena itu apabila ditanya siapakah guru besar yang paling

berkarakter dan yang paling pertama untuk di tiru jawaban yang paling

tepat adalah Nabi Muhammad Saw. Keluhuran budi dan sifat keteladanan

yang beliau miliki difirmankan secara jelas oleh Allah Swt. Dalam Q.S.

Al-Ahzab: 21:

    


  
   
 
  

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi norang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

(Q.S. Al-Ahzab:21).42

Kemudian sifatnya yang paling mendasar adalah shiddiq,

fathanah, tabligh, amanah. Keempat karakter esensial inilah yang harus

dimilki oleh setiap individu untuk mengembangkan nilai-nilai mulia

lainnya. Akan tetapi sebagai seorang guru harus memiliki sifat-sifat yang

lebih spesifik untuk menunjang pekerjaannya dalam mengajar peserta

41
E.Mulyasa, Op.Cit., h. 31.
42
Mahmud Yunus, Loc.Cit.
27

didik. Firmansyah (2008) menyatakan sedikitnya ada delapan sifat

keguruan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

1) Tawadhu’ (rendah hati), sifat ini akan memudahkan pembelajaran dan

memperkuat pengaruh baik pendidik kepada anak didik karena

penghormatan.

2) Kasih Sayang, Implikasi sifat ini adalah pendidik menolak untuk tidak

suka meringkankan beban peserta didik.

3) Sabar, kesabaran meghadapi anak didik yang berbeda karakter dan

kecerdasannya menjadi kunci utama bagi guru dalam mendidik.

4) Cerdas, guru harus mampu menganalisis setiap masalah yang muncul

dan memberikan solusi yang tepat untuk mengembangkan anak

didiknya merupakan wujud dari sifat cerdas. Kecerdasan yang

dibutuhkan tidak cuma intelektual, namun juga emosional dan

spiritual.

5) Bijaksana, seorang pendidik harus menghadapi pesrsoalannya dengan

lapang dada sehingga mudah dalam memecahkan permasalah tersebut.

6) pemberi maaf. Anak didik yang ditangani oleh pendidk tentunya tidak

luput dari kesalahan maupun sikap-sikap yang tidak terpuji lainnya.

Maka dari itu, pendidik umat harus mudah memberikan maaf

meskipun ada sanksi yang diberikan kepada anak didik yang menjadi

pelaku kesalahan sebagai bagian dari edukasi.


28

7) Kepribadian yang kuat. Sanksi bisa jadi tidak diperlukan dalam

mengedukasi anak didik jika seorang pendidik umat memiliki

kepribadian yang kuat (kewibawaan, tidak cacat moral, dan tidak

diragukan kemampuannya) sehingga memunculkan apresiasi dari anak

didik, bukannya apriori. Secara otomatis kepribadian yang kuat bisa

mencegah terjadinya banyak kesalahan dan mampu menanamkan

keyakinan dalam diri anak.

8) yakin terhadap tugas pendidikan, Rasulullah Saw dalam menjalankan

tugasnya mendidik umat selalu optimis dan penuh keyakinan.43

Menurut Al- Ghazali, seseorang yang memiliki akal sempurna

dan akhlak yang terpuji baru boleh menjadi guru. Selain itu guru juga

harus di dukung dengan sifat-sifat khusus, yaitu44:

1) Rasa kasih sayang dan simpatik. Al-Ghazali memberikan nasehat

kepada guru untuk berlaku sebagai seorang ayah terhadap anaknya,

bahkan ia berpendapat bahwa hak seorang guru itu lebih besar

ketimbang seorang ayah terhadap anaknya.

2) Tulus Ikhlas. Al-Ghazali berpendapat bahwa guru tidak berhak

menuntut honor sebagai jasa tugas mengajar dan tidak patut

menunggu-nunggu pujian, ucapan terima kasih, atau balas jasa

daripada muridnya.

3) Jujur dan terpercaya, seorang guru semestinya menjadi penunjuk

terpercaya dan dan jujur bagi muridnya.

