Anda di halaman 1dari 102

SKRIPSI

KAJIAN HUKUM PIDANA ATAS KEKERASAN DALAM RUMAH


TANGGA TERHADAP PEREMPUAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS KABUPATEN FLORES
TIMUR)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat


guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:
ALFRED SETYAWAN PRATAMA
NIM: 1802010310

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2023
ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini:

Nama : Alfred Setyawan Pratama


NIM : 1802010310
Program Studi : Ilmu Hukum
Peminatan : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
Judul Skripsi : Kajian Hukum Pidana Atas Kekerasan dalam Rumah
Tangga Terhadap Perempuan Ditinjau dari Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus
Kabupaten Flores Timur)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar-benar karya
saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang ditulis atau
diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata
penulisan karya ilmiah yang lazim. Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan
dalam penulisan skripsi ini, maka saya bersedia untuk mematuhi peraturan yang
berlaku di UniversitasNusa Cendana.

Demikian pernyataan ini saya buat sebagai tanggung jawab formal agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kupang, 5 April 2023

Alfred Setyawan Pratama

iv
MOTO:

JIKA KAMU INGIN MENYERAH, INGATLAH SELALU MENGAPA KAMU


BERUSAHA BEGITU LAMA.

(Alfred Pratama)

v
LEMBAR PERSEMBAHAN

Skripsi ini Kupersembahkan untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan memberkati tiap langkah

dalam hidupku.

2. Orang Tua tercinta Ayahanda Herono Budiono dan Ibunda Maria

Andriani Leimena yang selalu mendukung dan berdoa untukku setiap

saat.

3. Kakak dan Adik tersayang, Kakak Wiwin, Adik Albert, Agung, Yuyun

dan Adik Kristian yang selalu mendoakan dan mendukung saya dalam

menyelesaikan studi di Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana,

Kupang.

4. Sahabat-sahabat terkasih, Mimyn Witin, Jun, Panji, Akbar Asra, Abio,

Adven, Alberto, Adi Putra, Arys, Aldo yang telah memeberikan

dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini.

vi
ABSTRAK

Alfred Setyawan Pratama: Kajian Hukum Pidana Atas Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terhadap Perempuan. Dibimbing oleh: Nikolas Manu sebagai Pembimbing I dan Rosalind
Angel Fanggi sebagai Pembimbing II.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan kekerasan berbasis gender yang
terjadi di ranah personal. Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi di Kabupaten
Flores Timur dengan kebanyakan kasus dikarenakan permasalahan ekonomi di lingkup
rumah tangga, dan ada juga faktor selingkuh dikarenakan pilihan pasangan masing-masing
sehingga keharmonisan rumah tangga menjadi luntur. Berdasarkan latar belakang di atas,
maka dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Apakah bentuk-bentuk kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga di Kabupaten Flores Timur terkait Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? (2)
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga?
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Flores Timur tepatnya di Kepolisian
Resor Flores Timur. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu dilakukan
dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktik lapangan. Pendekatan ini dikenal juga
dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan. Data
dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa: (1) Bentuk-
bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kabupaten Flores Timur yakni antara
lain: (a) kekerasan fisik: kekerasan fisik yang terjadi seperti suami aniaya istri dengan cara
dipukul dengan menggunakan tangan kosong maupun menggunakan benda tumpul. (b)
kekerasan psikis: berupa perkataan kasar dari suami terhadap istri seperti cacian maki,
hinaan, hingga ancaman akan membunuh korban. (c) kekerasan seksual: berupa korban
dipaksa berhubungan intim tetapi korban menolak, akhirnya pelaku emosi dan meremas
serta memukul alat vital korban hingga pendarahan. (d) penelantaran rumah tangga: berupa
tidak diberikan biaya yang seharunya ditanggung oleh pelaku demi kelangsungan hidup
korban atau dan pembatasan atau larangan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. (2)
Perlindungan hukum terhadap korban kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, antara lain: (a) perlindungan sementara, (b) penetapan perintah perlindungan oleh
pengadilan, (c) penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor Kepolisian, (d) penyediaan
rumah aman atau tempat tinggal alternatif, (e) pemberian konsultasi hukum oleh advokat
mengenai informasi hak-hak korban dan proses peradilan, (f) pendampingan advokat pada
tingkat penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Saran dari penulis
ialah mengingat kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan kejahatan melanggar
hak asai manusia khusunya perempuan sebagai korban, maka diharapkan bagi pemerintah
dan aparat penegak hukum setempat agar melakukan sosialisasi hukum bagi masyarakat
dan upaya pendampingan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kata Kunci: Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Hukum


Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

vii
ABSTRACT

Alfred Setyawan Pratama: A Study of Criminal Law on Domestic Violence Against


Women. Guided by: Nikolas Manu as Guide I and Rosalind Angel Fanggi as Guide II.
Domestic Violence is gender-based violence that occurs in the personal sphere.
Domestic Violence that occurs in East Flores Regency with most cases due to economic
problems in the household, and there is also a cheating factor due to the choice of each
partner so that domestic harmony fades. Based on the background above, the formulation
of the problem is as follows: (1) What are the forms of violence against women in the
household in East Flores Regency related to Law Number 23 of 2004 concerning the
Elimination of Domestic Violence? (2) What is the legal protection for victims of Domestic
Violence cases according to Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of
Domestic Violence?
This research was conducted in East Flores County at the East Flores Resort
Police. This research is an empirical legal research, which is carried out by looking at the
reality that exists in field practice. This approach is also known as the sociological
approach that is carried out directly into the field. The data were analyzed in a descriptive-
qualitative manner.
Based on the results of research that has been carried out, it was obtained that:
(1) The forms of domestic violence that occur in East Flores Regency include: (a) physical
violence: physical violence that occurs such as husband molesting a wife by being beaten
with his bare hands or using a blunt object. (b) psychic violence: in the form of abusive
words from the husband towards the wife such as insults, insults, and threats to kill the
victim. (c) sexual assault: in the form of the victim being forced to have sex but the victim
refuses, eventually the perpetrator is emotional and squeezes and beats the victim's vitals
until it bleeds. (d) domestic neglect: in the form of not being given costs that should be
borne by the perpetrator for the survival of the victim or and restrictions or prohibitions
that cause economic dependence. (2) Legal protection for victims of Domestic Violence
cases according to Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic
Violence, including: (a) temporary protection, (b) establishment of protection orders by the
court, (c) provision of special service rooms at police stations, (d) provision of safe houses
or alternative residences, (e) provision of legal consultations by advocates regarding
information on victims' rights and judicial processes, (f) the assistance of advocates at the
level of investigators, prosecutions, and examinations in court hearings. The author's
suggestion is that considering that domestic violence is a crime that violates human rights,
especially women as victims, it is hoped that the government and local law enforcement
officials will carry out legal socialization for the community and assistance efforts for
victims of domestic violence.

Keywords: Forms of Domestic Violence, Legal Protection of Victims of Domestic


Violence.

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan karunia-

Nya sehingga penulis berhasil manyelesaikan penulisan Skripsi ini dengan judul

“Kajian Hukum Pidana Atas Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan

Ditinjau dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Kabupaten Flores Timur)”. Skripsi ini

disusun sebagai salah satu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum di Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan Skripsi hingga dapat

diselesaikan tepat pada waktunya berkat bantuan serta dukungan dari berbagai piahk

oleh karena itu pada kesempatan ini dari lubuk hati yang paling dalam penulis

menyampaikan terima kasih dan secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Nusa Cendana, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc.

beserta jajarannya yang telah menerima saya sebagai mahasiswa di Fakultas

Hukum, Universitas Nusa Cendana Kupang.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Dr. Reny R. Masu,

S.H.,M.H. yang telah memberikan perhatian kepada penulis sehingga dapat

menyekesaikan studi.

3. Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dr. Jeffry A. Ch.

Likadja, S.H.,M.H.,CIQaR. yang telah memberikan perhatian kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan studi.


ix
4. Wakil Dekan II Dr. Saryono Yohanes, S.H., M.H. yang telah memberikan

perhatian kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.

5. Koordinator Program Studi Ilmu Hukum, Dr. Rudepel Petrus Leo,

S.H.,M.Hum. yang telah memberikan perhatian kepada penulis hingga dapat

menyelesaikan studi.

6. Dosen Penasehat Akademik Dr. Aksi Sinurat, S.H.,M.Hum. yang telah

mendorong penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

7. Pembimbing I, Nikolas Manu, S.H.,M.H. yang telah memberikan bimbigan

kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

8. Pembimbing II, Rosalind Angel Fanggi, S.H.,M.H. yang telah memberikan

bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

9. Penguji Utama, Deddy R. Ch. Manafe, S.H.,M.Hum. yang sudah memberikan

arahan, masukkan dan bimbingan kepada penulis.

10. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang, yang

telah dengan tulus memberikan berbagai ilmu pengetahuan kepada penulis.

11. Para Staf Kependidikan yang telah melayani penulis selama mengikuti

Pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

12. Kapolres Kepolisian Resor Flores Timur, AKBP I Gede Ngurah Joni

Mahardika, S.H.,S.I.K.,M.H. beserta seluruh Staf yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian dan membantu saya

selama melakukan penelitian.

x
13. Almamater tercinta, FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS NUSA

CENDANA, Kupang, yang telah memberi wadah pembelajaran dan

pelayanan yang baik guna terciptanya mahasiswa yang berguna dan

pembawa berkat bagi bangsa dan negara.

14. Teman-teman seperjuangan saya di Kelas A (FOLGOS A), Angkatan 2018,

yang sudah menolong saya secara moril sehingga saya boleh menyelesaikan

penulisan Skripsi ini.

15. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-per-satu, dalam mendoakan dan

mendukung saya dalam proses studi.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih, atas kekurangan dan kelebihannya

mohon dimaafkan yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini ke depannya bisa

bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin

Kupang, 5 April 2023

Penulis

xi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................................. ii


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................... iv
MOTO ............................................................................................................................... v
LEMBAR PERSEMBAHAN............................................................................................ vi
ABSTRAK ......................................................................................................................... vii
ABSTRACT....................................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 6
1.3 Keaslian Penelitian ............................................................................................ 6
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .......................................................... 8
1.5 Metode Penelitian .............................................................................................. 9
1.5.1 Jenis Penelitian.................................................................................... 9
1.5.2 Aspek-aspek yang Diteliti ................................................................... 9
1.5.3 Metode Pendekatan ............................................................................. 10
1.5.4 Lokasi Penelitian ................................................................................. 10
1.5.5 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 10
1.5.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 12
1.5.7 Responden........................................................................................... 14
1.5.8 Teknik dan Analisis Data .................................................................... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 16


2.1 Tinjauan tentang Kekerasan dalam Rumah tangga ............................................. 16
2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ....................................... 16
2.1.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ................................. 18
2.1.3 Peraturan yang mengatur tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ..... 21

xii
2.2 Tinjauan tentang perlindungan hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga ........... 27
2.2.1 Pengertian Perindungan Hukum .......................................................... 27
2.2.2 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum ................................................... 27
2.2.3 Unsur-unsur Perlindungan Hukum ...................................................... 28
2.3 Kerangka Berpikir ............................................................................................ 29

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................... 31


3.1 Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga di
Kabupaten Flores Timur terkait Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ............................. 31
3.2 Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Terkait Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga ....................................................................... 51
3.2.1 Perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ................................... 51
3.2.2 Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga Oleh Polres Flores Timur (Khusunya pada Unit
PPA) ................................................................................................... 61

BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 73

4.1 KESIMPULAN ................................................................................................. 73


4.2 SARAN ............................................................................................................. 75

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 77


LAMPIRAN ...................................................................................................................... 81
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................... 89

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sistem hukum nasional belumlah tertata secara menyeluruh dan terpadu dengan

mengakui dan menghormati budaya, norma agama dan hukum adat yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat, walaupun Indonesia sudah masuk dalam era

keterbukaan seperti sekarang ini. Khusus dalam persoalan ideologi gender dan

budaya patriarki, cenderung terjadi pembedaan peran sosial di antara laki-laki dan

perempuan.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan

damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Kekerasan dalam

rumah tangga sebagian masyarakat menganggap sebagai masalah privat karena hal

itu merupakan persoalan pribadi. Hal ini perlu terus ditumbuh kembangkan dalam

rangka membangun keutuhan rumah tangga. Akibat dari patriarki ini, laki-laki

sebagai kepala rumah tangga yang memiliki kekuasaan cenderung menindas

perempuan dan anak sebagai yang lemah. Disini kita melihat bahwa pihak yang

mendapat kekerasan adalah anak dan perempuan, namun dalam penelitian ini lebih

berfokus pada kekerasan yang menempatkan perempuan sebagai unsur utamanya.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau domestic violence merupakan

kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini sering terjadi

dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan

1
dekat oleh korban.1 Keluarga dan kekerasan sekilas seperti sebuah paradox.

Kekerasan bersifat merusak, berbahaya dan menakutkan, sementara di lain sisi

keluarga diartikan sebagai lingkungan kehidupan manusia, merasakan kasih sayang,

mendapatkan pendidikan, pertumbuhan fisik dan rohani, tempat berlindung,

beristirahat, yang diterima anggota keluarganya. Kerugian korban tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga tidak saja bersifat material, tetapi juga immaterial

antara lain berupa goncangan emosional dan psikologis, yang langsung atau tidak

langsung akan mempengaruhi kehidupannya.

Meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini disebabkan

oleh beberapa faktor, faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki, dalam halaman ini

laki-laki menganggap dirinya sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan

wanita sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita, faktor diskriminasi

dan pembatasan di bidang ekonomi, dalam hal ini diskriminasi dan pembatasan

kesempatan bagi istri bekerja mengakibatkan istri berketergantungan terhadap suami.

Alasan mendasar yang biasa dikemukakan oleh pelaku kekerasan dalam rumah

tangga adalah kekerasan tersebut dilakukan dengan tujuan agar istri atau anaknya

menjadi tertib atau sebagai suatu pembelajaran kepada keluarganya. Faktor terakhir

adalah peradilan pidana pada laki-laki, dalam hal ini posisi wanita sebagai istri dalam

rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya diterima sebagai

1
Komnas Perempuan, Menemukenali Kekerasan Dakam Rumah Tangga (KDRT),
https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-
rumah-tangga-kdrt, diakses pada tanggal 21 Juni 2021

2
pelanggaran hukum sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup dan

ada juga yang menempuh jalan damai. 2

Dengan semakin banyaknya kasus dan menjadi korban kebanyakan adalah kaum

wanita maka pada tanggal 22 September 2004 pemerintah mengesahkan Undang-

Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lahirnya Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini

diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat

sehingga terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat. Harapan undang-undang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah masyarakat luas lebih

melaksanakan hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah tangganya sesuai dengan

dasar agama yang dianutnya.

Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2021 mencatat sejumlah 229.911 kasus

kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020. Jumlah kasus yang tercatat ini

berkurang secara signifikan jika dibandingkan CATAHU 2020 yang mencatat

sebanyak 431.471 kasus. Menurunnya jumlah kasus dalam CATAHU 2021 lebih

mereflesikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan yang

terjadi. Sekitar 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa

terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Jumlah pengaduan ke

Komnas Perempuan pada tahun 2020 meningkat drastis sebesar 60%, yaitu dari

1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Bertambahnya jumlah

2
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT Kenali
Faktor Penyebabnya, https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-
kdrt-kenali-faktor-penyebabnya, diakses pada tanggal 25 Juni 2021.

3
pengaduan ke Komnas Perempuan juga menunjukkan kerentanan terjadinya

kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19.3

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di provinsi Nusa Tenggara

Timur cukup tinggi. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan kasus

kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak dan perempuan mengalami

peningkatan hingga menembus 564 kasus pada tahun 2020. Kasus kekerasan

terhadap anak dan perempuan yang terjadi di tahun 2019 jumlahnya di bawah 564

kasus. Sedangkan khusus untuk kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) di NTT

sendiri ada 31 kasus, Januari-Agustus 2020, didominasi orang dekat yang memiliki

hubungan keluarga dengan para korban. Hal ini terjadi karena budaya patriarki yang

selalu menempatkan perempuan nomor dua dalam keluarga dan masyarakat

dibandingkan dengan laki-laki.

Untuk melihat faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan di Provinsi NTT

tidak biasa digeneralisir karena setiap daerah memiliki adat dan budaya yang

berbeda-beda walaupun sama-sama mengandung budaya patriarki. Oleh karena itu

kajian ini akan memulai dengan daerah yang paling luas di Provinsi NTT yaitu pulau

Flores, khusunya di Kabupaten Flores Timur yang terkenal akan adat istiadatnya,

suku, dan keindahan alamnya. Kabupaten Flores Timur memiliki keberagaman suku

dan agama serta tingkat toleransi yang tinggi dimana hal tersebut merupakan ciri

khas bangsa Indonesia. Terlepas dari penjelasan di atas, Kabupaten Flores Timur

juga menunjukkan angka Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang cenderung

meningkat dari tahun ke tahun.

3
CATAHU 2021 Komnas Perempuan, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Dispensasi Perkawinan Melonjak
Selama Pandemi,https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/catahu-2021-komnas-perempuan-kekerasan-
terhadap-perempuan-dan-dispensasi-perkawinan-melonjak-selama-pandemi, diakses pada tanggal 5 November 2021

4
Tabel 1. Jumlah KDRT Tahun 2018-2021
di Wilayah Kabupaten Flores Timur

No Tahun Jumlah Kasus KDRT

1. 2018 4 kasus

2. 2019 6 kasus

3. 2020 11 kasus

4. 2021 8 kasus

5. 2022 8 kasus

Total 37 kasus

Sumber: Unit PPA Sat Reskrim Polres Flores Timur,


Tanggal 16 Agustus 2022

Dari Tabel 1, berdasarkan data yang diterima dari Unit Perlindungan Anak dan

Perempuan atau Unit PPA Sat Reskrim Kepolisian Resort Flores Timur dari tahun

2018 hingga 2022 ada sekitar 37 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi

di Kabupaten Flores Timur dengan kebanyakan kasus dikarenakan permasalahan

ekonomi dilingkup rumah tangga, dan ada juga faktor selingkuh dikarenakan pilihan

pasangan masing-masing sehingga keharmonisan rumah tangga menjadi luntur dan

menimbulkan kekerasan dalam berumah tangga.

Dalam penelitian ini, kekerasan yang menjadi kajian utama akan dikhususkan

pada kekerasan dalam rumah tangga pada perempuan, karena kekerasan dalam

rumah tangga merupakan fenomena global yang terjadi sepanjang abad kehidupan

manusia, dan terjadi di semua Negara. Bentuk kekerasan tersebut bermacam-macam

5
dalam semua aspek kehidupan, baik di bidang sosial budaya, politik, ekonomi,

maupun pendidikan yang umumnya korban adalah perempuan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dikemukakan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di

Kabupaten Flores Timur terkait Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban kasus Kekerasan Dalam

Rumah Tangga menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

1.3 Keaslian Penelitian

Pada penelitian ini, penulis mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu

yang memilki relevansi atau keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan sebagai

berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Indah Susanty dan Nur Julqurniati

dengan judul “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (Studi

kasus di kota Larantuka Kabupaten Flores Timur”.4 Rumusan Masalah: (1)

Apa saja bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga

yang terjadi pada masyarakat di Kota Larantuka Kabupaten Flores Timur? (2)

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan

4
Susanti Dewi, Julqurniati Nur, “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga ( Studi Kasus Di Kota
Larantuka Kabupaten Flores Timur)”, Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 8 NO. 2, (
2019).

6
dalam rumah tangga yang terjadi pada masyarakat di Kota Larantuka

Kabupaten Flores Timur? (3) Bagaimana upaya pencegahan kekerasan

terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat di Kota

Larantuka Kabupaten Flores Timur? Jurnal Sosio Konsepsia Vol. 8, No. 02,

Kupang, 2019.

2. Penelitian dengan judul “Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam

Rumah Tangga Terhadap Perempuan”. Rumusan Masalah: (1) Apa saja faktor

penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga? (2) Bagaimana dampak

terhadap psikologis perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga? (3)

Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga? (4) Bagaimana upaya

penanganan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga?5

Jurnal Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat ( JPPM ) Vol. 2, No. 1,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, 2021.

3. Penelitian dengan judul, “Perlindungan Hukum Terhadap Istri Akibat Korban

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kepolisian Resor Cilacap Perspektif

Undang-undang PKDRT”. Rumusan Masalah: (1) Bagaimana perlindungan

hukum terhadap istri korban kekerasan dalam rumah tangga? (2) Bagaimana

tindakan Kepolisian Resor Cilacap dalam menangani korban istri dalam

kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan Undang-Undang PKDRT?

Skripsi S1 atas nama Inayah Kholifatul Khasanah, Program Studi Hukum

Keluarga Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Prof. K. H.

Saifuddin Zuhri Purwokerto, 2021.

5
Alimi Rosma, Nurwati Nunung, “Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap
Perempuan”, Jurnal Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat, Vol. 2 No. 1, (2021).

7
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam

rumah tangga di Kabupaten Flores Timur terkait Undang-undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban kasus Kekerasan

Dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2. Manfaat Penelitian:

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum,

khususnya terkait dengan pengembangan kajian hukum pidana dan kepada

masyarakat untuk lebih mengetahui dan mengatasi kekerasan terhadap

perempuan dalam rumah tangga.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini berguna sebagai bahan referensi bagi

pembaca dan calon peneliti lain yang akan meneliti lebih lanjut tentang

masalah yang sama dan juga memberikan informasi sebagai pertimbangan

ataupun saran yang berfungsi sebagai masukan baik bagi masyarakat luas

maupun bagi instansi atau lembaga terkait dalam hubungan dengan

permasalahan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan yang terus

terjadi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Flores Timur.

8
1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini digunakan jenis penelitian yuridis empiris, yaitu sebagai

usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau

sesuai kenyataan yang dialami masyarakat. Penelitian menekankan pada

pengkajian hukum pidana dalam kekerasan rumah tangga terhadap perempuan

di Kabupaten Flores Timur.

1.5.2 Aspek-aspek yang Diteliti

1. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di

Kabupaten Flores Timur, dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Kekerasan fisik,

b. Kekerasan psikis,

c. Kekerasan seksual,

d. Penelantaran rumah tangga.

2. Perlindungan hukum terhadap korban kasus kekerasan dalam rumah

tangga, dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Perspektif Hukum Pidana.

b. Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

c. Perspektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

9
1.5.3 Metode Pendekatan

1. Populasi

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah komponen yang

terkait dengan sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian, yang

daripadanya terkandung informasi yang ingin diketahui. 6 Adapun yang

menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu Kajian hukum pidana atas

kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan ditinjau dari undang-

undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

rumah Tangga.

2. Pendekatan Sampel

Pendekatan sampel adalah suatu kegiatan mengambil sebagian dari

populasi (sampel), untuk mengumpulkan data dan penelitiannya. Metode

yang dipakai dalam penelitian ini bertujuan untuk mengambil beberapa

fenomena yang terjadi sehingga peneliti mampu mengkaji masalah

Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Perempuan ditinjau dari Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah tangga.

1.5.4 Lokasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian di Kabupaten Flores Timur dengan

mengambil beberapa sampel dari beberapa titik yang strategis terkait dengan

kekerasan dalam rumah tangga.

1.5.5 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua jenis data yaitu:


6
Ibrahim Andi,dkk, Metodologi Penelitian, Gunadarma Ilmu, 2018, hlm 30.

10
1. Data Primer

Penelitian ini akan digunakan data yang dikumpulkan sendiri oleh

peneliti. Data yang berasal dari sumber data yang utama yang berwujud

tindakan-tindakan atau kata-kata dari pihak responden. Bahan hukum

primer terdiri dari peraturan perundang-undangan dan segala dokumen

resmi yang memuat ketentuan hukum.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang sudah ada atau data yang

dikumpulkan orang lain. Dengan perkataan lain, data sekunder merupakan

data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu studi kepustakaan atau

buku bacaan, artikel dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti dan dari kekuatan sudut mengikatnya

digolongkan kedalam:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah bahan

hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai sifat memaksa.

Bahan hukum primer bersumber dari peraturan perundang-

undangan,catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum

primer yang digunakan sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

11
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian

ini adalah buku-buku ilmiah di bidang hukum, jurnal ilmiah,

laporan ilmiah dan artikel ilmiah yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang ditangani.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang

digunakan meliputi:

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;

2) Kamus hukum; dan

3) Situs internet yang berkaitan dengan kajian dalam

penulisan ini.

1.5.6 Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari bahan tertulis

berupa buku-buku dan peraturan perundang-undangan untuk

mendapatkan gambaran dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan

dengan penelitian ini. 7

7
Ibid, hlm 32.

12
2. Wawancara

Wawancara adalah suatu cara mendapatkan informasi dengan cara

bertanya kepada reponden. Jenis wawancara yang penulis gunakan adalah

wawancara bebas terpimpin dan bebas terstruktur dengan menggunakan

paduan pertanyaan yang berfungsi sebagai pengendali agar proses

wawancara tidak kehilangan arah.

Metode wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi

dengan bertatap muka secara fisik dan bertanya jawab dengan korban,

pelaku, dan pihak yang terkait dalam penelitian ini.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang berwujud pada

sumber data tertulis atau gambar. Sumber tertulis atau gambar berbentuk

dokumen resmi, buku, majalah, arsip, dokumen pribadi dan foto yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian.

13
1.5.7 Responden

Penelitian dengan judul kajian hukum pidana atas kekerasan dalam rumah

tangga terhadap perempuan ditinjau dari Undang-undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga. Memiliki

responden diantaranya sebagai berikut:8

1) Korban (Istri) : 3 orang

2) Pelaku : 3 orang

3) Keluarga pelaku : 2 orang

4) Keluarga Korban : 2 orang

5) Aparat Kepolisian : 2 orang

Jumlah : 12 orang

1.5.8 Teknik dan Analisis Data

1. Teknik Data

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan tahap-tahap sebagai

berikut:

a. Editing: mengedit dan menyempurnakan data yang diperoleh dari

responden.

b. Coding: mengklarifikasi, memberi tanda pada data atau informasi

terhadap jawaban responden agar memudahkan analisis.

c. Tabulasi: memindahkan data ke dalam tabel sederhana guna

memudahkan kegiatan analisis.

8
Ibid, hlm 34.

14
2. Teknik Data

Data yang telah diperoleh, dianalisis secara deskriptif kualitatif,

yaitu dengan cara menguraikan atau menjabarkan atau menjelaskan

berbagai informasi yang diperoleh guna menjawab permasalahan

penelitian.

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tinjauan tentang KDRT

1.1.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah pelanggaran hak asasi

manusia dan merupakan kejahatn terhadap martabat manusia serta

diskriminasi. 9 Tindakan kekerasan terhadap korban dalam lingkup rumah

tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang sering kali terjadi pada

korban kekerasan rumah tangga dan tindakan ini seringkali dikaitkan dengan

penyiksaan baik fisik psikis yang dilakukan oleh pelaku dimana yang menjadi

korban dalam tindak pidana KDRT tersebut adalah orang-orang yang

mempunyai hubungan dekat dengan pelaku.

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004,

disebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.

Mengacu pada Undang-Undang PKDRT, tidak semua tindak KDRT

termasuk delik aduan. Beberapa tindak KDRT dapat dikategorikan sebagai

delik biasa. KDRT yang merupakan delik aduan diatur dalam Pasal 51, Pasal

52 dan Pasal 53 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

9
Aroma Elminta Marta, Perempuan, Kekerasan dan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 21.

16
Dalam Rumah Tangga.10 Menurut pasal-pasal ini, tindak pidana KDRT yang

termasuk delik aduan meliputi: Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan

oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau

kegiatan sehari-hari; Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh

suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau

kegiatan sehari-hari; Tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan

hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.