43
Barnawi dan M.Arifin, Op.Cit., h. 95.
44
Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani, 1995, h.h. 8-9
29

4) Lemah lembut dalam memberi nasehat, Al-Ghazali memberi nasehat

kepada guru supaya tidak berlaku kasar terhadap murid dalam

mendidik tingkah laku.

5) Berlapang dada, Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru tidak pantas

mencela ilmu-ilmu yang berada di luar tanggung jawabnya dihadapan

murid-muridnya”. Seperti guru bahasa mencela ilmu fiqih, atau

menghina ilmu lain seperti ilmu hadis, dan tafsir yang tidak ia ajarkan.

6) Memperlihatkan perbedaan individu,Guru hendaknya membatasi

murid kepada kecerdasan pemahamannya. Oleh karena itu tidak boleh

memberikan murid pelajaran yang tidak mampu dijangkau oleh

akalnya, yang menyebabkan ia menjauhi dan memerosotkan daya

pikirnya.”

7) Al-Ghazali menganjurkan. Hendaknya seorang guru menyampaikan

kepada muridnya yang kurang cerdas ilmu pengetahuan secara jelas

dan tuntas sesuai dengan umur muridnya.

8) Memilki Idealisme. Umpama guru dan murid ialah “bagaikan ukiran

dengan tanah liat dan bayang-bayang dengan sepotong kayu, maka

bagaimana pula tanah liat itu bisa terukir indah, padahal ia material

yang sedia kala tidak berukir, dan bagaimana pula bayang-bayang itu

menjadi lurus padahal kayu yang disinari itu bengkok adanya”.

f. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter

Pendidikan sulit untuk menghasilkan sesuatu yang baik, tanpa

dimulai oleh guru-gurunya yang baik. Untuk itu, terdapat beberapa hal
30

yang harus guru pahami dari peserta didik, antara lain kemampuan,

potensi, minat, hobi, sikap, kepribadian dan sebagainya.

Agar implementasi pendidikan karakter berhasil maka guru perlu

melakukan hal-hal berikut:

1) menggunakan metode pendidikan berkarakter yang bervariasi

2) mengusahakan keterlibatan peserta didik dalam berbagai kegiatan

berkarakter

3) memahami bahwa karakter peserta didik tidak berkembang dalam

kecepatan yang sama

4) memodifikasi dan memperkaya bahan. 45

Lickona, Schap, Lewis, serta Azra (dalam Suyatno, 2010)

menguraikan beberapa pemikiran mengenai peran guru, diantaranya

sebagai berikut:

1) pendidik bertanggung jawab menjadi model yang memiliki nilai-nilai

moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siwa-

siswanya. Artinya, pendidik dilingkungan sekolah hendaklah mampu

menjadi “Uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik.

Mereka juga harus terbuka dengan peserta didik tentang berbagai

nilai-nilai yang baik tersebut.

2) pendidik secara terus menerus menjelaskan atau mengklarifikasikan

kepada peserta didik tentang nilai yang baik dan yang buruk.

45
E. Mulyasa, Op.Cit., h. 64
31

3) pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh

dan berkembang melalui kerja sama dan berpartisipasi dalam

mengambil keputusan.

4) pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa

pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan siswa mengalami

perkembangan karakter

5) pendidik perlu totalitas dalam proses pembelajaran, diskusi, dan

mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter.

Jadi dapat disimpulkan. Dalam konteks pendidikan karakter

seorang guru seharusnya menjalankan lima peran. Pertama, Konservator

(pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan.

Kedua, Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan. Ketiga,

Transmiter (penerus) sistem-sistem nilai ini kepada peserta didik.

Keempat, Transformator (penerjemah) sistem nilai ini melalui

penjelmaan kedalam pribadi dan perilakunya, dalam proses interaksi

dengan sasaran didik, kelima, Organisator (penyelenggara) terciptanya

proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkaan , baik secara formal

(kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara

moral (kepada sasaran didik, serta tuhan yang menciptakannya).

g. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam

Dalam pendidikan karakter, nilai-nilai agama tidak bisa

dipisahkan. Moral dan dan nilai-nilai spiritual sangat fundamental dalam

membangun kesejahteraan dilingkungan sosial manapun. Tanpa


32

keduanya masyarakat dapat dipastikan akan lenyap. Dalam Islam tidak

ada disiplin ilmu yang terpisahkan dari etika-etika Islam, dan didalam

Islam terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladanan.

Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari’ah

dan ajaran Islam secara umum. Sedangakan term adab merujuk kepada

sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik, sedangkan

keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh

seorang muslim yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad

Saw. Ketiga inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam.46

Sebagai usaha yang identik dengan ajaran Islam, terlihat

pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan

dengan pendidikan karakter didunia barat. Perbedaan–perbedaan tersebut

mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi. Inti

daripada perbedaan ini ialah keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan

rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam. Akibatnya, pendidikan

karakter dalam Islam lebih sering dilakukan secara doktrin dan dogmatis,

tidak secara logis.

Jadi tampak bahwa pendekatan semacam ini membuat pendidikan

karakter dalam Islam lebih cenderung pada teaching right and wrong.

atas kelemahan ini, pakar-pakar pendidikan Islam kontemporer seperti

Muhammad Iqbal, sayyed Hosen nasr, Naquib Al-Attas dan Wan Daud,

menawarkan pendekatan yang memungkinkan pembicaraan yang

46
Abdul Majid dan Dian Andayani, Op.Cit., h. 58
33

menghargai bagaimana pendekatan moral dinilai, dipahami secara

berbeda, dan membangkitkan pertanyaan mengenai penerapan model

pendidikan moral barat.

Intinya adalah kekayaan pendidikan Islam dengan ajaran moral

yang sangat menarik untuk dijadikan konten dari pendidikan karakter.

Namun demikian, pada tataran operasional, pendidikan Islam belum

mampu mengolah konten ini menjadia materi yang menarik dengan

metode dan teknik yang efektif.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Nusa putra dan Santi

Lisnawati memaparkan pendidikan Islam pada dasarnya menyentuh tiga

aspek secara terpadu, yaitu: (1) Knowing, yakni agar peserta didik dapat

mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) Doing,

yakni agar peserta didik dapat mempraktikan ajaran dan nilai-nilai

agama; dan (3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup

sesuai ajaran dan nilai-nilai agama.47

Rumusan tersebut menunjukan bahwa Pendidikan Islam memiliki

tujuan yang luas, dalam, dan komplek. Namun Keluasan dan, kedalaman,

dan kompleksitas tujuan Pendidikan Islam ternyata telah memunculkan

sejumlah masalah dalam pelaksanaan dan pencapaiannya.48

Atau dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam sangat sempurna

dalam hal tujuannya, yakni menjadikan anak tidak hanya cerdas

kognitifnya, melainkan juga aspek karakternya, namun sangat sulit dalam


47
Nusa Putra dan Santi Lisnawati, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012, h. 3
48
Ibid., h. 7
34

pengoperasiannya, karena pendidikan Islam cenderung berorientasi pada

belajar tentang nilai-nilai agama sehingga banyak orang yang mengetahui

nilai-nilai agama namun karakternya tidak sesuai dengan nilai-nilai

agama yang ia ketahui.

f. Faktor-Faktor Yang Mendukung dan Menghambat Implementasi

Pendidikan Karakter

adapun faktor-faktor yang Mendukung dan Menghambat

implementasi pendidikan berkarakter adalah:

1) Faktor pemahaman tentang pendidikan karakter

Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah sangat bergantung pada

ada tidaknya kesadaran, pemahaman, kepedulian dan komitmen dari

semua warga sekolah terhadap penyelenggaraan pendidikan karakter

tersebut.