Selain ketiganya, tindak KDRT yang lain termasuk dalam delik biasa.

Istilah delik memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Dalam

hukum pidana, berdasarkan tata cara pemrosesannya, tindak pidana dapat

dibedakan menjadi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah tindak

pidana yang penuntutannya hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari

korban atau orang yang dirugikan. Sementara itu, delik biasa adalah delik yang

tidak memiliki kekhususan atau tidak mempersyaratkan adanya pengaduan

untuk penuntutannya. Didalam delik aduan terbagi dalam dua jenis yaitu delik

aduan absolut (absolute klacht delict) dan delik aduan relatif (relative klacht

delict). Delik aduan absolut adalah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang

hanya akan dapat diadukan penuntutan oleh penuntut umum apabila telah

diterima aduan dari yang berhak mengadukannya. Kejahatan-kejahatan yang

termasuk dalam jenis delik aduan absolut seperti: kejahatan penghinaan (Pasal

10
Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.

17
310 s/d 319 KUHP), kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dan

Pasal 332 KUHP). Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang

dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus

terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan, pengertian

delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah

merupakan suatu (voorwaarde van vervolgbaarheir) atau suatu syarat untuk

dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan

orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus.

Mengacu pada kepada pengertian KDRT diatas, sebagaimana tertera pada

penjelasan umum alinea kelima Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004,

terlihat bahwa KDRT sesungguhnya merupakan salah satu bentuk dari

pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta

bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Dilihat dari korbannya, ternyata

menunjukkan bahwa korban KDRT kebanyakan adalah perempuan. 11 Motif-

motif utama munculnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga ini

sering disebabkan oleh masalah seksualitas dan gender, serta adanya

ketergantungan seorang perempuan terhadap pihak laki-laki dalam keluarga. 12

1.1.2 Bentuk-bentuk KDRT

KDRT menurut Pasal 5 Undang-Undang PKDRT dibagi menjadi 4

(empat) bentuk, yaitu; kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan

11
Saptosih Ismiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) & Hak Asasi Manusia (HAM) (Sebuah Kajian
Yuridis), CV Budi Utama, Yogyakarta, 2020, hlm. 4.
12
Nur Iman Subono, Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2000, hlm.
102.

18
penelantaran rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk kekerasan tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut :13

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang dimaksudkan

untuk menimbulkan rasa sakit kepada korban. Kekerasan fisik ini dapat

berupa dorongan, cubitan, tendangan, pemukulan dengan alat pemukul,

siraman dengan zat kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan.

Kekerasan fisik ini kadang diikuti oleh kekerasan seksual, baik itu berupa

serangan terhadap alat seksual maupun berupa persetubuhan paksa.

Moerti Hadiati Soeroso merangkum bentuk kekerasan fisik ini ke dalam 3

(tiga) kelompok, yaitu; kekerasan pembunuhan, penganiayaan, dan

perkosaan. Akibat dari kekerasan fisik dapat berupa luka ringan, luka

sedang, luka berat, maupun kematian. Adapun definisi kekerasan fisik

dalam Pasal 6 Undang-Undang PKDRT adalah sebagai berikut :

“Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah

perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan yang menyerang atau

ditujukan kepada psikis (mental atau kejiwaan) seseorang, baik itu berupa

penghinaan, komentar yang ditujukan untuk merendahkan martabat

seseorang, larangan, maupun ancaman. Pasal 7 Undang-Undang PKDRT

memberikan pengertian kekerasan psikis, sebagai berikut : “Kekerasan

13
Susanti Dewi, Julqurniati Nur, “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga ( Studi Kasus Di Kota
Larantuka Kabupaten Flores Timur)”, Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 8 NO. 2, (
2019).

19
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan

yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan

psikis berat pada seseorang.”

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual,

baik itu telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan

hubungan antara korban dan pelaku. Kekerasan seksual perlu dibedakan

dengan kekerasan fisik karena kekerasan seksual tidak sekadar melalui

perilaku fisik. Kekerasan Seksual dalam Pasal 8 Undang-Undang PKDRT

adalah kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c

meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu.

4. Penelantaran Rumah Tangga

Penelantaran rumah tangga dalam Pasal 9 Undang-Undang PKDRT

adalah :

a) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau

20
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

b) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku

bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi

dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang

layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di

bawah kendali orang tersebut.

Penelantaran rumah tangga ini erat kaitannya dengan ekonomi, baik itu

berupa tidak diberikan biaya yang seharusnya ditanggung oleh pelaku

demi kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan atau larangan

yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Misalnya, suami melarang

istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak

memberikan uang belanja.

1.1.3 Peraturan yang mengatur tentang KDRT

Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Berkenan dengan

kategori KDRT sebagai bentuk diskriminasi, hal ini secara khusus dapat

dikaitkan dengan posisi rentan perempuan baik dewasa maupun anak, dalam

keluarga. Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

(PKDRT) dengan demikian dapat dipandang sebagai intervensi Negara untuk

mengoreksi bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang muncul di

masyarakat dalam wujud KDRT.

21
Pasal 44 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

memuat ketentuan pidana berupa sanksi antara lain:14 (1) “Setiap orang yang

melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga

sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima

belas juta rupiah”. (2) “Dalam hal ini perbuatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak

Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)”. (3)“Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling

banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)”. (4) Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau

sebaliknya yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak

Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.

Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga

dalam Undang-Undang ini terbilang berat dibanding dengan KUHP yang

menjatuhkan sanksi rata-rata dibawah 5 (lima) tahun untuk tindak

penganiayaan pasal 44 ayat (4) diatas merupakan tindak pidana aduan. Jadi

penyidik tidak dapat menahan pelaku kekerasan dalam rumah tangga tanpa

adanya pengaduan.
14
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

22
Pasal 26 Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

membenarkan laporan korban baik di kantor polisi maupun di tempat kejadian

perkara. Korban juga dapat memberikan kuasa kepada orang lain untuk

melakukan pelaporan atas kejadian yang menimpanya. Dengan demikian

korban tidak selalu harus pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan

disaat kondisi korban tidak memungkinkan untuk melapor.15

Pasal 55 Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

membuktikan cukup dengan keterangan saksi korban dan 1 alat bukti yang sah.

Pembuktian semacam ini memang lebih memudahkan korban di dalam proses

peradilan mengingat sulitnya mendapatkan bukti-bukti kekerasan dalam rumah

tangga. Pada umunya pihak pelaku telah mengantisipasi proses hukum dengan

menghilangkan barang bukti yang akan meringankan dirinya.

Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(PKDRT) ini diatur mengenai hak-hak korban, yaitu terdapat dalam Pasal 10 di

antaranya mendapat perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara

khusus dan pendampingan oleh pekerja sosial, korban mempunyai hak-hak

sebagai berikut:16 (1) “Mendapatkan ganti rugi atas penderitannya”. (2)

“Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena

tidak memerlukannya”. (3) “Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli

warisnya bila pihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut”. (4)

“Mendapat pembinaan dan rehabilitasi”. (5) “Mendapat hak miliknya

kembali”. (6) “Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila

15
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
16
Arif Gosita, Kedudukan Korban di Dalam Tindak Pidana, dalam Masalah Korban Kejahatan, CV Akademika
Pressindo, Jakarta, 1993, hal 63.

23
melapor dan menjadi saksi”. (7) “Mendapatkan bantuan penasihat hukum”. (8)

“Mempergunakan upaya hukum”.

Dengan adanya pasal yang memuat tentang hak-hak korban ini maka

diharapkan korban kekerasan dalam rumah tangga akan mendapat

perlindungan dari negara dan/atau masyarakat sehingga tidak mengakibatkan

dampak traumatis yang berkepanjangan. Sesuai dengan konsideran UU

Penghapusan KDRT, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan

perempuan harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar

terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan,

atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Selain

mengatur tentang hak-hak korban, dalam UU Penghapusan KDRT ini pun

mengatur tentang perlindungan terhadap korban kekerasan yang diberikan oleh

kepolisian bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan

pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban (Pasal

17).

Setiap saksi dan korban dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT), berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan

Pasal 5 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Selain itu saksi dan korban tentunya juga berhak mendapat

perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terutama

saksi dan korban KDRT yang menghadapi situasi yang sangat mengancam

jiwanya karena pelaku adalah orang terdekatnya. Hak yang diperoleh korban

24
KDRT sesuai dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban adalah sebagai berikut :

1. Saksi dan Korban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. dirahasiakan identitasnya;

j. mendapat identitas baru;

k. mendapat tempat kediaman sementara;

l. mendapat tempat kediaman baru;

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan;

n. mendapat nasihat hukum;

25
o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

Perlindungan berakhir; dan/atau

p. mendapat pendampingan.

2. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi

dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan

Keputusan LPSK.

3. Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada

Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat

memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara

pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan

tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan

dengan tindak pidana. Seperti diketahui, Kekerasan Dalam Rumah

Tangga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Ketentuan undang-undang tersebut telah mengatur sejumlah delik

pidana yang dapat terjadi dalam tindakan KDRT. Dengan demikian,

setiap saksi dan korban dalam tindak pidana KDRT, berhak

memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5, Pasal 6

dan Pasal 7 dalam UU 31/2014, dan tentunya berhak mendapat

perlindungan dari LPSK, terutama saksi dan korban kekerasan dalam

rumah tangga yang menghadapi situasi kondisi yang tidak biasa.

26
1.2 Tinjauan tentang perlindungan hukum KDRT

1.2.1 Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada

masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya

hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan

rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai

ancaman dari pihak manapun. Pemaknaan kata perlindungan secara

kebahasaaan tersebut memilki kemiripan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan

melindungi, unsur cara-cara melindungi.

1.2.2 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum

Hukum pidana sebagai hukum yang dibuat untuk mengatur ketertiban

dalam masyarakat pada dasarnya memiliki dua bentuk perlindungan hukum

yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Kedua

bentuk perlindungan hukum tersebut dalam persfektif hukum pidana pada

dasarnya merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Adanya keterkaitan antara

bentuk perlindungan hukum dengan kebijakan kriminal. Untuk menegakkan

hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari peran negara sebagai institusi yang

kewenangannya dapat mengaktifkan penegakan hukum pidana dalam

masyarakat.17

17
Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Dipanegoro, Semarang, 1998. Hal 73.

27
1.2.3 Unsur-unsur Perlindungan Hukum

Terdapat unsur-unsur dalam perlindungan hukum yaitu: Unsur pertama

perlindungan hukum adalah adanya perlindungan dari pemerintah kepada

warganya. Unsur kedua perlindungan hukum yaitu jaminan kepastian

hukum. Unsur ketiga perlingungan hukum yaitu berkaitan dengan hak-hak

warga negara. Unsur keempat perlindungan hukum yaitu adanya sanksi hukum

bagi pihak yang melanggarnya.

28
1.3 Kerangka Berpikir

Kajian Hukum Pidana atas kekerasan dalam


Rumah Tangga Terhadap perempuan ditinjau dari
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga
(Studi kasus Kabupaten Flores Timur)

Bentuk-bentuk Kekerasan Perlindungan Hukum terhadap


Dalam Rumah Tangga Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga

Kekerasan Kekerasan Perspektif Hukum Pidana


Fisik Psikis

Kekerasan Penelantaran
Perspektif Undang-Undang
Seksual Rumah Tangga
Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga

Perspektif Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban

Menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam rumah tangga terdapat bentuk kejahatan Yaitu kejahatan fisik, psikis, kekerasan

seksual dan penenlantaran rumah tangga jika dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya kekerasan dalam rumah. Perlu ada upaya penanggulangan yaitu bentuk:

29
a. Represif

Upaya ini biasa dilakukan setelah terjadinya kejahatan dengan

memberikan tindakan dalam bentuk persuasif dan juga biasanya

memberikan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan.

b. Preventif

Upaya preventif sangat berpengaruh dalam penanggulangan kejahatan

kekerasan seksual dalam rumah tangga untuk mencegah terjadinya

kejahatan di masa yang akan datang dengan memmenuhi faktor kondusif

yang melatarbelakangi sebuah kejahatan. Upaya ini bisa dilakukan dalam

bentuk sosialisasi dan lain sebagainya.

c. koersif

Upaya ini memiliki peran yang sangat penting terlebih kepada korban,

perlu ada rehabilitasi terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

30
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Di

Kabupaten Flores Timur Terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, dan perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan ini sering terjadi pada

orang-orang yang berhubungan dekat, suami-istri, atau anggota keluarga. Patut

dipertimbangkan siapa yang paling berinisiatif diantara pasangan dalam rumah

tangga untuk melakukan tindak kekerasan, termasuk juga adanya skala perbedaan

dalam kekuatan fisik dan kemampuan antara suami-istri dan tingkat keseriusan dalam

menggunakan kekuatan fisik. Harus dapat dibedakan apakah tindak kekerasan

tersebut dimaksudkan untuk membela diri atau menyerang. Kebanyakan perempuan

menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berhubungan dekat

dengan mereka. Kekerasan dalam rumah tangga umumnya dilakukan oleh laki-laki

terhadap perempuan, umumnya kekerasan oleh suami terhadap istri.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga semakin marak terjadi di dalam

masyarakat, rata-rata yang menjadi korbannya adalah perempuan (istri). Para korban

yang mengalami kekerasan pun dituntut agar mampu memperjuangkan haknya. Istri

sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga harus mengetahui dan memahami

31
betul tentang undang-undang kekerasan dalam rumah tangga sehingga jika istri

mengalami kekerasan maka ia dapat melaporkan atau mengadukannya kepada pihak

yang berwajib dan mendapat perlindungan dari aparat yang berwajib, jika istri tidak

memahami sama sekali tentang adanya undang-undang ini maka sangat fatal

akibtnya, istri akan secara terus menerus mengalami kekerasan dalam rumah tangga

dan tidak tahu kemana harus mengadukanya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 1 angka

(1) menyebutkan bahwa:

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga berkaitan dengan proses penyelesaian

kekerasan dalam rumah tangga yang mana dalam Undang-Undang PKDRT

tersebut dikatakan bahwa kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah

tangga merupakan delik aduan,18 maka untuk dapat diselesaikannya perkara

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga harus didasarkan pada adanya aduan

terlebih dahulu yang dibuat oleh korban atau berdasarkan laporan yang diberikan

18
Kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga merupakan delik aduan yang mana ketentuannya
terdapat dalam Pasal 51, 52, 53 UU PKDRT.

32
oleh keluarga atau orang lain yang mendapat kuasa dari korban yang ditujukan

kepada pihak kepolisian. 19

Diketahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana

yang perlu diselesaikan secara hukum melalui sistem peradilan pidana dalam

mekanisme sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai Lex

Generalist dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai Lex Specialist penegakan hukum yang

diatur dalam hukum Indonesia.

Kekerasan dalam rumah tangga di Kabupatan Flores Timur semakin

meningkat dari tahun ke tahun, dengan rincian kasus sebagai berikut:

Tabel 2. Penanganan Kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Sat
Reskrim Polres Flores Timur dari Tahun 2018-2022

Tahun

No Jenis Kasus KDRT 2018 2019 2020 2021 2022

1 Kekerasan Fisik 4 5 9 6 8

2 Kekerasan Psikis - - 2 - -

3 Kekerasan Seksual - - - 1 -

4 Penelantaran Rumah 0 1 - 1 -
Tangga
Jumlah 4 6 11 8 8

Sumber Data: Unit PPA Sat Reskrim Polres Flores Timur, tanggal 16 Agustus 2022

Dari data di atas menunjukkan beragam jenis kasus KDRT yang terjadi di

Kabupaten Flores Timur. Di mana kasus KDRT pada tahun 2018 dengan angka 4

19
Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang PKDRT.

33
kasus. Pada tahun 2019 mengalami peningkatan dengan total angka 6 kasus

KDRT diantaranya kasus kekerasan fisik dan kasus penelantaran rumah tangga.

Sedangkan pada tahun 2020 KDRT mengalami peningkatan drastis dengan angka

11 kasus KDRT diantaranya kasus kekerasan fisik dan kekerasan psikis.

Peningkatan kasus pada tahun 2020 ini tidak terlepas dari dampak pandemi virus

Covid 19 yang menyebabkan tingkat kriminalitas di Kabupaten Flores Timur

meningkat, terkhususnya dalam lingkup rumah tangga seperti kasus KDRT

dimana tiap-tiap rumah tangga mengalami gangguan sosial dan gangguan

ekonomi. Terlepas dari itu, kasus KDRT di kabupaten Flores Timur mengalami

sedikit penurunan pada tahun 2021 dan 2022 dengan total angka 8 kasus, dimana

terdapat kekerasan fisik, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Data

di atas tersebut kembali dipertegas oleh Bapak Gabriel MD Boli selaku Kanit IV

Satreskrim Polres Flores Timur bahwa terdapat beberapa jenis kasus yang secara

tidak langsung membawa dampak buruk bagi para korban (istri). Adapun kasus

KDRT seperti kekerasan fisik yang tercatat dari tahun 2018 sampai dengan 2022

dengan jumlah 32 kasus. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara yang

dilakukan pada informan bahwa yang paling menonjol untuk kasus KDRT di

Kabupaten Flores Timur yaitu kekerasan fisik. Kekerasan fisik yang dialami oleh

para korban (istri) tersebut berupa tamparan, pemukulan baik menggunakan

tangan maupun benda tumpul lain seperti batu, helm, kayu, gagang sapu,

pencekikan, penjambakan rambut, dan penginjakan. Kekerasan tersebut sudah

berulang kali terjadi sehingga korban akhirnya memberanikan diri untuk melapor

kepada pihak kepolisian. Kekerasan psikis tercatat dari tahun 2018 sampai dengan

34
tahun 2022 dengan 2 kasus. Kekerasan psikis yang dialami korban (istri) tersebut

berupa cacian maki, hinaan, hingga adanya ancaman terhadap korban.

Penelantaran rumah tangga tercatat dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2022

dengan 2 kasus. Penelantaran rumah tangga yang dialami korban (istri) berupa

tidak dinafkahi seperti tidak diberikan uang belanja, jarang pulang ke rumah,

hingga tidak memberikan pendidikan kepada anak. Dan jenis kasus kekerasan

seksual yang tercatat jarang bahkan hampir tidak sering ditemukan dari tahun

2018 sampai dengan tahun 2022 hanya 1 kasus. Kekerasan seksual yang ditemui

terhadap korban (istri) berupa pemaksaan melakukan hubungan intim hingga

akhirnya memukul alat kelamin korban.

Jumlah kasus KDRT yang ditangani oleh Polres Flores Timur selama

kurun waktu 5 tahun terakhir menjadi pusat perhatian yang serius bagi Polres

Flores Timur khsusnya Unit PPA Satreskrim Polres Flores Timur. Hal ini

menunjukkan bahwa kinerja dari Unit PPA Sat Reskrim Polres Flores Timur ini

menjalankan setiap tugas dan tanggung jawab dengan baik dilihat dari

perbandingan kasus yang mulai sedikit berkurang pada kurun waktu dua tahun

terakhir walaupun kasus KDRT di Kabupaten Flores Timur belum teratasi dengan

baik.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama Kanit IV Satrskrim Polres

Flores Timur Bapak Gabriel Md Boli mengatakan bahwa kasus KDRT berada dalam

Unit PPA yang kasusnya semakin marak, maka dari itu kepolisian khususnya di

Unit PPA bekerja maksimal sesuai dengan Undang-Undang agar masalah tersebut

bisa di atasi. Akan tetapi sebenarnya banyak kasus kekerasan yang terjadi, namun

35
para korban tidak berani mereka laporkan, disebabkan masih terikat dengan

budaya dan adat istiadat setempat dan tidak mau menyebarkan aib keluarga

karena efeknya akan diceraika. Para perempuan tersebut melapor hanya untuk

efek jera saja untuk pelaku/suami tetapi pada akhirnya laporan tersebut akan

dicabut dan diselesaikan secara kekeluargaan maupun adat. Kasus kekerasan

dalam keluarga termasuk banyak dan diperhatikan di wilayah hukum Polres

Flores Timur. Kanit Satreskrim Polres Flores Timur Bapak Gabriel Md Boli

mengatakan: “Untuk kasus kekerasan dalam keluarga terhadap istri di Kabupaten

Flores Timur ini cukup banyak dan menjadi perhatian utama bagi Polres kita,

sehingga kinerja anggota cukup di forsir dalam penyelesaian setiap kasusnya”.

Adapun bentuk-bentuk kasus KDRT yang peneliti temukan di Kabupaten

Flores Timur dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah suatu kekerasan yang terjadi secara nyata atau

dapat dilihat dan dirasakan oleh tubuh langsung. Kekerasan fisik perbuatan

yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat dan ini seringkali

meninggalkan bekas luka bagi penerima kekerasan atau korban tindak

kekerasan.20 Tindak pidana penganiayaan merupakan perlakuan sewenang-

wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain. Penganiayaan yang

mendatangkan rasa sakit atau luka pada badan atau anggota badan orang lain

merupakan tindakan melawan hukum. Luka berat berarti jatuh sakit atau

mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau

20
Pasal 6 Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

36
yang menimbulkan bahaya maut, tidak mampu terus-menerus untuk

menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian, kehilangan salah satu

pancaindera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya

daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya kandungan

seorang perempuan. 21

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kanit IV Satreskrim Polres Flores

Timur Bapak Gabriel MD Boli mengatakan bahwa KDRT yang terjadi di

Kabupaten Flores Timur lebih didominasi oleh kekerasan fisik dibandingkan

bentuk kekerasan KDRT lainnya.22 Beliau menyampaikan bahwa

berdasarakan laporan yang sering diterima oleh Unit PPA Satreskrim Polres

Flores Timur, kekerasan fisik yang terjadi dalam kasus KDRT tersebut

contohnya seperti suami aniaya istri dengan cara dipukul, ada yang dipukul

dengan tangan kosong dan ada juga yang dipukul dengan menggunakan benda

tumpul seperti helem, kayu, ember, selang air, gagang sapu, hingga korban

mengalami luka berat dan ada juga korban yang mengalami luka ringan.

Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa penyebab terjadinya

KDRT dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang pertama adanya usia

pernikahan dalam artian bahwa usia mereka yang belum matang dan

emosional atau ego satu sama lain masih tinggi. Yang kedua adanya

pernikahan yang bisa dibilang dikarenakan hamil terlebih dahulu baru

menikah dan dipaksakan oleh kedua keluarga untuk menutupi rasa malu yang

akibatnya pengenalan diri satu sama lain belum terlalu dekat atau belum

21
Pasal 90 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
22
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

37
terlalu dalam. Faktor yang ketiga yakni mengkonsumsi minuman keras, dalam

artian suami yang selalu konsumsi minuman keras di luar rumah sehingga

ketika berada dalam rumah ada kesalahpahaman sedikit dan dalam kedaan

mabuk tidak bisa mengontrol diri, akibanya terjadi kekerasan fisik hingga

mengalami luka berat. Yang keempat faktor kecemburuan dan perselingkuhan

yang sering dilaporkan oleh korban (istri) kepada pihak berwajib yang

ditangani oleh Unit PPA Polres Flores Timur, yakni adanya orang ketiga

dalam hubungan rumah tangga mereka dan kurangnya komunikasi yang baik

antara suami dan istri serta adanya sikap tertutup yang memicu terjadinya

konflik atau perseteruan hingga mengakibatkan kekerasan yang dilakukan

suami kepada istri. Faktor yang terakhir yakni faktor ekonomi, yakni istri

yang merasa kebutuhannya maupun kebutuhan rumah tangga yang tidak

mecukupi ditambah suami yang seringkali memakai uang untuk bermain judi

yang membuat istri marah dan menegur, akan tetapi hal itu ditanggapi dengan

emosi oleh suami sehingga menyebabkan pertengkaran dan berujung pada

kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya karena suami merasa

istrinya sebagai perempuan yang lemah dan menggantungkan hidup pada

penghasilan suami. Dari hasil wawancara peneliti bersama korban KDRT

(istri) dan keluarga korban, korban mengatakan bahwa “suami saya biasanya

memukul saya dengan cara ditampar, reste rambo (bahasa daerah larantuka

yang artinya tarik rambut/menjambak rambut), ditendang di bagian perut saya,

dan yang paling parah karena saya bertubuh kecil dia (pelaku/suami) angka

banti (bahasa daerah larantuka yang artinya angkat banting) saya sampai

38
badan saya sakit-sakitan”. 23 Kekerasan yang dialami korban terkadang

membuat korban merasa kesakitan hingga jalan satu-satunya korban

melaporkan perbuatan suaminya ke pihak berwajib dan untuk memberikan

efek jerah pelaku sempat ditahan di Polres Flores Timur hingga laporan

tersebut dicabut oleh korban (istri). Sedangkan dari pihak keluarga korban

yakni Ibu korban saat wawancara mengatakan bahwa “saya sebagai Ibu yang

melahirkan dia (korban/istri) dan membesarkan dia rasanya sakit hati bila

anak saya diperlakukan seperti itu. Saya dan keluarga merasa geram dengan

tindakan dia (pelaku/suami) yang sangat biadab, dan terkadang adik dia (adik

kandung korban) sempat bestori (bahasa larantuka yang artinya adu

mulut/ribut) dengan suami dia sampai hampir berkelahi dengan pelaku karena

tidak tega mendengar kakaknya/korban dipukul. Kami juga sempat berbicara

dengan dia lebih baik dia menceraikan suaminya itu (pelaku) demi kebaikan

bersama karena merasa rumah tangga dia sudah berantakan dan kami kasihan

karena dia sering mengalami KDRT”.24 Tetapi korban sendiri tidak ingin

bercerai karena mereka mempunyai 2 orang anak yang umurnya pun masih

kecil dan belum pantas melihat kedua orangtuanya bercerai dan juga korban

merasa malu apabila bercerai.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama pelaku dan keluarga

pelaku, pelaku mengatakan bahwa “tindakan saya ini semata-mata untuk

mendidik/ membina istri saya agar lain kali tidak berani membantah omongan

saya. Saya juga melakukan ini karena saya merasa emosi tiap apa yang saya

23
Hasil Wawancara bersama korban KDRT, pada tanggal 16/08/2022.
24
Hasil Wawancara bersama keluarga korban KDRT, pada tanggal 16/08/2022.