2) Faktor sosialisasi tentang pendidikan karakter

Sosialisasi perlu dilakukan dengan matang kepada berbagai pihak agar

pendidikan karakter yang ditawarkan dapat dipahami dan diterapkan

secara optimal, karena sosialisasi merupakan langkah penting yang

akan menunjang dan menentukan keberhasilan pendidikan karakter.

3) Faktor lingkungan keluarga dan masyarakat

Jika tidak ditunjang oleh lingkungan yang kondusif, upaya pendidikan

karakter di sekolah akan seperti membuat istana pasir di tepi pantai.

Di sekolah, kepala sekolah, guru beserta tenaga kependidikan lainnya

dengan sekuat tenaga membangun istana yang cantik, tetapi ketika


35

anak keluar dari lingkungan sekolah, ombak besar meluluhkan istana

yang terbangun tersebut, oleh karena itu perlu pendekatan yang

komprehensif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam

membangun karakter peserta didik yang kuat, baik, dan positif secara

konsisten.

4) Faktor fasilitas

Pengembangan fasilitas dan sumber belajar sudah sewajarnya

dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan, dan

perbaikan, hal ini didasari dari kenyataan bahwa sekolah yang paling

mengetahui kebutuhan fasilitas, dan sumber belajar, baik kecukupan,

kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama sumber belajar yang

di rancang (by desaign) secara khusus untuk kepentingan belajar.

5) Faktor kepala sekolah

Kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong

sekolah dalam mewujudkan visi, misi, sasaran dan tujuan sekolah

melalui program-program yang dilakukan secara terencana dan

bertahap.

6) Faktor guru

meliputi kemampuan guru, sikap profesional guru, latar belakang

pendidikan dan pengalaman mengajar guru. Berbagai strategi yang

dapat di kembangkan dalam rangka pelatihan guru antara lain:

a. mengadakan penataran dan pelatihan guru


b. mengadakan lokakarya guru mata pelajaran
c. menetapkan guru bidang dan guru team (team teaching) secara
demokratis dan professional.
36

7) Faktor keterlibatan seluruh warga sekolah (lingkungan sekolah).

Keberhasilan pendidikan berkarakter di sekolah sangat ditentukan

oleh keberhasilan kepala sekolah melibatkan seluruh warga sekolah,

dalam hal ini seluruh warga sekolah harus terlibat dalam

pembelajaran, diskusi, dan rasa memiliki dalam upaya pendidikan

karakter.49

Selanjutnya Barnawi dan M. Arifin menambahkan, penyebab

mengapa pendidikan karakter belum memuaskan, antara lain sebagai

berikut:

1) Faktor pemahaman orang tua

Pemahaman orang tua dalam memberikan pendidikan karakter bagi

putra-putrinya masih minim, padahal hampir 86% waktu anak

dihabiskan bersama orang tuanya, 16% waktu anak di sekolah, sisanya

sebagian besar di luar sekolah. Sayangnya tidak banyak orang tua

yang mempedulikan dan tidak memiliki pemahaman yang baik dalam

mengisi waktunya bahwa bersama anak merupakan bagian dari

membangun karakter anak.

2) Faktor lingkungan

pertumbuhan karakter akan semakin runyam ketika siswa dihadapkan

pada lingkungan yang sibuk, miskin uswah, pola masyarakat yang

49
E.Mulyasa, Op.Cit., h.h. 14-37
37

acuh tak acuh, serta lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan

karakter.50

B. Penelitian Relevan

1) Implementasi Aspek Afektif Siswa Dalam Mata Pelajaran Aqidah Akhlak

Di Madrasah Aliyah Al-Huda Kuntu Kecamatan Kampar Kabupaten

Kampar, oleh Nurdina tahun 2007, berdasarkan penelitiannya diperoleh

bahwa implementasi aspek afektif siswa yang mencakup nilai

hormat,santun, disiplin, menjaga kebersihan, menunjukan hasil yang cukup

baik , hal ini dapat dilihat dari hasil akhir observasi 56,23% yang berarti

cukup baik. Hal ini sesuai dengan ukuran persentase yang telah ditetapkan

bahwa kategori 50%-75% tergolong cukup baik.