39
bilang, dia selalu menyao (bahasa daerah larantuka yang artinya

menjawab/membantah) dan dia selalu melawanan saya sebagai seorang suami,

saya pun tidak segan-segan memukul dia denagn barang-barang rumah yang

ada di depan saya”. 25 Sedangkan berdasarkan hasil wawancara bersama

keluarga pelaku yakni kakak pelaku mengatakan bahwa “kami pihak keluarga

tidak mau ikut campur dalam rumah tangga mereka. Dia (pelaku) adik saya

yang sifatnya paling berbeda dari kami semua saudara-saudaranya dan

memang punya watak yang suka kepala batu (bahasa daerah larantuka yang

artinya keras kepala). Saya pun sempat beberapa kali menegur dia agar

semuanya bisa bicara dengan baik-baik karena tidak enak dengan tetangga

sekitar apabila kalian ribut bertengkar. Tetapi dia tidak mendengar nasehat

saya bahkan kata dia untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga dia. Untuk

itu kami lebih memilih diam dan masa bodoh dengan rumah tangga dia dan

saya merasa sebenarnya kami juga tidak punya hak untuk ikut campur dengan

keluarga mereka”.26

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri atau kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya , dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 27 Kekerasan

psikis juga dapat dikatakan bentuk kekerasan yang bisa menyerang atau

ditujukan kepada psikis (mental atau kejiwaan) seseorang, baik berupa

penghinaan, komentar yang bertujuan merendahkan martabat seseorang,

25
Hasil Wawancara bersama pelaku KDRT, pada tanggal 17/08/2022.
26
Hasil Wawancara bersama keluarga pelaku KDRT, pada tanggal 17/08/2022.
27
Pasal 7 Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

40
larangan, maupun ancaman. Menurut hasil wawancara yang dilakukan peneliti

bersama Bapak Gabriel MD Boli selaku Kanit Satreskrim Polres Flores Timur

yang mengatakan bahwa “untuk jenis kasus kekerasan psikis kalau tidak salah

hanya ada dua laporan yang diterima dan itupun terjadi pada beberapa tahun

lalu”. 28 Kekerasan psikis jarang sekali terjadi atau jarang diterima laporan

oleh Unit PPA Satreskrim Polres Flores Timur. Beliau menuturkan hal ini

dikarenakan di daerah Kabupaten Flores Timur para suami apabila melakukan

KDRT lebih banyak mengandalkan otot dalam artian melakukan kekerasan

fisik seperti dipukul menggunakan tangan kosong ataupun menggunakan

benda tumpul, ditendang dibandingkan kekerasan psikis yang mengarah pada

mental atau kejiwaan korban (istri). Laporan mengenai kekerasan psikis yang

diterima oleh Unit PPA Satreskrim Polres Flores Timur beberapa tahun lalu

yakni berupa perkataan kasar dari suami terhadap istri seperti cacian maki,

hinaan, hingga ancaman jika akan membunuh korban menggunakan benda

tajam (parang). Hal ini juga juga merupakan faktor yang membuat ketegangan

terus memuncak dimana istri yang tidak terima begitu saja mencoba

melawannya tetapi posisi istri yang lemah membuat dirinya tidak berbuat

banyak yang membuat korban ketakutan dan pada akhirnya korban melapor

kepada pihak berwajib.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama korban (istri) dan keluarga

korban, korban mengatakan bahwa “kekerasan psikis yang membuat saya

merasa malu dengan tetangga sekitar, merasa takut kadang saya dimaki

28
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

41
dengan kata-kata kasar dengan sebutan perempuan begawa, lonte, sundal,

perempuan sial hingga kadang memaki saya pukimai dengan keras (bahasa

daerah larantuka yang artinya makian menyebut alat kelamin perempuan

hingga sebutan perempuan tidak benar), yang membuat tetangga sekitar

mendengar, dan saya pun merasa sangat malu dengan tetangga karena sudah

pasti menjadi bahan omongan tetangga yang membuat saya tidak percaya diri

untuk keluar rumah. Saya juga merasa kasihan dengan anak-anak saya masih

kecil sudah mendengar kata-kata kasar/kotor terhadap ibu mereka. Yang lebih

parah pernah kami berdua saya dan suami saya ribut, tiba-tiba dia mengancam

akan memotong saya dengan kalewang (bahasa daerah larantuka yang artinya

parang) dan itu membuat saya terdiam dan saya betul-betul merasa ketakutan

hingga saya pulang ke rumah orangtua saya. Saya kalau malam mau tidur

suka melamun saya menangis dan betul-betul hati saya terpukul kenapa suami

saya sekejam ini pada saya”.29

Berdasarkan hasil wawancara bersama pelaku (suami), pelaku mengatakan

bahwa “saya mengakui mengakui kesalahan saya karena kadang saya tidak

bisa mengontrol emsoi hingga keluarlah kata-kata memakian dari mulut saya

kepada istri saya. Tetapi bagi saya kata-kata makian itu hal biasa yang terjadi

bukan hanya saya, pasti suami mana saja juga sering memaki istrinya ketika

lagi bertengkar. Kata-kata makian seperti pukimai, lonte, sundal, begawa dan

lain-lain itu pasti dengan spontan akan keluar dari mulut pada saat sedang

bertengkar. Jadi bagi saya ini hal yg biasa terjadi, walaupun yah bagi saya itu

salah”. Hal lain yang mengejutkan dari wawancara peneliti terhadap pelaku
29
Hasil Wawancara bersama korban KDRT, pada tanggal 18/08/2022.

42
yang sangat disayangkan yakni pelaku mengatakan bahwa “lebih baik saya

memaki istri saya dengan kata-kata kotor dibandingkan saya memukul istri

saya sampai mati. Saya tidak peduli apa tanggapan tetangga sekitar rumah atas

tindakan saya terhadap istri saya dan saya merasa setiap rumah tangga

memiliki masalahnya masing-masing, jadi tidak perlu repot dengan rumah

tangga saya”.30

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,

menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual

seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan

kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu

memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi

kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan

atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi,

sosial, budaya, dan/atau politik.31 Kekerasan seksual perlu dibedakan dengan

kekerasak fisik karena kekerasan seksual tidak sekadar melalui perilaku fisik.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama Bapak Gabriel MD Boli

selaku Kanit Satreskrim Polres Flores Timur, mengatakan bahwa “hanya ada

satu kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lima tahun terakhir yakni

pada tahun lalu tahun 2021”. 32 Kekerasan seksual tersebut dilaporkan oleh

seorang korban/istri yang mengalami kekerasan seksual dari suaminya sendiri

30
Hasil Wawancara bersama pelaku KDRT, pada tanggal 19/08/2022.
31
Pasal 8 Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
32
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

43
beberapa kali dengan korban dipaksa berhubungan intim oleh

suaminya/pelaku, akan tetapi korban ini dia menolak ajakan tersebut

dikarenakan korban beralasan sedang datang bulan. Akibatnya suaminya ini

merasa emosi karena nafsunya tidak dipenuhi oleh korban ini sehingga pelaku

ini memukul serta meramas alat vital koban hingga sempat mengalami

pendarahan. Korban sendiri mengalami kesakitan yang serius dan pada

akhirnya korban meminta bantuan saudaranya agar membawanya ke rumah

sakit untuk diperiksa. Akibat dari kejadian itu korban yang merasa emosi

besoknya memberanikan diri melaporkan tindakan suaminya tersebut ke pihak

berwajib. Saat dimintai keterangan korban sempat merasa malu bercerita atas

kejadian yang menimpanya, akan tetapi mungkin dia masih merasa emosi

dengan suaminya akhirnya dia mau menceritakan kronologi kejadian yang

dilakukan suaminya itu dan meminta pihak kepolisian agar memberikan

hukuman efek jerah terhadap si pelaku yang tak lain adalah suaminya”. 33

Menurut Kanit Satreskrim Polres Flores Timur mengatakan bahwa timnya

Unit PPA Polres Flores Timur jarang mendapat laporan mengenai kasus

kekerasan seksual yang ada dalam lingkup rumah tangga. Beliau beranggapan

bahwa sebenarnya banyak kasus mengenai kekerasan seksual, tetapi mungkin

para korban malu dan enggan untuk melaporkan hal tersebut kepada pihak

berwajib dikarenakan merasa malu memberikan keterangan ditambah malu

dengan tetangga sekitar apabila mendengar kasusnya dikarenakan hal sepele

apalagi mereka sudah berumah tangga.

33
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

44
4. Penelantaran Rumah Tangga

Penelantaran rumah tangga adalah adalah suatu pelalaian atas kewajiban

seseorang di dalam rumah tangganya secara hukum bahwa seseorang tersebut

menjadi penanggung jawab atas kehidupan orang yang berada pada lingkup

keluarganya. Penelantaran rumah tangga juga dapat dikatan sebagai

melakukan penelantaran kepada orang yang menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena perjanjian dia wajib memberikan kehidupan, perawatan

atau pemeliharaan kepada orang tersebut.34 Menurut hasil wawancara bersama

Bapak Bapak Gabriel MD Boli selaku Kanit IV Satreskrim Polres Flores

Timur, mengatakan bahwa “penelantaran rumah tangga yang terjadi di

Kabupaten Flores Timur ini erat kaitannya dengan masalah ekonomi, baik itu

berupa tidak diberikan biaya yang seharunya ditanggung oleh pelaku demi

kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan atau larangan yang

menyebabkan ketergantungan ekonomi, misalnya pelaku/suami tidak

memenuhi kebutuhan korban/istri sehari-hari serta tidak memberikan uang

belanja. Hal ini juga dapat memicu terjadinya KDRT dimana istri yang merasa

tidak puas dengan tidak terpenuhinya kebutuhan rumah tangga serta

kebutuhan pribadinya, dia mungkin marah atau protes dengan suaminya dan

merekapun ribut cek cok dalam rumah tangga, saling adu mulut dan akhirnya

bisa menimbulkan masalah dimana suami pergi meninggalkan rumah atau

sebaliknya, suami memukul istri dan akibatnya terjadilah KDRT”.35

34
Pasal 9 Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
35
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

45
Berdasarkan hasil wawancara bersama korban/istri dan keluarga korban

mengatakan bahwa “akhir-akhir ini saya sering ribut dengan suami/pelaku

saya karena dia sering bermain judi online, akibatnya dia jarang memberikan

uang belanja yang seharusnya bisa saya pakai untuk beli makan minum dalam

rumah dan kebutuhan yang lain-lain dan juga untuk uang sekolah anak-anak,

yah walaupun pekerjaanya hanya sebagai sopir bemo tetapi setidaknya pasti

punya sedikit uang untuk kebutuhan sehari-hari karena setiap malam habis

mengantarkan bemo ke rumah pemilik bemo itu, dia selalu memberikan uang

untuk saya sisihkan belanja makan minum sehari-hari dan kebutuhan lainnya.

Tapi semakin kesini dia tidak pernah memberikan uang untuk belanja ataupun

keperluan lainnya. Akhirnya saya sendiri harus buka usaha kecil-kecilan untuk

tambahan uang makan ataupun untuk anak-anak. Dia juga seringkali jarang

pulang rumah dengan beralasan menginap di rumah keluarganya. Hal ini yang

membuat saya menaruh kecurigaan kalau dia sudah punya perempuan lain di

belakang saya dan saya juga merasa sangat terabaikan, tidak diperhatikan dan

merasa rumah tangga saya sudah benar-benar hancur”.36

Berdasarkan wawancara peneliti bersama pihak keluarga korban, ayah

korban mengatakan hal yang sama bahwa “anak serta cucu saya jarang dia

berikan uang belanja untuk makan minum sehari-hari ataupun uang jajan dan

uang sekolah untuk cucu saya. Terkadang saya kasih uang untuk anak saya

untuk kebutuhannya, untuk modal usahanya, karena saya merasa kasihan anak

saya diperlakukan dengan cara diabaikan begini”.

36
Hasil Wawancara bersama korban KDRT, pada tanggal 25/08/2022.

46
Berdasarkan hasil wawancara bersama pelaku/suami, pelaku mengatakan

bahwa “saya tidak merasa mengabaikan keluarga saya, saya Cuma capek

dengan ekonomi keluarga karena saya merasa terbebebani dengan istri saya

yang selalu mengandalkan gaji dari pekerjaan saya yang hanya seorang sopir

bemo. Ditambah lagi bemo yang semakin hari semakin sepi dan juga harga

bahan bakar yang semakin mahal membuat saya semakin frustasi menjalani

hidup rumah tangga”. 37

Berdasarkan empat poin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat

kesadaran hukum para suami di Kabupaten Flores Timur masih sangat rendah.

Akibatnya sering terjadi KDRT dengan berbagai macam bentuk kekerasan seperti

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah

tangga. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya

KDRT yang dilakukan oleh para suami terhadap istri di Kabupaten Flores Timur

antara lain faktor pernikahan dini, faktor ketergantungan ekonomi, faktor

perselingkuhan/atau orang ketiga dalam hubungan rumah tangga, faktor suami yang

selalu mengkonsumsi minuman keras, faktor perjudian dan lain sebagainya. Hal ini

yang menyebabkan meningkatnya kasus KDRT di Kabupaten Flores Timur, dimana

bentuk kekerasan fisik mendominasi setiap tahunnya dibandingkan bentuk

kekerasan lainnya. Kenyataannya sangatlah sulit untuk mengukur secara tepat

luasnya kekerasan terhadap perempuan terkhusus terhadap istri, karena ini berarti

harus memasuki wilayah kehidupan istri tersebut, yang mana si istri sendiri enggan

membicarakannya. Tetapi dalam melakukan penelitian ini identitas dan alamat

pelapor dalam hal ini yaitu istri sangat dirahasiakan. Kekerasan terhadap istri adalah
37
Hasil Wawancara bersama pelaku KDRT, pada tanggal 26/08/2022.

47
perwujudan dari ketimpangan hubungan kekerasan antara suami dan istri sepanjang

sejarah, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap istri oleh

suaminya. Terbatasnya peluang sebagai seorang istri untuk mencapai persamaan

hukum, sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat, antara lain karena

berlanjutnya dan endemiknya kekerasan.

Berdasarkan hasil wawancara bersama Bapak Gabriel MD Boli selaku Kanit

IV Satreskrim Polres Flores, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

KDRT di Kabupaten Flores Timur.38 Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya

KDRT khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu:

a) Permasalahan Ekonomi

Permasalahan ekonomi yang didapatkan antara lain rendahnya

pendapatan keluarga karena gaji suami rendah, suami tidak bekerja

maupun suami tidak dapat bekerja (akibat disabilitas atau terjerat kasus

kriminal), adanya penelantaran rumah tangga (ditandai dengan tidak

adanya pemenuhan nafkah oleh suami), ada pula rumah tangga yang

harus terbelit urusan hutang piutang.

b) Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri

Suami sebagai kepala keluarga yang bekerja mencari nafkah untuk

menhidupi keluarganya membuat suami berada dalam tingkat kekuasaan

yang lebih tinggi daripada istri, sehingga istri tidak jarang ketika sudah

menikah dianggap sebagai milik suaminya. Hal tersebut menimbulkan

38
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

48
ketimpangan dalam hubungan karena suami memiliki kuasa lebih

terhadap istrinya dibandingkan istrinya sendiri.

c) Frustasi

Kekerasan juga dapat terjadi akibat lelahnya psikis yang

menimbulkan frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress

suami. Frustasi timbul akibat ketidaksesuaian antara harapan dan

kenyataan yang dirasakan oleh suami. Hal ini biasa terjadi pada pasangan

yang belum siap kawin, suami belum memiliki pekerjaan dan

penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan masih

serba terbatas dalam kebebasan. Dalam kasus ini biasanya suami mencari

pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang

berujung pada pelampiasan berbentuk kekerasan terhadap istrinya, baik

secara fisik, seksual, psikis, atau bahkan penelantaran keluarga.

d) Cemburu dan selingkuh

Kedua faktor ini merupakan penyebab tertinggi terjadinya kasus

KDRT. Kecemburuan merupakan salah satu timbulnya kesalahpaman,

perselisihan bahkan memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan

dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun penelantaran.

Cemburu sebagai faktor pemicu biasanya didahului dengan faktor lain

yang menjadi penghantar, yaitu komunikasi yang buruk diantara istri dan

suami, sikap tertutup dari salah satu pihak atau karena perilaku

menyimpang. Faktor berikutnya yang merupakan dominan yaitu pihak

ketiga/selingkuhan. Seseorang yang melakukan perselingkuhan dapat

49
dipastikan kurang memiliki ikatan yang kuat terhadap nilai agama dan

norma-norma yang ada, baik itu nilai-nilai moral dari norma-norma dan

nilai-nilai pergaulan hidup.

e) Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik

Kekerasan terhadap istri terjadi biasanya dilator belakangi oleh

ketidak sesuaian harapan dengan kenyataan suami. Kekerasan dilakukan

dengan tujuan agar istri dapat memenihi harapannya tanpa melakukan

perlawanan karena ketidak berdayaan. Fenomena ini juga masih menjadi

salah satu dasar budaya dalam masyarakat bahwa jika perempuan istri

tidak menurut, maka harus deberlakukan secara keras agar ia menjdi

penurut.

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat jelas bahwa faktor penyebab

terjadinya KDRT inilah yang menyebabkan kasus KDRT di Kabupaten Flores

Timur terus meningkat. Kesadaran hukum sangat dibutuhkan dalam kehidupan

berpasangan, keluarga, maupun masyarakat. Pemahaman budaya kesetaraan

setidaknya dapat membuat khususnya para laki-laki tidak lagi harus bersusah

payah memenuhi ekspektasi budaya patriarki yang dimana menempatkan laki-laki

harus selalu di atas perempuan. Padahal dengan budaya kesetaran, laki-laki dan

perempuan dapat saling menemukan titik kemampuan dalam pemenuhan

keinginan sesuai dengan kapasitas diri masing-masing tanpa harus merasa bahwa

diri laki-laki rendah ketika perempuan yang justru melakukan pemenuhan

kebutuhan tersebut.

50
Adapun faktor-faktor utama lainnya yang menurut peneliti dapat

mendorong terjadinya tindak pidana KDRT, yaitu:

1. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat,

2. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak, dan

3. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan bahwa

anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleren.

3.2 Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

3.2.1 Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga secara selektif membedakan perlindungan dan fungsi

pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan

perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian

sanksi terhadap pelaku. Perlindungan oleh institusi atau lembaga non-penegak

hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan

dan rehabilitasi. 39 Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun

demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting

dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT. Selain itu, Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang

39
Mohammad Taufik Makarao, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 181.

51
bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta

pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya

masing-masing. Sistem peradilan pidana sebagai salah satu sistem penegakkan

hukum tidak hanya difungsikan untuk memproses suatu perkara dengan cepat,

biaya murah, serta transparan tetapi juga memikirkan hak-hak asasi manusia,

hak asasi korban dan pelaku untuk dilindungi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 angka4: Perlindungan adalah

segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban

yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara

maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Pasal 1 angka 5: Perlindungan

Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian

dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya

penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pasal 1 angka 3: Korban

adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan

dalam lingkup rumah tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyatakan

perlindungan hak-hak korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 10:

Korban berhak mendapatkan:

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara

52
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari

pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada

setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

Beberapa bentuk perlindungan hukum yang terdapat didalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga, sebagai berikut:

a. Perlindungan sementara

Ketentuan mengenai perlindungan sementara yang terdapat

didalam Pasal 16, Bab VI tentang Perlindungan, Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga, yaitu:

(1) Dalam waktu 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat) jam terhitung

sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah

tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan

sementara pada korban.

(2) Perlindungan sementara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima dan

ditangani.

53
(3) Dalam waktu 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat) jam terhitung

sejak pemberian perlindungan sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) kepolisian wajib surat penetapan perlindungan dari

pengadilan. 40

b. Penetapan perintah perlindungan oleh Pengadilan

Ketentuan mengenai penetapan perintah perlindungan oleh

pengadilan terdapat dalam pasal 28, Bab VI tentang Perlindungan,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: “Ketua Pengadilan

dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan

wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan

bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut”.

Perintah perlindungan yang sudah memperoleh surat penetapan

pengadilan ini, dapat diberikan selama paling lama satu tahun

dandapat diperpanjang seperti pada pasal 32, Bab VI tentang

Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut:

(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling

lama 1 (satu) tahun.

(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan

pengadilan.

(3) Permohonan perpanjangan perintah perlindungan di ajukan 7

(tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.


40
Pasal 16 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004.

54
c. Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor Kepolisian

Ruang pelayanan khusus dapat di sediakan dikantor kepolisian,

sesuai dengan ketentuan pada pasal 13 huruf a, Bab V tentang

Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

sebagai berikut: “Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban,

pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas

masing-masing dapat melakukan upaya pemyediaan Ruang Pelayanan

Khusus di kantor Kepolisian”.

d. Penyediaan Rumah Aman atau Tempat Tinggal Alternatif

Ketentuan yang mengatur mengenai penyediaan rumah aman atau

tempat tinggal alternatif terdapat pada pasal 22 huruf c, Bab VI

tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu: (1) dalam

memberikan pelayanan, pekerja sosial harus: c. mengantarkan korban

ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif”.

e. Pemberian Konsultasi Hukum oleh Advokat Mengenai Informasi

Hak-Hak Korban dan Proses Peradilan

Ketentuan yang mengatur tentang pemberian konsultasi hukum

oleh advokat mengenai informasi hak-hak korban dan proses peradilan

terdapat pada pasal 25 huruf a, Bab VI tentang Perlindungan, Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

55
Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: “Dalam hal memberikan

perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: a. memberikan konsultasi

hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan

proses peradilan”.

f. Pendampingan Advokat pada Tingkat Penyidik, Penuntutan, dan

Pemeriksaan Dalam Sidang Pengadilan

Ketentuan yang mengatur tentang pendampingan advokat terhadap

korban pada tingkat penyidik, penuntutan dan pemeriksaan dalam

sidang pengadilan terdapat pada pasal 25 huruf b, Bab VI tentang

Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu: “Dalam hal

memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: b.

mendampingi korban di tingkat penyidik, penuntutan dan pemeriksaan

dalam sidang pengadilan”.

Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(PKDRT) ini diatur mengenai hak-hak korban, yaitu terdapat dalam Pasal 10

di antaranya mendapat perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan

secara khusus dan pendampingan oleh pekerja sosial, korban mempunyai

hak-hak sebagai berikut:41 (1) “Mendapatkan ganti rugi atas penderitannya”.

(2) “Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi

karena tidak memerlukannya”. (3) “Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk

41
Arif Gosita, Kedudukan Korban di Dalam Tindak Pidana, dalam Masalah Korban Kejahatan, CV Akademika
Pressindo, Jakarta, 1993, hal 63.

56
ahli warisnya bila pihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut”.

(4) “Mendapat pembinaan dan rehabilitasi”. (5) “Mendapat hak miliknya

kembali”. (6) “Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila

melapor dan menjadi saksi”. (7) “Mendapatkan bantuan penasihat hukum”.

(8) “Mempergunakan upaya hukum”.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami, bahwa salah satu proses

perlindungan kepada istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah

tangga, adalah perlindungan sementara dan perlindungan oleh pengadilan.

Melalui proses perlindungan sementara korban diharapkan memperoleh rasa

aman dari tindak kekerasan ulang dari pelaku (suaminya). Perlindungan

sementara dari kepolisian diberikan untuk tenggang waktu maksimal satu

minggu sejak kepolisian menerima laporan korban kekerasan dalam rumah

tangga. Perlindungan yang diharapkan oleh korban adalah perlindungan yang

dapat memberikan rasa adil bagi korban. Kekerasan dalam rumah tangga

yang mayoritas korbannya adalah perempuan dalam hal ini yaitu istri pada

prinsipnya merupakan salah satu fenomena pelanggaran hak asasi manusia

dan merupakan suatu kejahatan yang korbannya perlu mendapat perlindungan

baik dari aparat pemerintah maupun masyarakat.

Dalam prospek penegakkan hukum di Indonesia terkait dengan KDRT

tentunya mengenal hal yang disebut sanksi dan perlindungan terhadap korban

yang tertuang dalam Undang-Undang PKDRT itu sendiri, bahwa terdapat

beberapa pasal yang tentunya menjerat para pelaku apabila melakukan

57
kekerasan tersebut dan upaya penegakkan hukum berupa perlindungan

kepada korban diantaranya:

1. Penerapan ancaman pidana penjara dan denda

2. Penerapan pidana tambahan

3. Penerapan perlindungan korban oleh pengadilan

Undang undang Nomor 23 Tahun 2004 merupakan kebijakan publik yang

bertujuan menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Meski Undang-Undang ini

sarat dengan nilai nilai yang dipengaruhi oleh pemahaman tentang hak asasi

manusia dan kesetaraan gender, yang intinya memberlakukan kesetaraan laki laki

dan perempuan, namun dalam pemberlakuannya di Indonesia masih belum

mampu menekan tingkat kekerasan dalam rumah tangga dinegara ini. Disejumlah

daerah yang nilai nilai budaya patriarkhi masih tinggi, tingkat kekerasan dalam

rumah tangga sangat memprihatinkan. Sehingga UU Nomor 23 Tahun 2004

kurang berjalan efektif. Bahkan tidak jarang, dalam implementasi Undang-

Undang PKDRT, terdapat kontradiksi kebijakan pejabat disejumlah daerah,

sehingga usaha menanggulangi KDRT berjalan bahkan mengalami kemunduran.

Sebagaimana yang diuraikan pada tujuan pembentukan Undang-Undang ini,

bahwa pemerintah berkeinginan memberikan rasa aman dan bebas dari segala

bentuk kekerasan bagi warga negaranya, dan pemerintah menegaskan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia serta

kejahatan bagi martabat manusia. Hak untuk rasa aman dan bebas dari ketakutan

adalah salah satu bentuk dari hak asasi individual yang melekat pada pribadi

manusia. Sedangkan kebijakan untuk melakukan perlindungan kepada kaum

58
perempuan, menunjukkan bahwa peraturan tersebut dipengaruhi paham

feminisme.

Dalam menanggulangi kejahatan (criminal policy) seperti KDRT ada dua

pendekatan. Pertama, pendekatan sarana penal (hukum pidana) pendekatan ini

lebih bersifat represif dan Kedua, pendekatan non penal (bukan hukum pidana)

dan pendekatan ini lebih bersifat preventif. Di Kabupaten Flores Timur

penanggulangan KDRT menggunakan hukum pidana bisa ditempuh korban

dengan mengajukan laporan di Unit PPA Polres Flores Timur yang berada

dibawah naungan satuan reserse kriminal (Satreskrim). Dengan adanya pasal

yang memuat tentang hak-hak korban ini maka diharapkan korban kekerasan

dalam rumah tangga akan mendapat perlindungan dari negara dan/atau

masyarakat sehingga tidak mengakibatkan dampak traumatis yang

berkepanjangan. Sesuai dengan konsideran Undang-Undang Penghapusan KDRT,

korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan perempuan harus

mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan

terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang

merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Selain mengatur tentang hak-hak

korban, dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT ini pun mengatur tentang

perlindungan terhadap korban kekerasan yang diberikan oleh kepolisian

bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,

dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Mengenai prosedur

pelaporan peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan dalam

rumah tangga dapat melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga

59
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian

perkara atau dapat juga memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk

melaporkan kekerasan yang dialaminya. Setelah tindak pidana kekerasan dalam

rumah tangga dilaporkan kepada pihak yang berwajib maka dalam waktu 1 x 24

(satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima

laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan

perlindungan sementara pada korban. Perlindungan tersebut diberikan paling lama

7 hari sejak korban diterima atau ditangani dan kepolisian wajib meminta surat

penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Permohonan perlindungan

tersebut dapat diajukan baik secara lisan maupun tulisan. Perintah perlindungan

yang dikeluarkan oleh ketua Pengadilan Negeri dapat diberikan dalam waktu

paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.

Dengan demikian menyangkut perlindungan terhadap korban KDRT, secara

normatif sudah memenuhi, tetapi perlu pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan

tersebut baik berupa kebijakan maupun tindakan.

Penerapan asas keadilan terhadap tindak pidana KDRT berdasarkan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga harus dipenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana dalam teori keadilan

yang digagas oleh Plato, yaitu equality atau kesamaan, certainty atau kepastian

hukum, arrangement atau pengaturan, dan implementation atau pelaksanaan.

Upaya meminimalisir tindak pidana KDRT sehingga dapat mencegah terjadinya

perceraian adalah harus menyentuh 3 (tiga) indikator, yaitu secara hukum dengan

memaksimalkan peran subseksi hubungan masyarakat kepolisian bekerja sama

60
dengan dinas kependudukan dan Kantor Urusan Agama. Selain dari itu, adanya

program pemerintah dalam pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,

sehingga dapat mencegah terjadinya perceraian. Terakhir adalah peningkatan

kesadaran dan kepatuhan hukum serta perilaku masyarakat melalui peran aktif

tokoh masyarakat.