Adapun persamaan dan perbedaan penelitian penulis dengan

penelitian ini adalah, penelitian ini sama-sama mengkaji tentang sikap serta

bagaimana upaya guru untuk membentuk sikap tersebut. Adapun

perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Nurdina lebih bersifat

umum yakni mencakup semua nilai-nilai yang ada di dalam ranah afektif,

seperti sopan santun, disiplin, tanggung jawab, dan sebagainya selain itu

yang menjadi subyek dalam penelitian ini ialah siswa yang ada di sekolah

tersebut. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan hanya terfokus pada

dua nilai yang terdapat pada ranah afektif itu saja yakni, nilai Hormat dan

Santun dan subyeknya adalah para guru agama Islam di SMAN 1 Dumai.

50
Barnawi dan M.Arifin, Op.Cit. h.h. 31-32
38

2) “Kepribadian Guru Dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Siswa Di Madrasah

Tsanawiyah Negeri (Mtsn) Bukit Raya Pekanbaru, oleh Rindu ila dinil fitri

tahun 2004, berdasarkan penelitiannya di peroleh bahwa perilaku siswa di

madrasah tsanawiyah Negeri (MTSN) Bukit Raya Pekanbaru tergolong

cukup baik, hal ini dibuktikan dengan hasil rata-rata akhir anketnya ialah

79.13%. Hal ini sesuai dengan ukuran persentase yang telah ditetapkan

bahwa kategori 76% - 100% tergolong cukup baik.

Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama menilai sikap guru

baik yang akhirnya akan di contoh oleh siswa dan menyebabkan perubahan

dari sikap siswa. Perbedaanya adalah penelitian yang penulis lakukan lebih

meninjau kepada maksimal atau tidaknya penerapan nilai “Hormat dan

Santun” yang dilakukan guru kepada siswa. Sedangkan Rindu meneliti

seluruh sikap guru baik yang bagus maupun yang tidak bagus atau tidak

patut di contoh siswa.

C. Konsep Operasional

Konsep operasional merupakan suatu konsep yang digunakan untuk

memberikan batasan terhadap konsep teoretis yang telah dikemukakan. Hal

ini dimaksudkan untuk memfokuskan penelitian agar tidak terjadi kesalah

pahaman dalam memahami konsep-konsep yang ada. Selain itu juga

dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengukurannya.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, kajian ini berkenaan dengan

Implementasi Nilai Hormat dan Santun Dalam Pendidikan Berkarakter Oleh

Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Dumai-Kota


39

Dumai. Adapun indikator Implementasi Nilai Hormat dan Santun Dalam

Pendidikan Berkarakter Oleh Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

di SMAN 1 Dumai-Kota Dumai adalah sebagai berikut:

1. Guru mudah Senyum, menggunakan bahasa yang santun, baku dan

berbobot.

2. Guru senantiasa menghargai anak yang bertanya, berpendapat, dan

menjawab pertanyaan (guru tidak otoriter dan selalu membuka peluang)

3. Guru tidak mudah marah atau cenderung tenang (tidak dalam keadaan

emosi) dalam menghadapi dan mengambil keputusan berkenaan dengan

anak didik (menghukum atau menasehati)

4. Guru tidak membanding-bandingkan antara anak yang memiliki tingkat

kepandaian yang berbeda demi menghargai anak didiknya

5. Guru menyampaikan materi seakan-akan ia adalah orang tua bagi siswa

(untuk mencontohkan kesantunan)

6. Guru tidak berbicara keras-keras dan cemberut seakan-akan marah dan

siswanya pekak.

7. Guru tidak merokok di dalam kelas demi menghormati hak kenyamaan

dan kesehatan anak didiknya.

8. Guru menghindari sarkasme atau ejekan kepada anak didik

9. Guru jauh dari aksi kasar dan cabul

10. Guru tidak memanggil anak dengan gelar yang jelek

Anda mungkin juga menyukai