3.2.2 Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kasus Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Oleh Polres Flores Timur (Khususnya Pada Unit PPA)

Berdasarkan alur proses penegakan hukum yang ada bahwa terdapat para

aparat penegak hukum yang tentunya memiliki peran masing-masing sesuai

dengan kompetensinya yaitu apar Kepolisian dimana saat menerima laporan

mengenai kasus KDRT, aparat Kepolisian harus segera menerangkan mengenai

hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan, pendampingan, advocad

(pengacara) sebagai profesi yang membela masyarakat yang bermasalah atau

berbenturan dengan hukum juga harus siap menyelesaikan masalah KDRT

yakni memberikan pelindungan terhadap korban mengenai pelaksanaan

mekanisme perintah perlindungan. Kepolisian dapat memberikan perlindungan

terhadap korban sebagaimana tercantum pada Pasal-pasal yang terdapat pada

UU PKDRT seperti Pasal 17 yang berbunyi “Dalam memberikan perlindungan

sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja

sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi

korban.” Pasal 18 yang berbunyi “Kepolisian wajib memberikan keterangan

kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan

pendampingan”. a. Pasal 19 yang berbunyi “Kepolisian wajib segera

61
melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga”. b. Pasal 20 yang berbunyi

“Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : a. identitas petugas

untuk pengenalan kepada korban; b. kekerasan dalam rumah tangga adalah

kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan c. kewajiban kepolisian untuk

melindungi korban.”

Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama Bapak Herono Budiono

selaku Kasat Binmas Polres Flores Timur dan Bapak Gabriel MD Boli selaku

Kanit IV Satreskrim Polres Flores Timur mengatakan bahwa dalam

memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan

tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan atau pembimbing

rohani. Perlindungan hukum bagi istri yang menjadi korban KDRT menurut

Undang-Undang adalah perlindungan sementara, penetapan perintah

perlindungan oleh pengadilan, penyediaan ruang khusus di kantor kepolisian,

penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif, pemberian konsultasi

hukum oleh advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan pada sidang pengadilan. 42

Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam

rumah tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

42
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak HERONO BUDIONO KASAT BINMAS
POLRES FLORES TIMUR dan BAPAK GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM POLRES FLORES
TIMUR .

62
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam

lingkup rumah tangga. UU PKDRT mengatur tentang jenis-jenis perlindungan

hukum dalam hal ini perlindungan hukum yang diberikan oleh kepolisian

terhadap korban KDRT yaitu pada pasal 1 ayat (5): Perlindungan Sementara

adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga

sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah

perlindungan dari pengadilan.

Sebagaimana pendapat dari Bapak Herono Budiono selaku Kasat Binmas

saat dilakukan wawancara yang mengatakan sebagai berikut: “Adanya

peraturan perundang-undangan tentang KDRT lebih memudahkan kepolisian

dalam melakukan penanganan korban KDRT. KDRT merupakan kejahatan

yang memang harus dilindungi. Kasus KDRT yang masuk di Kepolisian Flores

Timur mayoritas korban adalah Istri. Kemudian dalam melakukan

perlindungannya kepada korban istri kepolisian mengacu pada UU PKDRT”. 43

Unit PPA Kepolisian Resor Flores Timur dalam memberikan perlindungan

sudah berdasarkan pada pasal 1 ayat (5) dengan memberikan perlindungan

sementara kepada korban istri akibat KDRT. Sebagaiana tercantum pada

Undang-Undang PKDRT Pasal 17: Dalam memberikan perlindungan

sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja

sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi

korban. Semua jenis laporan KDRT yang ada di Kepolisian Resor Flores Timur

juga di dominasi oleh kekerasan terhadap istri. Bapak Gabriel MD Boli selaku

43
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak HERONO BUDIONO KASAT BINMAS
POLRES FLORES TIMUR .

63
Kanit IV Satreskrim Polres Flores Timur menegaskan bahwa: “Jumlah kasus

kekerasan dalam keluarga terhadap istri yang melpor ke Kepolisian Resor

Flores Timur ini cukup banyak dan di dominasi oleh kekerasan terhadap istri

bukan kekerasan terhadap suami. Bahkan bisa dikatakan tidak ada laporan yang

masuk untuk tindak kekerasan yang suami tersebut menjadi korban.”.44 Adapun

jenis perlindungan yang diminta jenis perlindungan hukum yang diminta

korban istri kepada Unit PPA Kepolisian Resor Flores Timur berdasarkan

wawancara kepada Bapak Gabriel MD Boli mengatakan sebagai berikut:

“Semua korban yang melapor pasti meminta agar di pelaku dihukum dan

diadili”.45

Adapun tindakan perlindungan yang diberikan oleh Unit PPA Polres

Flores Timur terhadap korban KDRT yaitu:

1. Penerimaan laporan/pengaduan Korban

Dalam hal ini membuat laporan pengaduan ke SPKT (Sentra

Pengaduan Polisi Terpadu). Penerimaan laporan/pengaduan tersebut

melalui konsultasi dahulu antara petugas Unit PPA dengan korban

kejahatan beserta orangtua/keluarganya.

2. Penyelidikan perkara

UU PKDRT Pasal 19: Kepolisian wajib segera melakukan

penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 20: Kepolisian segera

menyampaikan kepada korban tentang: a. identitas petugas untuk

44
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .
45
Ibid.

64
pengenalan kepada korban; b. kekerasan dalam rumah tangga adalah

kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan c. kewajiban kepolisian

untuk melindungi korban.

3. Memintakan visum

Apabila pada saat tahap Penyelidikan dan penyidikan perkara

terdapat bekas luka biasanya polisi meminta agar korban harus periksa

terlebih dahulu. Apabila kejadiannya sudah lama dan sudah pernah

periksa maka polisi akan meminta alamat klinik dan nama dokter yang

sudah pernah memeriksa orang tersebut. Kebutuhan keterangan sudah

pernah periksa tersebut guna permintaan visum. Pernyataan tersebut

sesuai dengan apa yang sudah disampaikan oleh Kanit Binmas Polres

Flores Timur Bapak Herono Budiono yang mengatakan: “Bahwa

bentuk perlindungan di Kepolisian dari proses penyelidikan hingga

penyidikan terhadap korban KDRT yang pertama apabila korban

mengadukan ke Kepolisian apabila kekerasan fisik maka Kepolisian

akan meminta hasil visum”. 46 Apabila kasusnya menimbulkan

kekerasan yang berupa fisik maka akan lebih di visum mudah untuk

dijadikan alat bukti. Akibat dari kekerasan itu menyebabkan luka

kemudian juga diperkuat dengan keterangan korban sehingga bisa

dijadikan alat bukti. Bukti dari kekerasan fisik tersebut berupa luka,

lebam atau luka berat seperti cacat fisik dan masih terlihat bekasnya.

Jadi untuk kasus yang sampai pada proses pengadilan didominasi oleh

46
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber BapakHERONO BUDONO KASAT BINMAS POLRES
FLORES TIMUR .

65
kekerasan fisik yang biasanya bukti luka pada anggota tubuhnya

hingga pada proses persidangan masi membekas.

Kanit IV Satreskrim Polres Flores Timur Bapak Gabriel MD Boli

juga menambahkan penjelasannya bahwa: “Korban yang mengalami

kekerasan fisik kemudian polisi mendapati hasil visumnya dan

ditambah dengan adanya keterangan korban maka akan lebih mudah

polisi dalam melakukan penyidikan juga nantinya bisa dijadikan ala

bukti pada saat di persidangan”.

4. Pemberian konseling kepada korban

Unit PPA melakukan koordinasi dengan fungsi/instansi terkait,

yaitu Rumah Sakit, Psikolog atau lembaga pendampingan dalam hal

ini untuk pemberian konseling kepada korban maupun pelaku.

Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang sudah disampaikan oleh

Kanit IV Satreskrim Polres Flores Timur Bapak Gabriel MD Boli yang

mengatakan: “Kepolisian akan mendatangkan psikolog agar merefresh

kembali psikolog si korban agar trauma yang pernah dialami bisa

hilang”. 47

5. Memberikan penjelasan kepada istri/korban mengenai hak yang

diperoleh

Pasal 18: Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban

tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.

Sebagaimana sesuai dengan apa yang sudah disampaikan oleh Kanit

47
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

66
IV Satreskrim Polres Flores Timur Bapak Gabriel MD Boli yang

mengatakan: “Kepolisian hanya menyampaikan hak-hak yang

diperoleh korban istri. Kepolisian tidak memberikan konseling kepada

korban KDRT”.48

Perlindungan hukum terhadap istri bukan saja hanya melalui undang-

undang yang dengan jelas mengatur perlindungan terhadap perempuan, tetapi

juga perlindungan yang nyata diberikan kepada perempuan melalui bantuan

hukum, dan juga penerimaan secara terbuka dan ramah dari lingkungan

kepolisian pada saat pengaduan diberikan dan terlebih penting lagi adalah

pemberian keadilan yang hak-haknya tidak dihormati. Berdasarkan analisis

peneliti mengenai perlindungan hukum yang diberikan Unit PPA Kepolisian

Polres Flores Timur terhadap korban KDRT yaitu tersedianya rumah aman

untuk korban, adanya psikologi untuk menenangkan korban, adanya tenaga

kesehatan seperti ahli untuk dimintai visum, pemeriksaan korban, dan

pengawalan korban. Kemudian jenis perlindungan hukum yang diminta korban

istri kepada Unit PPA Polres Flores Timur yaitu sebatas hanya korban istri

meminta agar pelaku diadili dan dihukum.

Mengacu kepada kasus yang diteliti, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa jika korban melapor tanpa mendapat perlindungan sementara dari

kepolisian, pelaku (suami) bisa saja melakukan tindak kekerasan yang lebih

parah kepada korban (istri). Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa

perlindungan sementara dan perlindungan oleh pengadilan sangat penting bagi

48
Ibid.

67
keselamatan korban kekerasan dalam rumah tangga yang kasusnya sementara

disidik pihak kepolisian, dan/atau dalam proses hukum, baik pada tingkat

penuntutan maupun sidang pengadilan. Perlindungan hukum terhadap istri

bukan saja hanya melalui Undang-Undang yang dengan jelas mengatur

perlindungan terhadap perempuan, tetapi juga perlindungan yang nyata

diberikan kepada perempuan melalui bantuan hukum, dan juga penerimaan

secara terbuka dan ramah dari lingkungan kepolisian pada saat pengaduan

diberikan dan terlebih penting lagi adalah pemberian keadilan yang hak-haknya

tidak dihormati. Berdasarkan analisis penulis mengenai perlindungan hukum

yang diberikan Unit PPA Kepolisian Resor Flores Timur terhadap korban

KDRT yaitu tersedianya rumah aman untuk korban, adanya psikologi untuk

menenangkan korban, adanya tenaga kesehatan seperti ahli untuk dimintai

visum, pemeriksaan korban, dan pengawalan korban. Kemudian jenis

perlindungan hukum yang diminta korban istri kepada Unit PPA Kepolisian

Resor Flores Timur yaitu sebatas hanya korban istri meminta agar pelaku

diadili dan dihukum.

Dalam menangani kasus KDRT di Kabupaten Flores Timur, Kepolisian

Polres Flores Timur khususnya Unit PPA Polres Flores Timur juga mempunyai

hambatan dalam menangai kasus KDRT. Dari hasil wawancara bersama Bapak

Gabriel MD Boli selaku Kanit IV Satreskrim Polres Flores Timur mengatakan

bahwa, “Ada beberapa hambatan yang terjadi dalam menangani kasus KDRT

di antaranya seperti korban yang memberikan keterangan tidak lengkap atau

ragu-ragu dalam memberikan laporan. Artinya ketika korban mau melapor,

68
korban merasa takut jangan sampai pelaku (suami) tidak mau menerimanya

kembali. Korban yang dalam memberikan keterangan tidak lengkap karena

sudah mendapat ancaman dari pelaku sehingga keterangan yang diberikan

terlihat seperti korban yang ingin melindungi pelaku, serta keterlambatan

korban melapor sehingga bukti fisik sudah hilang.”. Hambatan yang lain yakni

saksi yang dalam memberikan keterangan tidak lengkap. Kanit IV Satreskrim

Polres Flores Timur Bapak Gabriel MD Boli mengatakan bahwa “Saksi yang

antara lain adalah Keluarga ataupun tetangga, dalam memberikan keterangan

juga terkadang saat diminta keterangan merasa takut. Ada juga yang merasa

terancam dan ada juga yang merasa kalau mereka tidak mau ikut campur dalam

peristiwa ini, sehingga saat diminta keterangan banyak yang menghindar dan

tidak mau memberikan keterangan mereka. Hal ini yang membuat pihak

Kepolisian kesulitan dalam melakukan proses penyidikan”. 49 Hambatan dari

pihak keluarga yakni kurangnya kesadaran dari keluarga/masyarakat yang

menganggap tindakan tersebut merupakan persoalan keluarga yang bersifat

intern keluarga yang dianggap sebagai aib keluarga sehinga sulit untuk

memberikan keterangan terhadap pihak yang berwenang (polisi). Tetapi

hambatan-hambatan ini bukanlah masalah yang serius bagi pihak Kepolisian

Resor Flores Timur khusunya Unit PPA Polres Flores Timur. Maka dari itu

Polres Flores Timur terus melakukan berbagai cara dan upaya untuk

memberantas tindak pidana KDRT yang terjadi di wilayah hukum Polres

Flores Timur. Dalam hasil wawancara bersama Kanit IV Satreskrim Polres

49
Hasil Wawancara pada tanggal 15/08/2022. Narasumber Bapak GABRIEL MD BOLI KANIT IV SATRESKRIM
POLRES FLORES TIMUR .

69
Flores Timur Bapak Gabriel MD Boli mengatakan bahwa “Tim Unit PPA

Polres Flores Timur selalu berupaya dalam memberikan perlindungan terhadap

korban KDRT. Maka dari itu Polres Flores Timur melakukan upaya-upaya

untuk mencegah terjadinya KDRT di Kabupaten Flores Timur, diantaranya

yakni melakukan penyuluhan sosialiasi terhadap warga masyarakat Kabupaten

Flores Timur tentang KDRT, hukum KDRT dan lain sebagainya, melakukan

mediasi terhadap korban dan pelaku KDRT untuk menyelamatkan rumah

tangga mereka.

Pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Flores

Timur selama ini dilakukan oleh Polres Flores Timur. Untuk melaksanakan

fungsi pelayanan berupa pencegahan yaitu menghindarkan terjadnya kembali

masalah yang dialami keluarga; pengembangan/pemberdayaan yaitu

meningkatkan kemampuan (pemikiran, perasaan dan perilaku) anggota

keluarga dalam kaitannya dengan peningkatan taraf penghidupannya dalam

rangka peningkatan kemampuan pemecahan masalah; rehabilitasi yaitu

menyembuhkan/memulihkan dan meningkatkan kedudukan dan peranan sosial

anggota keluarga; perlindungan yaitu memberikan konsultasi dan advokasi

kepada keluarga dari tekanan, ancaman, kekerasan dan masalah yang

bersumber dari dalam maupun dari luar keluarga; informatif yaitu memberikan

informasi bagi kepentingan pengembangan kesejahteraan keluarga; rujukan

yaitu menerima keluarga-keluarga yang dirujuk oleh pihak lain (mitra kerja)

dan juga membuat rujukan kepada lembaga pelayanan lainnya yang

berkompeten dan berkaitan dengan masalah dan kebutuhan klien; serta

70
pendampingan yaitu memberikan pelayanan lanjutan kepada klien. Sedangkan

Polres Flores Timur dalam menangani kasus KDRT juga memberikan upaya

berup, para korban diberikan informasi dan konsultasi terlebih dahulu

mengenai permasalahan yang dialami dari segi hukum sehingga dapat

memutuskan tindakan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan proses

hukumnya.

Uraian di atas ingin diungkapkan bahwa tugas dan wewenang kepolisian

yang lebih berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan (yang

bersifat pelayanan dan pengabdian) sebenarnya lebih banyak dari pada tugas

yuridisnya sebagai penegak hukum di bidang peradilan pidana. Tugas

kepolisian di bidang peradilan pidana hanya terbatas di bidang penyelidikan

dan penyidikan. Tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan dengan

penegakan hukum pidana, walaupun memang ada beberapa aspek hukum

pidananya. Misalnya tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum,

mencegah penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan,

perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat, mengusahakan ketaatan

hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas dari yang

sekedar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) menurut

ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 memuat aturan-aturan hukum yang bukan saja berkaitan dengan

penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, namun juga

mengatur secara khusus mengenai perlindungan korban kekerasan dalam

71
rumah tangga. Dengan demikian undang-undang ini mengatur lex specialis

tentang perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kaitan ini

proses perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga tahap awal berupa

perlindungan sementara dari kepolisian. Proses mendapatkan perlindungan

sementara ini diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang ini, bahwa (1) dalam

waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau

menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera

memberikan perlindungan sementara pada korban; (2) perlindungan sementara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak

korban diterima atau ditangani; dan (3) dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua

puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah

perlindungan dari pengadilan. Jadi, perlindungan sementara merupakan

perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (istri) yang

diberikan langsung oleh kepolisian dan atau lembaga sosial, atau pihak lain,

sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Perlindungan sementara sangat penting untuk segera diberikan kepada istri

yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga karena jika korban harus

menunggu turunnya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan,

dikuatirkan prosesnya lama, sedangkan korban membutuhkan perlindungan

dalam waktu relatif cepat. Urgensi perlindungan sementara ini terutama bagi

korban yang rentan memperoleh tindak kekerasan lanjutan dari suaminya

setelah dia melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib.

72
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan, maka

kesimpulan yang didapatkan sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Flores Timur,

adalah:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik yang terjadi dalam kasus KDRT tersebut seperti suami

aniaya istri dengan cara dipukul baik menggunakan tangan kosong dan

ada juga yang dipukul dengan menggunakan benda tumpul.

b. Kekerasan Psikis

Mengenai kekerasan psikis yang diterima oleh Unit PPA Satreskrim

Polres Flores Timur beberapa tahun lalu yakni berupa perkataan kasar

dari suami terhadap istri seperti cacian maki, hinaan, hingga ancaman

jika akan membunuh korban menggunakan benda tajam.

c. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual tersebut dilaporkan oleh seorang korban/istri yang

mengalami kekerasan seksual dari suaminya sendiri beberapa kali

dengan korban dipaksa berhubungan intim oleh suaminya/pelaku.

Akan tetapi korban menolak ajakan tersebut dikarenakan korban

beralasan sedang datang bulan. Akibatnya suaminya ini merasa emosi

karena nafsunya tidak dipenuhi oleh korban ini sehingga pelaku ini

73
memukul serta meramas alat vital koban hingga sempat mengalami

pendarahan.

d. Penelantaran Rumah Tangga

Mengenai kasus penelantaran rumah tangga yang terjadi di Kabupaten

Flores Timur ini erat kaitannya dengan masalah ekonomi, baik itu

berupa tidak diberikan biaya yang seharunya ditanggung oleh pelaku

demi kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan atau

larangan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kasus KDRT Menurut Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Beberapa bentuk perlindungan hukum yang terdapat di dalam Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga, sebagai berikut:

a. Perlindungan sementara

b. Penetapan perintah perlindungan oleh Pengadilan

c. Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor Kepolisian

d. Penyediaan Rumah Aman atau Tempat Tinggal Alternatif

e. Pemberian Konsultasi Hukum oleh Advokat Mengenai Informasi Hak-

Hak Korban dan Proses Peradilan

f. Pendampingan Advokat pada Tingkat Penyidik, Penuntutan, dan

Pemeriksaan Dalam Sidang Pengadilan.

74
4.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai

berikut:

1. Sebaiknya korban kekerasan dalam rumah tangga melaporkan kepada

kepolisian atas kasus yang menimpanya, maka akan sangat berguna bagi

perlindungan korban dan adanya rasa aman terhadap korban KDRTsehingga

kepolisian akan menindak lanjuti pelaku kekerasan tersebut.

2. Pihak kepolisian perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat pada

umumnya yang sasarannya adalah keluarga. Untuk para penegak hukum dan

masyarakat, perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan tentang

permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan terhadap

istri. Seperti diadakannya kursus pra nikah bagi calon pengantin sangat

disarankan untuk mengikuti kursus pra nikah karena dengan mengikuti kursus

pra nikah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga setidaknya sudah

diminimalisir.

3. Perlunya peran penting lembaga-lembaga yang berwenang dalam penanganan

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, harus ditingkatkan agar selalu

memberikan pendampingan, dan bantuan bagi pihak-pihak yang terlibat

terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

4. Sosialisasi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga

agar masyarakat memahami bahwa terjadinya tindak kekerasan dalam rumah

tangga merupakan perbuatan pidana yang dapat dijatuhkan sanksi pidana,

sehingga apabila menjadi korban atau melihat ada korban kekerasan dalam

75
rumah tangga diharapkan berani melaporkan kepada pihak kepolisian agar

bisa diproses secara hukum.

76
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amin, Rahman. 2021. Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan Di Indonesia.


Yogyakarta: CV Budi Utama.

Chazawi, Adami. 2005. Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa. Jakarta: Rajawali Pers.

Ch, Mufidah, dkk. 2006. Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Malang: Pilar
Media.

Djannah, F., Rustam, Nuraisah, Sitorus, M., dan Batubara, C. 2002. Kekerasan Terhadap
Istri. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Gosita, Arif. 1993. Kedudukan Korban Di Dalam Tindak Pidana. Jakarta: CV.
Akademika Pressindo.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2000. Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Permpuan dan
Alternatif Pemecahannya, penyunting Achie Sudiarti Luhulima. Jakarta: PT
Alumni.

Helmi, Muhammad Ishar. 2017. Gagasan Pengadilan Khusus KDRT. Yogyakarta: CV


Budi Utama.

Ismiati, Saptosih. 2020. Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) & Hak Asasi Manusia
(HAM). Yogyakarta: CV Budi Utama.

Luhulima, Achie. Sudiarti. 2007. Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Makarao, T. Muhammad., Bukamo, Wenny., dan Azri Syaiful. 2013. Hukum


Pelrindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta: Rineka Cipta.

Martha, E. Aroma. 2003. Perempuan, Kekerasan Dan Hukum, Yogyakarta: UII Pers.

Meidianto, Achamd Doni. 2018. Alternatif Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam


Rumah Tangga. Yogyakarta; PT. Nas Media Indonesia.

Nebi, Oktir dan Rikmadani, Y. Anton. 2021. Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perpektif Teori Perlindungan Hukum. Sumatera Barat: CV. Azka Pustaka.

77
Poerwandari, E. Kristi. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan : Tinjauan Psikologi
Feministik. Jakarta: PT Alumni.

Rape, Marital. 2007. Kekerasan Seksual Terhadap Istri. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara.

Soeroso, H. Moerti. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis
Victimologis. Yogyakarta: Sinar Grafika.

Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan & Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Wattie, A. Marie. 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik. Yogyakarta:


Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

JURNAL

Harnoko, B. R. 2010. “Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan”. Muwazah, 2(1).

Julqurniati, Nur dan Susanty D. Indah. 2019. “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Rumah Tangga di Flores Timur”. Sosio Konsepsia. 8(02).

Komnas Perempuan. 2021. “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan


Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan Keterbatasan Penanganan Di
Tengah Covid-19.” CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap
Perempuan 2020.

Maryam, Rini. 2012. “Menerjemahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk


Diskriminasi Terhadap Perempuan (Cedaw) Ke Dalam Peraturan Perundang-
Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia. 9(1).

Muhajarah, Kurnia. 2016. “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga:


Perspektif Sosio-Budaya, Hukum dan Agama”. SAWWA. 11(2).

Nurwati, Nunung dan Alimi, Rosma. 2021. “Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan”. Jurnal Pengabdian dan
Penelitian Kepada Masyarakat (JPPM). 2(1).

Rena, Yulia. 2004. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dalam Penegakan Hukum”. Jurnal Dosen Fakultas Hukum Unisba.
20(3).

Rochmat, Wahab. 2006. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Perspektif Psikologis Dan
Edukatif.” Unisia 61(3).

78
Santoso, Agung Budi. 2019. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap
Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial”. Jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam. 10(1).

Susiana, Sali. 2020. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi Covid-19.”
Info Singkat 12(24).

Suteja Jaja dan Muzaki. 2020. “Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Melalui Kegiatan Konseling Keluarga”. Jurnal Equalita. 2(1).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk


Diskriminasi Terhadap Wanita.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara
RI Tahun 1999 Nomor 165 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3886.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on
The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Lembaran
Negara RI Tahun 1984 Nomor 29 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3277.

DOKUMEN LAINNYA

Catahu.2021.https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/catahu-2021-komnas-
perempuan-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-dispensasi-perkawinan-
melonjak-selama-pandemi, diakses pada tanggal 5 November 2021.

Wikipedia. KDRT. https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga


diakses pada tanggal 19 Desember 2021.

Komnas perempuan. https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-


pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt, diakses
pada tanggal 21 Juni 2021.

79
Kemenppa. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-
jadi-korban-kdrt-kenali-faktor-penyebabnya, diakses pada tanggal 25 Juni 2021.

Alodokter. Kenali Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Cara Menyikapinya
https://www.alodokter.com/melindungi-diri-dari-kekerasan-dalam-rumah-tangga, diakses
pada tanggal 16 januari 2022.

Wikipedia. Kekerasan. https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_(fisika), diakses pada


tanggal 27 Januari 2022.

Ruangguru. Faktor Kekerasan. https://www.ruangguru.com/blog/teori-konflik-dan-


faktor-penyebab-kekerasan-sosial, diakses pada tanggal 2 Februari 2022.

https://rsupsoeradji.id/dampak-dan-pencegahan-kekerasan-dalam-rumah-tangga/, diakses
pada tanggal 5 Februari 2022.

80
LAMPIRAN

81
82
83
84
85
86
DOKUMENTASI

Wawancara secara langsung bersama Kanit IV Satreskrim Polres Flores Timur Bapak
Gabriel MD Boli dan Kasat Binmas Polres Flores Timur Bapak Herono Budiono.

87
Wawancara secara langsung bersama korban dan pelaku KDRT

Wawancara secara langsung bersama keluarga korban KDRT dan keluarga pelaku KDRT

88
RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi
Nama : Alfred Setyawan Pratama
NIM : 1802010310
Tempat, Tanggal Lahir : Larantuka, 16 Maret 1997
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Status : Belum Menikah
Alamat : Kel. Oesapa Selatan RT 005/RW 002 Kec. Kelapa Lima
No. Tlp/HP : 082247586744
Email : pratamalokea@gmail.com
II. Pendidikan Formal
1) SD : SD Negeri Sananwetan 02 Kota Blitar (2004-2008),
SDK Larantuka II (2009)
2) SMP : SMP PGRI Larantuka (2010-2012)
3) SMA : SMA Negeri 1 Larantuka (2013), SMA PGRI Larantuka
(2014-2015)
4) SI : Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana Kupang
(2018-2023)
III. Keluarga
1) Ayah : Herono Budiono
2) Ibu : Maria Andriani Leimena
3) Kakak : Aplonia A. Pratiwi, S.Pd.
4) Adik : Albert D. Cahyono, Agung Prabowo, Yuyun Ratnawati,
Wahyu Dicky Kristianto

89

Anda mungkin juga menyukai